Analisis Temporal Suhu Permukaan Laut di Perairan Indonesia Selama 32 Tahun (Era AVHRR)
on
Journal of Marine and Aquatic Sciences 5(2), 234-246 (2019)
Analisis Temporal Suhu Permukaan Laut di Perairan Indonesia Selama 32 Tahun (Era AVHRR)
I Nyoman Januarta Triska Putra a*, I Wayan Gede Astawa Karang a, I Dewa Nyoman Nurweda Putra a
a Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Udayana, Kabupaten Badung, Bali, Indonesia.
* Penulis koresponden. Tel.: +6285-894-037-055
Alamat e-mail: djanuartatriska@gmail.com
Diterima (received) 14 Juli 2018; disetujui (accepted) 3 Agustus 2019; tersedia secara online (available online) 5 Agustus 2019
Abstract
One of the important factor that influences global climate dynamics is sea surface temperature (SST). Indonesian waters are semi-closed and located between the Pacific and Indian Oceans so that they have different characteristics of SPL in each region. The purpose of this research is to know the trend and local characteristics of Indonesian SST and adjacent areas in response to 6-monthly and seasonal variability with moving average method and correlation. The data used are SST data from AVHRR satellite with domain 15°N-15°S, 90°-145° E. The results showed of increase trend 0.34°C in Indonesian sea for 32 years (1981-2012). The characteristics of SST in Indonesian territory are closely related to the Mosoon cycle where in the East period in the northern region the Natuna Sea is warmer in contrast to the West monsoon period, in the southern part of the Arafura Sea to the warmer Sawu Sea and around the equator experiencing the warmest in the transitional period. The moving-average analysis shows that 6-monthly variability appears to be dominated in equatorial waters including the Java Sea and Banda Sea whereas seasonal variability occurs in the northern and southern regions of Indonesia's waters including the Pacific Ocean Oceans, the northwest Pacific Ocean and the southeast Indian Ocean. Based on correlation analysis, ENSO has a strong (negative) relationship in eastern Indonesia waters including the Sea in the northern part of Papua and the northwest Pacific Ocean while IOD has a strong (negative) relationship in the western Sumatra Sea, Banda Sea and Arafura Sea.
Keywords: Indonesian Seas; seasonal variability; 6-months variability; moving averages; ENSO; IOD
Abstrak
Salah satu faktor penting yang mempengaruhi dinamika iklim global yaitu suhu permukaan laut (SPL). Perairan Indonesia bersifat semi tertutup dan terletak di antara Samudera Pasifik dan Hindia sehingga memiliki karakteristik SPL yang berbeda – beda di masing – masing wilayah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tren perubahan dan karakteristik lokal SPL di perairan Indonesia dan sekitarnya dalam menanggapi variabilitas 6-bulanan dan musiman dengan metode moving-average dan korelasi. Data yang digunakan yaitu data SPL dari satelit AVHRR dengan domain 15°LU-15°LS, 90°BT-145°BT. Hasil penelitian menunjukkam adanya tren peningkatan 0.34°C di perairan Indonesia selama 32 tahun (1981-2012). Karakteristik SPL di wilayah Indonesia berhubungan erat dengan siklus Muson di mana pada periode Muson Timur SPL di wilayah utara meliputi Laut Natuna lebih hangat sebaliknya pada periode Muson Barat, di bagian selatan meliput Laut Arafura hingga Laut Sawu lebih hangat dan di sekitar ekuator mengalami SPL paling hangat pada periode peralihan. Analisis moving-average menunjukkan variabilitas 6-bulanan tampak didominasi terjadi di wilayah perairan dekat ekuator meliputi Laut Jawa dan Laut Banda sedangkan variabilitas musiman terjadi di wilayah bagian utara dan selatan perairan Indonesia meliputi Laut Samudera Pasifik barat daya, Samudera Pasifik barat laut dan Samudra Hindia tenggara. Berdasarkan analisis korelasi, indeks ENSO memiliki hubungan yang kuat (negatif) di perairan Indonesia bagian timur meliputi Laut di bagian utara Papua dan Samudera Pasifik bagian barat laut sedangkan indeks IOD memiliki hubungan kuat (negatif) di Laut Sumatera bagian barat, Laut Banda dan Laut Arafura.
Kata Kunci: Perairan Indonesia; Variabilitas Musiman; Variabilitas 6-bulanan; Moving-average; ENSO; IOD
Perairan Indonesia merupakan laut semi tertutup yang menyediakan jalur transfer substansial Samudera Pasifik ke Samudra Hindia (Gupta et al., 2016; Linsley et al., 2010). Selain itu, perairan Indonesia juga merupakan pusat dari aktivitas sirkulasi laut global yang dikenal sebagai Arus Lintas Indonesia (Arlindo). Ketika melewati perairan Indonesia, maka massa air Arlindo akan bercampur dengan massa air dari Samudera pasifik di mana terjadi percampuran massa air yang berbeda sehingga perairan Indonesia berpengaruh terhadap iklim global (Gordon et al., 2010; Voldoire et al., 2013; Graham et al., 2011). Menurut Qu et al., (2005), salah satu faktor penting yang memengaruhi dinamika iklim global dan iklim regional yaitu suhu permukaan laut (SPL).
Menurut Karang et al., (2010), perairan Indonesia memiliki energi disipasi yang berbeda-beda, hal ini mengindikasikan perairan Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda-beda di masing-masing wilayah. Kasim (2010) menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi sebaran SPL pada suatu perairan Indonesia adalah Angin Muson. Di wilayah lintang tinggi dan di wilayah perairan dalam Indonesia memiliki pengaruh musiman yang lebih kuat dibandingkan dengan wilayah perairan Indonesia lainnya (Putra and Tanaka, 2013a). Selain Angin Muson, penyebab utama terjadinya variasi suhu di perairan Indonesia yaitu El Niño-Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole Mode (IOD) (Putra and Tanaka, 2013a; Sprintall et al., 2014; Sukresno, 2010; Susanto et al., 2002).
Menurut Putra and Tanaka. (2013a), indeks ENSO dan IOD memiliki korelasi yang berbeda-beda terhadap SPL di masing-masing wilayah perairan Indonesia, hubungan indeks ENSO di Samudra Pasifik lintang tinggi dan pada bagian sekitar ekuator memiliki hubungan yang lebih kuat dibandingkan dengan perairan Indonesia sekitar ekuator. Dinamika SPL di barat Indonesia seperti Samudera Hindia dan Selat Sunda lebih berkorelasi dengan IOD sedangkan perairan di jalur Arlindo seperti Selat Makassar, Halmahera dan perairan sekitar Biak berkorelasi tinggi terhadap fenomena ENSO (Habibie, 2014). Untuk dapat meneliti SPL di wilayah perairan Indonesia maka diperlukan suatu teknik yang dapat menganalisis area yang luas dalam waktu yang
singkat, teknologi tersebut ialah penginderaan jauh.
Salah satu satelit penginderaan jauh yang dilengkapi dengan sensor yang dapat mendeteksi SPL adalah satelit National Ocean and Atmospheric Administration (NOAA). Sensor Advanced Very High Resolution Radiometer (AVHRR) milik NOAA telah dijadikan acuan oleh sensorsensor yang muncul setelahnya. Penelitian mengenai estimasi SPL dari sensor satelit telah banyak dilakukan sejak tahun 80-an dan telah tersedia baik secara temporal maupun spasial untuk perairan dunia. Untuk mendapatkan data SPL yang akurat, berbagai algoritma dan validasi telah dikembangkan. Estimasi SPL dari sensor satelit memiliki bias yang cukup kecil yaitu kurang dari 0.5°C dengan rata-rata 0.2°C (Reynolds et al., 2002).
Penelitian ini sangat penting dilakukan mengingat dinamika massa air dan SPL baik secara spasial maupun temporal di perairan Indonesia sangat tinggi. Penelitian mengenai variabilitas temporal SPL serta hubungannya terhadap indeks ENSO dan IOD di perairan Indonesia telah banyak dilakukan, penelitian terakhir dilakukan oleh Putra and Tanaka. (2013a), dengan menggunakan citra TMI dan QuikSCAT resolusi 0,25°x0,25° dari tahun 2000-2009, maka penggunaan data dengan resolusi yang lebih tinggi yaitu 4km x 4km dari tahun 1981-2012 dengan wilayah penelitian yang sama diharapkan mampu dijadikan sebagai pembanding serta menghasilkan hasil yang lebih akurat.
Data yang dipakai yaitu data harian yang dirata-ratakan menjadi data bulanan dari tahun 19812012 (32 tahun). Dalam menganalisis tren suhu permukaan laut digunakan data SPL yang mencakup domain 15°LU- 15°LS, 90°BT-145°BT. sedangkan lokasi yang digunakan untuk menganalisis variabilitas temporal SPL dan hubungannya dengan ENSO dan IOD dibagi menjadi 3 kategori wilayah dengan total 12 wilayah, 3 kategori wilayah tersebut meliputi lintang tinggi di bagian Utara dan Selatan serta lintang rendah yaitu di wilayah khatulistiwa. Dua belas wilayah tersebut yaitu: area A mencakup Samudra Hindia tenggara (100°BT - 110°BT, 20°LS
-
- 15°LS); area B meliputi Samudera Pasifik barat daya (150°BT - 160°BT, 20°LS - 15°LS); area C mencakup wilayah Khatulistiwa Samudra Hindia (90°BT-100°BT, 7°LS-2°LS); area D (108°BT-118°BT, 7°LS-2°LS), area E (122°BT-132°BT, 7°LS-2°LS) dan area F (132°BT-142°BT, 10°LS-5°LS) menutupi
perairan Indonesia bagian dalam; area G (155°BT-165°BT, 7°LS-2°LS), area H (130°BT-140°BT, 0°-
5°LU) dan area I (150°BT-160°BT, 0°-5°LU)
mencakup wilayah Khatulistiwa Samudera Pasifik; area J (170°BT-180°BT, 3°LS-3°LU) mencakup area Indeks ENSO; area K (130°BT-140°BT, 10°LU-
15°LU) dan area L (150°BT-160°BT, 10°LU-15°LU) meliputi Samudera Pasifik barat laut. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
-
2.2 Alat dan Data Penelitian
Software yang digunakan untuk mengolah data
SST yaitu SeaDas 7.3.2 dan SAGA 6.1.0, sedangkan software yang digunakan dalam proses pembuatan peta atau layout yaitu Quantum GIS. Data yang digunakan yaitu data suhu permukaan (SPL) dari satelit NOAA-AVHRR selama 32 tahun berdasarkan ketersediaan data pada situs resmi NOAA, Ocean Nino Index (ONI) dan Dipole Mode Index (DMI). Spesifikasi masing-masing data dapat dilihat pada Tabel 1.
-
2.3 Metode Penelitian
-
2.3.1. Analisis Tren Suhu Permukaan Laut di Perairan Indonesia.
-
Data suhu harian yang telah diunduh selanjutnya dirata-ratakan menjadi data bulanan. Kemudian data harian yang sudah dirata-ratakan diubah menjadi grafik time series dan dicari trennya.

Gambar 1. Peta topografi bawah (skala meter) di Lautan Indonesia dari ETOPO 2 menit.
Tabel 1
Jenis kegunaan data yang digunakan dalam penelitian
Data |
Tempat |
Fungsi |
Akses |
Suhu Permukaan Laut |
Perairan Indonesia |
Parameter penelitian perairan Indonesia (NOAA-AVHRR 4km-harian level 3) | |
ONI (Ocean Nino Index) |
Samudera Pasifik |
Parameter penelitian anomali suhu permukaan laut di Samudera Pasifik | |
DMI (Dipole Mode Index) |
Samudera Hindia |
Parameter penelitian anomali suhu permukaan laut di Samudera Hindia |
http://www.jamstec.go.jp/frc gc/research/d1/iod/DATA/d mi.monthly.txt |
Tujuan dari pencarian tren SPL yaitu untuk mengetahui perubahan SPL di perairan Indonesia pada data temporal. Garis tren non-linier dihitung melalui persamaan regresi orde 2 (Sudjana, 2005):
y = a + bx + cx2 (1) di mana koefisien a, b dan c harus ditentukan berdasarkan data SPL. Koefisien a, b dan c dapat dihitung dari system persamaan:
∑ y1 = na + b ∑ χ1 + c ∑ χi2 (2) ∑ χy = a ∑ χi+b ∑ χi 2+c ∑ χi 3 (3) ∑ χi2 yi = a ∑ χi 2 + b ∑ χi 3+c ∑ χi4 (4) Karakteristik SPL di wilayah Indonesia secara musiman dapat diperoleh dari rata-rata tiga bulanan selama 32 tahun. Selisih SPL tahun 1981 dan 2012 diperoleh dari pengurangan data rata-rata tahun 2012 dengan tahun 1981.
-
2.3.2. Analisis Moving average.
Dalam penelitian ini digunakan metode moving averages. Tujuan dari metode ini yaitu untuk memperhalus komponen yang bersifat irreguler. Variabilitas musiman dideteksi melalui perbandingan grafik moving average 12 bulanan dengan 6 bulanan, sedangkan variabilitas 6 bulanan dapat dilihat melalui perbandingan grafik 6 bulanan dengan 3 bulanan. Moving average dihitung melalui persamaan di bawah ini (Putra and Tanaka, 2013b):
k — . X
χ. - + —(χ. , + χ.,, )
' j=-( k-1) i-j ^ ^ i-k i + k'
Xi = — Σ 2 k
(5)
k : 3 untuk mencari moving average 6 bulanan
k : 6 untuk mencari moving average 12 buanan
Xi = ± Γvk-1 χ
3k j=-(k-1) i+ j
k : 1 untuk mencari moving average 3 bulanan
di mana xi adalah data sst bulanan pada saat tersebut dan Xi adalah data bulanan hasil moving average. Nilai Xi sesuai dengan pertengahan bulan.
-
2.3.3. Analisis hubungan Indeks ENSO dan IOD dengan Suhu Permukaan Laut di Perairan Indonesia.
Persamaan yang digunakan dalam penentuan hubungan antara Indeks ENSO dan IOD dengan SPL adalah persamaan korelasi. Adapun rumus korelasi sederhana sebagai berikut (Harianti dkk, 2012)
v (∑ χ)(∑ y)
∑ χy —“-
r =________________n_______ (7)
7 (∑ χ 2)(∑ y2)
di mana r adalah koefisien korelasi; x adalah indeks ENSO atau IOD; y adalah data sst bulanan pada saat tersebut; dengan kisaran nilai korelasi antara -1 sampai 1. Korelasi sempurna yaitu dengan nilai 1 atau -1. Korelasi sangat kuat jika 0,75 sampai 0.99 atau -0,75 sampai -0,99. Korelasi kuat jika 0,5 sampai 0.75 atau -0,5 sampai -0,75. Korelasi cukup kuat jika 0,25 sampai 0.5 atau -0,25 sampai -0,5. Korelasi sangat lemah jika 0 sampai 0,25 atau 0 sampai -0,25. Tidak ada korelasi jika bernilai (Harianti dkk, 2012).
Tren SPL di wilayah Indonesia yang dianalisis dari data rata-rata bulanan selama 32 tahun mulai tahun 1981-2012 ditampilkan pada Gambar 2. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, SPL berkisar antara 26,8-29,1°C. Suhu terendah terjadi pada tahun 1991 sedangkan SPL tertinggi terjadi pada tahun 2010. Tren menurun yang ditunjukkan dari tahun 1981-1991 yaitu 0,06°C. Penurunan SPL di wilayah Indonesia pada tahun 1991-1992 terjadi pada saat El Nino dan IOD positif yang terjadi bersamaan (Habibie, 2014). Secara umum dari tahun 1981-2012 SPL di wilayah Indonesia mengalami tren peningkatan suhu sekitar 0,28°C. Hal ini sesuai dengan penelitian Ihara et al., (2008), yang menunjukkan bahwa seluruh Samudera Hindia termasuk perairan Indonesia menunjukkan pemanasan yang kuat setelah tahun 1976-1977. Menurut penelitian Deser et al., (2010), SPL di perairan Indonesia mengalami tren peningkatan
sekitar 0.4°C sampai 0,8°C dari tahun 1908-2008 dengan menggunakan metode tren linier. Perubahan ini mungkin sebagai bagian dari variasi natural, ataupun merupakan akibat pemanasan global yang disebabkan oleh gas rumah kaca dan aerosol akibat aktivitas manusia (Dai, 2013).
Karakteristik SPL di wilayah Indonesia secara musiman dapat dilihat pada Gambar 3. Salah satu faktor yang mempengaruhi sebaran SPL pada suatu perairan adalah Angin Muson (Halkides et al., 2011; Kida and Richards, 2009; Kasim, 2010; Natalia dkk., 2015; Napitu et al., 2015). Hal tersebut dapat dilihat pada periode Desember, Januari dan Februari (DJF), SPL menunjukkan berkisar antara 27.2-31.2°C. Pada bulan DJF perairan Indonesia bagian selatan mengalami SPL yang lebih hangat dibanding bagian utara. Hal ini diakibatkan oleh pengaruh posisi matahari yang berada di belahan bumi selatan. Suhu terendah terjadi di Laut Natuna Utara yaitu mencapai 24,9°C sedangkan tertinggi terjadi di Laut Timor yaitu mencapai 31,5°C Sebaliknya pada bulan Juni, Juli, dan Agustus (JJA) yang bertepatan dengan periode Muson Timur, wilayah Belahan Bumi Selatan (BBS) lebih dingin dibandingkan dengan Belahan Bumi Utara (BBU). Intensitas cahaya matahari saat itu lebih dominan di BBU sehingga atmosfernya cenderung lebih hangat, hal ini diikuti oleh menghangatnya SPL di BBU (Habibie, 2014). SPL pada bulan tersebut tertinggi di sebagian Selat Malaka yang mencapai 31,4°C, sedangkan wilayah sekitarnya yaitu sepanjang
pantai timur Sumatera dan pantai barat Sumatera yang meliputi Padang sampai Aceh memiliki suhu 29.5°C. Sebaliknya suhu terendah terjadi di Laut Arafura yang mencapai 25.5°C. Hal ini sesuai dengan penelitian Jochum and Murtugudde. (2005), yang menyatakan bahwa siklus musiman SPL di Samudera Hindia termasuk di perairan Indonesia relatif tetap dari tahun ke tahun dan sangat didominasi oleh pola Muson atau Monsun.
Perbandingan SPL pada tahun 1981 dan 2012 pada Gambar 4, menunjukkan Laut Jawa, Laut Sulawesi, Laut Banda, perairan sekitar Maluku dan Samudera Pasifik bagian barat pada tahun 2012 lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 1981. Laut Banda merupakan wilayah yang memiliki selisih SPL paling tinggi dengan nilai mencapai (positif) 1.2°C. Wilayah lain yang memiliki selisih SPL cukup tinggi yaitu meliputi Laut Jawa mencapai 0,62°C, Laut Flores mencapai 0,93°C, Laut Arafura mencapai 0.89°C dan Laut Maluku mencapai 0,85°C, sedangkan wilayah lain seperti Laut Selatan Jawa, Laut Selatan Sumatera dan Selat Makasar memiliki selisih SPL hanya berkisar 0,136°C. Wilayah yang dilalui Arus Lintas Indonesia (Arlindo) seperti Laut Banda dengan domain 3°-8° LS dan 124°-132° BT memiliki selisih sebesar 1,2°C, Selat Makassar dengan domain 0°-6° LS dan 116°-120° BT memiliki selisih sebesar 0,13°C dan Selat Lombok dengan domain 8°-9° LS dan 115°-116° BT dengan selisih sebesar 0,3°C. Hal ini terjadi akibat adanya aliran massa air dari Samudera Pasifik bagian barat yang juga mengalami tren

Gambar 2. Grafik Rata-rata Bulanan SPL Tahun 1981-2012 di perairan Indonesia.

Gambar 3. Grafik Rata-rata Bulanan SPL Tahun 1981-2012 di perairan Indonesia.

Gambar 4. Peta Selisih SPL rata-rata Tahun 1981 dan 2012 di perairan Indonesia.
peningkatan SPL paling tinggi (Habibie, 2014). Secara umum SPL di wilayah perairan Indonesia memiliki selisih dengan nilai positif, hal tersebut mengindikasukan bahwa SPL perairan Indonesia pada tahun 2012 lebih tinggi dibandingkan tahun 1981, kecuali di beberapa wilayah, seperti Utara Papua, Laut Timor, selat Makasar, Laut Natuna dan Laut Barat Sumatera.
-
3.2 Variabilitas Temporal Suhu Permukaan Laut Di Perairan Indonesia Dari Tahun 1981 sampai 2012
Moving average 3 bulan dari rata-rata SPL bulanan digunakan untuk mengidentifikasi sinyal variabilitas 6 bulan. Berdasarkan Gambar 5 sampai
-
16, wilayah lintang tinggi (daerah A, B, K, dan L) tidak menunjukkan adanya variabilitas 6 bulan, sedangkan di wilayah Khatulistiwa (daerah D, E dan H menunjukkan adanya variabilitas SPL 6 bulan namun bersifat lemah. Daerah lain di wilayah Khatulistiwa hanya menunjukkan variabilitas SPL 6 bulan yang sangat lemah kecuali pada Wilayah ENSO (daerah J) yang tidak menunjukkan adanya variabilitas 6 bulan.
Moving average 6 bulan dari SPL bulanan mengidentifikasi sinyal variabilitas musiman. Di wilayah lintang tinggi (daerah A, B, K, dan L), menunjukan adanya variabilitas musiman yang kuat pada setiap wilayah, sedangkan di wilayah Khatulistiwa, (daerah E dan F) menunjukkan
variabilitas musiman yang bersifat kuat, hal ini sesuai dengan penelitian Putra and Tanaka, (2012). Daerah lain di wilayah Khatulistiwa hanya menunjukkan variabilitas SPL musiman yang bersifat lemah kecuali pada Wilayah ENSO (daerah J). Hal ini sesuai dengan penelitian Putra and Tanaka (2013a) dan Zhao et al., (2018), yang mengatakan bahwa di wilayah lintang tinggi (Bagian Utara dan Selatan) memiliki pengaruh musiman yang lebih kuat dibandingkan dengan Laut Indonesia bagian dalam.

_ 32
5 30 ⅛ 28 ⅛ 26 g 24
22
(c)

(Year)
----SST ■ Moving Average ----Average
Gambar 5. Grafik Moving Average 3 Bulan SPL (a), Grafik Moving Average 6 Bulan SPL (b), Grafik Moving Average 12 Bulan SPL (c) di daerah A.
SPL pada daerah A berkisar antara 28.8 –
23.1°C, di mana SPL tertinggi terjadi pada bulan Maret 1998 dan terendah terjadi pada Bulan September 1986. Berdasarkan Gambar 5, grafik moving average 3 bulan dan 6 bulan menunjukkan kesamaan pola puncak dan lembah yang terjadi setiap 6 bulan sekali yang mengindikasikan tidak adanya variabilitas 6 bulanan, sedangkan berdasarkan grafik moving average 6 bulan dan 12 bulan menunjukkan perbedaan pola puncak dan lembah yang mengindikasikan adanya variabilitas musiman yang bersifat kuat.
SPL pada daerah B berkisar antara 29.5 – 23.3°C, di mana SPL tertinggi terjadi pada Bulan Februari 2004 dan terendah terjadi pada Bulan Agustus 1982. Berdasarkan Gambar 6, grafik moving average 3 bulan dan 6 bulan menunjukkan kesamaan pola puncak dan lembah yang terjadi
setiap 6 bulan sekali yang mengindikasikan tidak adanya variabilitas 6 bulanan, sedangkan berdasarkan grafik moving average 6 bulan dan 12 bulan menunjukkan perbedaan pola puncak dan lembah yang mengindikasikan adanya variabilitas musiman yang bersifat kuat. SPL pada daerah C berkisar antara 30.8 – 25.8°C, di mana SPL tertinggi terjadi pada Bulan April 1998 dan terendah terjadi pada Bulan Oktober 1997. Berdasarkan Gambar 7, grafik moving average 3 bulan dan 6 bulan menunjukkan kemiripan pola puncak dan lembah yang terjadi setiap 3 bulan sekali yang mengindikasikan adanya variabilitas 6 bulanan yang bersifat sangat lemah, sedangkan berdasarkan grafik moving average 6 bulan dan 12 bulan menunjukkan sedikit perbedaan pola puncak dan lembah yang mengindikasikan adanya variabilitas musiman bersifat lemah.

Gambar 6. Grafik Moving Average 3 Bulan SPL (a), Grafik Moving Average 6 Bulan SPL (b), Grafik Moving Average 12 Bulan SPL (c) di daerah B.
SPL pada daerah D berkisar antara 30.1 – 25.8°C, di mana SPL tertinggi terjadi pada Bulan Desember 1982 dan terendah terjadi pada Bulan Agustus 1991. Berdasarkan Gambar 8, grafik moving average 3 bulan dan 6 bulan menujukkan sedikit perbedaan pola puncak dan lembah yang mengindikasikan adanya variabilitas 6 bulanan bersifat lemah, sedangkan berdasarkan grafik moving average 6 bulan dan 12 bulan menujukkan sedikit perbedaan pola puncak dan lembah yang mengindikasikan adanya variabilitas musiman bersifat lemah.
_32
128 y⅛√∕∕⅜^My>⅝^^^
g 24
22 I i l l l i i l .......................
r∙4 r∙0 ∙τ∣- m co CO Ch O ’H r∙4 r∙0 ∙τ∣- lCi ιD CO <71 O »H r∙l rθ =c∣- lO lO r~-. CO Ti O ∙H r J
co co co co co co co co cτι αι ∙7i co σι cr∣ σι co 'Ti ∙7i α α Q α α O o o ’H ’H
'71 CSl CSi '71 CSi CSl '71 '71 Cii '71 '71 Cii Cii '71 Oi CSi '71 '71 O a O O O O O O O O O a O
∣
— 32
3 30
⅛ 28
S 26
U 24
22
'^⅛⅛B*ii^
(b)
-32 3 30 ⅞ 28 ⅛I∙ 26 to 24
22
^w⅜≠⅛^^
(c)
∣Y≡≡r)
(Year)
SST ----MovingAverage ----Average
Gambar 7. Grafik Moving Average 3 Bulan SPL (a), Grafik Moving Average 6 Bulan SPL (b), Grafik Moving Average 12 Bulan SPL (c) di daerah C.
Gambar 8. Grafik Moving Average 3 Bulan SPL (a), Grafik Moving Average 6 Bulan SPL (b), Grafik Moving Average 12 Bulan SPL (c) di daerah D.
SPL pada daerah E berkisar antara 31.3 – 25°C, di mana SPL tertinggi terjadi pada Bulan November 2000 dan terendah terjadi pada Bulan Agustus 1981. Berdasarkan Gambar 9, grafik moving average 3 bulan dan 6 bulan menujukkan sedikit perbedaan pola puncak dan lembah yang mengindikasikan adanya variabilitas 6 bulanan
bersifat lemah, sedangkan berdasarkan grafik moving average 6 bulan dan 12 bulan menunjukkan perbedaan pola puncak dan lembah yang mengindikasikan adanya variabilitas musiman yang bersifat kuat.
SPL pada daerah F berkisar antara 31.3 – 23.5°C, di mana SPL tertinggi terjadi pada Bulan Januari 1983 dan terendah terjadi pada Bulan Agustus 1991. Berdasarkan Gambar 10, grafik moving average 3 bulan dan 6 bulan menunjukkan kemiripan pola puncak dan lembah yang terjadi setiap 3 bulan sekali yang mengindikasikan adanya variabilitas 6 bulanan yang bersifat sangat lemah, sedangkan berdasarkan grafik moving average 6 bulan dan 12 bulan menunjukkan perbedaan pola puncak dan lembah yang mengindikasikan adanya variabilitas musiman yang bersifat kuat.
(Year)
----SST 1 ■ Moving Average ----Average
Gambar 9. Grafik Moving Average 3 Bulan SPL (a), Grafik Moving Average 6 Bulan SPL (b), Grafik Moving Average 12 Bulan SPL (c) di daerah E
SPL pada daerah G berkisar antara 31.3 – 27.4°C, di mana SPL tertinggi terjadi pada Bulan Desember 2005 dan terendah terjadi pada Bulan Agustus 1987. Berdasarkan Gambar 11, grafik moving average 3 bulan dan 6 bulan menujukkan kemiripan pola puncak dan lembah yang terjadi setiap 3 bulan sekali yang mengindikasikan adanya variabilitas 6 bulanan yang bersifat sangat lemah, sedangkan berdasarkan grafik moving average 6 bulan dan 12 bulan menunjukkan sedikit perbedaan pola puncak dan lembah yang
mengindikasikan adanya variabilitas musima bersifat lemah.
Gambar 10. Grafik Moving Average 3 Bulan SPL (a), Grafik Moving Average 6 Bulan SPL (b), Grafik Moving Average 12 Bulan SPL (c) di daerah F.
_ 32
130 ⅝^⅛√∖⅜^w∙≠y⅛Λ^^∖^^
⅛ 26 -
w 24
W 22--τ-------τ----τ-------^
(Year)
c-J rr∣ ^ u*ι CD CQ Ch O 'H r-J ∣τ⅛ ^ ιr∣ UD CO ∣Jι O ι∏ r-∙l ∏∙∣ ∙cj- u'ι CD t'- CO Ch O ’H r-J ∞C00Q∞0□00∞∞σ>σ∣CΓ>CΛσ>CΓ>CΛCn<Γ><Γ>G>QOG>G>QG>G>QQ7Hvivi crιCr∣crιChcrιCjDCΓιChcc∣chcrιCjDcrιCr∣αDcy∣cncnooooooooooooo
i HHHHHHHHHHHHHHHHHHNNNNNNNNNnlNNnl
⅝⅜⅛*⅛^-5⅛
— 32 3 30
⅛ 28 ≥ 26
S 24
W 22
(c)
(Year)
SST ι -MovingAverage ----Average
Gambar 11. Grafik Moving Average 3 Bulan SPL (a), Grafik Moving Average 6 Bulan SPL (b), Grafik Moving Average 12 Bulan SPL (c) di daerah G.
SPL pada daerah H berkisar antara 30.8 – 27.3°C, di mana SPL tertinggi terjadi pada Bulan November 2010 dan terendah terjadi pada Bulan Agustus 1991. Berdasarkan Gambar 12, grafik moving average 3 bulan dan 6 bulan menujukkan sedikit perbedaan pola puncak dan lembah yang
mengindikasikan adanya variabilitas 6 bulanan bersifat lemah, sedangkan berdasarkan grafik moving average 6 bulan dan 12 bulan menujukkan sedikit perbedaan pola puncak dan lembah yang mengindikasikan adanya variabilitas musima bersifat lemah.
SPL pada daerah I berkisar antara 31.3 – 27.5°C, di mana SPL tertinggi terjadi pada Bulan dan terendah terjadi pada Bulan September 1991. Berdasarkan Gambar 13, grafik moving average 3 bulan dan 6 bulan menunjukkan kemiripan pola puncak dan lembah yang terjadi setiap November 2001 sekali yang mengindikasikan adanya variabilitas yang bersifat sangat lemah, sedangkan berdasarkan grafik moving average 6 bulan dan 12 bulan menunjukkan sedikit perbedaan pola puncak dan lembah yang mengindikasikan adanya variabilitas musima bersifat lemah.
^τV⅜V>^llY⅝⅛Λ'v*^^^
_ 32 S 30 ⅞ 28
(b)
I ^ ⅛r⅛⅞g^^
⅛ 26
S 24 -
22 I------------1------------1------------1------------1------------1------------1------------1------------1------------1------------1------------1------------1------------1------------1------------1------------1------------1------------1------------1------------1------------1------------1------------1------------1------------1------------1------------1------------1------------1------------1-----------
(c)
(Year)
----SST ι ■ Moving Average ----Average
Gambar 12. Grafik Moving Average 3 Bulan SPL (a), Grafik Moving Average 6 Bulan SPL (b), Grafik Moving Average 12 Bulan SPL (c) di daerah H.
SPL pada daerah J berkisar antara 30.9 – 26.1°C, di mana SPL tertinggi terjadi pada Bulan Oktober 1987 dan terendah terjadi pada Bulan Februari 1999. Berdasarkan Gambar 14, grafik moving average 3 bulan dan 6 bulan menujukkan kemiripan pola puncak dan lembah yang terjadi setiap 6 sekali yang mengindikasikan adanya variabilitas 6 bulan yang bersifat sangat lemah, sedangkan berdasarkan grafik moving average 6 bulan dan 12 bulan menujukkan kesamaan pola puncak dan lembah yang terjadi setiap 6 bulan
sekali yang mengindikasikan tidak adanya variabilitas musiman.
⅜H^√Ayg∕⅜⅛^

— 32
S 30
⅞ 2S
Si 26
K 24
22
(b)
≠*∙i⅛^^
---SST ----MovingAverage ----Average
Gambar 13. Grafik Moving Average 3 Bulan SPL (a), Grafik Moving Average 6 Bulan SPL (b), Grafik Moving Average 12 Bulan SPL (c) di daerah I.
Gambar 14. Grafik Moving Average 3 Bulan SPL (a), Grafik Moving Average 6 Bulan SPL (b), Grafik Moving Average 12 Bulan SPL (c) di daerah J.
SPL pada daerah K berkisar antara 30.1 – 26.2°C, di mana SPL tertinggi terjadi pada Bulan Juni 2001 dan terendah terjadi pada Bulan Maret 1992. Berdasarkan Gambar 15, grafik moving average 3 bulan dan 6 bulan menunjukkan kesamaan pola puncak dan lembah yang terjadi setiap 6 bulan
sekali yang mengindikasikan tidak adanya variabilitas 6 bulanan, sedangkan berdasarkan grafik moving average 6 bulan dan 12 bulan menunjukkan perbedaan pola puncak dan lembah yang mengindikasikan adanya variabilitas musiman yang bersifat kuat.
SPL pada daerah K berkisar antara 30.1 – 26.2°C, di mana SPL tertinggi terjadi pada Bulan Juni 2001 dan terendah terjadi pada Bulan Maret 1992. Berdasarkan Gambar 15, grafik moving average 3 bulan dan 6 bulan menunjukkan kesamaan pola puncak dan lembah yang terjadi setiap 6 bulan sekali yang mengindikasikan tidak adanya variabilitas 6 bulanan, sedangkan berdasarkan grafik moving average 6 bulan dan 12 bulan menunjukkan perbedaan pola puncak dan lembah yang mengindikasikan adanya variabilitas musiman yang bersifat kuat.
Gambar 15. Grafik Moving Average 3 Bulan SPL (a), Grafik Moving Average 6 Bulan SPL (b), Grafik Moving Average 12 Bulan SPL (c) di daerah K.
SPL pada daerah L berkisar antara 30.8 – 25.5°C, di mana SPL tertinggi terjadi pada Bulan September 1984 dan terendah terjadi pada Bulan Februari 1983. Berdasarkan Gambar 16, grafik moving average 3 bulan dan 6 bulan menujukkan kesamaan pola puncak dan lembah yang terjadi setiap 6 bulan sekali yang mengindikasikan tidak adanya variabilitas 6 bulanan, sedangkan berdasarkan grafik moving average 6 bulan dan 12 bulan menujukkan perbedaan pola puncak dan lembah yang mengindikasikan adanya variabilitas musiman yang bersifat kuat.
Tabel 2
Nilai Korelasi antara anomali SPL di wilayah Indonesia dengan Indeks ENSO dan IOD
Wilayah |
Ocean Nino Index (ONI) |
Dipole Mode Index (DMI) | ||
Korelas |
i Kategori |
Korelasi |
Kategori | |
A |
-0.16 |
Sangat Lemah |
0 |
Sangat Lemah |
B |
-0.36 |
Cukup Kuat |
-0.19 |
Sangat Lemah |
C |
-0.10 |
Sangat Lemah |
-0.40 |
Cukup Kuat |
D |
-0.02 |
Sangat Lemah |
-0.22 |
Sangat Lemah |
E |
-0.25 |
Sangat Lemah |
-0.32 |
Cukup Kuat |
F |
-0.16 |
Sangat Lemah |
-0.30 |
Cukup Kuat |
G |
-0.18 |
Sangat Lemah |
0.04 |
Sangat Lemah |
H |
-0.5 |
Kuat |
-0.07 |
Sangat Lemah |
I |
-0.31 |
Cukup Kuat |
-0.11 |
Sangat Lemah |
J |
0.66 |
Kuat |
0.12 |
Sangat Lemah |
K |
-0.58 |
Kuat |
-0.09 |
Sangat Lemah |
L |
-0.47 |
Cukup Kuat |
0.03 |
Sangat Lemah |



j⅜y√V^¼∕⅛∖y^^
(c)

(Year)
---SST ----MovingAverage ----Average
Gambar 16. Grafik Moving Average 3 Bulan SPL (a), Grafik Moving Average 6 Bulan SPL (b), Grafik Moving Average 12 Bulan SPL (c) di daerah L.
3.3 Hubungan Variabilitas Temporal Suhu Permukaan Laut Perairan Indonesia dengan Indeks ENSO dan IOD
Hubungan indeks ENSO dan IOD dengan SPL di Perairan Indonesia didapatkan dengan mencari nilai korelasi Ocean Nino Index (ONI) dan Dipole Mode Index (DMI) dengan nilai anomali SPL bulanan di masing-masing wilayah perairan Indonesia. Nilai korelasi dapat dilihat pada Tabel 2.
Nilai positif menunjukkan adanya hubungan yang searah antara indeks ENSO atau IOD dengan SPL sedangkan nilai negatif menunjukkan adanya hubungan berlawanan arah. Pada wilayah lintang tinggi khususnya Laut Pasifik bagian barat (daerah B, K, dan L) tampak adanya hubungan terhadap indeks ENSO, hal ini dapat diketahui dari nilai korelasi SPL dengan data indeks ENSO (ONI) yang berkisar antara -0,36 sampai dengan -0,58. Hal ini sesuai dengan penelitian Habibie (2014), yang menyatakan bahwa terjadi penurunan SPL di wilayah Barat Samudera Pasifik pada saat terjadinya El Nino, sedangkan pada wilayah Khatulistiwa hanya daerah H, I dan J saja yang menunjukkan adanya hubungan dengan kategori cukup kuat sampai dengan kuat di mana daerah J memiliki korelasi bersifat searah dengan kategori kuat. Hal ini sesuai dengan penelitian Kusuma et al., (2017) yang menyatakan bahwa pada saat terjadi La Nina (ONI menurun) diikuti dengan meningkatnya SPL di sekitar Laut Banda.
Hubungan indeks IOD dengan SPL di Perairan Indonesia ditemukan pada daerah C (perairan Barat Sumatera), E (Laut Banda) dan F (Laut Arafura) dengan nilai korelasi -0.3 sampai -0.4 (Cukup Kuat). Hal ini sesuai dengan penelitian Amri dkk. (2013) dan Surya dkk. (2017), yang menyatakan bahwa SPL di perairan Barat Sumatera mengalami penurunan seiring dengan terjadinya IOD positif, begitu pula sebaliknya. Menurut Gaol dkk. (2014), terjadi penurunan SPL mencapai 2oC mulai bulan Juni hingga September
pada saat fase IOD positif khususnya di perairan barat Sumatra, Selatan Jawa-Bali-Sumbawa hingga perairan Banda dan Arafura.
Tren menurun ditunjukkan dari tahun 1983-1992 yaitu 0,06°C dan kembali naik di tahun berikutnya hingga tahun 2012 sebesar 0,34°C. Secara umum dari tahun 1981-2012 SPL di wilayah Indonesia mengalami tren peningkatan suhu sekitar 0.28°C.
Wilayah sekitar ekuator (daerah D, E dan H) memiliki variabilitas 6 bulanan lebih kuat dibandingkan dengan wilayah lintang tinggi (daerah A, B, K, dan L) yang tidak menunjukkan adanya variabilitas 6 bulan. Di wilayah lintang tinggi (daerah A, B, K, dan L), menunjukkan adanya variabilitas musiman yang lebih kuat dibandingkan dengan wilayah sekitar ekuator di mana hanya daerah E dan F saja yang memiliki variabitas musiman.
Hubungan indeks ENSO tampak didominasi pada wilayah Pasifik bagian Barat (daerah B, H, I, J, K dan L) kecuali daerah G, dengan nilai korelasi yang berkisar antara -0,31 sampai dengan -0,58 dan 0,66 pada daerah J, sedangkan hubungan indeks IOD dapat ditemukan pada wilayah perairan Barat Sumatera (daerah C), Laut Banda (daerah E) dan Laut Arafura (daerah F) dengan nilai korelasi -0.3 sampai -0,4.
Daftar Pustaka
Amri, K., Manurung, D., Gaol, J. L., & Baskoro, M. S.
-
(2013) . Karakteristik suhu permukaan laut dan kejadian upwelling fase Indian Ocean Dipole Mode positif di barat Sumatera dan selatan Jawa Barat. Jurnal Segara, 9(1), 23-35.
Dai, A. (2013). Increasing drought under global warming in observations and models. Nature Climate Change, 3(1), 52-58.
Deser, C., Phillips, A. S., & Alexander, M. A. (2010). Twentieth century tropical sea surface temperature trends revisited. Geophysical Research Letters, 37(10), 16.
Gaol, J. L., Arhatin, R. E., & Ling, M. M. (2014). Pemetaan Suhu Permukaan Laut Dari Satelit Di Perairan Indonesia Untuk Mendukung “One Map Policy”. Dalam Prosiding Seminar Nasional Penginderaan Jauh. Bogor, Indonesia, 21 April 2014 (pp. 433-442).
Gordon, A. L., Sprintall, J., Van Aken, H. M., Susanto, D., Wijffels, S., Molcard, R., ... & Wirasantosa, S. (2010).
The Indonesian throughflow during 2004–2006 as
observed by the INSTANT program. Dynamics of Atmospheres and Oceans, 50(2), 115-128.
Graham, N. E., Ammann, C. M., Fleitmann, D., Cobb, K. M., & Luterbacher, J. (2011). Support for global
climate reorganization during the “Medieval Climate Anomaly”. Climate Dynamics, 37(5-6), 1217-1245.
Gupta, A. S., McGregor, S., Van Sebille, E., Ganachaud, A., Brown, J. N., & Santoso, A. (2016). Future changes to the Indonesian Throughflow and Pacific circulation: The differing role of wind and deep circulation changes. Geophysical Research Letters, 43(4), 1669-1678.
Habibie, M. N. (2014). Karakteristik dan Tren Perubahan Suhu Permukaan Laut di Indonesia Periode 19822009. Jurnal Meteorologi dan Geofisika, 15(1), 37-49.
Halkides, D., Lee, T., & Kida, S. (2011). Mechanisms controlling the seasonal mixed-layer temperature and salinity of the Indonesian seas. Ocean Dynamics, 61(4), 481-495.
Harianti, A., Veronica, S., Setiawan, S., & Iskandar, D. (2012). Statistika II. (1st ed.). Yogyakarta, Indonesia: Andi.
Ihara, C., Kushnir, Y., & Cane, M. A. (2008). Warming trend of the Indian Ocean SST and Indian Ocean dipole from 1880 to 2004. Journal of Climate, 21(10), 2035-2046.
Jochum, M., & Murtugudde, R. (2005). Internal
variability of Indian ocean SST. Journal of climate, 18(18), 3726-3738.
Karang, I. W. G. A., Nishio, F., & Osawa, T. (2010). Estimation Of Tidal Energy Dissipation and Diapycnal Diffusivity in the Indonesian Seas.
International Journal of Remote Sensing and Earth Sciences (IJReSES), 7(1), 53-72.
Kasim, F. (2010). Analisis Distribusi Suhu Permukaan Menggunakan Data Citra Satelit Aqua-Modis dan Perangkat Lunak Seadas di Perairan Teluk Tomini. Jurnal Ilmiah Agropolitan, 3(1), 270-276.
Kida, S., & Richards, K. J. (2009). Seasonal sea surface temperature variability in the Indonesian Seas. Journal of Geophysical Research: Oceans, 114(C6), 1-17.
Kusuma, D. W., Murdimanto, A., Aden, L. Y., Sukresno, B., Jatisworo, D., & Hanintyo, R. (2017). Sea Surface Temperature Dynamics in Indonesia. In Proceeding of the IOP Conference Series: Earth and Environmental Science (Vol. 98, No. 1, p. 012038). Yogyakarta, Indonesia, 27–28 September 2017 (pp. 1-13).
Linsley, B. K., Rosenthal, Y., & Oppo, D. W. (2010). Holocene evolution of the Indonesian throughflow and the western Pacific warm pool. Nature Geoscience, 3(8), 578-583.
Napitu, A. M., Gordon, A. L., & Pujiana, K. (2015). Intraseasonal sea surface temperature variability across the Indonesian Seas. Journal of Climate, 28(22), 8710-8727.
Natalia, E. H., Kunarso, K., & Rifai, A. (2015).
Variabilitas Suhu Permukaan Laut Dan Klorofil-a Kaitannya Dengan El Nino Southern Oscillation (Enso) Dan Indian Ocean Dipole (Iod) Pada Periode Upwelling 2010-2014 Di Lautan Hindia (Perairan Cilacap). Journal of Oceanography, 4(4), 661-669.
Putra, I. D. N. N., & Tanaka, T. (2012). Seasonal and interannual variability of sea surface temperature and sea surface wind in the eastern part of the Indonesian Sea: ten years analysis of satellite remote sensing data. In
Procedeeng of the Remote Sensing of the Marine Environment II (Vol. 8525, p. 85250B). Kyoto, Japan, 11 December 2012 (pp. 1-9)
Putra, I. D. N. N., & Tanaka, T. (2013a). The Local Characteristics of Indonesian Seas and Its Possible Connection with ENSO and IOD: Ten Years Analysis of Satellite Remote Sensing Data. Earth Science Research, 2(2), 153.
Putra, I. D. N. N., & Tanaka, T. (2013b). A Novel Approach to Improve the Enso And Iod Signals Detectionin The Indonesian Seas. In Procedeeng of the 34th Asian Conference on Remote Sensing. Bali, Indonesia, 20 – 24 October 2013 (pp.1-8)
Qu, T., Du, Y., Strachan, J., MEYERS, G., & SLINGO, J. (2005). Sea Surface Temperatureand Its Variability. Oceanography, 18(4), 50-61.
Reynolds, R. W., Rayner, N. A., Smith, T. M., Stokes, D. C., & Wang, W. (2002). An improved in situ and satellite SST analysis for climate. Journal of climate, 15(13), 1609-1625.
Sprintall, J., Gordon, A. L., Koch-Larrouy, A., Lee, T., Potemra, J. T., Pujiana, K., & Wijffels, S. E. (2014). The Indonesian seas and their role in the coupled ocean– climate system. Nature Geoscience, 7(7), 1-20.
Sudjana, N. (2005). Metode statistika. Bandung, Indonesia: Tarsito.
Sukresno, B. (2010). Empirical orthogonal functions (EOF) analysis of SST variability in Indonesian water concerning with ENSO and IOD. International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Science Journal, 38(8), 116-121.
Surya, G., Khoirunnisa, H., Lubis, M. Z., Anurogo, W., Hanafi, A., Rizky, F., ... & Mandala, G. F. T. (2017). Karakteristik suhu permukaan laut dan kecepatan angin di perairan batam hubungannya dengan Indian Ocean Dipole (IOD). Dinamika Maritim, 6(1), 1-6.
Voldoire, A., Sanchez-Gomez, E., y Mélia, D. S.,
Decharme, B., Cassou, C., Sénési, S., ... & Déqué, M. (2013). The CNRM-CM5. 1 global climate model: description and basic evaluation. Climate Dynamics, 40(9-10), 2091-2121.
Zhao, S., Liu, Z., Colin, C., Zhao, Y., Wang, X., & Jian, Z. (2018). Responses of the East Asian summer monsoon in the low - latitude South China Sea to high - latitude millennial - scale climatic changes during the last glaciation: Evidence from a high - resolution clay mineralogical record. Paleoceanography and
Paleoclimatology, 33( 7), 745-765.
© 2019 by the authors; licensee Udayana University, Indonesia. This article is an open access article distributed under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution license (http://creativecommons.org/licenses/by/3.0/).
J. Mar. Aquat. Sci. 5: 234-246 (2019)
Discussion and feedback