Reformulasi Ketentuan Eksekusi Jaminan Fidusia dan Relevansinya dengan Pemenuhan Prinsip Keadilan, Kemanfaatan dan Kepastian Hukum

Hasanuddin Muhammad1, M. Yasin Al Arif2

1Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung, Email : [email protected]

2Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung, Email : [email protected]

Info Artikel

Masuk: 10 Januari 2023

Diterima: 26 September 2023

Terbit: 29 September 2023

Keywords:

Fiduciary; Justice; Benefits;

Legal certainty


Kata kunci:

Fidusia; Keadilan;

Kemanfaatan; Kepastian

Hukum.

Corresponding Author:

Hasanuddin Muhammad, Email:

[email protected]

DOI:

10.24843/JMHU.2023.v12.i0

3.p16


Abstract

This paper is a normative research that tries to decipher the differences regarding changes to the provisions of the execution of fiduciary guarantees after the decision of the Constitutional Court. The debate is based on the opinion that the Constitutional Court's decision changes the characteristics of executing fiduciary guarantees to become more complicated because it costs more and takes a longer time. The data source for this paper is in the form of Constitutional Court Decisions and laws and regulations. The author uses interpretation techniques to examine and analyze the problems in this article. As a result, the reformulation of the provisions on the execution of fiduciary guarantees carried out by the Constitutional Court is by the principles of justice, benefit, and legal certainty. The Constitutional Court has determined that the execution of a fiduciary guarantee object can only held if there is an agreement regarding the breach of contract and there is a willingness to surrender the fiduciary guarantee. They are regulated so that debtors are not treated arbitrarily by creditors. The decision provides options to maximize simple lawsuits and utilize electronic court and trial administration.

Abstrak

Tulisan ini merupakan penelitian normatif yang mencoba menguraikan perbedatan mengenai perubahan ketentuan eksekusi jaminan fidusia pasca putusan Mahkamah Konstitusi. Perdebatan tersebut didasarkan pada pendapat bahwa putusan Mahkamah Konstitusi mengubah karakteristik eksekusi jaminan fidusia menjadi lebih rumit karena mengeluarkan biaya lebih besar dan waktu yang lebih lama. Sumber data tulisan ini berupa Putusan Mahkama Konsitusi maupun peraturan perundang-undangan. Penulis menggunakan teknik interpretasi untuk menalaah dan menganalisa masalah dalam artikel ini. Hasilnya reformulasi ketentuan eksekusi jaminan fidusia yang dilakukan oleh Mahkamah Konsitusi sudah sesuai dengan prinsip keadilan, kemanfaatan dan kepasatian hukum. Mahkamah Konsitusi telah menetapkan bahwa eksekusi objek jaminan fidusia hanya dapat dilakukan apabila ada kesepakatan mengenai cidera janji dan ada kerelaan menyerahkan jaminan fidusia. Hal ini diatur agar

Debitur agar tidak diperlakukan secara sewenang-wenang oleh Kreditur. Putusan tersebut memberi pilihan untuk memaksimalkan gugatan sederhana dan memanfaatkan administrasi perkaran dan persidangan secara elektronik.

  • I.    Pendahuluan

Putusan Mahkamah Konstitusi atas pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU JF) sepanjang 2019 sampai 2022 telah mengubah ketentuan eksekusi jaminan fidusia. Sepanjang medio 2019 sampai 2022 tersebut, sudah ada tujuh kali judical review terhadap UU JF. Satu putusan ditolak, empat putusan tidak dapat diterima dan dua putusan dikabulkan sebagian. Adapun dua putusan yang dikabulkan menjadi dasar perubahan ketentuan fidusia yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi No.18/PUU-XVII/2019 dan Putusan Mahkamah Konstitusi No.71/PUU-XIX/2021. 1 Kedua putusan yang dikabulkan menjadi dasar perubahan terhadap ketentuan eksekusi jaminan fidusia di Indonesia. Hal mendasar yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi terhadap pengujian UU JF adalah mengenai karakteristik eksekusi jaminan fidusia. Mahkamah Konstitusi mengubah karakter pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia dengan membuat ketentuan baru yang dianggap lebih memberikan jaminan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum bagi Kreditur dan Debitur.

Pada artikel ini, peneliti menggunakan tiga aspek pendekatan dalam rangka melihat sejauh mana dampak perubahan ketentuan eksekusi jaminan fidusia. Ketiga aspek tersebut didasarkan pada konsep tujuan hukum yang dikemukan oleh Gustav Radbruch yaitu menjamin terwujudnya, keadilan hukum, kemanfaatan hukum dan kepastian hukum. Konsep ini menghendaki adanya keseimbangan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum dalam pelaksanaan eksekusi jaminan fidusiaia.2 Keadilan dimaknai sebagai kesamaan hak. Setiap orang diperlakukan sama dan mendapatkan hak yang sama di depan hukum. Kemanfaan dimaknai sebagai nilai kebaikan yang didapatkan oleh seseorang atas adanya ketentuan hukum. Kepastian hukum dimaknai sebagai kejelasan aturan hukum yang menjadi acuan dalam berhukum.3

Jaminan fidusia sangat menunjang perputaran roda perekonomian terutama bagi kalangan ekonomi lemah4. Secara histori, pada penjelasan UU JF menerangkan bahwa pemberlakuan jaminan fidusia dalam transaksi pinjam meminjam sudah terjadi sejak zaman belanda, karena dianggap cepat, mudah dan sederhana. Jaminan fidusia sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat 2 UU JF merupakan jaminan berupa benda

bergerak yang dijadikan sebagai agunan pelunasan utang. 5 Transaksi fidusia tidak mengalihkan benda secara fisik ke Kreditur akan tetapi hanya bukti kepemilikan saja yang berada dalam kekuasaan Kreditur. Jaminan yang dapat digunakan dalam transaksi fidusia adalah benda bergerak yang berwujud atau tidak berwujud dan benda tidak bergerak yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan. Contoh dari benda yang bergerak adalah kendaraan bermotor, Surat-surat berharga dan lain-lain 6 . Dengan demikian jaminan fidusia merupakan kebutuhan dalam proses menggerakan roda ekonomi masyarakat

Sejauh ini, penelitian yang membahas tentang jaminan fidusia pasca Putusan Mahkamah Konstitusi cendrung pada beberapa pembahasan. Pertama penelitian yang menekankan pada sisi teknis yuridis. Penelitian ini melihat pada sisi perubahan ketentuan eksekusi fidusia pasca putusan Mahkamah Konstitusi. Penelitian tersebut memaparkan dari aspek teknik yuridis bahwa eksekusi jaminan fidusia tidak dapat dilakukan secara serta merta sebelum adanya pengakuan cidera janji oleh Debitur terlebih dahulu baik pengakuan secara sukarela maupun atas putusan peradilan. Penelitian tersebut antara lain dilakukan oleh Efferine James Ridwan7 Joni Alizon8, Wiwib Dwi Ratna9, Lili Nayli dan kawan-kawan10, Ari Wirya Winata11, Muhammad Rutabuz Zaman12, Riza Purnomo Hadi13 dan Wafa14. Kedua penelitian yang mengkaji tentang efektifitas dan efisiensi eksekusi jaminan fidusia pasca Putusan Mahkamah Konstitusi. Dalam penelitian tersebut dijelaskan apabila Debitur tidak memiliki itikad baik maka proses akan berjalan lama yang artinya berpotensi kepada ketidakefektifan proses eksekusinya.15 Ketiga penelitian Tiara Putri Andayani yang meneliti mengenai

efektifitas pelaksanaan eksekusi fidusia pasca putusan Mahkamah Konsitusi di lembaga pembiayaan di Kota Semarang. Hasilnya pelaksanaan eksekusi fidusia tetap dapat dilaksanakan, hanya saja putusan Mahkamah Konstitusi mempengaruhi prinsip-prinsip hak kebendaan dan tujuan kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan kurang tercapai. 16 Keempat penelitian Natalia Karelina dan kawan-kawan yang membahas implikasi putusan Mahkamah Konstitusi tentang eksekusi jaminan fidusia. Hasilnya putusan Mahkamah Konstitusi dianggap tidak sejalan dengan prinsip parate eksekusi. Putusan Mahkamah Konstitusi dianggap memiliki celah hukum sehingga perlu ada penyesuaian klausul perjanjian. 17 Kelima penelitian dari Eko Surya Prasetyo yang meneliti mengenai implikasi putusan Mahkamah Konsitusi terhadap eksekusi jaminan fidusia, hasilnya bahwa putusan tersebut bertentangan dengan prinsip hak kebendaan yaitu prinsip droit de suite, droit de preferen dan parate eksekusi. Hal tersebut berdampak pada penambahan waktu, biaya dan beban baru.18

Secara umum, tulisan ini merupakan tulisan pelengkap dari studi yang sudah ada. Secara khusus tulisan ini menjawab pertanyaan mengenai bagaiamana bentuk reformulasi ketentuan fidusia pasca Putusan Mahkamah Konstitusi, bagaimana relevansi reformulasi ketentuan fidusia pasca Putusan Mahkamah Konstitusi dengan prinsip keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Dengan demikian hasil dari tulisan ini dapat memberikan perspektif baru bagi para pemangku kebijakan, para pihak yang terlibat dalam hubungan hukum fidusia dan masyarakat, bahwa reformulasi yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dalam rangka menjamin adanya kepastian, kemanfaatan dan keadilan hukum.

  • 2.    Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian normatif dengan bahan primer Putusan Mahkamah Konstitusi No.18/PUU-XVII/2019 dan Putusan Mahkamah Konstitusi No.71/PUU-XIX/2021. Kedua putusan tersebut merupakan putusan yang memuat kententuan perubahan terhadap eksekusi jaminan fidusia. Penulis mendapatkan putusan tersebut dengan mengakses langsung di website Mahkamah Konstitusi, kemudian menelaah satu persatu. Teknik pengumpulan dengan teknik dokumentasi, yaitu dengan mengumpulkan dokumen baik dokumen hukum resmi maupun yang berasal dari buku, jurnal dan artikel lainnya. Penelitian ini menggunakan pendekatan konseptual dan perundang-undangan. Kedua pendekatan ini relevan dengan masalah yang diteliti. Di mana reformulasi eksekusi jaminan fidusia dikonstruksikan dengan prinsip keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Hasil konstruksi tersebut diperkuat dengan membangun argumentasi yang didasarkan pada Peraturan Mahkamah Agung.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    3.1    Reformulasi Ketentuan Eksekusi Berdasarkan Titel Eksekutorial

Ketentuan titel eksekutorial dalam konteks hukum jaminan merupakan ketentuan yang memberikan kekuasaan kepada kreditur untuk dapat melakukan eksekusi terhadap debitur yang melakukan wanprestasi. Hal ini dimaksudkan agar proses eksekusi tidak memakan waktu dan proses yang lama. Ketentuan tersebut memungkin proses eksekusi tanpa harus melalui fiat pengadilan. 19 Keberadaan titel eksekutorial merupakan keharusan dalam hal melaksanakan eksekusi. Dalam tulisan Wahju, titel eksekutorial dimaknai sebagai asas yang keberadaannya bersifat keharusan dalam setiap putusan pengadilan. Apabila asas tersebut tidak tertulis dalam putusan, maka konsekuensi hukumnya putusan tersebut tidak memiliki kekuatan eksekusi. 20 O.C. Kaligis menjelaskan bahwa irah-irah titel eksekutorial berupa “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan bentuk perlindungan kepada kreditor agar setiap jaminan baik berupa jaminan fidusia maupun jaminan hak tanggungan memiliki kekuatan eksekutorial. 21 Dengan demikian titel eksekutorial merupakan suatu asas/prinsip yang harus dimuat dalam setiap putusan agar putusan tersebut memiliki kekuatan hukum eksekutorial.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 pengujian UU JF mengabulkan sebagian gugatan yaitu ketentuan pada pasal 15 ayat (2) berikut dengan pasal penjelas dan pasal 15 ayat (3). pada 15 ayat (2) berikut penjelasannya menentukan bahwa redaksi Demi Keadilan Yang Berdasarkan Ketuhanan Yang Esa bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak ada kesepakatan cindera janji dan debitur keberatan untuk menyerahkan jaminan fidusia secara sukarela. 22 Untuk itu semua tindakan hukum dalam rangka menjalankan eksekusi jaminan fidusia harus didasarkan putusan pengadilan yang sudah memiliki kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian ada perubahan norma yang sebelumnya menentukan bahwa eksekusi dapat dilakukan mendasarkan pada adanya titel eksekutorial tanpa mensyaratakan kondisi tertentu, akan tetapi setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi eksekusi jaminan berdasarkan titel eksekutorial harus dengan syarat bahwa adanya kesepakatan cidera janji dan adanya kerelaan debitur menyerahkan jaminan fidusia.23

Penambahan persyaratan eksekusi jaminan fidusia yang didasarkan pada titel eksekutorial Demi Keadilan Yang Berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa memiliki tiga makna. Pertama, bahwa titel eksekutorial Demi Keadilan Yang Berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa yang tercantum pada sertifikat jaminan fidusia kedudukannya tetap sah dan tetap dapat menjadi dasar melakukan eksekusi jaminan fidusia tanpa melalui proses gugatan perdata di pengadilan. Kedua titel eksekutorial dapat dilaksanakan apabila

debitur cidera janji atas perjanjian fidusia yang dilakukan. Ketiga titel eksekutorial dapat dilaksanakan apabila debitur yang cidera janji secara sukarela menyerahkan objek jaminan fidusia kepada pihak kreditur. 24 Jadi titel eksekutorial tetap berlaku dan memiliki legal standing yang legitimate sekaligus menjamin adanya kepastian hukum sehingga tetap relevan untuk digunakan dalam pembuatan sertifikat fidusia, hanya saja memerlukan persyaratan kondisi tertentu agar dapat dilaksanakan tanpa melalui putusan pengadilan yang incrah.

Mahkamah Konstitusi menambahkan syarat eksekusi berdasarkan titel eksekutorial dalam rangka melindungi hak dan menjamin adanya keadilan dalam hubungan kreditur dengan debitur pada perjanjian fidusia. Mahkamah Konstitusi menilai bahwa adanya titel eksekutorial Demi Keadilan Yang Berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa pada sertifikat jaminan fidusia yang menjadi dasar melakukan eksekusi tanpa melalui proses gugatan di pengadilan pada sertifikat jaminan fidusia menyebabkan adanya ketidakseimbangan posisi dalam perjanjian fidusia. Akibatnya, perlindungan hukum dan keadilan bagi debitur menjadi lemah. Dalam tataran implementasi, pihak debitur tidak memiliki kesempatan untuk membela dan mempertahankan haknya ketika dianggap melakukan wanprestasi oleh kreditur. Dalam kondisi tersebut, objek jaminan fidusia yang ada dalam kekuasaan debitur dapat diambil alih secara sepihak oleh kreditur. Untuk itu, dalam rangka mencegah terjadinya ketidakadilan pada saat eksekusi jaminan fidusia, Mahkamah menentukan syarat eksekusi jaminan fidusia harus didasarkan pada putusan pengadilan yang berkuatan hukum tetap apabila debitur yang cidera janji tidak mau menyerahkan secara sukarela objek jaminan fidusia. Pelibatan pengadilan dalam prsoes eksekusi dalma rangka memberikan kesempatan pada debitur untuk melindungi haknya.

  • 3.2    Reformulasi Ketentuan Cidera Janji Jaminan Fidusia

Cidera janji jaminan fidusia merupakan kondisi dimana terjadinya pengingkaran terhadap prestasi perjanjian jaminan fidusia. Cidera janji dalam konteks fidusia dapat terjadi bilamana salah satu pihak tidak melaksanakan prestasi yang sudah diperjanjikan, terlambat melaksanakan prestasi, memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai dengan yang diperjanjikan, melakukan suatu yang tidak diperbolehkan dalam perjanjian.25 Dalam hal ini, pihak yang dapat menyatakan bahwa telah terjadi cidera janji dalam suatu perjanjian adalah pihak kreditur, pengakuan debitur dan pengadilan. Dengan demikian cidera janji jaminan fidusia merupakan kondisi debitur tidak bisa memenuhi prestasi berdasarkan pengakuan debitur atau karenanya adanya kesekapatan antara debitur dengan kreditur. Apabila tidak debitur tidak mengakui maka harus berdasarkan putusan peradilan.

Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 pengujian UU JF menyatakan bahwa pasal 15 ayat (3) yang menentukan bahwa apabila debitur cidera janji maka kreditur mempunyai hak untuk menjual objek jaminan fidusia atas kekuasaan sendiri bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak

memiliki kekuatan hukum mengikat. Mahkamah Konstitusi menyatakan pasal ini inkonstitusional apabila cidera janji yang maksud ditentukan sepihak oleh kreditur. Sebaliknya, jika cidera janji didasarkan pada kesepakatan antara pihak kreditur dengan pihak debitur maka pasal tersebut dinyatakan konstitusional. Selain itu, Mahkamah Konsitusi juga memberikan pilihan lain untuk menyatakan debitur cidera janji, yaitu didasarkan adanya putusan/penetapan upaya hukum yang menyatakan debitur telah cidera janji. Untuk itu, kekuasaan kreditur menjual objek jaminan fidusia tidak serta merta dapat dilakukan ketika kreditur menganggap debitur cidera janji, melainkan harus terlebih ada kesepakatan cidera janji atau upaya hukum yang menyatakan debitur cidera janji.26

Penambahan syarat cidera janji dalam perjanjian fidusia yang ditentukan oleh Mahkamah Konstitusi memiliki arti penting bagi debitur. Pertama, bahwa adanya kepastian hukum mengenai waktu debitur dinyatakan cidera janji. Kepastian hukum cidera janji sebelumnya tidak jelas ketentuannya sehingga klaim terjadinya cidera janji yang dilakukan debitur cidera janji ditentukan oleh kreditur. Kedua ketentuan cidera janji yang ditetapkan Mahkamah Konstitusi memberi kesempatan kepada debitur untuk dapat menjual objek jaminan fidusia dengan harga wajar. Kreditur harus menghormati dan mematuhi perikatan yang telah disepakati dan menjalankan isi kesepakatan dengan itikad baik dengan memberikan kesempatan kepada debitur menjual objek jaminan fidusia. Ketiga penetapan cidera janji oleh Mahkamah Konstitusi menghindarkan tindakan sepihak yang dapat dilakukan oleh kreditur kepada debitur. Kreditur tidak dibenarkan melakukan tindakan serta merta yang bersifat memaksa merendahkan martabat debitur untuk mengambil alih objek jaminan fidusia dengan alasan debitur cidera janji kecuali ada kesepakatan atau putusan yang sah menyatakan debitur cidera janji. Dengan demikian adanya persyaratan cidera janji sebagaimana tersebut di atas memberikan perlindungan dan penghormatan terhadap hak kepemilikan debitur atas objek jaminan fidusia.

Mahkamah Konstitusi menilai bahwa tidak adanya ketentuan pasti mengenai cidera janji dalam UU JF maupun aturan turunannya menjadi penyebab klaim cidera janji ditentukan oleh Kreditur. Klaim sepihak ini menempatkan Kreditur seakan-akan memiliki hak eksklusif untuk menentukan waktu cidera dan melakukan eksekusi jaminan fidusia. Klaim sepihak cidera janji mengakibatkan Debitur mengalami kerugian konstitusional berupa tidak adanya kepastian perlindungan hukum baginya, tidak adanya persamaan di depan hukum dan terampasnya hak kepemilikan atas jaminan fidusia. Kreditur dalam melaksanakan eksekusi sepihak melalui juru tagih tidak jarang melakukan tindakan yang tidak sejalan dengan norma hukum dan etika. Tidaknya ada aturan pastinya menjadi penyebab timbul berbagai masalah dalam eksekusi fidusia. Dengan demikian norma baru yang ditambahkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 memberi kepastian hukum adanya perlindungan hak Debitur.

  • 3.3    Reformulasi Ketentuan Lembaga yang Berwenang dalam Eksekusi Jaminan Fidusia

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-XIX/2021 Uji Materi UU JF mengabulkan sebagaian permohonan yaitu kententuan pada penjelasan pasal 30 UU FS. Norma pada pasal 30 menentukan bahwa dalam rangka pelaksanaan eksekusi objek jaminan fidusia, maka Debitur diwajibkan menyerahkan objek jaminan fidusia tersebut kepada Kreditur. Selanjutnya pada penjelasan pasal 30 tersebut ditentukan bahwa apabila Debitur tidak menyerahkan objek jaminan fidusia pada saat eksekusi, maka Kreditur berhak mengambil objek tersebut dan apabila diperlukan dapat meminta bantuan pihak yang berwenang. Menurut Mahkamah Konstitusi, pihak berwenang sebagaimana dimaksud pada penjelasan pasal 30 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat apabila tidak dimaknai pengadilan negeri. Dengan demikian, tafsir Mahkamah Konstitusi terhadap makna pihak berwenang sebagaimana diatur dalam penjelasan pasal 30 hanya menempatkan Pengadilan Negeri sebagai satu-satunya pengadilan yang berwenang dalam proses penetapan eksekusi objek jaminan fidusia.27

Penempatan Pengadilan Negeri sebagai pihak yang berwenang dalam penetapan eksekusi fidusia dapat dimaknai dalam tiga hal. Pertama Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa sengketa eksekusi jaminan fidusia merupakan bagian dari hukum perdata yang bersifat pribadi, maka jalan penyelesaian yang tepat adalah melalui Pengadilan Negeri dan bukan melalui proses pidana di kepolisian.28 Kedua Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa pengajuan permohonan melalui Pengadilan Negeri merupakan alternatif terakhir ketika tidak ada kesekapatan mengenai wanprestasi dan tidak adanya kerelaan Debitur menyerah objek jaminan fidusia kepada Kreditur. Ketiga Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa pelaksanaan eksekusi melalui Pengadilan Negeri merupakan upaya menjamin adanya keseimbangan posisi antara pihak kreditur dan pihak debitur. Keseimbangan posisi ini mencegah terjadinya tindakan sewenang-wenang. Pihak Kreditur diberi kesempatan untuk mengajukan alasan dan bukti melakukan eksekusi. Begitupun pihak debitur diberi kesempatan untuk mengajukan alasan dan bukti menolak eksekusi. Dengan demikian, penetapan Pengadilan Negeri dalam proses eksekusi jaminan fidusia merupakan langkah untuk menjamin adanya keadilan dan kepastian hukum bagi kedua pihak.

Mahkamah Konstitusi secara tegas mengunci kemungkinan adanya pelibatan lembaga lain dalam proses eksekusi jaminan fidusia selain Pengadilan Negeri. Secara yuridis, penetapan Pengadilan Negeri oleh Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang berwenang dalam eksekusi jaminan fidusia didasarkan ketentuan Pasal 196 HIR yang merupakan dasar pelaksanaan Hukum Acara Perdata. Dalam pasal 196 HIR tersebut menentukan bahwa apabila pihak yang kalah/lalai tidak memenuhi isi putusan, maka pihak yang menang dapat mengajukan permintaan kepada Ketua Pengadilan Negeri agar memberi peringatan supaya isi putusan dijalankan. Proses peradilan akan memberikan kesempatan yang berimbang bagi para pihak. Baik Debitur maupun Kreditur memiliki kesempatan untuk mengajukan bukti-bukti dan sekaligus menyanggah bukti-bukti dari pihak lawan. Dengan demikian, jaminan terhadap keadilan dan kepastian hukum bagi Debitur, objek fidusia dan Kreditur dapat terpenuhi.

  • 3.4    Relevansi Reformulasi Ketentuan Eksekusi Jaminan Fidusia dengan Prinsip Keadilan, Kemanfaatan dan Kepastian Hukum

Reformulasi ketentuan jaminan fidusia didasarkan pada hasil Putusan Mahkamah Konstitusi No.18/PUU-XVII/2019 dan Putusan Mahkamah Konstitusi No.71/PUU-XIX/2021. Kedua putusan tersebut menjadi dasar adanya reformulasi ketentuan jaminan fidusia. Pertama reformulasi ketentuan pelaksanaan eksekusi yang didasarkan pada titel eksekutorial Demi Keadilan Berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa. Sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi, titel eksekutorial tersebut dapat dilaksanakan secara serta merta ketika debitur dianggap melakukan cidera janji oleh kreditur. Akan tetapi setelah adanya putusan, eksekusi berdasarkan titel eksekutorial harus didasarkan pada adanya pengakuan cidera janji dan kerelaan debitur untuk menyerahkan jaminan fidusia. Kedua reformulasi makna cidera janji. 29 Sebelumnya adanya putusan Mahkamah Konstitusi, tidak ada kepastian hukum mengenai kapan terjadinya cidera janji yang dilakukan oleh debitur. Penentuan waktu cidera janji ditentukan sepenuhnya oleh kreditur. Hal ini memberikan posisi eksklusif pada kreditur, di sisi lain debitur menjadi pihak yang lemah. Ketidakseimbangan dan ketidakpastian hukum ini menjadi penyebab lemah perlindungan hukum dan keadilan bagi debitur karna sewaktu-waktu dapat dianggap cidera janji dan tidak kesempatan untuk memberi kesempatan membela hak dan kepentinganya. Putusan Mahkamah Konstitusi mereformulasi ketentuan cidera janji tersebut dengan mensyaratkan adanya kesepakatan mengenai telah terjadinya cidera janji dan atau sudah ada upaya hukum yang menyatakan debitur cidera janji. Hal ini memberikan jaminan kepastian hukum sehingga dapat memberi kejelasan pada debitur apabila telah melakukan cidera janji. Ketiga reformulasi mengenai lembaga yang memiliki wewenang dalam mengadili sengketa fidusia dengan menyatakan satu-satunya lembaga yang diberi kewenangan dalam eksekusi fidusia adalah Pengadilan Negeri. Penetapan ini mengunci kesempatan lembaga lain untuk terlibat dalam proses eksekusi jaminan fidusia. Dengan demikian, reformulasi ketentuan fidusia yang didasarkan pada putusan Mahkamah Konstitusi menegaskan kepastian hukum pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia.

Reformulasi ketentuan jaminan fidusia yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dimaksudkan sebagai upaya untuk melindungi, memenuhi dan menghormati hak konstitusional para pihak dalam perjanjian fidusia. Masing-masing pihak memiliki hak yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Kreditur sebagai pihak yang menerima pelimbahan hak dari Debitur harus dilindungi haknya terutama terkait dengan pemenuhan kewajiban debitur untuk melunasi semua utang. Kepentingan kreditur tidak hanya sebatas kepentingan lembaga semata dalam mencari keuntungan, tetapi juga kepentingan ekonomi negara dalam rangka turut serta menyediakan lapangan kerja. Di sisi lain, debitur memiliki hak perlindungan atas objek jaminan fidusia dan mendapat perlakuan yang adil dalam hubungan fidusia terutama pada eksekusi fidusia. Debitur harus dilindungi haknya. Posisinya yang lemah dan tidak seimbang dihadapan kreditur bukan berarti ada pembenaran untuk memperlakukan debitur secara sewenang-wenang. Penetapan pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia yang didasarkan pada kesepakatan cidera janji dan pelipatan Pengadilan Negeri adalah bentuk jaminan

adanya mekanisme hukum yang jelas dan pasti agar proses eksekusi tidak menimbulkan konflik antara debitur dan kreditur. Reformulasi ketentuan eksekusi fidusia membawa manfaat kepada kedua belah pihak, khususnya dalam melindungi kepentingan hukum masing-masing pihak.

Reformulasi ketentuan eksekusi jaminan fidusia merupakan upaya mencegah terjadinya kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh pihak satu pihak kepada pihak lainnya. Khusunya tindakan yang dapat merugikan Debitur. Debitur berada dalam posisi yang lemah, dikarenakan Debitur adalah pihak yang membutuhkan pembiayaan. Sedangkan posisi Kreditur berada dalam posisi yang kuat karena berkedudukan sebagai yang pihak pemberi pembiayaan. Kreditur yang menentukan aturan pengajuan pinjaman dengan skema perjanjian fidusia (perjanjian baku). Dengan posisi yang kuat, pihak Kreditur dapat melakukan upaya-upaya yang dapat merugikan pihak Debitur. Junjung Sahala pernah menulis mengenai konflik antara Debt Collector dengan Debitur akibat tindakan eksekusi sepihak.30 Kasus yang ditulis oleh Junjung menegaskan bahwa Debitur pada posisi yang lemah rentan mengalami tindakan sepihak yang merugikan haknya. Kreditur dengan posisi yang lebih kuat dapat dengan serta merta menentukan aturan mengenai eksekusi. Hal ini terjadi karena tidaknya adanya aturan yang jelas dan spesifik dalam eksekusi. Peraturan perundang-undangan hanya memberi acuan secara umum dan memungkin kreditur untuk memaknai aturan sesuai dengan kepentingannya. Akibatnya terjadilah penentuan cidera janji sepihak dan pengambilalihan objek jaminan fidusia secara paksa dengan dasar titel eksekutorial tanpa melalui proses peradilan. Praktik demikian telah menimbulkan berbagai masalah hukum dan ketidakadilan dalam eksekusi fidusia sehingga diperlukan penataan ulang agar masalah tersebut tidak berlarut.

Reformulasi ketentuan jaminan fidusia pada satu sisi menjamin adanya keadilan posisi antara Kreditur dengan Debitur. Keadilan tersebut tercermin pada keseimbangan posisi antara Kreditur dengan Debitur. Keseimbangan posisi antara Kreditur dan Debitur didasarkan pada tiga hal. Pertama penentuan cidera janji bukan hak preogratif Kreditur tetapi harus didasarkan kesepakatan atau hasil upaya hukum, kedua penyerahan objek harus ada kerelaan dari debitur, ketiga pelibataan Pengadilan Negeri dalam proses eksekusi. Keharusan adanya kesepakatan cidera janji yang ditentukan oleh Mahkamah Konstitusi merupakan ruang negosiasi bagi Kreditur dan Debitur untuk menyelesaikan masalah. Proses negosisasi ini memberi kesempatan yang sama kedua belah pihak untuk menyampaikan argumentasi masing-masing. Keberhasilan proses negosiasi ini bergantung pada sikap kooperatif kedua belah pihak. Dalam hal Debitur secara nyata mengakui melakukan cidera janji, maka debitur semestinya menyerahkan objek jaminan fidusia. Dengan melibatkan Pengadilan Negeri dalam proses eksekusi berarti memberi kesempatan yang sama bagi Kreditur dan Debitur untuk mengajukan bukti-bukti pada proses peradilan. Masing-masing akan mendapat kesempatan yang sama untuk menyampaikan dalil dan bukti dihadapan hakim. Dengan demikian keadilan dalam rumusan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut sejalan dengan konsep keadilan Pancasila yang ditulis oleh Thabias A. Messakh. Ketentuan yang mengatur relasi Debitur dengan Kreditur sebagai relasi yang adil. Relasi yang menjunjung tinggi derajat

martabat kemanusia dengan menjamin hak masing masing pihak ketika berhadapan dengan hukum.31

Eko Surya Prasetyo yang menjelaskan bahwa implikasi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 18/PUU-XVII/2019 akan memperpanjang waktu dan menambah biaya serta memberikan beban baru pada Pengadilan Negeri.32 Pendapat tersebut menurut penulis kurang tepat, justru dengan reformulasi ketentuan tersebut menjadi instrumen tujuan utama untuk dapat tujuan utama hukum yaitu keadilan. Kredo yang menyatakan bahwa keadilan harus ditegakan meskipun langit akan runtuh menitikberatkan bagaimana keadilan merupakan hal yang paling hakiki yang harus diperjuangkan. Untuk itu penyelenggara negara dalam hal ini Mahkamah Konsitusi sudah tepat mereformulasi ketentuan eksekusi jaminan fidusia agar dapat menjamin keadilan bagi Debitur dan Kreditur. Penyelengagara bertanggungjawab untuk membuat ketentuan yang menjamin terwujudkan keadilan. Biaya dan waktu yang dikeluarkan untuk menyelesaikan kasus eksekusi fidusia merupakan konsekuensi dari hubungan keperdataan dalam bidang bisnis. Seharusnya semua pihak mengapreasi putusan Mahkamah Konstitusi, bukan jutrsu memuncul sikap pesimis dan skeptis. Dalam hal perkara eksekusi jaminan fidusia tidak terdapat kesepakatan cidera janji dan Debitur menolak menyerahkan secara sukarela, maka dapat menempuhkan mekanisme gugatan sederhana. Untuk menekan biaya dan waktu serta mewujudkan peradilan sederhana, cepat, biaya ringan, Mahkamah Agung telah menerbitkan ketentun gugatan sederhana. Ketentuan gugatan sederhana tersebut tertuang dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor: 2 tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana (Perma 2/2015)dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor : 4 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana (Perma 4/2019).33

Ketentuan untuk dapat menggunakan mekanisme gugatan sederhana yaitu khusus jaminan yang nilainya maksimal Rp.500.000.000,00. Dalam pasal 3 Perma 4/2019 ditentukan bahwa untuk objek fidusia yang nilai gugatan materil maksimal Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dapat diselesaikan melalui gugatan sederhana. Artinya setiap jaminan fidusia yang nilai tidak lebih dari Rp.500.000.000,00 dapat diajukan melalui gugatan sederhana. Dalam pasal 5 Perma 2/2015, proses persidangannya maksimal 25 hari sejak hari siding pertama. Proses persidangan maksimal 25 hari kerja merupakan tenggat waktu sampai proses selesai. 34 Hal ini membatasi waktu penyelesaian bidang perdata yang identik dengan waktu lama. Proses pemeriksaan dilakukan oleh hakim tunggal. Hakim tunggal proses pemeriksaan perkara akan menyederhanakan proses pemeriksaan karena hanya ada satu hakim yang akan mengadili perkara. Jika dibandingkan dengan tiga hakim seperti sidang perdata pada umumnya, penunjukan satu hakim merupakan upaya untuk mempersingkat waktu tanpa harus menghilangkan subtansi persidangan. Proses gugatan dapat

menggunakan administrasi pengadilan secara elektronik. Penggunaan sarana elektronik dalam persidangan akan memangkas biaya perkara. Dengan demikian secara sudah tersedia alternative penyelesaian yang sederhana, cepat dan biaya ringan tanpa harus menghilangkan prinsip keadilan.

Terhadap nilai gugatan yang melebihi Rp.500.000.000,00 alternatif penyelesaian eksekusi dapat dilakukan dengan mengajukan gugatan biasa dengan memanfaatkan sistem administrasi perkara dan persidangan secara elektronik. Ketentuan admnistrasi perkara dan persidangan secara elektronik diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor: 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik dan beberapa peraturan perubahannya. Dalam pasal 4 Peraturan Mahkamah Agung: 7 Tahun 2022 tentang Perubahan Peraturan Mahkamah Agung Nomor : 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik, proses berperkara mulai dari pengajuan gugatan/permohonan, perubahan, jawaban, replik, duplik, pembuktian, kesimpulan, pengucapan putusan/penetapan dan upaya banding dapat dilakukan melalui persidangan elektronik. Artinya prores berperkara dapat dilakukan secara elektronik dari awal sampai akhir. Proses tersebut tentu dapat mengurangi biaya mobilitas penanganan perkara eksekusi jaminan fidusia.35

Reformulasi ketentuan jaminan fidusia akan menjadi pedoman dalam pelaksanaan perjanjian fidusia, mulai dari tahap penyusunan isi perjanjian sampai pada tahap pelaksanaan eksekusi. Reformulasi yang didasarkan pada putusan Mahkamah Konstitusi ini kedudukannya setara dengan norma dalam undang-undang. Artinya keberlakuan hasil reformulasi ini berlaku diseluruh wilayah Indonesia. Secara konten, putusan Mahkamah Konstitusi sudah tepat karna mengutamakan prinsip-prinsip keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum sebagai dasar pertimbangan. Untuk urusan teknis cara pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia menjadi kewenangan lembaga yang membuat regulasi tentang mekanisme penyelesaian sengketa. Misal Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung untuk mengatur cara gugatan sederhana agar proses penyelesaian dapat berjalan cepat dan berbiaya ringan tanpa harus mengorban nilai-nilai keadilan.

Secara sistem, setiap lembaga yang menerapkan sistem fidusia wajib mengikuti ketentuan yang ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi. Bagi pihak yang memiliki otoritas menerbitkan aturan seperti Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan, wajib membuat aturan turunan berupa Peraturan Bank Indonesia dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan untuk melaksanakan ketentuan Putusan Mahkamah Konstitusi ini. Khusus mengenai aturan mengenai kewajiban lembaga penerima fidusia untuk mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi. Bagi pihak lembaga penyedia jasa fidusia, ketentuan ini harus dipatuhi dengan memasukan pada klausul perjanjian fidusia mengenai kapan waktu terjadi cidera janji. Harus dijelaskan secara detail kapan dan bagaimana Debitur dianggap cidera janji sehingga dapat menyederhanakan proses eksekusi dan tidak perlu mengajukan proses eksekusi melalui putusan pengadilan. Secara kultur, bagi pihak pengguna yang memilih skema fidusia harus memiliki itikad baik dalam menjalankan

prestasi perjanjian fidusia dan siap menerima konsekuensi serta bertanggungjawan secara hukum apabila melakukan wanprestasi.

  • 4.    Kesimpulan

Kritik terhadap putusan Mahkamah Konstitusi atas pengujian UU JF dianggap akan memperpanjang waktu dan menambah biaya serta memberikan beban baru tidak sepenuhnya dapat dibenarkan. Karena yang diputuskan oleh Mahkamah Konsitusi adalah soal prinsip keadilan. Prinsip keadilan ini adalah ruh dari kententuan perundang-undangan. Mahkamah sebagai penjaga konstitusi sudah tepat melakukan reformulasi terhadap ketentuan eksekusi fidusia karena selama ini menimbulkan kesewenang-wenangan dan ketidakadilan khususnya bagi Debitur. Dengan adanya reformulasi tersebut, Mahkamah Konstitusi telah memformulasikan ketentuan eksekusi fidusia yang sejalan dengan prinsip keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.

Studi ini memberikan gambaran bahwa reformulasi ketentuan eksekusi jaminan fidusia yang dilakukan oleh Mahkamah Konsitusi menetapkan bahwa apabila eksekusi objek jaminan fidusia yang didasarkan pada titel eksekutorial Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa tidak ada kesepakatan mengenai cidera janji dan tidak ada kerelaan menyerahkan jaminan fidusia maka eksekusi baru dapat dilakukan setelah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Ketentuan ini bagi Debitur memberikan jaminan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum agar tidak diperlakukan secara sewenang-wenang oleh Kreditur. Bagi Kreditur, untuk meminimalisir biaya dan waktu eksekusi jaminan fidusia dapat skema gugatan sederhana dan memanfaatkan administrasi perkaran dan persidangan secara elektronik.

Bagi pihak yang memiliki otoritas menerbitkan aturan seperti Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan, wajib membuat aturan turunan berupa Peraturan Bank Indonesia dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan untuk melaksanakan ketentuan Putusan Mahkamah Konstitusi ini. Khusus mengenai aturan mengenai kewajiban lembaga penerima fidusia untuk mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi. Bagi pihak lembaga penyedia jasa fidusia, ketentuan ini harus dipatuhi dengan memasukan pada klausul perjanjian fidusia mengenai kapan waktu terjadi cidera janji. Harus dijelaskan secara detail kapan dan bagaimana Debitur dianggap cidera janji sehingga dapat menyederhanakan proses eksekusi dan tidak perlu mengajukan proses eksekusi melalui putusan pengadilan. Secara kultur, bagi pihak pengguna yang memilih skema fidusia harus memiliki itikad baik dalam menjalankan prestasi perjanjian fidusia dan siap menerima konsekuensi serta bertanggungjawan secara hukum apabila melakukan wanprestasi

Daftar Pustaka

Afifah, Diana. “Konsep Parate Executie Dan Fiat Executie Dalam Pelaksanaan Lelang Pasal 6 UU Hak Tanggungan Di KPKNL.” Kemenkeu, 2022.

Ageng Triganda Sayuti, Yenni Erwita, Lili Naili Hidayah. “Parate Eksekusi Jaminan Fidusia: Urgensi Dan Rekonstruksi Hukum Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019.” SOUMATERA LAW REVIEW 3, no. 2 (2020): 185–96.

Alexy, Robert. “Gustav Radbruch’s Concept of Law.” Law’s Ideal Dimension 26, no. 1946 (2021): 107–18. https://doi.org/10.1093/oso/9780198796831.003.0008.

Alizon, Joni. “Rekonstruksi Pelaksanaan Eksekusi Jaminan Fidusia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019.” Eksekusi 2, no. 1 (2020): 58–82.

Bakarbessy, Leonara, and Ghansham Anand. Hukum Perikatan. Sidoarjo: Zifatama Jawara, 2018.

Dinata, Ari Wirya. “Lembaga Jaminan Fidusia: Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019.” Nagari Law Review 3, no. 2 (2020): 84. https://doi.org/10.25077/nalrev.v.3.i.2.p.84-99.2020.

Febriyanti, Wiwin Dwi Ratna. “Eksekusi Objek Jaminan Fidusia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/Puu-Xvii/2019.” ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata 6, no. 2 (2021): 39. https://doi.org/10.36913/jhaper.v6i2.128.

Kaligis, O.C. Antologi Tulisan Ilmu Hukum Jilid 11. Bandung: Alumni, 2015.

Kamello, Tan. Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan. Bandung: Alumni, 2014.

Karelina, Natalia, Universitas Padjadjaran, Lastuti Abubakar, Universitas Padjadjaran, Tri Handayani, and Universitas Padjadjaran. “Implikasi Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18 / Puu / Xvii / 2019 Dan Penegasannya Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 / Puu-Xix / 2021 Terhadap Eksekusi Jaminan Fidusia Dan Perumusan Klausula Perjanjian.” ACTA DIURNAL Jurnal Ilmu Hukum Kenotariatan 5, no. 2 (2022): 187–201.

Kusumaningtyas, Rindia Fanny. “Perkembangan Hukum Jaminan Fidusia Berkaitan Dengan Hak Cipta Sebagai Objek Jaminan Fidusia.” Pandecta Research Law Journal 11, no. 1 (2016): 96–112.

Lailatun, Yenni. Salim HS. Djumarudin. “Efektifitas Eksekusi Jaminan Akta Fidusia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.18/Puu-Xvii/2019.” Jurnal Education and Development 9, no. 4 (2021): 713–21.

Lura, H. “Konsep Keadilan Dalam Pancasila: Analisis Reflektif Terhadap Pemikiran Thobias A. Messakh.” KINAA: Jurnal Teologi, no. 12 (2018): 1–14.

Mahkamah Kontitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 (2019).

Manik, Junjung Sahala Tua, Retno Sunu Astuti, and Ida Hayu Dwimawanti. “Eksekusi Jaminan Fidusia: Mengamankan Aset Kreditur Atau Melindungi Harta Debitur.” Jurnal Administrasi Bisnis 9, no. 2 (2020): 174–86. https://doi.org/10.14710/jab.v9i2.31224.

Maramis, Wiesye Weity Inggried. “Parate Executie Objek Hak Tanggungan Akibat Wanprestasi Pada Perjanjian Kredit Bank.” LEX ET SOCIETATIS 7, no. 4 (2019).

Markeling, I Ketut. Hukum Perdata (Pokok Bahasan : Hukum Benda ). Denpasar: Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2016.

Mulyono, Wahju. Teori Dan Praktik Peradilan Perdata Di Indonesia. Yogyakarta: Medpress, 2012.

Peraturan Mahkamah Agung: 7 Tahun 2022 tentang Perubahan Peraturan Mahkamah Agung Nomor: 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik (2022).

Peraturan Mahkamah Agung Nomor: 4 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana (2019).

Peraturan Mahkamah Agung Nomor: 2 tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana (2015).

Pradipta, Fajrial Dias, and Prihati Yuniarlin. “Perlindungan Hukum Lessor Dalam Eksekusi Jaminan Fidusia (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUUXVII/2019).” Transparansi Hukum, 2022.

Prasetyo, Eko Surya. “Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019” 5, no. 1 (2020): 19.

Ridwan, Efferine James. “Eksekusi Objek Jaminan Fidusia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/Puu-Xvii/2019.” Yuriska : Jurnal Ilmiah Hukum 12, no. 1 (2020): 39–49. https://doi.org/10.24903/yrs.v12i1.789.

Riza Purnomo Hadi. “Mekanisme Eksekusi Jaminan Fidusia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Dalam Hal Debitur Wanprestasi (Studi Di Kantor Bank BPR Kabupaten Sampang).” Dinamika 26, no. 16 (2020): 1902–14.

Rufaida, Khifni Kafa. “Tinjauan Hukum Terhadap Eksekusi Objek Jaminan Fidusia Tanpa Titel Eksekutorial Yang Sah.” Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum 4, no. 1 (2019): 21–40.

Salahudin, Sultan. “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Kreditur Yang Melakukan Eksekusi Obyek Guna Usaha Berupa Alat Berat Milik Debitur Yang Tidak Didaftarkan Ke Lembaga Pendaftaran Fidusia Di Kalimantan Timur.” Universitas Islam Indonesia, 2023.

Sipahutar, Apul Oloan, Zaenal Arifin, Kukuh Sudarmanto, and Diah Sulistyani Ratna Sediati. “Pelaksanaan Eksekusi Jaminan Fidusia Dalam Praktik Pada Debitur Yang Wanprestasi.” Jurnal USM Law Review 5, no. 1 (2022): 144–56.

Soegianto, Soegianto, Diah Sulistiyani RS, and Muhammad Junaidi. “Eksekusi Jaminan Fidusia Dalam Kajian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.” Jurnal Ius Constituendum 4, no. 2 (2019): 207–19.

Tiara Putri, Andayani, Siti Malikhatun Badriyah, and Rahandy Rizki Prananda.

“Efektivitas Pelaksanaan Eksekusi Jaminan Fidusia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 (Studi Pada Lembaga Pembiayaan Di Kota Semarang).” Universitas Diponegoro, 2022.

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (1999).

Usman, Usman, and Andi Najemi. “Mediasi Penal Di Indonesia.” Undang: Jurnal Hukum 1, no. 1 (2018): 65–83. https://doi.org/10.22437/ujh.1.1.65-83.

Wafa, E F, A I Hanafi, A H Perwira, and ... “Mekanisme Eksekusi Jaminan Fidusia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 99/Puu-Xviii/2020.” IKAMAKUM 1, no. 1 (2021): 1–8.

Zaman, Muhammad Rutabuz. “Eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019.” MIYAH 16, no. 01 (2020): 228–44.

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

Peraturan Mahkamah Agung: 7 Tahun 2022 tentang Perubahan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik.

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana.

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana.

741