Politik Hukum, Demokrasi Digital, dan Kekuasaan Partai Politik Menyongsong Pemilu 2024 di Indonesia
on
Politik Hukum, Demokrasi Digital, dan Kekuasaan Partai Politik Menyongsong Pemilu 2024 di Indonesia
Piers Andreas Noak1
1Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Udayana, Email: [email protected]
Info Artikel
Masuk: 24 Januari 2023
Diterima: 26 September 2023
Terbit: 29 September 2023
Keywords:
Legal Politics, Political Parties, Elections, Digital
Democratization
Kata kunci:
Politik hukum; Partai Politik;
Pemilu, Demokrasi Digital
Corresponding Author:
Piers Andreas Noak, E-mail: piers[email protected]
DOI:
10.24843/JMHU.2023.v12.i0
3.p09
Abstract
Legal Politic and Political Party authority in the next 2024 election constellation is a form of democraticacy phase. In this phase political party organization has to deal with various assertions bases on reformation value system. This article observes the effect of digitalization era existence of democracy towards political party as a strength actualization of politic superstructure in the some sides take elaboration of legal politic. This method applied is a normative legal research and the authority determined as a statute approach framework. The author take an explanative analysis on the various literatures. Normatively. There are a strategy transformation of campaign both of traditional and conventional towards digital technology utilization. Digital media domination is not only applied into politic contestation moment but also to be an information of ideology strengthening as well as political movement by political party. It needs to adapt to digital era especially in the moment when they have to be concentrate in contribution in order political communication become an important thing as a of implementation strengthening digital democraticacy.
Abstrak
Politik hukum dan kekuasaan partai politik pada konstelasi pemilu tahun 2024 mendatang adalah bentuk fase demokratisasi. Pada fase ini organisasi partai politik harus menghadapi beragam tuntutan perubahan sesuai tata nilai reformasi. Artikel ini melihat dampak kehadiran era digitalisasi demokrasi terhadap partai politik sebagai aktualisasi kekuatan suprastruktur politik yang pada beberapa sisi mengelaborasi politik hukum. Metode yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dan kekuasaan dipandang dalam bingkai statute approach. Penulis melakukan analisis eksplanatif secara kualitatif terhadap beberapa literature. Secara normatif, terjadi perubahan strategi berkampanye secara tradisional konvensional menuju pemanfaatan teknologi digital. Penguasaan media digital bukan hanya digunakan dalam momentum kontestasi politik, tetapi menjadi informasi penguatan ideologi dan gerakan politik oleh partai politik. Partai politik perlu beradaptasi di era digital terlebih saat mereka harus berkontestasi sehingga komunikasi politik menjadi penting sebagai penguatan penyelenggaraan demokratisasi digital.
Kajian politik hukum meliputi aspek-aspek kelembagaan negara. Pada aspek ini, terdapat perhatian terhadap faktor internal serta eksternal yang sekaligus diyakini sangat mempengaruhi pembentukan politik hukum pada suatu Negara. 1Politik hukum pada perspektif akademik pembahasannya sebatas pemaknaan secara an sich, melainkan juga melibatkan kajian terkait perkembangan politik hukum pada tataran proses pendemokrasian organisasi partai politik, terutama bekerjanya di dalam sistem politik ketatanegaraan. Pada sisi ini, partai politik pada sisi politik hukum menganut prinsip double movement, yaitu selain sebagai kerangka kelembagaan juga berkaitan dengan kebijakan politik sekaligus kekuatan politik demokrasi yang bekerja sesuai prinsip legal policy terhadap perkembangan pemilu dan demokrasi menjelang pemilu tahun 2024 mendatang 2.
Pasca reformasi, organisasi partai politik harus menghadapi dan tuntutan perubahan sesuai tata nilai reformasi. Hampir semua partai politik yang ditetapkan KPU menjelang pemilu tahun 2024, berjumlah 18 partai politik nasional dan 6 partai politik lokal, 3 harus mengemban aktualisasi dari berbagai catatan kritis masyarakat sipil bahkan sejumlah mantan penyelenggara pemilu yang menyoroti aspek integritas salah satunya pada proses rekapitulasi verifikasi faktual partai politik calon peserta pemilu 2024. Orientasi visi, misi, dan ideologi yang diusung oleh masing masing politisi partai politik secara faktual dikontrol sedemikian rupa oleh publik salah satunya melalui perangkat digital. Kontestasi pemilu 2024 menyertakan keberadaan demokratisasi digital dimana media yang dibangun oleh politisi dari partai politik digunakan sebagai alat konsolidasi suara rakyat maupun sebagai alat komunikasi politik politisi dengan pemerintah. Apakah komunikasi digital akan memperkuat atau memperlemah suatu proses demokrasi? Kemudian, apakah yang dihasilkan masyarakat digital memiliki bentuk pengertian yang berbeda dengan demokrasi konvensional? Pembahasan mengenai demokrasi digital selama ini lebih banyak berfokus pada segi dampak dan masih jarang dikaji dari perubahan mendasar terhadap kualitas demokrasi itu sendiri terutama dari koridor politik hukum 4.
Artikel ini hendak melihat dampak kehadiran era digitalisasi demokrasi terhadap partai politik sebagai aktualisasi kekuatan suprastruktur politik yang pada beberapa sisi harus mengelaborasi politik hukum. Pada konteks ini, sistem politik sebagai bagian penting dalam analisis politik hukum lebih lanjut dilihat pada posisinya di dalam proses demokrasi, di mana sistem politik dipahami sebagai bagian dari kebudayaan politik, kelembagaan politik, sekaligus perilaku politik yang berlangsung dari suatu Negara. 5 Pembentukan kekuasaan dalam perspektif sistem politik dipandang sebagai subsistem dalam sistem sosial, di mana di dalamnya tetap memposisikan aspek kelembagaan terutama dalam hubungannya dengan struktur antarberbagai lembaga atau institusi
yang mendukung bekerjanya sistem politik, baik pada tataran supra maupun infrastruktur politik, khususnya pada era demokrasi digital.
Kajian politik hukum dan partai politik menggunakan metode penelitian hukum normatif serta pendekatan kekuasaan dalam bingkai statute approach. Fokus kajian dari artikel ini berawal dari perkembangan politik hukum dalam kajian partai politik yang menganut prinsip double movement. Prinsip tersebut yakni selain sebagai kerangka kelembagaan, juga sebagai kebijakan politik serta kekuatan politik demokrasi sesuai prinsip legal policy. Kemudian, pada teknik penelusuran sumber bahan hukum lebih disandarkan pada penelusuran studi dokumen kajian yang tetap menggunakan analisis kualitatif dan kemudian dianalisis secara kritis. Tulisan ini menggunakan metode kajian pustaka dengan memfokuskan pada bahasan tentang melihat dampak kehadiran era digitalisasi demokrasi terhadap partai politik sebagai aktualisasi kekuatan suprastruktur politik yang pada beberapa sisi harus mengelaborasi politik hukum.
Partai politik dari disiplin ilmu politik hukum amat penting untuk dilihat dalam konteks kekinian menyongsong pemilu tahun 2024, khususnya dalam konteks perubahan sosial politik kontemporer. Kajian teoritik politik hukum pada partai politik dengan aspek-aspek perkembangan politik masa kini sangat relevan untuk dikaji mengingat reinstitusionalisasi politik yang telah menempatkan partai politik sebagai salah satu instrument terpenting dalam demokratisasi.
Keberadaan partai politik dalam menjalankan beberapa fungsi maupun secara institusional lebih difokuskan pada pemberian manfaat yang sebesar-besarnya kepada masyarakat. 6 Partai politik memiliki berbagai fungsi yang melekat, beberapa di antaranya yakni fungsi political education, fungsi agregasi kepentingan, fungsi penyaluran aspirasi rakyat, dan sebagainya. 7 Fungsi-fungsi tersebut harus dilihat sebagai sesuatu yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.8memberikan kategorisasi pada fungsi partai politik menurut bagiannya, yaitu meliputi: (1) fungsi strategi, terutama dalam mengemban dan menjalankan organisasi politik maupun tugas-tugas kepublikan; (2) fungsi partai politik yang berhubungan dengan electoral; dan (3) fungsi yang melekat dengan pengelolaan terhadap persoalan pemerintahan. 9 Partai politik dalam konteks ini memiliki kemampuan melaksanakan tugas-tugas kepublikan melalui upaya mengambil alih kekuasaan publik melalui proses pemilu electoral maupun mengualifikasikan secara organisatoris pada kepentingan publik melalui mekanisme agregasi serta melaksanakan pemerintahan publik melalui pemerintahan formal 10.
Raison-d’etre dari partai politik adalah mewujudkan aktualisasi visi dan misi organisasi politik yang dimilikinya. Pada kehidupan demokrasi, partai politik sesuai dengan kapasitasnya berjalan sebagai lembaga kaderisasi dan sekaligus sarana pendidikan politik. Modernisasi menjadi penting dalam pengelolaan partai politik pada konteks kontestasi dan kompetisi yang semakin rasional. Hanya partai politik yang kemudian dapat membangun sistem untuk dapat menangkap aspirasi masyarakat dengan diterjemahkan melalui respons atas isu-isu politik yang berkembang. Pada kapasitas ini, kebijakan partai politik yang dianggap populis dan tepat akan berpeluang besar mendapatkan dukungan dari masyarakat. Masyarakat memilih kader-kader partai politik yang dianggap mampu secara riil membantu menyelesaikan persoalan yang masyarakat sedang dihadapi. Kapasitas tersebut berbentuk kontestasi di dalam merebut suara konstituen, terutama dalam memperkuat positioning politik.
Positioning politik 11 dalam agregasi kekuasaan sebagai sebuah konsep telah dikenal di dalam berbagai disiplin. Positioning dianggap sebagai strategi pada konsep pemasaran politi 12 yang memantik perdebatan di kalangan ilmuwan yang memunculkan berbagai formulasi mengenai pengertian kekuasaan dengan penekanan masing-masing sesuai latar belakang ilmu dan konteks sosial yang melingkupinya. Sebagian ahli pada prinsipnya menekankan aspek dominasi (dominance) dan sifat paksaan (coercion) serta ditujukan pada tujuan tertentu. 13 Oleh karenanya, kelompok pandangan ini mengartikan kekuasaan sebagai kemampuan dalam mengerahkan dan memengaruhi pihak lain dalam agenda mewujudkan tujuan tertentu.
Kelompok ahli yang lain memberikan arti kekuasaan sebagai persuasi atau pengaruh oleh karena pengaruh itu dapat dianggap sebagai salah satu bentuk kekuasaan. 14 Dapat ditengarai kondisi ini sebagai aspek bekerjanya kekuasaan. 15 Kondisi tersebut disebabkan oleh pengaruh berusaha mencapai tujuannya dengan jalan meyakinkan (persuasi) dan membujuk atau dengan cara lain seperti memberikan informasi yang lengkap atau menyediakan tenaga ahli atau konsultasi.
Selain itu, terdapat pandangan yang menempatkan kekuasaan adalah netral secara etis. Kekuasaan yang netral artinya adalah kekuasaan an sich tidak bersifat baik, akan tetapi tidak juga dapat dinyatakan buruk. Baik buruknya kekuasaan semata-mata tergantung pada penggunaannya belaka serta harus dilihat tidak saja mengandung aspek negatif, tetapi juga memuat aspek positif. 16 Sebagai contoh, kekuasaan dilihat tidak dalam artian membatasi alternatif untuk bertindak, tetapi justru memperbesar dan memperluas alternatif untuk bertindak. 17 Kekuasaan berdasarkan pandangan-pandangan tersebut dapat dimengerti sebagai hubungan (relationship) antara dua atau lebih individu atau kesatuan. Kekuasaan dianggap bersifat relasional sehingga
mengandung aspek subjektif dan akan selalu berbentuk relasi sosial. Pada hakikatnya, kekuasaan terkait dengan kekuatan, kemampuan, dan kesanggupan untuk berbuat sesuatu atau wewenang terhadap sesuatu.
Bertautan dengan uraian di atas, Negara dapat dilihat dari level formal dan substantif. Menurut level formal, Negara diartikan sebagai sebuah kekuasaan publik di atas pemerintah dan yang diperintah di mana menyediakan aturan dan melanjutkan pemerintahan Negara 18 yang dengan demikian secara umum menunjukkan bahwa Negara merupakan sebuah kekuasaan publik yang memiliki karakter tertentu (sesuai dengan bingkai pandangan yang digunakan) dan berhubungan dengan pengaturan lembaga, administrasi, pemerintah, kemanusiaan, kekuasaan, dan kemampuan.
Konsepsi kekuasaan publik dengan pembagian kekuasaan telah muncul sejak Aristoteles dengan menyebut adanya tiga fungsi yang berperan dalam suatu Negara, yakni: (1) permusyawaratan mengenai permasalahan umum; (2) pengorganisasian jabatan atau pejabat-pejabat; dan (3) fungsi-fungsi peradilan. 19 Pandangan ini diikuti oleh 20 dengan merumuskan kekuasaan tandingan karena adanya keyakinan bahwa hanya dengan itu memungkinkan bentuk mengawasi kekuasaan sehingga mendorong terciptanya kebebasan yang maksimal. Perkembangan teori ini menjelma ke dalam berbagai Negara modern melalui pelembagaan sistem ketatanegaraan dan hukum di semua aspek kelembagaan politik hukum dan tatanan partai politik yang bervariasi, termasuk dalam ketatanegaraan RI menurut UUD 1945 yang mengindikasikan Negara kekuasaan sesuai amanah konstitusi.
-
a. Kekuasaan Partai Politik dan Jubah Reformasi
Kekuasaan partai politik seharusnya memiliki peranan kuat di dalam proses mengatasi amnesia politik, utamanya berkaitan dengan peristiwa-peristiwa kekerasaan politik masa lalu 21. Namun, apa yang tampak di dalam orientasi perjuangan partai politik cenderung tidak memprioritaskan penyelesaian secara tuntas terhadap berbagai kasus kekerasan politik yang dilakukan oleh rezim masa lalu. Sebagian besar perhatian partai politik menurut Suzane Keller hanya berfokus pada kepentingan individu (orang kuat partai) 22 atau kelompok politisi. Kondisi tidak kondusif yang disebabkan oleh partai politik tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, di dalam tubuh partai politik, muncul dominasi kuat dari semangat pragmatisme politik dan oportunisme yang mereduksi partai politik menjadi prevalence atau kelaziman ajang kepentingan individu elite. 23 Artinya, sebagaimana menurut Suzane Keller, politik dipandang sebagai pertarungan kepentingan, bukan lagi
dipertimbangkan dalam nilai-nilai yang beradab. 24 Partai politik dengan demikian cenderung memaknai solidaritas secara sempat, yakni sebagai ikatan kepentingan (politik) semata. Ketika salah satu kader maupun kolega terlibat dalam suatu kasus, partai politik perlu mengambil tindakan hukum pengayom. Namun, partai politik cenderung selektif dalam mengangkat berbagai isu politik, dengan mengevaluasi sejauh mana isu yang berkembang bersifat pragmatis atau praktis maupun berguna bagi kebutuhan sesaat. Maka, dalam konteks ini, isu-isu yang dianggap tidak memenuhi unsur-unsur tersebut akan segera disisihkan.
Kedua, masih terdapat kesadaran yang keliru bahwa partai politik adalah kesatuan dari individu-individu yang membawa kepentingan pribadi. 25 Realitas yang muncul adalah dominasi kepentingan para elite politik memiliki kecenderungan dimutlakkan menjadi kepentingan umum partai politik. Permasalahan yang biasanya timbul ada di saat para elite partai melakukan subordinasi aspirasi publik atau konstituen dalam menjalankan kepentingan individu mereka.
Ketiga, partai politik dewasa ini cenderung berposisi tidak jelas dalam berideologi. 26 Ideologi sebagai sistem nilai yang seharusnya diinternalisasikan kepada kader-kader partai politik tidak ditanamkan melalui pendidikan politik yang baik. Maka, partai politik menjelma menjadi akumulasi kepentingan politik tanpa platform atau visi misi yang akan mendasari formulasi program kerja yang tepat sasaran. Pemikiran-pemikiran distinctive atau khusus, massif, teruji, dan konsisten pada akhirnya tidak dapat berkembang secara optimal, bahkan berpotensi mengalami kemunduran. Partai politik kemudian berjalan dengan kiprah-kiprah perpolitikan yang didasarkan pada kepentingan kekuasaan.
Keempat, partai politik cenderung mengutamakan sasaran jangka pendek 27. Suksesi politik lima tahunan di pusat atau perebutan kursi nomor satu di daerah menjadi fokus utama. Ketika partai politik hanya menjadi kendaraan politik belaka, maka nilai-nilai Machiavellian yang menempatkan kekuasaan sebagai tujuan mudah terserap sehingga partai politik bukan lagi menjadi sarana memperjuangkan kesejahteraan umum. Kewajiban partai politik untuk mengupayakan pelayanan terbaik kepada rakyat akhirnya menjadi terabaikan. Partai politik bukan sekadar untuk sekelompok elite politik, kader, maupun simpatisan partai politik. Partai politik harus ditempatkan untuk menjalankan tanggung jawab dalam memberikan kontribusi kepada kepentingan publik 28.
Kelima, memang terdapat peremajaan pada partai politik secara empirik. 29 Namun, realitas yang terjadi di beberapa partai politik masih didominasi oleh tokoh-tokoh tua
pada masa transisi demokrasi. Tokoh-tokoh tersebut masih menentukan gerak dinamika partai politik sehingga yang terjadi adalah muncul kecenderungan melakukan transformasi hanya pada tataran aktor, tidak bagi tataran normatif. Orang-orang di dalamnya berubah, tetapi tidak dengan rezim. Kondisi yang sedemikian sulit dapat memunculkan pertanyaan mengenai bagaimana fungsi partai politik dapat berjalan merumuskan cita-cita politik, mengartikulasikan kepentingan politik, memberikan pencerahan, menggalang politik masyarakat secara konstruktif, hingga merekrut dan membina elite pemerintahan.
Meskipun format politik dalam perkembangannya, khususnya konstitusi dan rangkaian undang-undang tentang politik, mengalami perubahan, pendukung format politik masih di tangan elite politik lama yang menggunakan jubah reformasi. 30 Padahal, format dan para pelaksana utama itulah yang disebut rezim. Kini, hanya sedikit dari entitas rezim yang berganti, oleh karena partai politik tidak bisa lepas dari format politik yang demikian. Maka, kecil kemungkinan partai politik mau menyentuh warisan kasus-kasus kekerasan politik masa lalu yang jelas dilakukan oleh rezim sebelumnya, bahkan oleh penerusnya. Hal ini mengacu pada teori populisme dari analisis Laclau sebagai bentuk political logic dan particular demand, sebagai antitesis dari keadaan masyarakat saat ini, dengan gaya kepemimpinan dan cara bertindak „atas nama rakyat‟ dan „anti kemapanan‟. Populis sebagai subjek politik dengan gagasan populisme memiliki identitas yang membedakan dirinya dengan aktor politik lainnya. Hubungan subjek politik dengan struktur kekuasaan dalam menjadi penting untuk dielaborasi. Pembentukan agensi-agensi politik sebagai subjek kekuasaan pada dasarnya merupakan bagian penting dari persoalaan pembentukan identitas politik, khususnya dalam pembentukan atau konstruksi politik tentang „saya I‟ dan „orang lain the other‟ sebagai subjek politik, atau konstruksi tentang „saya I‟ mewakili „kita We‟ dihadapan „mereka they‟. Konstruksi tentang „I – O‟ atau „I = We – They‟, ini saling mendeterminasi dan secara konstitutif membentuk identitas politik sebagai subjek kekuasaan atau agensi politik 31. Hal mengenai pembentukan identitas politik agensi ini yang kemudian serupa dengan pelekatan identitas pemimpin populis yang selalu mengacu „atas nama rakyat‟ yang membedakan kedudukan antara „Kita Vs Mereka‟, dimana „kita‟ adalah lowest sector society yang diperjuangkan dan „mereka‟ adalah para elit politik yang dianggap tidak peduli dan bertanggungjawab terhadap masalah publik terutama masyarakat yang terksklusi. Identitas ini menjadi instrumen demokrasi yang membuat para aktor populis berjuang untuk meraih kesetaraan politik dengan memasuki ranah politik, termasuk melalui pemanfaatan teknologi media digital.
-
b. Membaca Pergeseran Pemilih pada Partai Politik
Menjelang pemilu 2024, partai politik berpotensi mengalami tantangan dalam memperjuangkan raihan elektoral. Kompas pada Oktober 2022 merilis survei mengenai potensi pergeseran pemilih pada partai politik yang memunculkan dua fenomena.
32Pertama, pemilih berpotensi berjarak dengan partai politik. Kedua, kerapuhan pilihan pemilih pada partai politik sebab besarnya ketergantungan pada sosok calon presiden yang diusung partai politik. Survei menyebut adanya kemunculan fenomena: loyalitas, yaitu kesetiaan pemilih dalam memilih partai politik yang sama dengan pilihannya di pemilu 2019; dan volatilitas, sebagai gejala pergeseran kesetiaan pemilih dalam memilih partai politik pilihan sebelumnya ke partai politik lainnya 33.
Sejumlah 9 partai politik pemilik kursi di DPR-RI yang sudah dipastikan lolos menjadi peserta pemilu 2024 mengalami penurunan loyalitas pemilih. Menariknya, hal ini dialami oleh partai politik yang dikenal memiliki kedekatan dengan pemilihnya karena kekuatan pada faktor nilai identitas dan ideologi, yaitu PDI Perjuangan dan Partai Keadilan Sejahtera. Sementara itu, Partai Kebangkitan Bangsa yang masuk ke dalam kategori ini justru lebih stabil loyalitas pemilihnya 34.
Data Pergeseran Pemilih Partai Politik dalam Persen Loyalitas
No |
Partai Politik |
Januari 2022 |
Juni 2022 |
Oktober 2022 |
Rata-Rata |
1 |
PDI-P |
71.3 |
68.0 |
65.3 |
68.2 |
2 |
Gerindra |
62.5 |
60.2 |
60.7 |
61.1 |
3 |
Golkar |
63.0 |
78.1 |
56.6 |
65.9 |
4 |
PKB |
78.4 |
81.6 |
82.1 |
80.7 |
5 |
Demokrat |
66.1 |
68.9 |
64.3 |
66.4 |
6 |
PKS |
75.0 |
73.9 |
65.2 |
71.4 |
7 |
Nasdem |
55.0 |
62.0 |
63.3 |
60.5 |
8 |
PAN |
50.0 |
61.5 |
40.6 |
50.7 |
9 |
PPP |
54.8 |
63.2 |
38.9 |
52.0 |
Volatilitas
No |
Partai Politik |
Januari 2022 |
Juni 2022 |
Oktober 2022 |
Rata-Rata |
1 |
PDI-P |
28.7 |
32.0 |
34.7 |
31.8 |
2 |
Gerindra |
37.5 |
39.8 |
39.3 |
38.9 |
3 |
Golkar |
37.0 |
21.9 |
43.4 |
34.1 |
4 |
PKB |
26.1 |
18.4 |
17.9 |
19.3 |
5 |
Demokrat |
33.9 |
31.1 |
35.7 |
35.6 |
6 |
PKS |
25.0 |
26.1 |
34.8 |
28.6 |
7 |
Nasdem |
44.4 |
37.5 |
36.7 |
39.5 |
8 |
PAN |
50.0 |
38.5 |
59.4 |
49.3 |
9 |
PPP |
45.2 |
37.7 |
61.1 |
48,0 |
Sumber Data: Litbang Kompas
Loyalitas pemilih partai politik memiliki hubungan timbal balik, yaitu keputusan memberi dukungan dan suara tidak akan terjadi jika tidak ada loyalitas pemilih yang
cukup tinggi kepada partai politik pilihannya. 35 Tentu kondisi yang sama juga akan terjadi, yaitu pemilih tidak akan memberikan suara jika penilaian terhadap partai politik adalah tidak layak serta tidak konsisten terhadap janji dan harapan yang diberikan. Apa yang terjadi adalah terjadi penurunan terhadap kesetiaan pemilih yang dialami oleh sebagian besar partai politik di parlemen berkontribusi pada volatilitas, yaitu menyentuh angka 35,9 persen. Maknanya, terdapat sepertiga lebih pemilih partai politik berpotensi bergeser pilihan politik ke partai politik lain di pemilu yang akan dating 36. Volatilitas dapat terjadi berkaitan dengan berbagai faktor, yaitu ekonomi, stabilitas sistem kepartaian, elite politik, ideologi, segmentasi kultural, kerapuhan dalam kelembagaan, alternasi pola pemerintahan, hingga pembilahan sosial. 37 Volatilitas electoral memiliki karakteristik yang menyebabkan swing voters menerima klientelisme 38 electoral sebagai norma politik, yaitu keterbatasan dalam ikatan emosional, rendahnya minat pada pertarungan electoral, dan adanya kepentingan individu. 39Maka, fenomena tersebut berpotensi memberikan tantangan bagi partai politik, terlebih tren yang terjadi bahwa partai politik dalam meraup electoral biasanya dipengaruhi oleh siapa calon presiden yang akan diusung.
-
c. Kontestasi Pemilu 2024 dan Demokratisasi Digital
Lahirnya partai politik baru di dalam Negara demokrasi adalah keniscayaan yang tidak terhindarkan. Semakin demokratis suatu bangsa, semakin besar partisipasi politik dan keterlibatan publik. Melalui banyaknya pilihan institusi bagi masyarakat untuk memperjuangkan keinginan sosial, partai politik menjadi sangat berkepentingan menjaring dukungan seluas-luasnya untuk memperkuat posisi dan perannya. Masyarakat di sisi lain memiliki otoritas penuh untuk memilih satu di antara partai politik yang terbaik menurutnya. Terlebih, perkembangan media digital telah memudahkan akses masyarakat untuk berjejaring, utamanya pada partisipasi politik. Pengalaman kontestasi pemilu di tahun sebelumnya telah memberikan cerminan semakin terbukanya demokrasi sebagai arena masuknya era digital. Pesatnya peningkatan penggunaan media digital di Asia Tenggara tidak hanya membuka ruang aktivisme oleh kelompok oposan, tetapi juga menjadi tantangan bagi demokrasi yang harus berhadapan dengan masuknya otoritarianisme politik melalui kontrol terhadap internet. 40Indonesia sebagaimana diketahui mengalami peningkatan pengguna internet sebesar 5 kali lipat di tahun berbanding tahun 2011, dengan aktif berselancar di internet rata-rata 9 jam perhari –jauh melebihi rata-rata global di bawah 7 jam perhari. 41 Arena
pemilu tahun 2024 di Indonesia kemudian berpotensi memunculkan praktik-praktik kontrol di ruang digital, termasuk bagi partai politik yang akan mengalami tantangan disrupsi politik.
Digitalisasi memaksa partai politik untuk dapat dengan cepat beradaptasi menguatkan pengaruhnya di ruang digital. Kekuasaan, dengan menguatnya teknologi digital, bergeser dari sekadar Negara menuju kombinasi antara politik dan korporasi media 42. Situasi ini menegaskan kekuasaan politik yang terkonsentrasi pada pemilik media, dalam hal ini sekaligus menjalankan perannya sebagai politisi, bahkan menjadi pimpinan partai politik.
Algoritma perusahaan teknologi digital menghasilkan peluang bagi partai politik untuk menjadikannya sebagai pasar untuk menjaring simpatisan. Kondisi ini mengingat perilaku politik masyarakat, baik sebagai pemilih, konsumen, maupun warganet di era digital yang dikontrol oleh algoritma media digital yang menyediakan dan mendikte orientasi memilih hingga preferensi pilihan politik 43. Proliferasi saluran interaksi sosial secara daring yang dibentuk juga dapat memfasilitasi konsolidasi demokrasi 44.
Akibatnya, arena politik yang seharusnya dibangun melalui demokrasi yang baik harus berhadapan dengan hasrat politik yang hanya mementingkan citra. Bahkan, dinamika politik yang belakangan dipenuhi hiruk pikuk ujaran kebencian, kampanye hitam, hingga penyebaran berita bohong yang secara terus-menerus direproduksi di media digital akan menurunkan kualitas demokrasi itu sendiri. Padahal, memaknai pesta politik harus dilakukan dengan memastikan kedaulatan pemilih sehingga tercapai tingkat demokrasi yang berkualitas tinggi. Boleh jadi logika yang digunakan oleh elite mengarah pada pemilih diibaratkan sebagai konsumen dalam sebuah pasar. Namun, pertimbangan atas perhitungan pasar serta rekam jejak haruslah diseimbangkan.
Tentu, partai politik perlu dipoles sedemikian rupa untuk dapat menguasai pasar, dengan catatan tetap mematuhi batasan. Partai politik kemudian menjadi ibarat produk barang dan jasa yang mengharuskan menjual, memasarkan, hingga menyosialisasikan dirinya sehingga digandrungi konsumen potensial yang dapat menjelma menjadi pendukung tetap 45 . Ketertarikan akan muncul ketika partai politik mampu mendayagunakan segala potensi sumber daya yang memungkinkan untuk membentuk citra baik dan dapat memperlihatkan keunikan yang memikat pemilih. Maka, penting bagi partai politik untuk memiliki marketing politik yang dapat menunjukkan kekhasan dan daya pikat khalayak luas yang biasanya tercermin dari ideologi yang diusung 46.
Kekhawatiran muncul akibat partai politik dalam momentum menuju pemilu tahun 2024 yang cenderung memperlihatkan kepada publik bahwa politik dimaknai sebagai pasar ketimbang sebagai forum demokrasi. Politik dalam konteks sebagai pasar merupakan aktivitas jual beli atau pertukaran politik dengan pengukuran terhadap
kandidat politik dalam meraih elektabilitas dan maupun mendulang popularitas. Sementara itu, politik dalam konteks sebagai forum menitikberatkan bukan pada peluang keterpilihan, melainkan keberlanjutan kehidupan republik pascamomentum electoral, dengan keterpilihan berdasarkan rekam jejak serta kemampuan menjawab tantangan yang belum terselesaikan pada periode kepemimpinan sebelumnya 47.
Namun, pembacaan Ben Saunders terhadap argumen politik sebagai pasar dan forum oleh Rawls dan Elster memunculkan kontras yang menarik. Secara tradisional, antara pasar dan forum berbeda dalam hal operasi dan perilaku, menyangkut keadaan alami 48 dan konvensi konstitusional 49 dalam setiap pengambilan keputusan. 50 Perbedaan di antara keduanya dalam realitas hanya berdasarkan derajat dan bukan jenis. Maka, seharusnya bagi individu diizinkan untuk mempromosikan kepentingan pribadi, tetapi tetap tunduk pada batasan yang telah diatur oleh keadilan. 51Arena politik kemudian secara praktik dan ideal memang tidak dapat selalu sama dengan pasar dan tidak selalu bebas dari kepentingan pribadi. Pendapat ini berkaitan dengan realitas politik menyongsong pemilu tahun 2024 yang perlu menyeimbangkan kedua konteks tersebut. Saat kontestasi politik hukum oleh partai politik mulai memasuki pusaran yang lebih intens, maka secara normatif, tanggung jawab serta konsekuensi hukum dari kepentingan partai politik terhadap konstituennya harus menunjukkan transparansi di ruang publik. Pada konteks ini, proses politik jikalau memang perlu untuk dilabelkan pada konteks pasar dan prosedur forum demokrasi harus bisa memberikan keyakinan pada massa pendukung karena pertimbangan politik ini akan mengikuti tanggung jawab politik hukum oleh partai terhadap pendukungnya baik dalam penjabaran program dan kontrak politik.
Dinamika politik akan selalu berjalan dengan cepat memasuki tahun-tahun pemilu. Setiap kekuatan politik semakin kencang dalam menyiapkan diri untuk membangun kekuatan, menjalin aliansi politik, hingga mengomunikasikan kemungkinan-kemungkinan figur elite yang berpeluang tampil, sebagaimana dalam pemilihan presiden mendatang. Menjelang akhir tahun 2022, ditandai dengan munculnya Partai NasDem yang mengumumkan Anies Baswedan untuk pemilu tahun 2024. Begitupun juga yang terjadi menjelang Hari Raya Idulfitri 2023, PDI Perjuangan kemudian menyusul mengumumkan Ganjar Pranowo sebagai kader yang diusung sebagai calon presiden. Namun, jauh sebelum itu, berbagai kandidat telah diumumkan lebih dahulu, sebagaimana Prabowo Subianto yang diusung oleh Partai Gerindra dan Airlangga Hartarto yang diusung oleh Partai Golkar. Dengan demikian, status hukum formal politik kandidat-kandidat tersebut telah diputuskan dalam rapat pimpinan partai sehingga kemudian disampaikan kepada publik.
Apa yang perlu dilacak hari ini adalah indikasi pada lembaga partai politik yang justru cenderung membawakan ciri sosial politik lama yang bersandar pada sebuah tujuan:
machtsvorming dan machtsaanmwednding. 52 Politik yang dipahami sebagai usaha-usaha menuju kekuatan dan kekuasaan menyebabkan kehidupan berpolitik yang menghasilkan struktur: politik adu kekuatan, kalkulasi kawan-lawan, dan antagonis, yang dapat menghasilkan power struggle yang berpotensi menyebabkan friksi. 53 Kondisi ini, dalam era digital, menyebabkan demokrasi hanya akan diwarnai dengan segala daya upaya untuk menggapai kekuasaan, dengan meminggirkan kepenting khalayak. Kompleksitas proses politik menjelang pemilu tahun 2024 akan berhadapan dengan kemunculan pemilih pemula maupun pemilih generasi Z yang lekat dengan penguasaan media digital. Partai politik sebagai pilar demokrasi kemudian perlu mengambil berperan secara signifikan untuk dapat menjadi salah satu motor pendidikan politik yang baik. Ruang digital melalui media sosial dapat dimanfaatkan sedemikian rupa untuk menghadirkan gagasan politik maupun menangkap segala keresahan berdasarkan karakteristik generasi Z 54 melalui konten-konten yang diproduksi secara kreatif. Peluang ini harus dimanfaatkan sebaik-baiknya mengingat generasi Z dikenal memiliki afinitas dalam menangkap informasi di media sosial dengan cepat dan dinamis 55.
Lebih dari itu, partai politik pun harus mengawal keterlibatan rakyat secara baik dan benar serta memenuhi tanggung jawab hukum di dalam proses pemilu yang nantinya berlangsung. Tindakan hukum diperlukan karena dapat mereduksi praktik impunitas dan sekaligus membangun jaminan penegakan keadilan hak warga Negara dalam pesta demokrasi. Maka, jaminan terhadap semua warga Negara yang berada dalam koridor perlindungan hak-hak kewarganegaraan dalam sistem Negara hukum akan terwujud. Eksistensi status quo kekuasaan menyangkut kredibilitas sistem politik hukum dalam kelembagaan partai politik perlu untuk lebih terbuka karena partai politik dalam berdemokrasi melegalkan rakyat sebagai pemberi mandat kekuasaan. Kekebalan hukum diharapkan tidak tercipta bagi siapapun elite partai politik ketimbang rakyat yang sepatutnya diutamakan dalam berdemokrasi. Partai politik perlu meningkatkan kepedulian dan kepekaan dalam menuntun transformasi masyarakat menuju fase demokrasi digital. Penekanan pada fase tersebut haruslah berbentuk penghormatan tinggi pada kesetaraan martabat manusia.
Tendensi otoritarian terhadap situasi demokrasi Indonesia menjadi paradoks di dalam hakikat sebuah Negara yang seharusnya berdasarkan kedaulatan rakyat. 56 Argumentasi yang dapat ditonjolkan adalah segala yang dilakukan di negara oleh elite partai politik yang ditujukan pula pada partai politik tidak lain merupakan elitisme berkedok demokrasi yang tidak bisa hadir dengan sendirinya. Apa yang terjadi adalah eratnya ikatan dengan partai politik sebagai institusi yang hingga kini bergulir berkenaan langsung dengan praktik partai politik. 57Partai politik kartel, sebagai sebuah
istilah yang menggambarkan ekspresi kepuasan elitisme terhadap pihak yang tunduk pada pemilik kekuasaan karena mendapat imbalan tertentu, muncul meski terdapat upaya untuk perbaikan 58.
Kondisi pascapandemi Covid-19 menjadi momentum dalam menghadapi tantangan terbesar untuk membangkitkan rakyat. Partai politik perlu untuk mendorong lahirnya figur yang mampu membangun narasi kepada rakyat untuk bangkit dan bergerak. Pembangunan ke depan harus dijalankan dalam kerangka partisipatoris, melalui rakyat sebagai subjek utama. Figur tersebut juga harus membangun komitmen dan mampu merawat kebangsaan dan demokrasi agar substansi politik hukum layaknya instrumen regulasi dapat lahir dari wakil mandat berdasarkan pemilu yang jujur, kepastian hukum terhadap pemenuhan hak-hak warga negara, sekaligus menjamin ruang kerakyatan dalam kerangka kebangsaan. Berbagai penentuan kriteria ini perlu diperkuat agar kita dapat melepas hantu polarisasi sosial menuju perhelatan demokrasi sesuai dengan konsensus kebangsaan.
Pemikiran hukum serta kekuasaan partai politik dalam kerangka demokrasi menyongsong pemilu tahun 2024 merupakan momentum politik hukum yang dapat menjelma sebagai sebuah institusi demokratis yang setia dengan nilai dan praktik demokrasi. Demokrasi tidak bisa hidup tanpa partai politik, tetapi boleh jadi berpotensi dikhianati. Namun, mengkhianati demokrasi tentu akan memberikan preseden buruk bagi kualitas politik kebangsaan. Partai politik harus mampu mengonstruksi demokrasi internal secara lebih matang. Partai politik dengan demikian juga perlu mendekonstruksi segala cara pandang hingga tata kelola internal partai yang terkadang tidak kondusif bagi penguatan internal demokrasi menuju demokrasi digital yang dicita-citakan.
Penanaman nilai-nilai demokrasi harus dilihat secara benar hati-hati. Apabila demokrasi dimaknai sebagai pemerintahan yang menjamin rakyat untuk bersuara atau sebagai bagian dari akuntabilitas sistem pemerintah, kedua hal ini tidak selamanya sama. Basis demokrasi partai politik ada pada kekuasaan elite, sementara proses demokrasi menuju pada peningkatan kualitas sistem dan bukan berintikan pada kesempatan mendulang suara. Jika suara rakyat terus mengalami perbaikan dalam mengawal partai politik yang demokratis, maka mekanisme akuntabilitas dari kekuasaan partai politik yang dilalui dengan demokratisasi digital di Indonesia sudah memasuki fase baru: mengompilasi kekuasaan rakyat. Perkembangan digital yang sangat dekat dengan pemilih pemula di masa kini tentu menjadi peluang dan mempermudah demokrasi untuk terus berproses yang melibatkan Negara, partai politik, dan masyarakat.
Daftar Pustaka
Alami, Athiqah Nur et al. “Democratization in the Digital Era: Experience from Southeast Asia.” Journal of ASEAN Studies (2022).
Barokah, Fitria et al. “Disrupsi Politik.” Nakhoda: Jurnal Ilmu Pemerintahan (2022).
Bates, Don et al. “Social Marketing: Strategies for Changing Public Behavior.” Journal of Marketing (1991).
Binet, Olivier. “Democracy and decision: The pure theory of electoral preference.” European Journal of Political Economy (1995).
Block, Fred. “The Ruling Class Does Not Rule: Notes on the Marxist Theory of the State.” In The Political Economy, 2021.
Bottomore, T. B. Sociology as social criticism. Sociology as Social Criticism, 2012.
Budiarjo, Miriam. “Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT.” Gramedia Pustaka Utama (2008).
Cohler, Anne M. “Montesquieu: The Spirit of the Laws.” Cambridge texts in the history of political thought (1989).
Dmitriev, Timofey A. “The political theology of Thomas Hobbes’ Leviathan.” Russian Sociological Review (2018).
Firmanzah. “Mengelola partai politik: komunikasi dan positioning ideologi politik di era demokrasi.” Yayasan Obor Indonesia, 2008.
Frenki, Frenki. “Politik hukum dan perannya dalam pembangunan hukum di indonesia pasca reformasi.” Jurnal Asas (2011).
Habibi, M. “A regional head election’s political corruption and new styles of clientelism Korupsi politik pemilihan kepala daerah dan klientelisme gaya baru.” E-Journal.Unair.Ac.Id (2021).
Hakim, Muhammad Zulfan, and Fajlurrahman Jurdi. “Immature Politicians and Oligarchy As a Threat to Democracy.” FIAT JUSTISIA:Jurnal Ilmu Hukum (2018).
Hermawan, Candra, Iyep. “Implementasi Pendidikan Politik Pada Partai Politik di Indonesia.” Jurnal.Unsur.Ac.Id (2020).
Indrajaya, Stefiani Emasurya, and Lukki Lukitawati. “Tingkat Kepercayaan Generasi Z terhadap Berita Infografis dan Berita Ringkas di Media Sosial.” Jurnal Komunikasi (2019).
Kadir, A. Gau. “DINAMIKA PARTAI POLITIK DI INDONESIA.” Sosiohumaniora (2014).
Karyanti, Tri. “Elite dan Integrasi Sosial dalam Masyarakat Pagersari, Mungkid, Magelang 1967-1988.” Jurnal Sejarah Citra Lekha (2018).
Katz, Richard S., and Peter Mair. Democracy and the cartelization of political parties. Democracy and the Cartelization of Political Parties, 2018.
Keyt, David. “Aristotle’s Political Philosophy.” In A Companion to Ancient Philosophy,
2012.
Kidd, Michael. “The spirit of the law.” Journal of Human Values (2000).
King Faisal Sulaiman. “Zero Pilkada 2020.” Kedaulatan Rakyat, 2019.
KOMISI PEMILIHAN UMUM. “Berikut 24 Partai Politik Peserta Pemilu 2024,” 2022. Available: https://www.kpu.go.id/berita/baca/11315/berikut-24-partai-politik-peserta-pemilu-2024.
Kunkunrat, Kunkunrat, and Ade Priangani. “PARTAI POLITIK DAN INKONSISTENSI KOALISI DALAM PEMILU 2014 DAN 2019.” Paradigma POLISTAAT Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (2019).
Kustiawan, Winda. dkk. “Pentingnya Propoganda Politik Menuju Pilpres 2024.” Pentingnya Propoganda Politik Menuju Pilpres 2024 (2022).
Maddox, Graham. “Karl Loewenstein, Max Lerner, and militant democracy: an appeal to ‘strong democracy.’” Australian Journal of Political Science (2019).
Martin, Alexander P. Tunisian civil society: Political culture and democratic function since 2011. Tunisian Civil Society: Political Culture and Democratic Function Since 2011, 2020.
Mawazi, Abd. Rahman. “Dinamika Partai Politik dalam Sistem Presidensial di Indonesia.” IN RIGHT: Jurnal Agama dan Hak Azasi Manusia (2017).
McAndrew, Francis T. “ Book Review: What Men Endure to Be Men: A review of Jonathan Gottschall, The professor in the cage: Why men fight, and why we like to watch .” Evolutionary Psychology (2015).
Mujani, Saiful, R. William Liddle, and Kuskridho Ambardi. Voting behavior in Indonesia since democratization: Critical democrats. Voting Behavior in Indonesia since
Democratization: Critical Democrats, 2018.
Noor, Firman. “Evaluasi Kondisi Kepartaian 14 Tahun Reformasi Dalam Perspektif Pelembagaan Sistem Kepartaian.” Masyarakat Indonesia (2021).
Notomi, Noburu. “Socrates and the Sophists: Reconsidering the History of Criticisms of the Sophists.” Humanities (Switzerland) (2022).
Noviani, Ratna. “Politik Representasi di Era Serbamedia.” In Gerak Kuasa: Politik Wacana, Identitas, dan Ruang/Waktu dalam Bingkai Kajian Budaya dan Media, 2020.
Powell, Eleanor Neff, and Joshua A. Tucker. “Revisiting electoral volatility in postcommunist countries: New data, new results and new approaches.” British Journal of Political Science (2014).
Presiden Republik Indonesia. UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2011.
INDONESIA, 2011. Available:
https://jdih.kpu.go.id/data/data_uu/UU_2011_2.pdf.
———. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM, 2017. Available:
https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt59ba5511ab93b/node/534/ undang-undang-nomor-7-tahun-2017.
Rahman, Muhammad Sigit Andhi, and Ella S Prihatini. “Political Parties in Indonesia and the Internet: A comparative analysis.” AEGIS: Journal of International Relations (2019).
Riamona S.Tulis. “Paradigma Pemilihan Umum dan Kepentingan Politik.” Journal Ilmu Sosial, Politik dan Pemerintahan (2021).
Ries, Al, and Jack Trout. Positioning: The Battle for Your Mind: McGraw-Hill Professional, 2001.
Roring, Novance Silitonga & Franky P. “Politik Digital: Strategi Politik Elektoral Partai Politik.” Jurnal Communicology (2023).
Saunders, Ben. “Democratic politics between the market and the forum.” Political Studies Review (2012).
Singh, Inderpal, and Shailey Singh. “The hype machine: How social media disrupts our elections, our economy and our health‐ and how we must adapt.” Business and Society Review (2021).
Sinpeng, Aim. “Digital media, political authoritarianism, and Internet controls in Southeast Asia.” Media, Culture and Society (2020).
Staubmann, Helmut. “C. Wright Mills’ The Sociological Imagination and the Construction of Talcott Parsons as a Conservative Grand Theorist.” American Sociologist (2021).
Swanzen, Rika. “FACING THE GENERATION CHASM: THE PARENTING AND TEACHING OF GENERATIONS Y AND Z.” International Journal of Child, Youth and Family Studies (2018).
Syawawi, Reza. “MEMUTUS OLIGARKI DAN KLIENTELISME DALAM SISTEM POLITIK INDONESIA MELALUI PEMBAHARUAN PENGATURAN PENDANAAN PARTAI POLITIK OLEH NEGARA.” Jurnal Legislasi Indonesia (2021).
Trijono, Lambang. “Reaktualisasi Politik Demokrasi: Politik Agensi dan Revitalisasi Kelembagaan Demokrasi.” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (2011).
Wahidin, Danis Tri Saputra et al. “Partai Politik dan Perilaku Pemilih Di Indonesia (Studi Pada Pemilu Legislatif 2009, 2014, dan 2019).” Journal of Government and Civil Society (2020).
Walsh, A. J. “A Theory of Justice: Revised Edition.” Australasian Journal of Philosophy (2001).
Wardhani, Lidya Christina. “Pengaruh Koalisi Partai Politik Terhadap Pelaksanaan Sistem Presidensil di Indonesia.” Justitia Jurnal Hukum (2019).
Worthy, Ben, and Riley Quinn. The Prince. The Prince, 2017.
612
Discussion and feedback