Efektivitas Penegakan Hukum Pemilu (Peran Bawaslu Kota Sungai Penuh dalam Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2020)

Ansorullah1, Iswandi2, Firmansyah Putra3

1Fakultas Hukum Universitas Jambi, E-Mail: [email protected],

  • 2Fakultas Hukum Universitas Jambi, E-Mail: [email protected]

  • 3Fakultas Hukum Universitas Jambi, E-Mail: [email protected]

    Info Artikel

    Masuk: 12 Desember 2022

    Diterima: 23 Mei 2023

    Terbit: 27 Mei 2023

    Keywords:

    Law Enforcement, General

    Election


    Kata kunci:

    Penegakan Hukum, Pemilihan

    Umum

    Corresponding Author:

    Ansorullah, E-mail: [email protected]

    DOI:

    10.24843/JMHU.2023.v12.i01.

    p10


Abstract

sekunder yang kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis data kualitatif. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat beberapa masalah dalam penegakan hukum pemilu, yaitu: Masih lemahnya pengaturan terkait mekanisme dan prosedur dalam penegakan hukum tindak pidana pemilu. Perbedaan sudut pandang tentang peran, wewenang dan tanggung jawab antara Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan. Partisipasi masyarakat yang masih belum optimal dalam rangka pengawasan pemilu, serta menghitung kembali biaya pengorganisasian dalam penganan kasus pelanggaran pemilu.

  • I.    Pendahuluan

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), Pemilihan umum sebagai cerminan dari pelakasanaan demokrasi yang kemudian ditegaskan dalam Pasal 1 Ayat (2) UUD NRI 1945 yang menyatakan: Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Kemudian dipertegas dalam Pasal 22 E Ayat (1) yang menyatakan bahwa: Pemilihan umum diselenggarakan secara langsung, umum, bebas dan rahasia.

Dalam praktek ketatanegaraan di masa transisi demokrasi yang berlangsung pada kurun waktu 1998 sampai saat ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya untuk mewujudkan konsolidasi demokrasi yang tangguh dan handal.1 Sejak 2013 level demokrasi di Indonesia turun dari free democracy menjadi partly free democracy. Namun, penurunan yang cukup signifikan terjadi pada tahun 2016 sampai 2020. 2 Demokrasi menempatkan manusia sebagai pemilik kedaulatan yang kemudian dikenal dengan prinsip kedaulatan rakyat. Berdasarkan pada teori kontrak sosial, untuk memenuhi hak-hak tiap manusia tidak mungkin dicapai oleh masing-masing orang secara individual, tetapi harus bersama-sama. Maka dibuatlah perjanjian sosial yang berisi tentang apa yang menjadi tujuan bersama, batas-batas hak individual, dan siapa yang bertanggungjawab untuk pencapaian tujuan tersebut dan menjalankan perjanjian yang telah dibuat dengan batas-batasnya.3

Pengaturan terkait dengan penyelenggara pemilu dan pemilihan Kepala Daerah saat ini menggunakan beberapa Undang-Undang, yakni: Pertama, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Kedua, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada).

Penyelenggaraan pemilu tidak terlepas dari lembaga kepemiluan yaitu oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sesuai dengan UU Pemilu dan UU Pilkada. Kedua lembaga tersebut tentu saja memiliki peran yang sangat penting guna meningkatkan dan memaksimalkan kualitas dari penyelenggaraan pemilu. “Adapun independensi berarti sikap yang tidak bisa dipengaruhi, tidak dikendalikan pihak lain, dan tidak bergantung pada pihak lain”. 4 Pada akhirnya memberikan kepastian terhadap tegaknya kedaulatan atas hak pilih dari masyarakat atas profesionalitas, kapabilitas dan kredibilitas serta integritas dari kedua lembaga tersebut.

Melihat fakta hukum yang terjadi di Indonesia dan khususnya Pemilihan Kepala Daerah di Kota Sungai Penuh, permasalahan yang selalu muncul dan terjadi serta hal ini menjadi diskusi menarik bagi penyelenggara dan masyarakat adalah efektivitas penegakan hukum khususnya hukum pidana pemilu. Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu) memiliki peran yang sangat strategis dalam penegakan hukum pemilu. Isu krusial dari keberadaan Gakkumdu adalah terkait dengan menyamakan pemahaman dan pola penanganan pelanggaran pemilu antara Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan.

Keberadaan dan fungsi Sentra Gakkumdu semakin tidak jelas bahkan kehilangan eksistensinya sebagai lembaga yang seharusnya diberi wewenang penuh untuk melakukan proses penegakan hukum mulai dari penyelidikan dan penyidikan sampai penuntutan tanpa harus melibatkan institusi penegak hukum lain dalam proses pengambilan keputusan. Oleh karena itu, diperlukan lembaga penegak hukum tunggal yang berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana sampai ke sidang pengadilan tanpa intervensi dari institusi penegak hukum lain.5

Munculnya protes-protes ketidakpuasan terhadap proses maupun hasil Pemilihan Umum itu, di satu sisi hal ini disebabkan karena banyaknya pelanggaran terhadap peraturan Pemilihan Umum yang tidak diselesaikan secara tuntas. Dalarn konteks membangun sistem penegakan hukum Pemilihan Umum di Indonesia, selain perlu melengkapi dan mempertegas materi peraturan perundangan, tak kalah pentingnya adalah mempertanyakan efektivitas kerja aparat penegak hukum Pemilihan Umum.6

Pada tahun 2020 yang lalu, Pemilihan Kepala Daerah di Kota Sungai Penuh dilakukan untuk memilih Walikota Sungai Penuh sekaligus memilih Gubernur Provinsi Jambi. Berdasarkan dari data yang didapat masih banyak terjadi pelanggaran yang dilakukan. Salah satunya adalah melanggar ketentuan Pasal 71 ayat (3) jo Pasal 188 UU Nomor 10 Tahun 2016, Anggota Bawaslu Provinsi Jambi, mengatakan berdasarkan informasi dari Sentra Gakkumdu Sungai Penuh, Pengadilan Negeri Sungai Penuh sudah menjatuhkan dan memvonis kasus dugaan pelanggaran pidana Pemilihan tahun 2020. Dalam sidang

virtual yang digelar Pengadilan Negeri Sungai Penuh, terdakwa terbukti bersalah melakukan pelanggaran pemilihan dan dijatuhi hukum pidana denda sebesar 4 juta rupiah subsider 2 bulan.7

Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh penulis, ada beberpa jenis pelanggaran yang dilakukan pada Pilkada 2020 di Kota Sungai Penuh, adalah sebagai berikut: “Jenis pelanggaran terdiri atas pelanggaran administrasi pemilu, pelanggaran kode etik penyelenggaran pemilu, tindak pidana pemilu, dan pelanggaran netralitas aparatur sipil negara, netralitas anggota Tentara Nasional Indonesia, dan netralitas anggota Kepolisian Republik Indonesia. Dari jumlah temuan dan laporan yang masuk ke Bawaslu Kota Sungai penuh berjumlah 45 temuan dan laporan”.

Penelitian ini akan menjawab permasalahan sebagai berikut:

  • 1.    Bagaimana pelakasanaan kewenangan Bawaslu dalam hal penanganan tindak pidana Pemilihan Umum pada Pemilihan Kepala Daerah tahun 2020 di Kota Sungai Penuh?

  • 2.    Bagaiaman Efektivitas Penegakan Hukum Atas Tindak Pidana Pemilihan Umum Kepala Daerah Di Kota Sungai Penuh?

Ada beberapa penelitian terkait Efektivitas Peran Bawaslu dalam Penegakan Hukum Pemilu adalah studi terkait topik penelitian ini yang dilakukan oleh Lalu Sopan Tirta Kusuma pada tahun 2019. 8 Dalam hal itu penelitian, dijelaskan tentang Bawaslu memiliki peran dalam proses tahapan awal dugaan tindak pidana pemilu dari proses pertama, kedua, sampai kepada tahapan pembahasaan bersama-sama dengan unsur lembaga lain yaitu kepolisian dan kejaksaan. Dalam proses kajian dugaan pelanggaran tindak pidana pemilu Bawaslu memiliki batas waktu yang harus diikuti sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Namun, penelitian ini membahas Peran Bawaslu secara luas. Selain dari penelitian ini, pada tahun 2021 juga telah melakukan penelitian oleh Wiwin Indriany membahas Implementasi Peran Badan Pengawas Pemilu Terhadap Penegakan Tindak Pidana Pemilu (Politik Uang) Pada Penyelenggaraan Pemilu Tahun 2019 Di Kabupaten Purworejo 9 . Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Wiwin Indriany adalah menjelaskan mengenai implementasi peran adan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Purworejo dalam penegakan tindak pidana pemilu (politik uang) pada pemilu tahun 2019 serta hambatan yang dihadapi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Purworejo selama melaksanakan penegakan tindak pidana pemilu (politik uang) pada pemilu tahun 2019.

Fokus utama dan tujuan dari penelitian ini yang diharapkan dapat memberikan gambaran kelemahan-kelemahan dalam pengaturan terkait mekanisme dan prosedur dalam penegakan hukum tindak pidana pemilu. Perbedaan sudut pandang tentang

peran, wewenang dan tanggung jawab antara Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan. Partisipasi masyarakat yang masih belum optimal dalam rangka pengawasan pemilu. Oleh karena itu, penelitian ini tidak mengulang penelitian yang telah dilakukan.

  • 2.    Metode Penelitian

Tulisan ini menggunakan metode penelitian hukum yuridis empiris yaitu penelitian yang berfokus untuk meneliti fenomena atau keadaan objek penelitian secara rinci. Penelitian ini disebut juga dengan penelitian lapangan yaitu mengkaji ketentuan hukum yang berlaku serta apa yang terjadi dalam kenyataannya dalam masyarakat. Caranya adalah dengan mengumpulkan fakta dan bukti yang terjadi, serta mengembangkan rancangan yang sudah ada berdasarkan yang terjadi di Bawaslu Kota Sungai Penuh.

Penelitian yuridis empiris ini menggunakan data primer dan sekunder. Data primer yaitu data yang didapat langsung dari sumber pertama yang terkait dengan permasalahan yang akan dibahas dengan melakukan wawancara terstruktur baik dengan para pihak (informan). Data sekunder diperoleh dengan melakukan penelitian kepustakaan terhadap bahan penelitian yang digunakan yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

  • 3.    Hasil Dan Pembahasan

    • 3.1    Pelakasanaan kewenangan Bawaslu dalam hal penanganan tindak pidana Pemilihan Umum pada Pemilihan Kepala Daerah tahun 2020 di Kota Sungai Penuh

Dalam penyelenggaraan Pilkada 2020 yang dilaksanakan di 270 daerah provinsi, kabupaten dan kota, berdasarkan data Bawaslu per tanggal 19 Maret 2021, terdapat sebanyak 210 dugaan tindak pidana pilkada yang ditangani Bawaslu yang telah diteruskan ke tingkat penyidikan.10 Dari data dugaan pelanggaran pidana yang telah diteruskan ke tahap penyidikan di atas, tidak semuanya berlanjut ke tingkat penuntutan ke pengadilan. 11 Perbuatan pidana yang terjadi mencakup perbuatan pidana yaitu sebagai berikut:

  • 1.    masa pendaftaran pemilih

  • 2.    pencalonan

  • 3.    masa kampanye

  • 4.    proses pemungutan dan penghitungan suara; dan

  • 5.    perbuatan menghalang-halangi penyelenggara dalam melaksanakan tugasnya.

Perbuatan pidana yang dirumuskan dalam hukum pidana materil pemilu akan sulit ditegakkan, apabila hukum pidana formil Pemilu lemah. Sebab fungsi hukum pidana formil adalah “Mencari dan menemukan kebenaran, pemberian putusan hakim,

pelaksanaan putusan hakim”. 12 Di bawah ini adalah rekap pelanggaran pemilu di Bawaslu Kota Sungai Penuh.

Tabel. 1

Rekap Pelanggaran Pemilu Berdasarkan Temuan dan Laporan

Jumla

Temuan

Jenis Pelanggaran

Dala

h

Regis

Tidak

Pelanggara

Bukan

AD

Kod

Pidan

Hukum

m

Temu-

-trasi

Registras

n

Pelanggara

M

e

a

Lainny

Proses

an

i

n

Etik

a

12

12

0

12

0

2

3

1

6

0

Jumla

Temuan

Jenis Pelanggaran

Dala

h

Regis

Tidak

Pelanggara

Bukan

AD

Kod

Pidan

Hukum

m

Lapor-

-trasi

Registras

n

Pelanggara

M

e

a

Lainny

Proses

an

i

n

Etik

a

33

14

19

7

24

1

5

1

0

0

Sumber: Bawaslu Kota Sungai Penuh, pertanggal 15 Februari 2021

Berdasarkan data tersebut di atas, ada 45 (empat puluh lima) jumlah temuan dan jumlah laporan yang masuk ke Bawslu Kota Sungai Penuh pertanggal 15 Februari 2021 untuk Pilkada 2020 di Kota Sungai Penuh. Berdasarkan jumlah temuan, yang teregistrasi berjumlah 12 (dua belas) pelanggaran. Jenis pelanggaran terdiri atas: 2 (dua) ADM, 3 (tiga) Kode Etik, 1 (satu) Pidana dan 6 (enam) hukum lainnya. Berdasarkan Jumlah Laporan, yang teregistrasi berjumlah 14 (empat belas), tidak registrasi berjumlah 19 (sembilan belas). Jenis pelanggaran terdiri atas: 1 (satu) ADM, 5 (lima) Kode Etik, 1 (satu) Pidana dan 0 (nol) hukum lainnya.

Tabel. 2

Rekap Rekomendasi Tindak Lanjut Temuan dan Laporan

Rekomendasi Temuan

KPU

Kepolisian

KASN

Bawaslu

Ditindak

-lanjuti

Tidak Ditindaklanjuti

Ditindaklanjuti

Tidak Ditindaklanjuti

Ditindaklanjuti

Tidak Ditindaklanjuti

Ditindaklanjuti

Tidak Ditindak -lanjuti

10

0

2

0

3

3

1

0

Sumber: Bawaslu Kota Sungai Penuh, pertanggal 15 Februari 2021

Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh penulis pada Pilkada 2020 di Kota Sungai Penuh, adalah sebagai berikut: Pelanggaran pemilu yang masuk kedalam tindak pidana pemilu terhenti karena jangka waktu berdasarkan Pasal 454 UU Pemilu yakni 14 hari kerja setelah temuan dan laporan diterima dan diregistrasi. Tentu saja hal ini yang menjadi kendala terhadap penerapan hukum formil terhadap tindak pidana pemilu.

Berdasarkan informasi tersebut di atas, selain penguatan hukum formil terhadap tindak pidana pemilu yang diatur dalam Pasal 488 s.d Pasal 554 UU Pemilu adalah dengan menambahkan kewenagan Bawaslu untuk melakukan penyelidikan serta upaya paksa untuk mempermudah menentukan digaan tindak pidana pemilu dan mengumpulkan alat bukti. Walaupun telah dilaksnakannya MOU di tingkat pusat antara Bawaslu dengan Kepolisian, Kejaksaan dan KASN, perlu juga komitmen bersama sampai dengan ke daerah terhadap pelanggaran yang terjadi dan ditambah dengan pengawasan melekat di masing-masing institusi.

Terdapat suatu peran Bawaslu yang strategis dan signifikan, yakni bagaimana menghindari potensi pelanggaran pemilu muncul dengan menjalankan strategi pencegahan yang optimal. Bawaslu juga diharapkan mampu melakukan penindakan tegas, efektif, dan menjadi hakim pemilu yang adil. Secara historis, kelahiran Bawaslu diharapkan dapat mendorong dan memperkuat pengawasan masyarakat dengan memberikan penguatan berupa regulasi, kewenangan, sumber daya manusia, anggaran, serta sarana dan prasarana. Agar berperan efektif, setiap laporan pengawasan dapat lebih tajam dan menjadi fakta hukum yang dapat ditindaklanjuti sesuai mekanisme regulasi yang ada serta mampu memberikan efek jera bagi upaya mengurangi potensi pelanggaran sehingga tujuan keadilan pemilu dapat tercapai.

Bawaslu memiliki peran dalam proses tahapan awal dugaan tindak pidana pemilu dari proses pertama, kedua, sampai kepada tahapan pembahasaan bersama-sama dengan unsur lembaga lain yaitu kepolisian dan kejaksaan. Dalam proses kajian dugaan pelanggaran tindak pidana pemilu Bawaslu memiliki batas waktu yang harus diikuti sesuai dengan peraturan perundang-undangan (lice specialis).13 Peranan Bawaslu tidak hanya sebatas tukang menerima dan antar perkara dengan memberikan rekomendasi kepada Kepolisian, tetapi diberi wewenang untuk sebagai Penyidik dan Penuntut Umum dalam sengketa pemilu, khususnya perkara tindak pidana pemilu.14

Masalah optimalisasi peran Sentra Gakkumdu lebih disebabkan oleh tiga faktor, yaitu: pengaturan tugas dan fungsi Sentra Gakkumdu yang belum memadai, kapasitas SDM unsur Sentra Gakkumdu dan beban kerja unsur Gakkumdu dari unsur kepolisian dan institusi asalnya. Peran dan fungsi Sentra Gakkumdu perlu ditingkatkan dengan menjadikan institusi ini sebagai pusat aktivitas penanganan tindak pidana pemilu. Langkah ini diyakini akan dapat meningkatkan efektivitas penanganan tindak pidana pilkada dibandingkan jika Sentra Gakkumdu hanya sebagai wadah untuk menyamakan pandangan antar unsur Sentra Gakkumdu semata.15

  • 3.2    Efektivitas Penegakan Hukum Atas Tindak Pidana Pemilihan Umum Kepala Daerah Di Kota Sungai Penuh

Kelengkapan terkait pengaturan tindak pidana Pemilu dalam UU Pemilu, tidak serta merta mampu mendukung terwujudnya pemilu yang berkualitas, apabila tidak didukung oleh keberadaan keempat unsur berikut: 1) pengaturan hukum acara pidana pemilu, 2) penegak hukum yang berintegritas dan berkualitas, 3) kesadaran hukum masyarakat, 4) sarana dan prasarana, sesuai dengan teori efektivitas hukum.

Menurut Lawrence M. Friedman dalam Achmad Ali yang dimaksud dengan unsur-unsur sistem hukum tersebut adalah sebagai berikut:

  • 1.    Struktur hukum yaitu keseluruhan instituisi-instituisi hukum yang ada beserta aparatnya.

  • 2.    Substansi hukum yaitu keseluruhan isi hukum, norma dan asasnya.

  • 3.    Budaya hukum yaitu opini-opini, kepercayaan-kepercayaan (keyakinan-keyakinan), kebiasaan-kebiasaan, cara berpikir dan cara bertindak dari para penegak hukum maupun dari orang awam, tentang hukum dan berbagai fenomena yang berkaitan dengan hukum.16

Topo Santoso secara umum menyatakan beberapa syarat dalam tercapainya penegakan hukum pemilu yang efektif, yaitu: Hukum pemilu yang baik memerlukan persyaratan: yaitu a) adanya mekanisme penyelesaian hukum yang efektif, b) adanya sanksi terhadap pelanggaran aturan pemilu, c) adanya aturan yang melindungi hak pemilih, d) Adanya hak tuntutan/gugatan bagi pemilih dan peserta pemilu kepada Lembaga KPU Pemilu atau badan peradilan, apabila haknya dirugikan dan kepastian hukum mengenai pembatasan waktu keputusan terhadap tuntutan. e) Adanya aturan guna mencegah hilangnya hak pemilih dari pemilu f) adanya hak untuk tuntutan banding kepada lembaga pengadilan yang lebih tinggi, i) adanya aturan mengenai implikasi bagi pelanggaran aturan Pemilu terhadap hasil pemilu.17

Di bawah ini akan dijelaskan mekanisme penanganan pelanggaran Pemilihan Umum berdasarkan Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor 8 Tahun 2020 Tentang Penanganan Pelanggaran Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Serta Wali Kota Dan Wakil Wali Kota, yakni sebagai berikut:

  • 1.    Pengertian Pelapor, Terlapor, Temuan dan Laporan

  • a.    Pelapor

Pelapor adalah pihak yang berhak melaporkan dugaan pelanggaran Pemilu yang terdiri dari:

  • 1)    Warga Negara Indonesia yang mempunyai hak pilih,

  • 2)    Pemantau Pemilu, dan/atau

  • 3)    Peserta Pemilu.

  • b.    Terlapor

Terlapor merupakan subyek hukum yang kedudukannya sebagai pihak yang diduga melakukan Pelanggaran pemilu.

  • c.    Temuan

Temuan adalah hasil pengawasan aktif Pengawas Pemilu yang mengandung dugaan pelanggaran.

  • d.    Laporan

Laporan Dugaan Pelanggaran adalah laporan yang disampaikan secara tertulis oleh pelapor kepada Pengawas Pemilu tentang dugaan terjadinya pelanggaran Pemilu.

  • 2.    Syarat laporan

  • a.    Syarat formal

  • 1)    pihak yang berhak melaporkan;

  • 2)    waktu pelaporan tidak melebihi ketentuan batas waktu; dan

  • 3)    keabsahan Laporan Dugaan Pelanggaran yang meliputi:

  • 4)    kesesuaian tanda tangan dalam formulir laporan dugaan pelanggaran dengan kartu identitas; dan

  • 5)    tanggal dan waktu Pelaporan.

  • b.    Syarat materil

  • 1)    identitas Pelapor;

  • 2)    nama dan alamat terlapor;

  • 3)    peristiwa dan uraian kejadian;

  • 4)    waktu dan tempat peristiwa terjadi;

  • 5)    saksi-saksi yang mengetahui peristiwa tersebut; dan

  • 6)    barang bukti yang mungkin diperoleh atau diketahui.

  • 3.    Waktu, Hari pelaporan

Waktu kejadian Pengawas Pemilu berguna dalam melaksanakan kewenangannya untuk menegakkan hukum pemilu secara materil.

  • a.    Waktu laporan

Laporan Dugaan Pelanggaran Pemilu disampaikan kepada Pengawas Pemilu sesuai tingkatan dan wilayah kerjanya paling lambat 7 (tujuh) hari sejak diketahui dan/atau ditemukannya pelanggaran Pemilu.

  • b.    Hari

Hari adalah hari menurut kalender, sedang dalam proses penanganan pelanggaran pemilu adalah hari kerja

  • 4.    Kajian

Dalam proses pengkajian Temuan atau Laporan Dugaan Pelanggaran, Pengawas Pemilu dapat meminta kehadiran Pelapor, terlapor, pihak yang diduga pelaku pelanggaran, saksi, dan/atau ahli untuk didengar keterangan dan/atau klarifikasinya di bawah sumpah

Hasil Kajian Pengawas Pemilu terhadap berkas dugaan pelanggaran dituangkan dalam formulir Model A.8 dikategorikan sebagai:

  • a.    Pelanggaran Pemilu/pemilihan;

  • b.    Bukan pelanggaran Pemilu/pemilihan; atau

  • c.    Sengketa Pemilu/pemilihan.

Dugaan pelanggaran Pemilu sebagaimana dimaksud berupa:

  • a.    pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu;

  • b.    pelanggaran administrasi Pemilu; dan/atau

  • c.    tindak pidana Pemilu.

  • 5.    Jenis-jenis pelanggaran pemilu

Pelanggaran Pemilu adalah tindakan yang bertentangan atau tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan terkait Pemilu.jenis-jenis pelanggaran pemilu adalah sebagai berikut:

  • a.    Pelanggaran administrasi

Pelanggaran Administrasi Pemilu adalah pelanggaran yang meliputi tata cara, prosedur, dan mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan Pemilu dalam setiap tahapan Penyelenggaraan Pemilu.

  • b.    Pelanggaran Tindak pidana pemilu

Tindak Pidana Pemilu adalah tindak pidana pelanggaran dan/atau kejahatan terhadap ketentuan tindak pidana Pemilu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pemilihan umum dan Undang- Undang tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

  • c.    Pelanggran kode etik pemilu

Pelanggaran Kode Etik adalah pelanggaran terhadap etika Penyelenggara Pemilu yang berpedoman pada sumpah dan/atau janji sebelum menjalankan tugas sebagai Penyelenggara Pemilu.

  • 6.    Penerusan pelanggaran

Pengawas pemilu membuat rekomendasi berdasarkan hasil pleno yang menyatakan sebuah pelanggaran atau bukan pelanggaran. Pelanggaran diteruskan sesuai dengan jenisnya sebagai berikut

  • a.    Pelanggaran administrasi pemilu

Pengawas Pemilu menyampaikan rekomendasi dan berkas hasil kajian dugaan pelanggaran administrasi kepada KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, atau PPS sesuai tingkatan. khusus untuk Pelanggaran Administrasi Terkait Larangan Memberikan Dan/Atau Menjanjikan Uang Atau Materi Lainnya Yang Dilakukan Secara Terstruktur, Sistematis, Dan Masif Dalam Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Wali Kota Bawaslu Provinsi berwenang menerima, memeriksa, mengadili, dan memutus laporan dugaan pelanggaran Pemilihan.

  • b.    Pelanggaran pidana pemilu

Berkas laporan pelanggaran dan hasil kajian terhadap pelanggaran dugaan tindak pidana Pemilu diteruskan oleh Pengawas Pemilu paling lambat 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam sejak diputuskan oleh Pengawas Pemilu. kepada Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) sesuai tingkatan dan wilayah hukumnya.

  • c.    Pelanggaran kode etik pemilu

Rekomendasi dugaan Pelanggaran kode etik pemilu diteruskan oleh pengawas pemilu ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dengan melampirkan berkas dugaan pelanggaran dan hasil kajian terhadap dugaan pelanggaran.

Di bawah ini akan dijelaskan pula naskah Informasi terkait Sengketa Pemilu di Bawaslu, yakni sebagai berikut:

  • 1.    Sengketa Proses Pemilu

Sengketa proses Pemilu meliputi sengketa yang terjadi antar Peserta Pemilu dan sengketa antara Peserta Pemilu dengan Penyelenggara Pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, keputusan KPU Provinsi dan keputusan KPU Kabupaten/Kota.

  • 2.    Penanganan Permohonan Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu

Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/ Kota menerima permohonan penyelesaian sengketa proses Pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, keputusan KPU Provinsi, dan keputusan KPU lkbupaten/Kota.

Permohonan penyelesaian sengketa prroses Pemilu disampaikan oleh calon Peserta Pemilu dan/atau Peserta Pemilu. Permohonan penyelesaian sengketa proses Pemilu disampaikan secara tertulis dan paling sedikit memuat:

  • a.    nama dan alamat pemohon;

  • b.    pihak termohon; dan

  • c.    keputusan KPU, keputusan KPU Provinsi, dan/atau keputusan KPU Kabupaten/Kota yang menjadi sebab sengketa.

Permohonan penyelesaian sengketa proses Pemilu disampaikan paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak tanggal penetapan keputusan KPU, kepuhrsan KPU Provinsi, dan/atau keputusan KPU kabupaten/Kota yang menjadi sebab sengketa.

  • 3.    Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu di Bawaslu

Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota berwenang menyelesaikan sengketa proses Pemilu.

Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota memeriksa dan memutus sengketa proses Pemilu paling lama 12 (dua belas) hari sejak diterimanya perrnohonan.

Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/ Kota melakukan penyelesaian sengketa proses Pemilu melalui tahapan:

  • a.    menerima dan mengkaji permohonan penyelesaian sengketa proses Pemilu; dan

  • b.    mempertemukan pihak yang bersengketa untuk mencapai kesepakatan melalui mediasi atau musyawarah dan mufakat.

Dalam hal tidak tercapai kesepakatan antara pihak yang bersengketa, Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota menyelesaikan sengketa proses Pemilu melalui adjudikasi. Putusan Bawaslu mengenai penyelesaian sengketa proses Pemilu merupakan putusan yang bersilat final dan mengikat, kecuali putusan terhadap sengketa proses Pemilu yang berkaitan dengan:

  • a.    verilikasi Partai Politik Peserta Pemilu;

  • b.    penetapan daftar calon tefen anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota; dan

  • c.    penetapan Pasangan Calon.

Dalam hal penyelesaian sengketa proses Pemilu yang dilakukan oleh Bawaslu tidak diterima oleh para pihak, para pihak dapat mengajukan upaya hukum kepada pengadilan tata usaha negara. Seluruh proses pengambilan putusan Bawaslu wajib dilakukan melalui proses yang terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan. Berdasarkan fakta tersebut, perlu dikaji mengapa pada tahapan pengkajian pelaporan dan atau temuan di Bawaslu, terjadi kegagalan yang paling dominan. Patut di duga hal ini disebabkan kegagalan dalam mengumpulkan bukti permulaan yang cukup dari suatu perkara pidana pemilu.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh penulis pada Pilkada 2020 di Kota Sungai Penuh, adalah sebagai berikut: “Permasalahan tindak pidana pemilu pada saat tahap penyelidikan, yang mana kepolisian dan kejaksaan wajib mendampingi terperiksa, hal ini tentu saja dilakukan agar menyamakan persepsi dan sudut pandang yang sama di antar lembaga. Dilain sisi misalnya terkait Sentra Gakkumdu terhadap penafsiran dan pemahaman Pasal-Pasal tindak pidana Pemilu (misalnya setiap orang, surat suara sah,

dan lain sebagainya). Karena tindak pidana pemilu tidak dapat di Juntokan dengan UU Pidana Umum. Bawaslu Kota Sungai penuh juga beberapa kali pernah mengundang akademisi guna meminta keterangan ahli terkait tindak pidana pemilu. Sentra Gakumdu juga perlu didukung alokasi anggaran dalam rangka penegakan hukum Pemilu”.

Undang-Undang Pemilu dan Pilkada serta Peraturan Pelaksana terkait dengan pemilu baik di KPU dan Bawaslu direkomendasikan untuk diubah.18 Berdasarkan analisis dari hasil wawancara tersebut di atas, penyebab utama dari awal permasalahan tersebut adalah beberapa kelemahan pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, yaitu: Pintu masuk perkara pidana adalah Bawaslu (pusat, provinsi, dan Kabupaten serta kecamatan), yang tidak dibekali Pertama,tidak ada kewenangan untuk melakukan pemanggilan paksa seperti di kepolisian. Apabila terlapor dan atau saksi pelapor tidak hadir sebanyak tiga kali setelah telah dipanggil oleh Bawaslu, tidak diatur resiko hukumnya. Kedua, tidak ada kewenangan penahanan yang sebenarnya kalau diatur secara khusus hal ini memungkinkan. Sebab Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981,“menentukan syarat penahanan adalah perkara pidana yang ancaman diatas lima tahun”. Ancaman pidana yang dimuat dalam Undang-Undang 7 Tahun 2017, lebih banyak di bawah lima tahun. Karena Undang-Undang ini menyatakan juga tunduk kepada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, maka dalam hal inikriteria penahanan yang berlaku adalah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981. Resiko lanjutan dari kekurangan pengaturan tersebut memberi peluang kepada calon tersangka menghilangkan barang bukti dan melarikan diri.

Keterbatasan jumlah laporan tindak pidana pemilu yang berlanjut ke tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan sampai keluarnya putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewisjde), patut diperkirakan salah satu problematikanya adalah dari aspek materi hukum formil yang belum mendukung keterwujudan penegakan hukum pidana pemilu tersebut. Pengaturan batas waktu dalam rangka penegakan hukum tindak pidana pemilu kedepan dengan melihat tingkat kesulitan yang dilakukan oleh oleh penyidik dalam rangka beban pembuktian yang akan dihadapkan oleh penuntut umum dalam persidangan dalam rangka menegakan kebenaran materil. “Urgensi pembentukan Peradilan Khusus Pemilu adalah untuk memenuhi tuntutan perkembangan akan keadilan yang semakin kompleks dalam masyarakat dan lebih penegakan hukum pemilu sehingga mewujudkan integritas pemilu, juga untuk menangani perkara hukum pemilu dengan cepat dan sederhana sehingga mewujudkan integritas pemilu”.19

Sudi Prayitno menyatakan bahwa: Dibatasinya jangka waktu penanganan tindak pidana Pemilu dalam Undang-UndangNomor 7 Tahun 2017 mulai dari penerusan laporan sampai pelaksanaan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, tidak diikuti dengan konsekuensi hukum apa yang akan terjadi bila penanganan tindak pidana yang

dilakukan ternyata telah melewati jangka waktu yang telah ditentukan. Seharusnya, demi kepastian hukum sebagai salah satu asas Pemilu 2019, ketentuan pembatasan jangka waktu penanganan tindak pidana dalam UU No. 7 Tahun 2017 diikuti pula dengan ketentuan atau norma yang mengatur akibat hukumnya.20

Pemerintah seringkali lebih memilih perbaikan substansi hukum dalam penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana ketimbang sturktur atau kultur hukumnya terlebih dahulu. 21Adanya kecenderungan rendahnya tingkat partisipasi pemilih. Implikasi dari demokratisasi di daerah, tidak sepenuhnya mampu mengontrol proses-proses yang terjadi dalam pelaksanaan Pilkada.22 Kedua hal tersebut juga memiliki peranan penting dan strategis sebagai alat mewujudkan keadilan pemilu.

  • 4.    Kesimpulan

Terdapat suatu peran Bawaslu yang strategis dan signifikan, yakni bagaimana peran tersebut dapat menghindari potensi pelanggaran pada setiap tahapan pemilu dengan menjalankan strategi pencegahan dan penegakan hukum yang optimal. Penelitian ini dimulai dengan menginventarisir kembali seluruh permasalahan pengakan hukum pemilu yang terjadi khususnya di Kota Sungai Penuh. Dapat disimpulkan bahwa terdapat 4 (empat) masalah dalam penegakan hukum pemilu sesuai dengan teori efektivitas hukum, yaitu: 1) masih lemahnya pengaturan terkait mekanisme dan prosedur dalam penegakan hukum tindak pidana pemilu, 2) perbedaan sudut pandang tentang peran, wewenang dan tanggung jawab antara Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan, 3) partisipasi masyarakat yang masih belum optimal dalam rangka pengawasan pemilu, 4) sarana dan prasarana. Secara historis, kelahiran Bawaslu diharapkan dapat mendorong dan memperkuat pengawasan masyarakat dengan memberikan penguatan berupa regulasi, kewenangan, sumber daya manusia, anggaran, serta sarana dan prasarana.

Keterbatasan jumlah laporan dan atau temuan tindak pidana pemilu di Kota Sungai Penuh yang berlanjut ke tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan sampai keluarnya putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewisjde), patut diperkirakan salah satu problematikanya adalah dari aspek materi hukum formil yang belum mendukung keterwujudan penegakan hukum pidana pemilu tersebut. Perlu penguatan hukum formil terhadap tindak pidana pemilu yang diatur dalam Pasal 488 s.d Pasal 554 UU Pemilu adalah dengan menambahkan kewenagan Bawaslu untuk melakukan penyelidikan serta upaya paksa untuk mempermudah menentukan dugaan tindak pidana pemilu dan mengumpulkan alat bukti. Undang-Undang Pemilu dan Pilkada serta Peraturan Pelaksana terkait dengan pemilu baik di KPU dan Bawaslu direkomendasikan untuk diubah. Mengoptimalkan partisipasi masyarakat dalam rangka pengawasan pemilu. Menghitung kembali biaya pengorganisasian dalam penanganan kasus pelanggaran pemilu. Beberapa hal tersebut segera dilakukan guna menjamin keadilan, kepastian dan efektivitas pemilu.

Ucapan terima Kasih (Acknowledgments)

Ucapan terima kasih diberikan kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Jambi yang telah mendanai kegiatan ini melalui Skim Penelitian Terapan Fakultas Hukum Universitas Jambi. Terima kasih diberikan juga kepada Badan Pengawas Pemilu Kota Sungai Penuh yag telah memberikan beberapa informasi penting terkait dengan pengumpulan data dalam penelitian.

Daftar Pustaka

Ali, Achmad. (2009). MenguakTeori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (JudicialPrudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Asshiddiqie, Jimly. (2007). Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Pasca Reformasi, PT Bhuana Ilmu Popular: Jakarta.

Buana, Mirza Satria, Menimbang Lembaga Peradilan Khusus Pemilu: Studi Perbandingan Hukum Tata Negara, Prosiding Konferensi Nasional Hukum Tata Negara Ke 5, Batu Sangkar, 9-12 November 2019.

Hamzah, Andi. (2017). Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika.

Hoesein, Zainal Arifin. (2017). Penataan Pemilih dalam Sistem Pemilihan Umum. Depok: Rajawali Pers.

Huda, Ni’matul. (2011). Dinamika Ketatanegaraan Indonesia Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi. Yogyakarta: FH UII Press.

Iwan Rois, Iwan, & Herawati, Ratna, Urgensi Pembentukan Peradilan Khusus Pemilu dalam rangka Mewujudkan Integritas Pemilu, Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal), Vol. 7 No. 2 Juli 2018,  267-279, DOI:

10.24843/JMHU.2018.v07.i02

Kelsen, Hans. (2010). Teori Umum Tentang Hukum dan Negara. Bandung: Nusa Media.

Kristal, Damar, Perbandingan (De)Konsolidasi Demokrasi: Studi Penurunan Kualitas Demokrasi Di Indonesia Dan Filipina Pada Periode 2016-2020, Jurnal Penelitian Politik, Volume    18    No.    2    Desember    2021,    125-139,    DOI:

https://doi.org/10.14203/jpp.v18i2.1007

Kusuma, L.S.T, & Zulhadi, & Junaidi, & Subandi, Azwar. (2019). Peran Badan Pengawas Pemilihan Umum Dalam Penegakan Hukum Pemilu (Studi Penanganan Pelanggaran Pemilu Pada Sentra Gakkumdu Provinsi Nusa Tenggara Barat), Jurnal Ulul Albad, Vol. 23 No. 2 Juli 2019. 110-116.

Mushaddiq Amir, Keserentakan Pemilu 2024 yang Paling Ideal Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Al-Ishlah: Jurnal Ilmiah Hukum, Vol. 23 No. 2 (November 2020). 115-132. doi: https://doi.org/10.56087/aijih.v23i2.41

Nugraha, Munandar. (2020). Bawaslu dan Penegakan Hukum Pemilu, Jakarta, Jurnal Hukum Al Wasath,  Volume 1 No. 2,  @020,  2013.  117-126 doi:

https://doi.org/10.47776/alwasath.v1i2.61.

Nurul Fitrah Febriani1 Hidayatullah2 Lalu Sopan, Tirta Kusuma, and Pemerintah Desa, “Journal of Government and Politics (JGOP),” Journal of Government and Politics (JGOP) ISSN 2686 (2019): 3391.

Prayitno, Sudi, (2019). Problematika Penegakan Tindak Pidana Pemilu 2019 (Call Paper), www.Journal KPU.go.id, Jakarta, 2019, hlm. 3, diakses tanggal Juli 2022, Pukul 07.12 WIB.

Perdana, Aditya. (2019). Tata Kelola Pemilu di Indonesia. Jakarta: Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia.

Santoso, Topo. (2006). Kajian Kebijakan: Sistem Penegakan Hukum Pemilu [2009 – 2014], Jakarta: Perludem

Santoso, Topo. (2020). Laporan Akhir Analisis dan Evaluasi Hukum Terkait Pemilihan Umum, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM RI Tahun 2020, Jakarta: Percetakan Pohon Cahaya.

Siragih, Bintar R. (1998). Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum di Indonesia. Jakarta: Gaya Media Pratama.

Sulchan, Achmad, Rekonstruksi Penegakan Hukum Terhadap Perkara Pidana Pemilihan Umum Berbasis Nilai Keadilan, Jurnal Pembaharuan Hukum Volume I No. 3 September – Desember 2014, 350-359, DOI: 10.26532/jph.v9i3.27661.

Sumardiana, Benny, Formulasi Kebijakan Penanganan Tindak Pidana Berbasis Isu Sara dalam Pemilihan Umum, Journal Pandecta Volume 11. Nomor 1. June 2016, DOI: http://dx.doi.org/10.15294/pandecta.v11i1.5254.

Sumardiana, Benny. (2016). Formulasi Kebijakan Penanganan Tindak Pidana Berbasis Isu Sara dalam Pemilihan Umum, Pandecta, Volume 11. Nomor 1. June 2016. 80-85. doi:org/10.15294/pandecta.v11i1.5254

Toha, Miftah. (2012). Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Wardhana, A.F.G, Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-XIV/2016 terhadap Independensi Komisi Pemilihan Umum, Undang: Jurnal Hukum ISSN 25987933 (online); 2598-7941 (cetak) Vol. 1 No. 1 (2018): 1-20, DOI: 10.22437/ujh.1.1.1-20.

Wiwin Indriany, “Implementasi Peran Badan Pengawas Pemilu Terhadap Penegakan Tindak Pidana Pemilu (Politik Uang) Pada Penyelenggaraan Pemilu Tahun 2019 Di Kabupaten Purworejo,” 2020.

Zuhro, R. Siti, “Demokrasi: Peluang dan Tantangannya”, makalah yang dipresentasikan dalam Simposium Doktor dan Guru Besar KAHMI yang diselenggarakan MN KAHMI bekerjasama dengan FISIP Universitas Brawijaya, Malang, 23 Maret 2019.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang

Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum

PERPU Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang menjadi Undang-Undang

139