Eksistensi Nilai Keadilan Persidangan Perkara Pidana Secara Elektronik
on

Eksistensi Nilai Keadilan Persidangan Perkara Pidana Secara Elektronik
Ni Nengah Adiyaryani1, I Putu Rasmadi Arsha Putra2 , Ni Ketut Ngetis Megi Megayani3
1Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: nengah_adiyaryani@unud.ac.id
1Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: putu_rasmadi@unud.ac.id
1Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: megimegayani@gmail.com
Info Artikel
Masuk: 6 Desember 2022
Diterima: 23 Mei 2023
Terbit: 27 Mei 2023
Keywords:
Justice, Criminal Case Trial, COVID-19 Pandemic.
Kata kunci:
Keadilan, Persidangan Perkara Pidana, Pandemi COVID-19.
Corresponding Author: Ni
Nengah Adiyaryani, e-mail : nengah_adiyaryani@unud.a c.id
DOI:
10.24843/JMHU.2023.v12.i0
1.p06
Abstract
bangsa Indonesia. PERMA RI No. 4 Tahun 2020 secara prosedural telah menjamin terwujudkna peradilan yang mampu untuk mengakomodir kepentingan para pencari keadilan dalam memenuhi hak asasinya berupa memperoleh keadilan melalui lembaga peradilan.
Persidangan perkara pidana secara elektronik sebelumnya tidak dikenal pengaturannya dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang menjadi undang-undang payung beracara dalam peradilan pidana. Pada undang-undang ini hanya mengatur prosedur beracara dalam upaya penegakan hukum khususnya menyelesaikan perkara-perkara pidana dengan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan suatu perbuatan pidana yang dilakukan secara langsung di ruang sidang pengadilan. Penyelesaian perkara pidana di pengadilan secara elektronik mulai dikenal dalam praktek peradilan pidana Indonesia, yakni sejak tahun 2020.
Tahun 2020 menjadi tahun yang mengubah tatanan kehidupan negara-negara di dunia secara drastis, salah satunya Indonesia. Kehidupan manusia sebagai makhluk sosial yang terbiasa berinteraksi dan bersosialisasi dengan sesamanya dipaksa dibatasi sehingga segala halnya dialihkan, dilaksanakan secara elektronik. 1 Hal tersebut dikarenakan pada tahun 2020 oleh World Health Organization (WHO) dinyatakan bahwa dunia tengah menghadapi pandemi global yaitu pandemi COVID-19, sebuah penyakit dengan tingkat penyebaran yang sangat cepat. Penyakit tersebut bisa menyebabkan orang menjadi mengalami sesak nafas, flu berat, komplikasi, hingga menyebabkan meninggal dunia. Penyebaran virus COVID-19 ini bisa melalui kontak fisik ataupun karena menyentuh benda yang sebelumnya sempat disentuh oleh orang yang telah terinfeksi virus tersebut.2
Pembatasan kegiatan manusia ini tentunya berdampak kepada segala aspek kehidupan, mulai dari perekonomian, pendidikan yang beralih dilaksanakan secara daring (dalam jaringan), dan kegiatan pekerjaan yang segalanya dilaksanakan dari rumah (work from home). Hal ini dilakukan guna menekan dan memutus rantai penyebaran virus COVID-19.3 Pemerintah Indonesia juga telah menetapkan pandemi COVID-19 sebagai bencana nasional sebagaimana Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Sebagai Bencana Nasional. Dan juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 Tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang membatasi segala
aktivitas manusia dan memaksa manusia agar melakukan segala aktivitasnya dari rumah saja.4
Tak terbatas pada sektor ekonomi dan sosial. Pandemi COVID-19 juga berdampak pada tatanan sistem peradilan di Indonesia. Masifnya penyebaran COVID-19 mempengaruhi proses penegakan hukum, salah satunya aktivitas persidangan. Aktivitas yang paling terdampak permasalahannya akibat pandemi COVID-19 adalah persidangan perkara pidana. Persidangan perkara pidana yang sebelumnya dilaksanakan secara langsung di satu ruang sidang dengan dihadiri para pihak secara langsung yaitu aparatur penegak hukum, terdakwa, dan saksi ahli sebagaimana ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau secara umum disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) beralih harus dilaksanakan secara elektronik.5
Masa tahanan yang terbatas menjadi alasan utama bagi Mahkamah Agung (selanjutnya disebut MA) untuk menerapkan persidangan secara elektronik sebagai jalan keluar agar tetap dapat menjalankan proses persidangan di tengah pandemi COVID-19 yang meruapakan kebutuhan keadilan masyarakat yang fundamental. 6 MA kemudian menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Selama Masa Pencegahan Penyebaran COVID-19 di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang Berada di Bawahnya (selanjutnya disebut SEMA No.1 Tahun 2020). SEMA No.1 Tahun 2020 tersebut menginstruksikan bahwa kepada para aparatur peradilan agar menjalankan tugas jabatannya dari rumah atau tempat tinggalnya masing-masing work from home (WFH) dan bekerja secara langsung di kantor secara bergiliran. 7 MA juga melakukan Perjanjian Kerja Sama dengan Kejaksaan Agung (Kejagung), dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Nomor: 402/DJU/HM.01.1/4/2020, Nomor: KEP-17/E/Ejp/04/2020, dan Nomor: PAS-08.HH.05.05 Tahun 2020 tertanggal 13 April 2020 tentang Pelaksanaan Persidangan Melalui Teleconference dalam Rangka Mengambil Sikap Atas Pandemi COVID-19 yang membatasi ruang gerak karena harus menjaga jarak (social distancing).8
SEMA No. 1 Tahun 2020 dan Perjanjian Kerja Sama antara MA, Kejagung dan Kemenkumham tersebut menjadi dasar hukum bahwa telah disepakati persidangan perkara pidana dilaksanakan secara elektronik. Sebagai dasar hukumnya, diterbitkanlah
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2020 tentang Administrasi Dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik (selanjutnya disebut PERMA No. 4 Tahun 2020), sebagai pedoman pelaksanaan persidangan secara elektronik serta tata cara pelaksanaannya.9
Kemudian timbul pertanyaan apakah persidangan perkara pidana secara elektronik ini menjamin eksistensi keadilan yang merupakan salah satu tujuan hukum/cita hukum sebagaimana yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch, bahwa tujuan hukum ada tiga yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Persidangan perkara pidana tentunya diharapkan untuk dapat mewujudkan ketiga tujuan hukum tersebut, utamanya keadilan menjadi sebab utama persidangan di pengadilan dilaksanakan, agar para pencari keadilan mendapatkan hak dan kewajibannya secara adil sebagaimana peraturan perundang-undangan.10 Selaras dengan tujuan hukum acara pidana adalah mencari kebenaran materiil yaitu mencari dan mendapatkan kebenaran yang mendekati kebenaran yang sesungguhnya.11
Pelaksanaan sidang secara elektronik ini memiliki potensi mengganggu prinsip fair trial (peradilan jujur dan adil), apabila infrastruktur pendukung persidangan secara elektronik tersebut belum memadai dan juga memiliki potensi untuk mengurangi keabsahan dalam proses pembuktian. Selain itu antara hakim, jaksa, terdakwa, penasihat hukum, dan saksi tidak dalam satu ruang yang sama, sehingga memungkinkan adanya tekanan yang dilakukan dari berbagai pihak dari proses persidangan ataupun pembuktian akan memungkinkan terjadi. Ketidakadilakan juga bisa terjadi apabila dihubungkan dengan ketentuan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia peroleh atas keyakinannya bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan diyakini bahwa terdakwa yang bersalah melakukannya. Apabila dalam persidangan secara elektronik mengalami kendala teknis maka dalam agenda pembuktian pemeriksaan saksi dan/atau ahli maupun keterangan terdakwa dan alat bukti lainnya tidak dapat dilakukan secara maksimal, yang nantinya akan berpengaruh pada pengungkapan kebenaran materiil dalam hukum pidana.12
Penelitian terdahulu dengan judul “Eksistensi Persidangan Online ditengah Pandemi Covid-19 Dalam Perkara Pidana di Indonesia”, dilakukan oleh Hanafi, Muhammad Syahrial Fitri, dan Fathan Ansori pada tahun 2021.13 Fokus kajian yang diangkat sebagai rumusan masalah penelitian ini pada intinya membahas bagaimana eksistensi persidangan perkara pidana secara online di Indonesia pada masa pandemi COVID-19 dan bagaimana persidangan online mengakomodir proses pembuktian dalam perkara pidana di Indonesia. Berikutnya yaitu penelitian dengan judul “Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik Pada Masa COVID-19 dari Asas Peradilan
Pidana”, ditulis oleh Neisa Angrum Adisti, Nashriana, Isma Nurilah, Alfyan Mardiansyah yang dilakukan pada tahun 2021.14 Inti pembahasan dalam penelitian ini ialah mengenai bagaimana pelaksanaan persidangan perkara pidana di pengadilan secara elektronik pada masa pandemi COVID-19 dan bagaimana persidangan perkara pidana pengadilan secara elektronik pada masa pandemi COVID-19 apabila ditinjau dari asas sistem peradilan pidana.
Penelitian ini apabila dibandingkan dengan penelitian terdahulu, memiliki kesamaan dari segi topik penelitian, yaitu sama-sama membahas mengenai persidangan perkara pidana secara elektronik pada masa pandemi COVID-19. Akan tetapi memiliki fokus kajian atau rumusan masalah yang berbeda. Tulisan peneliti menekankan pada keberadaan nilai keadilan dengan dilakukannya penyelesaian perkara pidana secara elektronik pada masa pandemi Covid-19.
Dalam penelitian ini akan dikaji apakah persidangan perkara pidana yang dilaksanakan secara elektronik dimana para pihak tidak bertemu secara langsung dalam satu ruang sidang melainkan hanya bertemu secara elektronik melalui aplikasi meeting online menjamin terwujudnya keadilan sebagai cita hukum bangsa Indonesia. Dimana berdasarkan kedua jurnal diatas menunjukkan bahwa tulisan dalam jurnal ini memiliki perbedaan fokus pembahasan dengan penelitian terdahulu. Dalam tulisan ini akan membahas bagaimana hakikat persidangan perkara pidana secara elektronik pada masa pandemi COVID-19. Selanjutnya membahas pula bagaimana eksistensi nilai keadilan sebagai cita hukum bangsa indonesia dengan persidangan perkara pidana secara elektronik pada masa pandemi COVID-19.
Tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui hakikat persidangan perkara pidana secara elektronik pada masa pandemi covid-19 dan untuk mengetahui eksistensi nilai keadilan sebagai cita hukum bangsa indonesia dengan persidangan perkara pidana secara elektronik pada masa pandemi covid-19.
Tulisan ini merupakan penelitian hukum dengan kualifikasi penelitian hukum normatif atau yang lazim disebut sebagai penelitian kepustakaan, yaitu sebuah penelitian yang penelitiannya dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder. 15 Soerjono Soekanto menjelaskan bahwa penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya. Disamping itu juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap faktor hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas gejala-gejala yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.16 Menurut I Made Pasek Diantha,
bahwa metode penelitian hukum normatif meneliti hukum dari perspektif internal dengan objek penelitiannya adalah norma hukum. 17 Penelitian ini menggunakan beberapa jenis pendekatan yaitu pendekatan perundang-undangan (The Statute Approach) dan pendekatan konsep (The Conceptual Approach). Sumber bahan hukum berupa bahan hukum primer, yakni kaidah-kaidah hukum atau peraturan perundang-undangan diantaranya ialah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 Tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2020 tentang Administrasi Dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Selama Masa Pencegahan Penyebaran COVID-19 di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang Berada di Bawahnya, Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Sebagai Bencana Nasional dan bahan hukum sekunder, dalam konteks ini yaitu dalam bentuk publikasi hukum seperti buku, jurnal, dan internet.Teknik analisis bahan hukum, yakni menggunakan analisis deskriptif yaitu : penggambaran secara apa adanya atas suatu kondisi atau isu hukum yang sedang diteliti secara sistematis dan kronologis.18Dalam penelitian ini berupa penggambaran mengenai bagaimana eksistensi keadilan sebagai cita hukum dalam persidangan perkara pidana pada masa pandemi COVID-19 di Indonesia.
-
3. Hasil dan Pembahasan
-
3.1. Hakikat Persidangan Perkara Pidana Secara Elektronik Pada Masa Pandemi COVID-19
-
Makna kata “hakikat” berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah inti sari atau dasar, dapat juga diartikan sebagai kenyataan yang sebenarnya atau sesungguhny. 19 Berbicara mengenai hakikat persidangan perkara pidana secara elektronik pada masa pandemi COVID-19 di Indonesia akan diawali dengan melihat konsideran menimbang poin c PERMA No. 4 Tahun 2020 yang menyatakan bahwa persidangan perkara pidana secara elektronik merupakan suatu upaya untuk penyelesaian secara cepat perkara yang terkendala akibat keadaan tertentu yaitu pandemi COVID-19 dengan tetap menghormati Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut HAM). Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa persidangan perkara pidana secara elektronik ini juga merupakan suatu perwujudan penghargaan terhadap HAM yaitu berupa dijaminnya hak para pencari keadilan oleh hukum kendati dalam keadaan pandemi global.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI 1945): negara Indonesia adalah negara hukum.
Sebagaimana konsep negara hukum, yang dijadikan sebagai acuan utama dalam menjalankan dinamika kehidupan bernegara adalah hukum, bukan yang lainnya. Sesuai juga dengan prinsip negara hukum yaitu “the rule of law, not of man”, yang disebut pemerintah pada pokoknya ialah hukum sebagai sistem, bukan orang per orang yang perannya sebagai pelaksana daripada sistem yang mengaturnya.20
HAM erat kaitannya dengan konsep negara hukum (rechtsstaat). Dimana diakuinya dan dijaminnya HAM merupakan salah satu ciri/kewajiban dari negara hukum, sesuai dengan pendapat Julius Stahl yang mengemukakan bahwa terdapat empat ciri penting dari negara hukum, yaitu:
-
1. Perlindungan hak asasi manusia;
-
2. Pembagian kekuasaan;
-
3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang;
-
4. Peradilan tata usaha negara.21
A.V. Dicey, menyatakan: ciri penting setiap negara hukum ada tiga yang kemudian dikenal dengan istilah The Rule of Law, yaitu:
-
1. Supremacy of Law;
-
2. Equality before the law;
-
3. Due process of law.
Keempat prinsip rechtsstaat yang dikemukakan oleh Julius Stahl dapat digabungkan dengan pendapat dari A.V. Dicey sebagai ciri-ciri negara hukum modern di zaman ini. 22 Berdasarkan kedua pendapat diatas, jaminan terhadap perlindungan HAM merupakan ciri yang fundamental dan mutlak ada pada setiap negara hukum (rechsstaat), termasuk Indonesia. Maka, guna mempertahankan dan melindungi HAM tersebut pengaturan HAM dalam hukum nasional menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan.
HAM merupakan nilai-nilai universal yang telah diakui secara universal. HAM berupa hak-hak yang dimiliki oleh manusia yang melekat oleh karenanya ia manusia, bukan karena diberikan oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif melainkan karena martabatnya sebagai manusia. Dalam asal-usulnya gagasan HAM ini bersumber dari teori hak kodrati (natural rights theory). Dan teori kodrati tersebut bermula dari teori hukum kodrati (natural law theory). 23
Mengenai HAM sendiri di Indonesia, secara fundamental telah diatur dalam UUD NRI 1945 yaitu dalam Pasal 28 A sampai dengan Pasal 28 J dan juga telah diatur secara lebih rinci dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia (selanjutnya disebut UU No. 39 Tahun 1999). Dalam Pasal 1 angka 1, menyatakan bahwa:
“Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara hukum, pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”
Pasal 17 UU No. 39 Tahun 1999 mengatur bahwa:
“Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar.”
Berdasarkan ketentuan Pasal 17 tersebut menunjukkan bahwa “memperoleh keadilan melalui proses pengadilan” juga merupakan bagian dari HAM. Sehingga dengan pelaksanaan sidang perkara pidana secara elektronik ini menjamin terpenuhinya HAM di Indonesia dalam mewujudkan haknya untuk memperoleh keadilan melalui lembaga peradilan.
Pengaturan secara komprehensif mengenai HAM ini menunjukkan bahwa Indonesia sebagai negara hukum telah memenuhi tanggung jawab dan kewajibannya untuk menjamin dan melindungi HAM. Karena prinsi pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari prinsip perlindungan hukum. Istilah HAM di Indonesia disamakan juga dengan istilah hak-hak kodrat, hak-hak dasar manusia, natural rights, human rights, fundamental rights, gronrechten, mensenrechten, rechten van den mens, dan fundamental rechten.24
Uraian tersebut diatas menunjukkan bahwa pada hakikatnya persidangan perkara pidana secara elektronik di Indonesia pada masa pandemi COVID-19 ini merupakan bentuk perwujudan dan pemenuhan HAM bagi warga negara Indonesia yang mencari keadilan di masa pandemi COVID-19. Hal ini erat kaitannya dengan hak terdakwa dan pihak korban yang harus memperoleh kepastian dan keadilan hukum secara cepat. Hal tersebut merupakan salah satu dari hak asasi mereka sebagaimana telah diatur dalam UU No. 39 Tahun 1999.
-
3.2. Eksistensi Nilai Keadilan Sebagai Cita Hukum Bangsa Indonesia dengan Persidangan Perkara Pidana Secara Elektronik Pada Masa Pandemi COVID-19
Secara hakikat keadilan artinya memperlakukan seseorang atau pihak lain sesuai dengan hak dan kewajibannya. Hak setiap orang ialah diakui dan mendapat perlakuan yang sama sesuai dengan harkat dan martabatnya tanpa pembedaan suku, derajat,
keturunan, harta, pendidikan maupun agamanya.25 Berdasarkan KBBI, kata keadilan yang memiliki kata dasar “adil” mempunyai arti kejujuran, kelurusan, dan keikhlasan yang tidak berat sebelah, netral atau seimbang, sehingga keadilan mengandung pengertian sebagai suatu hal yang tidak berat sebelah atau memihak dan tidak sewenang-wenang.26
Terdapat beberapa pengertian keadilan menurut para ahli: Aristoteles, berpendapat, keadilan ialah tindakan memberikan sesuatu kepada orang yang besarannya sesuai dengan apa yang menjadi haknya. Menurut Frans Magnis Suseno, keadilan diartikan sebagai suatu keadaan antar manusia yang mendapatkan perlakuan yang sama sesuai dengan hak dan kewajibannya. Selanjutnya Notonegoro memberikan pengertian keadilan sebagai suatu keadaan dimana perbuatan dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Plato menyatakan, bahwa keadilan hanya terdapat dalam hukum dan perundang-undangan yang dibuat para ahli yang khusus memikirkan mengenai hal tersebut. Menurut W.J.S Perwadarminto keadilan diartikan sebagai suatu situasi tidak berat sebenar, sepatutnya, dan tidak sewenang-wenang. 27 Berdasarkan beberapa pengertian di atas, keadilan dapat dimaknai sebagai suatu keadaan manusia dalam keadaan setara, mendapat perlakuan yang sama sesuai dengan hak dan kewajibannya, tidak berat sebelah dan seimbang.
Aristoteles menguraikan ada beberapa jenis keadilan:
-
a. Keadilan komutatif
Adalah memperlakukan seseorang tanpa melihat jasa-jasanya. Contohnya yaitu pemberian sanksi kepada seseorang karena telah melanggar aturan tanpa memperhatikan jasa dan kedudukannya.
-
b. Keadilan distributif
Adalah perlakuan terhadap seseorang berdasarkan atas melihat dan mempertimbangkan jasa-jasa yang telah dilakukan. Contohnya pemberian gaji terhadap seseorang sesuai dengan hasil yang telah dikerjakannya.
-
c. Keadilan kodrat alam
Adalah perlakuan terhadap seseorang sesuai dengan hukum alam. Contohnya seseorang akan mendapatkan hal baik apabila ia juga melakukan hal yang baik kepada seseorang.
-
d. Keadilan konvensional
Adalah keadilan dari telah dipatuhinya aturan perundang-undangan. Contohnya kewajiban bagi warga negara untuk patuh kepada peraturan yang berlaku di negara tersebut.
-
e. Keadilan perbaikan
Adalah keadilan yang timbul dari adanya pemulihan nama baik seseorang oleh pelaku pencemaran nama baik tersebut. Contohnya permohonan maaf seseorang kepada media karena telah mencemarkan nama baik orang lain.28
Sedangkan menurut Plato, jenis-jenis keadilan, sebagai berikut:
-
a. Keadilan moral
Adalah suatu keadilan yang timbul apabila telah seimbangnya hak dan kewajiban.
-
b. Keadilan prosedural
Adalah keadilan yang timbul dari seseorang yang telah melaksanakan perbuatan sesuai dengan tata cara yang diharapkan. Keadilan prosedural ini juga berkaitan dengan keadilan perlindungan hak-hak para pihak yang berkepentingan dalam setiap tahap di pengadilan.
-
c. Keadilan komunikatif (Lustitia Communicative)
Adalah keadilan kepada masing-masing orang berdasarkan apa yang memang merupakan bagiannya sesuai dengan hak seseorang pada suatu objek tertentu.29
Cita hukum adalah adalah objek yang masih abstrak yang menjadi tujuan hukum. Cita hukum tersebut meliputi kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan. Cita hukum yang diinginkan bangsa Indonesia adalah cita hukum Pancasila. Secara mikro, cita hukum Pancasila meliputi segala nilai, konsep, kepentingan yang ekletik sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat Indonesia. Secara makro, cita hukum Pancasila juga wajib memperhatikan perubahan hukum secara global.30 Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa cita hukum adalah tujuan hukum. Tujuan hukum yang hendak diwujudkan yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan sebagaimana pendapat dari Gustav Radburch. 31
Mengenai eksistensi nilai keadilan dalam persidangan perkara pidana yang dilaksanakan secara elektronik pada masa pandemi COVID-19, nilai keadilan yang merupakan salah satu cita hukum sudah terwujud. Hal ini didasarkan pada keadilan prosedural menurut Plato yaitu keadilan terkait dengan perlindungan hak-hak para pihak yang berkepentingan dalam setiap tahap di pengadilan atau dalam setiap prosesnya.32 Persidangan perkara pidana yang dilaksanakan secara elektronik karena
adanya suatu keadaan tertentu yaitu pandemi COVID-19 dalam pelaksanaannya sudah memberikan perlindungan dalam setiap tahapannya bagi para pencari keadilan.
Persidangan perkara pidana secara elektronik ini merupakan bentuk perwujudan perlindungan HAM para pencari keadilan agar tetap dapat memperoleh hak keadilannya di tengah masa pandemi COVID-19 yang membatasi aktivitas manusia dan melarang manusia untuk bertemu atau berkerumun dengan pihak lain. Dasar dari keadilan tersebut telah diwujudkan dengan diterbitkannya PERMA No. 4 Tahun 2020, sehingga secara prosedural pelaksanaan sidang perkara pidana telah memiliki payung hukum yang jelas dan menjamin terwujudnya pelaksanaan persidangan perkara pidana secara elektronik yang yang mampu mewujudkan cita hukum utamanya, yaitu keadilan.
Perlindungan hak-hak pencari keadilan dalam proses persidangan perkara pidana secara elektronik telah secara komprehensip diatur dalam PERMA No. 4 Tahun 2020. Misalnya terhadap terdakwa meskipun persidangan dilaksanakan secara elektronik terdakwa tetap mendapatkan haknya untuk didampingi oleh Penasihat Hukum, termasuk dalam mengikuti persidangan antara terdakwa dan penasihat hukumnya harus secara fisik berada dalam satu ruangan yang sama (Pasal 7 ayat (1) PERMA No. 4 Tahun 2020). Ruangan tempat terdakwa mengikuti persidangan dibatasi orang-orang yang menghadirinya yaitu hanya dihadiri oleh terdakwa, penasihat hukum, petugas Rumah Tahanan (Rutan)/Lembaga Pemasyarakat (Lapas), dan petugas IT. Ruangan tersebut juga secara wajib dilengkapi dengan alat perekam/kamera/CCTV yang dapat memperlihatkan kondisi ruangan secara keseluruhan (Pasal 7 ayat (4) PERMA No. 4 Tahun 2020), sehingga dalam pelaksanaannya terdapat keterbukaan dan terdakwa bebas dari tekanan pihak manapun. Maka dari itu persidangan secara elektronik ini tidak mengganggu prinsip fair trial (peradilan jujur dan adil).
Terkait pemeriksaan saksi/ahli meskipun persidangan dilaksanakan secara elektronik, saksi/ahli tetap dihadirkan secara langsung di ruang sidang pengadilan (Pasal 11 PERMA No. 4 Tahun 2020), sehingga kendala dalam pemeriksaan persidangan secara elektronik dapat ditanggulangi dan proses pembuktian utamanya dalam pemeriksaan saksi/ahli keabsahannya dapat terjamin. Dalam persidangan secara elektronik asas-asas hukum acara pidana pun tetap dapat dijalankan, seperti persidangan terbuka untuk umum namun tentunya dibatasi untuk beberapa orang saja mengingat kondisi pandemi yang mewajibkan untuk menjaga jarak. Sehingga dalam mengambil putusan majelis hakim dengan persidangan perkara pidana secara elektronik tetap berlandaskan pada prinsip-prinsip hukum dan berkeadilan sesuai dengan cita hukum bangsa Indonesia.
Berdasarkan pembahasan pada uraian sebelumnya maka dapat disimpulkan, yang pertama bahwa hakikat daripada persidangan perkara pidana pada secara elektronik pada masa pandemi COVID-19 adalah sebagai perwujudan perlindungan dan pemenuhan terhadap HAM warga negara Indonesia yaitu berupa terjaminnya hak memperoleh keadilan melalui lembaga peradilan di masa pandemi COVID-19. Dimana ini erat kaitannya dengan hak terdakwa dan pihak korban yang harus memperoleh kepastian dan keadilan hukum secara cepat. Hal tersebut merupakan salah satu dari hak asasi mereka, sebagaimana telah diatur dalam Pasal 17 UU NO. 39 Tahun 1999. Kedua, eksistensi nilai keadilan dalam pelaksanaan sidang perkara pidana secara
elektronik pada masa pandemi COVID-19 ini telah terwujud. Persidangan perkara pidana secara elektronik ini yang secara prosedural telah diatur dalam PERMA No. 4 Tahun 2020 menjamin terwujudnya peradilan yang mampu mengakomodir kepentingan para pencari keadilan untuk memenuhi hak-haknya dalam upaya memperoleh keadilan melalui lembaga peradilan sesuai dengan cita hukum bangsa Indonesia.
Daftar Pustaka
Adisti, Neisa Angrum, Isma Nurilah Nashriana, Isma Murilah, and Alfiyan Mardiansyah. “Pelaksanaan Persidangan Perkara Pidana Secara Elektronik Pada Masa Pandemi Covid 19 Di Pengadilan Negeri Kota Palembang.” Jurnal Legislasi Indonesia 18, no. 2 (2021): 222–32.
Adisti, Neisa Angrum, Nashriana Nashriana, Isma Nurillah, and Alfian Mardiansyah. “Persidangan Perkara Pidana Di Pengadilan Secara Elektronik Pada Masa Pandemi Covid-19 Ditinjau Dari Asas Peradilan Pidana.” Simbur Cahaya 28, no. 1 (2021): 40– 57.
Anggraeni, R R Dewi. “Wabah Pandemi COVID-19, Urgensi Pelaksanaan Sidang Secara Elektronik.” ADALAH 4, no. 1 (2020): 7–12.
Ariawan, I Gusti Ketut. “Metode Penelitian Hukum Normatif.” Kertha Widya 1, no. 1 (2013).
Asrun, Andi Muhammad. “Hak Asasi Manusia Dalam Kerangka Negara Hukum: Catatan Perjuangan Di Mahkamah Konstitusi.” Jurnal Cita Hukum 4, no. 1 (2016).
Aswandi, Bobi, and Kholis Roisah. “Negara Hukum Dan Demokrasi Pancasila Dalam Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia (HAM).” Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia 1, no. 1 (2019): 128–45.
Barus, Zulfadli. “Analisis Filosofis Tentang Peta Konseptual Penelitian Hukum Normatif Dan Penelitian Hukum Sosiologis.” Jurnal Dinamika Hukum 13, no. 2 (2013): 307–18.
Diantha, I Made Pasek, and M S SH. Metodologi Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifikasi Teori Hukum. Prenada Media, 2016.
Hanafi, Hanafi, Muhammad Syahrial Fitri, and Fathan Ansori. “Eksistensi Persidangan Online Ditengah Pandemi Covid19 Dalam Perkara Pidana Di Indonesia.” Al-Adl: Jurnal Hukum 13, no. 2 (2021): 320–41.
Herlina, Ning. “Cita Hukum Pancasila Dapat Berkembang Dalam Batang Tubuh Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.” Lex Librum: Jurnal Ilmu Hukum 4, no. 2 (2018).
Irsyad, Mohammad. “PANDANGAN HAKIM PENGADILAN AGAMA TERHADAP GUGATAN PEMENUHAN NAFKAH MADHIYAH KUMULASI GUGATAN HARTA BERSAMA.” Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, n.d.
Kabalmay, Husin Anang. “Keadilan Sebagai Tujuan Hukum; Suatu Kajian Filsafat.” Jurnal Tahkim 6, no. 1 (2010).
Kastro, Edy. “Proses Pembuktian Tindak Pidana Bisnis Online.” Jurnal Kepastian Hukum Dan Keadilan 1, no. 1 (2020): 10–21.
Kelima, Elektronik KBBI Edisi, and TJDTA JENIS. “Badan Pengembangan Dan Pembinaan Bahasa.” Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia, Kbbi. Kemdikbud. Go. Id (Diakses 15 Januari 2019), 2016.
Kurniasi, Ririn. “Legalitas Persidangan Perkara Pidana Di Pengadilan Secara Elektronik.” Satya Dharma: Jurnal Ilmu Hukum 5, no. 1 (2022): 40–53.
Kusniati, Retno. “Sejarah Perlindungan Hak Hak Asasi Manusia Dalam Kaitannya Dengan Konsepsi Negara Hukum.” INOVATIF| Jurnal Ilmu Hukum 4, no. 5 (2011).
Lubis, Dini Kusumandari. “Hakekat Manusia Menurut Muhammad Iqbal Dan Kahlil Gibran.” Al-Hikmah: Jurnal Theosofi Dan Peradaban Islam 4, no. 1 (2022).
Lumbanraja, Anggita Doramia. “Perkembangan Regulasi Dan Pelaksanaan Persidangan Online Di Indonesia Dan Amerika Serikat Selama Pandemi Covid-19.” Jurnal Crepido 2, no. 1 (2020): 46–58.
Mintan, Yullia. “Keadilan Berpolitik,” 2019.
Mukhlash, Moh, Achmad Rochidin, and Muhammad Arif Wijaya. “Implementasi Perma No. 4 Tahun 2020 Tentang Persidangan Perkara Pidana Secara Elektronik.” Al-Qanun: Jurnal Pemikiran Dan Pembaharuan Hukum Islam 24, no. 1 (2021): 198–224.
Muslimin, Husein. “TANTANGAN TERHADAP PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI DAN DASAR NEGARA PASCA REFORMASI,” n.d.
http://jurnal.unmer.ac.id/index.php/jch.
Pandit, I Gde Suranaya. “Konsep Keadilan Dalam Persepsi Bioetika Administrasi Publik.” Public Inspiration: Jurnal Administrasi Publik 1, no. 1 (2016): 14–20.
Rahmaningsih Nugroho, Dewi, and S Suteki. “Membangun Budaya Hukum Persidangan Virtual (Studi Perkembangan Sidang Tindak Pidana via Telekonferensi),” n.d.
Ridlwan, Zulkarnain. “Negara Hukum Indonesia Kebalikan Nachtwachterstaat.” Fiat Justisia: Jurnal Ilmu Hukum 5, no. 2 (2011).
Safitri, Dewi, and Bambang Waluyo. “Tinjauan Hukum Atas Kebijakan Sistem Peradilan Pidana Secara Elektronik Di Masa Pandemi Covid-19.” In National Conference on Law Studies (NCOLS), 2:806–19, 2020.
Setiawan, Agus. “Penalaran Hukum Yang Mampu Mewujudkan Tujuan Hukum Secara Proporsional.” Jurnal Hukum Mimbar Justitia 3, no. 2 (2017): 204–15.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 2006.
Sofyan, Andi Muhammad, and M H SH. Hukum Acara Pidana. Prenada Media, 2020.
Suheri, Ana. “Wujud Keadilan Dalam Masyarakat Di Tinjau Dari Perspektif Hukum Nasional.” MORALITY: Jurnal Ilmu Hukum 4, no. 1 (2018): 60–68.
Zaini, Ahmad. “Negara Hukum, Demokrasi, Dan HAM.” Al Qisthas: Jurnal Hukum Dan Politik Ketatanegaraan 11, no. 1 (2020): 13–48.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 76 Tahun 1981. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 Tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2020 tentang Administrasi Dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik.
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Selama Masa Pencegahan Penyebaran COVID-19 di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang Berada di Bawahnya.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Sebagai Bencana Nasional.
79
Discussion and feedback