rWMUU'                     ISSN: 2302-528X

Magister Hukum Udayana

Vol.6 No.2 2014

EKSISTENSI OTONOMI DESA PAKRAMAN DI BALI DALAM KERANGKA OTONOMI DAERAH KHUSUSNYA DALAM

PENGELOLAAN OBYEK WISATA1

Oleh

I Gusti Ayu Agung Ariani ([email protected])

Ni Nyoman Sukerti ([email protected])2

ABSTRACT

Traditional village (Pakraman) is an indigenous people who have the authority to manage his own household, and the authority was born out of the village so it is often referred to as having genuine autonomy. On the other hand with the establishment of the state covering the entire area of the country where the indigenous villages were then raised the issue regarding the implementation of autonomy in relation to the traditional village authorities also state that gives autonomy to the region in accordance with the centralized system that was followed. That's why it is necessary to examine the existence of a traditional village in Bali autonomy within the framework of regional autonomy especially in tourist object management.

This study were classified in empirical legal research can be seen in the study area were selected using purposive sampling method, it can be seen that initially the traditional village autonomy is not recognized in the context of managing a tourist object because of the traditional village is not at all involved in the management of tourist objects. It was only through an uphill battle, even with through demonstrations, traditional village involved in the management of a tourist attraction. In the original development management involving private parties as well as third party, then is only managed as a form of cooperation between local government and the Desa Pakraman only somewhat proportional outcomes assessed, although there are groups of people who do not approve even sueing Bendesa Desa Pakraman. The cooperation in tourism management proficiency level set forth in a letter of the Collective Agreement between the Government and Bendesa Desa Pakraman.

Keywords : existence, indigenous village autonomy , regional autonomy.

  • I.    PENDAHULUAN

  • 1.    Latar Belakang

Desa Adat (sekarang Desa Pakraman) di Bali adalah satu masyarakat hukum yang memiliki otonomi asli, yaitu kewenangan untuk mengatur atau mengurus rumah tangganya sendiri, kekuasaan mana terlahir dari desa itu sendiri, tidak dari kekuasaan lain yang lebih tinggi. Apabila otonomi dari desa adat (desa pakraman) dijabarkan lebih lanjut dapat dilihat bahwa setidak-tidaknya ada tiga jenis kekuasaan yang melekat pada otonomi tersebut yaitu :

  • a.    kekuasaan untuk menetapkan aturan-aturan hukum yang mesti diperhatikan dan ditaati oleh setiap bagian dari mjasyarakat tersebut;

  • b.    kekuasaan                untuk

menyelenggarakan tata kehidupan masyarakat dalam rangka mewujudkan kesejahteraan warga;

  • c.    kekuasaan untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi di kalangan warga, 3

Kekuasaan pertama yang dikemukakan di atas tampaknya sejalan dengan pandangan Kusumadi Pujosewoyo 4 yang menyatakan bahwa masyarakat hukum adalah masyarakat yang menetapkan aturan hukumnya sendiri dan tunduk sendiri pada aturan yang dibuatnya itu. Di lingkungan desa adat di Bali, aturan-aturan yang dibuat oleh desa tersurat dalam satu susunan yang lengkap yang dikenal dengan awig-awig. Awig-awig ini menjadi pedoman bertingkah laku dari warga desa dalam hubungannya dengan sesama warga, dengan lingkungan alam, dan dengan sang pencipta, sebagai pengejawantahan dari filsafat Tri HitaKarana.

Kekuasaan kedua yang berkaitan dengan penyelenggaraan tata kehidupan bermasyarakat untuk mewujudkan kesejahteraan warga dilandasi oleh corak kehidupan masyarakat adat yang sosial religius. Dalam kerangka inilah dapat dilihat arti pentingnya obyek wisata yang

menjadi penghasil penting bagi kehidupan masyarakat hukum adat.

Kekuasaan ketiga, untuk menyelesaikan sengketa merupakan perwujudan dari kekuasaan peradilan yang dimiliki oleh desa adat, yaitu kekuasaan untuk mewujudkan keadilan dan kepatutan manakala terjadi sengketa di kalangan warga.

Ketiga wujud kekuasaan d iatas terletak di tangan pemerintahan desa adat bersama-sama dengan warga, yang dalam pelaksanaannya disesuaikan dengan kepentingan riil yang ada. dalam arti menyesuaikan dengan perkembangan yang ada. Persoalannya menjadi penting manakala otonomi desa adat tersebut dikaitkan dengan keberadaan desa pakraman dalam lingkup kehidupan bernegara, yang tersusun dalam satu bentuk pemerintahan yang berjenjang sejalan dengan asas desentralisasi, dalam bentuk Pemerintah (Pusat) dan Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota). Pemerintah Daerah memiliki otonomi yang diberikan oleh negara melalui peraturan perundang-undangannya, sehingga dapat dikatakan bahwa

terjadi “pertemuan” antara otonomi dari desa pakraman dengan otonomi daerah. “Pertemuan” seperti ini dapat bersifat positif, dalam arti saling mendukung dalam pelaksanaannya, namun dapat pula bersifat negatif dalam arti bertentangan satu dengan yang lainnya.

Sudah diketahui dari sejak dulu bahwa Bali adalah daerah tujuan wisata yang sangat terkenal, dan diberikan berbagai macam gelar yang menunjukkan keistimewaannya. Daya tarik wisata yang dominan adalah kebudayaan, di samping alamnya yang indah, sehingga pariwisata di Bali diberikan bentuk sebagai pariwisata budaya. Salah satu faktor pendukung dari wacana ini adalah desa pakraman, yang dulunya dikenal dengan desa adat, sebagai wadah berlangsungnya serta berkembangnya kebudayaan Bali. Pada bagian lain, secara politik kenegaraan ada pengakuan terhadap otonomi dari masyarakat hukum adat (di desa pakraman di Bali), sebagai bagian dari hak-hak tradisionalnya. Pengakuan seperti ini dapat menimbulkan persepsi yang keliru, terutama dari kalangan masyarakat

hukum adat sendiri, berkenaan dengan kewenangan yang dimilikinya, yang dapat berakibat terjadinya benturan antara kewenangan desa pakraman dengan pemerintah daerah yang juga diberikan kewenangan oleh negara untuk mengurus dan mengatur rumah tangga daerahnya sendiri. Sinergi antara pemerintah dengan desa pakraman dalam hubungannya dengan pengelolaan obyek wisata dalam mana obyek wisata ini memberikan sumbangan yang tidak sedikit dalam bentuk finansiil baik bagi daerah dalam rtangka peningkatan PAD masupun bagi masyarakat desa adat sendiri, memerlukan satu bentuk kerjasana yang positip antara pemerintah daerah dengan desa pakraman, dan bukan satu bentuk sinergi yang negatif.

Untuk itulah dipandang perlu melakukan penelitian berkenaan dengan eksistensi otonomi desa pakraman dalam kerangka otonomi daerah tersebut, khususnya dalam pengelolaan obyek wisata.

  • 2.    Rumusan Masalah

Masalah yang menjadi perhatian dari penelitian ini adalah :

  • 1. Bagaimana eksistensi  otonomi

desa     pakraman     dalam

hubungannya dengan  otonomi

daerah,    khususnya    dalam

pengelolaan obyek wisata?

  • 2.    Permasalahan apa yang timbul dalam pelaksanaan otonomi desa pakraman dan otonomi daerah tersebut dalam pengelolaan obyek wisata        dan bagaimana

penyelesaiannya?

  • II.    METODE PENELITIAN

  • 1.    Jenis dan Sifat Penelitian

Eksistensi dari otonomi desa pakraman dan implementasinya dalam    kerangka pelaksanaan

Otonomi daerah merupakan satu realita yang ada di dalam kehidupan masyarakat adat di Bali yang dikenal dengan desa adat (desa pakraman). Karena itu penelitian ini tergolong dalam penelitian hukum empiris, yang menggunakan data lapangan sebagai data primer. Penelitian ini tidak akan menguji hipotesis melainkan mengumpulkan informasi yang sebanyak-banyaknya berkenaan dengan implementasi otonomi desa

pakraman dalam kaitannya dengan otonomi daerah. Karenanya penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu menggambarkan situasi yang ada di seputar implementasi dari otonomi desa pakraman, baik yang bersifat internal maupun eksternal dikaitkan dengan otonomi daerah yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah provinsi maupun kabupaten/kota, khususnya dalam pengelolaan obyek wisata.

  • 2.    Jenis dan Sumber Data

Data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data primer dan data skunder. Data primer diperoleh dari sumber data lapangan yang ada di lingkungan desa-desa pakraman yang memiliki obyek wisata di wilayahnya. Sebagai sample akan dipilih secara purposif yaitu Desa PakramanBeraban, Kecamatan Kediri, Tabanan, yang memiliki obyek wisata Tanah Lot. Desa ini telah cukup berkembang sebagai desa pariwisata dengan disertai perkembangan pembangunan sarana kepariwisataan yang pada gilirannya mengarah pada persoalan pengelolaan pariwisata itu sendiri. Sebagai responden adalah para

bendesa adat dari desa pakraman yang bersangkutan dan para informan yaitu orang-orang yang mengetahui persoalan sekitar pengelolaan obyek wisata.

Data skunder diperoleh dari bahan-bahan tertulis atau dokumen-dokumen yang memuat informasi berkenaan dengan pengelolaan obyek wisata.

  • 3.    Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data lapangan (primer) dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara yang berpedoman pada instrument berupa pedoman wawancara (interviewguide), sedangkan data sekunder yang bersumber pada dokumen dikumpulkan melalui studi dokumen sederhana.

  • 4.    Teknik Pengolahan dan

    Analisis Data

Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan menggunakan metode yang bersifat kualitatif dilengkapi dengan analisis situasional 5.

Metode ini akan dapat menunjukkan keberadaan dari otonomi desa pakraman dalam hubungannya dengan otonomi daerah, khususnya berkenaan dengan pengelolaan obyek wisata, dengan segala situasi yang meliputinya.

III.HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Gambaran Umum Daerah

Penelitian

Desa Pakraman Beraban terletak di pesisir pantai Selatan Tabanan, merupakan bagian dari wilayah administrasi Kecamatan Kediri. Luas wilayah Desa Beraban sekitar 692 km2 dengan jarak sekitar 10 km dari ibukota kecamatan, dan 13 km dari ibukota kabupaten. Secara tofografi Desa Pakraman Beraban merupakan daerah landai dengan ketinggian 0 s/d 45 m dari permukaan laut, dengan curah hujan relatif tinggi, dengan batas wilayah sebagai berikut : di sebelah Utara : Subak Gadon I (wilayah Desa Pandak Gede); di sebelah Timur : Sungai Yeh Sungi (Desa Buwit); di sebelah Selatan : Samufra Hindia; di

sebelah Barat : Sungai Yeh Kutikan (Desa Belalang).6

Desa Pakraman Beraban terdiri dari 15 banjar adat, ditambah dengan satu Wewidangan Suci yaitu :1) Banjar Pakraman Ulundesa 2) Banjar Pakraman Gegelang 3) Banjar Pakraman Batanbuah Kaja 4) Banjar Pakraman Batanbuah 5) Banjar PakramanBeraban 6) Banjar Pakraman BatugaingKaja 7) Banjar Pakraman Batugaing Kelod 8) Banjar Pakraman Dukuh 9) Banjar Pakraman Enjung Pura 10) Banjar Pakraman Sinjuana Kaja 11) Banjar Pakraman Sinjuana Tengah 12) Banjar Pakraman Sinjuana Kelod 13) Banjar Pakraman Nyanyi 14) Banjar Pakraman Kebon 15 ) Banjar Pakraman Pasti 16) Wewidangan suci Tanah Lot.7 .

Tidak diketahui secara jelas sejak kapan desa ini mulai ada namun diperkirakan sekitar tahun 1380 masehi pada saat kedatangan Dalem Kresna Kepakisan ke Bali, sebagai raja Bali Majapahit yang

pertama. Mengenai asal usul dari desa ini juga tidak diketahui secara jelas, namun dari sumber-sumber yang layak dipercaya dan juga dikaitkan dengan lontar “MpuPradnyana Siwa” dapatlah dikemukakan sebuah ceritra mengenai hal ini. Dikisahkan pada saat kedatangan Dalem Kresna Kepakisan ke Bali, beliau diiringi oleh para Arya dan pengikut lainnya menuju ke satu tempat suci yang disebut dengan « Sila Ngungan » yang kini disebut dengan Batungaus (di sebelah timur Pura Tanah Lot). Beberapa dari pengikut beliau tidak ikut melanjutkan perjalanan, bahkan membuat pemukiman di sepanjang pantai ke barat yang namanya disesuaikan dengan keadaan alam setempat seperti Batu Negemped, Batu gang dan sebagainya. Lebih lanjut dikisahkan bahwa di Batu Gang (Batugaing) ada seorang gadis cantik yang lahir dari « Pilahingwatu » yang pada akhirnya mengundang bencana di mana Ki Dawang, pelarian dari Kunir Lidah (sekarang Nyitdah) menggoda si anak gadis tersebut yang akhirnya menimbulkan keributan di seluruh

pemukiman yang disebut dengan Kebrebehandening kala. Dari kata berebehan itulah berubah menjadi Beraban yang merupakan nama desa 8

tersebut hingga sekarang.8

  • 2.    Sejarah Singkat Pengelolaan Obyek Wisata Pura Tanah Lot

Pura Tanah Lot mulai berdiri semasa pemerintahan Dalem Waturenggong, dimana pada masa itu ada seorang Bhagawan yang bernama Dang Hyang Dwijendra atau yang dikenal juga dengan Dang Hyang    Nirartha    melakukan

dharmayatra ke Bali dari tanah Jawa dengan menyebarkan ajaran Agama Hindu. Pada saat beliau mengadakan perjalanan itu beliau melihat sinar suci dari arah tenggara dan mengikutinya     sampai     pada

sumbernya yang ternyata adalah sebuah mata air. Tidak jauh dari sumber mata air tersebut terdapat sebuah batu karang yang disebut Gili Beo karena berbentuk burung beo. Di tempat itulah beliau bermeditasi dan melakukan pemujaan terhadap Desa

Penguasa Laut. Kepada penduduk setempat beliau menyebarkan ajarannya tetapi ditentang oleh pimpinan desa yang dikenal dengan Bendesa Beraban Sakti dan berusaha mengusir beliau dengan para pengikutnya. Kemudian beliau dengan kesaktiannya memindahkan batu karang tersebut ke tengah laut dan menciptakan banyak ular sebagai pelindung dan penjaga tempat tersebut. Batu karang itu dinamakan Tanah Lot yang berarti tanah di tengah laut. Akhirnya Bendesa Beraban mengakui kesaktian dan kekuatan spiritual beliau dan mulai menjadi pengikut beliau. Di atas tanah itulah kemudian dibangun pura yang sekarang dikenal dengan Pura Tanah Lot, dan upacara piodalannya dilaksanakan pada hari Buda Wage Langkir, sesuai penanggalan Bali9

Dikenalnya Tanah Lot sebagai obyek wisata sebelum tahun 1950 an dan mulai lebih dikenal lagi di tahun1970 an, namun kondisi infrastrukturnya masih sangat kurang, dan hanya dikunjungi oleh

wisatawan lokal pada hari-hari libur lokal seperti libur sekolah, Hari Raya Galungan dan Kuningan dan pada saat upacara piodalan di Pura Tanah Lot. Seiring dengan berkembanganya sektor kepariwisataan di Bali, dengan mengandalkan suasana sunsetnya yang menawan, Pura Tanah Lot mengalami peningkatan jumlah pengunjung baik dari wisatawan domestik maupun Mancanegara, dan kunjungan tidak hanya pada saat liburan tetapi sudah rutin setiap hari terutama di sore hari.

Pengelolaan obyek wisata Pura Tanah Lot ini semula dikelola oleh Desa Adat Beraban sendiri dengan melalui penjualan karcis masuk, namun kemudian diambil alih oleh Desa Dinas, selanjutnya diambil alih oleh Kecamatan dan sekitar tahun 1980 an diambil alih oleh Pemerintah Kabupaten Tabanan. Mulai saat itu pengelolaan obyek wisata Tanah Lot diserahkan kepada pihak swasta yaitu kepada CV Ari Jasa Wisata, melalui sistem kontrak. per 1 Juni 1980 harga tiket masuk Rp. 100.- per orang dengan target pemasukan ke Pemerintah Daerah sebesar 3 (tiga) juta rupiah per tahun.

Sistem kontrak ini terus berlangsung dengan mengalami perubahan target pencapaian pendapatan seiring dengan peningkatan angka kunjungan dan peningkatan harga tiket masuk. Di awal tahun 1980 nilai kontrak kepada pemerintah daerah per tahun menjadi 380 juta dan harga tiket masuk Rp. 3300/orang dewasa dan Rp. 1800/anak-anak.

Dalam perjalanannya Desa Adat Beraban telah pernah mengajukan usulan agar pengelolaan obyek wisata Tanah Lot diserahkan kepada Desa Adat Beraban namun tidak pernah disetujui oleh pihak Pemda Tabanan. Pada tahun 1999 dengan bergulirnya wacana otonomi daerah kembali diajukan permohonan untuk mengelola DTW Tanah Lot dengan membentuk Panitia Pengalihan Pengelolaan DTW Tanah Lot, dan mengadakan demonstrasi damai bersama Pemuda Desa PakramanBeraban. Pihak Desa Pakraman Beraban mencoba menawarkan konsep pengelolaan DTW Tanah Lot yang baru. Situasi sempat memanas, apalagi diketahui bahwa sudah ada perpanjangan kontrak hingga tahun 2011. Akhirnya

dengan menggunakan jalur politik dan masyarakat oleh pihak Legislatif (DPRD Tabanan) dibentuklah Pansus Pengkajian Kontrak Kerjasama Pengelolaan Daya Tarik Wisata Tanah Lot antara pihak Pemerintah Daerah dengan pihak swasta. Dari perjuangan masyarakat ini kemudian disepakati bentuk win-winsolution yaitu bahwa sejak 1 Juli 2000 hingga 19 April 2011, DTW Tanah Lot dikelola oleh tiga komponen yaitu Desa Adat Beraban, pihak swasta, dan Pemerintah Daerah Kabupaten Tabanan dengan pola sharing profit. Kesepakatan ini tertuang dalam Surat Perjanjian Kerja Sama Pengelolaan Obyek Wisata Tanah Lot, No. 01/HK/2000 tertanggal 30 Juni 2000, diikuti dengan Surat Keputusan Bupati Tabanan No. 644 tahun 2000 tentang Pembentukan Badan Pengelola Obyek Wisata Tanah Lot. Perjanjian kerja sama ini telah mengalami revisi pada tahun 2002 menjadi Surat Perjanjian Kerjasama Pengelolaan Obyek Wisata Tanah Lot Nomor 01/HK/2002. Dalam surat perjanjian yang direvisi ini pembagian retribusi ditentukan sebagai berikut :

  • 1.    Pemerintah daerah memperoleh

sebesar 55% dari hasil kotor

setelah     dikurangi     biaya

operasional

  • 2.    CV Ari Jasa Wisata sebagai pengelola mendapatkan 15% dari hasil kotor dikurangi biaya operasional

  • 3.    Desa Adat Beraban mendapat 30% dari hasil kotor dikurangi biaya operasional.

Biaya operasional pengelola obyek ditetapkan 20% dari hasil kotor, dan selanjutnya ditetapkan setiap tahun atas dasar rapat badan pengelola.     Peninjauan     atau

perubahan atas besarnya biaya operasional     dapat     dilakukan

sekurang-kurangnya enam bulan sekali atas dasar rapat badan pengelola.

Surat perjanjian ini berlaku hingga 1 April 2011, ditandatangani oleh oleh ketiga pihak yaitu Bupati Tabanan, Bendesa Adat Beraban dan dari pihak CV Ari Jasa Wisata.

  • 3.    Pengelolaan Obyek Wisata Pura Tanah Lot Dewasa ini

Dengan berakhirnya waktu dari surat perjanjian ini (1 April 2011) maka sebagian besar warga Desa Pakraman Beraban menginginkan agar pengelolaan obyek wisata Tanah Lot hanya ditangani oleh dua pihak saja yaitu Pemerintah Daerah Kabupaten Tabanan dan Desa Pakraman Beraban, tanpa melibatkan lagi pihak swasta, sementara Pemerintah Kabupaten Tabanan tetap menginginkan komposisi dari pengelolaan tetap berjalan seperti sebelumnya dan hanya perlu dibuatkan kontrak baru saja. Pihak Desa Pakraman Beraban menghendaki pembagian hasil masing-masing 50% untuk Pemerintah Kabupaten dan 50 % untuk Desa Pakraman Beraban. Bagian untuk Desa PakramanBeraban ini dibagi dua lagi yaitu 70 % untuk Desa Pakraman dan 30 % untuk Pura Tanah Lot. Pada pihak lainnya pemilik CV Ari Jasa Wisata menghendaki agar tetap diikutkan dalam pengelolaan obyek wisata ini dengan dalih bahwa telah

berjasa dalam pengembangan obyek wisata Tanah Lot selama ini10 Akhirnya tuntutan dari Desa Pakraman Beraban disetujui dan pada tanggal 17 Nopember 2011 dibuatlah satu Perjanjian Kerjasama hanya antara Pemerintah Daerah kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Beraban saja dengan Surat Perjanjian No. 12 Tahun 2011 dan Nomor 358/DPBRB/XI/2011, tentang Pengelolaan Daya Tarik Wisata Tanah Lot. Perjanjian Kerjasama yang ditandatangani oleh Bendesa Desa Pakraman Beraban dan Bupati Tabanan mendapat tentangan dari kelompok masyarakat yang menamakan dirinya Gerakan Forum Aspirasi Warga Desa Pakraman Beraban (Forad) yang mengajukan gugatan melalui kuasa hukumnya. Dalam gugatan itu dinyatakan bahwa kebijakan Bendesa Desa Pakraman Beraban menandatangani perjanjian tidak mengindahkan aspirasi seluruh warga. Selain itu Bendesa tidak

memilki kapasitas mewakili seluruh warga desa pakraman untuk membuat dan menandatangani surat perjanjian tentang pengelolaan DTW Tanah Lot, dan karena itu dianggap sebagai perbuatan melanggar hukum. Forad meminta agar surat perjanjian tersebut dibatalkan. Selain itu mereka menuntut agar Bendesa didenda berupa uang dan membuat pernyataan permintaan maaf kepada warga di masing-masing banjar melalui paruman Desa Pakraman Beraban, dan juga melalui media massa. Dengan adanya gugatan itu, justru seluruh prajuru desa pakraman kompak untuk mendukung surat perjanjian yang telah ditandatangani oleh Bendesa Desa Pakraman Beraban dengan membuat surat pernyataan sikap nomor 40/DP.Brb/II/2012 tertanggal 12 Pebruari 2012 yang ditanda tangani oleh 27 prajuru adat. Pada dasarnya seluruh prajuru mendukung Surat Perjanjian tersebut karena di dalamnya telah menyerap aspirasi Desa Pakraman dengan menetapkan hanya dua pihak saja yang terlibat dalam pengelolaan obyek wisata Tanah Lot bahkan Desa Pakraman

Beraban dilibatkan pula dalam manajemen operasionalnya. Gugatan Forad ke PTUN dan juga Pengadilan Negeri Tabanan ternyata ditolak dan disarankan untuk diselesaikan secara musyawarah (wawancara dengan Bendesa Desa Pakraman Beraban tanggal 13 September 2013). Dengan demikian pengelolaan obyek wisata Tanah Lot dilaksanakan sesuai Surat Perjanjian Kerjasama antara Pemerintah daerah Kabupaten Tabanan dan Desa Pakraman Beraban, seperti disebutkan di atas. Pada tanggal 13 Desember 2011 diadakan perubahan pada pasal 9 dari perjanjian tersebut melalui Perjanjian Kerjasama No. 16 tahun 2011 dan No. 376/DPBRB/XI/2011, yang selanjutnya dilengkapi dengan Peraturan Bupati Tabanan No. 40 tahun 2011, tentang Struktur Organisasi, Keanggotaan, Uraian Tugas Pengurus Badan Pengelola dan Struktur Organisasi serta Uraian Tugas Manajemen Operasional Badan Pengelola Daya Tarik Wisata Tanah Lot.

Dalam perjanjian tersebut dikemukakan dalam pasal demi pasal tentang kedudukan dan fungsi

masing-masing pihak dengan hak dan kewajibannya masing-masing khususnya berkaitan dengan pembagian hasil dari obyek wisata Tanah Lot. Pada bagian awal dari perjanjian itu dikemukakan bahwa pihak pertama (Bupati Tabanan) berkedudukan selaku pemegang kebijakan untuk mengatur, menjalankan, mengembangkan, dan menetapkan atas Daya tarik Wisata Tanah Lot yang terletak di Desa Beraban Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan. Sedangkan pihak kedua (Bendesa Desa PakramanBeraban) merupakan masyarakat setempat yang ikut bersama-sama untuk mengembangkan dan mengawasi pengelolaan Daya Tarik Wisata Tanah Lot. Dalam pasal 2 dari perjanjian berkenaan dengan pengelolaan ditegaskan kembali bahwa pihak pertama (Bupati) selaku pemegang kebijakan berwenang untuk mengatur dan mengelola urusan kepariwistaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sedangkan pihak kedua selaku Bendesa Pakraman Beraban dan/atau

masyarakat Desa Pakraman Beraban diberi kesempatan ikut berperan aktif dalam pengelolaan Daya Tarik Wisata Tanah Lot sesuai dengan tugas yang diatur dalam Peraturan Bupati. Dalam perjanjian tersebut nampak dengan jelas bahwa pemegang kebijakan dalam pengelolaan obyek wisata di wilayah kabupaten adalah bupati, walaupun obyek wisata tersebut berada di wilayah desa pakraman, sedangkan desa pakraman hanya diberi kesempatan untuk ikut berperan aktif dalam pengelolaannya. Tidak ada satu penegasan dalam perjanjian tersebut yang berhubungan dengan kedudukan desa pakraman sebagai masyarakat hukum adat yang memiliki kewenangan untuk mengatur segala sesuatu yang berada di wilayahnya atau sebagai masyarakat hukum adat yang otonom. Namun secara implisit dapat dilihat bahwa ikut sertanya Desa Pakraman Beraban dalam pengelolaan obyek wisata Tanah Lot adalah karena berkedudukan sebagai satu masyarakat hukum adat.

Dalam perjanjian kerjasama ini diatur lebih lanjut hal-hal teknis

berkenaan dengan pengelolaan obyek wisata Tanah Lot antara lain berkenaan dengan organisasi dalam pengelolaan yaitu ditetapkan satu Badan Pengelola dan untuk dapat melaksanakan tugasnya badan pengelola ini dapat membentuk Manajemen Operasional Badan pengelola yang nantinya ditetapkan dengan Peraturan Bupati (pasal 5).

Secara konkrit kedudukan dari Bupati dan Bendesa PakramanBeraban dalam pengelolaan DTW Tanah Lot tersebut dapat dilihat dalam Peraturan Bupati No. 40 tahun 2011 sebagaimana disebutkan diatas, yang membagi organisasi pengelola dalam dua macam yaitu Badan Pengelola Daya Tarik Wisata Tanah Lot dan Manajemen Operasional DTW Tanah Lot.11

Dari struktur organisasi di atas pejabat dari lingkungan masyarakat hukum adat ( Prajuru Desa Pakraman Beraban) dilibatkan secara aktif dalam pengelolaan DTW Tanah Lot.

Selanjutnya dalam perjanjian kerjasama tersebut ditetapkan pula mengenai sumber pendapatan, pembiayaan dan pembagian hasil baik untuk pemerintah kabupaten, untuk desa pakraman dan juga untuk biaya manajemen operasionalnya.

Dalam pasal 7 tentang Pendapatan dikemukakan bahwa penerimaan pendapatan dari pengelolaan DTW Tanah Lot bersumber dari :

  • a.    Penerimaan penjualan karcis masuk ;

  • b.    Penerimaan  penjualan  karcis

parkir ;

  • c.    Penerimaan sewa    tempat

kios/toko ; dan

  • d.    Lain-lain penerimaan yang sah.

Selanjutnya dalam pasal 8 tentang Biaya, diatur :

  • 1)    Biaya Pengelolaan Daya Tarik Wisata Tanah Lot terdiri dari biaya Operasional Manajemen dan biaya promosi dan pengembangan.

  • 2)    Biaya Operasional Manajemen dianggarkan    setiap    tahun

berdasarkan    rapat    Badan

Pengelola dan ditetapkan dengan

Keputusan Ketua Umum Badan pengelola

  • 3)    Biaya pengembangan dan biaya promosi ditetapkan sebesar 15% (lima belas persen) dari penerimaan bruto setelah dikurangi biaya Operasional Manajemen.

  • 4)    Biaya pengembangan dan biaya promosi sebagaimana dimaksud pada ayat  3) dikelola  oleh

Manajemen Operasional  dan

dipertanggung-jawabkan kepada Pihak Pertama dan Pihak Kedua.

  • 5)    Perubahan biaya Operasional Manajemen dilakukan sekurang-kurangnya 6 (enam bulan) sekali berdasarkan rapat Badan Pengelola.

  • 6)    Penggunaan biaya Operasional Manajemen       sebagaimana

dimaksud pada ayat 1) digunakan untuk gaji/upah pengurus dan karyawan/ karyawati Manajemen Operasional, honor pengurus Badan Pengelola, biaya rutin, dan biaya lain-lain yang sah.

Dalam pasal 9 dari Perjanjian Kerjasama yang telah diubah pada tanggal 13 Desember 2011 diatur

mengenai Pembagian Hasil sebagai berikut :

  • 1)    Bahwa dari hasil pendapatan bruto setelah dikurangi dengan biaya-biaya        sebagaimana

dimaksud dalam pasal 8, maka para pihak sepakat mengatur hasil pembagiannya sebagai berikut :

  • a)    Pemerintah      Kabupaten

Tabanan Sebesar 58% (lima puluh delapan persen)

  • b)    Desa     PakramanBeraban

sebesar 24% (dua puluh empat persen)

  • c)    Pura Luhur Tanah Lot sebesar 7.5% (tujuh koma lima persen)

  • d)    Pura-Pura terkait di kawasan tempat Daya tarik Wisata Tanah Lot sebesar 4  %

(empat persen) ; dan

  • e)    Desa Pakraman se -Kecamatan Kediri sebesar 6.5% (enam koma lima persen)

  • 2)    Pembagian sebasar 4% (empat persen) sebagaimana dimaksud pada ayat 1) huruf d) selanjutnya dijadikan 100% dan dibagi kepada pura-pura dengan

perincian sebagai berikut : ….dst…

  • 3)    Pembagian sebesar 6.5% (enam koma lima persen) sebagaimana dimaksud pada ayat 1) huruf e) dibagi dengan 22 (dua puluh dua) Desa Pakramanse- Kecamatan Kediri.

  • 4)    Pembayaran        pembagian

sebagaimana dimaksud pada ayat 1) huruf a) sampai dengan huruf d) dibayarkan setiap bulan

Dari keseluruhan uraian di atas dapat dilihat bahwa kedudukan desa pakraman sebagai satu lembaga adat yang otonom mandapat pengakuan secara riil dari pihak pemerintah, khususnya pemerintah kabupaten dengan melibatkan secara aktif desampakraman tersebut dalam pengelolaan aset daerah di wilayah desa pakraman yang bersangkutan. Namun pengakuan tersebut tidak datang dengan sendirinya melainkan melalui perjuangan dari desa pakraman itu sendiri untuk dapat dilibatkan dalam pengelolaan aset daerah tersebut, dengan satu pertimbangan yang logis yaitu bahwa aset daerah yang berupa obyek wisata tersebut berada di wilayah

desa pakraman sehingga desa pakraman dengan otonominya memiliki kewenangan pula untuk mengatur atau mengelola aset tersebut. Terlebih-lebih lagi dilihat dari sudut pandang Agama Hindu, Pura adalah bagian dari kehidupan desa pakraman yang mempunyai tanggung jawab untuk menyelenggarakan upacara dan pemeliharaan bangunan di pura tersebut, termasuk untuk menjaga kesuciannya, sehingga kehidupan di wilayah desa pakraman tersebut dapat terjaga dengan baik. Disinilah bentuk konkrit dari penerapan ajaran Tri HitaKarana, yang mengupayakan keharmonisan antara alam skala dan niskala, antara manusia dengan Tuhan melalui tempat persembahyangan yang disebut dengan Parhyangan, yang tidak hanya melalui Parhyangan Desa yang dikenal dengan Kahyangan Tiga tetapi juga Parhyangan lainnya yang merupakan Stana Tuhan dalam fungsinya yang tertentu yang berada di wilayah desa pakraman.

Adalah suatu kewajaran bahwa setelah pura tersebut menjadi obyek wisata yang dapat

menghasilkan uang, desa pakraman harus terlibat dalam pengelolaannya, bahkan apabila perlu seluruh pengelolaan sepenuhnya ada di tangan desa pakraman. Hal ini disebabkan karena sebelum pura itu menjadi obyek wisata yang dapat menghasilkan uang justru desa pakraman sebagai pengempon pura menanggung segala biaya yang diperlukan untuk pura tersebut baik menyangkut biaya pembangunan, pemeliharaan dan upacaranya. Dari informasi yang diperoleh melalui wawancara dengan Bendesa adat Desa PakramanBeraban dapat diketahui betapa beratnya desa ini dalam proses pembangunan, perbaikan dan pemeliharaan serta pemenuhan biaya upacara di pura ini, bahkan setelah dikelola oleh pemerintah daerah yang bekerjasama dengan pihak swastapun hanya mendapatkan sumbangan yang sangat kecail dan hampir tidak berarti bila dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan oleh desa pakraman untuk menyelenggarakan upacaranya.

Namun yang sangat disayangkan adalah bahwa

pengakuan dan pelibatan desa pakraman dalam pengelolaan obyek wisata tersebut agak terlambat dan baru diterima oleh pihak pemerintah daerah setelah melalui perjuangan yang berat bahkan dengan melakukan demonstrasi. Disinilah kelihatan bahwa pihak Pemerintah Daerah kurang memahami tentang eksistensi otonomi dari desa pakraman berkenaan dengan wilayahnya. Mungkin ada anggapan bahwa karena Pura Tanah Lot adalah Pura Dang Kahyangan, yang berarti menjadi sungsungan jagat, maka pemerintah daerah-lah yang mempunyai kewenangan dalam pengelolaannya, dengan mengabaikan keberadaan desa pakraman yang mewilayahi pura tersebut bahkan yang punya kewajiban sebagai pengempon.

Walaupun terlambat masih dirasakan lebih baik daripada tidak sama sekali sehingga desa pakraman dapat bernafas lebih lega baik dilihat dari segi pengakuan akan eksistensinya sebagai masyarakat hukum adat yang otonom maupun dilihat dari segi hasil yang diperoleh sehingga tidak lagi dirasakan adanya

beban untuk menyelenggarakan segala sesuatu yang berkaitan dengan pura baik dalam pemeliharaan maupun pelaksanaan upacaranya.

  • IV. SIMPULAN DAN SARAN

  • 1.    Simpulan

Dari hasil penelitian yang telah dikemukakan di depan dapatlah diambil kesimpulan sebagai berikut :

  • 1.    Otonomi desa adat (desa pakraman) dalam kenyataannya telah mendapat pengakuan dari pemerintah daerah, khususnya dalam pengelolaan obyek wisata yang terbukti dari dilibatkannya desa     pakraman     dalam

pengelolaan obyek wisata tersebut baik dalam struktur sebagai Badan Pengelola maupun sebagai Manajemen Operasionalnya. Selain itu terlihat pula bahwa desa pakraman telah mendapatkan pembagian hasil dari obyek wisata tersebut dengan prosentase yang sudah proporsional. Namun pengakuan terhadap otonomi desa pakraman tersebut diperoleh melalui perjuangan yang berat yang

antara lain dilakukan dengan demonstrasi dan pendekatan-pendekatan dengan pihak pemerintah daerah.

  • 2.    Permasalahan yang dijumpai berkenaan dengan eksistensi otonomi desa pakraman tersebut adalah bahwa dilingkungan internal desa pakraman belum ada kesamaan pandangan (belum kompak) dalam memperjuangkan eksistensi dari desa pakraman tersebut, yang dapat dilihat dari adanya gugatan dari kelompok masyarakat      tertentu      di

lingkungan desa pakraman terhadap apa yang telah dilakukan oleh bendesa adatnya, walaupun pada akhirnya gugatan tersebut tidak membuahkan hasil. Permasalahan yang juga muncul adalah terkait dengan perjuangan untuk mendapatkan pembagian hasil yang dipandang adil, dan dengan melalui pembahasan yang matang akhirnya disepakati pembagian hasil seperti tertuang dalam Perjanjian Kerjasama yang dibuat oleh Bupati dan Bendesa Adat Desa Pakraman.

  • 2.    Saran-saran

Dapat disarankan pada kesempatan ini hal-hal sebagai berikut :

  • 1.    Dalam perjanjian kerjasama antara pemerintah daerah dan Desa       Pakramanhedaknya

mencantumkan pula tentang secara jelas mengenai hak dan kewajiban dari para pihak dalam hubungannya           dengan

pemeliharaan pura yang menjadi obyek wisata beserta dengan penyelenggaraan upacaranya, walaupun dapat ditafsirkan bahwa dengan adanya pembagian 7.5% untuk pura sudah mencakup           mengenai

pemeliharaan dan upacaranya.

  • 2.    Adalah menjadi   tugas dari

Manajemen Operasional untuk terus meningkatkan upaya yang dapat menjaga kelestarian pura tanah Lot serta meningkatkan infra struktur yang tidak mengganggu kesucian pura.

  • 3.    Para pihak diinternal desa pakraman yang merasa tidak puas hendaknya dapat menjaga diri karena kepuasan itu sifatnya

relatif, sehingga kerukunan di lingkungan desa pakraman dapat terjaga dengan baik dan tidak justru menjadi tidak harmonis lantaran perbedaan pendapat berkenaan dengan pembagian hasil yang diperoleh.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Desa Pakraman Beraban : 2009, Ekalikita Desa Pakraman Beraban.

Kusumadi Pudjosewojo, 1967, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, Penerbit Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta.

Soepomo, R. 2007, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta.

Subawa, I Made, dkk., 2005, Hukum Tata Negara Indonesia Setelah Amandemen UUD 1945, Bagian Hukum Tatanegara, Fakultas Hukum Universitas        Udayana,

Denpasar.

Ter Haar, 1974, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, terjemahan K. Ng. Subakti Pusponoto, Pradnya Paramita, Jakarta.

Tim Redaksi Fokusmedia, 2006, Undang Undang Otonomi Daerah,       Fokusmedia,

Bandung.

Velsen, J. Van, 1969, “TheExtended-Case Methodand Situational Analysis”dalam A.L.Epsytein (ed) The Craft of Social Antropology,       London,

Tavistock.

Wirta     Griadhi,     I     Ketut,

1977,”Peranan Otonomi Desa Adat dalam Pembangunan”, Kertha Patrika, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar.

Internet

Kediriofficer, 2011, ProfilDesaBeraban,http//kedi ri.tabanan.go.id/?p=61.,diaks es 15 September 2013, pukul 20.30

Rai Utama, I Gusti Bagus, 2011, “World Heritage Management Manfaat dan Kerugian Bagi Masyarakat Lokal, http://tourismbali.word.press. com/2011/07/18, diakses 19 September 2013, pukul 22.08

345