ISSN: 2302-528X

Magister Hukum Udayana

Vol.6 No.2 2014

PENGATURAN PERADILAN ADAT DALAM AWIG-AWIG DESA PAKRAMAN: STUDI PENDAHULUAN TENTANG EKSISTENSI PERADILAN ADAT DALAM KESATUAN MASYARAKAT HUKUM ADAT DESA PAKRAMAN 1

Oleh:

I Ketut Sudantra ( [email protected] )

Ni Nyoman Sukerti ( [email protected] ) 2

ABSTRACT

This study aims to determine the regulation on customary justice in the traditional rules of awig-awig of pakraman village, the rules made by the customary community unit of Pakraman village in Bali. This study focused on structure, competency, mechanism, and principle of customary justice. The result shows that structure and competency of customary justice have been regulated clearly on awig-awig of pakraman village, but the mechanism of customary justice doesn’t regulated clearly. Awig-awig of desa pakraman only regulates initial mechanism, namely the process of filing a case, but does not regulate mechanisms after the case was subsequently processed by the customary justice. It can be identified some principles in awig awig of pakraman village to be a guidance for the customary courts in resolving cases that occur on it’s jurisdiction

Keywords: awig-awig of pakraman village, customary justice, unity of customary law community

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1.    Latar Belakang Masalah

Secara konstitusional keberadaan peradilan adat di Indonesia sudah diakui berdasarkan Pasal 18B ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) sebagai bagian tak terpisahkan dari pengakuan negara terhadap eksistensi kesatuan masyarakat hukum adat. Hanya saja, pengakan tersebut disertai sejumlah persyaratan, yaitu: peradilan adat tersebut (1) masih hidup, (2) sesuai dengan dengan perkembangan masyarakat, (3) sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan (4) diatur dalam undang-undang. Dengan demikian, berdasar ketentuan konstitusi semestinya ada undang-undang yang mengatur mengenai pengakuan terhadap peradilan adat, baik berupa undang-undang yang secara khusus mengatur pengakuan tersebut atau pun dalam undang-undang sektoral lainnya.

Menindaklanjuti ketentuan UUD 1945 atas, Badan Legislasi DPR-RI pada tahun 2012 sudah menyiapkan draf rancangan undang-

undang (RUU) yang secara khusus memberikan pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat, bernama lengkap Rancangan Undang-undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat (RUU-PPHMHA). Di dalam RUU-PPHMHA tersebut juga dimuat suatu rancangan pasal mengenai pengakuan terhadap eksistensi peradilan adat3.

Dalam proses pembentukan suatu undang-undang yang mengakomodasi pengakuan terhadap peradilan adat, tentu sangat dibutuhkan adanya dukungan data yang memadai dan valid mengenai kondisi riil peradilan adat di seluruh wilayah Indonesia. Oleh karena itu,

suatu penelitian ilmiah untuk mengidentifikasi dan mengenventarisir eksistensi peradilan adat dalam kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat yang hiterogen dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia sangat relevan dan urgen dilakukan saat ini. Perlu diketahui kondisi riil peradilan adat dalam kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat tersebut, apakah masih hidup, mati suri, atau bahkan barangkali sudah lenyap. Di samping itu, legislator juga membutuhkan bahan yang memadai mengenai konsep peradilan adat yang berlaku universal di seluruh Indonesia agar dalam undang-undang yang dibentuk dapat dirumuskan konsep yang tepat mengenai peradilan adat. Namun, mengingat luasnya wilayah Indonesia dan hiterogenitas kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat yang ada di dalamnya tentu saja suatu penelitian bukanlah pekerjaan mudah sehingga perlu dilakukan secara bertahap. Sebagai bagian dari pekerjaan bertahap itu, penelitian mengenai eksistensi peradilan adat dalam kesatuan masyarakat hukum adat

desa pakraman di Bali menjadi relevan untuk dilakukan.

Walaupun lingkup wilayah Bali tidak begitu luas dibandingkan dengan keseluruhan wilayah Indonesia, namun penelitian mendalam untuk mengetahui kondisi riil eksistensi peradilan adat dalam kesatuan masyarakat hukum adat desa pakraman di Bali tidak dapat dilakukan tanpa dukungan dana yang memadai. Dengan dukungan dana yang terbatas, penelitian pendahuluan telah penulis laksanakan sebagai bagian awal dari penelitian bertahap yang penulis rencanakan. Penelitian tersebut mengkaji pengaturan peradilan adat dalam peraturan-peraturan adat tertulis yang dibuat oleh kesatuan masyarakat hukum adat desa pakraman di Bali. Peraturan-peraturan adat tersebut lazim disebut awig-awig desa pakaraman. Artikel ini memuat secara ringkas pokok-pokok hasil penelitian berjudul lengkap “Pengaturan Peradilan Adat dalam Awig-awig Desa Pakraman: Studi Pendahuluan tentang Eksistensi Peradilan Adat dalam kesatuan

Masyarakat Hukum Adat Desa Pakraman”

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Fokus permasalahan yang dikaji dalam penelitian pendahuluan tersebut adalah sebagai berikut:

  • (1)    Bagaimana pengaturan mengenai struktur peradilan adat dalam awig-awig desa pakraman?

  • (2)    Bagaimana          pengaturan

kompetensi peradilan adat dalam awig-awig desa pakraman ?

  • (3)    Bagaimana pengaturan mengenai mekanisme kerja peradilan adat dalam     awig-awig     desa

pakaraman?

  • (4)    Bagaimana pengaturan mengenai asas-asas kerja penyelesaian perkara adat (asas rukun, laras, dan patut) dalam dalam awig-awig desa pakraman?

  • II.    METODE PENELITIAN

    • 2.1.    Jenis Penelitian dan Pendekatan

Penelitian pendahuluan yang telah dilakukan tersebut bertujuan untuk meneliti kaidah-kaidah hukum mengenai pengaturan peradilan adat dalam awig-awig desa pakraman.

Oleh karena itu, penelitian tersebut dapat dikwalifikasikan dalam jenis penelitian hukum normatif dengan pendekatan awig-awig dan konseptual. Pendekatan konseptual diperlukan karena dalam awig-awig tidak selalu ditemukan konsep yang jelas tentang aspek-aspek peradilan adat sehingga akan menimbulkan kesulitan dalam membangun argumentasi hukum mengenai eksistensi peradilan adat di dalam awig-awig desa pakraman.

  • 2.2.    Jenis dan Sumber Bahan

    Penelitian

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian pendahuluan tersebut adalah bahan hukum primer yang bersumber dari awig-awig desa pakraman yang mewakili sembilan kabupaten/kota se-Bali. Untuk dapat memahami dan menjelaskan bahan-bahan hukum primer di atas, dalam penelitian tersebut juga digunakan bahan-bahan hukum sekunder yang bersumber dari literatur-literaur hukum, baik yang berupa karya ilmiah (buku, artikel) para sarjana hukum ataupun hasil-hasil penelitian hukum yang relevan. Karena penelitian tersebut lebih mengacu

kepada norma-norma hukum adat sebagaimana terwujud di dalam awig-awig desa pakraman yang ditulis dalam bahasa Bali, maka dalam penelitian tersebut juga digunakan Kamus Bahasa Bali sebagai bahan non hukum yang digunakan untuk menjelaskan secara gramatikal istilah atau konsep-konsep di dalam awig-awig sehingga dapat dipahami asas-asas dan norma hukum yang tersurat di dalamnya.

  • 2.3.    Teknik Pengumpulan Bahan

    Hukum

Bahan-bahan hukum yang digunakan dalam penelitian tersebut dikumpulkan dengan teknik studi dokumen. Informasi yang diperlukan dari bahan-bahan hukum di atas, dikumpulkan    dengan    teknik

pencatatan dan atau teknik fotocopy. Pencatatan dilakukan dengan menggunakan sistem kartu (card system) di mana dalam kartu-kartu catatan di tuliskan materi yang dicatat (kutipan, ulasan) serta identitas sumber bahan hukum.

  • 2.4.    Pengolahan dan Analisis

    Bahan Hukum

Bahan-bahan hukum yang digunakan dalam penelitian tersebut

diolah sedemikian rupa, melalui proses kwalifikasi dan sistematisi bahan hukum. Bahan-bahan hukum yang telah tersusun secara sistematis kemudian     dianalisis     dengan

menggunakan         ternik-teknik

penalaran dan argumentasi hukum (legal    reasoning and legal

argumentation). Keseluruhan hasil penelitian kemudian disajikan secara deskriptif analitis.

  • III.    HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Eksistensi Peradilan Adat di dalam Awig-awig Desa Pakraman

Hasil penelitian menunjukkan bahwa istilah “peradilan adat” tidak dikenal di dalam awig-awig desa pakraman. Beberapa awig-awig yang diteliti menyebut istilah “kerta desa” yang dapat dimaknai sebagai “peradilan desa” (kertha = hakim, pengadilan4; desa = desa pakraman), tetapi tidak semua awig-awig yang diteliti secara eklpilisit menggunakan istilah tersebut. Walaupun demikian, dengan mengkonsepkan peradilan adat sebagai suatu sistem peradilan

yang hidup, berkembang dan dipraktekkan dalam kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat yang berfungsi menyelesaikan perkara-perkara yang terjadi dilingkungan masyarakat hukum adat yang bersangkutan5, dapat dipastikan bahwa awig-awig desa pakraman sudah mengatur mengenai peradilan adat ini.

Dalam awig-awig desa pakraman yang diteliti berhasil ditemukan adanya satu bab (sarga/sargah) yang secara khusus mengatur mekanisme penyelesaian perkara yang terjadi di wilayah desa pakraman. Bab tersebut berjudul Wicara lan Pamidanda, yang secara gramatikal berarti ”perkara dan sanksi” (wicara=masalah, perkara6; pamidanda=sanksi7). Di bawah bab

Wicara Lan Pamidanda ini, khususnya pada Bagian atau Palet 1 Indik Wicara, juga diatur aspek-aspek lain dalam sistem penyelesaian perkara, yaitu institusi yang berwenang menyelesaikan perkara-perkara yang terjadi di wilayah desa pakraman, mekanismenya, serta asas yang       digunakan       dalam

menyelesaikan perkara. Mekanisme penyelesaian perkara adalah salah satu fungsi dari peradilan sehingga mekanisme penyelesaian perkara yang diatur dalam awig-awig tersebut dapat     dikonsepkan     sebagai

mekanisme peradilan, yaitu peradilan adat yang hidup dan dipraktekkan dalam kesatuan masyarakat hukum adat desa pakraman. Aspek-aspek tersebut akan diuraikan lebih lanjut dalam uraian berikutnya.

  • 3.2.    Pengaturan Stuktur Peradilan Adat dalam Awig-awig Desa Pakraman

Dalam            penelitian,

pembahasan mengenai struktur peradilan adat mengacu kepada konsep struktur hukum (legal structure) seperti yang dikemukakan

8 oleh Lawrence M.Friedman8 sehingga yang dimaksudkan dengan struktur peradilan adat dalam penelitian tersebut mencakup berbagai institusi dengan berbagai fungsinya dalam mendukung bekerjanya peradilan adat. Dengan konsepsi seperti itu dapat diketahui bangunan struktur peradilan adat menurut awig-awig desa pakraman.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur peradilan adat telah diatur dalam awig-awig desa pakraman. Menurut awig-awig desa pakraman yang diteliti, institusi terdepan yang mempunyai kewenangan menyelesaikan perkara di lingkungan wilayah kesatuan masyarakat hukum adat adalah prajuru desa pakraman itu sendiri. Berdasarkan Pasal 1 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2003 yang dimaksudkan dengan prajuru adalah pengurus dalam desa pakraman. Selanjutnya,

dalam Pasal 7 ayat (1) Peraturan Daerah tersebut di atas ditegaskan bahwa prajuru adalah pemimpin desa pakraman sehingga penyelenggaraan pemerintahan desa pakraman dilaksanakan oleh prajuru. Walaupun struktur dan sistem pemerintahan desa pakraman di Bali bervariasi, terdapat hal-hal yang universal dalam susunan prajuru desa pakraman., yaitu di dalamnya terdapat unsur jabatan ketua yang menempati posisi puncak dalam susunan prajuru dengan sebutan yang beragam (seperti: bendesa, kelihan desa, penghulu desa, jero bahu mucuk, dan lain-lain). Di samping unsur ketua, terdapat unsur jabatan sekretaris dengan sebutan yang beragam pula (penyarikan, juru tulis, dan lain-lain); unsur bendahara (juru raksa, patengen, dan lain-lain), serta unsur pembantu (tutus, kasinoman, saya, dan lain-lain9.

Dari awig-awig yang diteliti dapat diketahui bahwa dalam batas-batas tertentu prajuru inilah yang

berfungsi sebagai pelaksana peradilan adat, yaitu sebagai pihak yang berwenang menyelesaikan perkara yang terjadi di lingkungan desa pakraman. Prinsip itu dalam bahasa awig-awig misalnya dirumuskan dengan ketentuan: “Sane wenang mawosin mekadi mutusang wicara ring desa inggih punika prajuru sinanggeh kerta desa” (terjemahan bebas: yang berwenang menyelesaikan/memutuskan perkara di desa pakraman adalah prajuru selaku hakim desa). Dalam hal susunan desa pakraman bertingkat, yaitu desa pakraman meliputi lebih dari satu banjar, prajuru yang berwenang menyelesaikan perkara juga bertingkat, yaitu perkara-perkara yang terjadi di tinghkat banjar pertama-tama diusahakan dapat diselesaikan di tingkat banjar oleh prajuru banjar. Apabila perkara tidak dapat diselesaikan di tingkat banjar, perkara dapat diselesaikan ditingkat desa pakraman oleh prajuru desa pakraman.

Di samping menyebut peranan prajuru, beberapa awig-awig desa pakraman yang diteliti juga menyebutkan peran serta pejabat

pemerintahan di desa (pejabat desa dinas) dalam penyelesaian perkara di desa pakraman, seperti ditemukan dalam Awig-awig Desa Adat Sengkiding. Pawos 102 awig-awig desa pakraman tersebut menyebutkan bahwa ”Sane patut muput wicara ring desa adat Sengkiding inggih punika: kelian adat lan kepala dusun saha prajuru sami” (Yang berwenang menyelesaikan perkara di desa pakraman Sengkiding adalah kelian adat dan kepala dusun bersama prajuru lainnya).

  • 3.3.    Pengaturan      Kompetensi

Peradilan Adat dalam Awig-awig Desa Pakraman

Berdasarkan hasil penelitian terhadap awig-awig desa pakraman dapat diketahui bahwa peradilan adat menyelesaikan setiap perkara adat yang terjadi di wilayah desa pakraman, baik yang berupa pelanggaran hukum    maupun

sengketa.     Dengan    demikian,

kompetensi peradilan adat meliputi semua jenis perkara, sedangkan yuridiksinya adalah wilayah desa pakraman. Kewenangan peradilan adat dalam mengadili jenis perkara

menyangkut aspek yang sangat luas, di samping berwenang mengadili perkara-perkara yang merupakan pelanngaran awig-awig, juga pelangaran terhadap paswara, yaitu peraturan yang keputusan dari penguasa (adat: prajuru; negara: pemerintah), juga pelanggaran terhadap keputusan-keputusan desa pakraman lainnya yang berbentuk pararem. Konsep ”pelanggaran terhadap awig-awig desa pakraman” sendiri sudah mencakup aspek yang sangat luas karena awig-awig sejatinya adalah penjabaran dari filosofi Tri Hita Karana, sehingga setiap pelanggaran terhadap keseimbangan hubungan-hubungan pawongan (hubungan sesama manusia), palemahan (hubungan manusia dengan lingkungan), dan parhyangan (hubungan manusia dengan Tuhan); yang telah diatur dalam awig-awig merupakan bentuk pelanggaran terhadap awig-awig.

Di samping perkara-perkara yang berupa pelanggaran hukum, dalam awig-awig juga dinyatakan bahwa peradilan adat juga menyelesaikan perkara-perkara lainnya, yaitu perkara-perkara yang

dalam penyelesaiannya memerlukan laporan atau pengaduan (pasadok) terlebih dahulu dari pihak yang berperkara. Dalam termionologi hukum, perkara-perkara yang memerlukan pengaduan dalam penyelesaiannya adalah perkara-perkara yang berupa sengketa, sehingga dapat disimpulkan bahwa peradilan adat juga menyelesaikan perkara-perkara adat yang berupa sengketa.

Dengan demikian, dari analisis terhadap ketentuan awig-awig desa pakraman yang telah diteliti, dapat disimpulkan bahwa awig-awig desa pakraman telah mengatur kompetensi absolut peradilan adat, yaitu bahwa peradilan adat mempunyai kewenangan menyelesaikan semua jenis perkara adat yang terjadi dilingkungan wilayahnya, baik yang berupa pelanggaran hukum maupun sengketa. Hanya saja, perlakuan terhadap sengketa berbeda dengan perkara yang berupa pelanggaran hukum, di mana penyelesaian sengketa baru dilakukan apabila sudah ada pengaduan dari pihak yang berperkara.

ISSN: 2302-528X


Magister Hukum Udayana


Yurisdiksi peradilan adat yang hanya berwenang mengadili perkara di wilayah desa pakraman dapat ditafsirkan dari frasa: “Sane wenang mawosin minakadi mutusang wicara ring desa” (Yang berwenang menyelesaikan dan memutuskan perkara di desa pakraman). Dengan frasa itu, tidak bisa ditafsirkan lain bahwa peradilan adat hanya berwenang mengadili perkara-perkara yang terjadi di lingkungan wilayah desa pakraman. Tetapi, di dalam wilayah desa pakraman hidup dan berinteraksi dua golongan penduduk, yaitu (1) krama desa, yaitu penduduk yang merupakan anggota kesatuan masyarakat hukum adat desa pakraman; dan (2) krama tamiu atau tamiu, yaitu penduduk yang berada dalam wilayah desa pakraman karena suatu kepentingan, baik bertempat tinggal menetap maupun tinggal sementara, yang bukan merupakan anggota kesatuan masyarakat hukum adat desa pakraman. Secara teoritis maupun sosiologios sudah dapat dipastikan bahwa setiap orang yang tinggal bersama dengan orang lain di satu wilayah akan melakukan berbagai

aktivitas dan saling berinteraksi satu dengan lainnya, sehingga tidak tertutup kemungkinan terjadinya pelanggaran hukum    maupun

sengketa. Demikian pula halnya dengan penduduk yang tinggal di wilayah desa pakraman, tidak terkecuali tamiu. Dari ketentuan awig-awig yang diteliti, tampaknya pembentuk awig-awig sudah mengantisipasi       kemungkinan-

kemungkinan itu sehingga membuat ketentuan yang mewajibkan setiap penduduk yang tinggal di wilayah desa pakraman harus tunduk kepada hukum adat setempat, termasuk terhadap pranata peradilan adatnya. Itu berarti, desa pakraman secara implisit sudah menentukan bahwa peradilan adat berwenang mengadili semua perkara adat yang terjadi di wilayah hukumnya, termasuk terhadap orang yang bukan anggota desa pakraman.

  • 3.4.    Pengaturan Mekanisme dan Asas Kerja Peradilan Adat dalam Awig-awig Desa Pakraman

Dalam memahami konsep peradilan adat, selain pemahaman

mengenai struktur dan kompetensi peradilan adat, sangat penting juga dipahami mengenai mekanisme kerja peradilan adat. Moh. Koesnoe mengajarkan bahwa terdapat dua jalan dalam menyelesaikan perkara adat, yaitu: (1) ajaran menyelesaikan dan (2) ajaran memutus10. Dalam ajaran menyelesaikan, asas yang digunakan lebih mengutamakan asas kerukunan, keselarasan dan kepatutan sehingga perkara diselesaikan secara musyawarah untuk mendapatkan penyelesaian yang terbaik bagi semua pihak, sehingga lebih mirip dengan model peneyelesaian secara mediasi dalam Alternative Dispute Resulotion (ADR)11. Cara penyelesaian itu berbeda dengan tatacara penyelesaian berdasarkan “ajaran memutus”, di mana dalam ajaran memutus, pihak ketiga yang terlibat dalam penyelesaian perkara berwenang untuk memutuskan suatu perkara. Penyelesaian dengan cara memutus

ini lebih mirip dengan tatacara penyelesaian melalui peradilan (litigasi).

Dari hasil penelitian terhadap awig-awig desa adat desa pakraman, tidak ditemukan ketentuan yang secara spesifik mengatur tentang pola penyelesaian perkara melalui peradilan adat, apakah dilakukan berdasarkan “ajaran menyelesaikan” yang lebih cendrung pada cara penyelesaian secara perdamaian ataukah berdasarkan “ajaran memutus” yang lebih cendrung untuk mengadili suatu perkara. Walaupun awig-awig desa pakraman tidak menyebut pilihan terhadap kedua tatacara tersebut, namun dengan penafsiran sistematis dan konseptual dapat disimpulkan bahwa peradilan adat dapat menyelesaikan perkara dengan menggunakan kedua ajaran tersebut tergantung kepada kebutuhan. Dianutnya “ajaran menyelesaikan” dapat ditafsirkan dari tujuan (patitis) desa pakraman, yang sekaligus sebagai tujuan dibuatnya awig-awig. Dalam awig-awig desa pakraman umumnya ditemukan satu bab yang mengatur tentang tujuan dan dasar (patitis lan pamikukuh)

desa pakraman, yaitu suasana tertib dan damai lahir bathin (“kasukertan desa saha pawongannya sekala niskala”). Tujuan desa pakraman tersebut tentu saja sekaligus sebagai tujuan dari setiap penyelesaian perkara yang terjadi di wilayah desa pakraman. Suasana tertib dan damai lahir batin dalam kehidupan desa pakraman hanya mungkin dapat diwujudkan apabila setiap perkara yang terjadi dapat diselesaikan dengan tidak menyisakan masalah, yaitu dengan “ajaran menyelesaikan”. Tetapi karena tidak mungkin semua perkara dapat diselesaikan dengan “ajaran menyelesaikan”, awig-awig desa pakraman juga menegaskan bahwa “desane wenang niwakang pamidanda ring warga sane sisip” (desa berwenang menjatuhkan putusan yang berupa sanksi kepada warga desa yang bersalah), yang tidak bisa lain harus dilakukan dengan menyelesaikan perkara berdasar “ajaran memutus” (mengadili).

Dalam awig-awig desa pakraman yang diteliti, berhasil diidentifikasi beberapa asas dalam

penyelesaian perkara, yaitu sebagai berikut.

  • a.    Penyelesaian secara berjenjang, yaitu pada tingkat pertama perkara diselesaikan di tingkat banjar, kemudian apabila ditingkat banjar tidak bisa diselesaikan maka penyelesaian dilkukan di tingkat desa pakraman.

  • b.    Membeda-bedakan permasalahan,              yaitu

permasalahan yang   berupa

pelanggaran   hukum   dengan

segera harus diselesaikan tanpa menunggu adanya laporan, sedangkan yang berupa sengketa baru mendapat penyelesaian dari peradilan adat apabila ada laporan (pengaduan) dari pihak yang berperkara. Walaupun membeda-bedakan permasalahan, pembedaannya tidak seperti yang dianut dalam hukum Barat di mana perkara perdata disadili oleh hakim perdata sedanghkan perkara pidana diadili oleh hakim pidana dengan hukum acara yang berbeda pula. Dalam awig-awig, baik perkara yang berupa pelanggaran hukum maupun

sengketa diselesaikan oleh prajuru yang sama.

  • c.    Keputusan     harus     dapat

memberikan kepastian hukum, memastikan kesalahan-kesalahan atau kebenaran para pihak berdasarkan tiga alat bukti (cara pembuktian), yang disebut tri pramana, yaitu: bukti (fakta-fakta dari kejadian), ilikita (bukti tertulis), dan saksi (keterangan saksi). Tidak ada penjelasan di dalam awig-awig, alat bukti mana yang mempunyai kekuatan pembuktian terkuat.

  • d.    Penyelesaian perkara     harus

didasarkan kepada aturan-aturan hukum adat yang disebut catur dresta, yaitu meliputi: (1) loka dresta yaitu penyelesaian dilakukan dengan memandang baik atau buruknya kelakuan pihak yang berperkara; (2) poerwa       dresta,       yaitu

penyelesaian perkara berdasarkan adat istiadat yang sudah berlaku sejak lama; (3) desa dresta yaitu penyelesaian menurut adat istadat negeri (desa), dan (4) sastra dresta, yaitu penyelesaian perkara menurut tatacara yang

sudah ditentukan dalam kitab-kitab hukum.

  • e. Desa pakraman berwenang

menjatuhkan putusan berupa sanksi terhadap warga desa yang terbukti bersalah. Pelaksanaan keputusan dilakukan oleh seluruh warga desa diwakili oleh prajuru.

  • f.  Berat ringannya sanksi yang

dijatuhkan kepada pihak yang bersalah dibedakan berdasarkan berat ringannya kesalahan.

  • IV. SIMPULAN DAN SARAN

  • 1.    Simpulan

Berdasarkan pembahasan di atas,       penelitian       akhirnya

menyimpulkan sebagai berikut.

  • 1.    Pengaturan mengenai struktur (institusi) peradilan adat sudah cukup jelas dalam awig-awig desa pakraman. Walaupun awig-awig tidak secara spesifik menyebut struktur tersebut sebagai struktur peradilan, tetapi dengan mengkonsepkan peradilan adat sebagai suatu mekanisme penyelesaian perkara (sistem peradilan) yang hidup dan dipraktekkan dalam kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat

– termasuk kesatuan masyarakat hukum adat desa pakraman – dapat dipersepsikan bahwa awig-awig telah mengatur struktur atau institusi yang melaksanakan fungsi peradilan adat dalam kesatuan masyarakat hukum adat desa pakraman. Menurut awig-awig desa pakraman, peradilan terhadap perkara-perkara (wicara) yang terjadi di dalam lingkungan kesatuan masyarakat hukum adat desa pakraman dilaksanakan oleh prajuru secara berjenjang, yaitu di tingkat banjar peradilan adat diselenggarakan oleh prajuru banjar dipimpin oleh Kelihan Banjar sedangkan ditingkat desa dilaksanakan oleh prajuru desa dipimpin Bendesa.

  • 2.    Pengaturan mengenai kompetensi peradilan adat sudah cukup jelas dalam awig-awig desa pakraman, terutama mengenai kompetensi berdasarkan   pokok   perkara.

Menurut awig-awig    desa

pakraman,    peradilan adat

berwenang menyelesaikan semua perkara adat yang terjadi di wilayah desa pakraman, baik perkara yang melibatkan sesama

anggota desa pakraman (krama desa) maupun yang melibatkan pihak yang bukan anggota desa pakraman (krama tamiu).

  • 3.    Mekanisme kerja peradilan adat tidak di tegaskan secara lengkap dan jelas di dalam awig-awig desa pakraman. Dalam awig-awig desa pakraman hanya diatur mengenai mekanisme awal dari penyelesaian perkara adat, di mana perlakuan terhadap perkara yang berupa pelanggaran hukum (kecorahan, nungkasin awig-awig, paswara, dan pararem) dibedakan perlakuannya dengan perkara yang bukan pelanggaran hukum. Untuk menangani perkara adat yang berupa pelanggaran hukum, prajuru selaku pelaksana peradilan adat diharuskan bertindak aktif untuk menyelesaikannya        tanpa

menunggu adanya laporan; sedangkan untuk perkara di luar itu, yaitu perkara yang berupa sengketa, prajuru baru bertindak setelah ada laporan atau pengaduan  dari pihak  yang

berperkara. Awig-awig   desa

pakraman tidak mengatur lebih

lanjut mengenai mekanisme kerja peradilan adat setelah perkara tersebut masuk dan diproses dalam peradilan adat.

  • 4.    Asas rukun, laras, dan patut yang merupakan asas-asas kerja dalam menyelesaikan perkara adat, tidak ditemukan pengaturannya secara tegas dan spesifik dalam pasal-pasal yang mengatur tentang peradilan adat. Dari bab yang secara khusus disediakan untuk mengatur penyelesaian perkara, dapat diidentifikasi beberapa asas dalam penyelesaian perkara adat, yaitu (1) asas penyelesaian secara berjenjang, (2) membeda-bedakan permasalahan, (3) keputusan      yang      dapat

memberikan kepastian hukum, (4) pembuktian berdasarkan tiga golongan alat bukti (tri pramana),     (5)     peradilan

dilakukan berdasarkan hukum adat yang disebut catur dresta, (6) asas bahwa desa pakraman berwenang menjatuhkan putusan berupa sanksi terhadap warga desa yang terbukti bersalah di mana pelaksanaan keputusan dilakukan oleh seluruh warga

desa diwakili oleh prajuru, serta (7) asas penjatuhan sanksi disesuaikan dengan berat ringannya kesalahan.

  • 2.    Saran

Dari temuan-temuan di atas, peneliti akhirnya mengajukan saran sebagai berikut.

  • a.    Desa pakraman perlu mengatur secara lebih lengkap dan jelas mengenai mekanisme dan asas kerja yang digunakan dalam penyeelsaian perkara adat. Karena awig-awig membedakan antara perkara (wicara) yang berupa pelanggaran hukum dengan sengketa, perlu dirinci bagaimana mekanisme serta asas-asas kerja yang digunakan oleh prajuru dalam menyelesaikan perkara-perkara tersebut;

  • b.    Penelitian ini perlu dilanjutkan dengan penelitian hukum empiris untuk mengetahui eksistensi peradilan adat dalam kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat desa pakraman di Bali. Perlu diketahui dalam kenyataannya: (1) bagaimana srtuktur, (2) apa kompetensi, dan (3) bagaimana

mekanisme, serta (4) apa asas-asas kerja yang digunakan oleh peradilan adat di dalam praktek penyelsaian perkara dalam kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat desa pakraman di Bali.

DAFTAR PUSTAKA

Anandakusuma Sri Reshi., 1986, Kamus Bahasa Bali: Bali-Indonesia, Indonesia-Bali, CV Kayumas, Denpasar.

Badan Legislasi DPR RI, 2012, “Rancangan Undang-undang Nomor…    Tahun…tentang

Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat”, Bahan kunjungan Kerja dalam Rangka Mendapatkan Masukan Terhadap        Penyusunan

Rancangan Undang-undang tentang Pengakuan dan Perlindungan        Hak-hak

Masyarakat Adat dari Komisi III DPR RI, di kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Bali, 4 Oktober 2012.

Friedman Lawrence M., 1969, The Legal System: A Social Science Perspektive, Russel Sage Foundation, New York.

Kersten S.V.D. J., 1984, Bahasa Bali Bagian I Tatabahasa Bagian II Kamus Bahasa Bali Lumrah, Penerbit Nusa Indah, Ende-Flores.

Koesnoe Moh., 1978, Catatan-catatan terhadap Hukum Adat Dewasa    Ini,    Airlangga

University Press, Surabaya.

Rachmadi Usman, 2003, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

Sudantra I Ketut dan Wayan P Windia, 2012, Sesana Prajuru Desa Tatalaksana Pimpinan DesaAdat di Bali, Udayana University Press, Denpasar.

Windia Wayan P. dan Ketut Sudantra, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar,.

PERATURAN

Republik Indonesia, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

Republik Indonesia, UU Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-tindakan Sementara Untuk     menyelenggarakan

Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-pengadiklan Sipil, LNRI Tahun 1951 No. 9, TLNRI No. 31.

Republik Indonesia, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, LNRI Tahun 2001 Nomor 135; TLNRI Nomor 4151.

Republik Indonesia, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun    2008    Tentang

Penetapan         Peraturan

Pemerintah        Pengganti

Undang-undang  Nomor 1

Tahun    2008    Tentang

Perubahan  Atas  Undang-

undang Nomor 21 Tahun

2001    tentang Otonomi

Khusus Bagi Provinsi Papua Menjadi Undang-undang, TLNRITahun 2008 Nomor 112; TLNRI Nomor 4884.

Pemerintah Daerah Propinsi Bali, Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 tahun 2001 tentang Desa Pakraman, Lembaran Daerah Propinsi Bali Tahun 2001 Nomor 29 Seri D Nomor 29.

Pemerintah Daerah Propinsi Bali, Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman, Lembaran Daerah Propinsi Bali Tahun 2003 Nomor 11; Tambahan

Lembaran Daerah Propinsi Bali Nomor 3

Desa Adat Bebandem, 1981, Awig-awig Desa Adat Bebandem .

Desa Adat Bondalem, 1987, Awig-awig Desa Adat Bondalem

Desa Adat Badingkayu, 1995, Awig-awig Desa Adat Badingkayu

Desa Pakraman Gadungan, 2004 , Awig-awig Desa Pakraman Gadungan.

Desa Adat Sembung, 2008, Awig-awig Desa Adat Sembung .

Desa Adat Denpasar, 1987, Awig-awig Desa Adat Denpasar

Desa Adat Belege, 1995, Awig-awig Desa Adat Belega.

Desa Adat Sengkiding, 1987, Awig-awig Desa Adat Sengkiding.

Desa Adat Gebog Satak Tiga Buungan, 1995, Awig Desa Adat Gebog Satak Tiga Buungan.

326