rWMUU'                     ISSN: 2302-528X

Magister Hukum Udayana

Vol.6 No.2 2014

SINKRONISASI DAN DIFERENSIASI PUTUSAN HAKIM DALAM PENYELESAIAN KASUS-KASUS KEKERASAN

DALAM RUMAH TANGGA1

Oleh

Tjokorda Istri Putra Astiti ([email protected])

Ni Nyoman Sukeni ([email protected])

2

I Ketut Sudantra ([email protected])2

ABSTR ACT

This study specifically aims to assess synchronization and differentiation between the judge's decision, both horizontally and vertically, especially with regard to domestic violence cases. In addition, this study also intends to study about rule which are applied by the Judges on the cases, and reveal whether the decision under review reflects the gender justice

This research is a legal normative research using case approach which was examined by studying the Judge’s decision in concrete cases, especially with regard to domestic violence. The number of decisions that were examined are six decisions which consists of three decisions of the District Court (Pengadilan Negeri) and three decisions of the High Court (Pengadilan Tinggi). The decisions are determined by purposive sampling.

Based on the analysis of the six decisions mentioned above , can be concluded as

following:

  • 1)    The rule applied by the judge in hanling the concrete cases regarding domestic violence particularly violence against women is on the Domestic Violence Act ( Act No. 23/2004 ) with the application of a kind of sanction of imprisonment ranging from 1-3 months, that varied there the defendant was arrested some are dropped with conditional (pidana bersyarat) (not being held prisoner)

  • 2)    Among the three decisions of the District Court and the three decitions of the High Court which have analysed, in one hand show synchronization and the other hand show differentiation. In this case, synchronization and differentiation can be seen vertically (between the District Court and the High Court decision), and horizontally (between the District Court to each other) or between the decision of the High Court to each other).

  • 3)    That the decision of the District and the High Court, either have reflected gender sensitively and gender equity.

Keywords:   Court Decision,     Differentiation, Domestic Violence  Case,

Synchronization.

  • I.    PENDAHULUAN

  • 1.    Latar Belakang Masalah

Hakim sebagai salah satu dari penegak hukum mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses penegakan hukum. Mengapa demikian? Karena hakim dalam menjalankan tugas dan fungsinya bersifat independent/netral, artinya ia berkedudukan di tengah-tengah di antara dua belah pihak pencari keadilan yaitu antara Negara (yang diwakili Jaksa sebagai    penuntut umum    dan

tersangka/terdakwa) dalam perkara pidana), dan antara tergugat dan penggugat dalam perkara perdata. Dalam kedudukannya yang di tengah-tengah itu, seorang hakim/majelis hakim berfungsi untuk memeriksa perkara dan menetapkan      putusan      dengan

mempertimbangkan dua kepentingan hukum berdasarkan atas hukum yang berlaku baik hukum tertulis (hukum Negara) maupun hukum tidak tertulis (hukum adat), untuk menghasilkan putusan yang seadil-adilnya. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya itu, hakim wajib menghindari/mengabaikan adanya pengaruh/intervensi dari pihak luar. Tugas hakim yang juga tidak kalah

pentingnya adalah untuk membentuk dan menemukan hukum manakala perkara yang dihadapi hukumnya ternyata tidak jelas, atau bahkan belum ada hukumnya (masih ada kekosongan hukum). Tugas tersebut wajib dilakukannya berdasarkan pada asas bahwa Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya (pasal 16 ayat 1 Undang-Undang No 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman). Terkait dengan asas tersebut, maka hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang No.4 tahun 2004). Dalam menjalankan tugasnya inilah hakim mempunyai kebebasan, artinya, hakim tidak sepenuhnya hanya berpegang pada peraturan hukum dan perundang-undangan yang telah ada melainkan dapat menggunakan keyakinannya sebagai dasar dalam mengambil putusan.

Berbicara masalah keyakinan hakim, tentu saja sangat subyektif karena keyakinan hakim yang satu dan yang lain

dapat berbeda. Bagaimana hakim menggunakan keyakinannya dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain, luas sempitnya pengetahuan dan wawasan serta kepekaan para hakim terkait dengan perkara yang sedang diperiksa. Luas sempitnya pengetahuan dan wawasan para hakim tersebut ditentukan oleh seberapa jauh para hakim mau dan berusaha untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan tersebut. Seorang hakim yang mempunyai pengetahuan dan pemahaman yang luas tentang nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat, tidak semata-mata mempertimbangkan hukum dan menetapkan putusannya berdasarkan pada “rasio/logika hukum” yang telah ada, tetapi juga mempertimbangkan “rasa keadilan” dan “rasa kepatutan” yang ada dan tumbuh serta berkembang di masyarakat. Seperti diketahui, rasa keadilan dan kepatutan itu bersifat dinamis, artinya rasa keadilan dan kepatutan di masa lalu akan berbeda dengan rasa keadilan di masa kini demikian juga di masa yang akan datang. Oleh karena itu, hakim seharusnya tidak

saja hanya membaca buku hukum dan undang-undang (law in book), akan tetapi senantiasa perlu mengikuti perkembangan masyarakat, karena perkembangan masyarakat pada akhirnya akan memerlukan perubahan hukum. Dengan demikian, hakim penting juga mengetahui dan memahami bekerjakan hukum di masyarakat (law in action).

Dengan digunakannya keyakinan hakim dalam mempertimbangkan hukum dan menetapkan putusan, maka dimungkinkan adanya putusan-putusan yang sejalan (sinkron/konvergen) namun besar kemungkinan juga akan terdapat perbedaan-perbedaan antara putusan yang satu dengan yang lain (tidak sinkron/divergen), baik dilihat secara horizontal (antara putusan hakim yang setingkat) maupun secara vertikal (antara putusan hakim dalam tingkatan berbeda). Terjadinya disparitas (perebedaan) dalam putusan hakim dapat disebabkan oleh luas/sempitnya wawasan hakim yang mempengaruhi pandangan, sikap dan perilaku hakim dalam memeriksa dan memutus perkara yang sedang diperiksanya. Sebagai contoh, seorang hakim yang mempunyai pengetahuan dan

wawasan luas tentang masalah “gender” tentu saja mempunyai pertimbangan yang berbeda dengan hakim-hakim yang wawasannya sempit terhadap persoalan ini, sehingga akan menghasilkan putusan yang berbeda terhadap perkara-perkara yang terkait dengan persoalan gender seperti KDRT.

Tulisan ini secara umum bertujuan untuk mengkaji hukum (peraturan) yang diterapkan hakim dalam memutus perkara konkret terkait dengan tindakan kekerasan dalam rumahtangga. Secara lebih spesifik dalam tulisan ini juga dikaji tentang sikronisasi (kesesuaian) dan disparitas (perbedaan) antara putusan hakim, baik secara horizontal maupun vertikal, . Selain itu, tulisan ini juga mengkaji tentang apakah putusan-putusan hakim tersebut sudah mencerminkan keadilan gender. Kajian semacam ini sangat penting dan urgen dilakukan, karena masalah sinkronisasi maupun disparitas putusan dapat mempengaruhi persoalan keadilan, kepastian, dan kemanfaatnya.

Dilihat dari substasi perkara yang dipilih adalah KDRT juga sangat penting/urgen dikaji dewasa ini karena

masalah kekerasan dalam rumahtangga hampir tiap hari terjadi dalam berbagai bentuk (kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan psikologis, maupun kekerasan ekonomi). Terjadinya kekerasan dalam rumahtangga juga cukup unik dan pantas untuk diteliti, karena selama ini masih ada mispersepsi di kalangan penegak hukum yang menganggap bahwa kekerasan dalam rumahtangga merupakan urusan intern keluarga, sehingga sering termarginalkan (terabaikan) dalam proses peradilan.

Di era post-modern sekarang ini mengangkat putusan-putusan tentang perkara KDRT merupakan langkah yang sangat tepat dan maju, karena sesuai dengan perkembangan paradigma keilmuan yang mulai mengalami pergeseran dari paradigma modern yang menjunjung tinggi kemapanan ke arah paradigma post-modern yang lebih memperhatikan kemarjinalan.

Identifikasi permasalahan

Kasus kekerasan dalam rumahtangga (KDRT) khususnya terhadap perempuan dan anak hampir terjadi tiap hari di berbagai pelosok tanah air dan diberitakan dalam berbagai

media, baik media cetak maupun elektronik, ataupun menjadi topik pembicaraan dalam forum-forum informal maupun menjadi topik diskusi dalam kegiatan-kegiatan formal dan ilmiah. Mungkin tidak sedikit juga para pakar dan pemerhati masalah gender yang telah menulis dalam jurnal ataupun dalam bentuk buku, demikian juga para peneliti yang melakukan penelitian terkait dengan masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak dengan berbagai sudut pandang dan pendekatan, namun penelitian dengan fokus kajian pada sinkronisasi dan disparitas putusan hakim nampaknya relatif baru.

Berbicara masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak cakupannya cukup luas karena tindakan kekerasan tersebut dapat terjadi pada masyarakat umum, juga dapat terjadi pada lembaga pendidikan (di sekolah-sekolah) dan di dalam rumah tangga (KDRT). Kekerasan terhadap perempuan dan anak di lingkup rumahtangga mempunyai keunikan tersendiri, karena pelakunya jelas orang-orang yang mempunyai hubungan dekat bahkan hubungan darah yang dekat dan dikenal, seperti ayah terhadap anak, suami terhadap istri, atau saudara terhadap

saudara, atau mungkin juga oleh majikan terhadap pembantu atau sebaliknya. Ruang lingkup substansi kekerasan pun juga cukup luas termasuk di dalamnya kekerasan pisik, kekerasan seksual, kekerasan psikologis, dan juga kekerasan ekonomi (penelantaran secara finansial). Berbeda halnya dengan kekerasan yang diatur dalam KUHP yang lingkupnya jauh lebih sempit, karena di dalamnya hanya berkenaan dengan kekerasan fisik. Mansour Fakih3 mendefinikan kekerasan dalam artinya yang lebih luas sebagai serangan atau invasi (assault) terhadap pisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Pada dasarnya, kekerasan yang berbasis gender disebabkan oleh ketidaksetaraan kekuatan dalam masyarakat (khsusnya antara laki-laki dan perempuan).

  • 2.    Rumusan Masalah

Oleh karena luasnya ruang lingkup terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak, maka dalam tulisan ini yang dikaji hanyalah putusan-putusan hakim terkait dengan kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di lingkungan

rumahtangga (KDRT). dengan rumusan permasalahan sbb:

  • 1)    Apakah hukum yang diterapkan oleh hakim dalam penanganan kasus-kasus KDRT ?

  • 2)    Adakah sinkronisasi      ataupun

perbedaan antara putusan hakim satu dengan yang lain,      baik secara

horizontal maupun vertical?

  • 3)    Apakah      putusan      hakim

mencerminkan keadilan gender?

II METODE PENELITIAN

Tulisan ini didasarkan pada hasil penelitian hukum normatif memakai pendekatan kasus (case approach) yang mengkaji tentang hukum/peraturan yang diterapkan oleh hakim dalam kasus-kasus konkret, khususnya yang berkaitan dengan masalah KDRT. Adapun jumlah putusan yang dikaji adalah 6 putusan yang terdiri dari 3 putusan di tingkat pertama (PN) dan 3 putusan lagi di tingkat banding (PT). Putusan-putusan hakim yang dikaji itu, ditentukan secara purposif sampling (sesuai tujuan), yaitu putusan-putusan hakim tentang KDRT di wilayah Pengadilan Tinggi Bali. Oleh karena wilayah Pengadilan Tinggi Bali meliputi banyak Pengadilan Negeri, sedangkan putusan yang dicari hanya 3

putusan PN, maka penentuan PN juga ditentukan secara purposif, yakni PN yang pernah memutuskan perkara KDRT minimal 10 tahun terakhir sejak putusan mempunyai kekuatan hukum tetap. Pengkajian terhadap putusan-putusan hakim tersebut      dilakukan dengan

langkah-langkah sebagai berikut:

  • 1)    Mengadakan penjajagan ke PN dan PT untuk mencari informasi tentang ada tidaknya

putusan yang berkaiant dengan masalah KDRT

  • 2)    Setelah diperoleh informasi yang lengkap tentang itu, barulah putusan-putusan mana dari PN mana ditetapkan sebagai obyek kajian

  • 3)    Terhadap putusan-putusan yang telah ditetapkan, kemudian dilakukan pengkajian terhadap isi putusan (dilakukan content analysis), dengan cara mencermati duduk perkaranya (kasus posisi),      pertimbangan-

pertimbangan hukum, terutama yang dijadikan dasar pertimbangan dalam pengambilan     putusan     (ratio

decidendi), dan amar putusannya terutama yang terkait dengan pokok perkara.

  • 4)    Hasil kajian terhadap isi putusan lebih lanjut dikaitkan dengan hasil kajian

terhadap bahan hukum lainnya seperti

peraturan


perundang-undangan,


literatur, laporan-laporan penelitian terdahulu, jurnal ilmiah, sepanjang hal tersebut ada kaitannya dengan permasalahan yang dikaji. Selain itu, untuk memperkaya informasi dan mempertajam hasil analisis, dilengkapi pula dengan informasi yang diperoleh dari hasil Focus Group

Discussion (FGD) dengan melibatkan (akademisi, para penegak hukum, pengacara, dan pemerhati masalah KDRT serta mahasiswa S2 Ilmu Hukum). untuk mencari pandangan-

pandangan,


pengetahuan dan


pengalaman tentang faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya sinkronisasi dan disparitas dalam putusan hakim.

Secara ringkas berikut:


langkah-langkah penelitian dilakukan sesuai dengan bagan alir sebagai

Identifikasi permasalahan

Penetapan sample putusan

Putusan PN dan


PT

FGD

Analis

Sinkronisasi &


Pengumpulan data


s Data

Bahan-bahan hukum primer dan sekunder

Sinkronisas &


Faktor pengetahuan, Pemahaman & Ke-


pekaan hakim PN thd masalah KDRT


perbedaan

horizontal &


vertikal


Perbedaan


Horizontal &


vertikal


Faktor pengetahuan, pemahaman, dan kepekaan hakim PT thd masalah KDRT


Keadilan gender dalam putusan hakim



III HASIL DAN PEMBAHASAN

  • 1.    Hasil Penelitian

Berdasarkan     hasil pengkajian

terhadap 6 putusan pengadilan (3 putusan Pengadilan Negeri     dan 3 putusan

Pengadilan Tinggi, dapat dikemukakan hal-hal yang terkait dengan permasalahan yang diajukan, sebagaimana dapat disajikan dalam matrik sbb:

No

Putusan

Aspek yang dikaji

Putusan PN Dps. No. 436/ Pid.B/ 2011 PN. Dps.

Putusan PT Dps. No.101/ PID.SUS/ 2010/

Putusan PN Dps. No.1320/ Pid.B/2011/ PN.Dps

Putusan PT Dps. No.31/ PID.SUS/ 2012/PT.

Dps

Putusan PN Tbn.

No.49/Pid. B/2010/PN. Tbn

Putusan PT. Dps.

No.67/Pid/2 010/PT.Dps .

1. Pelaku (suami)

Nyoman Setiawan ST, 36 th. laki-laki, Ds.Delod Margi, Desa Sekar Sari Mekar, Kabupaten Badung

Nyoman Setiawan ST, 36 tahun, laki-laki, Ds.Delod Margi, Desa Sekar Sari Mekar, Kabupaten Badung

I W. Aria Susila SE, 40 th, kaki-laki, Jl. Tukad Pule 1-3, Sesetan Denpasar.

I W. Aria Susila SE, 40 th, kaki-laki, Jl Tukad Pule 1-3, Sesetan Denpasar.

I W. Wispa-yanto, 26 th, laki-laki, Ds Wanagiri Kauh, Kec. Selemadeg, Tabanan

I W. Wispa-yanto, 26 th, lakilaki, Ds. Wanagiri Kauh Kec. Selamadeg, Tabanan T

2. Korban (istri)

Luh Putu Warmadewi

Luh Putu Warmadewi

Luh

Widiani

Luh

Widiani

Ni Putu Eka Purnam-dewi

Ni Putu Eka Purnama-dewi

3.Perbuatan yang didakwakan

Melakukan kekerasan fisik dalam rmtg. yang di lakukan oleh suami thd istri

Melakukan kekerasan fisik dalam rmtg. yang dilakukan oleh suami thd istri

Melakukan kekerasan fisik dalam rmtg.yang dilakukan oleh suami thd istri

Melakukan kekerasan fisik dalam rmtg. yang dilakukan oleh suami thd istri

Melakukan kekersan fisik dalam rmtg yang dilakukan oleh suami thd. istri

Melakukan kekersan fisik dalam rmtg. yang dilakukahn oleh suami thd istri

4. Pasal yg. dituduhkan

Pasal 44 (4) UU No. 23/ 2004 ttg. Penghapusan Kekerasan dalam Rmtg.

Pasal 44 (4) UU No.23/ 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rmtg.

Pasal 44 (4) UU No. 23/ 2004 ttg. Penghapusan Kekerasan dalam Rmtg.

Pasal 44 (4) UU No. 23/ 2004 ttg. Penghapusan Kekerasan dalam Rmtg.

Pasal 44 (4) UU No.23/ 2004 ttg. Penghapusan Kekerasan dalam Rmtg.

Pasal 44 (4) UU No.23/ 2004 ttg. Penghapusan Kekerasan dalam Rmtg

5. Tuntutan Jaksa

4 bulan penjara dalam masa percobaan 6

Penjara 3 bulan

4 bulan penjara

bulan penjara

6. Pertimbangan hukum hakim

Terdakwa telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana kekerasan dalam Rmtg (melanggar pasal 44 (4) UU No. 23/2004.

Terdakwa telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana kekerasan dalam Rmtg (melanggar pasal 44 (4) UU No. 23/2004.

Bahwa terdakwa & korban telah bersatu kembali, jadi ada iktikad baik untuk mempertahan kan keluarganya

Putusan PN mengenai pidananya perlu diperbaiki

Walaupun terdakwa beralasan bahwa pada waktu terdakwa menggerakkan tangan kanannya menepis saksi korban Luh Putu Widi-ani dilakukan tanpa sengaja, telah mengenai hidung saksi, akan tetapi meng ingat terdakwa sebagai seorang terpelajar dengan pendidikan sarjana, se-seharusnya dapat mem-rediksi atau seharusnya mempunyai pengetahuan bahwa perbuatan merebut anaknya secara paksa dari gendongan saksi Luh

Hakim PT sepakat dengan pertimbangan hakim PN

Perbuatan terdakwa telah terbukti memenuhi semua unsur yang didakwakan

Pidana yang dijatuhkan dipandang telah setimpal dengan perbuatan yang dilakukan dan dan telah dianggap adil baik bagi terdakwa, keluarganya , dan keadilan masyarakat juga terayomi.

Mengambil alih pertimbangan Hakim PN

7.Amar putusan

Hukuman Pidana 1 bulan Terdakwa ditahan

Hukuman pidana 3 bulan bersyarat (tidak masuk penjara)

Widiani, akan dapat mengakibat kan kemungkinan luka yang akan dapat diderita oleh oleh Luh Widi-ani, karena Luh Widi-ani seorang perempuan yang lebih lemah dari terdakwa.

Bahwa keseluruhan unsur tindakan pidana yang dituduhkan telah terbukti, terdakwa melakukan tindak pidana kekerasan dalam rmtg.

Menguatkan putusan hakim PN

Penjara 2 bulan

Menguatkan putusan PN

Bahwa tujuan penjatuhan hukuman kepada terdakwa adalah untuk mendidik dan bukan untuk pembalasan supaya di-

kemudian hari terdakwa dapat memperbaiki ke-lakukannya.

Pidana penjara 2 bulan

  • 2.    Pembahasan

  • a.    Hukum/Peraturan yang Diterapkan Oleh Hakim Dalam Penanganan Kasus-Kasus KDRT

Kasus-kasus kekerasan yang terjadi di lingkungan rumahtangga dilihat dari segi pelakunya bervariasi, ada yang dilakukan orang-tua terhadap anak, suami terhadap istri, saudara terhadap saudara, cucu terhadap nenek/kakek, dan sebaliknya ada pula kekerasan yang dilakukan oleh kakek dan orang-tua terhadap cucu/anak, juga oleh majikan terhadap pembantu atau sebaliknya. Kekerasan terhadap perempuan dapat      terjadi dalam setiap siklus

kehidupannya sejak masih berada dalam kandungan sampai masa tuanya. Di daerah-daerah di mana anak laki-laki mempunyai nilai yang begitu tinggi, tidak jarang dilakukan penguguran kandungan kalau diketahui yang dikandung adalah bayi perempuan. Pada masa balita, terjadi juga kasus-kasus pembunuhan terhadap bayi perempuan karena keluarga tidak menginginkan lahirnya bayi perempuan, Memasuki usia anak-anak tidak sedikit pula mereka menjadi korban kekerasan, antara lain: anak perempuan dipaksa kawin (kawin paksa), harus bekerja untuk membantu ekonomi keluarga, tidak diberi

kesempatan mengikuti pendidikan, karena adanya mitos anak perempuan akan menjadi milik orang lain setelah menikah, anak perempuan menjadi korban trafficking, anak perempuan dipaksa menjalankan pekerjaan sebagai pelacur. Setelah menginjak remaja, remaja putri banyak menjadi korban pemerkosaan baik di tempat umum, di sekolah, bahkan di lingkungan rumahtangga. Pada usia dewasa dan menikah, perempuan sebagai istri banyak juga menjadi korban kekerasan, antara lain, penyiksaan oleh suami, pembunuhan, pemaksaan dalam penggunaan alat kontrasepsi tertentu dalam pelaksanaan program KB, dan setelah memasuki hari tuanya, berbagai tindakan kekerasan juga masih mengusik ketenangan hidupnya, seperti penyiksaan, penelantaran, dan juga perampasan terhadap harta miliknya.

Gambaran kekerasan seperti tersebut di atas, menunjukkan bahwa betapa tidak nyamannya dan tidak amannya hidup di masyarakat dewasa ini. Akankah kita biarkan kekerasan demi kekerasan terus terjadi di lingkungan kita? Bulletin ASASI4 sudah menyerukan : “Hentikan Kekerasan

Sekarang Juga” Dalam analisisnya terhadap dokumentasi Hak Asasi Manusia, Asasi menjelaskan bahwa kekerasan yang terjadi di masyarakat disebabklan karena demoralisasi di segala bidang. Dijelaskan juga masyarakat Indonesia seolah-olah menghadapi kelumpuhan social (social entropy) sehingga cenderung memilih model kekerasan untuk menyelesaian pertentangan di antara mereka. Keberingasan sosial yang tampak sejak beberapa tahun belakangan ini terkait dengan tindakan kekerasan yang terjadi, mencerminkan bahwa akal sehat dan kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan kelembagaan sosial dan kelembagaan hukum telah hancur yang mendorong mereka mengambil jalan pintas dengan cara “main hakim sendiri” yang jelas menyimpang dari tatanan yang berlaku.

Cita-cita untuk menegakkan supremasi hukum sebagai perwujudan “Negara Indonesia adalah negara hukum” sesuai ketentuan pasal 1 ayat 3 Perubahan ke-3 Undang-undang Dasar NKRI 1945 tampaknya telah gagal total, karena hukum dewasa ini justru berada di bawah pengaruh kekuasaan (politik) dan ekonomi (kapitalis). Ini berarti bahwa lembaga peradilan di bawah kekuasaan kehakiman tidak berhasil

menjalankan fungsinya menegakkan hukum dan keadilan sesuai dengan pasal 1 Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU No.4/2004). Pengadilan tampaknya juga gagal membantu para pencari keadilan dalam mencari keadilan dan berusaha mengatasi hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Hal ini terbukti dari banyaknya putusan pengadilan (hakim) mendapat perlawanan dari masyarakat pencari keadilan, adanya kasus-kasus suap yang menjadikan biaya perkara mahal, adanya beberapa oknum penegak hukum (hakim, jaksa, polisi) terlibat kasus korupsi, demikian juga adanya kritikan terhadap penegakan hukum yang “tajam ke bawah, tumpul ke atas” serta adanya plesetan terhadap kepanjangan KUHP yaitu : “ Kasi Uang Habis Perkara”. Semua itu mengindikasikan bahwa jalannya proses peradilan bukannya untuk menyelesaikan masalah, melainkan justru bermasalah.

Kewajiban hakim untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat sebagaimana ditentukan dalam pasal 28 (1) Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman, tampaknya juga

belum dilaksanakan sebagaimana mestinya, terbukti dari adanya oknum-oknum hakim yang masih menempatkan diri hanya sebagai “corong undang-undang” yang senantiasa mengatakan : “Sudah menjalankan tugas sesuai prosedur undang-undang” atau apa yang ia lakukan sudah sesuai “hukum yang berlaku” padahal menurut ketentuan tersebut di atas, hakim seharusnya mengikuti perkembangan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat, artinya tidak selalu berpegang pada ratio melainkan juga harus mempertimbangkan “rasa keadilan” yang tumbuh dan hidup di masyarakat.

Kewajiban hakim terkait dengan ketentuan tersebut di atas terutama sangat penting diperhatikan dan dilaksanakan terutama dalam hal hakim menangani perkara-perkara yang terkait dengan KDRT. Mengapa demikian, karena KUHP yang selama ini dijadikan pegangan oleh hakim dalam menangani kasus-kasus kekerasan dalam rumahtangga sudah ketinggalan jaman terutama dilihat dari segi pengertian dan ruang lingkup kekerasan termasuk di dalamnya pengertian perkosaan sebagai salah satu bentuk kekerasan seksual.

Berbicara masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), Ratna Batara Munti menjelaskan beberapa jenis kekerasan yang dialami perempuan, yaitu kekerasn seksual suami terhadap istri, kekerasan ekonomi seperti penelantaran selama perkawinan dan pasca perceraian, kekerasan pisik (pemukulan, pembunuhan, dsb)5. Secara lebih rinci Undang-Undang Republik Indonesia No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumahtangga juga telah mencantumkan empat macam jenis kekerasan dalam rumahtangga yaitu: 1) kekerasan pisik, 2) kekerasan psikis, 3 kekerasan seksual, 4 kekerasan ekonomi (penelantaran). Kekerasan yang diatur dalam Undang-Undang tentang P-KDRT tersebut cakupannya jauh lebih luas dibandingkan dengan kekerasan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang hanya mengatur kekerasan pisik. Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan yang disyahkan oleh PBB pada tahun 1993, dalam pasal 1 menyebutkan bahwa : ” Kekerasan terhadap perempuan

adalah segala bentuk tindakan kekerasan yang berbasis gender yang mengakibatkan atau akan mengakibatkan rasa sakit atau penderitaan terhadap perempuan, termasuk ancaman, paksaan, pembatasan atas kebebasan, baik yang terjadi di area publik maupun domestik”6

Berdasarkan hasil analisis terhadap putusan hakim sebagaimana telah disajikan dalam matrik tersebut di atas dapat diketahui bahwa hukum/peraturan yang diterapkan oleh hakim dalam memutus perkara tentang kekerasan dalam rumahtangga bukanlah KUHP melainkan Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumahtangga yang secara singkat disebut UU tentang KDRT. Hal ini menunjukkan langkah maju dalam penegakan hukum. Adapun pelaku tindakan kekerasan adalah suami dan korbannya adalah istri. Hukuman yang dijatuhkan oleh hakim umumnya berupa hukuman penjara sesuai dengan tuntutan jaksa berkisar antara 1-3 bulan dengan variasi ada yang ditahan ada yang dijatuhkan secara bersyarat (tanpa ditahan). Secara umum, dalam menjatuhkan

hukuman, hakim mengacu pada tujuan dijatuhinya hukuman itu adalah untuk memperbaiki si pelaku, bukan untuk membalas dendam terhadap si pelaku atas perbuatan yang telah dilakukan.

Dengan diterapkannya Undang-undang KDRT dalam memutus perkara-perkara konkret tentang kekerasan dalam rumahtangga, dapat dikatakan bahwa para hakim yang memutus perkara tersebut di atas, secara inflisit mereka telah menganut pengertian kekerasan dalam arti yang lebih luas sebagaimana disebutkan dalam ketentuan UU KDRT yang tidak semata-mata hanya kekerasan fisik, hal yang membedakannya dengan ketentuan kekerasan dalam KUHP. Lebih jelas bahwa pengertian kekerasan secara lebih luas itu telah dianut oleh para hakim secara ekplisit antara lain dapat diketahui dari pertimbangan hukum yang dikemukakan oleh hakim dalam perkara Nomor1320/Pid.B/2011/PN.Dps. yang menguraikan ketentuan pasal undang-undang tersebut secara lebih rinci sbb:

Menimbang, bahwa menurut ketentuan pasal 1 ayat 1Undang-Undang No.23 Tahun Tahun 200 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumahtangga, bahwa yang dimaksud dengan kekerasan dalam rumahtangga

adalah setiap      perbuatan terhadap

seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan /atau penelanyataran rumahtangga    termasuk ancaman

untuk       melakukan    perbuatan,

pemaksaan, atau        perampasan

kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumahtangga.

  • b.    Sinkronisasi dan Diferensisasi Antar Putusan Hakim dalam Penanganan Kasus- Kasus KDRT

Adanya perbedaan luas cakupan pengertian kekerasan dalam Undang-Undang KDRT dengan KUHP berpotensi untuk menimbulkan terjadinya disparitas terhadap putusan-putusan hakim dalam hal menangani perkara-perkara KDRT. Hal ini berkaitan dengan seberapa jauh para hakim mempunyai kepekaan dan memperhatikan Undang-Undang KDRT dalam menangani kasus-kasus KDRT, karena     seperti

diketahui,      Undang-Undang KDRT

merupakan lex spesialis (hukum yang berlaku khusus), sedangkan KUHP merupakan lex generalis (hukum yang berlaku umum). Kalau dicermati lebih jauh, tampak juga adanya perbedaan orientasi antara KUHP dan UU KDRT, dalam hal ini KUHP     cenderung berorientasi pada

perlindungan terhadap pelaku kekerasan

(umumnya laki-laki), sedangkan UU KDRT cenderung berorientasi pada perlindungan terhadap korban kekerasan (umumnya perempuan). Perlindungan terhadap korban kekerasan telah dirumuskan secara rinci dalam pasal 10 sebagai berikut:

  • 1)    Perlindungan dari pihak keluarga, kepoliisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga social ataupun pihak lainnya baik sementara maupun maupun berdasarkan penetapan atas perintah perlindungan dari pengadilan;

  • 2)    Pelayanan kesehatan  kesehatan

sesuai dengan kebutuhan medis;

  • 3)    Penanganan khusus    berkaitan

dengan kerahasiaan korban;

  • 4)    Pendampingan oleh lembaga social dan bantuan hukum pada setiap tingkatan proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan per-undang-undangan;

  • 5)    Pelayanan bimbingan rohani

Terkait dengan perlindungan terhadap perempuan korban kekerasan, masih perlu dipertanyakan bagaimana persepsi dan sikap para penegak hukum (hakim, jaksa, polisi, pengacara) terhadap KDRT selama ini, tampaknya masih jauh dari apa yang diharapkan karena perkara-perkara yang menyangkut KDRT masih menemui hambatan dan kendala dalam proses penyelesaiannya.

Hambatan-hambatan tersebut antara lain dapat disebabkan karena hukum (KUHP) yang selama ini dijadikan pegangan oleh hakim tidak mengenal kekerasan berbasis gender (gender blind). KUHP sebagai hukum positip tidak mengakui adanya kekerasan seksual dalam hubungan perkawinan,     hukum (KUHP) tidak

menentukan hukuman minimal dan alternatif sanksi,  sistem pembuktian dalam hukum

acara    mendidkualifikasi pengalaman

7 perempuan

Masalah sistem pembuktian sebagai suatu kendala dalam penanganan kasus kekerasan seperti halnya kekerasan seksual (perkosaan) disoroti oleh Harkristuti Harkrisnowo8 , dalam tulisannya yang berjudul : “Masalah Perkosaan : Suatu Tinjauan Sosio-yuridis”. bahwa asas “unus tastis nullus testis” atau satu saksi bukan saksi merupakan satu dari sekian kendala yang dijumpai dalam pemeriksaan kasus perkosaan di Pengadilan. Hal ini disebabkan karena visum et repertum yang sebenarnya dapat dijadikan alat bukti untuk menunjang

saksi korban seringkali tidak dimiliki oleh korban. Harkristuti juga menyarankan perlunya peningkatan pemahaman para penegak hukum mengenai perkosaan, karena di tangan merekalah proses peradilan pidana tentang perkosaan berada. Oleh karena itu, sepanjang persepsi para penegak hukum tentang perkosaan belum berobah, maka hal ini juga menjadi kendala dalam penegakan hukum dan rasa keadilan bagi para korban kekerasan perkosaan. Terkait dengan masalah perkosaan sebagai kekerasan seksual, kiranya masih jelas dalam ingatan kita bagaimana seorang hakim yang melamar menjadi calon hakim agung dalam mengikuti tes beranggapan “bahwa dalam perkosaan kedua belah pihak sama-sama menikmati” suatu pandangan yang sangat keliru dan memalukan. Dengan adanya salah pengertian tentang arti dan makna kekerasan termasuk di dalamnya perkosaan di kalangan para hakim dan para penegak hukum lainnya, maka para penegak hukum tersebut sangat perlu mempunyai wawasan yang luas dalam menangani perkara-perkara yang terkait dengan KDRT, terutama tentang dasar pertimbangan ditetapkannya UU P-KDRT dan penetapan norma baru dalam undang-undang tersebut.

Sebagaimana dijelaskan oleh BIWA bahwa UU No. 23 tahun 2004 ditetapkan berdasarkan :

  • 1)    Setiap warga Negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk      kekerasan

sesuai falsafah Pancasila dan UUD NKRI tahun 1945.

  • 2)    Segala bentuk kekerasan terutama kekerasan dalam rumahtangga merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus.

  • 3)    Korban     kekerasan     dalam

rumahtangga, yang kebanyakan adalah     perempuan     harus

mendapat perlindungan oleh Negara;

  • 4)    Dalam kenyataan, kasus kekerasan dalam rumahtannga banyak terjadi, sedangkan system hukum belum menjamin perlindungan terhadap korbannya.

Penetapan UU KDRT tersebut bermakna untuk menempatkan norma baru sebagai berikut:    1) tidak memberikan toleransi

terhadap kekerasan dalam rumahtangga, 2) kekerasan dalam rumahtangga bukan urusan pribadi tetapi urusan masyarakat, pemerintah dan kewajiban kita semua untuk menghapuskannya 9

Perbedaan pengetahuan, pemahaman, dan wawasan para hakim terhadap norma baru tersebut memungkinkan putusan-putusan hakim yang satu dengan yang lain terkait dengan masalah KDRT bersesuaian (sinkron) atau berbeda.

Berdasarkan hasil pengkajian atas putusan-putusan yang hasilnya telah disajikan dalam bentuk matrik tersebut di atas, pada umumnya dapat dikemukakan bahwa ada sinkronisasi antara putusan-putusan hakim di tingkat PN (sinkronisasi horisontal) maupun antara putusan-putusan hakim Pengadilan Negeri dan hakim Pengadilan Tinggi (sinkronisasi vertikal. Sinkronisasi tersebut dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu sinkron dari aspek perbuatan hukum yang dianggap telah terbukti dilakukan oleh terdakwa, yaitu perbutan hukum berupa tindakan kekerasan fisik dalam rumahtangga yang dilakukan oleh suami terhadap istri, sinkron dalam aspek pasal yang dilanggar, yaitu pasal 44 (4) Undang-undang P-KDRT, sinkron terkait dengan jenis hukuman (sanksi) yang dijatuhkan oleh hakim, yaitu hukuman penjara yang berkisar antara 1-3 bulan. Selain sinkron antar putusan-putusan hakim baik secara horisontal maupun vertikal, putusan-putusan hakim tersebut di atas, baik

PN maupun PT juga sesuai dengan apa yang dituduhkan dan dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum. Adanya sinkronisasi tersebut, khususnya yang bersifat vertikal dapat disimpulkan dari sikap Hakim Pengadilan Tinggi yang mengambil alih pertimbangan hukum PN terutama dalam Putusan PN.Dps.No.1320/Pid.B/2011/PN.Dps, Putusan PT Dps.No.31/PID.SUS/2012/ PT.DPS, Putusan PN.Tbn No.49/Pid. B/2010/PN.Tbn dan Putusan PT.Dps No.67/PID 2010/PT.Dps, dimana putusan hakim PT cenderung mengambil alih pertimbangan hukum PN dan menguatkan amar putusan PN.

Di antara 6 putusan yang dikaji, hanya Putusan PT,Dps. No.101/PID. SUS/2010/PT Dps dengan Putusan PN Dps. No. 436/Pid.B/2010/PN Dps. yang tampak tidak sinkron atau berbeda terkait dengan salah satu pertimbangan hukumnya di mana hakim PT menambahkan pertimbangan hukum bahwa terdakwa dan korban telah bersatu lagi untuk mempertahankan kelangsungan keluarganya, dan oleh karena itu, hakim PT juga memperbaiki hukuman terkait dengan pidananya dari penjara 1 bulan dan ditahan (putusan PN) menjadi penjara 3 bulan tapi bersyarat (terdakwa tidak ditahan).

Dengan adanya putusan hakim PT yang tidak sinkron dengan putusan hakim PN dalam perkara yang sudah disebutkan di atas, maka dapat dikatakan ada diferensiasi putusan secara vertikal. Selain itu, ketidak sinkronan antara putusan PN dan PT tersebut, akhirnya juga memperlihatkan ketidak sinkronan antara

putusan PT itu sendiri dengan putusan PT yang lain (Putusan PT.Dps. No.31/ PID.SUS/2012/ PT.DPS dan Putusan PT Dps.No.67/PID/ 2010/PT.Dps.

Masalah sinkronisasi dan diferensiasi antar 6 putusan pengadilan tersebut di atas dapat disjikan secara singkat dalam matrik di bawah ini

Putusan PT

Putusan PN

Putusan PT,Dps. No. 101/PID. SUS/2010/

PT. Dps.

Putusan PT.Dps. No.31/PID.SUS/ 2012/PT.DPS.

Putusan PT Dps No.67/PID/2010/ PT.

Dps.

Putusan PN Dps. No.

436/Pid.B/2010/PN Dps.

Tidak Sinkron (menambahkan   per

timbangan hukum-nya & memperbaiki amar putusannya

Putusan PN Dps. No 1320/Pid.B/2011/P N Dps

Sinkron (Mengambil   alih

perimbangan ukum hakim  PN  dan

menguatkan amar putusannya)

Putusan   PN.Tbn.

No.

49/Pid./B/2010/PN.

Tbn

Sinkron

(mengambil alih pertimbangan  hukum  &

meguatkan       amar

putusan hakim PN


Putusan PN

Putusan PN

Putusan PN Dps. No. 436/Pid.B/2010/PN Dps

Putusan PN.Dps. No.1320/Pid.B/ 2011/PN. Dps

Putusan PN.Tbn. No.

49/Pid.B/2010/PN. Tbn

Putusan PN Dps No.436/Pid.B/2010/ PN.Dps.

Sinkron

Sinkron

Putusan   PN.Dps.

Sinkron

Sinkron



No.1320/Pid.B/ 2011/PN.Dps.

Putusan   PN.Tbn

Nio.49/Pid.B/2010 /PN. Tbn

Sinkron

Sikron


Putusan PT

Putusan PT

Putusan PT,Dps.

No.101/Pid SUS/2010 / PT.Dps

Putusan PT.Dps. No.31 No.31/PID. SUS/2012/PT.DPS

Putusan PT Dps. No.

67//PID/2010/PT.Dps.

Putusan PT,Dps. No.101/PID SUS/ 2010/PT.Dps

Tidak sinkron

Tidak sinkron

Putusan PT.Dps. No.31/PID.SUS/20 12/PT.DPS

Tidak sinkron

Sinkron

Putusan PT Dps No.67/PID/2010/ PT.Dps

Tidak sinkron

Sinkron


  • c. Pencerminan Keadilan Gender dalam Putusan-Putusan Hakim dalam Penanganan Kasus-kasus KDRT

Selain hambatan/kendala eksternal yang berasal dari sistem hukum, kendala yang dihadapi dalam penanganan kasus-kasus KDRT juga berasal dari factor internal, yaitu dari perempuan sendiri yang menjadi korban. Masih banyak perempuan yang tetap bertahan dalam hubungan kekerasan. Kalyanamitra sebagai Pusat Komunikasi dan Informasi Perempuan dalam salah satu penerbitannya tentang : “ Menghadapi      Kekerasan      dalam

Rumahtangga” menjelaskan bahwa ada sejumlah factor yang membuat mereka terjebak dalam hubungan seperti itu, antara lain : mereka takut mendapat pembalasan, karena kalau dia meninggalkan suami (pelaku kekerasan) dia diancam kekerasan yang lebih kejam; mereka tidak punya tempat lain, dan ada ketergantungan ekonomi kepada suami; mereka menjauh dan menutup diri, karena adanya stigma sosial (cap negatip) bagi perempuan yang mendapat kekerasan dari suami, sehingga tidak mendapat dukungan secara sosial; dan

rasa percaya dirinya rendah setelah mendapat kekerasan.10

Dengan kompleksnya permasalahan KDRT sebagaimana digambarkan di atas, maka masalah ini perlu mendapat penanganan secara lebih konfrehensif dan terpadu, artinya bahwa semua pihak terkait perlu bertindak bersama-sama, dalam hal ini, pihak legislatif dapat menggarap segi perundang-undangannya (substansi hukumnya), para penegak hukum (struktur hukum) perlu memperbaiki proses penegakan hukumnya, dan masyarakat juga perlu menunjukkan sikap dan perilaku (budaya hukum) dalam upaya melindungi perempuan korban kekerasan. Terkait dengan hal ini, Astiti dalam artikelnya yang berjudul : “ Keterpinggiran Perempuan dan Kekerasan dalam Rumahtangga” pernah mengatakan bahwa walaupun sudah ada upaya-upaya perlindungan dalam bentuk perundang-undangan, namun hal tersebut belum cukup untuk menjamin hak-hak si korban. Upaya tersebut perlu ditindaklanjuti secara konkret oleh para penegah hukum (hakim dan pihak lainnyua yang terkait) dan upaya-upaya tersebut akan lebih berarti lagi

apabila disertai dan didukung oleh budaya hukum masyarakat sendiri11 Pendekatan secara konfrehensif dan terpadu ini dapat digolongkan sebagai pendekatan sistem. Terkait dengan sistem hukum, L.M Fiedman menyatakan bahwa sistem hukum terdiri dari 3 komponen system, yaitu :  1)

Legal Structure (Struktur hukum), 2) Legal Substance (subtansi hukum), dan 3) Legal Culture (budaya hukum)12. Dengan membenahi semua komponen sistem hukum tersebut, artinya peraturan perundang-undangannya ataupun hukum yang berlaku di masyarakat (hukum adat), kualitas penegak hukum dan penegakan hukumnya, dan sikap perilaku masyarakatnya terhadap kekerasan, khususnya kekerasan dalam rumahtangga,     diharapkan kekerasan

berangsur dapat dikurangi untuk 13 mewujudkan “Keluarga Bebas Kekerasan”13 karena“KELUARGA BAHAGIA ADALAH KELUARGA BEBAS KEKERASAN14

Dengan diterapkannya Undang-

Undang tentang KDRT dalam penanganan kasus-kasus konkret tentang tindak pidana kekerasan dalam rumahtangga yang dilakukan oleh terdakwa (suami) terhadap korban (istri) baik dalam tuntutan jaksa, pertimbangan hukum hakim, juga dalam amar putusan, tampaknya bahwa para penegak hukum yang menangani kasus-kasus tersebut di atas dapat dikatakan telah mempunyai kepekaan gender. Kepekaan gender dari para penegak hukum tersebut antara lain dapat disebabkan oleh pengetahuan dan pemahaman mereka tentang persoalan gender, khususnya terkait dengan masalah kekerasan gender dalam lingkup rumahtangga.

Selanjutnya dengan dijatuhinya sanksi berupa sanksi pidana penjara yang berkisar dari 1-3 bulan yang dijatuhkan secara bervariasi, yaitu ada yang ditahan, ada pula dijatuhkan dengan bersyarat (terdakwa tidak ditahan), mencerminkan bahwa putusan tersebut telah mencerminkan keadilan gender

  • IV. SIMPULAN DAN SARAN

  • 1.    Simpulan

Berdasarkan hasil analisis tersebut di atas, dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut:

  • 1)    Hukum yang diterapkan oleh hakim dalam penanganan perkara konkret mengenai tindakan kekerasan dalam rumahtangga khususnya kekerasan terhadap perempuan adalah Undang-Undang tentang KDRT (UU No 23/2004) dengan penerapan jenis sanksi pidana penjara yang berkisar 1-3 bulan yang sifatnya bervariasi, ada yang ditahan ada pula yang dijatuhkan dengan bersyarat (terhukum tidak ditahan.

  • 2)    Antara putusan-putusan hakim PN dan PT ada yang menunjukkan keseuaian (sinkron), ada pula yang tidak sinkron antara putusan PN dan PT. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa di satu sisi, ada sinkronisasi secara horisontal antar putusan PN, maupun antar putusan PT, di sisi lain ada juga ketidak sinkronan atau terjadi diferensisasi antar putusan PN dan PT, demikian juga antar putusan PT. Dengan singkat dapat disimpulkan bahwa baik singkronisasi maupun diferensiasi terjadi secara horisontal maupun vertikal


  • 3)    Bahwa putusan hakim, baik hakim PN maupun hakim PT telah mencerminkan keadilan gender.

  • 2.    Saran

Para penegak hukum (Jaksa, Pengacara, Hakim, termasuk Polisi perlu selalu mendalami persoalan-persoalan gender, khususnya yang berkaitan dengan tindakan kekerasan dalam rumahtangga, khususnya yang menimpa kaum perempuan dan anak, sehingga dengan demikian para penegak hukum akan mempunyai kepekaan gender yang menjadi modal utama untuk dapat mewujudkan keadilan gender dalam rangka penegakan hukum Hal ini penting dilakukan oleh para penegak hukum untuk mempercepat terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender, khususnya terkait dengan bidang hukum

DAFTAR PUSTAKA

Asasi, 2000, Hentikan Kekerasan Sekarang Juga,   Bulletin edisi Juni-Juli tahun

2000 Jakarta.

Astiti,      Tjok Istri Putra.      2007,

Keterpinggiran Perempuan dan Kekerasan dalam   Rumahtangga,

dalam Jurnal Hukum vol.3 No.1, Undiknas, Denpasar.

Bali Sruti, tt. Keluarga Bebas Kekerasan, Denpasar.

Biwa, tt. Keluarga Bahagia adalah Keluarga Bebas Kekerasan, Bali Sruti (Lembaga Peduli Perempuan dan Anak), Denpasar.

Friedman, L.M. 1969,  1969, The Legal

System: A Social Science Perspective, Russell Sage Foundation, New York

Harkristuti Harkrisnomo, 1999, “Masalah Perkosaan:  Suatu Tinjauan Sosio-

Yuridis” dalam      Tim Elsapa

(Penyunting), Perkosaan:   Suatu

Kajian Teoritik-Kritis dan Empirik, Elsapa dan LP3ES, Bandarlampung.

Hayati, Elli Nur., 2000, Panduan untuk Pendamping Korban Kekerasan, Ripka Annisa, Yogyakarta.

Mansour Fakih, 1997, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Munti, Ratna Batara., 2002, Advokasi Kebijakan Pro Perempuan, Program Studi Kajian Wanita Universitas Indonesia, Jakarta.

Kalyanamitra, 1999,       Menghadapi

Kekerasan dalam Rumahtangga, Pusat Komunikasi  dan Informasi

Perempuan, Jakarta.


----------------,  2000, Bila Perkosaan Terjadi, Pusat Komunikasi dan Informasi Perempuan, Jakarta.

Undang-Undang No.    4 Tahun 2004

tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan dalam

Rumahtangga

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

370