Kebijakan Legislasi Pembaruan Pemidanaan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
on
Kebijakan Legislasi Pembaruan Pemidanaan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Faisal1, Anri Darmawan2, Muh. Rustamaji3, M. Witsa Firdaus4, Rahmaddi5
-
1Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung, E-mail: [email protected]
-
2Prodi Magister Hukum Universitas Bangka Belitung, E-mail: [email protected] 3Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, E-mail: [email protected]
-
4Prodi Magister Hukum Universitas Bangka Belitung, E-mail: [email protected] 5Prodi Magister Hukum Universitas Bangka Belitung, E-mail: [email protected]
Info Artikel
Masuk: 28 Oktober 2022 Diterima: 23 Desember 2022
Terbit: 28 Desember 2022
Keywords:
Sentencing; Legislative Policy; Basic Idea; Reformulation
Kata kunci:
Pemidanaan; Kebijakan Legislasi; Ide Dasar;
Reformulasi
Corresponding Author:
Faisal, E-mail:
DOI:
10.24843/JMHU.2022.v11.i04 .p15.
Abstract
The Dutch Colonial Criminal Code was born in the classical era. So that the concept of punishment is oriented towards acts with the argument of retaliation. So that criminal law enforcement is not in line with the development of national insight and global insight. The purpose of this research is to find out the renewal of the basic ideas of sentencing legislation policies, and the formulation of sentencing guidelines in the recently passed Criminal Code. The research method uses normative research. The results of the study show that legislation policy has a vision of building a national criminal law with the main mission of decolonization through systemic open codification. The basic idea of punishment reflects national goals and the value of balance. The purpose of sentencing is a rational choice that is formulated as a means of prevention, protection, protection and guidance. The Punishment Guidelines serve as a guide for judges to convict, pardon judges by not convicting, and impose sentences even though there are reasons for abolishing crimes
Abstrak
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Kolonial Belanda lahir dalam era klasik. Sehingga konsep pemidanaan berorientasi pada perbuatan dengan dalil pembalasan. Sehingga penegakan hukum pidana tidak sejalan dengan perkembangan wawasan nasional dan wasasan global. Tujuan penelitian untuk mengetahui pembaruan ide dasar dari kebijakan legislasi pemidanaan, dan formulasi pedoman pemidanaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru disahkan. Metode penelitian menggunakan penelitian normatif. Hasil kajian menunjukkan bahwa kebijakan legislasi memiliki visi membangun hukum pidana nasional dengan misi utama dekolonialisasi melalui kodifikasi terbuka bersifat sistemik. Ide dasar pemidanaan merefleksikan tujuan nasional dan nilai keseimbangan. Tujuan pemidanaan merupakan pilihan rasional yang diformulasikan
sebagai sarana pencegahan, perlindungan, pengayoman, dan pembinaan. Pedoman Pemidanaan menjadi panduan hakim memidana, pemaafan hakim dengan tidak memidana, dan menjatuhkan pidana meskipun ada alasan penghapus pidana.
Agenda pembaruan KUHP, apabila dilihat dalam rentang sejarah lahirnya KUHP peninggalan Belanda sudah berusia tiga abad apabila ditarik mundur sampai Code Penal Perancis (1791-1810). Jika dihitung mundur dari sejak berlakunya KUHP Belanda (1881) sudah dua abad lamanya. Berlakunya KUHP Belanda di Indonesia telah berusia satu abad lebih jika dihitung dari tahun 1915. Bermula dari terselenggaranya Seminar Hukum Nasional I 1963 merekomendasikan agar rancangan kodifikasi hukum pidana nasional untuk disegerakan pembuatannya. Barulah di tahun 1964 muncul konsep Buku I KUHP yang dimaksudkan untuk mengganti Buku I KUHP Belanda (WvS), berkembang kemudian konsep Buku I (RUU KUHP) tahun 1968 dan 1971-1972, Konsep Buku II dan III tahun 1977, 1979-1980, 1981-1982, 1982-1986, 1986-1987, 1987-1992, 19911992, dan seterusnya hingga saat ini.1
Pembaruan hukum pidana di Indonesia merupakan agenda yang sangat mendesak. Hakikat pembaruan disini tidak sekedar dalam arti kebijakan parsial hanya merubah dan mengganti norma di dalam KUHP baru yang telah disahkan. Langkah kebijakan yang ditempuh mestinya melalui pendekatan integral yaitu perubahan hingga pada ide dasar dan nilai yang hendak dibangun.
Konsepsi pemikiran dari kebijakan integral apabila dilihat dari sudut politik kriminal dilakukan dengan pendekatan rasional dari perencanaan perlindungan sosial dalam menanggulangi kejahatan untuk mencapai tujuan utama kesejahteraan masyarakat.2 Hal ini mengandung konsekuensi, bahwa pembaruan dalam KUHP segala usaha yang rasional memasukkan wawasan nasional dan wawasan global, sebagai bentuk upaya dekolonialisasi hukum pidana dalam melahirkan hukum pidana nasional.
Perkembangan hukum di Indonesia (termasuk pula hukum pidana), dapat diketahui dari sisi kekuasaan kolonialisme Belanda di Pulau Jawa, yang berlangsung lebih dari satu abad (1840-1950).3 Waktu yang sudah cukup lama ini, menjadi penting untuk merancang bangun melalui kebijakan legislasi pembaruan terhadap pilar-pilar hukum pidana dari hukum pidana kolonial menuju hukum pidana nasional.
Pembaruan hukum pidana fokusnya pada tiga pilar yaitu tindak pidana (perbuatan), pertanggungjawaban pidana (kesalahan), dan pemidanaan (sanksi pidana).4 Perhatian
utama dalam paper ini ialah ingin melakukan kajian terhadap pembaruan pemidanaan dalam KUHP. Pembaruan atas pemidanaan berbasis sistem, maka kebijakan legislasi KUHP tidak cukup berhenti pada reformulasi jenis hukuman (strafsoort), berat ringannya hukuman (strafmaat), dan pelaksanaan/pengenaan hukuman (strafmodus).
Hulsman mengatakan, bahwa sistem pemidanaan merupakan aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan sanksi pidana dan pemidanaan. 5 Kendati demikian, pembaruan pemidanaan harus dimulai dari usaha reflektif yang bersifat filosofis dalam mengabstraksikan sebuah nilai dan ide dasar. Formulasi sanksi pidana adalah hasil dari proses usaha yang ditempuh setelah berhasil dalam merefleksikan filsafat pemidanaan.
Sholehuddin mengungkapkan filsafat pemidanaan memiliki dua fungsi penting yaitu; fungsi fundamental sebagai landasan dan asas normatif atau kaidah yang memberikan pedoman terhadap masalah pemidanaan. Berikutnya ialah fungsi teori dalam hal sebagai meta-teori yang berfungsi sebagai teori yang mendasari teori-teori pemidanaan.6
Kebijakan legislasi tidak luput dari usaha pendalaman filosofis yaitu atas dasar apa negara yang diberikan otoritas oleh rakyat dalam menetapkan suatu perbuatan sebagai pidana. Usaha ini bisa disebut sebagai merumuskan ide dasar pemidanaan. Hal terpenting berikutnya ialah apa yang menjadi tujuan dari pemidanaan itu dilakukan dengan cara menguraikan justifikasi teori pemidanaan. Sehingga, hasil dari proses kebijakan legislasi menghasilkan penetapan sanksi yang rasional dan terukur.
Sebagaimana yang diketahui, karakteristik pemidanaan dalam KUHP masih berorientasi pada perbuatan. Implikasinya adalah ketika perbuatan memenuhi unsur rumusan delik hampir pasti dapat dipidana. Justifikasi teoritik pemidanaan bertumpu pada retributive justice penyelesaian perkara dengan cara memberikan penghukuman.
Hukum pidana menjadi sarana negara untuk membalas perilaku tercela, dengan dalil secara krimonologis bahwa sanksi akan berdampak memberikan efek jera bagi pelaku delik. Fokus retributive justice dalam perspektif pemidanaan hanya fokus pada perbuatan tanpa ingin melihat aspek perbaikan dari sisi pelaku serta mengabaikan pemulihan keadaan antara korban dan pelaku.
Sistem pemidanaan KUHP kolonial Belanda berasaskan pada nilai liberalisme dan hal ini berpengaruh pula pada sistem penjatuhan sanksi pidana.7 Meskipun telah dilakukan beberapa penambahan dan pengurangan dalam KUHP, namun watak imperialisme dan kapitalisme tetap mengakar dalam KUHP tersebut.8
Orientasi pemidanaan di abad 19 berubah pesat, saat ini sudut pandang telah beralih dari perbuatan ke orang, yaitu dari kejahatan ke si pembuatnya (penjahat). Diperlukan reorientasi pemidanaan dengan memusatkan perhatian tidak pada si penjahat, tetapi kepada si pembuatnya yaitu masyarakat.9
Konsep pemidanaan dalam KUHP selain tertinggal oleh zamannya, tidak sesuai pula dengan nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Penegakan hukum pidana seringkali berada pada situasi dilematis apabila tidak dilakukan pembaruan pemidanaan. Salah satu dari sekian kasus yang pernah menjadi perhatian publik ialah kasus Nenek Minah yang harus bertanggung jawab atas sangkaan pencurian tiga buah kakao dari perkebunan PT Rumpun Sari Antan. Proses hukum harus dihadapi oleh Mak Minah dari tingkat penyelidikan, penuntutan, hingga putusan pengadilan.10
Dalam anggapan publik, kasus yang menimpa Mak Minah berada pada situasi yang dilematis mengingat adanya ketegangan antara nilai kepastian hukum dan keadilan. Kasus tersebut bermula pada suatu hari di bulan Agustus 2009, seorang nenek tua dari Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Banyumas, Jawa Tengah, memanen kedelai di lahan garapannya. Berbatasan dengan sebuah kebun kakao (di daerah itu lazim dinamai cokelat) milik PT RSA, ketika sedang memanen kedelai, mata nenek Minah itu melihat pohon-pohon cokelat yang banyak berbuah dan ranum. Nenek Minah memetik tiga buah cokelat yang ada di kebun itu, lalu meletakkannya di tempat. Sepekan kemudian, Nenek Minah dipanggil dan diperiksa polisi di Polsek Ajibarang. Dari hasil pemeriksaan, polisi menyimpulkan bahwa perbuatannya memenuhi unsur-unsur yang disebutkan dalam Pasal 362 KUHP sebagai tindak pidana pencurian. Pada akhirnya, Nenek Minah dinyatakan hakim terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah divonis pidana satu bulan 15 hari, dengan masa percobaan tiga bulan. 11
Situasi yang dihadapi Nenek Minah tidak mungkin dapat lepas dari tuntutan hukum apabila dilihat dari Pasal 362 KUHP warisan kolonial Belanda. Mengingat filsafat pemidanaan yang mendasari ialah retributive justice yaitu hukum pidana menjadi sarana pemabasan bagi perbuatan tercela. Pertimbangan yang melingkupi diri pelaku, ringannya perbuatan yang dilakukan pelaku, dan keadaan pada waktu dilakukannya tindak pidana serta dampak dari perbuatannya sudah barang tentu tidak menjadi perhatian dan pertimbangan dalam KUHP lama warisan kolonial Belanda.
KUHP baru saat ini, hakim diberikan kewenangan dalam pemidanaan wajib mempertimbangkan beberapa hal (Pasal 54 ayat 1 KUHP baru), yaitu salah satunya; bentuk kesalahan pelaku, motif dan tujuan melakukan delik, tindak pidana dilakukan dengan direncanakan atau tidak direncanakan, riwayat hidup keadaan sosial dan keadaan ekonomi pelaku, dan nilai hukum serta keadilan yang hidup dalam
masyarakat. Selain itu pula, dalam Pasal 54 ayat 2 KUHP baru dapat disebut sebagai asas rechterlijke pardon yang memberikan kewenangan pada hakim memberikan pemaafan kepada pelaku yang terbukti bersalah melakukan delik dengan syarat dan ketentuan tertentu. Batasan pemberian pemaafan oleh hakim apabila kualifikasi perbuatan dilakukan dalam kategori ringan, perbuatan itu dilakukan oleh pelaku yang keadaannya patut untuk dimaafkan, serta perbuatan ketika dilakukan tidak berdampak signifikan.
Oleh karena tujuan pemidanaan dalam KUHP ialah berorientasi pada perbuatan, maka pembalasan atas perbuatan dengan penjatuhan sanksi pidana menjadi pilihan yang tidak bisa dihindari dalam setiap kasus pidana. Menerapkan legalitas formal merupakan pilihan rasional dari konsep pemidanaan KUHP saat ini, sehingga kasus yang menimpa Mak Minah tidak ada ruang sedikitpun untuk diberikan pemafaan dari jeratan hukum pidana. Hal ini disebabkan KUHP tidak memiliki tujuan dan pedoman pemidanaan, sehingga seringkali penegakan hukum pidana tidak memiliki arah yang jelas bahkan disana sini terjadi disparitas putusan pidana.
Penelitian terdahulu yang dituliskan oleh Noveria Devy Irmawant, bahwa Pedoman pemidanaan atau guidance of sentencing lebih merupakan arah petunjuk bagi hakim untuk menjatuhkan dan menerapkan pidana. Pedoman pemidanaan merupakan ketentuan dasar yang memberi arah dan petunjuk bagi para hakim dalam menerapkan dan menjatuhkan pidana. Pedoman pemidanaan juga berfungsi sebagai kontrol atau pengendali bagi hakim agar pidana yang dijatuhkan jelas terarah dan ada daya gunanya.12
Pembaharuan pemidanaan harus sesuai pula dengan karateristik hukum pidana yang terkandung dalam kehidupan masyarakat dan ideologi bangsa Indonesia, yaitu Pancasila, penekanan kesimpulan ini dituliskan dalam penelitian A.A Ngurah Oka Yudistira Darmadi. Sehingga dalam penetapan jenis sanksi pidana menambahkan beberapa jenis pidana baru, yakni pidana pengawasan dan pidana kerja sosial serta pidana pengganti terhadap korban tindak pidana.13
Hasil penelitian Roby Anugrah bahwa dalam KUHP posisi korban pasif sehingga tujuan pemidanaan hanyalah bersifat pembalasan tanpa memperhatikan aspek korban. Selanjutnya pada pembaharuan hukum pidana Indonesia korban lebih mendapat tempat yang proporsional dalam menentukan penjatuhan pidana terhadap pelaku adanya asas pemaafan oleh korban guna mewujudkan tujuan dan pedoman pemidanaan yang adil.14
Tinjauan terhadap arah hukum pidana dalam KUHP baru, apabila dilihat dari pembahasan politik hukum (criminal law politic) mestinya diletakkan sebagai bagian penting dari program Reformasi. Pandangan ini disampaikan dalam tulisan Koesparmono Irsan. Meletakkan arah hukum pidana dalam konteks program Reformasi, maka pilihan-pilihan terhadap perbuatan-perbuatan yang diformulasikan dapat dihukum/tindak pidana/delik (kriminalisasi) dan mana yang bukan (dekriminalisasi) ditentukan oleh tujuan yang ingin dicapai tersebut.15
Arah konsep pemidanaan dalam KUHP baru telah mengusung pembaruan nilai dan ide dasar pemidanaan dalam kebijakan legislasi. Merefleksikan segala hal kelemahan pemidanaan KUHP warisan kolonial, yang disadari secara nyata telah berkontribusi membuat penegakan hukum pidana tidak sejalan dengan perkembangan wawasan nasional dan wawasan global di bidang hukum pidana. Atas alasan itulah, paper ini akan memunculkan beberapa pertanyaan baik yang bersifat reflektif dan praktikal.
Berdasarkan uraian di atas, tujuan penelitian yang disajikan dengan fokus dua masalah mendasar. Pertama, apakah yang menjadi pembaruan ide dasar dan tujuan dari kebijakan legislasi mengenai pemidanaan dalam KUHP baru? Kedua, bagaimana formulasi pedoman pemidanaan dalam KUHP baru?
Metode penelitian yang digunakan yaitu penelitian hukum normatif. Fokus analisa penelitian ini pada konsep norma Pasal 54 ayat 1 dan 2 KUHP baru. Oleh karena itu dalam penelitian hukum normatif terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder serta bahan hukum tersier. Sumber literatur diperoleh dari kepustakaan serta dokumen dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer seperti KUHP WvS dan KUHP baru. Selain itu, bahan hukum sekunder diperoleh dari literatur pustaka, jurnal, buku, dan hasil penelitian.
Pendekatan Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan konseptual (conceptual approach) dan Pendekatan Perundang-undangan (Statue Approach). Pendekatan ini dilakukan dengan melihat pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum yang bertujuan untuk menemukan ide yang melahirkan konsep-konsep hukum, pengertian hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu hukum. Teknik penelusuran bahan hukum dilakukan dengan metode studi dokumen atau penelitian kepustakaan (library research), yaitu pengumpulan bahan hukum dengan melakukan penelitian di perpustakaan terhadap sejumlah literatur, dokumen, pendapat pakar, serta artikel yang dapat menjelaskan konsep-konsep hukum. Teknik analisis bahan hukum yang digunakan adalah Diskiptrif analisis yang mengacu pada suatu masalah tertentu yang kemudian
dikaitkan dengan literatur, pendapat pakar hukum, maupun berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.16
-
3. Hasil Dan Pembahasan
-
3.1. Arah Kebijakan Legislasi dalam KUHP Baru
-
Kebijakan di inggris dikenal dengan istilah policy dan Belanda diartikan politiek. Kebijakan dalam ilmu hukum pidana dipahami sebagai politik hukum pidana maupun politik kriminal.17 Pengertian secara luas kebijakan maupun politik kriminal menurut Sudarto sebagaimana yang dikutip oleh Silfester Igom, merupakan upaya pembentuk undang-undang yang tindakannya memiliki otoritas resmi dan bertujuan menegakkan norma-norma pokok dari masyarakat.18
Pada intinya kebijakan hukum pidana adalah bagaimana hukum pidana dapat dirumuskan dengan baik dan dapat memberikan pedoman bagi pembentuk undang-undang (kebijakan legislatif), kebijakan aplikasi (kebijakan yudisial), dan pelaksanaan hukum pidana (kebijakan eksekutif).19
Kerangka berfikir pemidanaan telah berkembang pesat. Tradisi klasik memanfaatkan sarana sanksi pidana untuk membalas perbuatan tercela. Dukungan pemikiran retributif menjadi dalil usaha melindungi masyarakat dari kejahatan dengan mengekspresikan secara psikis efek jera atas penestapaan pidana.
Dalam perkembangannya, pendekatan retributif dalam sistem pemidanaan mulai bergeser ke arah pendekatan kemanfaatan. Dalam pendekatan kemanfaatan, kegunaan sanksi pidana dinilai dari sudut apakah dengan mengenakan sanksi tersebut dapat diciptakan kondisi yang lebih baik. Pandangan utilitarian selalu berpijak pada kepentingan masyarakat sebagai sarana perlindungannya.20
Sebagaimana dikatakan oleh Herbert L. Packer yang dikutip oleh Suhariyono AR, secara teoritis pemidanaan terlibat pada dua argumentasi teoritik yaitu pandangan retributif (retributive view) pidana sebagai ganjaran negatif terhadap setiap perilaku menyimpang.
Pandangan utilitarian (utilitarian view) memandang pidana dari segi manfaat atau kegunaannya.21
Arah baru kebijakan legislasi tidak terlepas dari visi ingin membangun hukum pidana nasional yang dapat menggantikan KUHP kolonial yang dijabarkan dalam misi utama yaitu proses dekolonialisasi berupa kodifikasi terbuka yang bersifat sistemik dan bukan bersifat fragmentaris atau amandemen tambal sulam.22
Kelemahan fundamental KUHP Kolonial ialah mendasarkan diri pada aliran klasik dalam hukum pidana. Aliran ini mengelaborasi hukum pidana materiil sebagai senjata untuk membalas perbuatan pidana. Sehingga rasionalitas legalitas formiil menjadi sumber pemidanaan yang absolut. Perbuatan diformulasikan dapat dicela sanksi pidana ketika perbuatan itu dirumuskan berdasarkan ketentuan undang-undang. Artinya, bagi setiap perbuatan memenuhi rumusan delik sudah dapat dipastikan dibalas dengan sanksi pidana. Tujuan pemidanaan hanya untuk pembalasan.
Perkembangan pemidanaan menjadi kajian serius pada era aliran modern, dan pada akhirnya konsep pemidanaan telah bergeser jauh dari semula sebagai alat membalas menuju perbaikan kondisi pelbagi kepentingan akibat tindak pidana. Perkembangan ini pun mempengaruhi konstruksi berfikir pembentuk undang-undang dalam menyusun KUHP baru. Di berbagai pertemuan ilmiah, dikemukakan perubahan KUHP baru sudah semestinya mengakomodasi wawasan nasional pasca kemerdekaan melalui spirit nasionalisme nilai-nilai Ke-Indonesiaan.
Berdasarkan pemikiran tersebut, arah baru kebijakan legislasi KUHP melakukan perubahan mendasar dalam empat hal pokok mengenai pemidanaan, yaitu merumuskan ide dasar pemidanaan, tujuan pemidanaan, pedoman pemidanan, dan jenis-jenis pidana. Ide dasar merefleksikan nilai keseimbangan sebagai pijakan dalam memformulasikan ketentuan sanksi pidana. Tujuan pemidanaan dimaksudkan memberikan panduan kepada penegak hukum dan masyarakat dalam penegakan hukum pidana.
Selama ini, KUHP Belanda mengadopsi ide dasar yang berpusat pada nilai-nilai kebangsaannya liberalisme dan individualistik. Maka, tidaklah heran jika tujuan pemidanaan hanya semata-mata memberikan perlindungan individual dengan jargon pembalasan. Tujuan pemidanaan dalam KUHP baru mereformasi hal tersebut, agar penegakan hukum pidana memiliki arah dan peta jalan yang jelas. Apalagi dalam KUHP Belanda tidak memiliki pedoman pemidanaan sehingga membuat hakim tidak memiliki panduan dalam mempertimbangkan dan memutuskan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Perubahan juga terjadi pada wilayah penetapan jenis-jenis sanksi pidana dalam KUHP baru.
-
3.2. Pembaruan Ide Dasar Pemidanaan dan Tujuan Pemidanaan dalam KUHP Baru
Pembaruan hukum pidana dalam pendekatan kebijakan haruslah ditempuh dengan rasional. Terlebih lagi kebijakan hukum pidana menurut Hoefnagels merupakan rasional total of the response to crime. Pembaruan KUHP baru mengenai pemidanaan mestinya melibatkan pilihan-pilihan yang rasional dalam perspektif kelimuan dan memperhatikan perkembangan wawasan nasional.
Kesadaran dalam merumuskan pemidanaan, Tim Perancang, Penyusun dan Pengkaji KUHP baru telah menyajikan perubahan yang bersumber pada sistem hukum nasional yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan tujuan nasional pada pembukaan UUD 1945.
Dalam padangan Pancasila, tujuan pemidanaan pendekatannya multi dimensional bersifat mendasar terhadap dampak tindak pidana. Upaya memperbaiki kerusakan yang bersifat individual dan bersifat sosial akibat dari tindak pidana, merupakan tujuan mendasar dari pemidanaan. Perspektif tujuan pemidanaan yang dikembangkan adalah cara pandang integratif, memperhatikan kepentingan masyarakat, kepentingan negara dan kepentingan korban.23
Apabila ditinjau dari tujuan nasional, maka pembaruan pemidanaan tidak dapat melepaskan tujuan konstitusional bangsa ini pada alinea keempat yang menitikberatkan pada aspek perlindungan dan kesejahteraan masyarakat. Dua kalimat ini dalam politik kriminal sering disebut sebagai social defence dan social welfare. Dengan adanya dua kata kunci ini menunjukkan adanya asas keseimbangan dalam tujuan pembangunan hukum pidana nasional. 24 Social defence mengarahkan tujuan pemidanaan pada aspek perlindungan masyarakat dengan mengunakan sarana penal (hukum pidana) dan non penal. Perlindungan tersebut (social defence) dilakukan dengan tujuan akhir pencapaian kesejahteraan masyarakat (social welfare). Tertib sosial merupakan salah satu aspek dalam mencapai kesejahteraan, dengan demikian diperlukan instrumen hukum pidana dalam menjaga stabilitas ketertiban dan keamanaan dalam masyarakat.
Menurut Barda Nawawi Arief apabila tujuan pemidanaan pemidanaan ini bertolak dari tujuan nasional, maka memiliki empat aspek atau ruang lingkup perlindungan masyarakat. Pertama, perlindungan terhadap perbuatan jahat, tujuan pemidanaan ialah mencegah dan menanggulangi kejahatan. Kedua, perlindungan terhadap sifat berbahaya pelaku kejahatan, tujuan pemidanaan fokus pada perbaikan si pelaku. Ketiga, perlindungan terhadap penyalahgunaan sanksi, tujuan pemidanaan yaitu mencegah agar tidak terjadi kesewenangan penguasa. Keempat, perlindungan keseimbangan kepentingan, tujuan pemidanaan tidak lain ingin memulihkan keseimbangan masyarakat.25
Kebijakan legislasi dalam KUHP baru telah mengusung ide dasar sistem pemidanaan dengan berbagai ide keseimbangan, antara lain: keseimbangan monodualistik antara kepentingan umum dan individu, social defence dan social welfare, pidana berorientasi pada pelaku dan korban, pidana dan tindakan, ide fleksibilitas pemidanaan, ide modifikasi pemidanaan, ide pemaafan hakim, dan ide mengutamakan keadilan dari kepastian hukum.26 Ide keseimbangan yang ingin diwujudkan lebih berlandaskan pada nilai keadilan ketimbang kepastian hukum. Karena kepastian hukum merupakan sicherkeit des rechts selbst, yaitu kepastian tentang aturan hukum itu sendiri.27
Berdasarkan pada ide dasar keseimbangan inilah tujuan pemidanaan di formulasikan dalam KUHP baru. Dikatakan bahwa tujuan pemidanaan, pertama; pencegahan dilakukannya tindak pidana semata-mata demi perlindungan dan pengayoman masyarakat. Kedua, membina dan membimbing terpidana agar dapat menjadi orang yang baik kembali dan berguna bagi masyarakat. Ketiga, memulihkan keseimbangan demi mendatangkan rasa aman dan damai dalam masyarakat merupakan tujuan dari penyelesaian konflik akibat dari tindak pidana. Keempat, menumbuhkan rasa penyesalan dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
Tampaknya tujuan pemidanaan dalam kebijakan legislasi KUHP baru mengabungkan teori tujuan pencegahan umum melalui dalil teori paksaan secara psikologis dan pencegahan khusus dengan tujuan agar pelaku kejahatan tidak mengulangi perbuatannya. Diharapkan dengan tujuan pemidanaan yang demikian, pelaku tindak pidana tidak mengulangi perbuatannya atas ganjaran pidana yang diderita oleh si pelaku, di sisi lain pemidanaan harus pula berfungsi mendidik dan memperbaiki.28
Kebijakan legislasi yang telah memformulasikan tujuan pemidanaan, dengan demikian penegakan hukum dari tahap penyidikan, penuntutan, persidangan, dan pelaksanaan pidana haruslah memperhatikan empat hal pokok dari tujuan pemidanaan tersebut. Pemidanaan tidak lagi diarahkan semata mata penindakan, yang utama adalah pencegahan dari tindak pidana. Meskipun terpidana menjalani penghukuman, edukasi dan pembinaan merupakan hal utama yang mesti dilakukan di lembaga pemasyarakatan. Tujuan terpenting dari pemidanaan adalah pemulihan keseimbangan masyarakat. Bahkan, tujuan pemidanaan tadi harus pula berpijak dengan ide dasar keseimbangan dalam pemidanaan.
-
3.3. Pedoman Pemidanaan Dalam KUHP Baru
Membangun kualitas kebijakan legislasi dalam pembaruan pemidanaan, hal yang utama harus diperhatikan merumuskan pola pemidanaan. Pembentuk undang-undang dalam menyusun penormaan sanksi pidana akan sangat terbantu apabila dimulai dari menentukan pola pemidanaan. Sebagaimana pendapat Barda Nawawi Arief yang dirujuk oleh Andi Irawan Haqiqi dan Jawade Hafidz, bahwa pola pemidanaan dapat
menjadi acuan atau pedoman bagi pembuat undang-undang dalam membuat atau menyusun perundang-undangan sanksi pidana.29
Secara umum, pedoman pemidanaan dalam KUHP baru dibedakan menjadi dua, yaitu; pedoman dalam menggunakan sumber hukum pidana dan pedoman dalam menjatuhkan sanksi pidana. Dalam hal yang pertama, sumber hukum pemidanaan menunjuk pada Pasal 1 KUHP baru sebagai sumber hukum formal dan materiil. 30 Perspektif ilmu hukum pidana sering menyebut Pasal 1 KUHP baru dengan asas legalitas, dan dalam hal ini dapat dipahami sebagai pedoman sumber pemidanaan.
Kemudian yang kedua, pedoman dalam menjatuhkan sanksi pidana dipahami dalam tiga bentuk, antara lain; pedoman yang dapat dipakai oleh hakim dalam menjatuhkan pidana, pedoman untuk memaafkan dan tidak menjatuhkan pidana/tindakan, dan pedoman untuk tetap menjatuhkan pidana walaupun ada alasan penghapus pidana.31
Arah baru dari kebijakan legislasi KUHP baru dalam Pasal 54 ayat 1 dan 2 mengatur pedoman pemidanaan utamanya dalam hal hakim menjatuhkan sanksi pidana diberikan beberapa parameter yang jelas. Pedoman pemidanaan tersebut diwajibkan mempertimbangkan; kadar kesalahan pelaku, latarbelakang dari motif dan tujuan pelaku, sikap batin pelaku, apakah perbuatan yang dilakukan dengan rencana atau tidak direncanakan, modus atau cara perbuatan dilakukan, sikap dari pelaku setelah melakukan perbuatan, profil pelaku baik itu secara sosial dan ekonomi, dampak dan pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku dan korban, pertimbangan permaafan korban dan keluarga korban, serta nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Pedoman pemidanaan ini bertujuan sebagai operasionalisasi norma yang menjadi hakikat dari pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia. Sehingga perwujudannya dijabarkan kembali dengan adanya perubahan jenis-jenis pidana dalam KUHP baru. Prinsipnya jenis pidana ditegaskan dalam formulasi pidana dan tindakan. Pidana terdiri dari pidana pokok; pidana tambahan; dan pidana yang bersifat khusus untuk Tindak Pidana tertentu yang ditentukan dalam Undang-Undang.
Berdasarkan Pasal 65 ayat (1) KUHP baru bahwa pidana pokok terbagi dalam pidana penjara, pidana tutupan, pidana pengawasan, pidana denda, dan pidana kerja sosial. Urutan pidana yaitu dari pidana penjara, tutupan, pengawasan, denda, hingga kerja sosial, menentukan berat ringannya pidana, kecuali pidana bagi anak.
Stelsel sanksi dalam KUHP baru menganut double track system dengan membedakan secara tegas sanksi pidana dan sanksi tindakan. 32 Ide dasar double track system menawarkan gagasan melalui kebijakan sistem dua jalur kesetaraan antara sanksi pidana dan sanksi tindakan.33 Menurut Sholehuddin, sanksi pidana bersumber pada ide dasar mengapa diadakan pemidanaan. Sedangkan sanksi tindakan bertolak dari ide dasar untuk apa diadakan pemidanaan itu. Sanksi pidana bersifat reaktif terhadap perbuatan, sementara sanksi tindakan bersifat antisipatif terhadap pelaku kejahatan.34
Arah baru kebijakan legislasi terikat pada visi membangun hukum pidana nasional melalui misi utama dekolonialisasi dengan cara kodifikasi terbuka bersifat sistemik. Sehingga kebijakan legislasi KUHP baru menyajikan perubahan mendasar mengenai ide dasar pemidanaan, tujuan pemidanaan, pedoman pemidanan, dan jenis-jenis pidana.
Ide dasar pemidanaan merefleksikan tujuan nasional dan mengintegrasikan nilai keseimbangan. Adapun tujuan pemidanaan merupakan pilihan rasional yang diformulasikan bahwa pemidanaan sebagai saran untuk mencegah terjadinya tindak pidana dalam rangka memberikan perlindungan dan pengayoman masyarakat. Pembinaan terhadap pelaku tindak pidana bertujuan agar narapidana tidak melakukan perbuatan pidana kembali. Pemidanaan juga ditujukan agar terciptanya rasa aman dan damai serta memberikan efek psikologis rasa penyesalan bagi pelaku tindak pidana.
Selain tujuan yang telah dirumuskan, pembaruan pemidanaan KUHP baru (Pasal 54 ayat 1 dan 2 KUHP) memberikan pedoman bagi hakim menjatuhkan pidana, pedoman pemaafan oleh hakim dengan tidak memidana, dan pedoman menjatuhkan pidana meskipun adanya alasan penghapus pidana. Sehingga hal ini juga berimplikasi pada kebaruan dengan tetap mencantumkan sanksi pidana dengan menambahan sanksi tindakan yang lebih dikenal sebagai stelsel sanksi menganut double track system.
Kebijakan legislasi pembaruan pemidanaan merupakan salah satu dari upaya dalam penegakan hukum pidana. Menyongsong lahirnya hukum pidana nasional diperlukan persiapan sejak dini memberikan pembelajaran dalam pendidikan hukum dengan memproyeksikan pembelajaran hukum pidana diarahkan pada pembaruan hukum pidana dalam hal ini adalah hukum pidana materiil. Selain itu pula, penegak hukum pidana seyogyanya dapat segera beradaptasi dengan perkembangan pembaruan KUHP baru. Setidaknya melakukan kajian secara khusus terhadap pembaruan pilar-pilar penting yaitu tindak pidana, pertanggungjawaban pidana, dan pemidanaan.
Ucapan Terima Kasih
Artikel ini merupakan bagian dari konsistensi penelitian penulis atas dukungan dari Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung dan LPPM UBB, agar penulis selalu mempublikasikan hasil karya ilmiah sebagai wujud pengembangan penelitian.
Daftar Pustaka
Arief, Barda Nawawi. Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara. Genta Publishing. Yogyakarta: Genta Publishing, 2010.
———. Perkembangan Sistem Pemidanaan Di Indonesia. Pustaka Megister. Semarang: Pustaka Magister, 2011.
———. RUU KUHP Sebuah Rekntruksi Sistem Hukum Pidana Indonesia. Badan Penerbitan Universitas Diponegoro, 2009.
http://hukumlib.untagsmg.ac.id/index.php?p=show_detail&id=2665.
———. Tujuan Dan Pedoman Pemidanaan: Perspektif Pembaharuan Dan Perbandingan Hukum Pidana. Pustaka Magister, 2017.
//hukumlib.untagsmg.ac.id/index.php?p=show_detail&id=585.
Dahwir, Ali. “Pengembanan Filsafat Pancasila Dalam Sistem Pemidanaan Di Indonesia.” Solusi 17, no. 1 (January 1, 2019): 14–22.
https://doi.org/10.36546/solusi.v17i1.143.
Darmadi, A.A Ngurah Oka Yudistira. “Konsep Pembaharuan Pemidanaan Dalam Rancangan Kuhp.” Jurnal Magister Hukum Udayana 2, no. 2 (2013): 44212.
https://doi.org/10.24843/JMHU.2013.V02.I02.P04.
Erfandi, Erfandi. “Implementasi Nilai-Nilai Pancasila Dalam Pembangunan Sistem Hukum Pidana Di Indonesia.” Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan 1, no. 1 (June 26, 2016): 23–32.
https://doi.org/10.17977/um019v1i12016p023.
Faisal, and Muhammad Rustamaji. “Perspektif Hukum Pidana Dalam Polemik Pengajuan Sumpah Advokat: Telaah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XVII/2018 Atas Surat Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015.” Jurnal Hukum Ius Quia Iustum 27, no. 3 (December 15, 2020): 458–80. https://doi.org/10.20885/iustum.vol27.iss3.art2.
Farikhah, Mufatikhatul. “Konsep Judicial Pardon (Pemaafan Hakim) Dalam Masyarakat Adat Di Indonesia.” Jurnal Media Hukum 25, no. 1 (October 12, 2018): 81–92. https://doi.org/10.18196/jmh.2018.0104.81-92.
Faisal. Politik Hukum Pidana. Yogyakarta: Rangkang Education, 2010.
Gunarto, Marcus Priyo. “Sikap Memidana Yang Berorientasi Pada Tujuan Pemidanaan.” Mimbar Hukum - Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 21, no. 1 (2009): 93–108. https://doi.org/10.22146/JMH.16248.
Haqiqi, Andi Irawan, and Jawade Hafidz. “Kebijakan Formulasi Sistem Pemidanaan Tindak Pidana Penjara Minimum Khusus Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia.” Jurnal Hukum Khaira Ummah 12, no. 1 (June 15, 2017): 67–78.
http://jurnal.unissula.ac.id/index.php/jhku/article/view/1872.
Igom, Silfester. “Kebijakan Legislatif Dalam Rangka Penetapan Sanksi Pidana Penjara Dalam Perkara Pidana.” Lex Crimen III, no. 1 (February 19, 2014): 69–78.
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexcrimen/article/view/3840.
Irmawanti, Noveria Devy, and Barda Nawawi Arief. “Urgensi Tujuan Dan Pedoman Pemidanaan Dalam Rangka Pembaharuan Sistem Pemidanaan Hukum Pidana.” Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia 3, no. 2 (May 28, 2021): 220.
https://doi.org/10.14710/JPHI.V3I2.217-227.
Irsan, Koesparmono. “Arah Politik Hukum Pidana Dalam Rencana Undang-Undang Hukum Pidana.” Jurnal Keamanan Nasional 1, no. 1 (April 27, 2015): 79–104.
https://doi.org/10.31599/jkn.v1i1.14.
Murdoko. “Disparitas Penegakan Hukum Di Indonesia (Analisis Kritis Kasus Nenek Minah Dalam Perspektif Hukum Progresif).” Perspektif Hukum, November 20, 2016, 221–30. https://doi.org/10.30649/ph.v16i2.53.
Muladi, and Diah Sulistyani. Catatan Empat Dekade Perjuangan Turut Mengawal Terwujudnya KUHP Nasional (Bagia 1, 1980-2020). Semarang: Universitas Semarang Press, 2020.
Murdoko. “Disparitas Penegakan Hukum Di Indonesia (Analisis Kritis Kasus Nenek Minah Dalam Perspektif Hukum Progresif).” Perspektif Hukum, November 20, 2016, 221–30. https://doi.org/10.30649/ph.v16i2.53.
Putro, Widodo Dwi. “Mencari Kebenaran Materiil Dalam ‘Hard Case’ Pencurian Tiga Buah Kakao.” Jurnal Yudisial III, no. 03 (2010): 220–37.
https://doi.org/10.29123/JY.V3I3.209.
Roby Anugrah. “Pemaafan Korban Ditinjau Dari Tujuan Pemidanaan Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia.” JURNAL ILMU HUKUM: Fakultas Hukum Universitas Riau 8, no. 2 (February 18, 2019): 1–13.
https://doi.org/10.30652/JIH.V8I1.5939.
Rustamaji, Muhammad. “Biomijuridika: Pemikiran Ilmu Hukum Pidana Berketuhanan Dari Barda Nawawi Arief.” Undang: Jurnal Hukum 2, no. 1 (October 28, 2019): 193– 223. https://doi.org/10.22437/ujh.2.1.193-223.
Sambas, Nandang. “Kebijakan Legislatif Sistem Pemidanaan Sebagai Upaya Peralindungan Hukum Terhadap Anak Di Indonesia.” Jurnal Hukum Ius Quia Iustum 19, no. 3 (2012): 382–400. https://doi.org/10.20885/iustum.vol19.iss3.art3.
Sinaga, Merry Natalia. “Ide Dasar Double Track System : Sanksi Pidana Dan Tindakan Sebagai Sistem Pemidanaan Terhadap Pelaku Kejahatan Penyalahgunaan Narkotika.” Jurnal Penelitian Pendidikan Sosial Humaniora 3, no. 1 (May 24, 2018):
337–45. https://doi.org/10.32696/jp2sh.v3i1.97.
Soponyono, Eko. “Kebijakan Perumusan Sistem Pemidanaan Yang Berorientasi Pada Korban.” Masalah-Masalah Hukum 41, no. 1 (January 24, 2012): 29–41.
https://doi.org/10.14710/MMH.41.1.2012.29-41.
Suhariyono AR. “Penentuan Sanksi Pidana Dalam Suatu Undang-Undang.” Legislasi Indonesia 6, no. 4 (November 29, 2009): 846.
https://doi.org/10.54629/JLI.V6I4.337.
Sholehuddin, M. Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track System & Implementasinya. Jakarta: Rajawali Pres, 2014.
Syaiful Bakhri. Sejarah Pembaruan KUHP Dan KUHAP. Total Media, 2011.
Wiharyangti, Dwi. “Implementasi Sanksi Pidana Dan Sanksi Tindakan Dalam Kebijakan Hukum Pidana Di Indonesia.” Pandecta Research Law Journal 6, no. 1 (2011): 80–85. https://doi.org/10.15294/PANDECTA.V6I1.2326.
Wijayanto, Indung. “Kebijakan Pidana Denda Di KUHP Dalam Sistem Pemidanaan Indonesia.” Pandecta: Research Law Journal 10, no. 2 (December 31, 2015): 248. https://doi.org/10.15294/pandecta.v10i2.4956.
Yulianingsih, Nisa. “Kebijakan Hukum Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Pengadaan Barang Dan Jasa.” Law Reform 10, no. 1 (October 1, 2014): 62.
https://doi.org/10.14710/lr.v10i1.12457.
Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
942
Discussion and feedback