Pelaksanaan Proses Arbitrase Online di Indonesia

Kt. Sukawati Lanang P. Perbawa1

1 Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Denpasar, E-mail: [email protected]

Info Artikel

Masuk: 10 Oktober 2022

Diterima: 22 Desember 2022

Terbit: 28 Desember 2022

Keywords:

Arbitration; Online; Indonesia


Kata kunci:

Arbitrase; Online; Indonesia

Corresponding Author:

Kt.Sukawati Lanang P.

Perbawa, e-mail :

[email protected]

DOI:

10.24843/JMHU.2022.v11.i04.

p11.


Abstract

The purpose of this paper was to analyze, identify and elaborate on the limitations and principles in determining the choice of law used in the dispute resolution process in arbitration and the online arbitration dispute resolution mechanism based on the laws and regulations in Indonesia. This research was normative research using a statutory approach, a conceptual approach and an analytical approach. The results of the study indicated that the selection of the applicable law in the agreement and the choice of forum must be made by the parties in good faith by seeing the real connection between the law chosen and legal events, in accordance with public order and not only benefiting one party. The online trial procedure can be carried out in the event of a disaster emergency and special circumstances when a party will apply for arbitration, an arbitration trial will be held or is in progress in accordance with the Law on Arbitration and Alternative Dispute Resolution and the Law on Disaster Management.

Abstrak

Tujuan penulisan ini adalah untuk menganalisa, mengidentifikasi dan mengelaborasi batasan dan prinsip dalam menentukan pilihan hukum yang digunakan dalam proses penyelesaian sengketa dalam arbitrase serta mekanisme penyelesaian sengketa arbitrase secara online berdasarkan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Penelitian ini adalah penelitian normatif dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan, pendekatan konsep, dan pendekatan analisis. Hasil studi menunjukkan bahwa pemilihan hukum yang yang berlaku dalam perjanjian dan pilihan forum harus dilakukan oleh para pihak dengan ikhtikad baik dengan melihat adanya hubungan nyata antara hukum yang dipilih dengan peristiwa hukum, sesuai dengan ketertiban umum dan tidak hanya menguntungkan salah satu pihak saja. Prosedur persidangan secara online dapat dilakukan apabila terjadi suatu keadaan darurat bencana dan keadaan khusus ketika suatu pihak akan mengajukan permohonan arbitrase, suatu persidangan arbitrase akan dilaksanakan atau sedang berlangsung sesuai dengan UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan UU Penanggulangan Bencana.

  • I.    Pendahuluan

Arbitrase merupakah salah satu alternatif penyelesaian sengketa yang umumnya dipilih oleh para pelaku bisnis baik dalam skala nasional maupun internasional. Dipilihnya arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa oleh para pelaku bisnis karena adanya jaminan kerahasiaan identitas para pihak mengingat sidang arbitrase biasanya dilaksanakan secara tertutup, proses yang lebih singkat jika dibandingkan dengan proses peradilan pada umumnya, para pihak memiliki hak untuk memilih arbiter sesuai dengan keyakinan dan keahlian dari arbiter itu sendiri dan putusan arbitrase bersifat final dan mengikat bagi para pihak.

Sehubungan dengan terjadinya pandemi Corona Virus Disease 2019 (selanjutnya “Covid-19”), telah dilakukan berbagai pembatasan kegiatan masyarakat oleh Pemerintah guna menekan angka penyebaran Covid-19. Salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia untuk mencegah penyebaran Covid-19 adalah Pembatasan Sosial Berskala Besar (selanjutnya PSBB). Kebijakan mengenai PSBB mewajibkan setiap orang untuk membatasi kegiatannya di luar rumah. Pembatasan ini jelas membatasi kehadiran fisik orang sehingga berbagai kegiatan masyarakat akhirnya dilakukan dengan memanfaatkan sistem teknologi informasi dan komunikasi atau dilakukan secara daring atau online.

Pembatasan yang diberlakukan oleh Pemerintah mengharuskan masyarakat, termasuk juga para pelaku bisnis untuk melakukan berbagai penyesuaian. Penyesuaian juga dilakukan oleh lembaga arbitrase selaku forum penyelesaian sengketa agar tetap mampu memfasilitasi kebutuhan para pelaku bisnis dalam kaitannya dengan upaya penyelesaian sengketa.Terhitung sejak awal pandemi Covid-19, berbagai lembaga arbitrase termasuk Badan Arbitrase Nasional Indonesia (selanjutnya “BANI”) sempat melakukan penghentian sementara proses persidangan. 1 Hal ini tentu menyebabkan terhambatnya proses penyelesaian sengketa.

Sebagai upaya untuk tetap melaksanakan proses persidangan, BANI telah melakukan berbagai penyesuaian termasuk juga melakukan perubahan dari arbitrase konvensional menjadi penyelesaian sengketa arbitrase melalui sarana elektronik atau online. Melalui penyesuaian ini, proses arbitrase dimungkinkan untuk dilakukan secara virtual atau daring melalui platform tertentu yang telah disepakati oleh para pihak yang bersengketa.

Sayangnya, patut disadari bahwa perhatian terhadap proses arbitrase secara online di Indonesia masih kurang. Hal ini tentu berbeda dengan penyelesaian sengketa secara arbitrase di luar negeri seperti Singapura dan Cina.2 Proses penyelesaian sengketa secara arbitrase di Singapura dengan memanfaatkan teknologi informasi sudah menjadi hal yang lumrah untuk dilakukan. Proses arbitrase di Singapura umumnya dilakukan di Singapore International Arbitration Centre (selanjutnya SIAC). 3 Menanggapi kondisi pandemi Covid-19 ini, SIAC dengan sigap memastikan bahwa proses persidangan arbitrase tetap berjalan sebagaimana disampaikan melalui situs resmi SIAC yang

menyatakan bahwa: “SIAC arbitrations are continuing subject to the prevailing COVID-19 situation where the parties, counsels, and tribunal are located”.4 Mekanisme sidang online juga telah diatur dalam SIAC Rules.5

Bahkan di salah satu lembaga arbitrase di Cina telah menerapkan arbitrase online yaitu Cina International Economic and Trade Arbitration Commision (CIETAC) jauh sebelum pandemi Covid-19. 6 CIETAC telah menyediakan layanan arbitrase online yang terintegerasi dan terenkripsi dalam layanan yang ada pada website resmi CIETAC, sehingga para pihak yang bersengketa dapat mengakses proses penyelesaian sengketa dengan mudah.7 Kondisi ini menunjukkan adanya perbedaan antara proses arbitrase online di Indonesia dan beberapa negara lainnya. Tampak bahwa negara-negara seperti Singapura dan China memiliki kesigapan dalam memfasilitasi arbitrase online.

Merujuk pada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (selanjutnya UU Arbitrase dan APS) telah diberikan ruang untuk dilakukan penyelesaian sengketa secara online. Namun, sebelum pandemi Covid-19, BANI hanya memiliki 1 (satu) peraturan prosedur arbitrase yang mengatur tata cara arbitrase, sehingga belum ada kejelasan mengenani arbitrase online.

Padahal, pemanfaatan teknologi informasi dalam proses penyelesaian sengketa secara arbitrase akan sangat membantu mengurangi biaya beperkara yang mahal, terutama dalam sengketa bisnis di antara pebisnis dari negara yang berbeda. Selain itu, dengan adanya pemanfaatan teknologi informasi, proses penyelesaian sengketa dapat dilakukan kapanpun dan dimanapun. Kemudahan yang timbul dari pemanfaatan teknologi informasi telah menciptakan kondisi borderless. Dalam kaitannya dengan proses penyelesaian sengketa arbitrase online, kesulitan dan penafsiran akan muncul apabila terdapat sengketa yang berkaitan dengan transaksi yang bersifat elektronik dan dalam skala internasional.

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penting untuk mengkaji bagaimana batasan dan prinsip dalam menentukan pilihan hukum yang digunakan dalam proses penyelesaian sengketa dalam arbitrase. Selain itu, penting untuk mengkaji mengenai bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa arbitrase secara online berdasarkan peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Penelitian ini jika dibandingkan dengan beberapa studi terdahulu memiliki kesamaan dari segi topik, yaitu sama-sama mengkaji mengenai proses arbitrase online, tetapi fokus kajiannya berbeda. Penelitian ini fokus mengkaji mengenai prinsip dan batasan dalam menentukan pilihan hukum dalam proses penyelesaian sengketa dalam arbitrase dan juga mekanisme penyelesaian sengketa arbitrase secara online di Indonesa.

Studi terdahulu dilakukan oleh Arum Afriani Dewi pada tahun 2021 mengenai “Arbitrase Online di Era Revolusi Industri 4.0 dan Pandemi Covid-19”.8 Adapun fokus kajian pada penelitian ini adalah untuk mengetahui pengembangan sistem arbitrase di Indonesia dalam pandemic Covid-19 dan legalitas sidang Arbitrase secara online. Pada tahun yang sama, Brian Austin Mauritz juga mengkaji mengenai “Penyelesaian Sengketa dengan Arbitrase Secara Online di BANI Pada Masa Pandemi Covid-19”.9 Adapun fokus kajian pada penelitian ini adalah mengenai kepastian hukum untuk melakukan arbitrase online dalam masa pandemi Covid-19 serta proses atau hukum acara arbitrase online di BANI dalam masa pandemi Covid-19.

Adapun tujuan penulisan ini adalah untuk menganalisa, mengidentifikasi dan mengelaborasi batasan dan prinsip dalam menentukan pilihan hukum yang digunakan dalam proses penyelesaian sengketa dalam arbitrase. Tulisan ini juga mengkaji mengenai mekanisme penyelesaian sengketa arbitrase secara online berdasarkan peraturan perundang-undangan di Indonesia.

  • 2.    Metode Penelitian

Tulisan ini adalah tulisan yang menggunakna metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep (conceptual approach) dan pendekatan analisis (analytical approach). Adapun bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini ditelusuri dengan menggunakan tehnik studi dokumen dan dianalisa dengan menggunakan analisis kualitatif. Merujuk pada pemikiran Peter Mahmud Marzuki, penelitian normatif dipandang sebagai suatu proses yang bertujuan untuk menemukan aturan hukum, prinsip hukum, maupun doktrin hukum dalam upaya menjawab permasalahan hukum yang sedang terjadi.10

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1.    Prinsip dan Batasan Dalam Menentukan Pilihan Hukum Dalam Proses Penyelesaian Sengketa dalam Arbitrase

Perkembangan kondisi masyarakat terutama di masa pandemi Covid-19 menuntut adanya beragam penyesuaian untuk mencegah terjadinya penyebaran virus Covid-19. Penyesuaian dilakukan agar forum penyelesaian sengketa arbitrase tetap dapat melaksanakan tugas sebagaimana mestinya.

Dalam proses penyelesaian sengketa dalam arbitrase di masa pandemi, berbagai forum penyelesaian sengketa arbitrase berupaya memfasilitas kebutuhan para pihak dengan penyelesaian sengketa secara online dengan menggunakan sarana elektronik.

Sayangnya, kesulitan dan berbagai penafsiran muncul dalam hal terjadinya sengketa dalam transaksi yang bersifat internasional.

Di Indonesia, pengaturan mengenai transaksi, khususnya transaksi elektronik yang bersifat internasional diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya “UU ITE”). Merujuk pada ketentuan Pasal 18 UU ITE dapat dipahami bahwa para pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi transaksi elektronik internasional yang dibuatnya.

Merujuk pada ketentuan tersebut tampak urgensi bagi para pihak untuk menentukan secara jelas pilihan hukum (choice of law) yang akan diterapkan apabila terjadi sengketa di kemudian hari. Adapun batasan dan prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam menentukan pilihan hukum antara lain:11

  • 1.    Partij Autonomie;

Merujuk pada prinsip ini, para pihak merupakan pihak yang paling berhak menentukan hukum yang hendak dipilih dan juga berlaku sebagai dasar penyelesaian sengketa yang mungkin timbul atas kontrak yang dibuat tersebut. Prinsip ini diakui secara universal oleh negara-negara di dunia termasuk Indonesia.

  • 2.    Bonafide;

Berdasarkan prinsip ini, suatu pilihan hukum harus didasarkan pada ikhtikad baik. Pilihan hukum yang ditentukan oleh para pihak bertujuan untuk menjamin adanya kepastian hukum dan perlindungan yang adil bagi para pihak, serta adanya jaminan yang lebih pasti bagi pelaksanaan transaksi diantara para pihak.

  • 3.    Real Connection;

Di beberapa sistem hukum terdapat syarat yang menentukan keharusan adanya hubungan nyata antara hukum yang dipilih dengan peristiwa hukum yang didasarkan pada hukum yang dipilih.

  • 4.    Larangan Penyelundupan Hukum;

Adanya kebebasan bagi para pihak untuk melakukan pilihan hukum diharapkan tidak digunakan untuk keuntungan pribadi.

  • 5.    Prinsip Ketertiban Umum

Pilihan hukum yang dipilih oleh para pihak tidak boleh bertentangan dengan sendi-sendi asasi hukum dan masyarakat. Ketertiban umum merupakan pembatas pertama kemauan seseorang dalam melakukan pilihan hukum.

Sayangnya, tidak semua pihak mencantumkan klausula pilihan hukum dalam kontrak elektronik yang dibuatnya. Merujuk pada ketentuan dalam Pasal 18 ayat (3) UU ITE dapat dipahami bahwa hukum yang berlaku bagi para pihak ditentukan berdasarkan pada asas hukum perdata internasional, yang mengatur teori-teori untuk menentukan hukum mana yang berlaku bagi suatu kontrak internasional. Adapun teori-teori tersebut antara lain:

  • 1.    Teori Lex Loci Contractus;

Menurut teori ini, hukum yang berlaku adalah hukum tempat di mana kontrak dibuat. 12 Sayangnya teori ini tidak mudah diterapkan pada era digital mengingat dalam pelaksanaan kontrak elektronik, pihak-pihak yang berkontrak tidak selalu hadir bertatap muka. Adapun alternatif bagi kelemahan ini adalah sebagai berikut:13

  • a.    Teori post box, adapun hukum yang berlaku menurut teori ini adalah hukum tempat post box di mana pihak yang menerima penawaran (offer) itu memasukkan surat pemberitahuan penerimaan atas tawaran.

  • b.    Teori penerimaan, adapun menurut teori ini, hukum yang berlaku adalah hukum di mana pihak penawar menerima surat pernyataan dari pihak yang menerima tawaran.

  • 2.    Teori Lex Loci Solutionis;

Menurut teori ini, hukum yang berlaku adalah hukum tempat dilaksanakannya perjanjian, bukan tempat penandatanganan perjanjian. 14 Kesulitan utama dalam teori ini adalah saat kontrak harus dilaksanakan di beberapa tempat, khususnya apabila para pihak berada di negara yang berbeda dan bahkan dengan sistem hukum yang berbeda pula.

  • 3.    Teori the Proper Law of Contract;

Merujuk pada teori ini, hukum yang berlaku dalam suatu perjanjian adalah hukum dari negara yang paling wajar berlaku bagi negara tersebut.15 Hal ini dapat ditentukan dengan cara mencari titik berat (centre of gravity) atau titik taut yang paling erat dengan perjanjian.

  • 4.    Teori the Most Characteristic Connection.

Merujuk pada teori ini dipahami bahwa hukum yang berlaku adalah hukum dari pihak yang melakukan prestasi paling karakteristik.16 Kelebihan teori ini dalah bahwa teori ini dapat menghindari kesulitan kualifikasi seperti pada teori lex loci contractus atau lex loci solutionis. Teori ini menjanjikan kepastian hukum secara lebih awal.

Selain menentukan pilihan hukum, para pihak juga dapat menentukan forum pengadilan, forum arbitrase dan lembaga penyelesaian sengketa lainnya yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa di antara mereka. Merujuk pada ketentuan dalam Undang-Undang UU Arbitrase dan APS telah diberikan ruang untuk dilakukan

penyelesaian sengketa secara online. Hal ini tampak dalam ketentuan Pasal 4 ayat (3) UU Arbitrase dan APS yang menentukan bahwa:17

“Dalam hal disepakati penyelesaian sengketa melalui arbitrase terjadi dalam bentuk pertukaran surat, maka pengiriman teleks, telegram, faksimile, email, atau dalam bentuk sarana komunikasi lainnya, wajib disertai dengan suatu catatan peneriman oleh para pihak”.

Berdasarkan pada ketentuan tersebut dapat dipahami bahwa, UU Arbitrase dan APS telah memberikan ruang bagi para pihak untuk melakukan proses penyelesaian sengketa secara online sepanjang hal ini disepakati oleh para pihak. Kesepakatan antara para pihak ini dapat dituangkan dalam perjanjian pokok yang mana dalam salah satu klausulanya ditentukan mengenai proses penyelesaian sengketa diantara para pihak. Adapun klausula tersebut dapat mengatur mengenai piihan hukum yang berlaku dalam perjanjian (choice of law) dan pilihan forum (choice of forum) terkait dengan upaya penyelesaian sengketa diantara para pihak dengan melihat prestasi paling karakteristik dari para pihak dalam perjanjian. Pemilihan hukum yang yang berlaku dalam perjanjian dan pilihan forum harus dilakukan oleh para pihak dengan ikhtikad baik dengan melihat adanya hubungan nyata antara hukum yang dipilih dengan peristiwa hukum, sesuai dengan ketertiban umum dan tidak hanya menguntungkan salah satu pihak saja.

  • 3.2.    Mekanisme Penyelesaian Sengketa Arbitrase Secara Online di Indonesia

Penyelesaian sengketa mealui arbitrase secara online tidak diatur secara eksplisit dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Landasan hukum untuk pelaksanaan penyelesaian sengketa arbitrase secara online di Indonesia adalah ketentuan dalam Pasal 4 ayat (3) UU Arbitrase dan APS yang menentukan bahwa:18

Dalam hal disepakati penyelesaian sengketa melalui arbitrase terjadi dalam bentuk pertukaran surat, maka pengiriman teleks, telegram, faksimile, email, atau dalam bentuk sarana komunikasi lainnya, wajib disertai dengan suatu catatan peneriman oleh para pihak”. (Cetak tebal dan miring oleh penulis)

Merujuk pada ketentuan dalam Pasal 4 ayat (3) UU Arbitrase dan APS dapat dipahami bahwa penyelenggaraan arbitrase secara online dapat dilaksanakan sepanjang disepakati oleh para pihak terlebih dahulu. Hal senada juga diatur dalam ketentuan dalam Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 14 ayat (2) UU Arbitrase dan APS yang memberikan ruang untuk melaksanakan proses persidangan secara online. Ketentuan dalam UU Arbitrase dan APS telah mengakomodir penggunaan teleks, telegram, faksimili dan email dalam beracara arbitrase. Ketentuan ini membuka peluang untuk dilakukannya arbitrase secara online mengingat UU Arbitrase dan APS telah mengakomodir penggunaan sarana teknologi informasi dalam beracara arbitrase.

Melihat perkembangan yang terjadi di masyarakat di masa pandemi, di Indonesia terdapat banyak Lembaga arbitrase yaitu Badan Arbitrase Syariah Nasional Indonesia (BASYARNAS) dan BANI sebagai salah satu lembaga arbitrase di Indonesia mengambil

langkah tegas untuk menyesuaikan kondisi pandemi yang tidak memungkinkan dilakukannya persidangan secara fisik dan adanya kebutuhan para pelaku bisnis dalam hal penyelesaian sengketa. Sebelum pandemi Covid-19, BANI belum sepenuhnya menyelenggarakan arbitrase online di Indonesia. penggunaan sarana teknologi informasi dalam beracara arbitrase hanya sebatas penggunaan email sebagai sarana komunikasi.

Pemberlakuan PSBB menuntut adanya penyesuaian terhadap kegiatan-kegiatan yang awalnya dilaksanakan secara offline, termasuk juga proses arbitrase yang awalnya dilakukan secara konvensional kini harus tetap dilaksanakan dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Untuk mengakomodir hal-hal tersebut, BANI mengeluarkan Surat Keputusan No. 20.015/V/SK-BANI/HU tentang Peraturan dan Prosedur Penyelenggaraan Arbitrase Secara Elektronik (selanjutnya SK 015/BANI).19

Merujuk pada ketentuan Pasal 1 SK 015/BANI tampak bahwa prosedur persidangan secara online dapat dilakukan apabila terjadi suatu keadaan darurat bencana dan keadaan khusus ketika suatu pihak akan mengajukan permohonan arbitrase, suatu persidangan arbitrase akan dilaksanakan atau sedang berlangsung. Adapun batasan mengenai keadaan darurat bencana ditentukan dalam ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (selanjutnya UU Penanggulangan Bencana). Keadaan darurat bencana sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 UU Penanggulangan Bencana termasuk bencana alam maupun bencana non alam antara lain epidemi, pandemi, banjir besar, darurat nasional, huru-hara, pemberontakan, siap tempur, peperangan, sabotase, atau demonstrasi yang keberadaannya dinyatakan oleh lembaga yang berwenang.

Pemberlakuan SK 015 /2020 sebagai rujukan apabila para pihak telah sepakat untuk melaksanakan persidangan secara online. Secara umum terdapat beberapa hal yang diatur dalam SK 015/2020, antara lain:

  • 1.    Kehadiran Para Pihak;

Para pihak dapat menghindari persidangan secara elektronik dengan menggunakan sarana telekomunikasi berbasis internet sesuai dengan platform yang disepakati oleh para pihak.

  • 2.    Kesepakatan Para Pihak;

Peraturan dan prosedur arbitrase secara elektronik hanya dapat dilaksanakan apabila telah disepakati oleh para pihak. Kesepakatan ini wajib dilaksanakan dengan ikhtikad baik.

  • 3.    Permohonan Arbitrase;

Permohonan arbitrase dapat diajukan secara elektronik.

  • 4.    Peraturan Persidangan;

Sesuai dengan kesepakatan para pihak, peraturan dan prosedur arbitrase secara elektronik dapat dilaksanakan dengan sarana telekomunikasi berbasis internet

tetapi tidak terbatas pada teleconference, videoconference, atau virtual conference dengan menggunakan platform yang disepakati para pihak.

  • 5.    Kerahasiaan Persidangan;

Untuk menjamin kerahasiaan persidangan, peraturan dan prosedur arbitrase secara elektronik mengatur bahwa para pihak sepakat yang dapat menghadiri dan mengikuti penyelenggaraan persidangan adalah principal dan kuasanya. Proses persidangan pun dilakukan secara tertutup dan para pihak sepakat untuk tidak merekam proses persidangan.

  • 6.    Bukti dan Dokumen;

Bukti atau dokumen yang akan disampaikan oleh para pihak dapat dikirimkan melalui email dengan format .pdf atau diserahkan secara fisik.

Berdasarkan paparan tersebut di atas dapat dipahami bahwa untuk memenuhi kebutuhan para pelaku bisnis yang bermaksud untuk menyelesaikan sengketa secara arbitrase di masa pandemi, BANI sebagai salah satu lembaga arbitrase di Indonesia mengambil langkah tegas untuk menyesuaikan kondisi pandemi yang tidak memungkinkan dilakukannya persidangan secara fisik dan adanya kebutuhan para pelaku bisnis dalam hal penyelesaian sengketa. Untuk mengakomodir hal-hal tersebut, BANI mengeluarkan Surat Keputusan No. 20.015/V/SK-BANI/HU tentang Peraturan dan Prosedur Penyelenggaraan Arbitrase Secara Elektronik. Pemberlakuan SK 015 /2020 sebagai rujukan apabila para pihak telah sepakat untuk melaksanakan persidangan secara online. Prosedur persidangan secara online dapat dilakukan apabila terjadi suatu keadaan darurat bencana dan keadaan khusus ketika suatu pihak akan mengajukan permohonan arbitrase, suatu persidangan arbitrase akan dilaksanakan atau sedang berlangsung. Pemberlakuan SK 015 /2020 memberikan kejelasan mengenai prosedur dan legitimasi mengenai arbitrase online di Indonesia.

  • 4.    Kesimpulan

Berdasarkan pada ketentuan tersebut dapat dipahami bahwa, UU Arbitrase dan APS telah memberikan ruang bagi para pihak untuk melakukan proses penyelesaian sengketa secara online sepanjang hal ini disepakati oleh para pihak. Kesepakatan antara para pihak ini dapat dituangkan dalam perjanjian pokok yang mana dalam salah satu klausulanya ditentukan mengenai proses penyelesaian sengketa diantara para pihak. Adapun klausula tersebut dapat mengatur mengenai piihan hukum yang berlaku dalam perjanjian (choice of law) dan pilihan forum (choice of forum) terkait dengan upaya penyelesaian sengketa diantara para pihak dengan melihat prestasi paling karakteristik dari para pihak dalam perjanjian. Pemilihan hukum yang yang berlaku dalam perjanjian dan pilihan forum harus dilakukan oleh para pihak dengan ikhtikad baik dengan melihat adanya hubungan nyata antara hukum yang dipilih dengan peristiwa hukum, sesuai dengan ketertiban umum dan tidak hanya menguntungkan salah satu pihak saja. Sehingga, untuk memenuhi kebutuhan para pelaku bisnis yang bermaksud untuk menyelesaikan sengketa secara arbitrase di masa pandemi, BANI sebagai salah satu lembaga arbitrase di Indonesia mengambil langkah tegas untuk menyesuaikan kondisi pandemi yang tidak memungkinkan dilakukannya persidangan secara fisik dan adanya kebutuhan para pelaku bisnis dalam hal penyelesaian sengketa. Untuk mengakomodir hal-hal tersebut, BANI mengeluarkan Surat Keputusan No. 20.015/V/SK-BANI/HU

tentang Peraturan dan Prosedur Penyelenggaraan Arbitrase Secara Elektronik. Pemberlakuan SK 015 /2020 sebagai rujukan apabila para pihak telah sepakat untuk melaksanakan persidangan secara online. Prosedur persidangan secara online dapat dilakukan apabila terjadi suatu keadaan darurat bencana dan keadaan khusus ketika suatu pihak akan mengajukan permohonan arbitrase, suatu persidangan arbitrase akan dilaksanakan atau sedang berlangsung sesuai dengan ketentuan dalam UU Arbitrase dan APS serta UU Penanggulangan Bencana. Pemberlakuan SK 015 /2020 memberikan kejelasan mengenai prosedur dan legitimasi mengenai arbitrase online di Indonesia.

Daftar Pustaka

Aminah, Aminah. “Pilihan Hukum Dalam Kontrak Perdata Internasional.” Diponegoro Private Law Review 4, no. 2 (2019).

Budiman, Harri, and Maria Ulfa. “Penyesuaian Pelaksanaan Proses Arbitrase Kala Pandemi         Covid-19.”          HukumOnline.com,         2020.

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5fe2c3fab0c93/penyesuaian-pelaksanaan-proses-arbitrase-kala-pandemi-covid-19/?page=1.

Cahyadi, Antonius Dwicky. “Yurisdiksi Transaksi Elektronik Internasional Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik.” Jurnal Wawasan Yuridika 3, no. 1 (2019): 23–40.

Dewi, Arum Afriani. “Arbitrase Online Di Era Revolusi Industri 4.0 Dan Pandemi Covid-19.” JLR-Jurnal Legal Reasoning 3, no. 2 (2021): 100–115.

Fajar, M;, and Y Achmad. Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013.

Indonesia, Badan Arbitrase Nasional. Surat Keputusan No. 20.015/V/SK-BANI/HU tentang Peraturan dan Prosedur Penyelenggaraan Arbitrase Secara Elektronik (2020).

https://baniarbitration.org/library/berkas/pustaka/1623342416_16ea5ff7c2e5 c65c76ee.pdf.

Lahema, Yongky Pieter, and Imam Haryanto. “Analisis Hukum Pelaksanaan Penyelesaian Sengketa Bisnis Dengan Metode Arbitrase Online Di Indonesia Dan Di Singapura.” Wajah Hukum 5, no. 1 (2021): 137–48.

Mauritz, Brian Austin, and Heru Suyanto. “PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN ARBITRASE SECARA ONLINE DI BANI PADA MASA PANDEMI COVID-19.” Era Hukum-Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum 19, no. 2 (n.d.).

Mulia, Ajeng Astrina, Yolanda Rahma Alviotika, and Rahmi Hamidah. “Karakteristik Dan Prinsip-Prinsip Dasar Badan Arbitrase Internasional Dalam Menyelesaikan Kasus Perdata Lintas Negara.” Rechstaat: Jurnal Ilmu Hukum, n.d., 20058.

Nugroho, Susanti Adi, and M H SH. Penyelesaian Sengketa Arbitrase Dan Penerapan Hukumnya. Kencana, 2017.

Riduwan, Muhammad, Suryadi Suryadi, and Pery Rehendra Sucipta. “Arbitrase Online Dalam Interpretasi Hukum Pada Pasal 4 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.” Student Online Journal (SOJ) UMRAH-Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik 2, no. 1 (2021): 677–90.

Sudiyana, Sudiyana. “Problematika Hukum Dalam Transaksi Elektronik Dan Upaya Penyelesaiannya.” QISTIE 12, no. 2 (2019): 178–96.

Tunggaesti, Dea. “PERBANDINGAN HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA ARBITRASE DALAM MASA PANDEMI COVID-19.” Jurnal Hukum Dan Bisnis (Selisik) 7, no. 02 (2021): 75–92.

Wibowo, Afrizal Mukti. “Perbandingan Hukum Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Arbitrase Online Indonesia Dan Cina.” Audito Comparative Law Journal (ACLJ) 2, no. 2 (2021): 110–18. https://doi.org/10.22219/aclj.v2i2.16372.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

881