Rekonstruksi Pemahaman Atas Nilai-Nilai Pancasila Dalam Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara
on
Rekonstruksi Pemahaman Atas Nilai-Nilai Pancasila Dalam Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara
I Wayan Sudirta1, John Pieris2, Adji Samekto3, dan Benny Riyanto4
1Program Doktor Hukum Universitas Kristen Indonesia, e-mail: [email protected]
2Program Doktor Hukum Universitas Kristen Indonesia, e-mail: [email protected]
-
3Program Doktor Hukum Universitas Kristen Indonesia, e-mail: [email protected]
-
4Program Doktor Hukum Universitas Kristen Indonesia, e-mail: [email protected]
Info Artikel
Masuk: 8 Juli 2022
Diterima: 22 Desember 2022
Terbit: 28 Desember 2022
Keywords:
Pancasila Philosophy, Function and Position of Pancasila, Implementation of Pancasila values
Kata kunci:
Filsafat Pancasila, Fungsi dan Kedudukan Pancasila, Implementasi nilai-nilai Pancasila.
Corresponding Author:
I Wayan Sudirta, E-mail: [email protected]
DOI:
10.24843/JMHU.2022.v11.i04. p09.
Abstract
This paper is library research that tries to explore the philosophical construction of Pancasila as the philosophical basis of the Indonesian state. This study retrieves and traces documents and conducts analysis using a hermeneutic approach to explain the construction of Pancasila values since its birth on June 1, 1945, with the actualization of the existence of Pancasila as the foundation of the nation and state of Indonesia which is multicultural. Research shares the perspective that the values of Pancasila as the philosophical foundation of nation and state are the basis for nationhood and statehood, the five principles of Pancasila need to be further actualized by the Indonesian people to strengthen and strengthen national identity.
Abstrak
Tulisan ini merupakan penelitian kepustakaan yang mencoba mengeksplorasi konstruksi filosofis Pancasila sebagai dasar filosofis negara Indonesia. Penelitian ini mengambil dan melacak dokumen serta melakukan analisis dengan menggunakan pendekatan hermeneutik untuk menjelaskan konstruksi nilai-nilai Pancasila sejak kelahirannya 1 Juni 1945 dengan aktualisasi keberadaan Pancasila sebagai landasan berbangsa dan bernegara Indonesia yang multikultural. Penelitian berbagi perspektif bahwa nilai-nilai Pancasila sebagai landasan filosofis berbangsa dan bernegara menjadi landasan dalam berbangsa dan bernegara, kelima sila Pancasila perlu diaktualisasikan lebh lanjut oleh bangsa Indonesia untuk memperkuat dan mempererat identitas kebangsaan.
karenanya, penggalian nilai-nilai Pancasila sebagai landasan filosofis bangsa Indonesia harus terus diupayakan dan digalakkan. Upaya-upaya ini harus menjadi diskursus nasional. Sebagai diskursus, pembicaraan tentang Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara saat ini mendesak untuk dilakukan di ruang publik. Dengan demikian dapat melibatkan pandangan dari berbagai kalangan untuk secara kritis mengevaluasi pemahaman dan praktik kehidupan berbangsa dan bernegara untuk sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Dengan demikian akan semakin mengkerucutkan pemahaman tentang makna Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara Indonesia.
Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara lahir pada tanggal 1 Juni 1945. Sebagai ideologi, Pancasila menyatakan cara pandang dunia (weltanshauung) dari masyarakat kepulauan nusantara yang pada prinsipnya memahami, mengenai, dan menghidupi nilai-nilai Pancasila dalam pengalaman dunia kehidupan sehari-hari (lebenswelt). Konsep berkehidupan yang demikian, menjadi dasar perwujudan Pancasila yang secara brilian digali dan dirumuskan oleh Soekarno dalam pidatonya dihadapan Badan Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPK), pada tanggal 1 Juni 1945.1
Pancasila adalah lima prinsip dasar filosofis negara Indonesia, yaitu: 1) Ketuhanan Yang Maha Esa; 2) Kemanusiaan yang adil dan beradab; 3) Persatuan Indonesia; 4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan; dan 5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Eksistensi Pancasila mempengaruhi karakteristik Indonesia sebagai negara bangsa yang multikultural, yang harus menyerap dan mentransformasikan seluruh elemen bangsa menjadi landasan yang kokoh, permanen, dan pedoman yang dinamis. Gagasan Pancasila sebagai dasar filosofis negara tidak serta merta muncul dan terbentuk secara utuh namun melalui proses yang panjang sebelum Indonesia merdeka. Sejarah konseptualisasi Pancasila telah melalui proses yang panjang, Yudi Latief menggambarkan fakta berkaitan dengan fase Pancasila dengan fase “penyemaian”, fase “formulasi”, dan fase “permulaan”.2
Kedudukan formal dasar Pancasila sebagai dasar negara Indonesia terangkum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat yang berbunyi sebagai berikut: “…disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Kaelan menyatakan bahwa: pengertian kata “…berdasarkan…” adalah sah sebagai makna dasar negara. Meskipun dalam kalimat terakhir UUD tidak dicantumkan kata “Pancasila” secara tegas, frasa “…berdasarkan…” memiliki makna dasar negara Pancasila. Hal tersebut sesuai dengan penafsiran sejarah bahwa prinsip-prinsip dasar negara Indonesia tersebut ditetapkan oleh BPUPK dan disebut sebagai “Pancasila”.3
Penafsiran Pancasila jarang digunakan untuk mengukur substansi Pancasila sebagai weltanschauung bangsa Indonesia.4 Penfasiran tersebut mengacu pada konsep makna konstitusional agar tatanan kehidupan bermasyarakat yang searah dan berada di bawah nilai-nilai Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial. Setelah amandemen UUD 1945, konstitusi Indonesia telah mengalami banyak perubahan. Perubahan yang terjadi adalah untuk menciptakan tatanan pemerintahan yang demokratis. Meski demokrasi pemerintahan sudah mengemuka, satu hal yang pasti adalah Pancasila memperkuat bentuk dasar negara Indonesia. Karena falsafah, semangat, gagasan, dan pemikiran kehidupan bangsa ditentukan oleh weltanschauung.
Pancasila dapat dipandang sebagai modus vivendi atau kesepakatan luhur yang mempersatukan semua ikatan primordial menjadi satu bangsa dan seluruh Indonesia yang luas dan kompleks dalam prinsip persatuan. Pancasila yang seharusnya menjadi "jalan tengah" baik liberal maupun sosialis, memetakan jalan baru bagi filsafat dan politik.5 Namun demikian, Pancasila, sebagaimana dikemukakan Notonagoro, bukanlah kompensasi politik, melainkan hasil perenungan jiwa yang mendalam, hasil penelusuran inventarisasi yang teratur dan menyeluruh atas dasar pengetahuan dan pengalaman yang luas yang tidak mudah dijangkau oleh setiap manusia.6 Oleh karena itu, kajian ini lebih menekankan pada pembahasan Pancasila dalam kapasitasnya sebagai genetivus, yaitu bagaimana hakikat nilai-nilai Pancasila, serta philosofische grondslag sebagai dasar negara Republik Indonesia dan bagaimana mengaktuliasasikannya dalam berbangsa dan bernegara.
Berdasarkan 2 (dua) permasalahan di atas, penelitian ini bertujuan untuk memberikan justifikasi atau menguatkan kembali bahwa pilihan para pendiri bangsa untuk membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara modern yang berketuhanan dalam bingkai Pancasila adalah pilihan yang tepat karena didasarkan pada realitas yang bersumber dari nilai-nilai yang telah mejadi tuntunan berkehidupan bangsa Indonesia, jauh sebelum didirikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penelitian ini mengembangkan pendekatan penafsiran hermeneutika sebagai upaya pencarian jawaban terhadap makna dan hakikat Pancasila sebagai philosofische grondslag. Inilah yang akan membedakan penelitian ini dengan penelitian yang lalu. Dalam konteks sosiologis dan sejarah, sebut saja penelitian dari Vitalis Djebarus berjudul “De Utilitatibus Pantjasilae Indonesiae pro Activitate Missionali,” pada tahun 1971 yang menggambarkan tentang mnafaat Pancasila Indonesia bagi kegiatan misioner. Fokus penelitian yang dilakukan oleh Vitalis Djebarus memang menyangkut kepentingan agama namun dalam bagian konstruksinya, Vitalis Djebarus mengembangkan pandangan bahwa Pancasila menjadi dasar kuat kepentingan dialog antaragama di Indonesia yang disebutnya confrontation amicalis, konfrontasi yang bersahabat. 7 Penelitian yang dilakukan oleh Yudi Latief yang selanjutnya dituliskan dalam bukunya “Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualisasi Pancasila,” merupakan
penggambaran Pancasila dari sisi pendekatan saintifik. Di dalam karyanya tersebut, Yudi Latief memberikan penggambaran Pancasila dari kesejarahan dan aktualisasi nilai-nilainya, termasuk didalamnya mengembangkan tafsir atas lima sila melalui penggunaan teori-teori kontemporer, yang disebutnya sebagai “rasionalitas Pancasila”.8 Penelitian dari Adnan Buyung Nasution, dengan judul disertasi “The Aspiration for Constitutional Government in Indonesia: A Social Legal Study of the Indonesian Konstituante 1956-1959”,9 penelitian dalam rangka disertasi pada Universitas Utrecht, Belanda pada tahun 1992. Pada salah penelitiannya Adnan Buyung membuat analisa berkaitan dengan perdebatan seputar kelahiran Pancasila dan perdebatan pada waktu Konstituante berupaya melakukan perubahan terhadap Dasar Negara.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum (legal research) yang menggunakan beberapa pendekatan untuk menjawab permasalahan yang diteliti, yaitu: 1) pendekataan undang-undang (statute approach), 2) pendekatan konseptual (concentual approach), dan 3)
penekatan historis (historical approach). Pendekatan perundang-undangan digunakan untuk dapat mengkaji secara mendalam kontektualisasi Pancsila sebagai cita hukum Indonesia dan ontologis kelahiran Pancasila dalam pembahasan di BPUPK sampai dengan PPKI serta kaitannya dalam Piagam Jakarta dan Pembukaan UUD 1945. Pendekatan konseptual dilakukan untuk untuk mengkaji hakikat, pengertian, tujuan, asas-asas dan kaidah hukum tentang nilai-nilai dalam Pancasila, dan Pembukaan UUD 1945. Pendekatan historis digunakan dalam rangka memahami dilakukan dengan menelaah latar belakang dan perkembangan dari materi yang diteliti.
Data yang diperlukan dalam penelitian ini yang utama adalah data sekunder. Data sekunder diperoleh dengan melakukan studi terhadap dokumen:
-
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum formil, yang terdiri dari UUD 1945 naskah asli, Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950, UUD 1945 setelah perubahan, Ketetapan MPRS/MPR RI, Undang-Undang, Putusan MK, dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait;
-
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti Risalah Sidang BPUPK dan PPKI, Risalah sidang Konstituante, Risalah Sidang MPR hasil perubahan UUD 1945, hasil-hasil penelitian meliputi disertasi, tesis, karya-karya ilmiah hukum, filsafat, dan politik dalam bentuk makalah-makalah, hand out, naskah pidato, jurnal, majalah, koran (artikel dan berita) yang terkait dengan topik penelitian ini;
-
c. Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus-kamus (sejarah, hukum, politik, dan filsafat), ensiklopedia, internet, dan lain-lain.
Penulisan ini merupakan penulisan dalam bidang ilmu hukum yang bersifat kualitatif. Disebut demikian karena penulisan ini lebih mengandalkan pada kedalaman data, bukan banyaknya data. Penulisan di bidang ilmu hukum ini didasarkan pada penelitian hukum dalam aliran pemikiran legal-positivisme, yang terjabarkan dalam pendekatan hukum bercorak positif-normatif. Dengan corak positif-normatif berarti penulisan ini berangkat dari cara berpikir bahwa sesungguhnya hukum bersumber dari nilai-nilai yang bersifat meta-yuridis sebagaimana diajarkan Hans Kelsen dalam Stufenbeautheorie (ajaran Hans Kelsen yang menjelaskan bahwa secara bertingkat hukum bersumber dari nilai.10 Sesuatu yang bersifat metayuridis tersebut bersifat das sollen, dan belum menjadi hukum yang berlaku mengikat masyarakat. Singkatnya bagi Hans Kelsen, norma hukum selalu diciptakan melalui kehendak. Norma-norma tersebut akan menjadi mengikat masyarakat apabila norma tersebut dikehendaki menjadi hukum dan harus dituangkan dalam wujud tertulis, dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang dan memuat perintah.
-
3. Hasil dan Pembahasan
-
3.1. Pancasila Sebagai Satu Kesatuan Filsafat
-
Pancasila adalah lima prinsip dasar falsafah bangsa Indonesia, yang diucapkan pertama kali oleh Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945. Keberadaan Pancasila mencerminkan karakteristik Indonesia 11 sebagai negara bangsa multikultural yang menyerap dan menstranformasikan segala elemen bangsa dalam suatu dasar penuntun yang dinamis. Hilderd Geertz mengambarkan keberagaman masyarakat Indonesia, sebagai berikut: 12
“There are over three hundred different ethnic groups in Indonesia, each with its own cultural identity, and more than two hundred and fifty distinct languages are spoken…nearly all the important world religions are represented, in addition to a write range of indigenous ones.”
Mengingat keberagaman budaya dan masyarakat Indonesia, para pendiri bangsa pada waktu itu sepakat mendirikan suatu negara di atas sebuah dasar filosofis yang disepakati bersama. Kelahiran Pancasila menjadi penanda penting dalam perjalan bangsa Indonesia, ada dua hal penting dalam konteks ini, pertama, Pancasila adalah dasar filosofis bangsa Indonesia dan kedua, Pancasila adalah ideologi bangsa yang menjadi pedoman arah berbangsa dan bernegara.13 Dengan demikian, mengacu pada pandangan tersebut, dapatlah dikatakan bahwa kelima sila dalam Pancasila adalah lima dasar filsafat negara Indonesia. Soekarno percaya bahwa Pancasila yang diajukan pada tanggal 1 Juni 1945 dalam Pleno BPUPK merupakan nilai-nilai universal yang dapat disepakati secara bebas, karena didalamnya menyatakan kehendak bebas individu sebagai pribadi dan pengakuan terhadap sesama anggota masyarakat dengan kehendak bebas yang sama sebagai pribadi dan anggota masyrakat. Oleh sebab itu, Pancasila
Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal), Vol. 11 No. 4 Desember 2022, 843-859 |
sebagai nilai-nilai universal yang dipraktikkan dalam masyarakat bangsa Indonesia itu dapat dijadikan landasan ideologis negara dan dasar hukum NKRI.14
Sila-sila dalam Pancasila, sebagai sistem dalam filsafat merupakan satu-kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Mengalir dari esensi manusia adalah ciptaan Tuhan YME. Sebagai sebuah sistem filsafat, keterikatan antar nilai-nilai Pancasila dirumuskan sebagai berikut:
Tabel 1: Pancasila Sebagai Satu Kesatuan Filsafat | |
No. Nilai |
Jabaran |
1 Ketuhanan |
Mengakui bahwa kehidupan manusia sesungguhnya berasal dari Tuhan. Manusia adalah bagian makhluk hidup yang diciptakan Tuhan Yang Maha Esa. Manusia dikonsepsikan dalam konteks makhluk Tuhan Yang Maha Esa, bukan dikonsepsikan manusia dalam konteks individual sebagaimana tercemin dalam ajaran pasar bebas; |
2 Kemanusiaan |
Secara keseluruhan, manusia adalah sama-sama bersumber dari Tuhan YME, mempunyai tugas yang sama yaitu mengembangkan dunia untuk kebaikan bersama. Oleh karena itu sebenarnya manusia tidak dapat sendirian mengembangkan dunia, tetapi bersama-sama dari manusia yang beragam suku, ras dan agamanya itu; |
3 Kebangsaan |
Diantara keseluruhan manusia yang ada di dunia, ada sekelompok manusia yang mempunyai kesamaan tempat hidup, budaya dan cara berkehidupan yang serupa. Di dalam kebersamaan itulah kemudian timbul dorongan untuk menjadi bangsa. Dengan demikian kebangsaan Indonesia adalah sikap aktif karena kebangsaan adalah cara merasakan, berpikir dan mempertahankan keberlanjutan hidup dalam suatu kebersamaan berdasarkan perasaan senasib dan kesamaan tempat hidup. Kebangsaan inilah yang merupakan modal menegara, dengan kata lain, menegara berarti penegaraan dari suatu bangsa; |
4 Kerakyatan |
Di dalam negara Indonesia semua keputusan diambil berdasarkan kesepakatan karena ada kesadaran bahwa manusia sesungguhnya berdiri sejajar; |
14 Poespowardojo, M.T Soerjanto, and Alexander Seran, Pancasila, Filsafat Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Dan Roh Revolusi Mental (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2021). hlm. 133.
No. |
Nilai Jabaran |
5 |
Kesejahteraan Tujuan dari berkehidupan Negara Bangsa Indonesia adalah hidup bersama mewujudkan kesejahteraan umum melalui cara-cara yang mencerminkan keadilan sosial, dimana negara harus hadir. |
Tabel di atas menjelaskan bahwa sebagai satu kesatuan filosofis, hakikat Pancasila merupakan sesuatu yang dicita-citakan, didambakan dan diharapkan. Nilai merupakan aksiologi dari das sollen yang kemudian dapat diterapkan di dalam das sein, dengan demikian maka yang das sollen menjadi das sein, yang ideal menjadi real, serta yang bermakna normatif harus dapat dilaksanakan dalam kehidupaan sehari-hari, dalam konteks ini dapat diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan, dan Kesejahteraan merupakan nilai yang muncul sebagai penerapan dan penafsiran sila-sila dalam Pancasila, sebagai satu kesatuan filsafat yang saling terikat satu sama lain. Dengan demikian, menafsirkan Pancasila adalah penafsiran kesatuan dari sila-sila-nya dan kesatuan dari nilai-nilai yang ada didalamnya.
Filsafat akan beralih menjadi Weltanschauung ketika ajaran filsafat itu dijadikan dasar sikap untuk menetapkan pendiriannya dalam realitas kehidupan. Menurut Soekarno, kepribadian Indonesia yang terjelma di dalam dasar Pancasila itu berupa cinta merdeka. Cinta merdeka itu artinya tidak mau dijadikan budak orang lain. Cinta merdeka juga berarti menghormati kemerdekaan orang lain. Kepribadian yang cinta merdeka itu membuat bangsa Indonesia ingin bersahabat dengan semua manusia, semua bangsa, dan semua Negara di dunia ini.15
Pancasila sebagai Weltanschauung berarti bahwa nilai yang terkandung di dalam setiap sila-sila Pancasila ini merupakan sesuatu yang sudah ada kemudian berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia lalu disepakati untuk menjadi dasar Negara. Weltanschauung adalah pandangan dunia yang terdapat ajaran mengenai makna dan tujuan hidup manusia dalam bangsa dan Negara. Nilai-nilai dari pancasila memiliki etika kehidupan bersama atau secara praksis kehidupan masyarakat di Indonesia mengacu kepada nilai-nilai yang terkandung dalam sila pancasila. Setiap masyarakat Indonesia mampu mewujudkan nilai-nilai pancasila dalam kehidupan sehari-hari.16
-
3.2. Fungsi dan Kedudukan Pancasila
Pancasila diucapkan pertama kali oleh Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 dengan urutan: 1) kebangsaan Indonesia; 2) Internasionalisme atau Peri-kemanusiaan; 3) Mufakat atau Demokrasi; 4) Kesejahteraan Sosial; dan 5) Ketuhanan Yang Maha Esa. Kelima nilai-nilai tersebut kemudian menjadi bahan (rancangan) Philososofosche
Grondslag yang akan dirumuskan oleh Panitia Delapan BPUPK,17 setelah mendapatkan masukan dari anggota BPUPK lainnya. Selanjutnya pada tanggal 22 Juni 1945, rancangan Pancasila “Panitia Delapan” disempurnakan oleh “Panitia Sembilan” dengan mengubah urutan nilai pokok (core values) menjadi: 1) Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya; 2) Menurut dasar Kemanusiaan yang adil dan beradab; 3) Pesatuan Indonesia; 4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; dan 5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Perubahan tersebut menurut A.B Kusuma menyebabkan terjadinya perubahan hirarki norma dalam Pancasila (axiological hierarchy) 18 terutama dalam penempatan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama. 19 Pancasila rumusan Panitia Sembilan diputuskan pada tanggal 11 Juli 1945 dengan urutan yang sama dengan urutan Pancasila di Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI mensahkan Pancasila dengan rumusan sebagai berikut: 1) Ketuhanan Yang Maha Esa; 2) Kemanuasiaan yang adil dan beradab; 3) Persatuan Indonesia; 4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; 5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 20
Dalam sistem politik dan ketatanegaraan Indonesia, Pancasila menempati posisi yang paling utama. Demokrasi dalam sistem politik Indonesia yang didasarkan dan dibangun pada fundamen Pancasila kemudian lazim disebut dengan Demokrasi Pancasila. Sebagian dari persoalan berhukum kita terkait dengan pelbagai masalah hak asasi manusia, pendidikan tinggi hukum, mekanisme check and balances, legislasi dan legisprudensi, perlindungan konstitusional hak‐hak masyarakat adat/lokal. Di samping itu, kita masih perlu mencurahkan pikiran untuk memecahkan sejumlah masalah dalam penegakan hukum lingkungan, kebebasan pers, peradilan bagi kaum miskin dan marjinal serta upaya dan gagasan revitalisasi peradilan adat. Pada tataran yang lain, perdebatan yang berbasis pada pertanyaan seberapa mampu kita menjadikan Pancasila sebagai basis nilai membangun arsitektur Negara Hukum bagi Indonesia juga menjadi agenda penting.
-
3.3. Implementasi Nilai-Nilai Pancasila Dalam Berbangsa dan Bernegara
Nilai-nilai Pancasila memiliki dua fungsi yang dapat saja ditafsirkan menjadi bertentangan satu sama lain. Pertama, dalam kaitan fungsi nilai Pancasila secara tersirat, dimana Pancasila dalam konstruksi awalnya merupakan penjamin persatuan dan tumbuh kembangnya bangsa Indonesia. Kedua, fungsi Pancasila yang lebih dieksplisitkan untuk melayani politik particular. Konsteks ini paling kencang dilakukan pada masa Orde Baru, kedudukan Pancasila pada masa itu sebagaimana istilah Robertus Robert ditempatkan menjadi over philosophication dan difungsikan sebgai
semacam pusat diri dan kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang ukurannya ditentukan oleh kebutuhan kekuasaan masa itu.21
Makna pancasila terletak pada nilai-nilai dari masing-masing sila sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dirubah kembali susunannya. Secara ideal, penyelenggara negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara formalitas harus tetap bersandar pada nilai‐nilai Pancasila. Paradoksnya dalam implementasi Pancasila hanya sekedar menjadi penghias ketatanegaraan belaka yang lancar diucapkan dalam pidato ‐pidato kenegaraan serta pembicaraan pada seremonial, kemudian dicantumkannya nilai‐nilai Pancasila dalam pertimbangan peraturan atau kebijakan yang akan diambil tetapi tidak tercermin dalam pasal atau norma ‐norma yang terdapat di dalamnya.
Inilah dasar uji Pancasila selanjutnya. Pancasila akan menjawab seluruh keraguan akan konstitusionalitas implementasinya dalam penyelenggaraan berbangsa dan bernegara. Degradasi atas nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah mutlak karena tafsir kaku penyelenggara negara, sehingga kebijakannya dinilai tidak pro rakyat, pro keadilan, berbau liberalisme dan sebagainya. Menilik kembali konsep Soekarno tentang Pancasila, bahwasanya ke-lima prinsip dasar yang dikemukakan awal oleh Soekarno, yakni kebangsaan; internasionalisme atau perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi; kesejahteraan; dan Ketuhahan, menunjukkan bahwa Soekarno pada waktu itu lebih mengusahakan persatuan diantara kelompok Nasionalis, Islam, dan Komunis serta kelompok Timur Asing (China dan India) yang memegang konsepsi filsafat San Min Chu-I dan Gandhi. Pidato Soekarno, tanggal 1 Juni 1945 jelas menegaskan konsepsi Soekarno tentang kebangsaan dan hendak kemana Indonesia dibentuk.22
“Saya di dalam 3 hari ini belum mendengarkan prinsip itu, yaitu ‘prinsip kesejahteraan’, ‘prinsip: tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka’... Apakah kita mau Indonesia Merdeka yang kaum kapitalisnya merajalela, ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang pangan kepadanya?”
Prinsip-prinsip yang ditegaskan oleh Soekarno ini, kemudian dikembangkan oleh Hatta dengan memasukkan sila Keadilan Sosial itu dalam Pembukaan UUD 1945, dan dalam pasal pada UUD 1945 yakni Pasal 33 UUD 1945.23 Perenungan di atas, memungkinkan penulis untuk menyimpulkan bahwa konsepsi yang dibangun oleh para pendiri bangsa merupakan buah pemikiran yang genuine untuk memberikan landasan filosofis bagaimana negara ini dibentuk dan dibangun. Dalam implementasinya saat ini, muncul berbagai persoalan mengapa lahir Undang‐Undang yang tidak pro rakyat, pro keadilan, berbau liberalisme? Kenapa terjadi pembiaran kekerasan atas nama agama dan keyakinan? Kenapa ada putusan-putusan pengadilan yang tidak mencerminkan keadilan sosial? Tentu dapat dijawab karena tidak optimal dilaksanakannya Pancasila. Pelanggaran-pelanggaran terhadap nilai-nilai Pancasila ini berulang berkali-kali dan setiap mendapat sorotan masyarakat kemudian baru diperbaiki, hal yang demikian
berualang-ulang. Maka, tepat kiranya penulis menyebut telah terjadi degradasi pelaksanaan nilai‐nilai Pancasila di Indonesia.
Ada beberapa hal yang menyebabkannya hal tersebut: Pertama, dari sisi pemahaman dan penerimaan Pancasila dalam masyarakat Indonesia. Transformasi sosial masyarakat menyebabkan terjadi pendangkalan pemahaman serta pengamalan Pancasila di dalam masyarakat Indonesia itu sendiri. Diskursus Pancasila sebagai ideologi yang dapat diterima justru berbalik menjadi stigma negatif terhadap Pancasila karena upaya tersebut bermotif mendefinisikan dan memaknakan politik, sehingga segala upaya yang kemudian muncul untuk mensistematisasikan dan mengilmiahkan Pancasila menjadi sulit. Pancasila justru memunculkan pengkultusan nilai “bukan ini, bukan itu”, “bukan barat, bukan komunis”, dan sebagainya. Memang sulit untuk menghindar dari adanya kesan yang sangat kuat bahwa saat ini bangsa ini mengalami permasalahan baru yang mendasar, yaitu masalah identitas dan jati sebagai suatu diri bangsa. Sistem politik, hukum, ekonomi, dan budaya kita saat ini berkembang begitu saja tanpa memiliki karakter dan orientasi yang jelas sesuai dengan jati diri bangsa. Perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara lebih ditentukan oleh kepentingan pragmatis jangka pendek dan dipengaruhi oleh kebudayaan global. Kekakuan menafsirakan Pancasila semacam ini memang dapat memisahkan pemfilsafatan Pancasila dengan kultus Pancasila secara politik.
Kedua, Pancasila sebagai falsafah dan ideologi bangsa mulai ditinggalkan oleh masyarakat, akibat perjalanan sejarah, dimana Orde Baru yang pada awalnya betul‐betul bertujuan untuk melaksanakan Pancasila secara konsekuen di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, pada akhirnya hanya merupakan alat untuk mempertahankan kekuasannya. Sehingga Pancasila terlanjur tercemar atau ikut‐ikutan dicap masyarakat sebagai alat politik kekuasaan, yang pada akhirnya menyebabkan masyarakat melupakan Pancasila sebagai ideologi bangsa. Senada dengan pendapat tersebut, Arief Hidayat mengatakan “Sebagai akibat yang cukup serius atas manipulasi politik atas Pancasila pada masa ‐masa sebelumnya lahirlah asumsi masyarakat bahwa Pancasila hanyalah sekedar merupakan instrumen kekuasaan yang otoriter.”24 Pancasila sudah mengalami pencemaran dalam kebijakan-kebijakan selama pemerintahan Orde Baru, yang menjadikan Pancasila sebagai alat politik untuk mempertahankan status quo kekuasannya. Rezim Orde Baru menjadi penafsir tunggal dalam pemaknaan Pancasila melalui proses indoktrinisasi.
Ketiga, dalam konteks selanjutnya, kondisi pertama dan kedua menyebabkan lahirnya sistem kepemimpinan dan perpolitikan yang tidak memperdulikan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa. Terjadi pertarungan antara kepentingan politik dan pelaksanaan nilai‐nilai Pancasila, dan sayangnya kepentingan politik sering kali yang menang sehingga lahirlah produk‐produk hukum dan kebijakan yang bertentangan dengan nilai‐nilai Pancasila. Pancasila bukanlah didudukkan sebagai jati diri bangsa yang sakral. Pendirian, tafsir, dan rekonstruksinya dalam ketatanegaraan Indonesia semakin terbuka dan longgar. Kondisi ini semakin mendorong “runtuhnya” Pancasila sebagai ideologi dan jati diri bangsa. Hal ini ikut meruntuhkan jaminan persatuan
nasional yang merupakan prinsip dasar keberadaan Pancasila. Terlebih lagi muncul banyak tafsir baru menyangkut makna dan nilai-nilai Pancasila yang dilakukan oleh kekuatan-kekuatan politik baru Indonesia saat ini.
Keempat, kondisi yang demikian pada akhirnya menjadi pertarungan antara kepentingan politik dan pelaksanaan nilai‐nilai Pancasila dalam ranah eksekutif dan legislatif. Kedua lembaga negara ini memang tidak bisa lepas dari kepentingan-kepentingan politik. Presiden dalam menjalankan tugas dan kewajibannya juga membutuhkan dukungan politik yang kuat agar efektif menjalankan tugasnya. Demikian juga DPR yang merupakan lembaga politik. Miriam Budiarjo menyebutnya sebagai perwakilan yang bersifat politik, dimana anggota badan legislatif (Anggota DPR) dipilih mewakili rakyat melalui partai politik.25 Ketika kepentingan-kepentingan politik diperjuangkan dalam proses penyusunan perundang-undangan ini, nilai-nilai Pancasila yang sebenarnya dasar negara dan landasan filosofis bangsa tidak diutamakan bahkan dilupakan karena yang diutamakan adalah kepentingan politik semata. Hasil dari keadaan seperti inilah yang menghasilkan produk-produk hukum yang bertentangan atau tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
-
3.4. Refleksi Pemahaman Nilai-Nilai Pancasila Dalam Realitas
Diterimanya Pancasila sebagai dasar negara pada sidang BPUPK tanggal 1 Juni 1945 merupakan lompatan kualitatif dan strategis bangsa Indonesia dalam mengkonstruksi cara pandang diri dan kebudayaan. Masyarakat nusantara yang sebelumnya berpikir dan berada dalam alam penjajahan dan bermental inferior, inlander, diajak untuk berani merdeka dengan persyaratan minimum, tanpa harus membicarakan (mempersiapkan) hal-hal yang kecil, nlimet, zwaarwichtig.26 Soekarno mengajak para pemimpin bangsa tidak ragu menerima dan memperjuangkan kemerdekaan, walaupun masih ada beberapa kekurangan. Menurutnya, kemerdekaan politik merupakan jembatan emas dan diseberangnya jembatan itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat. “Di dalam Indonesia merdeka itulah kita memerdekakan rakyat kita. Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan hai bangsa kita”.27
Dasar negara yang disebut Soekarno sebagai “philosofische grondslag, fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, Hasrat, yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya, didirikan Gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi,” bukanlah sekedar peristiwa politik, tetapi juga suatu peristiwa budaya yang menyangkut cara pandang dan mindset bangsa Indonesia. 28 Bila sebelumnya warga Nusantara sangat terikat partikularitas agama, etnis, dan budaya, sejak Pancasila dijadikan dasar negara, ideologi, dan pandangan dunia, bangsa Indonesia berubah dan melebur diri sebagai “saudara sebangsa dan setanah air” dengan tetap menghargai keragaman yang melekat pada
masing-masing warga. Di situlah terjadi “revolusi integratif” yang mengubah identitas berbasis kesukuan, agama, atau sistem budaya menjadi identitas kebangsaan.29
Pancasila sebagai dasar negara memang berkonotasi yuridis dalam arti melahirkan berbagai peraturan perundangan yang tersusun secara hierarkis dan bersumber darinya; sedangkan Pancasila sebagai ideologi dapat dikonotasikan sebagai program sosial politik tempat hukum menjadi salah satu alatnya dan karenanya juga harus bersumber darinya. 30 Manusia Pancasila adalah manusia Indonesia yang memahami makna Pancasila dan melaksanakan Pancasila sebagai kesadaran moral yang harus dijalankan. Faktor yang penting bagi manusia untuk menjadi manusia susila adalah adanya kesadaran moral Pancasila yang dapat direalisasikan dalam tingkah laku sehari-hari. Kesadaran moral ini, kesadaran untuk bertingkah laku baik, tidak hanya kalau berhadapan dengan orang lain saja, tetapi berlaku terus tanpa kehadiran orang lain. Kesadaran ini berdasarkan pada nilai-nilai yang fundamental dan sangat mendalam. Dengan demikian maka tingkah laku yang baik berdasar pada otoritas kesadaran pribadi dan bukan atas pengaruh dari luar diri manusia. 31 Selanjutnya Drijarkara mengemukakan: “Moral atau kesusilaan adalah nilai sebenarnya bagi manusia, satu-satunya nilai yang betul-betul dapat disebut nilai bagi manusia. Dengan kata lain, moral atau kesusilaan adalah kesempurnaan manusia sebagai manusia atau kesusilaan adalah tuntutan kodrat manusia. Moral atau kesusilaan adalah perkembangan manusia yang sebenarnya.”32
Menurut Soekarno, setiap bangsa yang merdeka dan dapat berdiri kukuh harus memiliki weltanschauung yang digali dan disiapkan sebelumnya. Dalam pidato pada Kursus Pancasila tanggal 26 Mei 1958, Soekarno menyatakan waktu menggali Pancasila sampai saf (lapis) yang paling dalam, yaitu ke saf pra Hindu agar Pancasila selain dapat menjadi titik temu yang menyatukan, sebagai alat pemersatu. “meja statis”, juga mampu menjadi “leitstar dinamis” bangsa ke depan.33 Indonesia memang kaya akan nilai-nilai budaya seperti budaya Jawa, Sunda, Bali, Papua dan sebagainya. Masing-masing daerah memiliki seni dan budaya tersendiri yang merupakan ciri khas daerahnya, budaya Bali misalnya memiliki seni tari, seni patung yang bernilai artistik, begitupula dalam cara berpakaian.34 Ketika keanekaragaman nilai-nilai budaya tersebut diatur dalam suatu undang-undang pada akhirnya terjadi benturan antara nilai dan norma.
Pancasila adalah sebuah karya budaya yang tidak muncul begitu saja. Ia merupakan suatu konstruksi dan perjuangan bangsa berbasis nilai-nilai luhur untuk menyikapi tantangan kehidupan yang kompleks dengan tetap berbasis pada akar budaya bangsa. Pancasila sebagai suatu strategi kebudayaan memiliki peluang untuk menemukan dan
menyegarkan kembali jiwa bangsa di tengah-tengah arus globalisasi yang tidak hanya menampilkan persaingan ekonomi tetapi juga “perang budaya”. Perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat memungkinkan perang budaya berjalan secara sistematis, terstruktur, dan massif.
Dalam tataran ide, eksistensi Pancasila telah mendapatkan penguatan dalam arsitektur negara hukum Indonesia, namun masih menyisakan persoalan‐persoalan mendasar terkait pada tataran norma dan implementasi. Pengejawantahan negara hukum Indonesia membutuhkan penataan, yaitu penataan ke dalam sistem hukum dan kemudian sistem norma hukum. Sistem‐sistem tersebut membutuhkan harmonisasi, yang tidak hanya berangkat dari bahan lokal, melainkan juga kecenderungan perkembangan global, sehingga tidak tertutup kemungkinan adanya hibrida antara nilai‐nilai lokal, agama, dan asing. Di sisi lain ada jurang (gap) antara konseptualisasi Pancasila dengan beberapa rumusan peraturan perundang‐undangan sampai pada implementasinya di lapangan.
Kesenjangan inilah yang mengakibatkan wacana tentang Pancasila, termasuk tentang wacana negara hukum berbasis Pancasila, berpotensi untuk dipandang usang dan irelevan dengan aspek kekinian bangsa Indonesia. Dalam kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat, Pancasila berkedudukan sebagai dasar negara, pandangan hidup, ideologi negara, sumber segala sumber hukum negara, dan pemersatu bangsa. Dalam peran demikian, sesungguhnya nilai-nilai Pancasila berlaku ketika kita ada dalam kehidupan nyata sebagai warga negara Indonesia.
Pergumulan untuk berpancasila secara lebih baik dan benar sebagaimana disampaikan di atas adalah pergumulan dan pergulatan ideologis bangsa dan negara dalam kerangka state making dan dalam rangka membuat Indonesia menjadi lebih baik lagi. Urgensi untuk mengartikulasikan nilai-nilai Pancasila adalah urgensi untuk menyiapkan menghasilkan cara berbangsa dan bernegara yang sesuai dengan cita-cita para pendiri bangsa yang sudah tercermin dalam Pancasila. Harus diakui bahwa cara bernegara saat ini hanyut dalam desain diskursif yang berlaku dalam tataran global. Indonesia saat ini sudah “terlanjur” mendeklarasikan sebagai sebuah nation state mengikuti tradisi negara-negara barat. Seharusnya Pancasila diposisikan sebagai bagian dari state making. Narasi ini harus dikembangkan bahwa Pancasila tumbuh dan berkembang sebagai ideologi dan falsafah bernegara yang memerankan perangkat lunak untuk menggerakkan nation state yaitu Indonesia dengan atribut-atribut kenegaraan yang tentunya diciptakan dan disosilisasikan dengan tetap berlendasakan nilai-nilai Pancasila yang tumbuh dan berkembang di masyarakat Indonesia seperti halnya bagian dari penggalian dan perumusan Pancasila yang dilakukan oleh Soekarno. Nilai-nilai Pancasila itu adalah bagian dari memori sejarah yang digali dari nilai-nilai dalam masyarakat Indonesia.
Kegiatan-kegiatan dalam kehidupan nyata seperti bagaimana membuat sistem keamanan suatu pemukiman; bersama-sama bermusyawarah dalam lingkup RT, RW atau Kelurahan, untuk membahas bagaimana mencegah mewabahnya virus covid-19 untuk wilayah setempat; bergotong royong membuat tanggul sungai di pemukiman untuk mencegah banjir; bersama-sama bermusyawarah membahas pencegahan terorisme di wilayah yang dihuni bersama dan masih banyak lagi yang dapat diambil contoh. Kegiatan-kegiatan dalam kehidupan nyata tersebut, mempertemukan kita sebagai insan yang berdiri sederajat, sama sebagai warga, yang mempunyai pendapat
atau pikiran yang harus dihargai. Pelaksanaan kegiatan dalam kehidupan bersama tersebut tidak bisa tidak, harus senantiasa dilandasi oleh bintang penuntun yaitu Pancasila.
Di dalam realitas kehidupan terdapat warga dengan perbedaan-perbedaan suku, agama, warna kulit, tradisi, jenis pekerjaan dan sebagainya, tetapi semuanya berhak hidup di Indonesia, yang dijamin oleh hukum dasar tertinggi kita yaitu UUD 1945. Pancasila akan menjadi pandangan hidup dan dasar negara yang berperan sebagai bintang penuntun untuk menjalankan kehidupan bersama, berbangsa dan bernegara. Dalam hubungan itulah, maka toleransi, sebagai salah satu perwujudan nilai-nilai Pancasila mempunyai peran penting. Toleransi ada di dalam kehidupan yang majemuk dan jelas bahwa yang ditoleransikan seseorang itu bukanlah toleransi iman, tetapi sikap sosial kita semua ketika hidup dalam kehidupan bersama dengan warga masyarakat yang berbeda agama dan kepercayaan. Pancasila dengan demikian, adalah nilai-nilai yang berlaku dalam “ruang publik”, ruang hidup bersama, tempat dimana warga yang beraneka ragam suku ras, agama, dan kepercayaan itu hidup untuk mensejahterakan diri atau mencapai tujuannya. “Ruang publik” tersebut harus dijaga bersama oleh semua warga dan masyarakat Indonesia.
Pertanyaan berikutnya? bagaimana agar “ruang publik” tersebut tetap bisa menjadi “ruang” untuk kehidupan bersama? Hal itu bisa diraih apabila “ruang publik” sebagai ruang dimana warga masyarakat Indonesia menjalankan kehidupan bersama dalam alam nyata, memiliki nilai-nilai dan pandangan hidup yang telah disepakati bersama. Nilai-nilai dan pandangan hidup tersebut harus menjadi pemandu untuk bersikap saling menenggang rasa, saling tidak mengusik dan melandasi etika sosial dalam melakukan hubungan sosial antara orang-orang yang berbeda agama dan kepercayaan. Salah satunya adalah toleransi sebagai nilai yang harus dipegang manakala seseorang ketika berada di dalam kehidupan bersama selaku warga masyarakat. Dengan demikian, toleransi adalah sikap sosial dari seseorang yang menganut agama tertentu, ketika dia berinteraksi dengan warga lain yang berbeda agama dan kepercayaan, atau singkatnya, dalam bertingkah laku sosial.
Pancasila sebagai pandangan hidup sekaligus sebagai dasar negara menjadi penuntun dan pedoman dalam ranah riil kehidupan bersama dalam lingkup kehidupan nyata negara bangsa Indonesia. Oleh para pendiri bangsa, dinyatakan bahwa Pancasila menjadi instrumen untuk mencapai tujuan bersama bangsa, yang dilaksanakan melalui pelaksanaan pembangunan dalam bidang-bidang, untuk mewujudkan kesejahteraan umum. Dalam konteks berkehidupan bersama itu, agama lalu menjadi sub-sistem sosial yang ada diantara sub-sistem sosial yang lain seperti sub-sistem ekonomi, sub-sistem politik, sub-sistem budaya, sub-sistem hukum, dan sebagainya yang membentuk satu kesatuan sistem dinamis yang selalu menjadi instrumen bagi negara untuk mewujudkan kesejahteraan umum.
Jadi dalam ranah riil (fakta) perilaku berkehidupan bersama, pendekatan agama bukan menjadi satu-satunya pendekatan untuk mewujudkan kesejahteraan umum, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Persoalan krisis ekonomi, rendahnya penyerapan tenaga kerja, kepadatan lalulintas, pembangunan infrastruktur, penanganan wabah penyakit, persoalan sengketa pertanahan, sengketa pajak, dan segala kompleksitas
masyarakat di era global tentu tidak bisa diselesaikan dengan sekedar mengandalkan pemikiran deduktif dalam berkehidupan agama.
Dengan demikian, pemahaman nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini tidaklah cukup dengan mengadopsi perspektif positivisme hukum. Artikulasi Pancasila tidaklah cukup dilakukan dalam domain hukum. Justru pendekatan positivisme hukum akan mengecoh dan membalikkan bangsa ini dalam jebakan kekakuan tafsir akan Pancasila sebagai bagian dari konsep sistem hirarki, karena Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum. Dalam pendekatan ini, Pancasila sekedar dimanifestasikan dalam pemberlakukan hukum semata. Justru inilah yang menyebabkan Pancasila dipahami secara kaku dan tidak adaptif, menyebabkan Pancasila menjadi alat kekuasaan dan menjadi doktrin kekuasaan. Langkah-langkah di luar perspektif hukum justru lebih diperlukan. Sirkulasi antar teks dan nilai dalam Pancasila juga harus dikaji dan dikembangkan lebih lanjut. Kita semua harus kembali mengingat memori pidato Soekarno 1 Juni 1945, bahwa Pancasila yang digali dari buminya Indonesia merupakan integrasi dari pengalaman hidup secara fakta (yang ditangkap dengan inderawi) dan pengalaman batin akal budi bangsa Indonesia. Dari perpaduan itulah kemudian terbentuk nilai-nilai yang menjadi tuntunan hidup bangsa. Oleh karena Pancasila ditempatkan sebagai premis major, sebagai bintang penuntun dan sumber segala sumber hukum negara, maka pendekatan yang digunakan dalam pembahasan ini bersifat deduktif. Dalam kajian ini negara dikonsepsikan sebagai wadah untuk mewujudkan kesejahteraan bersama dari sebuah bangsa modern, yang mengikatkan diri pada sebuah pemerintahan yang legitimate, mendapat pengakuan internasional dan berada pada suatu wilayah yang tertentu batas-batasnya.
Nilai‐nilai Pancasila yang tergregadasi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia pada saat ini, terjadi pada saat hukum itu sendiri sedang disusun/Pembentukan peraturan perundang‐undangan, Pelaksanaan hukum, sampai dengan Penegakkan hukum tersebut. Beberapa kelemahan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang memungkinkan terulangnya pelanggaran nilai‐nilai Pancasila. Segenap elemen bangsa hendaknya menyadari apa yang terjadi pada nilai ‐nilai Pancasila yang mengalami degradasi. Sebagai dasar negara serta ideologi bangsa, apabila degradasi ini terus berlangsung tanpa ada upaya untuk menghentikannya sangat berpengaruh terhadap eksistensi kita sebagai sebuah bangsa dan negara karena posisi Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa
Tantangan untuk mewujudkan pemahaman kembali nilai-nilai Pancasila dan berbangsa dan bernegara saat ini adalah mempercanggih desain diskursif, yang nantinya menjangkau alam bawah sadar seluruh lapisan masyarakat. Indonesia memerlukan politik wacana untuk menjadikan setiap anggota masyarakatnya terobsesi untuk mewujudkan cita-cita bersama dalam berbangsa dan bernegara. Dalam konsep ini, kita dapat mengklaim bahwa Indonesia adalah negara Pancasila manaka Pancasila telah menjadi habitat bersama.
Pertama, Kita harus memberlakukan Pancasila secara preskriptif. Pancasila ditempatkan sebagai “obat penawar” bagi kesembuhan Indonesia. Dengan demikian, setiap norma, setiap kebijakan, setiap aturan, tidak hanya melafalkan Pancasila didalamnya namun implementasinya harus dapat merasuki roh sebagaimana semangat awal pembentukan
Pancasila. Pancasila haruslah selfimplementing dalam artian dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Kedua, Pancasila harus diperlakukan sebagai bintang penuntun. Implementasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan kenegaraan harus relevan dan adaptif. Pancasila bukan lagi sebagai bungkus dari kepentingan politik. Pancasila adalah rujukan kolektif Indonesia masa lalu, masa sekarang, dan masa depan.
Ucapan terima Kasih (Acknowledgments)
Puja bhakti penulis persembahkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan anugerah berupa akal budi, pikiran, keterampilan, dan pengetahuan yang benar kepada hambaNya yang selalu merindukan untuk menjadi bhakta yang baik. Sungguh suatu yang tidak bisa disangkal, bahwa Tuhan Yang Maha Esa selalu mendampingi dan memberikan kekuatan yang luar biasa kepada penulis, sehingga tanpa anugerah dan bimbingan-Nya akan mustahillah paper ini bisa terwujud sedemikian rupa. Paper ini adalah refleksi ideologis penulis terkait dengan Pancasila terutama pencarian kebenaran terhadap kelahiran Pancasila 1 Juni 1945 dan nilai-nilai Pancasila yang kemudian mengilhami adanya Pembukaan UUD 1945.
Sungguh merupakan tantangan untuk mentranformasikan pemikiran ideal untuk disusun dalam sebuah paper yang singkat ini. Berbagai dialektika yang muncul di tengah-tengah pusaran perdebatan seputar kelahiran Pancasila dan Pancasila itu sendiri begitu beragam saat ini di masyarakat dan harus terakomadasi dalam penulisan paper ini yang tentunya dari sisi kajian akademis. Oleh karena itu, penulis sampaikan bahwa tentunya paper ini masih jauh dari sempurna baik itu dari sisi data, penuangannya dalam kalimat maupun dari penerapan teori dan metodologinya. Untuk itu penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada Universitas Kristen Indonesia-Jakarta, tempat penulis penuntut ilmu untuk jenjang Doktor Hukum, Uniersitas Udayana-Depasar yang telah sudi menerima naskah ini untuk diterbitkan serta pihak-pihak yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam upaya penulisan paper ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas budi baiknya.
Daftar Pustaka
AB, Kusuma. Kelahiran UUD 1945 Memuat Transkripsi Dokumen Asli BPUPKI. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014.
Alam, Wawan Tunggul. Bung Karno: Menggali Pancasila: Kumpulan Pidato. Gramedia Pustaka Utama, 2001.
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Gramedia pustaka utama, 2003.
Clifford, Geertz. The Interpretation of Culture. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 1973.
Daniel, Dhakidae. “Pancasila, Prinsip Berpikir Dan Ideologi.” Jurnal Prisma 37, no. 2 (2018).
Geertz, Hildred. Indonesian Cultures and Communities. Vol. 12. Hraf Press, 1963.
Ghofur, Anshori Abdul. Filsafat Hukum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2009.
Hidayat, Arief, and Airlangga Surya Nagara. “Negara Hukum Pancasila (Suatu Model Ideal Penyelenggaraan Negara Hukum).” Makalah Pada Kongres Pancasila IV Di UGM Yogyakarta Tanggal 31 (2012).
Indonesia, Sekretariat Negara Republik. “Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945–22 Agustus 1945.” Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1998.
Ismail, Faisal. “Islam, Politics and Ideology in Indonesia: A Study of the Process of Muslim Acceptance of the Pancasila,” 1995.
Jiwandono, Ilham Syahrul, and Iswahyu Nurbeni. “Persepsi Mahasiswa Terhadap Fungsi Pancasila Sebagai Weltanschauung Dalam Upaya Mengatasi Merosotnya Nilai Kebangsaan.” ELSE (Elementary School Education Journal): Jurnal Pendidikan Dan Pembelajaran Sekolah Dasar 3, no. 2 (2019): 35–42.
Kaelan. The Philosophy of Pancasila, The Way of Life of Indonesian Nation. Yogyakarta: Paradigma Press, 2014.
Kusuma, Ananda B. Sistem Pemerintahan" Pendiri Negara" versus Sistem Presidensiel" Orde Reformasi". Badan Penerbit Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, 2011.
Latif, Yudi. “The Religiosity, Nationality, and Sociality of Pancasila: Toward Pancasila through Soekarno’s Way.” Studia Islamika 25, no. 2 (2018): 207–45.
Mahfud, M D. “Membangun Politik Hukum.” Menegakkan Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta, 2010.
Nasution, Adnan Buyung. Aspirasi Pemerintahan Konstitusional Di Indonesia: Studi Sosio-Legal Atas Konstituante 1956-1959. PT Pustaka Utama Grafiti, 1995.
Poespowardojo, M.T Soerjanto, and Alexander Seran. Pancasila, Filsafat Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Dan Roh Revolusi Mental. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2021.
Pranoto, Iskandar. “The Pancasila Delusion.” Journal of Contemporary Asia 45, no. 3 (2016): 723–35.
Robertus, Robert. “Antinomi Pancasila.” Jurnal Prisma 37, no. 2 (2018).
Setiawan, Rahmat. “Study of Ontology, Epistomology and Axiology on Management.” In The Second International Conference on Entrepreneurship, 2:144–51. Universitas Ciputra Surabaya, 2015.
Soekarno. Panca Azimat Revolusi: Tulisan, Risalah, Pembelaan, Dan Pidato Soekarno, 19261966. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2014.
Sukarno, and Floriberta Aning. Filsafat Pancasila Menurut Bung Karno. Media Pressindo, 2006.
Sumohadiwidjojo, Muhammad Subuh, Raden Mas, and Cindy Heller Adams. Sukarno: An Autobiography as Told to Cindy Adams. Bobbs-Merrill, 1965.
SVD, Djebarus, and P Vitalis. De Utilitatibus Pantjasilae Indonesiae pro Activitate Missionali, via Indigenisationis Doctrinae Cristiance (Pemanfaatan Pantjasila Indonesia Bagi Kegiatan Misioner Melalui Permbumian Doktrin Kristen). Deutschland: Styler Verlag, 1971.
Theo Huijbers, O S C. “Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah.” Penerbit Yayasan Kanisius, Yogyakarta, 1982.
Wicaksono, Wahyu. “Pornografi Dalam Budaya Indonesia.” Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, 2022. https://kemenpppa.go.id/index.php/page/read/31/70/pornografi-dalam-budaya-indonesia.
Yudi, Latief. Negara Paripurna: Histosiritas, Rasionalitas, Dan Aktualisasi Pancasila. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
859
Discussion and feedback