Pengaturan Pembagian Harta Bersama Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015

I Gusti Ngurah Adi Prabawa1, I Ketut Westra2

  • 1    Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

  • 2    Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

    Info Artikel

    Masuk: 5 Juli 2022

    Diterima: 18 Desember 2022

    Terbit: 28 Desember 2022


    Keywords:

    Agreement, Marriage and property


    Kata kunci:

    Perjanjian, Perkawinan dan

    Harta


    Corresponding Author:

    I Gusti Ngurah Adi Prabawa, E-mail:

    [email protected]

    DOI:

    10.24843/JMHU.2022.v11.i04.

    p10.


Abstract

The purpose of this research is to study juridically regarding the division of joint assets both before and after the decision of the constitutional court no. 69/puu-xiii/2015. This paper uses normative legal research. The results of this study show that joint property arrangements before the Constitutional Court Decision No.69/PUU-XIII/2015 used the Marriage Law as a legal basis, where joint assets are regulated in article 35 paragraph (1) that assets acquired during marriage become joint property. Likewise with marriage agreements that must be made before the marriage takes place and or can be made in the form of an authentic deed in front of a notary, because there is no marriage agreement made before the marriage is carried out, then all the assets of the husband and wife, the mixing of this marriage agreement has been determined in the regulations laws and regulations as long as they do not violate the social order and general order prevailing in society. Implementation of the division of joint assets after the Constitutional Court Decision No. 69/PUU-XIII/2015 during the marriage period and after the divorce, where before or in progress of the marriage, may also be made after the marriage is carried out or while in a marital relationship it is permissible to make a marriage agreement. So when in the future there is a legal event in the form of divorce, there will be a separation of joint assets.

Abstrak

Tujuan penelitian ini mengkaji pengaturan pembagian harta bersama baik itu sebelum dan pasca putusan mahkamah konstitusi no. 69/puu-xiii/2015. Tulisan ini mempergunakan peneitian hukum normatif. Hasil penelitian ini menunjukan pengaturan harta bersama sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No.69/PUU-XIII/2015 menggunakan UU Perkawinan sebagai landasan hukum, dimana harta bersama diatur pada pasal 35 ayat (1) bahwa Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta Bersama. Begitu juga dengan perjanjian perkawinan yang harus dilakukan sebelum perkawinan dilangsungkan dan atau dapat dibuat dalam bentuk akta otentik dimuka notaris, oleh sebab tidak ada perjanjian perkawinan yang dibuat sebelum perkawinan dilakukan maka semua harta suami dan isteri tersebut maka terjadinya perbauran perjanjian perkawinan ini telah ditentukan dalam peraturan perundang–undangan sepanjang tidak menyalahi tata susila dan ketentraman umum yang berlaku dalam masyarakat.

Pelaksanaan pembagian harta bersama pasca adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No.69/PUU-XIII/2015 selama masa perkawinan dan setelah perceraian, dimana sebelum atau sedang berlangsungnya perkawinan, boleh juga dibuat pasca perkawinan dilakukan atau selama dalam hubungan perkawinan diperbolehkan membuat perjanjian perkawinan. Sehinngga Ketika dikemudian hari terjadi peristiwa hukum berupa perceraian maka terjadi pemisahan harta Bersama.

  • 1.    Pendahuluan

Manusia yakni makhluk ciptaan Tuhan dengan berbagai kebutuhan, dan setiap orang bercita-cita untuk memenuhi kebutuhan itu agar jadi manusia seutuhnya.1 Ciri-ciri seseorang ditentukan oleh bagaimana mereka berinteraksi dengan emosi dan rasio mereka, yang terus-menerus hadir dalam tubuh manusia. 2 Manusia mempunyai kecenderungan untuk terlibat satu sama lain dengan cara ini. Interaksi manusia tidak hanya didasarkan pada kesadaran dan niat, berbicara dengan rasional.3 Harta gono-gini akan diperebutkan oleh suami maupun istri selama mereka masih dalam status perkawinan, berlandaskan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan), tidak diatur lebih lanjut mengenai hak setiap pembagian harta diantara suami dan istri. 4

Menurut pasal 39 ayat 1 UU perkawinan mengatur secara inti bahwasanya cerai hanya bisa dilakukan dalam sebuah sidang pengadilan.5 Bila kita telah pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan, ternyata terdapat beberapa peraturan yang mempengaruhi keabsahan satu perkawinan, satu diantaranya bahwa kenyataannya agamalah yang mempuyai peranan penting untuk membuktikan sah atau tidak sahnya suatu perkawinan.6

Penelitian ini mencoba untuk mengetahui bagaimana pengadilan memutuskan pembagian dalam bentuk harta yang bersama diantara suami maupun istri sesudah perceraian, serta akibat hukum yang mengikuti pembagian harta bersama, sepanjang perkawinan ini tidak lagi membatasi batasan-batasan yang boleh diperjanjikan, baik mengenai harta benda, misalnya, dan sepanjang perkawinan itu dirumuskan sedemikian rupa sehingga memungkinkan terjadinya beberapa penafsiran. Sebab dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (selanjutnya

disebut PP No. 9 Tahun 1975), dimana diterangkan pada Pasal 12 Huruf h, mengatur secara inti bahwasanya akta perkawinan memuat perjanjian perkawinan apabila ada, dan dalam perjanjian perkawinan tidak dituangkan dalam satu akta.7

Sebelum perkawinan, diperbolehkan membuat perjanjian perkawinan, tetapi tidak boleh berbenturan dengan kepentingan umum dan standar sosial. 8 Perjanjian perkawinan tidak dihormati bila merugikan ataupun tidak sesuai dari pengaturan perundang-undangan serta hak yang akan datang dari setiap pihak, serta hak milik yang sebelumnya diwarisi oleh orang tuanya. Perjanjian hukum keluarga (familierechtelijk) tidak tercakup dalam seluruh unsur hukum perjanjian dalam Buku III B.W. Misalnya, tidak mungkin melakukan satu tindakan (gugatan) berlandarkan ketidaktepatan. Dalam kebanyakan kasus, kontrak perkawinan ditandatangani:

  • 1.    Jika jumlah kekayaan salah satu pihak lebih besar pada daripada jumlah harta pihak lain;

  • 2.    Jika setiap pihak membawa masukan (aanbrengst) yang cukup besar;

  • 3.    Jika setiap mempunyai usaha sen-diri, sehingga apabila salah satu pihak jatuh, pihak lain tidak tersangkut;

  • 4.    Ketika terdapat utang-hutang yang mereka buat sebelum kawin, dan setiap pihak akan bertanggungjawab sendiri sendiri.

Melihat hal tersebut di atas, Mahkamah Konstitusi (MK), melalui putusan No. 69/PUU-XIII/2015, pada Pasal 29 (1), (3), serta (4) UUP atas permohonan Ny. Ike Farida yang menyatakan bahwasanya “Pasal itu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (inkonstitusional bersyarat).”

Berlandaskan latar belakang permasalahan tersebut maka perlu diadakan pengamatan dengan melakukan penelitian yang berjudul “Pengaturan Pembagian Harta Bersama berlandarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015”. Penelitian ini berfokus pada dua rumusan permasalahan: Pertama, bagaimana pengaturan harta bersama sebelum adanya Putusan MK No 69/PUU-XIII/2015? Kedua, bagaimanakah pelaksanaan pembagian harta yang dimiliki bersama pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No 69/PUU-XIII/2015? Artikel ini bertujuan untuk mengkaji pengaturan dan pelaksanaan pembagian harta bersama sebelum serta saat sesudah Putusan Mahkamah Konstitusi No 69/PUU-XIII/2015.

Sementara itu, dengan bahan pembanding untuk penelitian ini, meskipun makalah ini sudah diperbarui dan tidak termasuk kasus plagiarisme, makalah berikut mengeksplorasi topik yang berbeda yaitu pertama jurnal yang ditulis oleh Muhammad Rendy Rifki Putra, dkk, pada tahun 2022, dengan judul: “Kedudukan Hak Atas Tanah Di Indonesia Akibat Perkawinan Campuran”. Fokus kajian membahasa mengenai kesulitan-kesulitan yang ada pada perjanjian perkawinan dalam perkawinan campuran, dimana sangatlah penting sebab pemisahan harta bersama, yang

memungkinkan individu Indonesia memperoleh hak atas tanah dan status hak milik.9 Kedua jurnal yang ditulis oleh Adi Purwanto, pada tahun 2020, dengan judul: “Analisis Hukum Atas Pembagian Harta Bersama Dalam Perkawinan Campuran Pada Putusan Mahkamah Agung No 1400 K/Pdt/2017”. Fokus kajian adalah mengenai hal-hal yang disebutkan dalam pasal-pasal pada undang-undang perkawinan terhadap perkawinan di Indonesia diantara orang-orang dari berbagai bangsa, satu diantaranya yakni orang Indonesia, yang diatur oleh UU yang berbeda. 10 Sedangkan pada penelitaian ini membahas kajian yuridis pada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/puu-xiii/2015 terkait pengaturan harta bersama sebelum dan sesudah Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015. Sehingga menjelaskan secara komperhensif terkait mengapa bisa timbul Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dan bagaimana ketika terjadi peristiwa hukum perceraian serta adannya pihak ketiga dan apakah Putusan Mahkamah Konstitusi ini mampu memberikan jalan keluar karena terhadap penilaian yang dilakukan secara terpisah oleh Mahkamah Konstitusi terhadap objek yang diujikan.

  • 2.    Metode Penelitian

Dalam penulisan jurnal ini, menggunakan penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif analisis dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Lebih lanjut tehnik penelusuran bahan hukum sebagai pedoman bagi penulis dalam jurnal ini adalah mengkaji terkait adanya pengaturan pembagian harta bersama berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1.    Pengaturan harta bersama sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No.69/PUU-XIII/2015

Pengertian perkawinan bisa diambil dari Pasal 1 UU Perkawinan, yakni "Perkawinan yakni ikatan lahir batin diantara seseorang pria dan wanita sebagai suami istri."11 Hak Milik serta Hak Guna Bangunan tidak bisa diakses oleh penduduk asli Indonesia yang kawin dengan orang asing, sebab ada ketentuan dipasal 35 (1) UU Perkawinan “harta benda yang didapat selama perkawinan jadi harta bersama”. akibatnya Orang asing yang kawin dengan WNI harus melepaskan haknya dalam waktu satu tahun setelah perkawinan. Artinya, orang Indonesia yang terlibat dalam perkawinan campuran dianggap sama dengan masyarakat yang berada di luar negeri.

Di sisi lain, pasal 28H (4) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) “menjamin setiap WNI berhak mempunyai Hak

Milik.”12 Pasal 21 (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA), sebaliknya, “melarang kepemilikan Hak Milik dan Hak Guna Bangunan oleh warga Orang Indonesia yang kawin dengan orang dari negara lain.” Tidak ada undang-undang ataupun aturan yang mengatakan WNI yang telah melakukan perkawinan dengan seorang yang berasal dari luar negeri mempunyai status ataupun hak yang berbeda dengan WNI yang kawin dengan WNI lainnya, seperti diatur pada pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia (selanjutnya disebut UU Kewarganegaraan) juncto pasal 26 (1) UUD 1945 ; “Pelarangan WNI untuk mempunyai Hak Milik dan Hak Guna Bangunan sudah jelas menghilangkan nafas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (equality before the law).” seperti pasal 28D (1) dan pasal 27 (1) UUD 1945; Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 : “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serya perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Pasal 27 (1) UUD 1945 : “ segala warga negara bersamaan kedudukanya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.

Harta bersama pada pasal 35 (1) UU Perkawinan “Harta benda yang didapat selama perkawinan jadi harta bersama” serta ayat (2) berbunyi “Harta bawaan dari setiap suami dan isteri dan harta benda yang didapat setiap sebagai hadiah ataupun warisan, yakni di bawah penguasaan setiap sepanjang para pihak tidak menentukan lain”. Oleh sebab itu, terbukti bahwasanya pasal itu sudah menghancurkan hak kepemilikan serta hak penggunaan bangunan bila seorang yang berasal dari luar negeri menguasai lima puluh persen dari harta kekayaan tersebut. Sementara itu, Pasal 21 (1) dan Pasal 36 (1) UUPA melarang kepemilikan Hak Milik dan Hak Guna Bangunan oleh orang asing. Perkawinan termasuk satu perikatan ataupun kontrak yang banyak dipengaruhi oleh hukum perdata. sebab janji yakni bagian yang penting pada hukum perdata, dan sebab setiap orang yang membuat kontrak percaya bahwasanya janji itu tidak akan dilanggar di tengah jalan. bila satu keputusan harus dibuat ataupun harus dibuat, ada alasan yang bisa diterima dengan akal.13 dengan hukum formal, “pengertian harta bersama yakni harta yang didapat suami istri selama perkawinan mereka.” sementara KUHPerdata didasarkan pada konsep Perkawinan Macht, pada Pasal 124 (1) dan (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUH Perdata) ditentukan bahwasanya, “Suami sendiri harus mengurus (beheren) sendiri harta kekayaan perkawinan, tanpa campur tangan istri, suami diperbolehkan menjual, memindahtangankan dan membeban.” 14 Kajian ini sampai pada kesimpulan bahwasanya properti dengan hak individu tidak bisa dimiliki ataupun digabungkan. seluruh harta yang didapat dari kelahiran para pihak sebelum perkawinan bisa dipakai untuk keperluan rumah tangga.15

UU Perkawinan tidak mengatur dengan spesifik dan jelas pengertian harta yang dimiliki secara bersama pada perkawinan campuran. Dan Pasal 57 sampai dengan Pasal 62 UU Perkawinan tentang perkawinan campuran, tidak ada pengaturan mengenai harta yang dimiliki secara bersama untuk seseorang yang melakukan perkawinan campuran. Oleh sebab itu, pelaku perkawinan campuran yang masih WNI tidak dapat memiliki Hak Milik dan Hak Guna Bangunan, seperti Pasal 36 (1) UUPA mengatur bahwasanya “Hak Milik dan Hak Guna Bangunan harus bebas dari unsur asing.” Hal ini semata-mata diatur dalam pasal 35 hingga 37 UU Perkawinan bagi perkawinan diantara warga negara Indonesia. Mengenai sebuah harta yang dimikiki secara bersama, seorang suami maupun istri dapat melakukannya dengan persetujuan masing-masing pihak, dan harta benda diatur oleh hukum. Menurut hukum adat, hukum agama, dan kaidah-kaidah KUH Perdata, ditentukan arti dari setiap peraturan perundang-undangan. berlandarkan ketentuan pasal 35 (2) UU Perkawinan, “harta bawaan setiap suami isteri yakni harta bawaan ataupun harta asal dari suami ataupun isteri bersangkutan, dan/atau harta setiap suami ataupun isteri yang diterima ataupun didapat pada masa perkawinan berlangsung melalui warisan, hibah, wasiat, hadiah, ataupun mahar (sebagai hak isteri menurut hukum islam)”. Sedangkan harta benda perkawinan (harta bersama) menurut hukum adat adalah semua harta yang diperoleh dan dikuasai suami dan istri selama mereka terikat dalam perkawinan, baik harta kerabat saudara yang dikuasai, maupun harta perseorangan yang berasal dari harta warisan, hibah, harta penghasilan sendiri, harta pencarian hasil bersama suami dan istri dan barang-barang hadiah. Menurut Hilman Hadikusuma, harta benda perkawinan dikelompokkan sebagai berikut: 1. Harta bawaan, yaitu harta yang dibawa oleh suami dan isteri kedalam ikatan perkawinan, baik berupa hasil jerih payah masing-masing ataupun yang berasal dari hadiah atau warisan yang diperoleh sebelum dan sesudah perkawinan mereka berlangsung. 2. Harta pencarian, yakni harta yang diperoleh sebagai hasil kaya suami dan isteri selama ikatan perkawinan berlangsung. 3. Harta peninggalan. 4. Harta pemberian seperti hadiah, hibah.16

Keberadaan pengaturan harta bersama sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No.69/PUU-XIII/2015 menyebabkan Pasal 21 ayat (1), ayat (3) UUPA dan Pasal 29 ayat (1), ayat (3) dan ayat (4) UU Perkawinan berpotensi merugikan Hak Konstitusional. Apabila dikaji melalui teori keadilan pasal-pasal tersebut bukan saja telah merampas keadilan dan hak asasi. Sebab frasa pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan pada Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan Pasal 28E ayat (2) UUD 1945. Bahwa hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dimusyawarahkan dan diputuskan bersama antara suami dan istri. Kesepakatan atau perjanjian yang dilakukan dengan cara musyawarah tersebut dapat dilakukan oleh suami dan istri, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan, pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan. Kedua pihak (seorang pria dan wanita) atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan, serta syarat-syarat sahnya perjanjian.

Alasan yang umumnya dijadikan landasan dibuatnya perjanjian setelah perkawinan adalah adanya kealpaan dan ketidaktahuan bahwa dalam UU Perkawinan ada ketentuan yang mengatur mengenai Perjanjian Perkawinan sebelum perkawinan dilangsungkan. Menurut Pasal 29 UU Perkawinan, Perjanjian Perkawinan dapat dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan. Alasan lainnya adalah adanya risiko yang mungkin timbul dari harta bersama dalam perkawinan karena pekerjaan suami dan isteri memiliki konsekuensi dan tanggung jawab pada harta pribadi, sehingga masing-masing harta yang diperoleh dapat tetap menjadi milik pribadi.

Maka dari itu Frasa “pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan” dalam Pasal 29 ayat (1), frasa “…sejak perkawinan dilangsungkan” dalam Pasal 29 ayat (3), dan frasa “selama perkawinan berlangsung” dalam Pasal 29 ayat (4) / UU Perkawinan membatasi kebebasan 2 (dua) orang individu untuk melakukan atau kapan akan melakukan “perjanjian”, sehingga bertentangan dengan Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 sebagaimana didalilkan Pemohon. Dengan demikian, frasa “pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan” dalam Pasal 29 ayat (1) dan frasa “selama perkawinan berlangsung” dalam Pasal 29 ayat (4) UU Perkawinan adalah bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai termasuk pula selama dalam ikatan perkawinan.

  • 3.2.    Pelaksanaan Pembagian Harta Bersama Pasca Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No.69 Selama Masa Perkawinan Dan Setelah Perceraian

Perkawinan yakni satu dari momen terpenting pada kehidupan orang Indonesia. Akibat perkawinan melampaui ikatan formal diantara calon suami dan istri termasuk orang tua, kerabat, dan bahkan keluarga mereka sendiri. Dalam keadaan hukum apa pun, itu harus mematuhi UU yang sesuai.17 UU mensyaratkan bahwasanya perjanjian perkawinan dilakukan sebelum perkawinan, ataupun bisa dibuat pada bentuk akta otentik di depan notaris; Keaslian akta sangatlah penting sebab bisa dipakai sebagai alat bukti di persidangan pengadilan bila terjadinya sengketa kepemilikan harta benda salah satu pasangan (suami dan istri). -istri). Dengan tidak adanya perjanjian perkawinan, maka terjadinya percampuran harta suami istri diatur dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sepanjang tidak melanggar kode etik dan ketentraman umum perseorangan. Hal yang dinyatakan ini diberlakukan sebelum diterbitkannya Putusan Mahkamah Konstitusi N0.69/PUU-XIII/2015.

Khususnya di kalangan penduduk adat Jawa Tengah, terdapar konsep yang sering dikatakan sebagai dengan harta gono-gini. Harta gonogini yakni harta kekayaan yang didapat melalui perkawinan sebagai harta bersama. Sesuai dengan putusan Mahkamah Agung no. 51 K/Sip/ tanggal 7 November 1956, yang diantara lain menyatakan: Menurut hukum adat, seluruh harta yang didapat selama berlangsungnya perkawinan, termasuk dalam harta gono gini, meskipun mungkin hasil kegitan suami sendiri. Tidak ada aturan dalam hukum adat yang menyatakan bahwasanya bila seorang wanita diam-diam melarikan diri dari suaminya, dia tidak

lagi berhak atas harta suaminya.18 Sementara status harta perkawinan sesudah putusan Mahkamah Konstitusi mengatakan bahwasanya, dalam kaitan dengan harta bersama (gono gini) yang disimpan di bank dalam bentuk Giro, Deposito, Sertifikat Deposito, dan/atau tabungan baik atas nama suami maupun atas nama istri, maka setiap pihak sudah sepatutnya mengetahui akibat hukumnya yaitu setiap individu tidak bisa mengakses keterangan menganai simpanannya. Oleh sebab itu, DPR berpendapat bahwasanya ini bukan persoalan konstitusionalitas norma, melainkan persoalan penerapan norma di mana suami istri boleh sepakat bahwasanya harta bersama yang disimpan di bank dibuat dalam bentuk rekening bersama di mana setiap pihak bisa mengakses tabungan mereka ataupun sebaliknya. Ini sejalan pada Pasal 36 (1) UU Perkawinan bahwasanya secara inti mengatur mengenai harta bersama, suami – istri bisa bertindak atas persetujuan dua belah pihak.

Sejak lahirnya Putusan MK no. 69/PUU-XIII/2015, sudah terjadi pembaruan hukum terkait waktu penandatanganan perkawinan. 10 Selain bisa diartikan terjadi sebelum ataupun selama proses perkawinan, perjanjian perkawinan dapat juga ditetapkan sebelum suatu perkawinan berlangsung ataupun selama perkawinan berlangsung. Mengenai perkawinan, Mahkamah Konstitusi memberi interpretasi konstitusional terhadap Pasal 29 UU Perkawinan yang mengatur tentang perkawinan. Mahkamah Konstitusi sudah memperluas definisi perkawinan yang bisa disesuaikan pada persyaratan hukum setiap pasangan. Putusan Mahkamah Konstitusi mengatakan “Pasal 29 ayat 1 UU Perkawinan dinyatakan tidak berlandarkan konstitusi selama tidak diartikan” Sebelum perkawinan maupun selama perkawinan, dua belah pihak dapat, dengan persetujuan masing-masing, menandatangani kontrak resmi yang sudah ditetapkan oleh pencatat perkawinan ataupun notaris; lalu, konten dapat digunakan untuk pihak ketiga selama mereka berpartisipasi. Selama berlangsungnya perkawinan dan setelah perceraian dilaksanakan hal-hal sebagai berikut;

  • a.    Akad Selama Masa Perkawinan Setelah putusan Mahkamah Konstitusi, perjanjian perkawinan bisa dilakukan setiap saat, termasuk sebelum perkawinan, pada saat perkawinan, dan selama/sesudah perkawinan. Suami istri diperbolehkan mengadakan perjanjian perkawinan guna pemisahan harta kekayaan perusahaan meskipun sudah perkawinan selama bertahun-tahun ataupun masih pada masa perkawinan;

  • b.    Kesepakatan Bersama Kesepakatan bersama adalah salah satu aspek terpenting untuk mencapai kesepakatan. Sesuai dengan Pasal 29 (1) UU No. 1 Tahun 1974 jo. Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII-2015, hanya suami istri yang bisa mengadakan perjanjian perkawinan yang dilakukan dengan kekeluargaan. bila suami ataupun istri memutuskan di kemudian hari untuk mengubah ataupun mencabut syarat-syarat perjanjian perkawinan mereka, itu harus disepakati bersama ataupun diterima oleh dua belah pihak agar perjanjian itu diubah ataupun dibatalkan;

  • c.    Disusun dengan Tertulis Kontrak perkawinan harus dibuat dengan tertulis sehingga bisa memberi kejelasan hukum serta jadi pedoman bagi suami istri bila terjadi perselisihan di kemudian hari. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga

harta benda yang diatur dalam akad perkawinan agar tidak ada pihak yang dirugikan;

  • d.    Ditandatangani oleh pencatat perkawinan ataupun Notaris Meskipun perjanjian perkawinan tentang pembagian harta bersama sudah dibuat dengan tertulis, bila tidak didokumentasikan, perjanjian itu tidak bisa dilaksanakan menurut hukum. Perjanjian tidak bisa disetujui bila persyaratannya bertentangan dengan agama, hukum, ataupun moral, serta persyaratan keabsahan suatu kontrak. Perjanjian itu didokumentasikan dan didaftarkan di KUA untuk perkawinan muslim yang terdaftar di KUA. sedangkan perkawinan non-Muslim dan internasional didokumentasikan di kantor catatan sipil (capil) setempat. Hanya perkawinan yang sudah dilaporkan ataupun dicatat dalam catatan sipil yang bisa digunakan untuk mencatatkan suatu perjanjian perkawinan, terutama untuk perkawinan internasional. Perjanjian itu  tidak bisa  dicatat ataupun diterbitkan  bila Kantor

Kependudukan dan Catatan Sipil tidak bisa menunjukkan bukti yang memverifikasi perkawinan WNI di luar negeri. Selain itu, notaris juga bisa mengesahkan perkawinan. Ini berlaku tidak hanya untuk pembuatan awal kontrak perkawinan, tetapi juga untuk modifikasi dan pembatalan selanjutnya;

  • e.    Berlaku Bagi Pihak Ketiga Yang Memiliki Kepentingan Sekalipun perjanjian perkawinan tentang pembagian harta bersama termasuk hasil kesepakatan diantara dua belah pihak (suami dan istri), hal itu tidak boleh mempengaruhi pihak ketiga yang berkepentingan dalam perjanjian tersebut. Selain itu, harta kekayaan yang dahulu diikat dengan perjanjian dengan pihak ketiga dibagi jadi harta kekayaan tersendiri dalam suatu perkawinan. Hal ini harus dipelajari dengan seksama dan menyeluruh agar pemisahan harta bersama melalui perkawinan tidak menimbulkan kerugian bagi pihak lain (pihak ketiga).”

Pelaksanaan Pembagian Harta Bersama Pasca Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No.69 jika dikaji dengan teori politik hukum bahwa perluasan kapan dapat dilakukan perjanjian perkawinan dapat meminimalisir adanya konfik dalam perkawinan dan mampu menciptakan keharmonisan terkait pemisahan harta bersama namun jika dikaji menggunakan teori kepastian hukum maka masih terlihat adanya kekaburan norma yang masih belum bisa memunculkan kepastian hukum. Khususnya terkait bagaimana seharusnya Undang-Undang Perkawinan nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 29, mengatakan bahwa perjanjian perkawinan hanya bisa dibuat pada saat berlangsungnya perkawinan dan sebelum perkrkawinan. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/Puu-Xiii/2015 mengenai dimana perjanjian kawin bisa dibuat setelah melakukan perkawinan. Putusan tersebut seharusnya dimuat kedalam Undang-Undang Tentang Perkawinan, khususnya untuk merubah pasal 29 sehingga Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/Puu-Xiii/2015 menjadi sesuatu yang mengikat, legal dan sifatnya jelas, dimana seharusnya tidak hanya sebagai yurisprudensi namun secara jelas termuat dalam Undang-Undang sehingga tidak menimbulkan kekeliruan dalam penerapan hukumnya, dan agar meminimalisir timbulnya persidangan yang serupa, akan tetapi jika sudah ada Undang-Undang yang mengatur maka dapat menghindari peradilan dan mewujudkan asas peradilan cepat dan biaya ringan. Beserta perkembangan perjanjian pada perkawinan campuran setelah diberlakukannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/Puu-Xiii/2015.

  • 4.    Kesimpulan

Pengaturan harta bersama sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No.69/PUU-XIII/2015 menggunakan UU Perkawinan sebagai landasan hukum, dimana harta bersama diatur pada pasal 35 ayat (1) bahwa Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta Bersama. Begitu juga dengan perjanjian perkawinan yang harus dilakukan sebelum perkawinan dilangsungkan dan atau dapat dibuat dalam bentuk akta otentik dimuka notaris, oleh sebab tidak ada perjanjian perkawinan yang dibuat sebelum perkawinan dilakukan maka semua harta suami dan isteri tersebut maka terjadinya perbauran perjanjian perkawinan ini telah ditentukan dalam peraturan perundang–undangan sepanjang tidak menyalahi tata susila dan ketentraman umum yang berlaku dalam masyarakat. Pelaksanaan pembagian harta bersama pasca adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No.69/PUU-XIII/2015 selama masa perkawinan dan setelah perceraian, dimana sebelum atau sedang berlangsungnya perkawinan, boleh juga dibuat pasca perkawinan dilakukan atau selama dalam hubungan perkawinan diperbolehkan membuat perjanjian perkawinan. Sehinngga Ketika dikemudian hari terjadi peristiwa hukum berupa perceraian maka terjadi pemisahan harta Bersama sebagaimana yeng telah disepakati sebelumnya. Tentunya dengan kesepakatan antara kedua pihak (suami istri), namun perjanjian tersebut tidak boleh merugikan pihak lain (pihak ketiga) yang memiliki kepentingan atas kesepakatan tersebut.

Daftar Pustaka

Anshori, Abdul Ghofur. Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Islam Di Indonesia. Yogakarta: Citra Media, 2006.

Djuniarti, Evi. “Hukum Harta Bersama Ditinjau Dari Perspektif Undang-Undang Perkawinan Dan KUH Perdata.” Jurnal Penelitian Hukum De Jure 17, no. 4 (2017).

Erwinsyahbana, Tengku. “Sistem Hukum Perkawinan Pada Negara Hukum Berdasarkan Pancasil.” Jurnal Ilmu Hukum 3, no. 1 (2012).

Fuan, Buchari. “Kedudukan Anak Akibat Pembatalan Perkawinan.” Jurnal Ilmu Hukum 3, no. 1 (2014): 14.

Hadikusumah, Hilman. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan: Hukum Adat. Bandung: Mandar Maju, 2003.

Konoras, Isyana K. “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Diluar Nikah Di Indonesia.” Jurnal Hukum Unsrat 1, no. 2 (2013): 44–58.

Purwanto, Adi. “Analisis Hukum Atas Pembagian Harta Bersama Dalam Perkawinan Campuran Pada Pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 1400 K/Pdt/2017.” Recital Review 4, no. 1 (2020): 90.

Putra, Muhammad Rendy Rifki. “Kedudukan Hak Atas Tanah Di Indonesia Akibat Perkawinan Campuran.” Repertorium Jurnal Ilmiah Hukum Kenotariatan 11, no. 1 (2022): 34.

Putri, Elfirda Ade. “Keabsahan Perkawinan Berdasarkan Perspektif Hukum Positif Di Indonesia.” Jurnal Krtha Bhayangkara 15, no. 1 (2021): 151–165.

Saleh, K. Wantjik. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1976.

Sumardianto, Bambang. “Akibat Hukum Terhadap Pengajuan Cerai (Khuluk) Oleh Istri Yang Meninggalkan Rumah Tanpa Izin Suami (Nusyuz) Ditinjau Dari

Perspektif Hukum Islam.” E-Jurnal Gloria Yuris 5, no. 3 (2017).

Sumartika, I Wayan, Diah Gayatri Sudibya, and Ni Made Puspasutari Ujianti. “Hukum Perkawinan Berbeda Kasta Dalam Perspektif Hukum Dan Hak Asasi Manusia.” Jurnal Analogi Hukum 1, no. 3 (2019): 396–400.

Udiana, I Made. Rekontruksi Pengaturan Penyelsaian Sengketa Penanaman Modal Asing. Denpasar: Udayana University Press, 2011.

Wahyuni, Sri. “Kontrovcersi Perkawinan Beda Agama Di Indonesia.” Jurnal Hukum Islam 8, no. 1 (2010): 64–78.

Peraturan Perundang-undangan

Peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 9. “Perkawin.” In Tambahan Lembaran Negara, 1975.

Undang-undang Hukum Perdata. “Hukum Perdata.” In Staatsblad Tahun 1847 Nomor23, 1847.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor16. “Perkawinan.” In Tambahahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6401, 2019.

UUD RI. “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.” In Lembaran Negara Republik Indonesia, 1945.

870