Kewenangan Pemerintah Provinsi Bali dalam Pemberian Perizinan terhadap Usaha Pertambangan Mineral Bukan Logam dan Batuan

I Made Sudharma1, I Wayan Parsa2

1Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

2Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

Info Artikel

Masuk: 15 April 2022

Diterima: 30 November 2022

Terbit: 28 Desember 2022

Keywords:

Authority; Business license; Mining of non-metallic minerals and rocks.


Abstract

The purpose of this study is to explain the authority of the Bali Provincial Government in granting non-metallic and rock mineral mining business permits based on the Bali Provincial Regulation Number 4 of 2017 concerning Non-Metal and Rock Mineral Mining Management and the implications arising from the transfer of authority based on Law Number 3 Year 2020 concerning Mineral and Coal Mining. This paper uses normative legal research. The results of the study indicate that there are changes in the leading sector in granting mining permits from the Governor to the Central Government, including: 1) The authority to determine the Mining Business Permit Area (WIUP) and Mining Business Permit (IUP) which is carried out based on the Business Licensing. 2) Authority in fostering and supervising the implementation of mining activities. This authority is delegated to the Provincial Government based on Presidential Regulation Number 55 of 2022 concerning Delegation of Granting Business Licensing in the Mineral and Coal Mining Sector. The implications of the transfer of authority to grant mining permits include: 1) Changing the procedure for obtaining attributive authority to being a delegation in the business licensing model which can be given in the form of standard certificates and permits. 2) The still involvement of the Central Government causes the concept of delegation to reflect the paradigm of centralization in the mining sector. 3) The abolition of the authority of Regency/Municipal Governments in granting permits, supervision, guidance and resolution of community conflicts has created obstacles in mining activities.

Abstrak

Kata kunci:

Kewenangan; Perizinan berusaha; Pertambangan mineral bukan logam dan batuan.


Corresponding Author:

I Made Sudharma;

E-mail :

[email protected]

DOI:

10.24843/JMHU.2022.v11.i04. p12.


Tujuan penelitian ini menjelaskan mengenai kewenangan Pemerintah Provinsi Bali dalam memberikan perizinan usaha pertambangan mineral bukan logam dan batuan berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2017 tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral Bukan Logam dan Batuan serta implikasi yang ditimbulkan akibat pengalihan kewenangan tersebut berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Tulisan ini mempergunakan penelitian hukum normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya perubahan leading sektor pemberian perizinan pertambangan dari Gubernur ke Pemerintah Pusat antara lain: 1) Kewenangan menetapkan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dilaksanakan berdasarkan Perizinan Berusaha. 2) Kewenangan dalam pembinaan serta pengawasan penyelenggaraan kegiatan pertambangan. Kewenangan tersebut didelegasikan kepada Pemerintah Provinsi berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2022 tentang Pendelegasian Pemberian Perizinan Berusaha di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara. Implikasi pengalihan kewenangan pemberian perizinan pertambangan tersebut antara lain: 1) Merubah tata cara memperoleh kewenangan secara atributif menjadi delegasi dalam model perizinan berusaha yang dapat diberikan dalam bentuk sertifikat standar dan izin. 2) Masih adanya keterlibatan Pemerintah Pusat menyebabkan konsep pendelegasian mencerminkan paradigma sentralisasi pada sektor pertambangan. 3) Dihapuskannya kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pemberian perizinan, pengawasan, pembinaan dan penyelesaian konflik masyarakat menjadikan hambatan dalam aktivitas pertambangan.

  • I.    Pendahuluan

Indonesia mempunyai letak geografis strategis menjadikannya dikaruniai Sumber Daya Alam (SDA) atau disebut sebagai natural resources yang begitu berlimpah diantaranya adalah kekayaan hasil tambang mineral dan batubara (minerba) di beberapa provinsi Indonesia. Salah satunya Provinsi Bali dengan wilayah geografis adanya gunung-gunung aktif memberikan kekayaan SDA berupa mineral bukan logam serta batuan yang dikelola melalui proses pertambangan. Hal tersebut merupakan sektor paling menjanjikan untuk dikelola karena melakukan pengambilan kekayaan tambang minerba, membuka lapangan pekerjaan dan bidang pendukung lainnya, serta hasil yang didapat memiliki nilai pasar yang tinggi.1 Dengan demikian ketersediaan sumber daya alam acapkali dihubungkan dengan pertumbuhan ekonomi suatu negara.2

Kekayaan hasil tambang minerba adalah kekayaan yang tidak bisa terbarukan keberadaanya (unrenewable), namun disisi lain seperti yang sudah dipaparkan diatas

karena merupakan aset yang bernilai komersil bagi pemerintah dan memiliki kontribusi besar bagi kehidupan manusia, menyebabkan tingginya aktivitas pertambangan. Sehingga guna memaksimalkan hasil pengelolaaan sumber daya alam tersebut, pemerintah Indonesia melakukan model pertambangan yang dikonstruksikan dengan membangun sebuah kegiatan.3 Kegiatan tersebut memerlukan pondasi pengelolaan yang kuat, testruktur, efisien, transparan, berkelanjutan serta berwawasan lingkungan yang dilakukan seoptimal mungkin. Oleh sebab itu kekayaan ini berada dibawah penguasaan negara. Dalam hak penguasaan terdapat tanggung jawab dan kewenangan guna melakukan pengurusan dan pengawasan dalam pengelolaan yang diatur dalam sebuah peraturan hukum dengan tujuan untuk menjaga lingkungan dan kesejahteraan rakyat, dimana lebih lanjut penguasaan oleh negara tersebut dijalankan oleh pemerintah.4

Disisi lain Indonesia juga melaksanakan asas desentralisasi yang pada dasarnya memiliki makna bahwa terdapatnya pengaturan otonomi secara luas dalam ruang lingkup pembagian tugas yang meliputi wewenang dan tangung jawab antara pemerintahan pusat dan daerah. 5 Asas desentralisasi lebih menekankan pada keberadaan perangkat daerah yang diberikan otonomi menyangkut penentuan kebijaksanaan, perencanaan, pelaksaanan ataupun yang menyangkut segi pembiayaan, sehingga dengan prakarsa ini timbul “kemandirian dan kebebasan” guna mengatur daerahnya.6 Terdapatnya pemberlakuan otonomi daerah, secara eksplisit dijelaskan di Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya UU 23/2014), dimana intinya memberikan pengaturan adanya pembagian kewenangan kepada Pemerintah Provinsi agar melakukan pengurusan serta pengelolaan secara mandiri, salah satunya mengenai pertambangan pada sektor minerba. Dengan demikian dalam penerapannya di lapangan sering menimbulkan problematika terkait pemegang kewenangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Provinsi. Seperti permasalahan yang dialami sekarang mengenai kewenangan antara Pusat dan Provinsi Bali terkait pemberian perizinan terhadap usaha pertambangan mineral bukan logam dan batuan.

Dasar hukum mengenai Minerba di Indonesia, diatur pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (selanjutnya UU 3/2020) yang mengatur bahwa urusan minerba diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat lewat ruang lingkup yang mencakup mengatur hingga dilakukannya pengawasan dan disetujuinya daerah pertambangan sebagai area hukum pertambangan. Sehingga Pasal 6 Ayat (1) huruf h UU 3/2020 menjadikan kewenangan pemberian izin dan penetapan Wilayah Ijin Usaha Pertambangan (WIUP) beralih semuanya ke Pusat. Berbeda dengan diatur Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2017 tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral Bukan Logam dan Batuan (selanjutnya Perda 4/2017), bahwa kewenangan berada di Pemerintah Provinsi melalui Gubernur, sebagaimana dijelaskan

Pasal 3 Ayat (1) dan Pasal 4 Ayat (3) bahwasannya kewenangaan pemberian izin dan penetapan WIUP merupakan kewenangan Gubernur.

Meskipun kewenangan pemberian perizinan tersebut beralih semuanya ke Pusat seperti pemaparan diatas, akan tetapi Pasal 35 Ayat (4) dalam UU 3/2020 menjelaskan, dimana Pemerintah Pusat bisa melaksanakan pendelegasian ke Pemerintah Provinsi yang diatur lebih lanjut melalui peraturan perundang-undangan. Hal ini menyebabkan adanya keharusan sebuah peraturan pelaksana dalam menjalankan kewenangan pendelegasian yang terdiri dari Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden. Dari uraian tersebut terlihat bahwa adanya norma konfilk (conflicten van normen) dalam kewenangan pemberian perizinan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Provinsi Bali. Ketidakpastian badan pemerintahan yang memiliki kewenangan dalam pemberian perizinan, bisa mengakibatkan dalam pelaksanaan tindakan yang memerlukan izin menjadi terkendala. Oleh sebab penyerahan kewenangan menitikberatkan pada keseimbangan antara dua orientasi yang benar-benar harus diperhatikan karena meliputi keefisiensian pemerintah dan demokratisasi politik, dimana akhirnya yang diinginkan memberikan suatu pengukuran apakah masyarakat mendapatkan pelayanan yang berkualitas atau tidak.7

Adanya konflik norma pada peraturan tersebut akibat tumpang tindihnya kewenangan. Maka dari itu rumusan masalah dari artikel ini yaitu:

  • 1.    Kewenangan Pemerintah Provinsi Bali dalam Pemberian Perizinan terhadap Usaha Pertambangan Mineral Bukan Logam dan Batuan?

  • 2.    Implikasi Pengalihan Kewenangan dalam Pemberian Perizinan Usaha Pertambangan Mineral Bukan Logam dan Batuan Kepada Pemerintah Pusat terhadap Pemerintah Provinsi Bali?

Tujuan dari riset ini yaitu untuk menjelaskan terkait kewenangan Pemerintah Provinsi Bali dalam memberikan perizinan terhadap usaha pertambangan mineral bukan logam dan batuan berdasarkan Perda 4/2017 dengan implikasi yang ditimbulkan akibat pengalihan kewenangan dalam pemberian perizinan tersebut ke pusat berdasarkan UU 3/2020 mengenai minerba. Dari penelusuran yang telah penulis lakukan, penulisan artikel ini dengan rumusan masalah yang diangkat merupakan studi baru dan belum ada yang mengkaji sebelumnya. Sehingga artikel ini memiliki unsur pembaharuan dan diharapkan mampu bermanfaat untuk perkembangan ilmu hukum pada spesifik hukum pemerintahan Indonesia. Meski tulisan ini sudah memiliki pembaharuan dan tidak memuat unsur plagiarisme didalamnya, namun sebagai unsur pembanding maka berikut akan diuraikan studi terdahulu yang membahas permasalahan sebagai berikut.

Jurnal dengan penulis Diyan Isnaeni pada tahun 2018 yang merupakan dosen pada FH Univ Islam Malang dengan judul “Implikasi Yuridis Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pemberian Izin Usaha Pertambangan Menurut UU 23/2014”. 8 Jurnal ini

mengangkat permasalahan terbitnya UU 23/2014 memberikan implikasi beralihnya pemberian izin pertambangan dari Pemerintah Kabupaten/Kota ke Pemerintah Provinsi. Sehingga merubah paradigma sektor minerba menjadi desentralisasi ditingkat Provinsi dan menyebabkan disharmonisasi horizontal pada UU 4/2009 mengenai minerba. Pada tahun 2021 Jurnal dengan penulis Dhiana Puspitawati, Teddy Minahasa Putra, dan Rangga Vandy Wardana dengan judul “Reformulasi Pengaturan Penambangan Bawah Laut di Wilayah Perairan Indonesia”.9 Jurnal ini mengangkat permasalahan terkait reformulasi pengaturan penambangan bawah laut di wilayah perairan Indonesia yang perlu dijalankan untuk memperoleh pengaturan pengelompokan (klasterisasi) sumber daya mineral yang dimiliki.

Sedangkan pada karya tulis kali ini memfokuskan pada pengkajian mengenai implikasi yang ditimbulkan akibat pengalihan kewenangan dalam pemberian perizinan mineral bukan logam dan batuan yang dimiliki Pemerintah Provinsi Bali berdasarkan Perda 4/2017 ke Pemerintah Pusat, akibat perubahan UU 4/2009 menjadi UU 3/2020 mengenai minerba yang menyebabkan adanya disharmonisasi vertikal. Sehingga juga mengkaji rekonstruksi pengaturan kewenangan pemberian perizinan pertambangan sesuai konsep pembangunan daerah berkelanjutan. Maka dari itu dipastikan bahwa tulisan ini tidak memiliki unsur plagiat dan mempunyai unsur pembaharuan yang diharapkan mampu bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum.

  • 2.    Metode Penelitian

Tulisan ini mempergunakan penelitian hukum normatif. Topik menjadi fokus kajian dan bahasan adalah terdapatnya konflik norma (conflicten van normen) antara suatu peraturan perundang-undangan. Penulisan ini menggunakan statue approach dan conceptual approach. Lebih lanjut, teknik penelusuran bahan hukum sebagai pedoman bagi penulis dalam jurnal ini adalah mengkaji adanya disharmonisasi vertikal antara peraturan terkait kewenangan Pemerintah Pusat melalui UU 3/2020 dengan kewenangan Pemerintah Provinsi Bali melalui Perda 4/2017 dalam pemberian perizinan pertambangan. Teknik yang digunakan dalam jurnal ini yaitu deskripsi serta kualitatif.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1.    Kewenangan Pemerintah Provinsi Bali dalam Pemberian Perizinan terhadap Usaha Pertambangan Mineral Bukan Logam dan Batuan

Setiap tindakan pemerintah wajib berdasarkan kewenangan yang sah, dimana di dalamnya mengandung unsur pertanggungjawaban dan asas legalitas. Muatan dari keabsahan tindakan pemerintah terdiri dari kewenangan, prosedur dan substansi. Ketiga aspek ini harus berdasarkan peraturan hukum, karena pada peraturan hukum sudah dijelaskan muatan pemberian kewenangan kepada organ atau badan pemerintahan, termasuk mengenai tumpuan prosedur agar tercapainya suatu tujuan dan menyangkut tentang aspek substansialnya.10

Kewenangan merupakan unsur terpenting dalam kaitannya dengan problematika yang ada di pemerintahan, karena berdasarkan kewenangan badan atau pejabat pemerintah bisa menjalankan perbuatan hukum di bidang publik (publiekrechtshandeling). 11 Salah satunya adalah perbuatan dalam suatu tindakan pemberian izin pertambangan yang merupakan perbuatan hukum administrasi negara bersegi satu. Dimana kewenangan tersebut berada pada pemerintah untuk pemegang izin yang timbul karena keputusan pemerintah memiliki daya laku seketika dan bersifat sepihak yang digunakan sebagai hak penyelenggaraan dalam menjalankan aktivitas usaha.

Kewenangan penyelenggaraan urusan pemerintah di bidang pertambangan mengalami perubahan dari setiap masa pemerintahan yang cukup dinamis, hal ini terlihat dari penyelenggaraan yang sentralistik, kemudian menjadi desentralistik, dan kini kembali sentralistik. Perubahan ini terjadi akibat proses politik hukum yang dinamis terkait pengaturan pembagian urusan pemerintah pada sektor pertambangan yang mencangkup kewenangan perizinan. Kondisi ini menimbulkan disharmonisasi peraturan terkait kewenangan perizinan pertambangan minerba akibat diatur dalam dua model undang-undang yang berbeda.12 Hal tersebut antara UU 23/2014 dengan UU 3/2020.

UU 23/2014, pasal 14 Ayat (1) memberikan pengaturan adanya pembagian kewenangan kepada Pemerintah Provinsi agar melakukan pengurusan serta pengelolaan secara mandiri, salah satunya mengenai pertambangan pada sektor minerba. Kemudian Pasal 15 Ayat (1) mengatur terbaginya urusan konkuren antara Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota yang lebih lanjut diatur pada bagian lampiran, dimana pada poin cc dari lampiran tersebut mengatur bahwa kewenangan dalam pemberian perizinan terhadap usaha pertambangan mineral bukan logam dan batuan menjadi tanggung jawab Pemerintah Provinsi. Oleh sebab itu terlihat bahwa Pemerintah Provinsi memiliki kewenangan yang diperoleh secara atributif dalam hal ini. Sehingga Pemerintah Provinsi Bali menerbitkan Perda 4/2017. Kewenangan Pemerintah Provinsi Bali apabila dikaji dan dianalisis dengan Teori Kewenangan, maka terdapat adanya konflik norma (conflicten van normen) akibat perbedaan kewenangan dalam leading sektor mengenai pemberian izin, akibat belum di revisinya Perda 4/2017 yang membuat adanya disharmonisasi secara vertikal pada peraturan hukum tersebut yang dapat diuraikan sebagai berikut:

  • 1.    Kewenangan menetapkan WIUP dan pemberian izin pertambangan

Pada Perda 4/2017, Pasal 3 Ayat (1) dan Pasal 4 Ayat (3) mengatur bahwa kewenangan dalam menetapkan WIUP dan memberikan izin pertambangan berada ditangan Gubernur. Sedangkan berbeda dengan yang diatur pada UU 3/2020, dalam Pasal 6 Ayat (1) huruf h dan Pasal 35 Ayat (1) menjelaskan kewenangan menetapkan WIUP dan memberikan izin dalam bentuk perizinan berusaha berada ditangan Pemerintah Pusat. Dimana perizinan berusaha ini dilaksanakan dengan memberikan Nomor Induk Berusaha (NIB), Sertifikat Standar, dan/atau Izin.

Keberadaan Perizinan Berusaha ini memunculkan konsep baru dalam pemberian perizinan yang belum diakomodasi oleh Perda 4/2017, oleh karena konsideran mengingat dari Perda tersebut masih mengacu pada UU 4/2009. Perizinan berusaha berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (selanjutnya PP 5/2021) mengatur pelaksanaan perizinan berusaha dilakukan dengan berbasis resiko yang diterapkan berdasarkan 3 tingkatan resiko yaitu resiko rendah (memiliki NIB), menengah (memiliki NIB dan Sertipikat Standar) dan tinggi (memiliki NIB dan Izin).

Disisi lain pada UU 3/2020, dalam (Pasal 173 b) mengatur bahwa pengaturan pembagian urusan konkuren terkait sumber kekayaan mineral pada UU 23/2014 dicabut dan tidak berlaku lagi. Meskipun kewenangan pemberian perizinan beralih ke Pemerintah Pusat seperti pemaparan diatas, akan tetapi Pasal 35 Ayat (4) dalam UU 3/2020 menjelaskan, dimana Pemerintah Pusat bisa melaksanakan pendelegasian terkait pemberian perizinan tersebut pada Pemerintah Provinsi sesuai dengan peraturan hukum. Sehingga memperlihatkan bahwasannya Pemerintah Provinsi sekarang memiliki kewenangan yang diperoleh secara delegasi, yang tentunya secara lanjut akan memerlukan peraturan pelaksana. Kondisi ini menjadikan Pemerintah Provinsi sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat akibat adanya delegasi atau penyerahan kewenangan mengenai perizinan maupun dari segala aspek terkait pengelolaan, pengawasan, pembinaan dan penegakan hukum yang telah diatur dalam UU Minerba. 13 Kondisi ini mengakibatkan perubahan paradigma dalam penerbitan izin pertambangan yang dulu dilandasi prinsip dari semangat dan jiwa otonomi daerah melalui asas desentralisasi, berubah menjadi sentralisasi.14

Peraturan pelaksana yang dimaksud adalah sebuah Peraturan Pemerintah, dimana yang telah terbit adalah Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (selanjutnya PP 96/2021), dimana pada pasal 6 ayat (5) mengatur pendelegasian perizinan berusaha ke Pemeritah Provinsi hanya diberikan melalui sertifikat standar dan izin yang berlandaskan prinsip efektivitas, efisiensi, akuntabilitas dan eskternalitas. Sehingga dari sini dapat dicermati bahwasannya pendelegasian tidak terjadi pada pelaksanaan pemberian NIB. Kemudian Pasal 8 menjelaskan bahwa pengaturan mengenai pendelegasian tersebut kembali diatur lebih lanjut melalui sebuah Peraturan Presiden.

Peraturan Presiden tersebut adalah Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2022 tentang Pendelegasian Pemberian Perizinan Berusaha di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara (selanjutnya Perpres 55/2022) yang mengatur bahwa pendelegasian ke Pemerintah Provinsi dilakukan untuk mengwujudkan pelaksanaan tata kelola yang baik dan efektif. Sehingga pendelegasian tidak hanya terjadi pada pemberian sertifikat standar dan izin, melainkan juga pada pembinaan dan pengawasan terkait penyelengaraan perizinan, pemberian dan penetapan WIUP mineral bukan logam, mineral bukan logam jenis tertentu, dan batuan yang diberikan dengan ketentuan berada dalam 1 daerah provinsi atau wilayah laut sampai dengan 12 mil laut,

penetapan harga patokan pada mineral bukan logam, mineral bukan logam jenis tertentu, dan batuan serta pemberian rekomendasi atau persetujuan yang berkaitan dengan kewenangan yang mendapat delegasi. (Pasal 2 dan 3).

  • 2.    Kewenangan dalam pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan

Pada Perda 4/2017, dalam Pasal 2 huruf (i) jo Pasal 11 Ayat (2) mengatur bahwa kewenangan yang dimiliki Pemerintah Provinsi dalam pengeloaan pertambangan terdiri dari tindakan pembinaan dan pengawasan izin serta tindakan reklamasi dan pascatambang. Sedangkan UU 3/2020, dalam Pasal 6 Ayat (1) huruf (l) dan (q) juga menjelaskan mengenai tindakan yang dapat dilakukan Pemerintah Pusat yaitu pada pembinaan dan pengawasan baik itu terhadap pemegang perizinan berusaha maupun tindakan reklamasi dan pascatambang, yang penting adalah dalam UU ini secara substansi memberikan kepastian hukum mengenai perlindungan lingkungan yang sebelumnya belum diatur dengan disisipkannya pasal baru yaitu Pasal 123 A yang mengatur secara tegas bahwa pemegang Izin Usaha Pertambagan (IUP) atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Kegiatan Operasi Produksi melakukan reklamasi dan pascatambang hingga mencapai tingkat keberhasilan 100%.

Seperti yang sudah dipaparkan diatas bahwa dalam Perpres 55/2022, dalam Pasal 2 mengatur terkait pembinaan dan pengawasan yang juga mengalami pendelegasian ke provinsi, dimana pembinaan meliputi memberikan Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK), memberikan bimbingan yang mencangkup teknis, konsultasi, mediasi, dan/atau fasilitasi serta pengembangan kompetensi tenaga kerja pertambangan. Selanjutnya terkait pengawasan meliputi perencanaan, pelaksanaan pengawasan dan monitoring dan evaluasi. Terkait pengawasan ini Gubernur memberikan penugasan kepada inspektur tambang dalam hal pengawasan atas kaidah teknik pertambangan yang baik sedangkan penugasan kepada pejabat pengawas pertambangan dalam hal pengawasan atas tata kelola pengusahaan pertambangan. Namun perlu diingat bahwa pendelegasian pengawasan dalam penyelenggaraan perizinan berusaha tidak menyangkut pada kewenangan pengelolaan anggaran, sarana prasarana dan operasional yang dilakukan oleh inspektur tambang dan pejabat pengawas Pertambangan.

  • 3.    Jenis-jenis Izin pertambangan

Pada Perda 4/2017, dalam Pasal 4 Ayat (6) dan Pasal 20 mengatur bahwa izin pertambangan hanya meliputi Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR), Izin Usaha Jasa Pertambangan (IUJP). Sedangakan pada UU 3/2020, Pasal 35 Ayat (3) terdapat adanya penambahan jenis izin yaitu: a. IUP; b. IUPK; c. IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian; d. IPR; e. SIPB; f. izin penugasan; g. Izin Pengangkutan dan Penjualan; h. IUJP; dan i. IUP untuk Penjualan. Terlihat dalam penambangan batuan memunculkan izin baru yaitu SIPB (Surat Izin Penambangan Batuan). SIPB ini diperuntukan terhadap pertambangan batuan dengan jenis tertentu maksudnya batuan yang dipakai dalam keperluan pengkontruksian sedangkan untuk keperluan tertentu maksudnya keperluan dalam mendukung proyek pembangunan yang dibiayai Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah. (Pasal 86A Ayat (1).

Semua Perizinan tersebut dikeluarkan oleh Badan Koordinasi Pananaman Modal (BKPM). Berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 19

Tahun 2020 Perubahan Atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 25 Tahun 2015 tentang Pendelegasian Wewenang Pemberian Perizinan Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara Dalam Rangka Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (selanjutnya Permen ESDM 19/2020). Dimana khusus terkait pemberian Izin Pengangkutan dan Penjualan, IUJP, IUP Penjualan, SIPB dan IPR Kepala BKPM bisa memberikan kewenangan pemberian perizinan kepada Pejabat Pemerintahan 1 tingkat di bawahnya di lingkungan BKPM (Pasal 2 Ayat (3) Permen ESDM 19/2020).

Namun akibat keluarnya Perpres 55/2022, dalam Pasal 2 Ayat (3) membuat pemberian perizinan pertambangan sebagian mendapat pendelegasian dari pusat ke provinsi, yaitu mengenai pemberian IUP dalam rangka penanaman modal dalam negeri, Izin Pengangkutan dan Penjualan, IUP Penjualan, dimana ketiga izin ini diberikan untuk golongan mineral bukan logam, mineral bukan logam jenis tertentu, dan batuan. Kemudian pendelegasian juga dilakukan pada pemberian SIPB, IPR, dan IUJP untuk 1 Daerah Provinsi. Kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah (selanjutnya PP 6/2021), dalam Pasal 4 mengatur bahwa pelaksanaan perizinan berusaha yang merupakan kewenangan pusat yang kemudian diberikan ke Gubernur berlandaskan asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan, dimana selanjutnya Gubernur mendelegasikan kembali kewenangan tersebut ke Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi (DPMPTSP Provinsi).

  • 4.    Jenis-jenis IUP

Pada Perda 4/2017, dalam Pasal 5 bahwa jenis IUP terdiri dari 1) IUP Eksplorasi Batuan, 2) IUP Operasi Produksi Batuan, 3) IUP Operasi Produksi Khusus dan 4). IUP Operasi Produksi untuk Penjualan. Sedangkan pada UU 3/2020 adanya pemangkasan izin, dimana kepemilikian IUP terdiri dari kegiatan eksplorasi dan operasi produksi, seperti yang diatur Pasal 36 Ayat (1) yang intinya menjelaskan bahwa IUP mempunyai dua tahap kegiatan yaitu 1) Kegiatan Eksplorasi mencangkup penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan serta 2) Kegiatan Operasi Produksi mencangkup konstruksi, penambangan, pengolahan dan/atau pemurnian atau pengembangan dan/atau pemanfaatan, serta pengangkutan dan penjualan.

  • 5.    Jangka waktu IUP dan IPR

Pada Perda 4/2017, dalam Pasal 4 Ayat (7) mengatur bahwa IUP dan IPR memiliki jangka waktu 5 tahun dan kemudian bisa melakukan perpanjangan kembali. Lebih lanjut Peraturan Gubernur Bali Nomor 37 Tahun 2018 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2017 tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral Bukan Logam dan Batuan (selanjutnya Pergub Bali 37/2018), dalam Pasal 9 mengatur bahwa jangka waktu IUP Operasi Produksi batuan paling lama 5 tahun dan dapat diperpanjang 2 kali masing- masing paling lama 3 tahun. Sedangkan pada UU 3/2020 Menjelaskan secara lebih rinci mengenai jangka waktu kegiatan Eksplorasi, waktu kegiatan Operasi Produksi, dan IPR sebagai berikut:

  • a.    Kegiatan Eksplorasi pada mineral bukan logam dan batuan memiliki jangka waktu 3 tahun (Pasal 42).

  • b.    Kegiatan Operasi Produksi pada mineral bukan logam memiliki jangka waktu 10 tahun dan bisa melakukan perpanjangan masing-masing 5 tahun sebanyak 2 kali setelah terpenuhinya persyaratan, sedangakan Operasi Produksi pada

batuan memiliki jangka waktu 5 tahun dan bisa melakukan perpanjangan masing-masing 5 tahun sebanyak 2 kali setelah terpenuhinya persyaratan. (Pasal 47)

  • c.    IPR memilki jangka waktu 10 tahun dan bisa melakukan perpanjangan masing-masing 5 tahun sebanyak 2 kali. (Pasal 68 Ayat (2)).

  • 6.    Penetapan sanksi pidana

Kewenangan yang diberikan kepada pemerintah dalam menetapkan suatu peraturan hukum tertentu akan diikuti juga dengan pemberian kewenangan dalam melakukan penegakan terhadap peraturan hukum tersebut. Penegakan yang dijalankan melalui peraturan hukum pidana atau pemidanaan tidak boleh hanya berfokus sebagai bentuk pembalasan, penderitaan atau siksaan, melainkan harus memperhatikan hakikat dari hukum pidana secara keseluruhan yang mengandung prinsip dan tujuan pemidanan antara lain: 1) Preventif, 2) Corektik, 3) Educatif dan 4) Represif sehingga hukum pidana bersifat profesional. 15 Penerapan sanksi merupakan langkah represif atau upaya penanggulangan kejahatan untuk memaksakan kepatuhan dengan menerapkan penegakan hukum (law enforcement).

Pada Perda 4/2017, Pasal 31 Ayat (1) menjabarkan setiap orang yang tidak mempunyai izin pertambangan dikenakan pidana kurungan paling lama 6 bulan dan denda paling banyak Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah). Sedangkan pada UU 3/2020, dalam Pasal 158 menjelasakan setiap orang yang tidak mempunyai izin pertambangan dikenakan pidana penjara 5 tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). Sehingga kententuan pidana yang dimuat secara substansi, dapat terlihat hakikat dari prinsip dan tujuan pemidanan peraturan tersebut. Fokus Pasal 158 terdapat perubahan besaran pemidanaan yang diatur untuk mengwujudkan perlindungan hukum, keadilan, manfaat serta efek jera.16 Oleh sebab penegakan sanksi pidana yang lebih berat ini menjadikannya atensi khusus setiap pemilik izin dan mencerminkan keseriusan dari tanggung jawab pemerintah dalam penegakan hukum secara represif. Sehingga keberadaan perizinan adalah satu diantara esensi sebagai upaya legal prevention yaitu perangkat penegakan hukum dalam pengawasan aktivitas pengusahaan pertambangan.

Berdasarkan uraian diatas terlihat adanya perbedaan pengaturan yang membuat timbulnya disharmoniasi vertikal terhadap peraturan hukum terkait pemberian perizinan pertambangan. Dengan demikian dalam memecahkan permasalahan tersebut, akibat adanya konflik norma seperti sudah diuraikan dalam pembahasan sebelumnya, dapat dikaji dan di analisis dengan Teori "Stuffenbau Des Rechts Ordnung" yang dicetuskan H. Nawiasky. Teori ini memberikan sebuah argumentasi, konsesus

dan arahan bahwa peraturan yang lebih tinggi menyampingkan peraturan yang lebih rendah (Lex Superior derogate Legi Inferiori).17

Maka yang digunakan sebagai acuan terkait kewenangan pemerintah sebagai leading sector dalam pemberian izin pertambangan adalah berada pada Pemerintah Pusat berdasarkan UU 3/2020. Karena secara hierarki peraturan hukum tersebut memiliki hierarki lebih tinggi dibandingkan dengan Perda 4/2017, sehingga kedepannya Perda tersebut harus segera dilakukan perubahan guna mengwujudkan kepastian hukum dalam implementasinya. Sehingga keharmonisasian peraturan hukum yang berada pada ranah sektoral dengan otonomi daerah adalah dua unsur penting dan vital dalam pembentukan atau menciptakan peraturan hukum yang sesuai dan implementatif dengan baik.18

  • 3.2.    Implikasi Pengalihan Kewenangan dalam Pemberian Perizinan Usaha Pertambangan Mineral Bukan Logam dan Batuan Kepada Pemerintah Pusat terhadap Pemerintah Provinsi Bali

Dihilangkannya struktur pembagian urusan pemerintahan konkuren, menyebabkan pergeseran paradigma dalam leading sector di bidang pertambangan melalui Pemerintah Pusat sebagai pemegang kendali dengan seluruh tanggung jawab dan kewenangannya, termasuk pada kewenangan dalam hal perizinan pertambangan. Kondisi ini menjadikan implementasi sistem resentralisasi terhadap kewenangan dalam pengelolaan dan pengaturan usaha pertambangan.19 Perubahan ini berdampak luas karena membawa implikasi terkait kewenangan Pemerintah Provinsi Bali dalam mengatur pemberian perizinan pertambangan.

Pergeseran paradigma ini muncul dengan cita-cita pemerintah dalam melaksanakan perbaikan pada sistem perizinan pertambangan. Sulitnya menuntaskan persoalan bidang perizinan dikarenakan terdapatnya dua persoalan dasar yang mengakar dari dulu hingga sekarang yaitu pertama masih timbulnya keegoan sektoral yang kuat karena bertahan agar tidak mengikuti alur pemerintah untuk memangkas birokrasi adimistratif yang berbebelit-belit dengan melakukan konsep penyederhanaan perizinan, kemudian permasalahan kedua adalah masih diwarisinya perspektif atas mekanisme perizinan yang bertahan pada sifat distortif, menyebabkan perizinan dalam hukum administrasi sebagai instrumen hukum untuk mengemudikan kegiatan tidak lagi dipandang seperti itu melainkan sebagai salah satu sumber pendapatan.20

Berdasarkan hal tersebut implikasi pengalihan kewenangan dalam pemberian perizinan pertambangan kepada Pemerintah Pusat terhadap Pemerintah Provinsi Bali adalah Pertama, implikasi pengalihan kewenangan ini memberikan perubahan tata cara memperoleh kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah Provinsi Bali terkait pemberian perizinan pertambangan. Konsekuensi tersebut terjadi karena Indonesia

menganut bentuk negara kesatuan, dimana kewenangan menjadi otoritas ditangan pusat. Kendatipun Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya UUD NRI 1945) sudah menjabarkan dalam menjalankan otonomi daerah, sebagaimana pada pasal 18 ayat (2), yang intinya dengan adanya otonomi beserta tugas pembantuan memberikan Provinsi, Kabupaten, dan Kota kemandirian secara luas dalam hal menjalankan tugas dalam ruang lingkup wilayahnya. Selanjutnya dalam ayat 5 intinya memberikan batasan mengenai konteks luasannya urusan Pemerintah Daerah yang telah diatur dalam UU.

Muatan tersebut memperlihatkan bahwasannya kewenangan yang dipunyai oleh Pemerintah Daerah melalui dasar otonomi secara luas dapat diberikan, akan tetapi ketika itu mengalami perubahan karena adanya keterkaitan dengan kewenangan Pemerintah Pusat, maka kewenangan tersebut dapat ditarik kembali selaras dengan arah garis kebijakan yang telah diatur pemerintah melalui UU. Pada kondisi ini Pemerintah Daerah wajib patuh dalam prinsip negara kesatuan, begitu juga dalam hierarki peraturan hukum tidak diperbolehkan terjadinya pertentangan antara produk hukum pemda dengan produk hukum pusat.

Sejatinya jika ditarik benang merah yang di dapat dari pembahasan sebelumnya, bahwa sebenarnya tidak ada penghilangan kewenangan Pemerintah Provinsi Bali dalam pemberian perizinan pertambangan, melainkan hanya terdapat perubahan tata cara memperoleh kewenangan yang semula diperoleh secara atributif menjadi delegasi dalam model perizinan berusaha yang dapat diberikan dalam bentuk Sertifikat Standar dan Izin, tentunnya wajib berlandaskan prinsip efektivitas, efisiensi, akuntabilitas dan eskternalitas dengan ketentuan lebih lanjut diatur melalui PP dan Perpres. Penghilangan terjadi pada kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang tetap dipertahankan, sama seperti apa yang telah diwariskan pada UU 23/2014, dimana penegasan bahwa tidak adanya kewenangan tersebut juga dijelaskan pada Perpres 55/2022, dalam Pasal 2 Ayat (11) yang menegaskan bahwa dalam pendelegasian kewenangan pemberian perizinan serta pengawasan dan pembinaan tidak dapat lagi disubdelegasikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Oleh sebab itu dalam implementasinya Perpres ini perlu segera dilakukan kordinasi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi, sehingga pengalihan kewenangan ini bisa cepat dilakukan dan terlaksana secara lancar sesuai arah serta hakikat Perpres ini yaitu untuk menciptakan tata kelola yang baik dan efektif.

Disamping itu jika melihat secara mendalam mengenai kewenangan kepala daerah pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (selanjutnya UU 11/2020), dimana dalam Pasal 350 mengatur bahwa kepala daerah berkewajiban melaksanakan pemberian pelayanan perizinan berusaha sesuai perundang-undangan dan NSPK yang telah ditentukan pusat. Disamping itu kepala daerah bisa melakukan pengembangan sistem pendukung penerapan sistem Perizinan Berusaha secara elektronik. Bahwa melalui sistem elektronik ini merupakan hal yang penting dalam memotong highcost economy. Berikut juga, dalam Pasal 177 mengatur bahwa Pemerintah Pusat dapat melimpahkan kewenangannya ke Pemerintah Daerah dalam menjalankan pengawasan dan pembinaan terhadap pelaksanaan perizinan berusaha dan pemberian sanksi administratif kepada pelanggaran yang dilakukan oleh pemegang perizinan tersebut.

Kembali lagi bahwasannya kepala daerah yang tidak menjalankan pemberian pelayanan perizinan, akan dikenakan sanksi administratif dalam bentuk teguran

tertulis oleh menteri atau kepala lembaga yang melakukan pengawasan dan pembinaan perizinan. Kemudian ketika 2 kali teguran secara berturut-turut tidak diindahkan maka menteri atau lembaga yang melaksanakan pengawasan serta pembinaan perizinan melakukan pengambil alihan pemberian perizinan tersebut dari kepala daerah. Oleh karena itu kita lihat bahwa keseluruhan peraturan hukum yang telah dijabarkan diatas, pada intinya mengatur kewenangan pemberin izin ada di daerah dengan tetap kendali di pusat, dengan dibuatkan ruang untuk memangkas administrasi perizinan untuk memberikan kemudahan, kepastian, efesiensi dan kecepatan sesuai dengan NSPK yang telah ditentukan oleh pusat, kemudian izin dilakukan berbasis resiko yang digabungkan melalui sistem Online Single Submission (OSS) yang terintergrasi secara online. Selain meningkatkan ekosistem berinvestasi dan membuka lapangan pekerjaan, pemerintah juga ingin memperkecil ruang terjadinya pertumbuhan pengusaha dan pejabat pemerintah guna mencegah timbulnya potensi korupsi.

Namun yang perlu menjadi perhatian adalah walaupun kendali ada di pusat, tetapi dalam aktivitas mencangkup investasi sektor pertambangan wajib mempertimbangkan aspek kepentingan daerah dan ruang kehidupan masyarakat. Karena pada prinsipnya dalam pengelolaan SDA adalah menjaga kondisi keseimbangan antara ekologi, sosial dan ekonomi secara berkelanjutan.21 Hal ini juga menjadi tujuan dari UU 3/2020 yang melakukan pengedepanan terhadap perlindungan wilayah lingkungan akibat dampak yang dihasilkan dari aktivitas pengusahaan pertambangan yang mencakup kegiatan pereklamasian serta pasca tambang. Secara implementasi dilapangan tujuan ini harus dikawal dan diawasi agar sesuai dengan apa yang ditujukan.

Maka dari itu pemerintah terus melakukan pengawasan. Hal ini terlihat dari pencabutan izin sebanyak 2.078 terhadap perusahan tambang minerba yang tidak mematuhi peraturan seperti tidak dilakukannya penyampaian rencana kerja, izin yang telah diberikan namun tidak dilakukan yang membuat terhambatnya pemanfaatan SDA guna peningkatan kesejahteraan rakyat. 22 Karena dalam politik hukum pertambangan Indonesia wajib mempertahankan idelologi Pancasila dengan penerapan cita negara dalam mengwujudkan perkonomian nasional yang kuat dan kesejahteran rakyat.23

Kedua, adanya pendelegasian pada UU 3/2020 minimbulkan perdebatan pemaknaan dan penerapan di bidang pertambangan. Kondisi ini terjadi karena konsep baru pendelegasian pada UU 3/2020 jika dikaji dalam asas otonomi daerah menimbulkan ketidaksamaan pemaknaan delegasi dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (selanjutnya UU 30/2014) ataupun konsep Desentralisasi ataupun Dekonsentrasi dalam UU 23/2014.24 Pendapat tersebut juga datang dari Bisman Bhaktiar yang merupakan ahli pertambangan sekaligus sebagai Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP) yang

menjabarkan bahwa jika dicermati pengertian delegasi sebagai desentralisasi yang mengacu pada UU 23/2014 maka dapat diartikan bahwa tanggung jawab dan tanggung gugat termasuk pada tanggung jawab pengelolaan anggaran sepenuhnya ada pada pihak yang menerima delegasi. Sedangkan dekonsentrasi dalam UU 23/2014 juga tidak simetris dengan pengertian delegasi pada UU 30/2014, dimana dekonsentrasi tanggung jawab dan tanggung gugat tetap ada di pihak pemberi, bukan penerima.25

Hal ini terlihat dari Pemerintah Pusat yang tetap melaksanakan pembinaan dan pengawasan kepada Pemerintah Provinsi, kemudian Gubernur memberikan penugasan kepada inspektur tambang dan penjabat pengawas yang hanya ada di Pemerintah Pusat. Begitu juga dengan kewenangan pengelolaan anggaran, sarana prasarana dan operasional yang dilakukan oleh inspektur tambang dan pejabat pengawas pertambangan yang bersumber dari pusat melalui anggaran Kementerian ESDM. Lebih lanjut Pemerintah Provinsi wajib melakukan penyampaian atas laporan pelaksanaan pendelegasian perizinan tersebut kepada Menteri baik itu kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri ESDM. Kontrol dan pelayanan perizinan berusaha dengan sistem elektronik yang dikelola oleh pemerintah pusat, dimana pemerintah terus melakukan ketegasan dalam pengawasan tehadap izin pertambangan. Kondisi ini diperkuat dari pengaturan pembagian urusan konkuren antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Provinsi terkait sumber kekayaan mineral pada UU 23/2014 dicabut dan tidak berlaku lagi (Pasal 173 b UU 3/2020). Dengan demikian menunjukan bahwa konsep pendelegasian saat ini masih cenderung mencerminkan paradigma sentralisasi pada sektor pertambangan minerba. Oleh sebab kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi hanya sebatas menerima delegasi, bukan mengelola secara sepenuhnya.

Ketiga, Penegasan bahwa dalam pendelegasian kewenangan pemberian perizinan serta pengawasan dan pembinaan tidak dapat lagi di subdelegasikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sama artinya menghapus fungsi kewenangan yang ada dalam yurisdiksi wilayah Kabupaten/Kota. Hal ini timbul disebabkan tidak adanya kepercayaan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang di susul kembali oleh rendahnya jaminan kepastian investasi yang masuk. Kondisi ini memberikan implikasi tidak adanya pengawasan aktivitas perizinan secara langsung sebagai garda terdepan yang menimbulkan keterlambatan pengaturan. 26

Dihapusnya Pasal 8 UU 4/2009 yang mengatur adanya instrumen pembangunan daerah berkelanjutan seperti aspek hukum pengawasan usaha pertambangan operasi produksi yang kegiatannya berada di wilayah Kabupaten/Kota, pemberdayaan masyarakat disekitar tambang, pembinaan serta penyelesaian konflik masyarakat. Sedangkan pada UU 3/2020 Pasal 137 Ayat (1) mengatur bahwa Pemerintah Pusat yang melakukan penyelesaian permasalahan hak atas tanah dalam kegiatan pertambangan. Lebih lanjut Pasal yang menuai respon keras dari masyarakat adalah

Pasal 162 yang mengatur setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan yang telah memiliki IUP, IUPK, IPR, atau SIPB dapat dipidana.

Keberadaan Pasal ini telah menjadi instrumen buruk terhadap pembela lingkungan hidup dalam hal ini masyarakat adat atau masyarakat umum yang menolak aktivitas tambang yang merusak lingkungan. Ditambah dengan ruang masyarakat adat yang lemah dari segi politik dibandingkan dengan para investor tambang.27Karena dengan pengaturan tersebut tidak mengikuti teori kriminalitas dan asas-asas hukum pidana secara utuh yang pada akhirnya menimbulkan ketidakadilan sebagai penerapan tata kelola pertambangan yang baik. Akibatnya adanya kriminalisasi kepada masyarakat dan ketika masyarakat mengajukan penolakan mengenai aktivitas pertambangan di daerah, maka harus melapor ke pusat. Permasalahan perizinan pertambangan minerba yang kompleks karena menyangkut lingkungan dan masyarakat di wilayah pertambangan menjadikan perlunya pengawasan dan pengkoordinasian antara Pemerintah Pusat, Provinsi serta Kabupaten/Kota.

Mengedepankan konsep otonomi daerah yang memposisikan Pemerintah Daerah sebagai struktur pemerintahan yang terdekat dengan masyarakat, selanjutnya sebagai mekanisme yang melimpahkan kepada daerah agar dapat tumbuh dan berkembang tentunya disesuaikan dengan potensi daerah tersebut. Maksudnya meniadakan keterlibatan Pemerintah Daerah dibidang urusan minerba sama dengan menutup peluang melakukan pengelolaan SDA kepada daerah secara terintegrasi.28 Selain itu penerbitan perizinan terkait aktivitas pengusahaan pertambangan minerba bertujuan sebagai fasilitas guna menjalankan pengawasan yang merepresentasikan timbulnya ikatan hukum diantara pemerintah dengan subyek hukum. 29 Maka dari itu perlu sedikit dipahami bahwa konsep desentralisasi dan otonomi daerah tidak hanya sebatas pada kewenangan perizinan atau menambah pendapatan ke daerah, namun jauh lebih kompleks menyangkut peran serta masyarakat untuk ikut mengawasi tentunya sebagai pertanggungjawaban publik atas pengelolaan yang dijalankan.

Dilakukan pendekatan konseptual untuk mengkaji kewenangan diantara Pemerintah Pusat dan Daerah dalam bidang perizinan pertambangan minerba, sebagai dasar konstitusional maka ia tidak dapat dilepaskan dari kaitan Pasal 33 ayat (3) dengan Pasal 1 ayat (1), Pasal 18, 18A, 18B UUD NRI 1945 secara utuh. Sehingga kewenangan perizinan mineral bukan logam dan batuan kembali pada konstitusi yang merupakan grundnormnya. Permasalahan akan hal ini apabila dikaji melalui konsep pembangunan daerah berkelanjutan (sustainable development), konsep negara kesejahteraan (welfare state), teori kewenangan, teori keadilan, dan teori perjenjangan norma, diperoleh argumentasi hukum bahwa perlunya rekonstruksi kewenangan perizinan minerba yang terintegrasi sebagai wujud terealisasinya pembangunan daerah berkelanjutan, maka secara substansi hukum perlu diatur kembali mengenai skema perizinan

pertambangan minerba yang terintegrasi diantara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota.30

Dengan demikian pengaturan kewenangan perizinan minerba yang masih dengan paradigma sentralisasi pada saat ini sudah tidak relevan dengan kondisi perkembangan saat ini maupun yang akan datang. Disisi lain adanya arus globalisasi yang mempercepat ke arah demokratisasi politik dan otonomi daerah, hak asasi manusia, perkembangan teknologi dan informasi serta lingkungan hidup. Untuk itu dibutuhkan pengaturan kewenangan izin pertambangan mineral bukan logam dan batuan yang terintegrasi antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dengan dibangunnya pengawasan, koordinasi serta keterpaduan antara sektor yang berbasis masyarakat umum atau adat dengan skema penanganan yang terpusat pada masyarakat (Community based sector) dan pengembangan masyarakat yang ditujukan sebagai akses masyarakat agar terpenuhinya keadaan sosial, lingkungan, dan ekonomi yang lebih baik (Community development).

Tentunya hal ini perlu diberlakukan kembali pada urusan konkuren. Sehingga perizinan yang terintegrasi ditambah dengan kordinasi pengawasan dapat menciptakan ekosistem pertambangan mineral bukan logam dan batuan yang berdasarkan kepastian hukum, kemanfaatan hukum, dan keadilan hukum tanpa meninggalkan prinsip demokrasi dan otonomi daerah dalam mengwujudkan pembangunan daerah berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Dengan tujuan akhir kepada kesejahteraan masyarakat yang sebesar besarnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (3), Pasal 18 ayat (1), (2), (5), Pasal 18 A dan Pasal 18 B UUD NRI 1945.

  • 4.    Kesimpulan

Adanya pengaturan pada UU 3/2020 menyebabkan perubahan leading sector pemberian perizinan terhadap usaha pertambangan mineral bukan logam dan batuan dari Gubernur ke Pemerintah Pusat antara lain pertama kewenangan menetapkan WIUP dan pemberian IUP yang dilaksanakan berdasarkan Perizinan Berusaha. Kedua kewenangan dalam pembinaan serta pengawasan terkait penyelenggaraan kegiatan pertambangan. Kewenangan tersebut di delegasikan kepada Pemerintah Provinsi melalui Perpres 55/2022. Implikasi pengalihan kewenangan tersebut antara lain pertama merubah tata cara memperoleh kewenangan yang semula diperoleh secara atributif menjadi delegasi dalam model perizinan berusaha yang dapat diberikan dalam bentuk sertifikat standar dan izin. Kedua masih adanya keterlibatan pusat menyebabkan konsep pendelegasian saat ini masih cenderung mencerminkan paradigma sentralisasi pada sektor pertambangan minerba. Ketiga kewenangan perizinan yang tidak bisa di subdelegasikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dengan dihapusnya kewenangan dalam pemberdayaan, pembinaan, pengawasan, dan penyelesaian konflik masyarakat menjadikan hambatan dalam aktivitas pertambangan yang secara langsung sebagai garda terdepan. Sehingga

diharapkan adanya rekontruksi pengaturan kewenangan izin pertambangan mineral bukan logam dan batuan yang terintegrasi antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dengan dibangunnya pengawasan, koordinasi serta keterpaduan antara sektor yang berbasis masyarakat umum atau adat dengan skema penanganan yang terpusat pada masyarakat (Community based sector) dan pengembangan masyarakat yang ditujukan sebagai akses masyarakat agar terpenuhinya keadaan sosial, lingkungan, dan ekonomi yang lebih baik (Community development).

Daftar Pustaka

Akbal, Muhammad. “Harmonisasi Kewenangan Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah.” Jurnal Supremasi 11, no. 2 (2016): 99– 107. https://doi.org/10.26858/supremasi.v11i2.2800.

Diantha, I Made Pasek. Metodologi Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifikasi Teori Hukum. Cet ke-3. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2019.

Dordia, Zsazsa. “Sentralisasi Kewenangan Pengelolaan Dan Perizinan Dalam Revisi Undang-Undang Mineral Dan Batu Bara.” Jurnal Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas       Riau       10,       no.        1        (2021):       167–82.

https://doi.org/http://dx.doi.org/10.30652/jih.v10i1.8080.

Elvalina, Dedis. “Kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi Dalam Menerbitkan Izin Pertambangan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.” Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Riau 3, no.                       2                       (2016):                       1–15.

https://www.neliti.com/id/publications/187059/kewenangan-pemerintah-daerah-provinsi-dalam-menerbitkan-izin-pertambangan-berdas.

Fahruddin. Pengelolaan Limbah Pertambangan Secara Biologis. Edited by Zaraswati Dwyana and Eddy Soekendarsih. Celebes Media Perkasa, 2018.

Farisi, Muhammad Salman Al. “Desentralisasi Kewenangan Pada Urusan Pertambangan Mineral Dan Batubara Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020.”    Jurnal Ilmiah Ecosystem    21, no.    1    (2021):    20–31.

https://doi.org/10.35965/eco.v21i1.699.

Hadjon, Philipus M. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada university Press, 2008.

Haris, Oheo K. “Good Governance (Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik) Dalam Pemberian Izin Oleh Pemerintah Daerah Di Bidang Pertambangan.” Jurnal Yuridika 30, no. 1 (2015): 58–83. https://doi.org/10.20473/ydk.v30i1.4879.

HR, Ridwan. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Rajawali Pers, 2016.

HS, Salim. Hukum Pertambangan Di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2012.

Ismoyo, Jarot Digdo. “Politik Hukum Pertambangan Mineral Dan Batubara Berdasarkan UUD 1945 Dalam Mewujudkan Kesejahteraan Sosial.” Universitas Sebelas Maret, 2018.

Isnaeni, Diyan. “Implikasi Yuridis Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pemberian Ijin Usaha Pertambangan Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014.” Jurnal Yurispruden 1, no. 1 (2018): 35–46. https://doi.org/10.33474/yur.v1i1.734.

Luhukay, Roni Sulistyanto, and Rachmasari Kusuma Dewi. “Sentralisasi Kewenangan Perizinan Usaha Oleh Pemerintah Pusat Dalam Rancangan Undang – Undang Mineral Dan Batubara.”   Al-’Adl   13, no. 2   (2020):   268–87.

https://doi.org/10.31332/aladl.v13i2.1861.

Mukti, Hudali. “Rekontruksi Pengaturan Kewenangan Izin Pertambanga Batubara Terintegrasi Dalam Mengwujudkan Pembangunan Daerah Berkelanjutan.” Universitas Udayana, 2022.

Mundzir, Hudriyah. “Implikasi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara Dengan Green Constitution.” Jurnal Kertha Patrika 39, no. 03 (2018): 146–59. https://doi.org/10.24843/kp.2017.v39.i03.p01.

Nasional, Badan Pembinaan Hukum. Laporan Akhir Analisis Dan Evaluasi Hukum Terkait Pengelolaan Pertambangan Mineral Dan Batubara Yang Berkelanjutan. Jakarta: Pohon Cahaya, 2020.

Nurdin, Adamy. “Pengaruh Hubungan Kekuasaan Antara Pusat Dan Daerah Terhadap Kewenangan Perizinan Pertambangan Mineral Dan Batubara.” Jurnal Dharmasisya Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia 1, no. 2 (2021): 553–70. https://scholarhub.ui.ac.id/dharmasisya/vol1/iss2/2/.

PUSHEP. “Pentingnya Pengaturan Pelibatan Daerah Provinsi Dalam Pengelolaan Minerba.” PUSHEP.or.id, 2020. https://pushep.or.id/pushep-pentingnya-pengaturan-pelibatan-daerah-provinsi-dalam-pengelolaan-minerba-menurut-kerangka-pelaksanaan-uu-no-3-tahun-2020/.

Puspitawati, Dhiana, Teddy Minahasa Putra, and Rangga Vandy Wardana. “Reformulasi Pengaturan Penambangan Bawah Laut Di Wilayah Perairan Indonesia.” Jurnal Magister Hukum Udayana 10, no. 4  (2021):  716–39.

https://doi.org/10.24843/JMHU.2021.v10.i04.p05.

Putri, Alvika Fatmawati Dwi, and Mujiono Hafidh Prasetyo. “Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Di Bidang Pertambangan.” Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas      Diponegoro       3,       no.       3       (2021):       312–24.

https://doi.org/10.14710/jphi.v3i3.312-324.

Rahayu, Derita Prapti, and Faisal. “Eksistensi Pertambangan Rakyat Pasca Pemberlakuan Perubahan Undang-Undang Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara.” Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro 3, no. 3  (2021):  337–53.

https://doi.org/10.14710/jphi.v3i3.337-353.

Salinding, Marthen B. “Prinsip Hukum Pertambangan Mineral Dan Batubara Yang Berpihak Kepada Masyarakat Hukum Adat.” Jurnal Konstitusi 16, no. 1 (2019): 148–69. https://doi.org/https://doi.org/10.31078/jk1618.

Sucantra, I Made Bayu, I Nyoman Sujana, and Luh Putu Suryani. “Sanksi Pidana Terhadap Tindak Pidana Pertambangan (Menurut Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 Tentang Minerba).” Jurnal Analogi Hukum 1, no. 3  (2019): 366–71.

https://doi.org/10.22225/ah.1.3.2019.366-371.

Susmiyati, Haris Retno. “Nilai Manfaat Pertambangan Batu Bara Di Kawasan Hutan Dalam Perspektif Hukum Sumber Daya Alam.” Universitas Hasanuddin, 2017.

Tolok, Aprianus Doni. “Presiden Jokowi Cabut Ribuan Izin Perusahaan Tambang, Ini Alasannya!”                          Bisnis.com,                         2022.

https://ekonomi.bisnis.com/read/20220106/44/1486072/presiden-jokowi-cabut-ribuan-izin-perusahaan-tambang-ini-alasannya.

Utama, I Made Arya. Hukum Lingkungan: Sistem Hukum Perizinan Berwawasan Lingkungan Untuk Pembangunan Berkelanjutan. Bandung: Pustaka Sutra, 2007.

Wulandari, Rika Putri, and Muhammad Helmi Fahrozi. “Politik Hukum Pengalihan Izin Pertambangan Pada Pemerintah Pusat Terhadap Kewenangan Pemerintah

Daerah.” SALAM: Jurnal Sosial Dan Budaya Syar-I 8, no. 1 (2021): 191–206.

https://doi.org/10.15408/sjsbs.v8i1.19445.

Peraturan Perundang-undangan

Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587).

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6525).

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573).

Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6617).

Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6618).

Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 208, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6721).

Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2022 tentang Pendelegasian Pemberian Perizinan Berusaha di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 91).

Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 19 Tahun 2020 Perubahan Atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 25 Tahun 2015 tentang Pendelegasian Kewenangan Pemberian Perizinan Bidang Pertambangan Minerba Dalam Rangka Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kepada Kepala BKPM.

Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2017 tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral Bukan Logam dan Batuaan.

Peraturan Gubernur Provinsi Bali Nomor 37 Tahun 2018 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2017 tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral Bukan Logam dan Batuan.

900