Tarian Joged Bumbung: Diskursus Konsep Hukum Warisan Budaya Tak Benda

Ni Gusti Ayu Dyah Satyawati1

1Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

Info Artikel

Masuk: 30 Oktober 2022

Diterima: 22 Desember 2022

Terbit: 28 Desember 2022


Keywords:

Intangible cultural heritage;

Balinese Dance; Joged Bumbung; Legal Concept; Law and Culture.


Kata kunci:

Warisan budaya tak benda;

Tarian Bali; Joged Bumbung;

Konsep Hukum; Hukum dan budaya.

Corresponding Author:

Ni Gusti Ayu Dyah Satyawati, E-mail:

[email protected]

DOI:

10.24843/JMHU.2022.v11.i04. p14.


Abstract

Joged bumbung dance performances in Bali often lead to pornographic acts. This is regarded as an infringement of intangible cultural heritage. This article is outlined as a sociolegal study that aims to present an analysis of the joged bumbung phenomenon with reference to the legal concept of intangible cultural heritage, discusses the fulfillment of obligations and the role of the government, and discusses legal efforts to protect it through the imposition of legal sanctions. It suggested that the legal protection of intangible cultural heritage is contained in laws and regulations at the national level, including international legal instruments that have been ratified, and at the local level. The protection can be in the form of registration as well as other forms of protection carried out in accordance with norms, standards, procedures, and criteria in the field of culture which pay attention to aspects of religious values, traditions, values, norms, ethics, and customary law. Legal efforts to protect intangible cultural heritage in the form of the joged bumbung dance can be carried out by imposing customary, administrative, and/or criminal sanctions. However, there is a tendency for preventive efforts and supervision approaches in responding to the practice of joged bumbung.

Abstrak

Pagelaran tarian Joged Bumbung di Bali kerap kali mengarah pada pornoaksi. Hal ini dipandang sebagai suatu pelecehan terhadap warisan budaya tak benda. Artikel ini disusun sebagai suatu penelitian sosiolegal yang bertujuan untukmenyajikan analisis fenomena joged bumbung dengan merujuk pada konsep hukum warisan budaya tak benda, membahas pemenuhan kewajiban dan peran pemerintah, serta mendiskusikan upaya hukum perlindungannya melalui pengenaan sanksi hukum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlindungan hukum terhadap warisan budaya tak benda tertuang di dalam peraturan perundang-undangan di tingkat nasional, termasuk instrumen hukum internasional yang telah diratifikasi, dan di tingkat daerah. Bentuk perlindungan dapat berupa pendaftaran serta bentuk perlindungan lain yang dilaksanakan sesuai norma, standar, prosedur, dan kriteria bidang kebudayaan yang memperhatikan aspek nilai agama, tradisi, nilai, norma, etika, dan hukum adat. Upaya hukum melindungi warisan budaya tak benda berupa tarian joged bumbung dapat dilakukan dengan menerapkan sanksi adat, sanksi, administrasi, dan/atau sanksi pidana. Hanya saja, terdapat kecenderungan upaya preventif dan

pendekatan yang bersifat pembinaan dalam merespon praktik joged bumbung.

  • I.    Pendahuluan

Joged bermakna luapan ekspresi yang diungkapkan sebebas mungkin sesuai dengan situasi dan kondisi yang dalam bentuk tarian yang dilakukan secara spontanitas. Tarian joged gerak-gerak yang demonstratif, lincah yang memberikan gambaran suka, riang, dan gembira serta dapat merangsang penonton untuk ikut terlibat di dalamnya.1 Konotasi positif mengenai joged tersebut seolah menjadi paradoks manakala tari joged bumbung yang merupakan tarian hiburan di Bali oleh sebagian oknum dipertontonkan secara melenceng dari pakemnya. Tari tersebut justru mengandung unsur pornoaksi yang dikenal oleh masyarakat Bali dengan istilah joged jaruh, joged porno, atau joged hot.2 Permasalahan menjadi meluas dengan diunggahnya video Joged Porno tersebut di media YouTube yang memungkinkan tayangan ini ditonton oleh masyarakat luas tidak hanya di Bali bahkan di seluruh dunia. 3 Jika dirunut ke belakang, joged porno yang muncul di Buleleng menjadi semakin marak setelah munculnya fenomena sejumlah jenis goyang di kancah industri hiburan dan televisi di Indonesia, khususnya goyang ngebor, serta goyang patah-patah dan goyang gergaji.4

Hal ini sungguh ironis karena the United Nations Educational, Scientific and Cultural Organisation (UNESCO) sejak 2015 telah mengakui tari joged bumbung sebagai warisan dunia. Pada sidang Komite Warisan Budaya tak Benda UNESCO tahun 2015, tiga genre tari Bali dimasukkan dalam Daftar Representatif Warisan Budaya Tak Benda Kemanusiaan (Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity) yang terdiri dari tarian sakral, tarian semi- sakral, dan tarian hiburan. Tarian sakral yang masuk dalam daftar adalah tari Rejang, Sanghyang Dedari, dan Baris Upacara; tarian semi sakral adalah Topeng Sidhakarya, Sendratari Gambuh, dan Sendratari Wayang Wong; tarian hiburan yang diakui adalah tari Legong Kraton, Joged Bumbung, dan Barong Ket “Kuntisraya.”5

Dari segi perspektif hukum, terdapat sejumlah peraturan perundang-undangan yang sesungguhnya mengatur, atau setidaknya memiliki irisan dengan isu tersebut. Salah satunya adalah ratifikasi Indonesia terhadap Convention for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage (2003) melalui Peraturan Presiden Nomor 78 tahun 2007 tentang Pengesahan Konvensi Perlindungan Warisan Budaya Tak Benda (Perpres Perlindungan Warisan Budaya Tak Benda). Jika dikaitkan dengan maraknya joged porno yang mengancam eksistensi tari joged bumbung sebagai tari tradisonal Bali, maka menarik untuk dibahas mengenai pemenuhan kewajiban dan peranan pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah (khususnya Provinsi Bali) dalam perlindungan tarian bali, khususnya tarian hiburan yang merupakan warisan wisata dunia tak benda serta upaya hukum perlindungan warisan budaya tak benda kemanusiaan melalui pengenaan sanksi hukum adat dan hukum nasional. Sejauh ini pemerintah daerah telah menunjukkan perhatiannya dalam menanangani persoalan ini melalui sejumlah program, di antaranya Workshop Tari Joged Bumbung yang digelar di Taman Budaya Denpasar yang digelar Majelis Kebudayaan Bali dan Dinas Kebudayaan Provinsi Bali itu pada 18 Maret 20226 dan Lokakarya Joged Bumbung dalam rangka Penguatan Pakem Tradisi pada Pesta Kesenian Bali XLIV di Art Center Denpasar pada 20 Juni 2022.7

Artikel ini menempatkan joged bumbung sebagai isu utama. Secara khusus, artikel ini bermaksud untuk mengupas konsep hukum warisan budaya tak benda dalam kaitannya dengan joged bumbung. Selain itu, artikel ini juga membahas pemenuhan kewajiban dan peranan pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah (khususnya Provinsi Bali) dalam perlindungan tarian bali, khususnya jodeg bumbung sebagai tarian hiburan yang merupakan warisan wisata dunia tak benda. Guna memperdalam khasanah hukumnya, artikel ini mendiskusikan upaya hukum perlindungan joged bumbung melalui pengenaan sanksi hukum.

Sejumlah peneliti pernah mengkaji mengenai keberadaan joged bumbung Bali berseta kontroversinya. I Gede Arya Sugiartha melakukan penelitian humaniora di bidang seni yang menganalisis dinamika perkembangan tata kelola pertunjukan Joged Bumbung berdasarkan teori estetika post-modern. Dalam studi tersebut diungkap bahwa joged mengalami perubahan karena faktor intrinsik dan ekstern komunitas seni dan pembaruan justru mengandung pelanggaran norma estetika dan adat istiadat.8 Selanjutnya, Eka Ari Suhendra melakukan kajian yang mendeskripsikan perkembangan, kontroversi, dan pergerakan dari joged bumbung.9 Sejumlah peneliti

justru meneliti perkembangan joded bumbung di luar Bali yang dilestarikan oleh para transmigran asal Bali. Sebagai contoh, I Wayan Mustika, Putu Setyarini melakukan penelitian deskriptif-kualitatif yang menganalisis eksistensi dari pengaruh kesenian joged bumbung yang dikembangkan oleh para transmigran asal Bali di daerah transmigrasi Seputih Banyak, Lampung Tengah. 10 Kemudian Ni Luh Wilatri Puspa Dewi melakukan penelitian yang menganalisis makna yang terkandung dan ingin disampaikan masyarakat suku Bali yang tinggal di daerah transmigrasi Desa Kerta Buana, Kabupaten Kutai Kartanegara melalui sentuhan kebudayaan sebagai pembuat identitas etnis suku tersebut. 11 Dari segi penelitian hukum, dapat ditemukan studi yang dilakukan I Made Adhy Mustika dari perspektif politik hukum mengenai Undang-Undang No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi. Penelitian tersebut menyimpulkan undang-undang tersebut secara faktual tidak mencerminkan suatu aturan yang full legitimate di Indonesia. 12 Selanjutnya, Elke Devroe, Gerben Bruinsma, dan Tom Vander Beken melakukan studi mengenai sanksi administratif berkaitan dengan perluasan kontrol terhadap kebudayaan yang relevan dirujuk sebagai studi perbandingan dalam penelitian ini, terutama dalam pengenaan sanksi bagi pelaku joged bumbung.13

  • 2.    Metode Penelitian

Penelitian ini didesain sebagai suatu penelitian sosio-legal yang meneliti implementasi pengaturan hukum mengenai perlindungan warisan budaya tak benda di Indonesia, khususnya di Bali. Studi sosio-legal merupakan kajian terhadap hukum dengan menggunakan pendekatan ilmu hukum maupun ilmu-ilmu sosial yang bersifat interdisipliner dan merupakan ‘hibrida’ dari studi besar tentang ilmu hukum dan ilmu-ilmu tentang hukum dari perspektif kemasyarakatan yang lahir sebelumnya.14 Studi ini menjelaskan persoalan hukum secara lebih bermakna sekaligus menjelaskan bekerjanya hukum dalam hidup keseharian warga masyarakat. 15 Studi ini kemudian melahirkan suatu metode penelitian hukum tersendiri yang dikenal dengan istilah metode penelitian sosio- legal

(socio legal research) yang saat ini telah berkembang jauh menjembatani model kualitatif dan kuantitatif dan bahkan penggunaan skema.16

Bahan hukum primer dalam penelitian ini meliputi sejumlah peraturan perundang-undangan nasional dan daerah serta instrumen hukum internasional yang relevan. Adapun bahan hukum sekunder yang digunakan berupa buku-buku, artikel, jurnal, hasil penelitian, makalah dan bahan bacaan lainnya yang menunjang penelitian ini. Informasi dalam penelitian ini bersifat kualitatif yang berasal dari penjelasan dan klarifikasi oleh pejabat dan pihak-pihak yang mengerti, berkecimpung, atau mengurusi isu yang sedang diteliti.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Istilah dan Konsep Warisan Budaya Tak Benda

Istilah warisan budaya dunia (world cultural heritage) mulai dibahas pada level internasional sejak tahun 1972 pada perumusan The Convention for the Protection of World Cultural and Natural Heritage (World Heritage Convention), yang telah diratifikasi melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 1989. Secara formal, pengakuan bagi perlindungan terhadap warisan budaya tak benda baru berhasil dilakukan 30 tahun kemudian seiring dengan penetapan the Convention for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage pada tahun 2003.17

UNESCO pada laman resmi mereka memberikan pengertian warisan budaya tak benda tidak terbatas :

“Cultural heritage does not end at monuments and collections of objects. It also includes traditions or living expressions inherited from our ancestors and passed on to our descendants, such as oral traditions, performing arts, social practices, rituals, festive events, knowledge and practices concerning nature and the universe or the knowledge and skills to produce traditional crafts.18

Dari pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa warisan budaya tidaklah terbatas pada monumen dan koleksi benda. Warisan budaya mencakup pula tradisi atau ekspresi hidup yang diwarisi secara turun-temurun, termasuk di antaranya seni pertunjukan.

Convention for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage juga memberikan pengertian Intangible Cultural Heritage, sebagai berikut

“the practices, representations, expressions, knowledge, skills – as well as the instruments, objects, artefacts and cultural spaces associated therewith – that

communities, groups and, in some cases, individuals recognize as part of their cultural heritage.” 19

Dari pengertian tersebut, warisan budaya tak benda dapat dipahami sebagai praktik, ekspresi, pengetahuan dan keterampilan yang diakui oleh komunitas, kelompok, dan individu sebagai bagian dari warisan budaya mereka.

Dalam Undang-Undang No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya (UU Cagar Budaya) tidak terdapat penjelasan spesifik mengenai pengertian intangible cultural heritage. Istilah yang digunakan dalam UU Cagar Budaya untuk intangible cultural heritage adalah warisan budaya bukan bendawi sedangkan istilah yang digunakan pada Perpres Perlindungan Warisan Budaya Tak Benda untuk intangible cultural heritage adalah “warisan budaya tak benda”. Untuk selanjutnya dalam penelitian ini akan menggunakan istilah warisan budaya tak benda sebagai padanan kata dari intangible cultural heritage.

Secara konseptual, kategorisasi warisan budaya tak benda berkaitan dengan pengembangan gagasan dan kategori yang dapat mencakup ambivalensi, multi dimensi, hibriditas dan dinamika praktik budaya kontemporer yang berakar pada tradisi lama dan baru dan kebiasaan yang ditransmisikan. 20 Secara umum, dorongan untuk menjaga warisan budaya tak benda berasal dari negara-negara Afrika, Asia, dan Amerika Latin, yang termotivasi oleh konsepsi budaya mereka sendiri yang berpusat pada tradisi hidup.21 Dalam beberapa dekade terakhir, debat sengit yang berkaitan dengan warisan budaya tak benda muncul berkenaan dengan perlindungan bentuk kesenian tradisional, simbol, cerita, tarian, nyanyian, dan pengetahuan. Orang-orang yang bukan berasal dari kalangan indigenous people sering kali harus berjuang untuk memahami alasan yang digunakan oleh komunitas tradisional untuk melindungi ekspresi budaya mereka.22

Sejumlah studi menunjukkan betapa warisan budaya tak benda amat penting untuk dijaga oleh berbagai negara. Fakta mengindikasikan warisan budaya tak benda telah meningkatkan pendapatan negara, menarik banyak wisatawan untuk mengunjungi berbagai produk budaya, dan tentu dapat menciptakan lapangan kerja.23 Hal inilah yang menyebabkan lahirnya sejumlah pengaturan internasional dan nasional negara-negara berkaitan dengan perlindungan terhadapnya. Sebagaimana dijelaskan pada bagian pendahuluan, UNESCO sejak 2015 telah mengakui tarian joged bumbung sebagai warisan dunia dalam kategori tarian hiburan. Oleh karenanya, perlindungan terhadap tarian tersebut menjadi suatu keharusan.

  • 3.2    Kewajiban Hukum dan Peranan Pemerintah Terkait Perlindungan Tarian Tarian Hiburan Bali yang Masuk Sebagai Warisan Budaya Tak Benda

Article 2 (3) Konvensi Untuk Perlindungan Warisan Budaya Tak Benda (the Convention for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage) mendefinisikan perlindungan sebagai “tindakan- tindakan yang bertujuan memastikan kelestarian warisan budaya takbenda, termasuk identifikasi, dokumentasi, penelitian, preservasi, perlindungan, pemajuan, peningkatan, penyebaran, khususnya melalui pendidikan, baik formal maupun nonformal, serta revitalisasi berbagai aspek warisan budaya tersebut.”24

Pasal 11 Konvensi ini menentukan kewajiban Indonesia sebagai Negara Pihak Setiap untuk mengambil langkah-langkah yang perlu untuk memastikan perlindungan warisan budaya takbenda di dalam wilayahnya dan mengidentifikasi dan menentukan berbagai elemen warisan budaya takbenda yang berada di wilayahnya, dengan mengikutsertakan berbagai komunitas, kelompok maupun Lembaga Sosial Masyarakat terkait. Pasal 15 secara eksplisit menentukan kewajiban Indonesia untuk berusaha memastikan kemungkinan seluas-luasnya keikutsertaan berbagai komunitas, kelompok dan, perseorangan yang menciptakan, memelihara dan menyebarkan warisan budaya dan melibatkan mereka secara aktif dalam manajemennya.

Pengaturan mengenai warisan budaya di Indonesia diatur dalam UU Cagar Budaya. Sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 1 undang-undang ini cagar budaya adalah “warisan budaya bersifat kebendaan.” Kendatipun demikian, Penjelasan bagian Umum atas undang-undang ini menyinggung warisan budaya tak benda, sebagaimana dijelaskan sebagai berikut:

“Warisan budaya bendawi (tangible) dan bukan bendawi (intangible) yang bersifat nilai-nilai merupakan bagian integral dari kebudayaan secara menyeluruh. Pengaturan Undang-Undang ini menekankan Cagar Budaya yang bersifat kebendaan. Walaupun demikian, juga mencakup nilai-nilai penting bagi umat manusia, seperti sejarah, estetika, ilmu pengetahuan, etnologi, dan keunikan yang terwujud dalam bentuk Cagar Budaya.”

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 106 Tahun 2013 Tentang Warisan Budaya Takbenda Indonesia (selanjutnya disebut Permendikbud 106/2013) merupakan instrumen hukum yang secara tegas menentukan kewajiban Pemerintah sebagai bentuk implementasi ratifikasi Indonesia terhadap Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2007 Tentang Pengesahan Convention for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage. Merujuk pada Pasal 12 ayat (2) dan (3) Permendikbud tersebut digariskan bahwa Pelindungan terhadap Warisan Budaya Takbenda Indonesia yang dilakukan melalui Pendaftaran dilakukan secara terkoordinasi antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, Setiap Orang, dan Masyarakat Hukum Adat. Selanjutnya, ayat (4) dari ketentuan tersebut

menyatakan bahwa pelindungan terhadap warisan budaya takbenda Indonesia diutamakan untuk mempertahankan dan menyelamatkan keberadaannya.

Selain Permendikbud 106/2013, Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor 42 tahun 2009/Nomor 40 tahun 2009 Tentang Pedoman Pelestarian Kebudayaan (selanjutnya disebut Peraturan Bersama), juga merupakan instrumen hukum yang mengimplementasikan ratifikasi Indonesia atas konvensi di atas. Pasal 1 angka 3 Peraturan Bersama ini memberikan definisi Perlindungan sebagai “upaya pencegahan dan penanggulangan yang dapat menimbulkan kerusakan, kerugian, atau kepunahan kebudayaan berupa gagasan, perilaku, dan karya budaya termasuk harkat dan martabat serta hak budaya yang diakibatkan oleh perbuatan manusia ataupun proses alam.”

Pasal 2 Peraturan Bersama tersebut selanjutnya menentukan kewajiban Pemerintah daerah dalam melaksanakan pelestarian kebudayaan di daerah yang dilakukan melalui perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan. Berkaitan dengan topik penelitian ini, Pasal 7 Peraturan Bersama menentukan bahwa perlindungan sebagaimana dimaksud mencakup ruang lingkup di antaranya aspek kesenian dan tradisi yang dilaksanakan sesuai norma, standar, prosedur, dan kriteria bidang kebudayaan. Sesuai dengan Pasal 8 ayat (2) Peraturan Bersama, kegiatan perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan tersebut wajib memperhatikan sejumlah aspek di antaranya nilai agama, tradisi, nilai, norma, etika, dan hukum adat.

Pada tingkat Provinsi Bali, telah ditetapkan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 tahun 2014 tentang Pelestarian Warisan Budaya Bali. Kendatipun demikian, peraturan daerah ini berfokus pada warisan budaya yang merupakan hasil proses peradaban masyarakat Bali yang bersifat kebendaan. 25 Dengan demikian, tari tidak termasuk ruang lingkup peraturan ini.

Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Penguatan Dan Pemajuan Kebudayaan Bali memberikan perhatian pada seni sebagai bagian dari kebudayaan. Pasal 7 peraturan daerah tersebut menentukan bahwa seni yang bersumber dari warisan budaya asli Bali, merupakan salah satu objek penguatan dan pemajuan kebudayaan. Hal ini tentu semakin memberikan penguatan terhadap eksistensi tari joged bumbung. Selain itu Peraturan Gubernur Bali Nomor 58 Tahun 2012 Tentang Program Pelestarian Budaya dan Perlindungan Lingkungan Hidup (Heritage And Protection) Bagi Kepariwisataan Budaya Bali juga mempertegas adanya Jaminan pelestarian terhadap Budaya Bali.26

Joged bumbung merupakan bagian dari kepariwisataan budaya Bali. Pasal 2 Ayat (3) Huruf e Peraturan Gubernur Bali Nomor 14 Tahun 2015 Tentang Jenis, Mutu dan

Tempat Pertunjukan Kesenian Daerah untuk Wisatawan menentukan bahwa joged bumbung merupakan jenis kesenian daerah yang dapat dipertunjukkan di Hotel/Restaurant/Puri/Tempat lain yang dianggap layak sebagai suatu seni kreasi yang berfungsi sebagai seni hiburan.

Ketika pementasan Joged Bumbung telah mengarah pada porno aksi, Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, Listibiya Provinsi Bali, Aliansi Tokoh Masyarakat Adat Bali dan STIKOM Bali menggelar Focus Group Discussion (FGD) “Kembalikan Jogedku Stop Joged Jaruh” pada 1 Nopember 2016.27 Salah butir kesimpulan dalam FGD tersebut adalah adanya dampak psikologis karena masyarakat Bali merasa dinistakan oleh tayangan joged jaruh di media sosial. 28 Selain itu, FGD juga merekomendasikan dilakukannya pembinaan dan pendidikan moral dan kebudayaan bagi sekeha-skeha joged jaruh.29 Bahkan para pihak yang hadir dalam kegiatan tersebut juga mendesak para pemegang kebijakan di Desa Pakraman dan aparat penegak hukum untuk melakukan penertiban, pencegahan, dan pelarangan terhadap pementasan Joged Jaruh.30 Terdapat pula 6 (enam) rencana aksi yang dihasilkan dari forum tersebut yang salah satunya mengajukan keberatan ke You Tube dan memintanya untuk meniadakan video-video Joged Jaruh.31 Rencana aksi tersebut dilengkapi pula dengan Tindak Lanjut oleh Sejumlah Elemen terkait, yakni: Polda Bali, STIKOM Bali, Aliansi Tokoh Masyarakat Balim PHDI Bali, MUDP Bali, BP3A, Listibiya dan Dinas Kebudayaan, serta Korem 163 Wirasatya.32

Hingga 2018, terungkap bahwa belum terdapat produk hukum daerah mengenai pengakuan terhadap intangible cultural heritage. Sektor yang akan menginisiasi produk hukum yang diperlukan dalam rangka pengakuan dan perlindungan terhadap intangible cultural heritage adalah Dinas Kebudayaan Provinsi Bali.33 Pada tahun 2018, Balai Pelestarian Nilai Budaya Bali menyelenggarakan pagelaran Joged Bumbung di Aula SMA Negeri 1 Tabanan. Pagelaran tersebut bertujuan untuk mengenalkan pakem atau aturan gerakan dalam joged bumbung kepada pelajar dan mahasiswa yang sekaligus memperbaiki citra tari joged.34 Di tahun 2021, Gubernur Bali Menerbitkan Surat Edaran No.6669 Tahun 2021, sebagai upaya melindungi dan

melestarikan kesenian Joged Bumbung sesuai dengan pakem tari Bali, nilai-nilai adat, tradisi, seni budaya, dan kearifan lokal Bali.

Sejak Maret hingga Oktober 2022, sejumlah kalangan menyampaikan pandangannya terhadap hal yang perlu dilakukan guna menyelamatkan keberadaan joged bumbung. Dalam suatu Workshop Tari Joged Bumbung, budayawan senior I Wayan Dibia mengusulkan pemerintah daerah memberikan ruang tampil lebih banyak bagi tari Joged Bumbung Klasik sehingga joged porno tidak akan mengeliminir keberadaan joged tradisional. Hal ini diharapkan dapat menyelamatkan eksistensi dan sekaligus citra tari joged bumbung, 35 Akademisi Institut Seni Indonesia Denpasar Tjokorda Istri Putra Padmini ketika menjadi narasumber pada sebuah Lokakarya Joged Bumbung memberikan refleksi bahwa di masa lalu laki-laki yang melakukan gerakan ngibing dalam Tari Joged Bumbung sarat dengan pamer egoisme romantis dalam tatanan etika gerak, berbeda dengan situasi yang cenderung mengumbar gerakan yang tidak senonoh. Mencermati bahwa sejumlah upaya telah dilakukan setidaknya sejak 2015 untuk mengedukasi masyarakat, Padmini amat berharap pada peran generasi muda untuk turut serta menjaga kesenian ini.36 Guru Besar Universitas Udayana I Gde Pitana juga berharap Joged Bumbung yang menyimpang dengan bumbu erotisme hendaknya dihentikan dan harus dikembalikan ke makna aslinya. Menurutnya, tari ini melibatkan penari dan penonton yang sama-sama ingin menunjukkan kepiawaian mereka menari dalam konteks tari pergaulan yang tidak jarang menampilkan gerakan lucu yang dapat membuat penonton tertawa.37

Fenomena pornoaksi tersebut tampaknya turut membangun stereotype terhadap perempuan Bali, suatu situasi yang ironis, karena perempuan Bali selama ini dipandang telah mengalami berbagai bentuk diskriminasi.38 Citra negatif perempuan Bali muncul karena penari utama joged bumbung adalah perempuan, sedangkan penari penyerta yang biasa disebut pengibing merupakan audiens yang umumnya laki-laki. Tidak dapat dipungkiri, komodifikasi tubuh perempuan dalam seni yang terjadi dalam pertunjukan joged bumbung merupakan pelanggaran etika. 39

  • 3.3    Upaya Hukum Penerapan Sanksi untuk Melindungi Warisan Budaya tak Benda: Studi Kasus Tarian Joged Bumbung

Setiap bidang hukum memiliki jenis sanksi masing-masing, sehingga satu perbuatan dalam kasus yang berkarakteristik interdisipliner dapat dikenakan sanksi yang beragam. Hukum Pidana Adat misalnya, dapat mengetengahkan isu hukum yang secara bersamaan memungkinkan pengenaan sanksi adat dan

sekaligus aspek pemidanaan.40 Penulis menyadari bahwa terdapat jenis sanksi lain, seperti misalnya sanksi pidana yang dapat dikenakan pada isu yang sedang diteliti. Kendatipun demikian sanksi yang akan difokuskan dalam penelitian ini hanya dibatasi pada potensi pengenaan sanksi adat dan juga sanksi hukum administrasi.

Sanksi adat adalah koreksi adat sebagai akibat adanya pelanggaran untuk membetulkan hukum yang telah dilanggar itu. Sanksi adat merupakan alat pemaksa yang digunakan oleh petugas hukum dalam hal ini prajuru adat (pemimpin adat) melalui paruman desa (pertemuan desa adat) untuk mencapai perimbangan hukum kembali. Jenis-jenis sanksi adat pada hukum adat Bali meliputi: 41 Prayascita, pemarisudhhan (upacara pembersihan desa adat); Dedosan (Denda); Mengaksama, lumaku,ngidih-olas (minta maaf); Metirta Gemana/metirta yatra (sanksi adat untuk golongan pendeta); Meselong (dibuang keluar kerajaan sampai ke luar Bali); Merarung/mapulang kepasih (ditenggelamkan di laut); Meblagbag (diikat); Katundung (diusir); Kerampag (barang miliknya dirampas); Kasepekang (tidak diajak ngomong, tidak mendapat pemberitahuan terhadap kegiatan masyarakat); dll.”

Pemberian sanksi pada prinsipnya bukan hanya dimaksudkan untuk memberikan efek jera bagi pelanggarnya, tetapi juga dapat ditujukan sebagai suatu tindakan korektif untuk memperbaiki mental pelaku agar tidak mengulangi kesalahannya di kemudian hari. Apa yang ditemukan dalam studi ini adalah pelaku penyeleggara dan penari joged bumbung tidak ada yang diproses pidana tetapi hanya diminta membuat pernyataan untuk tidak mengulangi lagi aktivitas serupa.

Adanya itikad untuk menerapkan sanksi adat tercermin dari konsep (rancangan) Perarem Ngele/Nyeje/Lepas oleh Desa Pakraman (desa adat) yang memuat sanksi berupa denda (pamidanda) kepada sejumlah pihak, yakni: 42

  • i.    Penyelenggara (sane ngelaksanayang sesolahan), diancam denda Rp 10.000.000,- (sepuluh jutarupiah)

  • ii.    Penari joged (pragina) diancam denda Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah)

  • iii.    Pengibing diancam denda Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah)

  • iv.    Pihak yang memasukkan/mengunggah ke media sosial (sane ngeranjingan utawi nggunggahang ring media sosial) diancam denda Rp 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah)

Dari besaran sanksi ini cukup nampak terlihat bahwa perancang konsep ini lebih memfokuskan pada aspek penyebarluasan di media sosial. Hal ini dapat dilihat dari pengenaan denda terbesar justru kepada pihak yang memasukkan/mengunggah joged jaruh ke media sosial yang akan dikenakan denda paling banyak, yakni lima

kali lipat dari denda yang dikenakan kepada penari. Selain pengenaan sanksi adat, sanksi administrasi nampaknya potensial untuk diterapkan dalam kasus ini. Sanksi administratif pada era modern amat dipengaruhi oleh adanya sejumlah gerakan sosial yang bahkan telah membawanya ke garis depan pemikiran kritis. 43 Elke Devroe, Gerben Bruinsma, dan Tom Vander Beken melakukan studi mengenai sanksi administratif berkaitan dengan perluasan kontrol terhadap kebudayaan. Dalam studi tersebut dianalisis konsep David Garland mengenai respon pemerintah terhadap situasi disorder dan kesulitan kebijakan serta mengenai hukum terkait perilaku antisosial. 44 Secara umum, sanksi-sanksi dalam hukum adminitrasi meliputi bestuursdwang (paksaan pemerintah); penarikan kembali keputusan (ketetapan) yang menguntungkan (izin, pembayaran subsidi); pengenaan denda administratif; dan pengenaan uang paksa oleh pemerintah (dwangsom).” 45 Dari segi subjeknya, penyelenggara merupakan entitas yang amat berpotensi untuk diberikan sanksi administratif.

Sebagai ultimum remedium dari sanksi adat dan sanksi administrasi, sanksi pidana dapat pula diterapkan bagi mereka yang terlibat dalam pertunjukan joged bumbung yang bernuansakan pornoaksi. Pasal 36 jo. Pasal 10 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi menentukan bahwa setiap orang yang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya dapat dipidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Dari perspektif penegakan hukum nasional, dapat dikemukakan adanya penanganan yang dilakukan oleh kepolisian. Bahkan Tim Cyber Polda Bali dilibatkan karena berkaian dengan teknologi informasi. 46 Polisi juga sudah melakukan tindakan pencegahan. Sebagai contoh, pada Agustus 2018 Perwira Pengawas Polsek Marga Polres Tabanan Ipda I Made Jayem melaksanakan pengamanan pementasan tarian joged bumbung di banjar Lodalang Desa Kukuh Kecamatan Marga Kabupaten Tabanan yang diselenggarakan dalam rangka bayar kaul kegiatan tiga otonan anak kandung I Wayan Nurjaya. Sebelum pementasan, perwira pengawas ini menghimbau seluruh penonton supaya tetap menjaga keamanan dan ketertiban selama kegiatan berlangsung supaya situasi tetap kondusif serta menghimbau penari joged dan para pengibing untuk tidak mengadakan gerakan yang mengandung unsur pornografi.47

Sepanjang penelusuran yang dilakukan, sanksi adat, sanksi administratif, dan sanksi pidana masih belum sepenuhnya ditegakkan. Dapat dicermati adanya

kecenderungan dilakukannya upaya preventif dan pendekatan yang bersifat pembinaan terhadap para pelaku joged bumbung yang mengarah pada praktik pornoaksi.

  • 4.    Kesimpulan

Kewajiban hukum pemerintah terkait perlindungan tarian Bali, khususnya tarian hiburan yang masuk sebagai warisan budaya tak benda tertuang di dalam peraturan perundang-undangan di tingkat nasional, termasuk instrumen hukum internasional yang telah diratifikasi, dan di tingkat daerah. Bentuk perlindungan dapat berupa pendaftaran serta bentuk perlindungan lain yang dilaksanakan sesuai norma, standar, prosedur, dan kriteria bidang kebudayaan yang memperhatikan aspek nilai agama, tradisi, nilai, norma, etika, dan hukum adat. Upaya Hukum Melindungi Warisan Budaya tak Benda berupa Tarian Joged Bumbung dapat dilakukan dengan menerapkan sanksi adat, sanksi, administrasi, dan/atau sanksi pidana. Hanya saja, terdapat kecenderungan dilakukannya upaya preventif dan pendekatan yang bersifat pembinaan dalam merespon praktik joged bumbung.

Ucapan Terima Kasih

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Udayana yang mendanai penelitian ini dalam skema HUPS (Hibah Unggulan Program Studi). Selain itu, penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Pimpinan dan Staf Biro Hukum Sekretariat Daerah Provinsi Bali dan Dinas Kebudayaan Provinsi Bali.

Daftar Pustaka

Alzahrani, Damna A. “The Adoption of a Standard Definition of Cultural Heritage.” International Journal of Social Science and Humanity 3, no. 1 (2013): 9–12.

Artika, I Wayan. “” Komodifikasi” Yang Dipaksakan: Fenomena Joged Porno Buleleng.” Jurnal Kajian Bali (Journal of Bali Studies) 1, no. 2 (2011).

Bali, Lampiran Nota Dinas Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali kepada Gubernur Bali yang disampaikan melalui Sekretaris Daerah Provinsi. “Konsep Perarem Ngele/Nyeje/Lepas, Desa Pakraman ..., Indik Sesolahan Joged Jaruh,” 2018.

Bali, Nusa. “Kasus Joged Jaruh Dilimpahkan Ke Polda,” n.d. https://www.nusabali.com/berita/21884/kasus-joged-jaruh-dilimpahkan-ke-polda.

———. “PKB Jadi Ajang Perkuat Pakem Tradisi Joged Bumbung: Dari ‘Joged Jaruh’ Kembali         Ke         Pertunjukan         Bermartabat,”         2022.

https://www.nusabali.com/berita/119516/pkb-jadi-ajang-perkuat-pakem-tradisi-joged-bumbung .

Bali, Polda. “No Title,” n.d. http://www.bali.polri.go.id/?q=node/469179.

Devroe, Elke, Gerben Bruinsma, and Tom Vander Beken. “An Expanding Culture of

Control? The Municipal Administrative Sanctions Act in Belgium.” European Journal on Criminal Policy and Research 23, no. 1 (2017): 59–76.

Dewi, Ni Luh Wilatri Puspa. “Makna Tarian Joged Bumbung Sebagai Identitas Baru Masyarakat Suku Bali Di Desa Kerta Buana.” EJournal Ilmu Komunikasi 6, no. 1 (2018): 190.

Farah, Paolo D, and Riccardo Tremolada. “Conflict between Intellectual Property Rights and Human Rights: A Case Study on Intangible Cultural Heritage.” Or. L. Rev. 94 (2015): 125.

Intan, Putu. “Sudahi Joged Bumbung Yang Erotis, Kembalikan Ke Makna Aslinya.” Detik Travel, 2022. https://travel.detik.com/travel-news/d-6331062/sudahi-joged-bumbung-yang-erotis-kembalikan-ke-makna-aslinya.

Irianto, Sulistyowati. “Memperkenalkan Kajian Sosio-Legal Dan Implikasi Metodologisnya.” Dalam Adriaan W. Bedner, Dkk (Ed.). Kajian Sosio-Legal. Denpasar: Pustaka Larasan, 2012.

Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan. “Tiga Genre Tari Bali Ditetapkan Sebagai Warisan                Budaya                Dunia,”                n.d.

https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2015/12/tiga-genre-tari-bali-ditetapkan-sebagai-warisan-budaya-dunia-4904-4904-4904.

Leith, Philip. “A Note on Using Vignettes in Socio-Legal Research.” European Journal of Current Legal Issues 19, no. 3 (2013).

Lenzerini, Federico. “Intangible Cultural Heritage: The Living Culture of Peoples.” European Journal of International Law 22, no. 1 (2011): 101–20.

Mustika, I Made Adhy. “UU NO. 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI DITINJAU DARI PERSPEKTIF POLITIK HUKUM.” Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) 5, no. 3 (2016): 459–66.

Mustika, Wayan, and Putu Setyarini. “Pengaruh Kesenian Jathilan Dan Joged Bumbung Bagi Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat: Studi Kasus Pada Etnis Jawa Dan Bali Di Lampung, Indonesia.” Jurnal Seni Budaya 37 (2022).

Ndun, Hanna Christine, Sarah Suttor, and I Gusti Agung Ayu Dike Widhiyaastuti. “Does Customary Law Discriminate Balinese Women’s Inheritance Rights?” Udayana Journal of Law and Culture 2, no. 1 (2018): 97–114.

Neyrinck, Jorijn. “Intangible Cultural Heritage in Times of Superdiversity: Exploring Ways of Transformation.” International Journal of Intangible Heritage 12 (2017): 158– 74.

Oliver Olmo, Pedro, and Jesús-Carlos Urda Lozano. “Bureau-Repression: Administrative Sanction and Social Control in Modern Spain.” Oñati Socio-Legal Series 5, no. 5 (2015).

Penandatanganan Deklarasi Bersama Pemerintah dan Komponen Masyarakat Bali, Kerjasama Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, Listibiya Provinsi Bali, Aliansi Tokoh Masyarakat Adat Bali dan STIKOM Bali. “Laporan Hasil Focus Group Discussion (FGD) ‘Kembalikan Jogedku Stop Joged Jaruh.’” Monumen Perjuangan Rakyat Bali, 2016.

Petronela, Tudorache. “The Importance of the Intangible Cultural Heritage in the Economy.” Procedia Economics and Finance 39 (2016): 731–36.

Raharja, Ivan Fauzani. “Penegakan Hukum Sanksi Administrasi Terhadap Pelanggaran Perizinan.” INOVATIF| Jurnal Ilmu Hukum 7, no. 2 (2014).

Rahayu, Putu Merina. “Tari Agirang: Usaha Mengubah Persepsi Masyarakat Bali Terhadap Joged Bumbung.” Joged 8, no. 1 (2017): 485–98.

Rasmini, Wayan, and Jonaedi Efendi. “Legal Standing of the Institution of DisputeResolution and Customary-Sanction Imposition of Desa Pakraman in Bali in the Restoration of National Criminal Law.” Academic Research International 5, no. 2 (2014): 460.

Rhismawati, Ni Luh. “Budayawan Minta Pemerintah Perluas Ruang Tampil Joged Bumbung                          Klasik,”                          2022.

https://www.antaranews.com/berita/2768593/budayawan-minta-pemerintah-perluas-ruang-tampil-joged-bumbung-klasik.

Suartaya, Kadek. “Joged Dance In Youtube.” E-Journal of Cultural Studies 9, no. 3 (2016): 1–6.

Suartha, I Dewa Made. Hukum Dan Sanksi Adat (Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana). Setara Press, 2015.

Sugiartha, I Gede Arya. “Innovations of Governance in Balinese Joged Bumbung Dance in the Era of Globalization.” Lekesan: Interdisciplinary Journal of Asia Pacific Arts 1, no. 2 (2018): 53–58.

Suhendra, Eka Ari. “Joged Bumbung; Tradition or Transgression?” Bali Tourism Journal 2, no. 1 (2018): 10–13.

UNESCO.     “What     Is     Intangible     Cultural     Heritage?,”     n.d.

https://ich.unesco.org/en/what-is-intangible-heritage-00003.

Wakhyuningngarsih. “Pagelaran Seni Tradisional Bali: Mengembalikan Joged Bumbung              Sesuai              Pakem,”              2018.

https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbbali/pagelaran-seni-tradisional-bali-mengembalikan-joged-bumbung-sesuai-pakem/ .

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi

Undang-Undang Republik Indonesia No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2007 Tentang Pengesahan Convention for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage (Konvensi UntukPerlindungan Warisan Budaya Takbenda)

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 1989 Tentang Pengesahan Convention Concerning the Protection of the World Cultural and Natural Heritage

Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor 42 tahun 2009/Nomor 40 tahun 2009 Tentang Pedoman Pelestarian Kebudayaan

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 106 Tahun 2013 Tentang Warisan Budaya Takbenda Indonesia

Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 tahun 2014 Tentang Pelestarian Warisan Budaya Bali

Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Penguatan dan Pemajuan Kebudayaan Bali

Peraturan Gubernur Bali Nomor 58 Tahun 2012 Tentang Program Pelestarian Budaya dan Perlindungan Lingkungan Hidup  (Heritage And Protection) Bagi

Kepariwisataan BudayaBali

Peraturan Gubernur Bali Nomor 14 Tahun 2015 Tentang Jenis, Mutu dan Tempat Pertunjukan Kesenian Daerah untuk Wisatawan

Surat Edaran Gubernur Bali Nomor 6669 Tahun 2021

927