Pengambilalihan Agunan Kredit Macet oleh Bank Perkreditan Rakyat
on

Pengambilalihan Agunan Kredit Macet oleh Bank Perkreditan Rakyat
Ida Ayu Padma Trisna Dewi1, Anak Agung Gede Duwira Hadi Santosa2
1PT. BPR Lestari Bali, E-mail: [email protected]
2Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]
Info Artikel
Masuk: 11 Juli 2022
Diterima: 23 Mei 2023
Terbit: 27 Mei 2023
Keywords:
Collaterals Takeover; Non
Performing Loan; Rural Banks
Kata kunci:
Pengambilalihan Agunan,
Kredit Macet, Bank Perkreditan Rakyat
Corresponding Author: Ida
Ayu Padma Trisna Dewi, Email:
Abstract
DOI:
10.24843/JMHU.2023.v12.i01. p08
ketentuan pasal dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan bersifat diskriminatif terhadap hak Bank Perkreditan Rakyat untuk turut serta menjadi pembeli lelang terhadap kredit debitur yang mengalami macet. Pengajuan judicial review yang dilakukan oleh PT. BPR Lestari Bali kemudian memberikan kemudahan dalam pemberian kepastian hukum pengambialihan agunan kredit macet melalui lelang maupun diluar pelelangan bagi BPR, yang mana putusan ini kemudian menyatakan bahwa frasa “Bank Umum” dalam Pasal 12A ayat (1) UU Perbankan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagai “Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat” sehingga BPR kemudian dapat turut serta membeli sebagian atau seluruh agunan debiturnya yang tidak melakukan kewajiban baik melalui lelang maupun diluar lelang.
Pertumbuhan penduduk yang kian besar tentunya akan berdampak pada meningkatnya berbagai kebutuhan dalam kehidupan bermasyarakat. Salah satu kebutuhan yang cukup signifikan dalam kehidupan bermasyarakat ini adalah kebutuhan dalam bidang perkekonomian. Dalam memenuhi kebutuhan manusia dalam bidang perkekonomian ini kemudian lahirnya berbagai bentuk lembaga keuangan yang menjadi angin segar bagi masyarakat.
Pada dasarnya terdapat 3 (tiga) jenis lembaga keuangan yakni lembaga keuangan bank, non bank dan independen.1 Lembaga keuangan bank adalah salah satu dari lembaga keuangan yang diminati masyarakat dimana keberadaannya sendiri telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang kini telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (selanjutnya disebut UU Perbankan).
Lembaga perbankan nasional secara keseluruhan diberikan keleluasaan dalam berusaha dalam jangkauan yang luas untuk menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediatory dengan tetap berlandaskan kepada prinsip kehati-hatian perbankan (prudential banking principal).2 Berdasarkan UU Perbankan, bank terdiri atas Bank Umum serta Bank Perkreditan Rakyat (selanjutnya disebut BPR). Secara umum kedua jenis bank sebagaimana disebutkan diatas memiliki tujuan yang sama yakni melakukan penghimpunan dan penyaluran dana masyarakat yang dilakukan untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional sekaligus meningkatkan laju pertumbuhan perekonomian dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Keberadaan pandemi coronavirus diseases (Covid-19) di Indonesia tentunya menimbulkan dampak perekonomian yang cukup besar bagi masyarakat. Sektor keuangan utamanya industri perbankan ini tentunya juga menghadapi tantangan dalam menjaga kesehatan
Bank agar tetap mampu menjalankan fungsinya. Dalam kondisi Covid-19 ini keadaan gagal bayar atau wanprestasi dari debitur tentu saja tidak dapat dihindari, yang dimana pada umumnya jalur yang ditempuh oleh bank selaku kreditur sebagai jalan akhir dalam penyelesaian wanprestasi ini adalah dengan dilakukannya pengambilalihan agunan kredit.
Pengambilalihan aset agunan kredit ini sendiri telah di atur dalam Pasal 12A ayat (1) UU Perbankan, yakni :
“Bank Umum dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal nasabah debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya.”
Berdasarkan ketentuan tersebut, “Bank Umum” dinyatakan dapat melakukan pengambilalihan agunan kredit dengan melakukan pembelian baik sebagian ataupun keseluruhan agunan debitur yang tidak memenuhi kewajiban melalui lelang atau luar lelang dengan penyerahan sukarela. Keberadaan ketentuan ini yang sesungguhnya memiliki tujuan dalam memberi kemudahan pada bank selaku kreditur dalam pengambilalihan agunan ternyata kemudian juga memberikan penafsiran yang berbeda terhadap klausula “Bank Umum” yang termuat didalamnya.
Secara eksplisit pengambialihan agunan oleh BPR sendiri telah dimuat dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 33/POJK.03/2018 tentang Kualitas Aset Produktif dan Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aset Produktif Bank Perkreditan Rakyat (selanjutnya disebut POJK No. 33/POJK.03/2018). Pasal 1 angka 11 POJK No. 33/POJK.03/2018 mengatur bahwa :
“Agunan yang Diambil Alih yang selanjutnya disebut AYDA adalah aset yang diperoleh BPR untuk penyelesaian Kredit, baik melalui pelelangan, atau di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan surat kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan, dalam hal Debitur telah dinyatakan macet”.
Berdasarkan hal tersebut, BPR dikatakan dapat memperoleh dan/atau membeli aset nasabah kreditnya yang macet melalui pelelangan. Hal ini tentu tidak sejalan dengan ketentuan sebagaimana termuat dalam Pasal 12 A ayat (1) UU Perbankan, klausula “Bank Umum” ini memberikan penafsiran yang berbeda pada lembaga pelaksana undang-undang dimana penafsiran tersebut membawa dampak bahwa yang dapat melakukan pembelian agunan tersebut melalui lelang maupun luar lelang hanyalah “Bank Umum” saja. Konflik norma terlihat jelas dalam ketentuan Pasal 12 ayat (1) UU Perbankan dengan Pasal 1 angka 11 POJK No. 33/POJK.03/2018 karena keberadaan klausula “Bank Umum” yang kemudian memberikan ketidakpastian hukum pada BPR dalam pengambilalihan agunan kredit.
Hal ini telah menjadi sorotan oleh salah satu lembaga perbankan yakni PT. Bank Perkreditan Rakyat Lestari Bali (selanjutnya disebut PT. BPR Lestari Bali) yang kemudian mengajukan pengujian materiil (judicial review) kepada Mahkamah Konstitusi terkait klausula pasal ini pada tahun akhir tahun 2020. Pengajuan judicial review oleh PT. BPR
Lestari Bali ini didasarkan oleh penilaian bahwa klausula “Bank Umum” dalam pasal 12A ayat (1) UU Perbankan ini bersifat diskriminatif terhadap BPR karena menimbulkan penafsiran bahwa BPR tidak dapat melakukan pengambilalihan terhadap agunan kredit nasabahnya yang macet melalui lelang atau luar lelang sehingga kemudian menyebabkan penyelesaian kredit nasabah macet pada BPR menjadi terkatung-katung.3
Beranjak dari beberapa hal yang telah disampaikan tersebut, kemudian penulis tertarik untuk membahas secara lebih lanjut mengenai apakah eksekusi lelang berdasarkan pasal 12A ayat (1) UU Perbankan telah sesuai dengan amanat UUD NRI 1945 dan bagaimanakah pengambilalihan agunan kredit macet melalui lelang oleh BPR pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XVIII/2020.
Penulisan dari artikel ini memiliki tujuan untuk memberikan pemahaman serta pengetahuan akibat konflik norma yang terlihat pada Pasal 12 A ayat (1) UU Perbankan dan Pasal 1 angka 11 POJK No. 33/POJK.03/2018 terhadap pengambilalihan agunan kredit macet oleh BPR melalui lelang pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PPU-XVIII/2020.
Landasan teroritis yang digunakan dalam penulisan artikel ini, yang pertama ialah Teori Perjenjangan norma, dimana berdasarkan teori ini suatu peraturan perundang-undangan yang lebih rendah baru diakui keabsahannya apabila sesuai dengan peraturan yang lebih tinggi kedudukannya. Teori pertama ini dikaitkan dengan adanya konflik norma yang terjadi diantara Pasal 12 A ayat (1) UU Perbankan dan Pasal 1 angka 11 POJK No. 33/POJK.03/2018 akibat rumusan klausula “Bank Umum” yang termuat dalam Pasal 12 A ayat (1) UU Perbankan. Kedua, Teori Kepastian Hukum, dimana dalam menegakkan hukum terdapat 3 (tiga) unsur yang perlu diperhatikan yakni kepastian hukum, kemanfaatan hukum dan keadilan hukum, keberadaan kepastian hukum ini akan membuat masyarakat mengetahui secara jelas mengenai hak dan kewajibannya serta hal mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh masyarakat. Teori kedua ini dikaitkan dalam upaya mewujudkan adanya kepastian hukum bagi BPR dalam pengambilalihan agunan kredit.
Adapun state of art dari penulisan ini dapat dilihat melalui orisinalitas penulisan ini terhadap beberapa artikel terdahulu. Artikel Pertama berjudul “Penyelesaian Kredit Macet Dengan Agunan Yang Diambil Alih (AYDA) Sebagai Upaya Perlindungan Kreditur Di Perseroan Daerah BPR Bank Klaten” yang ditulis oleh Bayu Rangga Warsito dari Universitas Sebelas Maret Surakarta pada tahun 2019, dimana artikel ini membahas mengenai prosedur penyelesaian kredit macet melalui AYDA di BPR Bank Klaten.4 Artikel Kedua berjudul “Kajian Yuridis Agunan Yang Diambil Alih Oleh Bank” yang ditulis oleh Putu Devi Yustisia Utami dari Universitas Udayana pada tahun 2019, dimana
artikel ini membahas mengenai penyelesaian kredit macet melalui AYDA jika ditinjau dari Undang-Undang Hak Tanggungan.5
Artikel Ketiga berjudul “Kedudukan Hukum Objek Jaminan Sertifikat Hak Milik Yang Diambil Alih Oleh Kreditor (AYDA) Sebagai Badan Hukum Dengan Akta De Command” yang ditulis oleh Riska Fibrianti dari Universitas Islam Bandung pada tahun 2020, dimana artikel ini membahas mengenai pelaksanaan AYDA oleh kreditur atas debitur macet dan kedudukan hukum objek jaminan sertifikat hak milik melalui AYDA oleh kreditur berdasarkan akta de command.6 Artikel Keempat berjudul “Agunan Yang Diambil Alih : Sebuah Mekanisme Dalam Penyelesaian Kredit” yang ditulis oleh Nur Muhammad Dipalanga dari Universitas Indonesia pada tahun 2021, dimana artikel ini membahas mengenai mekanisme dari pengambilalihan agunan berdasarkan peraturan hukum yang ada.7
Artikel Kelima berjudul “Penyelesaian Kredit Yang Dijamin Hak Tanggungan Dengan AYDA (Agunan Yang Diambil Alih) Melalui Lelang” yang ditulis oleh Grace Ayu Prabandari, Agus Nurdin, dan Mujiono Hadif Prasetyo dari Universitas Diponegoro pada tahun 2021, dimana artikel ini membahas mengenai akibat hukum dari AYDA yang dilakukan oleh Bank apabila melewati jangka waktu dan proses pengosongan AYDA Bank masih dihuni.8 Artikel Keenam berjudul “Kedudukan Lembaga Perbankan Sebagai Pembeli Lelang Eksekusi Hak Tanggungan Atas Jaminannya” yang ditulis oleh I Dewa Gede Agung Dhira Natsya Ora dan Dewa Gde Rudy dari Universitas Udayana pada tahun 2021, dimana artikel ini membahas mengenai kedudukan hukum dari bank umum dan BPR selaku pembeli dalam lelang eksekusi hak tanggungan atas jaminannya.9 Artikel Ketujuh berjudul “Implikasi Yuridis Agunan Yang Diambil Alih Oleh Perbankan Syariah Dalam Akad Murabahah” yang ditulis oleh Iva Latifa Permana dari Universitas Islam Indonesia Yogyakarta pada tahun 2022, dimana artikel ini membahas mengenai pelaksanaan AYDA yang dilakukan oleh perbankan syariah dalam akad murabahah dan implikasi yuridis terhadap pelaksanaannya.10 Adapun yang membedakan penulisan artikel ini dengan tujuh artikel sebagaimana disebutkan diatas adalah artikel ini berfokus pada pengambilalihan agunan kredit macet melalui lelang oleh BPR setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 120/PUU/XVIII/2020.
Penulisan dari artikel ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, yakni metode yang meneliti hukum penelitiannya adalah norma hukum.11 Dimana penelitian ini mengkaji pengaturan pelaksanaan lelang dan pengambilalihan agunan kredit macet oleh BPR pasca putusan MK Nomor 102/PUU-XVIII/2020. Adapun Pendekatan penelitian yang digunakan dalam artikel ini adalah Pendekatan Peraturan Perundang-Undangan (Statue Approach) dan Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach). Artikel ini ditulis dengan menggunakan bahan hukum primer, sekunder dan tertier yang secara keseluruhan dikumpulkan dengan menggunakan teknik studi dokumen dan dikaji secara analisis deskriptif.12
-
3. Hasil Dan Pembahasan
-
3.1 Pengaturan Pelaksanaan Lelang di Indonesia
-
3.1.1 Pengaturan Lelang
-
-
Pengaturan hukum terkait pelaksanaan lelang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.06/2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang (selanjutnya disebut PMK Petunjuk Pelaksanaan Lelang). Berdasarkan Pasal 1 angka 1 :
“lelang merupakan penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan/atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi yang didahului dengan pengumuman lelang”.
Pengumuman pelaksanaan lelang dilakukan oleh pihak penjual kepada masyarakat terkait adanya pelaksanaan lelang guna mengumpulkan peminat dari lelang itu sendiri dan sebagai bentuk pemberitahuan kepada para pihak yang memiliki kepentingan pengumuman ini dapat dimuat dalam surat kabar, situs/portal lelang sebagai fasilitas dari penyelenggara lelang, selebaran atau media elektronik lainnya. Adapun yang menjadi objek dari lelang adalah barang yang dilelang tersebut, dimana barang ini dapat berupa benda atau barang yang memiliki nilai ekonomis.
Berkaitan dengan adanya keadaan debitur macet karena tidak mampu melaksanakan kewajibannya kepada bank selaku pemberi pinjaman, maka lelang yang dapat dilaksanakan adalah lelang eksekusi disamping adanya lelang non eksekusi wajib dan non eksekusi sukarela. Hal ini dikarenakan lelang eksekusi sebagaimana termuat dalam Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT) dapat dilakukan terhadap barang milik perorangan yang umumnya dibebani hak tanggungan pada bank.
Berdasarkan pasal 7 ayat (1) PMK Petunjuk Pelaksanan Lelang, penyelenggara dari lelang dapat terdiri atas KPKNL, kemudian Balai Lelang maupun Kantor Pejabat Lelang kelas II yang secara masing-masing memiliki kewenangan tertentu dalam pelaksanaan lelang, sekaligus pula dilakukan dalam wilayah kerja dan letak objek lelang berada.
Dalam pengajuan lelang, yang dapat mengajukan lelang adalah penjual dari objek lelang tersebut, dimana permohonan dilakukan kepada penyelenggara lelang yang berwenang setelah melengkapi persyaratan lelang dan dapat pula diajukan dengan beberapa syarat lelang tambahan bagi peserta lelang sepanjang hal tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Berkaitan dengan peserta lelang sendiri, pasal 23 ayat (2) PMK Petunjuk Pelaksanaan Lelang mengatur bahwa yang dapat turut serta menjadi peserta dari lelang adalah setiap orang, kemudian badan hukum atau badan usaha dan dikecualikan bagi pejabat lelang, pejabat penjual, penilai/penaksir lelang, kemudian juru sita, pihak tereksekusi, debitur dan terpidana.
Terhadap lelang eksekusi pasal 6 UUHT, objek lelang harus dipastikan untuk bebas dari gugatan dari pihak manapun termasuk debitur itu sendiri. Setiap permohoan lelang eksekusi ini akan dikenakan bea pemohonan lelang sesuai dengan peraturan yang ada dan dibayarkan oleh pihak penjual. Kemudian terkait dengan waktu pelaksanaan lelang, penyelenggara lelang akan menetapkan waktu pelaksanaannya terjadwal secara khusus. Pembatalan lelang sendiri dapat terjadi atas permintaan penjual ataupun berdasarkan putusan lembaga peradilan. Selain itu dapat pula dibatalkan saat dimulainya lelang oleh pejabat lelang dalam beberapa keadaan tertentu sebagaimana termuat dalam pasal 40 PMK Petunjuk Pelaksanaan Lelang.
Pasal 79 ayat (1) PMK Petunjuk Pelaksanaan Lelang menegaskan bahwa lembaga jasa keuangan yang berkedudukan kreditur dapat melakukan pembelian agunan debiturnya yang macet melalui lelang tersebut sepanjang hal itu diatur serta tidak menyimpang dengan peraturan hukum yang ada. Hal ini kemudian diakomodir oleh keberadaan pasal 12A ayat (1) UU Perbankan yang memberi kesempatan Bank Umum untuk membeli sebagian atau seluruh agunan kredit debiturnya yang tidak melaksanakan kewajibannya melalui lelang atau luar lelang.
Pembelian agunan debitur melalui lelang ini sebagaimana termuat dalam Pasal 79 ayat (2) dapat dilakukan dengan disampaikannya surat pernyataan berbentuk akta notaris yang menjelaskan bahwa dibelinya agunan tersebut ditujukan untuk pihak lainnya yang selanjutnya akan ditunjuk paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak pelaksanaan lelang dilakukan, yang mana apabila kemudian jangka waktu itu telah habis maka lembaga jasa keuangan tersebut yang akan ditunjuk sebagai pembeli.
Dalam hal pembeli telah menyelesaikan pembayaran lelang yang dapat dibuktikan dengan kwitansi lunas dan pembayaran bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), maka pejabat lelang kemudian harus segera memberi asli dokumen kepemilikan kepada pembeli sekaligus menyerahkan Kutipan Risalah Lelang bagi pihak yang berkepentingan dalam hal ini penjual maupun pembeli lelang.
Lelang merupakan salah satu upaya penyelesaian kredit bermasalah melalui pengambilalihan agunan yang dapat dilakukan oleh kreditur yakni Bank dalam hal debitur melakukan wanprestasi. Pengajuan judicial review terhadap pasal 12A ayat (1) UU Perbankan oleh PT. BPR Lestari Bali ini tidaklah terlepas dari pandangan bahwa keberadaan klausula “Bank Umum” dalam pasal ini dianggap mengalami pertentangan dengan beberapa ketentuan pasal dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945.
Pertama, dianggap bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 dikarenakan sebagaimana termuat dalam pasal ini “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”, namun klausula “Bank Umum” ini dianggap menimbulkan multitafsir diantara lembaga pelaksana peraturan perundang-undangan yang menyebabkan hilangnya jaminan atas perlindungan serta kepastian hukum bagi BPR untuk dapat mengambilalih agunan kredit debitur macet dalam hal terjadinya wanprestasi sehingga akan menempatkan BPR pada posisi yang semakin sulit.
Kedua, dianggap bertentangan dengan ketentuan pasal 28H ayat (2) UUD NRI 1945, hal ini dikarenakan sebagaimana termuat dalam pasal ini “setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”, dimana keberadaan klausula “Bank Umum” ini dianggap mengurangi prinsip persamaan dan keadilan bagi BPR, sehingga BPR dianggap tidak memiliki kesempatan yang sama dengan Bank Umum sebagai peserta dari lelang atas kredit debiturnya yang mengalami kemacetan dan perlu segera untuk diselesaikan.
Ketiga, dianggap bertentangan dengan ketentuan Pasal 33 ayat (4) UUD NRI 1945 dikarenakan sebagaimana termuat dalam pasal ini, ”perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prisnip keberasamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”, dimana pembatasan klausula “Bank Umum” ini dianggap telah bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi ekonomi sebagaimana disebutkan diatas karena menimbulkan penafsiran bahwa BPR tidak boleh untuk melakukan lelang terhadap kredit macetnya.
Tujuan pengambilalihan agunan kredit debitur yang melakukan wanprestasi utamanya debitur yang mengalami macet melalui pelelangan maupun luar pelelangan ini sesungguhnya memiliki tujuan untuk mempercepat proses penyelesaian kredit macet yang dianggap akan merugikan kreditur, namun dengan keberadaan klausula “Bank Umum” dalam pasal 12A ayat (1) UU Perbankan ini terdapat beberapa ketentuan dalam UUD NRI 1945 yang memberi hak kepada BPR untuk diperlakukan secara sama, memperoleh keadilan dan dalam turut serta melaksanakan demokrasi ekonomi telah ditentang.
-
3.2 Pengaturan Pengambilalihan Agunan Kredit Macet oleh BPR
-
3.2.1 Pengambilalihan Agunan Kredit Macet oleh BPR sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 120/PUU/XVIII/2020
-
Pemberian kredit oleh Bank tentunya memiliki resiko akan terjadinya kemacetan walaupun telah melalui atau dilakukan berbagai analisis secara seksama sebagai bentuk penerapan prinsip kehati-hatian bank (prudential banking principal).13 Bank dalam hal ini sangat berkepentingan terhadap langkah-langkah pengamanan dalam meminimalisir kredit yang bermasalah untuk memperbaiki situasi dan melindungi kepentingan dari bank itu sendiri.14
Sebagai satu diantara lembaga jasa keuangan, BPR yang juga memiliki peran dalam penyediaan dana kredit bagi masyarakat, juga tidak dapat terhindar dari kondisi gagal bayar yang bisa terjadi pada debitur. Kredit dengan kategori Non Performing Loan (NPL) dapat terlihat apabila tingkat kolektabilitas dari kredit tersebut kurang lancar, diragukan atau macet.15 Kemunculan kredit macet ini juga tidaklah terjadi secara tiba-tiba namun bisa disebabkan oleh beberapa faktor internal atau eksternal yang berasal dari pihak kreditur maupun debitur itu sendiri.16
Selain faktor internal dan eksternal tersebut, saat ini keadaan kredit bermasalah atau macet ini juga dapat terjadi akibat adanya pandemi Covid-19 sebagai suatu situasi khusus.17 Kredit bermasalah ini tentunya akan mempengaruhi kesehatan BPR dan likuiditas dari BPR.18 Menghadapi kondisi yang dapat mempengaruhi kesehatan bank ini kemudian bank selaku keditur akan melakukan berbagai upaya untuk menyelesaikan kredit bermasalah atau macet tersebut. Pada umumnya terdapat dua langkah dalam menangani kredit bermasalah atau macet yakni dengan melakukan penyelamatan kredit atau dengan melakukan penyelesaian kredit.19 Penyelamatan terhadap kredit dapat dilakukan dengan perundingan kembali terhadap syarat-syarat kredit sedangkan penyelesaian kredit dilakukan melalui lembaga hukum.20
Dalam halnya terjadi gagal bayar yang menyebabkan kondisi kredit menjadi macet, terdapat beberapa strategi dari penyelamatan terhadap kredit macet yang dapat dilakukan oleh BPR yakni :21
-
1. Penjadwalan kembali atau rescheduling, merupakan upaya penyelamatan terhadap kredit macet dilakukan melalui perubahan terhadap syarat kredit dan terbatas pada jadwal atau jangka waktu angsuran dari kredit tersebut termasuk masa tenggang (grace period).
-
2. Persyaratan Kembali atau reconditioning, upaya yang dilakukan dengan melakukan perubahan atas jadwal pembayaran debitur, kemudian jangka waktu dan tingkat suku bunga, serta persyaratan-persyaratan lainnya.22
-
3. Penataan Kembali atau Restrukturisasi atau resctructuring, dapat dilakukan melalui pemberian penambahan kredit, kemudian konversi terhadap keseluruhan atau sebagian tunggakan dari bunga kredit menjadi hutang pokok maupun penyertaan dalam perusahaan, kemudian melakukan novasi atau pembaharuan kredit dan melakukan perpanjangan jangka waktu kredit.
Dalam hal kemudian langkah-langkah tersebut tidak berhasil ditempuh oleh BPR, dapat pula ditempuh langkah penyelamatan kredit macet lainnya yakni sebagai berikut:23
-
1. Keringanan Bunga, keringanan ini atau keringanan denda dapat diberikan kepada kredit dengan kolektibilitas diragukan dan macet melalui pembayaran secara sekaligus atau angsuran.
-
2. Penjualan Terhadap Agunan Secara Dibawah Tangan, merupakan salah satu penyelesaian kredit yang dilakukan secara damai dengan cara melakukan penjualan agunan dibawah tangan melalui pemberian kesempatan kepada debitur untuk menjual sendiri agunannya atau Bank juga turut serta membantu dalam menawarkan atau mencarikan pembeli untuk agunan debitur tersebut.
Pasal 27 ayat (1) POJK No. 33/POJK.03/2018, mengatur bahwa BPR dapat melakukan pengambilalihan agunan debitur dalam keadaan suatu kredit debitur memiliki kualitas macet yang sifatnya sementara. Penyelesaian terhadap AYDA ini wajib diselesaikan oleh BPR dalam batas waktu yaitu paling lambat 1 (satu) tahun sejak diambilalihnya agunan tersebut. Dalam hal ini walaupun pasal 1 angka 11 memuat ketentuan bahwa AYDA merupakan sebuah aset yang didapatkan oleh BPR dalam upaya penyelesaian kredit debitur macet melalui lelang atau diluar lelang, namun ketentuan pasal 12A ayat (1) UU Perbankan menyebabkan BPR kemudian tidak mendapatkan kepastian hukum dalam pelaksanaan lelang itu sendiri karena klausula “Bank Umum” yang termuat didalamnya. Pelaksanaan pengambilalihan agunan kredit macet melalui lelang oleh BPR sebelum putusan MK Nomor 102/PUU-XVIII/2020 ini tentunya masih belum dapat dilaksanakan mengingat belum adanya kepastian hukum terhadap klausula “Bank Umum” tersebut.
Secara umum tujuan lembaga perbankan adalah turut serta dalam menunjang pelaksanaan dari perekonomian nasional didalam upaya meningkatkan pemerataan, kemudian pertumbuhan serta stabilitas ekonomi nasional sebagai bagian dari cita nasional Indonesia yang tercantum dalam UUD NRI 1945. Klausula “Bank Umum” tersebut dianggap bersifat diskriminatif terhadap hak BPR dalam turut serta menjadi pembeli lelang terhadap kredit debitur yang mengalami macet, padahal dalam hal ini peran Bank Umum maupun BPR adalah sama dalam menyelenggarakan aktivitas ekonomi untuk upaya meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Pengajuan judicial review yang dilakukan oleh PT. BPR Lestari Bali memberikan titik terang dalam pemberian kepastian hukum terkait pengambilalihan agunan kredit macet melalui lelang maupun diluar pelelangan oleh BPR. Pengajuan ini didasarkan pada keadaan bahwa klausula “Bank Umum”memberikan keleluasaan hanya kepada Bank
Umum untuk membeli sebagian atau seluruh agunan dari debitur macet melalui lelang atau luar lelang yang tentunya dianggap melanggar prinsip a quality before the law, kemudian perlindungan hak asasi manusia, serta asas legalitas.
BPR sebagai salah satu lembaga keuangan juga menjalankan usahanya berdasarkan prinsip kehati-hatian. Hal ini diperlukan untuk menjamin keberadaan dana dari pihak ketiga yang dihimpun dan disalurkan ke masyarakat, sehingga dalam hal adanya debitur yang mengalami gagal bayar, BPR juga haruslah memiliki mitigasi resiko melalui pembelian agunan kredit macet melalui lelang atau luar pelelangan untuk dapat mewujudkan tata kelola bank yang baik dan sehat.
Berdasarkan pada data statistik dari Perbankan Indonesia yang disampaikan oleh OJK pada Januari 2022, terdapat kurang lebih 1.466 BPR dengan total aset mencapai sejumlah Rp. 167,821 Trilliun. Pasca pandemi Covid-19 penurunan pertumbuhan ekonomi di Indonesia juga berimbas pada kualitas kredit yang disalurkan oleh bank. Pandemi Covid-19 berimbas pada turunnya pendapatan masyarakat sehingga tidak mampu memenuhi kewajiban kreditnya di Bank, dimana pada awal tahun 2020 NPL atau keberadaan kredit macet pada BPR sendiri mengalami peningkatan yang cukup drastis meskipun secara rata-rata masih berada pada persentase dibawah 5%.24 Hal ini tentunya menyebabkan BPR juga dianggap perlu untuk melakukan upaaya penyelamatan terhadap kredit atau pembiayaan kredit yang mengalami permasalahan sehingga kemudian tidak akan merugikan BPR tersebut.
Untuk menyelamatkan kredit macet ini pengambilalihan agunan kredit debitur yang juga dikenal dengan istilah kompensasi atau perjumpaan utang kemudian dilakukan oleh BPR.25 Dalam hal ini BPR melakukan pengambilalihan terhadap agunan debitur dengan mengkompensasikan nilai jaminan debitur yang akan diambil tersebut dengan jumlah kreditnya.26 Agunan yang diambil itu dibayarlah menggunakan kredit debitur yang tertunggak tersebut.27 Ketika agunan kredit ini telah dimiliki oleh bank maka kredit debitur macet tersebut dianggap telah lunas.
Walapupun dalam POJK 33, PMK 213 dan surat edaran DJKN S-407/KN.7/2012 tidak terdapat larangan bagi BPR dalam melakukan pengambilalihan agunan kredit macet tersebut, keberadaan klausula “Bank Umum” dalam Pasal 12A ayat (1) UU Perbankan yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi dalam hierarki peraturan perundang-undangan justru menimbulkan penafsiran yang tidak memberi kepastian hukum.
Tujuan penyelesaian dari kredit macet melalui AYDA ini sesungguhnya adalah mengurangi adanya kredit bermasalah.28 Turut serta dalam pelelangan merupakan
Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal),
Vol. 12 No. 1 Mei 2023, 99-112
salah satu bentuk bank dalam menjalankan prinsip kehati-hatian perbankan (prudential banking principal) karena keberadaan kredit macet harus segera ditanggulangi mengingat keberadaan kredit macet tersebut akan memperburuk kualitas aset bank dan tingkat kesehatan bank.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 120/PUU/XVIII/2020 kemudian memberikan titik terang dengan mengabulkan permohonan judicial review yang dilakukan oleh PT. BPR Lestari Bali, dimana dalam hal ini kemudian putusan ini menyatakan bahwa frasa “Bank Umum” dalam Pasal 12A ayat (1) UU Perbankan bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat, sehingga ketentuan pasal ini sejak adanya putusan ini mengatur bahwa, “Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan maupun diluar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual diluar pelelangan dari pemilik agunan dalam hal nasabah debitur tidak memenuhi kewajiban kepada bank dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya”.
Sehingga berdasarkan putusan ini kemudian keberadaan klausula “Bank Umum” yang semula bersifat diskriminatif terhadap hak BPR untuk turut serta sebagai pembeli lelang dalam hal terjadinya kredit macet telah diputuskan tidak berlaku mengikat jika tidak dimaknai “Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakat”. BPR dalam hal ini telah diberikan kepastian hukum terkait tindakan hukumnya sebagai pembeli lelang jika terdapat kredit macet dalam BPR bersangkutan.
Berdasarkan pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa pengajuan judicial review terhadap pasal 12A ayat (1) UU Perbankan tidaklah terlepas dari pandangan bahwa keberadaan klausula “Bank Umum” dalam pasal ini dianggap telah bertentangan dan tidak sesuai dengan amanat ketentuan pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD NRI 1945 karena dianggap bersifat diskriminatif terhadap hak BPR untuk turut serta menjadi pembeli lelang terhadap kredit debitur yang mengalami macet, sehingga pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XVIII/2020 kemudian dinyatakan bahwa frasa “Bank Umum” dalam Pasal 12A ayat (1) UU Perbankan tidak berkekuatan hukum mengikat semasih tidak dimaknai sebagai “Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat” sehingga BPR kemudian mendapat kepastian hukum untuk dapat turut serta membeli baik sebagian atau seluruh agunan debitur yang tidak melaksanakan kewajibannya melalui lelang atau diluar lelang.
Daftar Pustaka
Aji, Bondan Seno, Made Warka, and Evi Kongres. “PENERAPAN KLAUSULA FORCE MAJEURE DALAM PERJANJIAN KREDIT DI MASA PANDEMI COVID 19.” Jurnal Akrab Juara 6, no. 1 (2021): 1–18.
Diantha, I Made Pasek, Ni Ketut Supasti Dharmawan, and I Gede Artha. Metode Penelitian Hukum Dan Penulisan Disertasi. Denpasar: Swasta Nulus, 2018.
Diantha, I Made Pasek. Metodologi Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifikasi Teori Hukum. Jakarta: Prenamedia Group, 2019.
Dilapanga, Nur Muhammad. “Agunan Yang Diambil Alih: Sebuah Mekanisme Dalam Penyelesaian Kredit Macet.” JISIP (Jurnal Ilmu Sosial Dan Pendidikan) 5, no. 2 (2021).
Fibrianti, Riska. “Kedudukan Hukum Objek Jaminan Sertipikat Hak Milik Yang Diambil Alih Oleh Kreditor (AYDA) Sebagai Badan Hukum Dengan Akta De Command.” Syiar Hukum: Jurnal Ilmu Hukum 18, no. 1 (2020): 83–114.
Hapsari, Riana. “PENERAPAN PRINSIP 3R (RESTRUCTURING, RESCHEDULLING, RECONDITIONING) DALAM IMPLEMENTASI PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 11/POJK. 03/2020 TENTANG STIMULUS PEREKONOMIAN NASIONAL SEBAGAI KEBIJAKAN COUNTERCYCLICAL DAMPAK PENYEBARAN CORONAVIRUS DISEASE 2019.” " Dharmasisya” Jurnal Program Magister Hukum FHUI 1, no. 4 (2022): 33.
Kosasih, Johannes Ibrahim. Akses Perkreditan Dan Ragam Fasilitas Kredit. Jakarta: Sinar Grafika, 2019.
Luntungan, Nathan. “PENYELESAIAN KREDIT BERMASALAH BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1998 TENTANG PERBANKAN.” LEX PRIVATUM 6, no. 5 (2018).
Natsya, I Dewa Gede Agung Dhira, and Dewa Gde Rudy. “Kedudukan Lembaga Perbankan Sebagai Pembeli Lelang Eksekusi Hak Tanggungan Atas Jaminanya.” Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan 6, no. 02 (2021): 310–21.
Pardede, Marulak. Hukum Perjanjian: Teknologi Informasi Dan Kejahatan. Jakarta: Papar Sinar Sinanti, 2021.
Permana, Iva Latifah, “Implikasi Yuridis Agunan Yang Diambil Alih Oleh Perbankan Syariah Dalam Akad Murabahah”, n.d.
Prabandari, Grace Ayu, Agus Nurdin, and Mujiono Hafidh Prasetyo. “Penyelesaian Kredit Yang Dijamin Hak Tanggungan Dengan Ayda (Agunan Yang Diambil Alih) Bank Melalui Lelang.” Notarius 14, no. 1 (n.d.): 581–97.
Rostarum, Triamy. “Prosedur Pengambilalihan Obyek Jaminan Hak Tanggungan Dalam Masalah Kredit Macet.” Wajah Hukum 2, no. 2 (2018).
https://doi.org/10.33087/wjh.v2i2.39.
Sutarno. Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank. Bandung: Alfabeta, 2003.
Syafril. Bank&Lembaga Keuangan Modern Lainnya. Jakarta: Kencana, 2020.
Tampi, Raynaldo B. “Kebebasan Bank Dalam Memilih Lembaga Penyelesaian Kredit Macet Di Indonesia.” Lex Privatum 6, no. 1 (2018).
Utami, Putu Devi Yustisia. “Kajian Yuridis Agunan Yang Diambil Alih (AYDA) Oleh Bank.” Kerta Dyatmika 16, no. 2 (2019).
Yasid, Muhammad, and Risha Ramayanti. “UPAYA PENYELESAIAN KREDIT BERMASALAH PADA LEMBAGA PERBANKAN.” Jurnal Darma Agung 27, no. 3 (2019). https://doi.org/10.46930/ojsuda.v27i3.379.
Utami, Putu Devi Yustisia, and Dewa Gede Pradnya Yustiawan. "Non Performing Loan sebagai Dampak Pandemi Covid-19: Tinjauan Force Majeure Dalam Perjanjian Kredit Perbankan." Jurnal Kertha Patrika 43, no. 3 (2021).
https://doi.org/10.24843/kp.2021.v43.i03.p07.
Warsito, Bayu Rangga, and Albertus Sentot Sudarwanto. “PENYELESAIAN KREDIT MACET DENGAN AGUNAN YANG DIAMBIL ALIH (AYDA) SEBAGAI UPAYA PERLINDUNGAN KREDITUR DI PERSEROAN DAERAH BPR BANK KLATEN.” Jurnal Hukum Dan Pembangunan Ekonomi 7, no. 2 (n.d.): 187–95.
Radar Bali, 2020, BPR Lestari Bali Ajukan Judicial Review Ke Mahkamah Konstitusi | Radar Bali.” Accessed July 16, 2022. https://radarbali.jawapos.com/hukum-kriminal/26/11/2020/bpr-lestari-bali-ajukan-judicial-review-ke-mahkamah-konstitusi/.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790).
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.06/2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 33/POJK.03/2018 tentang Kualitas Aset Produktif dan Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aset Produktif Bank Perkreditan Rakyat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 258, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6284).
112
Discussion and feedback