Perlindungan Hukum Terhadap Penyewa Bangunan yang Berdiri diatas Tanah yang Hendak di Eksekusi
on

Perlindungan Hukum Terhadap Penyewa Bangunan yang Berdiri diatas Tanah yang Hendak di Eksekusi
Made Helena Putri Laksmi1, I Gede Yusa2
1Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]
2Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]
Info Artikel
Masuk: 24 Mei 2022
Diterima: 16 Maret 2023
Terbit: 27 Mei 2023
Keywords: Land, Building, Lease
Kata kunci: Tanah, Bangunan, Sewa-Menyewa
Corresponding Author:
Made Helena Putri Laksmi, email :
DOI:
10.24843/JMHU.2023.v12.i01.p
13
Abstract
The purpose of writing is to analyze the legal protection of the tenants of the building that stands on the land to be executed. This research uses normative legal research. Legal Effects The principle of horizontal separation of land is a principle that divides, limits, and separates ownership of a plot of land and everything related to the land horizontally, which means that the principle of horizontal separation has legal consequences in terms of building ownership. building owner. Legal Protection for Tenants of Buildings Standing on Land To be Executed, namely if someone builds a building on vacant land on the basis of a lease agreement with a certain period of time made between the owner of land rights and the owner of the building, then based on the principle of horizontal separation of land and buildings, the difference is ownership rights. In relation to rent, it’s an agreement with one party to bind himself to provide enjoyment of an item to another party for a certain period of time, with the payment of a price agreed by that party. One of the obligations of the owner of land rights is to give the building owner the right to enjoy the leased goods during the lease period. After the lease runs, the leased land is used as collateral for mortgage rights by the owner of the land rights. those on it get legal certainty and no party is harmed, the owner of the building and the owner of land rights.
Abstrak
Tujuan penulisan yaitu untuk menganalisa tentang perlindungan hukum terhadap penyewa bangunan yang berdiri diatas tanah yang hendak di eksekusi. Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif. Akibat Hukum Asas Pemisahan Tanah Horizontal merupakan asas yang membagi, membatasi, dan memisahkan pemilikan atas sebidang tanah berikut segala sesuatu yang berkenaan dengan tanah tersebut secara horizontal yang artinya asas pemisahan horizontal memiliki akibat hukum segi kepemilikan bangunan adalah bahwa asas pemisahan horizontal memisahkan antara pemilik tanah dengan pemilik bangunan. Perlindungan Hukum Terhadap Penyewa Bangunan Yang Berdiri Diatas Tanah Yang Hendak Di Eksekusi yaitu apabila seseorang mendirikan bangunan di atas tanah kosong atas dasar perjanjian sewa dengan jangka waktu tertentu yang dibuat
antara pemilik hak atas tanah dengan pemilik bangunan maka berdasarkan asas pemisahan horizontal tanah dan bangunan tersebut berbeda hak kepemilikannya. Terkait dengan sewa, merupakan suatu persetujuan dengan pihak yang satu mengikatkan diri untuk memberikan kenikmatan suatu barang kepada pihak yang lain selama waktu tertentu, dengan pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh pihak tersebut. Adapun salah satu kewajiban dari pemilik hak atas tanah adalah memberikan hak kepada pemilik bangunan untuk menikmati barang yang disewakan itu dengan tentram selama masa sewa. Setelah berjalannya sewa, tanah yang disewakan tersebut dijadikan jaminan hak tanggungan oleh pemilik hak atas tanah. yang ada diatasnya mendapatkan kepastian hukum dan tidak ada pihak yang dirugikan baik pemilik atas bangunan dan pemilik hak atas tanah.
Hukum pertanahan di Indonesia mempunyai sejarah tersendiri untukmenetapkan asas mana yang menjadi dasar dalam pengaturan mengenai tanah di Indonesia. Sebelum tahun 1960, terjadi dualisme di bidang hukum pertanahan sebagai warisan dari zaman Belanda. Pada masa itu, terdapat pembagian golongan yang didasarkan pada pembagian golongan kependudukan yang ditetapkan dalam Pasal 131 dan Pasal 163 Indische Staatsregeling (selanjutnya disebut IS). Golongan Eropa dan Timur Asing tunduk pada ketentuan Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata) yang berisi tentang hukum benda, yang dalam pengaturannya menggunakan asas perlekatan (acessie) seperti yang diatur dalam Pasal 500, Pasal 506, dan Pasal 507 KUHPerdata yang menyatakan bahwa hak milik atas sebidang tanah mengandung pula kepemilikan atas segala sesuatu yang ada di atas tanah maupun di dalam tanah tersebut. Asas perlekatan yang dianut hukum tanah kolonial sangat bertentangan dengan hukum tanah adat dimana hukum tanah adat menganut asas pemisahan horizontal.1
Asas pemisahan horizontal yang dianut oleh hukum adat inilah yang selanjutnya diadopsi dalam hukum pertanahan Indonesia yang diwujudkan dalam pembentukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA). Pembentukan UUPA juga merupakan unifikasi di bidang hukum pertanahan yang mengakhiri dualisme dalam hukum pertanahan dengan menetapkan hukum adat sebagai dasar dari pembentukan hukum pertanahan di Indonesia yang terkandung dalam Pasal 5 UUPA menentukan yang pada prinsipnya Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa.
Berdasarkan ketentuan Pasal 5 UUPA tersebut, hukum adat yang berlaku dalam UUPA bukanlah hukum adat yang murni melainkan hukum adat yang tidak boleh
bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara yang berdasarkan atas kesatuan bangsa, sosialisme Indonesia, peraturan-peraturan yang tercantum dalam UUPA, peraturan perundang-undangan lainnya dan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
Hukum agraria nasional mengadaptasi konsepsi, asas-asas dan lembaga-lembaga hukumnya untuk dirumuskan menjadi norma-norma hukum yang tertulis yang disusun menurut sistem hukum adat tersebut dan salah satu asas yang diambil dari hukum adat dalam pengaturan hukum tanah nasional adalah asas pemisahan horizontal. Asas pemisahan horizontal dalam UUPA terdapat dalam Pasal 4 ayat (2) yang menyatakan:
“Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.”
Pemberian kewenangan kepada pemegang hak atas tanah hanya sebatas permukaan tanahnya saja sedangkan bangunan atau apapun yang melekat di atas tanah tersebut berbeda hak kepemilikannya dengan tanah tersebut dan hal ini membuka kemungkinan bahwa individu menjadi pemegang hak atas benda yang melekat di atas tanah berbeda dengan individu yang memegang hak atas tanah.2
Sebagai hasil dari pemberlakuan asas pemisahan horizontal di Indonesia dikenal berbagai macam hak untuk pemanfaatan atas tanah yang terpisah dari kepemilikan atas tanah yang dimanfaatkan tersebut, salah satunya hak sewa di atas tanah milik orang lain yang diatur dalam Pasal 44 UUPA. Hak sewa memberikan pemegang haknya wewenang untuk membangun dan memiliki bangunan di atas tanah milik orang lain.3 Sehingga, hak sewa melahirkan adanya perbedaan kepemilikan antara tanah dengan bangunan yang berdiri di atasnya dengan imbalan berupa uang sewa yang dibayarkan kepada si pemilik tanah sesuai aturan Pasal 44 ayat (1) UUPA. Terhadap setiap objek sewa menyewa yang menjadi jaminan kredit yang diserahkan debitur dan disetujui oleh bank seharusnya mengikat objek jaminan kredit secara sempurna, yakni dengan mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penyaluran kredit oleh bank wajib berdasarkan tujuan kredit itu sendiri yaitu profitability dan safety. Tujuan kredit ini dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan berupa bunga dari pokok pinjaman serta tujuan tujuan lain terhadap sebuah prestasi dalam pengembalian pinjaman yang diberikan kepada nasabah.4 Apabila debitur tidak
menepati janjinya atau cidera janji (wanprestasi), maka bank dapat melaksanakan hanya dengan melakukan eksekusi objek jaminan untuk mendapatkan pelunasan hutangnya.5
Salah satu jenis perjanjian penjaminan yang banyak diminati kalangan perbankan adalah hak tanggungan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (selanjutnya disebut UUHT). UUHT menentukan bahwa hak tanggungan merupakan hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur lain. Dalam arti, bahwa apabila debitur cidera janji, kreditur pemegang hak tanggungan berhak menjual pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditur sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 UUHT.
Permasalahan hukum muncul ketika pihak debitur cidera janji tidak mampu membayar utangnya dan mengakibatkan objek sewa harus di eksekusi oleh pihak kreditur. Apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 6 UUHT maka menimbulkan ketidakpastian dalam sewa menyewa terkait memberikan perlindungan terhadap penyewa dalam hal objek sewa dijadikan jaminan hak tanggungan, yang mana perjanjian sebelumnya harus lebih diutamakan daripada perjanjian berikutnya. Artinya penyewa memiliki hubungan hukum yang berbeda dengan debitur yang telah cidera janji yang mengakibatkan objek sewa menyewa tersebut akhirnya harus di eksekusi oleh pihak kreditur. Sehingga hal ini dapat merugikan pihak penyewa.
Sehingga layak untuk diangkat menjadi penelitian jurnal ilmiah dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Penyewa Bangunan Yang Berdiri Diatas Tanah Yang Hendak di Eksekusi”
Berdasarkan latar belakang yang telah menguraikan permasalahan hukum yang terjadi, sehingga sudah selayaknya dapat dirumuskan suatu rumusan mmasalah sebagai berikut: Bagaimana akibat hukum Asas Pemisahan Tanah Horizontal? Dan Bagaimana perlindungan hukum terhadap penyewa bangunan yang berdiri diatas tanah yang hendak di eksekusi?
Tujuan penulisan jurnal ilmiah ini yaitu untuk mengetahui serta menganalisa tentang akibat hukum Asas Pemisahan Tanah Horizontal dan perlindungan hukum terhadap penyewa bangunan yang berdiri diatas tanah yang hendak di eksekusi.
Penulisan jurnal ilmiah ini menggunakan beberapa penulisan jurnal ilmiah terdahulu atau yang lebih dulu terpublikasikan yang dirasa memiliki topik yang serupa dengan tulisan ini, sehingga mampu untuk disandingkan dengan tulisan ini bawasannya tulisan ini memiliki nilai originalitas tanpa melakukan tindakan-tindakan plagiat dalam proses penulisan jurnal ilmiah ini. Adapun jurnal ilmiah terdahulu yang memiliki topik serupa, antara lain:
-
1) Jurnal ilmiah yang dibuat oleh Johanes Maria Vianney Graciano pada tahun 2020 pada Jurnal Magister Hukum Udayana dengan judul “Akibat Hukum Pelelangan Tanah Yang Menjadi Objek Sewa Menyewa”. Permasalahan yang pertama mengenai bagaimana prosedur pelaksanaan lelang Sertifikat Hak Tanggungan dan untuk permasalahan yang kedua adalah bagaimana akibat hukum dari adanya pelelangan ersebut terhadap pelaksanaan perjanjian sewa menyewa.6
-
2) Jurnal yang ditulis oleh Angela Melani Widjaja pada tahun 2019 pada Jurnal Jurist-Diction Universitas Airlangga dengan judul “Pembebanan Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda Yang Akan Ada Berupa Bangunan Gedung”. Permaslahaan yang diangkat yaitu mengenai Pembebanan Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda Yang Akan Ada Berupa Bangunan Gedung.
Berdasarkan 2 (dua) jurnal terdahulu tersebut dapat menunjukkan bahwa tulisan ini orisinal dan memiliki unsur-unsur kebaharuan dalam dunia pendidikan, dan tidak terdapat hal-hal yang dapat menjurus kepada tindak plagiat. Karena penelitian ini berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Penyewa Bangunan Yang Berdiri Diatas Tanah Yang Hendak di Eksekusi” dan permasalahan yang dibahas mengenai akibat hukum Asas Pemisahan Tanah dan perlindungan hukum terhadap penyewa bangunan yang berdiri diatas tanah yang hendak di eksekusi.
Jenis penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, yaitu penelitian terhadap aspek hukum suatu permasalahan yang dilakukan dengan cara menganalisi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder untuk kemudian dihubungkan dengan permasalahan hukum yang ada.7 Penelitian ini menggunakan pendekatan: perundang-undangan dan pendekatan konseptual.8 Pendekatan undang-undang, pengkajiannya didasarkan pada peraturan perundang-undangan. Pendekatan ini perlu dipahami hierarki dan asas-asas dari peraturan perundang-undangan yang dipakai.9 Selanjutnya dilanjutkan dengan menganalisis permasalahan yang ada sesuai dengan konsep-konsep hukum yang disertai dengan berbagai literatur seperti buku-buku, jurnal, artikel, dan lain sebagainya, yang relevan dengan permasalahan yang
hendak dibahas. Teknik analisis yang digunakan yaitu deskripsi, interprestasi dan argumentasi.10
Akibat hukum merupakan segala akibat yang terjadi dari segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum terhadap obyek hukum ataupun akibat-akibat lain yang disebabkan karena kejadian-kejadian tertentu yang oleh hukum yang bersangkutan sendiri telah ditentukan atau dianggap sebagai akibat hukum. Akibat hukum inilah yang melahirkan suatu hak dan kewajiban bagi para subyek hukum atau dengan kata lain, akibat hukum ialah akibat yang ditimbulkan oleh peristiwa hukum, yang dapat berwujud sebagai berikut:
-
1. Lahir, berubah atau lenyapknya suatu keadaan hukum.
-
2. Lahir, berubah atau lenyapnya suatu hubungan hukum antara dua atau lebih subyek hukum, dimana hak dan kewajiban pihak yang satu berhadapan dengan hak dan kewajiban pihak yang lain.
-
3. Lahirnya saksi apabila dilakukan tindakan melawan hukum.11
Maka akibat hukum merupakan suatu peristiwa yang ditimbulkan oleh suatu sebab, yaitu perbuatan yang dilakukan oleh subyek hukum, baik yang sesuai dengan hukum maupun perbuatan yang tidak sesuai dengan hukum. Setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan menimbulkan akibat hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban dalam aspek kegiatan hukum sehari-hari, dapat ditemukan perbuatanperbuatan hukum yang berkenaan dengan perjanjian atau kontrak antara 2 (dua) pihak atau lebih.
Pada dasarnya salah satu aspek yang penting di dalam hukum tanah adalah mengenai hubungan hukum antara tanah dengan benda lain yang melekat padanya. Kepastian hukum akan kedudukan hukum dari benda yang melekat pada tanah itu sangat penting sebab hal ini mempunyai pengaruh yang luas terhadap segala hubungan hukum yang menyangkut tanah dan benda yang melekat padanya. Di dalam hukum tanah dikenal terdapat 2 (dua) asas yang satu sama lain bertentangan yaitu yang dikenal dengan asas perlekatan vertikal (vertical accessie beginsel) dan asas pemisahan horizontal (horizontale scheiding beginsel). Sejak berlakunya KUHPerdata kedua asas ini diterapkan secara berdampingan sesuai dengan tata hukum yang berlaku dewasa itu (masih dualistis).
Sejak berlakunya UUPA maka ketentuan Buku II KUHPerdata sepanjang mengenai bumi, air serta kekayaan di dalamnya telah dicabut. Asas perlekatan vertikal yaitu asas yang mendasarkan pemilikan tanah dan segala benda yang melekat padanya sebagai
suatu kesatuan yang tertancap menjadi satu. Dalam hukum tanah negara-negara yang menggunakan apa yang disebut asas accessie atau asas perlekatan, bangunan dan tanaman yang ada di atas dan merupakan satu kesatuan dengan tanah, merupakan bagian dari tanah yang bersangkutan. Hak atas tanah dengan sendirinya, karena hukum, meliputi juga pemilikan bangunan dan tanaman yang ada di atas tanah yang dihaki. Kecuali jika terdapat kesepakatan lain dengan pihak yang membangun atau menanamnya (ketentuan Pasal 500 dan 571 KUHPerdata). Perbuatan hukum mengenai tanah dengan sendirinya meliputi tanaman dan bangunan yang ada di atasnya. Umumnya bangunan dan tanaman yang ada di atas tanah adalah milik empunya tanah. Dalam hukum Indonesia dimungkinkan pemilikan secara pribadi bagian-bagian bangunan, sebab hukum Indonesia menganut asas pemisahan horizontal, yakni asas hukum adat yang merupakan dasar hukum tanah Indonesia. Berdasarkan asas pemisahan horizontal pemilikan atas tanah dan benda-benda yang berada di atas tanah tersebut adalah terpisah. Pemilikan atas tanah terlepas dari benda-benda yang ada di atas tanah, sehingga pemilik hak atas tanah dan pemilik atas bangunan yang berada di atasnya dapat berbeda.12
UUPA merupakan perwujudan upaya maksimal bangsa Indonesia untuk membebaskan diri dari ketergantungan dengan bangsa lain di bidang hukum pertanahan. Sebelum berlakunya UUPA, Indonesia menganut 2 (dua) hukum tanah yang berbeda, yakni hukum tanah kolonial yang dituangkan dalam Burgelijk Wetbook (selanjutnya disebut BW) dan hukum tanah adat yang bersumber dari hukum adat. Terdapat perbedaan yang signifikan diantara kedua hukum tersebut, dimana hukum tanah kolonial yang bersumber dari BW menganut asas perlekatan atau yang disebut juga dengan asas natrekking atau asas accesie. Asas ini secara tegas dinyatalan dalam BW khususnya pada ketentuan Pasal 500, Pasal 571, dan Pasal 601 yang menyatakan bahwa hak milik atas sebidang tanah mengandung pula kepemilikan atas segala sesuatu yang ada di atas tanah maupun di dalam tanah tersebut. Kata lain, kepemilikan atas tanah meliputi pula kepemilikan atas bangunan yang ada diatasnya, karena bangunan merupakan bagian dari tanah tersebut dan bangunan yang didirikan di atas tanah kepunyaan pihak lain akan menjadi milik pemilik tanah. Asas perlekatan yang dianut hukum tanah kolonial sangat bertentangan dengan hukum tanah adat dimana hukum tanah adat menganut asas pemisahan horizontal. Asas pemisahan horizontal yang dianut hukum tanah adat menyatakan bahwa bangunan, tanaman, dan benda-benda bersifat ekonomis lainnya yang ada di atas tanah bukanlah merupakan bagian dari tanah. Kata lain, kepemilikan atas tanah tidak meliputi kepemilikan atas bangunan diatasnya, bangunan berada di bawah kepemilikan pihak yang membangun bangunan tersebut.
Demi mewujudkan unifikasi hukum, peraturan dan keputusan agraria kolonial dicabut dan dibentuklah kesatuan hukum tanah nasional yang sesuai dengan kepribadian dan persatuan Indonesia sehingga dengan demikian tidak ada lagi penggolongan hukum tanah kolonial dan hukum tanah adat. Namun demikian, kesatuan Hukum Pertanahan Nasional dibentuk dengan didasari oleh Hukum Tanah
Adat yang telah berlaku sebelumnya, karena hukum tanah adat tersebut telah dianut oleh sebagian besar rakyat Indonesia.
Asas pemisahan horizontal adalah asas dalam hukum pertanahan yang diatur dalam hukum adat. Dengan adanya asas pemisahan horizontal maka tanah terlepas dari segala benda yang melekat padanya. Asas pemisahan horizontal hak-hak atas tanah yang merupakan sifat asli hak-hak dalam hukum adat, tetap dipertahankan akan tetapi disesuaikan dengan kenyataan kebutuhan masyarakat masa kini. Hak atas tanah tidak meliputi pemilikan atas bangunan yang ada di atasnya.13 Bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang ada di atas suatu bidang tanah adalah milik pihak yang membangun atau yang menanam, baik pihak itu pemegang hak atas tanahnya sendiri atau bukan.
Hukum adat tanah merupakan benda yang sangat istimewa, sehingga pengaturan mengenai tanah dalam hukum adat mempunyai lingkup tersendiri yang terpisah dari benda lain yang bukan tanah. Kedudukan istimewa tersebut adalah sedemikian rupa sehingga dalam hukum adat pengaturan hukum tanah, transaksi tanah dan transaksi yang berhubungan dengan tanah diatur tersendiri. Yang dimaksud dengan transaksi yang berhubungan dengan tanah dalam hukum adat yaitu transaksi atas tanah yang tidak langsung, contohnya sewa tanah dan jaminan atas tanah yang dikenal dengan istilah hak tanggungan yang semuanya mempunyai ketentuan batasan waktu yang jelas baik atas dasar kesepakatan maupun atas dasar ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selama jangka waktunya belum berakhir selama itu pula pemegang hak milik atas tanah tidak boleh menggunakan haknya salah satunya untuk menjadikannya sebagai jaminan utang piutang. Namun dalam UUPA kemungkinan dibebankan hak tanggungan atas tanah berikut bangunan dan/atau tanaman yang ada di atasnya diperluas hingga meliputi juga bangunan dan tanaman milik pihak lain. Secara analogi perluasan tersebut dapat diterapkan juga pada perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah yang dilakukan berikut bangunan dan/atau tanaman yang ada di atasnya. Asalkan pemilik bangunan dan atau tanaman tersebut ikut hadir di hadapan PPAT dan memindahkan haknya kepada penerima hak. Dengan demikian tidak perlu pemindahan hak atas bangunan dan/atau tanaman tersebut dilakukan secara terpisah dengan akta tersendiri. Dibukanya kemungkinan tersebut tidak berarti bahwa hukum tanah nasional kita meninggalkan asas pemisahan horizontal dan menggantikannya dengan asas accessie. Bangunan dan tanaman tersebut tetap bukan merupakan bagian dari tanah. Maka untuk dapat ikut dipindahkan haknya atau dibebani hak tanggungan hal tersebut wajib secara tegas dinyatakan dalam akta yang bersangkutan.14
Sehingga setelah dilakukan pembahasan yang mendalam sehingga dapat dianalisa mengenai permasalahan ini yaitu akibat Hukum Asas Pemisahan Tanah Horizontal merupakan asas yang membagi, membatasi, dan memisahkan pemilikan atas sebidang tanah berikut segala sesuatu yang berkenaan dengan tanah tersebut secara horizontal yang artinya asas pemisahan horizontal memiliki akibat hukum segi kepemilikan bangunan
adalah bahwa asas pemisahan horizontal memisahkan antara pemilik tanah dengan pemilik bangunan.
Perlindungan hukum merupakan perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan atau sebagai kumpulan peraturan atau kaidah yang akan dapat melindungi suatu hal dari hal lainnya dan dengan segala upaya pemerintah untuk menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada warga negaranya agar hak-haknya sebagai seorang warga negara tidak dilanggar dan bagi yang melanggar akan dapat dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku. Hukum dalam memberikan perlindungan dapat melalui cara-cara tertentu antara lain “Membuat peraturan (by giving regulation) dan Menegakkan peraturan (by law enforcement).
Penanganan perlindungan hukum oleh Pengadilan Umum dan Pengadilan Administrasi di Indonesia termasuk kategori perlindungan hukum yang bersifat represif dengan didasari oleh prinsip negara hukum. Dikaitkan dengan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia mendapat tempat utama dan dapat dikaitkan dengan tujuan dari negara hukum.15
Perlindungan hukum berkaitan erat dengan hak seseorang untuk berada dalam perlindungan secara hukum dan hak atas rasa aman. Hal ini sudah tercantum dalam ketentuan Pasal 28 huruf G Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan ketentuan Pasal 28 huruf G Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mempunyai makna bahwa setiap warga negara berhak atas perlindungan dari Negara baik bagi dirinya sendiri, keluarga, kehormatan maupun martabat dan harta benda yang dia miliki dibawah kekuasaannya. Setiap orang memiliki hak atas rasa aman dan perlindungan dari adanya ancaman untuk berbuat atau bertindak yang tidak sesuai dengan hak asasi manusia.
Mengenai apa itu perlindungan hukum juga dikemukan oleh para ahli dengan mencetuskan suatu teori perlindungan hukum salah satunya dikemukakan oleh Satjipto Raharjo yang menjelaskan bahwa perlindungan hukum adalah upaya untuk mengorganisasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat supaya tidak terjadi tubrukan antar kepentingan dan dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. 16 Kemudian Philipus M. Hadjon juga berpendapat bahwa perlindungan hukum adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan
hukum dari kesewenangan atau sebagaikumpulan peraturan atau kaidah yang akan dapat melindungi suatu hal dari hal lainnya.17
Sebagaimana diketahui hukum tanah nasional didasarkan pada hukum adat yang menganut asas pemisahan horizontal. Asas pemisahan horizontal merupakan asas yang membagi, membatasi, dan memisahkan pemilikan atas sebidang tanah berikut segala sesuatu yang berkenaan dengan tanah tersebut secara horizontal. Dalam hukum adat, asas pemisahan horizontal terjawantahkan dalam bentuk magersari yaitu hak menumpang dari seseorang yang mendirikan bangunan tempat tinggal di atas tanah milik orang lain yang diperbolehkan oleh si pemilik tersebut yang belum merasa perlu untuk menggunakan tanahnya itu sendiri serta sistem tumpeng sari tanaman bagi hasil (sistem usaha bagi hasil). Selain hal tersebut dapat dikatakan bahwa asas pemisahan horizontal merupakan asas yang memisahkan antara pemilikan hak atas tanah dengan benda-benda atau bangunan-bangunan yang berada di atasnya. Dalam penerapannya asas pemisahan horizontal mengandung 2 (dua) segi, yaitu segi hukum dan segi kepemilikan bangunannya. Segi hukumnya adalah bahwa asas pemisahan horizontal memisahkan hukum yang berlaku antara tanah dengan bangunan. Apabila berkaitan dengan tanah, maka tunduk pada hukum pertanahan dan apabila berkaitan dengan bangunan, maka tunduk pada hukum perutangan. Sedangkan segi kepemilikan bangunan adalah bahwa asas pemisahan horizontal memisahkan antara pemilik tanah dengan pemilik bangunan.
Apabila seseorang mendirikan bangunan di atas sebidang tanah kosong atas dasar perjanjian sewa -menyewa dengan jangka waktu tertentu yang dibuat antara pemilik hak atas tanah dengan pemilik bangunan maka berdasarkan asas pemisahan horizontal tanah dan bangunan tersebut berbeda hak kepemilikannya. Terkait dengan sewa menyewa yang merupakan suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk memberikan kenikmatan suatu barang kepada pihak yang lain selama waktu tertentu, dengan pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh pihak tersebut. Adapun salah satu kewajiban dari pemilik hak atas tanah adalah memberikan hak kepada pemilik bangunan untuk menikmati barang yang disewakan itu dengan tentram selama berlangsungnya masa sewa. Setelah berjalannya sewa menyewa, tanah yang disewakan tersebut dijadikan jaminan hak tanggungan oleh pemilik hak atas tanah.
Apabila seseorang mendirikan bangunan di atas sebidang tanah kosong atas dasar perjanjian sewa menyewa dengan jangka waktu tertentu yang dibuat antara pemilik hak atas tanah dengan pemilik bangunan maka berdasarkan asas pemisahan horizontal tanah dan bangunan tersebut berbeda hak kepemilikannya. Terkait dengan sewa menyewa yang merupakan suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk memberikan kenikmatan suatu barang kepada pihak yang lain selama waktu tertentu, dengan pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh pihak tersebut. Adapun salah satu kewajiban dari pemilik hak atas tanah adalah memberikan hak kepada pemilik bangunan untuk menikmati barang yang disewakan itu dengan tentram selama berlangsungnya masa sewa. Setelah berjalannya sewa menyewa, tanah
yang disewakan tersebut dijadikan jaminan hak tanggungan oleh pemilik hak atas tanah. yang ada diatasnya dapat mendapatkan kepastian hukum dan tidak ada pihak yang dirugikan baik pemilik atas bangunan dan pemilik hak atas tanah. Menurut Dr. Irene Eka Sihombing, S.H., CN., MH., dalam bukunya menyatakan bahwa hak milik adalah hak untuk memakai tanah yang sifatnya sangat khusus, yang bukan sekedar berisikan kewenangan untuk memakai suatu bidang tanah tertentu, yang haki, tetapi juga mengandung hubungan psikologis-emosional antara pemegang hak dengan tanah yang bersangkutan.18
Sehingga setelah dilakukan penjabaran mengenai permasalahan maka dapat dianalisa bahwa Perlindungan Hukum Terhadap Penyewa Bangunan Yang Berdiri Diatas Tanah Yang Hendak Di Eksekusi yaitu apabila seseorang mendirikan bangunan di atas sebidang tanah kosong atas dasar perjanjian sewa menyewa dengan jangka waktu tertentu yang dibuat antara pemilik hak atas tanah dengan pemilik bangunan maka berdasarkan asas pemisahan horizontal tanah dan bangunan tersebut berbeda hak kepemilikannya. Terkait dengan sewa menyewa yang merupakan suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk memberikan kenikmatan suatu barang kepada pihak yang lain selama waktu tertentu, dengan pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh pihak tersebut. Adapun salah satu kewajiban dari pemilik hak atas tanah adalah memberikan hak kepada pemilik bangunan untuk menikmati barang yang disewakan itu dengan tentram selama berlangsungnya masa sewa. Setelah berjalannya sewa menyewa, tanah yang disewakan tersebut dijadikan jaminan hak tanggungan oleh pemilik hak atas tanah. yang ada diatasnya dapat mendapatkan kepastian hukum dan tidak ada pihak yang dirugikan baik pemilik atas bangunan dan pemilik hak atas tanah.
Akibat Hukum Asas Pemisahan Tanah Horizontal merupakan asas yang membagi, membatasi, dan memisahkan pemilikan atas sebidang tanah berikut segala sesuatu yang berkenaan dengan tanah tersebut secara horizontal yang artinya asas pemisahan horizontal memiliki akibat hukum segi kepemilikan bangunan adalah bahwa asas pemisahan horizontal memisahkan antara pemilik tanah dengan pemilik bangunan.
Perlindungan Hukum Terhadap Penyewa Bangunan Yang Berdiri Diatas Tanah Yang Hendak Di Eksekusi yaitu apabila seseorang mendirikan bangunan di atas sebidang tanah kosong atas dasar perjanjian sewa menyewa dengan jangka waktu tertentu yang dibuat antara pemilik hak atas tanah dengan pemilik bangunan maka berdasarkan asas pemisahan horizontal tanah dan bangunan tersebut berbeda hak kepemilikannya. Terkait dengan sewa menyewa yang merupakan suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk memberikan kenikmatan suatu barang kepada pihak yang lain selama waktu tertentu, dengan pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh pihak tersebut. Adapun salah satu kewajiban dari pemilik hak atas tanah adalah memberikan hak kepada pemilik bangunan untuk menikmati barang yang disewakan itu dengan tentram selama berlangsungnya masa sewa. Setelah berjalannya sewa menyewa, tanah yang disewakan tersebut dijadikan jaminan hak tanggungan oleh pemilik hak atas tanah. yang ada diatasnya dapat mendapatkan
kepastian hukum dan tidak ada pihak yang dirugikan baik pemilik atas bangunan dan pemilik hak atas tanah.
Daftar Pustaka
Alydrus Sayyid Muhammad Zein, Suhadi, Ratna Lutfisari. “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen PT. PLN (Persero) Balikpapan Terkait Adanya Pemadaman Listrik.” Lex Suprema 2, no. 1 (2020): 362–77.
Boedi Harsono, 2013, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya), Universitas Trisakti, Jakarta
Dewi, Wulan Wiryantari, and Ibrahim R. “Kekuatan Hukum Pelekatan Sidik Jari Penghadap Oleh Notaris Pada Minuta Akta.” Acta Comitas 5, no. 3 (2020): 436–45. https://doi.org/10.24843/ac.2020.v05.i03.p01.
Dwiyatmi, Sri Harini. “Asas Pemisahan Horizontal (Horizontale Scheiding Beginsel) Dan Asas Perlekatan (Verticale Accessie) Dalam Hukum Agraria Nasional.” Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum 5, no. 1 (2020): 125–44.
https://doi.org/10.24246/jrh.2020.v5.i1.p125-144.
Ganindra, Devina Maya, and Faizal Kurniawan. “Kriteria Asas Pemisahan Horizontal Terhadap Penguasaan Tanah Dan Bangunan.” Yuridika 32, no. 2 (2017): 228–59. https://doi.org/10.20473/ydk.v32i2.4850.
Irene Eka Sihombing, 2017, Segi-segi Hukum Tanah Nasional Dalam Pengadaan Tanag Untuk Pembangunan, Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta
Istri Ilma Sisilia Sari, Cokorda, I Made Sarjana, and Aa Istri Ari Atu Dewi. “Perlindungan Karya Cipta Fotografi Dalam Perspektif Internasional Dan Nasional,” 2021, 740–52. https://doi.org/10.24843/JMHU.2021.v10.i04.p06.
M. Bahsan, 2010, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Rajagrafindo Persada, Jakarta
Nola, Luthvi Febryka. “Upaya Pelindungan Hukum Secara Terpadu Bagi Tenaga Kerja Indonesia (Tki).” Negara Hukum 7, no. 1 (2016): 35–52.
https://jurnal.dpr.go.id/index.php/hukum/article/view/949.
Putri Andari, Cicilia, and Djumadi Purwoatmodjo Program Studi Magister Kenotariatan. “Akibat Hukum Asas Pemisahan Horizontal Dalam Peralihan Hak Atas Tanah.” Notarius 12, no. 2 (2019): 703–17.
https://doi.org/https://doi.org/10.14710/nts.v12i2.29010.
Rai Setiabudhi, I Ketut, I Gede Artha, and I Putu Rasmadi Arsha Putra. “Urgensi Kewaspadaan Dini Dalam Rangka Memperkuat Persatuan Dan Kesatuan Bangsa.” Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) 7, no. 2 (2018): 250. https://doi.org/10.24843/jmhu.2018.v07.i02.p09.
Satria, Putu, Satwika Anantha, and R Ibrahim. “Kepastian Hukum Undang-Undang Cipta Kerja Terhadap Undang-Undang Pokok Agraria Mengenai Domein Verklaring.” Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) 10, no. 4 (2021): 857–68. https://doi.org/10.24843/JMHU.2021.v10.i04.p14.
Sutra Disemadi, Hari. “Stimulus Kredit Perbankan: Kebijakan Penanggulangan Risiko Kredit Akibat Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) Di Indonesia.” Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) 10, no. 3 (2021): 563. https://doi.org/10.24843/jmhu.2021.v10.i03.p10.
Soeroso, 2011, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta
Tista, Adwin. “Hakikat Asas Pemisahan Horizontal Dalam Hukum Adat.” Al-Adl: Jurnal Hukum 14, no. 2 (2022): 347. https://doi.org/10.31602/al-adl.v14i2.7040.
Vianney Graciano, Johanes Maria. “Akibat Hukum Pelelangan Tanah Yang Menjadi
Objek Sewa Menyewa.” Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) 9, no. 2 (2020): 319. https://doi.org/10.24843/jmhu.2020.v09.i02.p08.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
177
Discussion and feedback