Pendekatan Keadilan Restoratif dalam Penyelesaian Konflik Sumber Daya Alam antara Nelayan dan Penambang di Bangka Belitung
on

Pendekatan Keadilan Restoratif dalam
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Alam antara Nelayan dan Penambang di Bangka Belitung
Syafri Hariansah1, Atma Suganda2
-
1 Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Pertiba Pangkalpinang, E-mail: [email protected] 2Universitas Jayabaya, E-mail: [email protected]
Info Artikel
Masuk: 14 Februari 2022
Diterima: 23 Mei 2023
Terbit: 27 Mei 2023
Keywords:
Conflict of Tin Natural
Resources, Miners and
Fishermen, Restorative Justice
Kata kunci:
Konflik Sumber Daya Alam Timah, Penambang dan Nelayan, Keadilan Restorasi
Corresponding Author:
Syafri Hariansah, E-mail: [email protected]
DOI:
10.24843/JMHU.2023.v12.i01.p 12.
Abstract
This research examines the implementation of restorative justice approach in resolving conflicts between fishermen and miners in the natural resources sector in Bangka Belitung, Indonesia. The study aims to explore the effectiveness of restorative justice in comparison to the formal legal system in resolving these conflicts. Data was collected through interviews with fishermen, miners, and relevant stakeholders involved in the conflict resolution process. The findings indicate that restorative justice has several advantages over the formal legal system, including greater participation of the parties involved, increased communication, and a focus on repairing harm rather than punishing offenders. The results also highlight the importance of community involvement in the conflict resolution process and the need for improved education and awareness of restorative justice approaches among stakeholders. The study concludes that restorative justice can be a valuable tool in resolving conflicts in the natural resources sector and recommends further research to explore its potential in other contexts.
Abstrak
Penelitian ini mengeksplorasi implementasi pendekatan keadilan restoratif dalam menyelesaikan konflik antara nelayan dan penambang di sektor sumber daya alam di Bangka Belitung, Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi efektivitas keadilan restoratif dalam membandingkan dengan sistem hukum formal dalam menyelesaikan konflik tersebut. Data dikumpulkan melalui wawancara dengan nelayan, penambang, dan pemangku kepentingan terkait dalam proses penyelesaian konflik. Temuan penelitian menunjukkan bahwa keadilan restoratif memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan sistem hukum formal, termasuk partisipasi yang lebih besar dari pihak yang terlibat, peningkatan komunikasi, dan fokus pada perbaikan kerusakan daripada menghukum pelaku. Hasil penelitian juga menyoroti pentingnya keterlibatan masyarakat dalam proses penyelesaian konflik dan perlunya peningkatan pendidikan dan kesadaran terhadap pendekatan keadilan restoratif di kalangan pemangku kepentingan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa keadilan restoratif dapat menjadi alat yang berharga dalam menyelesaikan
konflik di sektor sumber daya alam dan merekomendasikan penelitian lebih lanjut untuk mengeksplorasi potensinya dalam konteks lain.
Bangka Belitung merupakan provinsi di Indonesia yang memiliki cadangan timah terbesar di dunia. Sayangnya, eksploitasi tambang timah berdampak negatif pada lingkungan dan sumber daya laut serta merugikan para nelayan di sekitar wilayah tersebut. Penambangan timah di Bangka Belitung dilakukan oleh perusahaan tambang besar dan juga oleh para penambang kecil yang menggunakan metode penambangan tradisional yang cenderung merusak lingkungan.1 Selain itu, para penambang kecil sering kali menggunakan bahan kimia berbahaya dalam proses penambangan yang tidak terkontrol, sehingga mengakibatkan kerusakan pada lingkungan dan kesehatan manusia.
Disatu sisi, para nelayan di Bangka Belitung menggantungkan hidup mereka dari hasil tangkapan di laut. Namun, penambangan timah yang tidak terkontrol telah menyebabkan kerusakan pada terumbu karang dan biota laut, sehingga hasil tangkapan para nelayan semakin menurun. Hal ini telah memicu protes dan konflik antara nelayan dan para penambang.
Pemerintah telah mencoba mengatasi konflik ini dengan membuat regulasi dan kebijakan yang lebih ketat terhadap penambangan timah. Namun, implementasi regulasi tersebut masih terbatas dan seringkali tidak memperbaiki keadaan yang sebenarnya. 2 Konflik SDA Timah di Bangka Belitung antara penambang dan nelayan merupakan contoh yang jelas dari dampak negatif yang dapat diakibatkan oleh eksploitasi sumber daya alam yang tidak terkontrol. Konflik ini menunjukkan pentingnya menjaga keseimbangan antara ekonomi dan lingkungan, serta perlunya kebijakan yang lebih ketat dalam menjaga keberlanjutan sumber daya alam.
Berdasarkan fakta empiris, dalam 3 tahun terakhir,3 yaitu sejak 2019 hingga saat ini. Tercatat telah tejadi beberapa kali konflik yang melibatkan nelayan dan penambang. Pada tahun 2019, konflik antara penambang dan nelayan di Bangka Belitung semakin memanas. Pemerintah provinsi setempat telah mengeluarkan kebijakan untuk membatasi izin penambangan timah, tetapi para penambang kecil menolak kebijakan tersebut. Beberapa insiden kekerasan terjadi, termasuk pembakaran kapal nelayan dan penyerangan fisik terhadap nelayan Pada tahun 2020, konflik antara penambang dan nelayan di Bangka Belitung terus berlangsung. Beberapa aksi protes dan unjuk rasa
dilakukan oleh para nelayan yang merasa bahwa mereka masih dirugikan akibat penambangan timah yang tidak terkontrol.
Beberapa insiden kekerasan juga terjadi, termasuk serangan terhadap para nelayan dan perusakan kapal. lebih lanjut, Pada bulan Januari 2021, terjadi insiden kekerasan yang cukup serius ketika seorang nelayan tewas dalam baku tembak antara para penambang dan nelayan. Hal ini menimbulkan kecaman dari berbagai pihak dan memperlihatkan bahwa konflik antara penambang dan nelayan di Bangka Belitung masih membutuhkan penanganan yang serius dan komprehensif.
Dari sisi Penegakan hukum terhadap konflik SDA timah antara nelayan dan penambang di Bangka Belitung telah dilakukan oleh aparat kepolisian dan pemerintah setempat. Pemerintah berupaya untuk menyelesaikan konflik ini dengan membuat regulasi dan kebijakan yang lebih ketat terhadap penambangan timah, termasuk membatasi izin penambangan dan memberikan pembinaan kepada para penambang kecil untuk beralih ke metode penambangan yang lebih ramah lingkungan sedangkan aparat kepolisian telah berusaha menangani insiden-insiden tersebut dengan melakukan penyelidikan dan penangkapan terhadap pelaku kekerasan.
Penegakan hukum yang positivistic dan legalistic pada konflik nelayan dan penambang di Bangka Belitung berfokus pada penggunaan hukum dan kekuatan negara sebagai sarana untuk menyelesaikan konflik. Hal ini ditunjukkan dengan adanya penggunaan kekuatan negara untuk menegakkan peraturan dan undang-undang yang ada dalam penyelesaian konflik antara nelayan dan penambang. Namun, penegakan hukum yang positivistic dan legalistic juga memiliki kelemahan dalam menyelesaikan konflik.
Kekuatan negara yang digunakan terkadang menimbulkan efek yang tidak diinginkan, seperti ketidakadilan bagi pihak yang lemah dan penggunaan kekerasan yang berlebihan.4 Selain itu, dalam kasus konflik sumber daya alam seperti antara nelayan dan penambang, penegakan hukum yang hanya berfokus pada peraturan dan undang-undang cenderung mengabaikan kepentingan masyarakat lokal dan lingkungan. Sebagai alternatif, pendekatan keadilan restoratif yang berfokus pada pengembalian kepercayaan dan rekonsiliasi antara pihak-pihak yang terlibat dalam konflik dapat diadopsi untuk menyelesaikan konflik secara lebih efektif dan adil.
Berdasarkan penelusuran akademik terdapat penelitian yang serupa dengan penelitian ini. Artikel yang ditulis oleh Endang Bidayani dan Kurniawan yang berjudul "Conflict Resolution in Coastal Resources Utilization among Fishermen and Unconventional Tin Miners" artikel ini dipublikasi di jurnal Society Universitas Bangka Belitung pada tahun 2020. Secara Substansi, penelitian ini menawarkan resolusi konflik kolaboratif sebagai salah satu solusi untuk menyelesaikan konflik.5 Sedangkan penelitian ini menawarkan konsep yang berbeda dengan mediasi yakni dengan cara penedekatan restorative justice. Meskipun memiliki akar dan cara yang serupa, mediasi dan restorative justice adalah dua
jenis pendekatan alternatif dalam penyelesaian konflik yang berbeda satu sama lainnya, yang. Secara umum, perbedaan utama antara mediasi dan restorative justice adalah bahwa mediasi bertujuan untuk mencapai kesepakatan yang dapat diterima bersama, sementara restorative justice bertujuan untuk memulihkan hubungan dan keadilan. Pendekatan restorative justice dapat menjadi win-win solution dalam penyelesaian konflik SDA di Bangka Belitung.
Bertitik tolak pada deskripsi dan fakta hukum kongkrit diatas setidaknya ada dua persoalan penting yang menjadi fokus dalam penelitian ini, pertama metode atau pendekatan penyelesaian konflik seperti apa yang dapat menjadi jalan tengah untuk mengatasi konflik sumber daya alam antara nelayan dan penambang di Bangka Belitung. Kedua berkenaan dengan implentasi dan perpespsi nelayan dan penambang terhadap metode restorative justice sebagai jalan tengah penyelesaian konflik sumber daya alam di bangka belitung.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam dengan pihak terkait seperti nelayan, penambang, aparat penegak hukum, LSM, dan ahli hukum. Selain itu, pengumpulan data juga dilakukan melalui observasi lapangan dan studi dokumentasi terkait kasus konflik SDA antara nelayan dan penambang di Bangka Belitung. Data yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif untuk menggambarkan secara terperinci bagaimana pendekatan keadilan restoratif dapat digunakan sebagai alternatif penyelesaian konflik SDA antara nelayan dan penambang di Bangka Belitung.
Setelah data terkumpul, data dianalisis dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Data akan dianalisis secara deskriptif dengan melakukan reduksi data, display data, dan verifikasi data. Selanjutnya, data yang telah diperoleh dianalisis dengan menggunakan teori-teori yang terkait dengan pendekatan keadilan restoratif, konflik sumber daya alam, dan penyelesaian konflik. Hasil analisis data akan digunakan untuk menyusun kesimpulan dan rekomendasi dalam penelitian ini.
-
3. Hasil Dan Pembahasan
-
3.1. Pendekatan Restorative Justice sebagai solusi konflik Penambang dan nelayan di Bangka Belitung
-
Pertambangan timah di Bangka Belitung telah dimulai sejak zaman kolonial Belanda pada awal abad ke-17. Pada masa itu, pulau Bangka dikenal sebagai produsen timah terbesar di dunia. Seiring dengan peningkatan permintaan global akan timah, produksi timah di Bangka terus meningkat hingga mencapai puncaknya pada tahun 1920-an.
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, pemerintah nasional mengambil alih kendali atas tambang timah di Bangka Belitung. Pada masa Orde Baru, pemerintah memonopoli bisnis pertambangan timah dengan membentuk perusahaan negara bernama PT Timah.
PT Timah menjadi pemain utama dalam bisnis pertambangan timah di Bangka Belitung selama beberapa dekade. Namun, pada tahun 1990-an, pemerintah Indonesia mulai menerapkan kebijakan liberalisasi ekonomi, yang memungkinkan perusahaan swasta untuk memasuki sektor pertambangan timah. Sejak saat itu, banyak perusahaan swasta masuk ke Bangka Belitung untuk melakukan penambangan timah.
Meskipun pertambangan timah telah memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian Bangka Belitung, namun juga menimbulkan dampak negatif pada lingkungan dan masyarakat lokal. Konflik antara penambang timah dan nelayan sering terjadi akibat persaingan atas penggunaan sumber daya alam yang terbatas. Selain itu, dampak lingkungan seperti pencemaran air dan tanah juga menjadi masalah serius yang dihadapi oleh masyarakat di sekitar tambang timah.
Konflik antara penambang dan nelayan di Bangka Belitung umumnya berkaitan dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam, khususnya tambang timah dan perikanan. Nelayan merasa terganggu oleh kegiatan penambangan yang berdampak pada kualitas air dan lingkungan laut, serta mengurangi hasil tangkapan ikan. Sementara itu, para penambang merasa bahwa kegiatan penambangan adalah sumber penghasilan yang penting bagi mereka dan masyarakat sekitar. Mereka juga merasa bahwa mereka telah memperoleh izin dari pemerintah untuk melakukan kegiatan tersebut.
Konflik ini semakin memburuk ketika terjadi benturan antara para penambang dan nelayan dalam menggunakan sumber daya alam yang sama. Hal ini sering kali terjadi karena penambang menggunakan alat yang merusak terumbu karang dan membuang tailing di laut, yang berdampak pada lingkungan laut dan perikanan. Kondisi lingkungan yang rusak akibat penambangan juga berdampak pada kehidupan nelayan yang menggantungkan hidupnya dari hasil laut. Kebanyakan dari mereka merasa bahwa keberadaan penambang telah mengancam dan merusak mata pencaharian mereka.
Sebagai akibat dari konflik ini, terjadi ketidakpercayaan dan ketegangan antara kedua kelompok. Selain itu, banyak nelayan merasa bahwa mereka tidak terlibat dalam proses pengambilan keputusan terkait dengan pengelolaan sumber daya alam di wilayah mereka, sehingga nelayan merasa tidak memiliki kendali atas pengelolaan tersebut, kondisi ini kemudian melahirkan banyak terjadi kasus tindakan kekerasan atau ancaman dari kedua belah pihak yang menambah kompleksitas konflik.
Penegakan hukum terhadap konflik nelayan dan penambang di Bangka Belitung selama ini dilakukan melalui jalur hukum formal seperti melalui pengadilan atau penyelesaian administratif yang dilakukan oleh instansi terkait seperti Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral. Namun, dalam beberapa kasus, penegakan hukum ini seringkali tidak efektif karena beberapa faktor seperti minimnya kesadaran hukum dan informasi yang dimiliki oleh masyarakat, lambatnya proses hukum, dan rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa penegakan hukum yang hanya mengandalkan sanksi pidana seringkali tidak dapat menyelesaikan konflik secara komprehensif dan memuaskan bagi semua pihak yang terlibat. Hal ini karena fokusnya hanya pada pemidanaan, sementara masalah utama yang menjadi akar konflik tidak terpecahkan. Dalam hal konflik sumber daya alam antara nelayan dan penambang, sanksi pidana
terhadap pelanggaran peraturan hanya dapat menghentikan aktivitas penambangan ilegal sementara waktu, tetapi tidak mengatasi masalah keberlanjutannya secara keseluruhan.
Dalam upaya penyelesaian konflik antara nelayan dan penambang, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan seperti moratorium penambangan, pemberian izin usaha perikanan kepada nelayan, dan upaya rekonsiliasi antara kedua belah pihak. Namun, kebijakan-kebijakan ini belum sepenuhnya berhasil dalam menyelesaikan konflik yang terjadi. Konflik sumber daya alam antara penambang dan nelayan di Bangka Belitung menjadi kompleks karena melibatkan banyak pihak, termasuk pemerintah, perusahaan tambang, masyarakat setempat, dan organisasi nelayan. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang holistik dan inklusif dalam penyelesaian konflik ini tentunya melalui pendekatan yang mempertimbangan keseimbangan antara kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Dalam tataran raktis, penyelesaian konflik sumber daya alam antara nelayan dan penambang menggunakan pendekatan keadilan restoratif dan hukum formal menghasilkan dampak yang berbeda. Dalam pendekatan hukum formal, penyelesaian konflik dilakukan melalui proses peradilan yang mengikuti aturan dan prosedur hukum yang berlaku. Hasil dari penyelesaian konflik ini dapat berupa putusan hukum yang bersifat final dan mengikat kedua belah pihak. Namun, penyelesaian konflik melalui jalur hukum formal cenderung memakan waktu yang lama dan memerlukan biaya yang besar.
Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan pendekatan keadilan restoratif yang melibatkan semua pihak terkait dalam proses penyelesaian konflik. Restorative justice sendiri merupakan pendekatan atau filosofi dalam penegakan hukum yang berfokus pada pemulihan dan rekonsiliasi antara para pihak yang terlibat dalam suatu konflik atau kejahatan. Tujuan utama dari restorative justice adalah untuk mengembalikan keseimbangan dan memperbaiki hubungan yang terganggu antara korban, pelaku, dan masyarakat atau dengan kata lain, pendekatan keadilan restoratif memfokuskan pada upaya untuk memperbaiki hubungan antara kedua belah pihak yang terlibat dalam konflik.
Perbedaan hasil dari kedua pendekatan ini terletak pada sifat kesepakatan yang dihasilkan. Dalam pendekatan hukum formal, kesepakatan yang dihasilkan adalah putusan hukum yang mengikat kedua belah pihak. Sedangkan dalam pendekatan keadilan restoratif, kesepakatan yang dihasilkan lebih bersifat kolaboratif dan dibuat bersama oleh kedua belah pihak. Selain itu, pendekatan keadilan restoratif juga dapat menciptakan rasa kepuasan dan keadilan yang lebih besar bagi kedua belah pihak karena mereka terlibat secara aktif dalam proses penyelesaian konflik dan dapat saling memahami perspektif masing-masing.
Dalam praktiknya, restorative justice melibatkan proses dialog terstruktur antara para pihak yang terlibat, yang dipandu oleh seorang mediator atau fasilitator yang terlatih. Proses ini dirancang untuk memberikan kesempatan bagi korban untuk mengekspresikan rasa sakit dan kekecewaannya, sedangkan pelaku diberi kesempatan untuk mengakui kesalahan mereka dan melakukan tindakan untuk memperbaiki kerusakan yang telah
terjadi. Proses restorative justice juga dapat melibatkan keluarga, teman, dan masyarakat yang terkena dampak dari konflik atau kejahatan.
Beberapa keuntungan dari pendekatan restorative justice adalah bahwa pendekatan ini dapat menghasilkan solusi yang lebih memuaskan dan bermanfaat bagi semua pihak yang terlibat dalam suatu konflik atau kejahatan. Selain itu, restorative justice juga dapat membantu mengurangi tingkat repetisi atau kembali melakukan tindak kejahatan oleh pelaku, karena proses ini dapat membantu mereka memperbaiki hubungan dengan masyarakat dan memperbaiki perilaku mereka. Secara konsepsi restorative justice bukanlah suatu pengganti dari sistem peradilan pidana yang sudah ada, tetapi lebih sebagai tambahan dan alternatif dalam upaya mencapai keadilan yang lebih baik bagi semua pihak yang terlibat.
Pendekatan restorative justice dapat diterapkan dalam konteks konflik sumber daya alam antara nelayan dan penambang di Bangka Belitung melalui mekanisme yang tepat dan dilakukan secara hati-hati dan terstruktur untuk memastikan efektivitas dan efisiensi dari mekanisme tersebut. Langkah-langkah yang dapat diambil untuk menerapkan pendekatan restorative justice dalam penyelesaian konflik antara nelayan dan penambang dapat dilakukan melalui tahapan sebagai berikut :
-
a. Identifikasi masalah dan pihak yang terlibat
Langkah awal yang penting adalah mengidentifikasi masalah yang mendasari konflik antara nelayan dan penambang, serta mengidentifikasi pihak-pihak yang terlibat dalam konflik tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini akan membantu dalam memastikan bahwa semua pihak yang terlibat diberikan kesempatan untuk terlibat dalam proses penyelesaian konflik.
-
b. Pengumpulan data dan informasi
Setelah masalah dan pihak yang terlibat diidentifikasi, tahap selanjutnya adalah mengumpulkan data dan informasi terkait konflik tersebut. Data dan informasi ini akan membantu dalam memahami perspektif masing-masing pihak, sehingga dapat menciptakan pemahaman yang lebih baik dan akurat tentang akar permasalahan yang dihadapi.
-
c. Memfasilitasi dialog dan mediasi
Setelah data dan informasi terkumpul, tahap selanjutnya adalah memfasilitasi dialog dan mediasi antara pihak-pihak yang terlibat. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan restorative justice, di mana semua pihak diberikan kesempatan untuk berbicara dan saling mendengarkan satu sama lain. Tujuan dari dialog dan mediasi adalah mencapai kesepakatan bersama mengenai solusi yang dapat diterima oleh semua pihak.
-
d. Implementasi solusi yang disepakati
Setelah kesepakatan solusi dicapai, tahap selanjutnya adalah mengimplementasikan solusi tersebut. Implementasi solusi perlu dilakukan secara hati-hati dan terstruktur untuk memastikan keberhasilan dari proses penyelesaian konflik.
-
e. Evaluasi hasil
Tahap terakhir adalah evaluasi hasil dari proses penyelesaian konflik. Evaluasi ini dapat dilakukan dengan mengumpulkan umpan balik dari semua pihak yang terlibat dan membandingkan hasil yang dicapai dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Hal ini akan membantu dalam mengevaluasi efektivitas dan efisiensi dari penerapan pendekatan restorative justice dalam penyelesaian konflik sumber daya alam antara nelayan dan penambang di Bangka Belitung.
Meskipun demikian, efektivitas dari kedua pendekatan ini dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti kepercayaan dan keterbukaan antara kedua belah pihak, kemampuan mediator dalam mengelola proses dialog dan mediasi, serta dukungan dari lembaga pemerintah dan masyarakat dalam mendukung implementasi dari kedua pendekatan ini. 6 Oleh karena itu, pemilihan pendekatan yang tepat harus dilakukan secara hati-hati dan mempertimbangkan kepentingan dan kebutuhan kedua belah pihak yang terlibat dalam konflik.
-
3.2. Implementasi serta Perpespsi nelayan dan Penambang terhadap metode Restorative Justice sebagai jalan tengah penyelesaian konflik SDA di Bangka Belitung.
Bangka Belitung sebagai salah satu Provinsi yang kaya akan sumber daya alam, khususnya timah melahirkan sebuah paradoks rasionalitas. Kekayaan sumber daya alam yang seyogyanya menjadi nilai postif bagi pendapatan daerah menjadi sumber konflik antara nelayan dan penambang. Selama bertahun-tahun, konflik tersebut seringkali diselesaikan melalui penegakan hukum yang cenderung positivistic dan legalistic, sehingga kurang memperhatikan aspek restoratif dan kemanusiaan. Oleh karena itu, implementasi pendekatan keadilan restoratif menjadi solusi yang tepat untuk menyelesaikan konflik tersebut dengan cara yang lebih adil dan humanis. Tahapan-tahapan restorative justice sebagai salah satu ruang alternatif penyelesaian konflik sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, dapat diuraikan secara rinci sebagai berikut :
Instrument (tahapan) Restorative Justice |
Isu |
Output / perspektif |
Identifikasi masalah |
Konflik Sumber daya Alam antara Penambang & Nelayan |
Dalam 3 tahun terakhir terjadi konflik yang melibatkan penambang dan nelayan di provinsi kepulauan bangka belitung |
Pihak yang terlibat langsung konflik |
Nelayan |
pertambangan yang dilakukan di laut baik legal maupun ilegal berdampak pada rusaknya ekosistem laut yang |
Penambang |
berimplikasi pada menurunnya hasil tangkapan nelayan. Seluruh wilayah bangka belitung yang memiliki kandungan timah dapat di eksplorasi meskipun dengan cara non prosedural (ilegal) |
Pihak yang terlibat Pemerintah konflik (tidak terlibat Daerah langsung) |
Peraturan Daerah Provinsi Bangka Belitung Nomor 10 Tahun 2016 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Bangka Belitung tahun 20152035. Kebijakan ini menetapkan zonasi kawasan tambang dan melarang adanya kegiatan tambang di kawasan-kawasan tertentu, seperti kawasan lindung, kawasan pariwisata, dan kawasan pertanian. |
Polisi Pamong |
Instrumen penegak hukum |
Praja, TNI dan Polri
Fakta konflik |
Nelayan sebagai pihak yang dirugikan dalam kontenstasi (persaingan) penguasaan SDA, Eksplorasi timah baik yang dilakukan oleh PT Timah, anak perusahaan PT Timah atau mitra lain yang ditunjuk oleh PT Timah (legal) maupun yang dilakukan oleh masyarakat diluar PT Timah dan mitra (ilegal) dalam melakukan eksplorasi tidak mempertimbangkan aspek lingkungan, melawan hukum meskipun faktanya sudah ada ketetapan zona zero (0) tambang. Akses dan penguasaan sumber daya alam di bangka belitung di kuasai oleh pengusaha yang |
mendapat backup oleh aparatur penegak hukum sehingga sangat sulit untuk melakukan penindakan tegas. | |
Mediasi Mediator Pemerintah daerah provinsi (Gubernur) dan kabuapaten serta tokoh masyarakat sekitar lokasi |
Gubernur bersama Bupati, Kapolda dan Kapolres memfasilitasi pihak yang berkonflik dalam hal ini masyarakat nelayan dan masyarakat yang berprofesi sebagai penambang termasuk mitra PT Timah. |
Pihak yang di ikut sertakan, TNI-Polri, Pol PP, Akademisi dari Perguruan Tinggi |
Di dalam pertemuan tersebut masing-masing perwakilan menyampaikan pandangan terhadap persoalan yang dihadapi. Masyarakat nelayan merasa dirugikan haknya selama kegiatan eksplorasi dilakukan di wilayah tangkap nelayan, oleh sebab itu nelayan meminta aktivitas penambangan harus dihentikan, sedangkan penambang memberikan dalil bahwa kegiatan mereka dilakukan atas dasar pemenuhan ekonomi rumah tangga saja, selain itu, penambang tidak merasa rugi jika wilayah laut yang masuk kedalam wilayah tangkap nelayan menyimpan cadangan timah yang besar namun tidak di eksplorasi, oleh sebab itu, penambang baik legal maupun ilega tetap akan melakukan eksplorasi timah di wilayah tangkap nelayan. |
Kespeakatan yang di peroleh |
Selama proses eksplorasi timah di laut di lakukan, masyarakat nelayan mendapatkan kompensasi sebagai ganti rugi menurunya hasil tangkapan. |
Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal), Vol. 12 No. 1 Mei 2023, 152-164 ISSN: 1978-1520 Penambang diberikan waktu untuk melakukan eksplorasi, dan limbah hasil eksplorasi harus dikelola sesuai dengan prosedur sehingga tidak menimbukan dampak yang besar pada biota laut. Penambang memiliki kewajiban pemulihan biota laut dengan cara membuat terumbu karang sebagai bentuk CSR | |
Evaluasi hasil |
Nelayan Mendapatkan kompensasi yang sesuai namun faktanya masyarakat nelayan kehilangan lokasi tangkap yang produktif, sebab pemulihan akibat kerusakan terumbuh karang membutuhkan waktu yang cukup lama. Penambang dapat mengeksplorasi wilayah laut dengan batas waktu yang sudah ditentukan. Konflik dapat di minimalisir. |
Efektivitas pendekatan keadilan restoratif dalam penyelesaian konflik sumber daya alam antara nelayan dan penambang di Bangka Belitung dapat dilihat dari beberapa aspek. Pertama, pendekatan restorative justice memberikan ruang untuk pihak yang terlibat dalam konflik untuk berpartisipasi secara aktif dalam penyelesaian masalah. Melalui proses mediasi yang diawasi oleh mediator yang terlatih, para pihak dapat berdialog dan mencari solusi yang memuaskan bagi semua pihak. Kemudian pendekatan keadilan restoratif mendorong munculnya rasa empati dan keterlibatan yang lebih besar dari para pihak dalam penyelesaian konflik. Pihak yang terlibat dalam konflik dapat lebih memahami dan merasakan dampak dari tindakan mereka terhadap orang lain.
Dalam konteks konflik antara nelayan dan penambang, para nelayan dapat memahami bahwa penambang juga memiliki kepentingan dan hak dalam mengakses sumber daya alam yang sama. Selanjutnya pendekatan restorative justice lebih mengedepankan upaya untuk memperbaiki hubungan antara para pihak yang terlibat dalam konflik, bukan
hanya menyelesaikan masalah secara teknis. Hal ini membuka kemungkinan untuk membangun hubungan yang lebih baik dan saling menghormati di masa depan, sehingga konflik serupa tidak terjadi lagi di kemudian hari.
Meskipun demikian, perlu diakui bahwa pendekatan keadilan restoratif tidak selalu dapat menyelesaikan semua jenis konflik, terutama jika konflik tersebut melibatkan perbedaan pandangan yang sangat besar atau jika satu pihak bersikeras pada kepentingan mereka sendiri. Selain itu, keberhasilan pendekatan restorative justice juga sangat bergantung pada kualitas mediator yang terlibat dalam proses penyelesaian konflik. Jika mediator tidak terlatih atau tidak netral, pendekatan restorative justice dapat gagal dan menghasilkan kesepakatan yang tidak adil bagi salah satu pihak.
Secara umum, pendekatan keadilan restoratif dapat menjadi alternatif yang lebih efektif dalam menyelesaikan konflik sumber daya alam antara nelayan dan penambang di Bangka Belitung dibandingkan dengan penyelesaian melalui jalur hukum formal. Pendekatan restorative justice memberikan ruang untuk para pihak untuk berpartisipasi secara aktif dalam penyelesaian masalah dan membangun hubungan yang lebih baik di masa depan.
Daftar Pustaka
Adrian, Krisna, and Vien Permata. “Pemenuhan Hak Nelayan Tradisional Atas Pekerjaan Proyek Tambang Timah Di Kawasan Perairan Pulau Bangka Akibat Fulfillment of Traditional Fishermen ’ s Right to Work As a Result of the Tin Mine Project In the Waters of Bangka Island.” Jurnal Sosial Ekonomi Kelautan Dan Perikanan Vol 17 (1), no. 2008 (2022): 211–25.
Bidayani, Endang, and Kurniawan Kurniawan. “Conflict Resolution in Coastal Resource Utilization among Fishermen and Unconventional Tin Miners.” Society 8, no. 1 (2020): 13–22. https://doi.org/10.33019/society.v8i1.139.
Ferdian, Komang Jaka. “Fighting Over the Bangka Sea : The Tin Mining Conflict in the Marine Area of Bangka Regency Fighting Over the Bangka Sea : The Tin Mining Conflict in the Marine Area of Bangka Regency,” no. March (2023). https://doi.org/10.31506/jog.v8i1.18814.
Hariansah, Syafri. “Analisis Implementasi Nilai-Nilai Budaya Hukum Dalam Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara: Studi Kritis Pendekatan Masyarakat , Budaya Dan Hukum” 16, no. 1 (2022): 121–30.
-
———. “Legal Policy Model For Pollution And Environmental Damage Control In The Bangka Belitung Islands Province” 16, no. 3 (2023): 849–60.
https://doi.org/10.2478/bjlp-2023-0000066.
-
———. “The Relationship Between Environmental Law Enforcement Related To.” Berumpun: International Journal of Social, Politics, and Humanities 4, no. 1 (2021): 1– 14.
Hazrati, M., and R. J. Heffron. “Conceptualising Restorative Justice in the Energy Transition: Changing the Perspectives of Fossil Fuels.” Energy Research and Social Science 78, no. October 2020 (2021): 102115.
https://doi.org/10.1016/j.erss.2021.102115.
Kügerl, Marie Theres, Michael Hitch, and Katharina Gugerell. “Responsible Sourcing for Energy Transitions: Discussing Academic Narratives of Responsible Sourcing through the Lens of Natural Resources Justice.” Journal of Environmental
Management 326, no. PB (2023): 116711.
https://doi.org/10.1016/j.jenvman.2022.116711.
Latimer, Jeff, Craig Dowden, and Danielle Muise. “The Effectiveness of Restorative Justice Practices: A Meta-Analysis.” The Prison Journal 85, no. 2 (2005): 127–44. https://doi.org/10.1177/0032885505276969.
Leonard, Liam J. “Can Restorative Justice Provide a Better Outcome for Participants and Society than the Courts?” Laws 11, no. 1 (2022).
https://doi.org/10.3390/laws11010014.
Littlechild, Brian. “Restorative Justice, Mediation and Relational Conflict Resolution in Work with Young People in Residential Care.” Practice 21, no. 4 (2009): 229–40. https://doi.org/10.1080/09503150903191704.
Long, Ruby, Emily C. Cleveland Manchanda, Annette M. Dekker, Liliya Kraynov, Susan Willson, Pedro Flores, Elizabeth A. Samuels, and Karin Rhodes. “‘Community Engagement via Restorative Justice to Build Equity-Oriented Crisis Standards of Care.’” Journal of the National Medical Association 114, no. 4 (2022): 377–89. https://doi.org/10.1016/j.jnma.2022.02.010.
Marder, Ian D. “Mapping Restorative Justice and Restorative Practices in Criminal Justice in the Republic of Ireland.” International Journal of Law, Crime and Justice 70, no. March (2022): 100544. https://doi.org/10.1016/j.ijlcj.2022.100544.
Surono, Agus. “Collaborative (Partnership) As a Form of ‘Restorative Justice’ in Conflict Resolution Forest Resources Management.” Jurnal Dinamika Hukum 16, no. 3 (2017): 332–40. https://doi.org/10.20884/1.jdh.2016.16.3.648.
Umam, Arif Khoirul, Sri Endah Wahyuningsih, and Achmad Sulchan. “The Authority of Police in Implementation of Restorative Justice in Framework of Enforcement of Criminal Actions in Indonesia.” Law Development Journal 4, no. 1 (2022): 9. https://doi.org/10.30659/ldj.4.1.9-18.
164
Discussion and feedback