Aspek Hukum Dari Perbuatan 'Spoiler' Film pada Platform Sosial
on

Aspek Hukum Dari Perbuatan "Spoiler" Film pada Platform Sosial
Ketut Braditya Pradnyana Putra1, Marwanto2
1Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]
2Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]
Info Artikel
Masuk: 28 Oktober 2021
Diterima: 15 September 2022
Terbit: 27 Mei 2023
Keywords:
Spoilers; Film; Copyright
Kata kunci:
Spoiler; Film; Hak Cipta
Corresponding Author:
Ketut Braditya Pradnyana Putra,
E-mail:
DOI:
10.24843/JMHU.2023.v12.i01. p09
Abstract
sebagai perbuatan pembajakan film, maka terhadapnya berlaku ketentuan Pasal 113 ayat (4) UU 28/2014.
Seiring dengan teknologi informasi yang begitu pesat perkembangannya dan jumlah pengguna internet yang juga kian meningkat, hal ini membuat platform sosial atau lazim disebut media sosial menjadi semakin mendapat tempat ditengah masyarakat. Secara sederhana pengertian media sosial adalah aplikasi atau laman yang membuat para penggunanya menjadi dapat terlibat dalam jaringan sosial dan saling berbagi informasi. Menurut Gohar F. Kahn media sosial ialah sebuah platform yang menggunakan internet dimana pengoperasiannya membolehkan seluruh pengguna dalam menciptakan berbagai konten, minat atau informasi dalam sifat yang beragam bisa informatif, sindirian, edukatif, maupun kritik. 1 Secara teoritis, platform sosial memiliki beberapa karakteristik utama yakni:
-
a) Platform Dengan Pengguna Sebagai Basisnya
Sebelum memasuki era digital yang didominasi oleh konten-konten dan media sosial yang beredar dan bersifat satu arah, semua pembaharuan atau perubahan pada dasarnya berketergantungan dengan “webmaster” secara sepihak akan tetapi saat ini platform sosial memungkinkan seluruh konten yang tersebar di platform sosial ada dibawah kendali pengguna.
-
b) Interaktif
Interaksi yang terjadi antar para pengguna merupakan hal esensiil yang mesti ada pada sebuah platform sosial. Hal ini dikarenakan setiap interaksi yang dilakukan pada platform sosial tersebut akan menjadi salah satu indikator atas berhasil atau tidaknya suatu platform sosial.
-
c) Pengguna Merupakan Pembuat Konten
Para pengguna diberikan kebebasan untuk membuat sendiri konten yang ingin diunggah atau dibagikan pada platform. Hal ini membuat pengguna dapat menuangkan kreativitasnya melalui platform social.
-
d) Pengguna Bebas Menentukan Sendiri Pengaturan Akunnya
Seluruh pengguna diberikan kemampuan untuk menentukan pengaturan akun atau lamannya sendiri oleh pihak penyedia platform. Hal ini secara tidak langsung memberikan ruang kebebasan bagi pengguna untuk memilih sendiri berbagai fitur dan tampilan muka yang ingin dimunculkan.
-
e) Memberikan Peluang Koneksi Yang Nyaris Tidak Terbatas
Saat ini media platform sosial membuat para penggunanya dapat berhubungan dengan siapapun, kapanpun dan dimanapun.
-
f) Bergantung Pada Hubungan Antar Pengguna Hingga Komunitas
Besar atau kecilnya berbagai komunitas yang terbentuk dalam platform social pada dasarnya ditentukan oleh kesamaan minat dan banyak atau sedikit hubungan yang dibangun diantara pengguna dalam platform media sosial.
Adapun menurut Andreas dan Kaplan, terdapat beberapa jenis dari media sosial yakni proyek kolaborasi atau collaborative projects, blog dan microblog, content communities atau komunitas konten, social networking sites atau situs jejaring sosial, virtual game worlds, dan vrtual social worlds. Pada dasarnya media sosial berjenis proyek kolaborasi merupakan platform sosial yang memungkinkan penggunanya dalam memperbarui atau menciptakan sebuah konten seperti Wikipedia sedangkan platform sosial blog dan microblog adalah platform sosial bentuk awal yang menjadi cikal bakal dari pengembangan media sosial seperti saat ini. Selanjutnya, platform komunitas konten ialah platform sosial dimana penggunanya bias saling sharing konten melalui media yang berbeda misalnya YouTube.
Kemudian jejaring sosial ialah platform dimana penggunanya dapat saling berhubungan melalui proses pembuatan informasi pribadi dan menyebarkan undangan pertemanan agar dapat mengakses profil tersebut. Terakhir adalah platform virtual game worlds dan virtual social worlds yakni suatu platform tiga dimensi yang dimana para penggunanya dapat berkomunikasi satu sama lainnya hanya saja pada virtual game world interaksi dilakukan dalam suatu permainan seperti Mobile Legends sedangakan virtual social worlds memiliki interaksi yang lebih bebas seperti pada simulasi kehidupan yaitu platform second life. Terdapat beberapa alasan yang membuat besarnya angka pengguna media sosial saat ini yang diuraikan sebagai berikut:
-
1. Sarana pengembangan diri dan pembelajaran dengan memanfaatkan akses berlimpah atas informasi
-
2. Media Komunikasi digital yang tidak mengenal batas wilayah dan waktu.
-
3. Media hiburan yang sangat beragam dengan menyuguhkan berbagai kreativitas para kreator atau pengguna media sosial lainnya.
-
4. Membuka lapangan pekerjaan baru meliputi content writer, endorser dll.
Disamping hal-hal yang diuraikan diatas, nyatanya media sosial juga dapat dimanfaatkan oleh suatu organisasi atau perusahaan yaitu sebagai media pemasaran. Hal ini dikarenakan media sosial mempunyai jangkauan yang begitu luas sehingga memungkinkan media sosial menjadi alat utama dalam meningkatkan penjualan dan pemasaran atas suatu produk. Berdasarkan data statistik hingga akhir tahun 2020, angka pengguna internet di Indonesia mengalami pertumbuhan yang signifikan sampai menyentuh 196, 7 juta pengguna atau bilamana dipersentasekan maka setara dengan 73,7% dari keseluruhan populasi di Indonesia. Senada dengan tingginya angka pengguna internet tersebut, jumlah pengguna media sosial di Indonesia juga begitu masif. Hal ini terbukti dengan dikukuhkannya Negara Indonesia menduduki peringkat kedua pengguna Facebook terbesar didunia dengan angka 175,3 juta pengguna sampai pada akhir tahun 2020.2 Dalam perspektif lainnya, pengguna media sosial yang semakin masif ternyata memunculkan suatu dampak negative tersendiri dalam aspek penjaminan terhadap perlindungan hak cipta atas karya seorang pencipta. Secara aktual, alah satu persoalan yang kerap diperdebatkan ialah terkait dengan adanya perbuatan “spoiler” film yang dilakukan oleh seseorang melalui media sosialnya yang dianggap sebagai bentuk pembajakan sehingga melanggar hak cipta
seorang pencipta.3 Pada dasarnya perbuatan spoiler pada media sosial merupakan suatu perbuatan yang menunjukan sebuah cuplikan film tertentu yang dilakukan oleh individu dan mengunggahnya di profile atau laman media sosial pribadinya. Menelaah dalam perspektif Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU 28/2014), tidak terdapat suatu pengaturan secara eksplisit terkait perbuatan spoiler yang dilakukan oleh seseorang terhadap suatu karya film tertentu dengan mengunggahnya pada media sosial. Beranjak dari permasalahan utama tersebut maka selanjutnya penelitian ini mengangkat dua rumusan masalah yakni:
-
1) Bagaimana pengaturan perlindungan hak cipta terhadap karya film di Indonesia?
-
2) Bagaimana aspek hukum perbuatan spoiler film di platform sosial dengan ditinjau berdasarkan UU 28/2014?
Adapun dari permasalahan yang ditelaah akan dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat terkait dengan pengaturan perlindungan hak cipta karya film di Indonesia dan secara khusus berkenaan dengan bagaimana aspek hukumnya bila terdapat perbuatan spoiler film di platform sosial. Untuk menjamin orisinalitas penelitian ini dengan penulisan lain nya, berikut penulis uraikan beberapa penulisan terdahulu dengan tema sejenis yaitu Luh Mas Putri Pricillia4 dengan judul “Akibat Hukum Pengunggahan Karya Cipta Film Tanpa Izin Pencipta Di Media” yang membahas persoalan akibat hukum dari perbuatan pengunggahan karya cipta film di media sosial tanpa izin pencipta. Kemudian, Ida Ayu Putri Dita Helena5 dengan judul “Legalitas Penyebarluasan Film Bioskop Pada Situs Film Online Terkait Hak Cipta” melakukan analisa terhadap permasalahan pelanggaran hak cipta yang muncul sebagai akibat dari perbuatan penyebarluasan tanpa izin di situs film online. Berdasarkan dua penulisan terdahulu tersebut maka dapat dilihat kebaharuan objek permasalahan yang diangkat dalam penulisan ini dimana penulis melalui penelitian ini secara khusus mengkaji aspek hukum dari perbuatan spoiler yang dilakukan oleh seseorang dengan mengunggahnya di media sosial. Adapun terdapat kesamaan pada media yang digunakan yakni terjadi dalam ranah cyberspace meliputi situs jejaring sosial akan tetapi perbuatan spoiler tidak dapat dimaknai sebagai perbuatan yang sama dengan menggunggah suatu film seperti dalam dua penulisan terdahulu, mengingat perbuatan spoiler hanya perbuatan yang menunjukan cuplikan atau bagian-bagian tertentu terhadap suatu film.
Metode yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dimana analisa terhadap masalah difokuskan terhadap persoalan norma kabur (vague of norm) pada aspek hukum dari perbuatan spoiler film dalam perspektif UU Hak Cipta.6 Adapun sumber
bahan hukum terdiri atas bahan hukum primer meliputi keseluruhan undang-undang terkait perlindungan hak cipta serta bahan hukum sekunder yaitu berbagai jurnal ilmiah dan buku yang digunakan dalam melakukan analisa terhadap bahan hukum primer. Kemudian, teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan melalui studi dokumen. Keseluruhan bahan hukum yang telah dikumpulkan akan dianalisis secara kualitatif-normatif dengan mengkonstruksikan dan menafsirkan pernyataan yang ada pada perundang-undangan dengan pendekatan conceptual yang mengkaji mengenai konsep terkait hak cipta film, pendekatan statute yang menelaah perundang-undangan terkait hak cipta dan historical approach yang melihat runtutan sejarah pengaturan dan objek ciptaan film sebagai hak cipta.
Secara harfiah hak cipta berdiri dari unsur kata hak dan cipta yang bilamana diterjemahkan dalam KBBI, “hak” berarti suatu kewenangan yang melekat dalam individu bersifat bebas untuk digunakan atau tidak dan “cipta” berarti suatu karya manusia yang dibuat dengan imajinasi, pikiran, perasaan dan pengalaman. Penggunaan istilah hak cipta disampaikan pertama kali oleh Sultan Mohammad Syah di tahun 1951 untuk menggantikan penyebutan istilah hak pengarang yang dianggap memiliki ruang lingkup terlalu sempit. 7 Mengutip pandangan World Intellectual Property Organization sebagaimana yang dikuti oleh Harris Munandar, hak cipta adalah “copyright is legal from describing right given to creator for their literary and artistic works atau bila diterjemahkan memuat pengertian terminologi hukum yang menggambarkan hak-hak yang diberikan kepada pencipta untuk karya-karya mereka dalam bidang seni dan sastra." Dalam kerangka teoritisnya, hak cipta adalah bagian dari HKI yang dijamin dalam perundang-undangan.
Menelaah terkait Hak milik kekayaan intelektual (HKI), sebenarnya memiliki suatu sejarah yang panjang hingga diatur dan dijamin dalam perundang-undangan di Indonesia. Khazanah sejarah dunia mencatat bahwa pengakuan atas HKI khususnya hak cipta diawali abad 17 di Inggris. Pada saat itu rezim hukumnya berhasil melahirkan “konsep economic right dan moral right dalam hak cipta.” Berkenaan dengan teori hak milik intelektual terdapat tiga teori yang menjelaskannya yakni monism theory yang melihat moral right dan commercial right yang terdapat dalam hak milik intelektual itu merupakan satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan, dualism theory yang memandang moral right dan commercial right merupakan dua hal yang terpisah satu sama lainnya dan modern theory yang menjelaskan adanya pertentangan kedua teori diatas, hingga diambil jalan tengah oleh ahli hukum modern. Hak cipta di Inggris bermula dari adanya praktik percetakan yang berkembang dengan prinsip “company of statitioners” atau bilamana diartikan adalah hanyalah pemilik percetakan yang mempunyai hak untuk mencetak (owner of the copy).8 Dalam perkembangannya Inggris pula yang pertama kali mengeluarkan suatu produk hukum tersendiri untuk mengatur hak cipta dibawah kerjaan Ratu Anne yaitu “Act of 1709”. Perkembangan perlindungan hak cipta juga tidak dapat dilepaskan dari ordonansi napoleon yang
dibuat oleh negara Perancis pada tahun 1806 yang menentukan perlindungan hukum terhadap hak cipta karya-karya seni misalnya atas karya seni drama.9 Dalam perspektif hukum internasional, perlindungan hak cipta ditentukan melalui Berner Convention yang disetujui di Swiss pada tahun 1886. Keberadaan Berner Convention membuat seluruh negara yang menandatanganinya mempunyai kewajiban untuk memberikan penjaminan terhadap perlindungan hak cipta. Terdapat tiga prinsip dasar dalam Berner Convention sebagai berikut:10
-
a. Automatic Protection
Prinsip ini mentikberatkan bahwa perlindungan hukum terhadap hak cipta mesti dijamin secara noconditional upon compliance with any formality (tanpa adanya syarat apapun)
-
b. National Treatment
Prinsip ini menekankan bahwa adanya kewajiban bagi seluruh negara yang menandatangani terkait perlakuan yang sama dalam memberikan perlindungan hukum kepada negara peserta atas ciptaannya.
-
c. Prinsip Independence of Protection
Prinsip ini menegaskan bahwa perlindungan yang diberikan terhadap suatu karya cipta, tidaklah bergantung dengan pengaturan hukum di negara asal pencipta.
Adapun selanjutnya konvensi internasional lain yang menentukan terkait perlindungan hak cipta ialah Universal Copyright Convention tahun 1955. Secara esensial, konvensi ini menegaskan terkait hak cipta ialah suatu hal yang ditimbulkan pemberian hak kepada pencipta melalui suatu ketentuan dimana menyebabkan pula pengertian hak dan ruang lingkupnya dapat ditentukan oleh ketentuan yang mengatur. Kemudian di tahun 1961 lahirlah Roma Convention yang diinisiasikan oleh bern union dengan maksud memajukan penjaminan perlindungan atas hak cipta dari pencipta khususnya performance of artist, producers of phonogram dan lembaga-lembaga penyiaran di seluruh dunia. Menelaah dalam perspektif kesejarahan di negara Indonesia, perkembangan pengaturan hak cipta dimulai sejak zaman Belanda yakni dari adanya “auteurswet 1912” yang lebih lanjut melalui asas konkordansi diberlakukan sebagai hukum nasional. 11 Pada tahun 1982, akhirnya diundangkan Undang-Undang No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (UU 6/1982) sebagai bagian dari komitmen bangsa untuk menjamin perlindungan hak cipta melalui pembangunan hukum nasional. Dalam realitasnya, nyatanya keberadaan UU 6/1982 masih memiliki banyak kekurangan sehingga masih banyak praktik pelanggaran hak cipta seperti pembajakan yang terjadi di tengah masyarakat. Beranjak dari hal tersebut, pemerintah melakukan beberapa kali perubahan terhadap UU 6/1982 hingga saat ini, yang dapat diuraikan sebagai berikut:12
-
1. “UU 6/1982
-
2. UU No. 7 tahun 1987 tentang Perubahan UU N.6 tahun 1982 tentang Hak Cipta.
-
3. UU No. 12 tahun 1997 tentang Perubahan UU No. 6 tahun 1982 sebagaimana diubah dengan UU No. 7 tahun 1987 tentang Hak Cipta.
-
4. UU No. 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta yang menyatakan mencabut UU sebelumnya tentang Hak Cipta
-
5. UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU 28/2014) yang dalam ketentuan penutupnya menyatakan untuk mencabut UU sebelumnya.”
Merujuk dalam Pasal 1 angka 1 UU 28/2014 ditentukan pengertian hak cipta sebagai: “Hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Selanjutnya terkait dengan pengertian pencipta sendiri adalah beberapa orang atau seseorang yang bersama-sama atau secara sendiri membuat suatu ciptaan yang pribadi dan memiliki kekhasan (Pasal 1 angka 2 UU 28/2014). Kemudian berkenaan dengan definisi dari pihak yang disebut sebagai pemegang hak cipta ialah diatur melalui Pasal 1 angka 4 UU 28/2014 yakni:
“Pemegang Hak Cipta adalah Pencipta sebagai pemilik Hak Cipta, pihak yang menerima hak tersebut secara sah dari Pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut secara sah.”
Secara teoritis, seseorang yang memiliki hak cipta terhadap suatu karya cipta dapat memiliki dua hak yaitu hak moral dan ekonomi. Sejalan dengan hal tersebut, UU 28/2014 menentukan terkait hak moral dan hak ekonomi melalui Pasal 5 ayat (1) j.o Pasal 9 bahwa:
“(1) Hak moral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 merupakan hak yang melekat secara abadi pada diri Pencipta untuk: a. tetap mencantumkan atau tidak mencantumkan namanya pada salinan sehubungan dengan pemakaian Ciptaannya untuk umum; b. menggunakan nama aliasnya atau samarannya; c. mengubah Ciptaannya sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat; d. mengubah judul dan anak judul Ciptaan; dan e. mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi Ciptaan, mutilasi Ciptaan, modifikasi Ciptaan, atau hal yang bersifat merugikan kehormatan diri atau reputasinya . J.o Pasal 9 ayat (1) Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 memiliki hak ekonomi untuk melakukan: a. penerbitan Ciptaan; b. Penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya; c. penerjemahan Ciptaan; d. pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian Ciptaan; e. Pendistribusian Ciptaan atau salinannya; f. pertunjukan Ciptaan; g. Pengumuman Ciptaan; h. Komunikasi Ciptaan; dan i. penyewaan Ciptaan.”
Kemudian terkait objek ciptaan yang termasuk sebagai objek perlindungan hak cipta ditentukan dalam Pasal 40 yakni:
“(1) Ciptaan yang dilindungi meliputi Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, terdiri atas:
-
a. buku, pamflet, perwajahan karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lainnya;
-
b. ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan sejenis lainnya;
-
c. alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
-
d. lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks;
-
e. drama, drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;
-
f. karya seni rupa dalam segala bentuk seperti lukisan, gambar, ukiran, kaligrafi, seni pahat, patung, atau kolase;
-
g. karya seni terapan;
-
h. karya arsitektur;
-
i. peta;
-
j. karya seni batik atau seni motif lain;
-
k. karya fotografi;
-
l. Potret;
m.karya sinematografi;
-
n. terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, basis data, adaptasi, aransemen, modifikasi dan karya lain dari hasil transformasi;
-
o. terjemahan, adaptasi, aransemen, transformasi, atau modifikasi ekspresi budaya tradisional;
-
p. kompilasi Ciptaan atau data, baik dalam format yang dapat dibaca dengan Program Komputer maupun media lainnya;
-
q. kompilasi ekspresi budaya tradisional selama kompilasi tersebut merupakan karya yang asli;
-
r. permainan video; dan
-
s. Program Komputer.”
Berkaitan dengan pengaturan perlindungan hukum hak cipta terhadap karya cipta film, mesti ditinjau terlebih dahulu secara terminologi dari kata “film” itu sendiri yang berakar dari bahasa Inggris cinema atau dalam bahasa Indonesianya disebut sinema. Menurut KBBI, film adalah sebuah tempat gambar negatif yang dapat dibuat dengan menggunakan selaput tipis berbahan soluloid. 13 Adapun KBBI, juga memberikan pengertian lain dari film sebagai suatu cerita gambar hidup. Merujuk dalam UU 28/2014 memang tidak disebutkan secara tegas dalam Pasal 59 bahwasannya film termasuk sebagai ciptaan yang diberikan perlindungan hak cipta kendati demikian pada dasarnya istilah film dan karya sinematografi merupakan hal yang sama. Penegasan terkait hal ini dijelaskan dalam bagian penjelasan Pasal 40 huruf m UU 28/2014 menyatakan bahwa:
“Yang dimaksud dengan "karya sinematografi" adalah Ciptaan yang berupa gambar bergerak (moving images) antara lain film dokumenter, film iklan, reportase atau film cerita yang dibuat dengan skenario, dan film kartun. Karya sinematografi dapat dibuat dalam pita seluloid, pita video, piringan video, cakram optik dan/atau media lain yang memungkinkan untuk dipertunjukkan di bioskop, layar lebar, televisi, atau media lainnya. Sinematografi merupakan salah satu contoh bentuk audiovisual.”
Berdasar kepada ketentuan tersebut maka dapat dipahami bahwasannya karya film termasuk sebagai bagian dari objek ciptaan yang dilindungi sebagaimana yang ditentukan Pasal 40 UU 28/2014. Merujuk dalam Pasal 12 UU 28.2014 ditentukan bahwa terdapat beberapa perbuatan yang diklasifikasikan sebagai perbuatan yang melanggar hak ekonomi seorang pencipta yakni seluruh perbuatan yang
menggandakan, mendistribusikan, mengumumkan dengan tujuan komersiil tanpa meminta persetujuan dari pihak pemegang hak cipta. Menurut Robert C Sherwood sebagaimana dikutip oleh Rati Fauza Mayana dalam Bukunya Perlindungan Desain Industri di Indonesia dalam era perdagangan bebas dalam hak kekayaan intelaktual (HKI) memahami prinsip dasar, cakupan, dan Undangundang yang berlaku disebutkan bahwa terdapat 5 teori dasar perlindungan HKI yakni:
-
1. Reward Theory
-
2. Recovery Theory
-
3. Incentive Theory
-
4. Risk Theory.
-
5. Economic Growth Stimulus Theory
Dasar hukum penyelenggaraan media sosial di Indonesia ialah UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU 19/2016). Adapun secara teoritis, penyelenggaraan penyediaan layanan media sosial termasuk sebagai penyelenggaraan sistem elektronik dimana UU 19/2016 telah menentukan dalam Pasal 1 angka 6 bahwa yang dimaksud dengan penyelenggaraan sistem elektronik merupakan suatu tindakan memanfaatkan sistem elektronik yang dilakukan oleh penyelenggara sistem elektronik. Berkaitan dengan ruang lingkup dari sistem elektronik sendiri mencakup keseluruhan prosedur elektronik dan perangkat elektronik yang mempunyai fungsi untuk mengolah, menganalisis, menampilkan, menyimpan, menyebarkanm mengirimkan dan menyebarkan suatu informasi elektronik (electronik data interchange, electronic mail, dan telecopy). Merujuk dalam Pasal 1 angka 6 a UU 19/2016 diatur terkait pihak-pihak yang dapat berkedudukan sebagai penyelenggara sistem elektronik meliputi:
-
1. Penyelenggara Negara
-
2. Setiap Orang
-
3. Badan Usaha
-
4. Masyarakat
Secara praktik dalam penyelenggaraan suatu media sosial terdapat dua pihak utama yang terlibat yakni pihak pertama sebagai penyedia layanan (provider) dan pengguna layanan (user) sebagai pihak kedua. Sebelum melakukan pengkajian terhadap aspek hukum dari perbuatan spoiler karya cipta film yang dilakukan oleh pengguna layanan media sosial maka penting untuk terlebih dahulu memahami pengertian atau definisi dari perbuatan spoiler. Kata spoiler sejatinya berasal dari bahasa Inggris yang berarti “bocoran atau beberan”. Pada dasarnya perbuatan spoiler dapat dipahami sebagai perbuatan untuk membocorkan atau “to spoil” suatu jalan cerita buku atau film yang berakibat berkurangnya kesenangan orang lain terhadap proses membaca atau menonton karya tersebut.14 Perbuatan spoiler film dengan mengunggah di media sosial bisa ditafsirkan sebgai perbuatan menyebarluaskan khususnya pengumuman ciptaan. Pasal 1 angka 11 UU 28/2014 menentukan pengertian pengumuman ciptaan yaitu:
“Pengumuman adalah pembacaan, penyiaran, pameran, suatu ciptaan dengan menggunakan alat apapun baik elektronik atau non elektronik atau melakukan dengan cara apapun sehingga suatu ciptaan dapat dibaca, didengar, atau dilihat orang lain.”
Dalam perspekif UU 28/2014, pengumuman ciptaan merupakan salah satu hak ekonomi yang dimiliki oleh seorang pemegang hak cipta atau pencipta (Pasal 9 UU 28/2014). Selanjutnya Pasal 9 ayat (2) UU 28/2014 mengatur terkait kewajiban setiap orang yang melakukan pengumuman ciptaan tersebut untuk memperoleh izin terlebih dahulu dari pemegang hak cipta atau pencipta. Kemudian terhadap setiap perbuatan pelanggaran ekonomi berupa pengumuman ciptaan yang didasarkan untuk tujuan komersiil dapat diancam pidana sesuai ketentuan Pasal 113 UU 28/2014 yaitu penjara paling lama empat tahun dan/atau denda paling banyak satu miliar rupiah (Rp. 1.000.000.000). Kendati demikian perbuatan spoiler film yang secara tidak langsung termasuk sebagai perbuatan pengumuman ciptaan dapat tidak menimbulkan akibat hukum sepanjang hal tersebut dilakukan tidak dengan tujuan komersial dan menguntungkan pencipta atau pihak terkait serta pencipta atau pemegang hak cipta tidak merasa keberatan atas perbuatan tersebut sesuai Pasal 43 huruf d UU 28/2014 bahwa:
“Perbuatan yang tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta meliputi:
d. pembuatan dan penyebarluasan konten hak cipta melalui media teknologi informasi dan komunikasi yang bersifat tidak komersial dan/atau menguntungkan pencipta atau pihak terkait, atau pencipta tersebut menyatakan tidak keberatan atas pembuatan dan penyebarluaan tersebut.”
Dalam perspektif lainnya, perbuatan spoiler film dapat pula mengarah kepada perbuatan pembajakan film yang dilakukan dengan sarana media sosial. Perlu dipahami bahwa perbuatan pembajakan sendiri merupakan perbuatan untuk menggandakan ciptaan atau produk dengan tujuan komersial (berbayar) dengan tidak sah dimana selanjutnya didistribusikan (Pasal 1 angka 23 UU 28/2014). Adapun perbuatan spoiler film dengan menggunggah suatu film pada media sosial secara penuh (seluruh durasi film) dengan didasarkan motif atau keinginan memperoleh keuangan tentu dapat ditafsirkan sebagai perbuatan pembajakan yang didistribusikan secara elektronik pada cyberspace sebagaimana yang ditentukan Pasal 1 angka 23 UU 28/2014). Terhadap perbuatan tersebut, maka seseorang yang melakukan spoiler film dengan mengunggah film secara penuh dalam media sosial berlaku Pasal 113 ayat (4) UU 28/2014 yakni: “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).”
UU 28/2014 mengatur secara jelas bahwa perbuatan pembajakan karya cipta tidak diwajibkan untuk melalui mediasi terlebihulu sebelum menempuh atau menyampaikan tuntutan pidana. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 95 ayat (4) UU 28/2014 bahwa: “Selain pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait dalam bentuk Pembajakan, sepanjang para pihak yang bersengketa diketahui keberadaannya dan/atau berada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus menempuh terlebih dahulu penyelesaian sengketa melalui mediasi sebelum melakukan tuntutan pidana.”
4. Kesimpulan
Pengaturan hukum mengenai hak cipta karya film di Indonesia mengalami beberapa kali perubahan hingga yang terakhir diundangkan UU 28/2014 sebagai payung hukum yang dimana merumuskan perlindungan karya cipta film sebagai bagian dari objek ciptaan karya sinematografi yang dilindungi. Selanjutnya, perbuatan spoiler film yang diunggah pada media sosial dapat ditafsirkan sebagai perbuatan pengumuman ciptaan sesuai Pasal 9 ayat (2) UU 28/2014 sehingga bilamana dilakukan dengan tujuan komersial dan tanpa seizin pemegang hak cipta atau pencipta dapat diancam ketentuan Pasal 113 UU 28/2014. Adapun perbuatan spoiler film yang diunggah secara penuh pada media sosial dengan profit orientation juga dapat termasuk sebagai perbuatan pembajakan film, maka terhadapnya berlaku ketentuan Pasal 113 ayat (4) UU 28/2014.
Daftar Pustaka
Adigama. “Cuplikan Juga Pembajakan.” Kumparan, 2021.
https://kumparan.com/lpm-adigama/cuplikan-juga-pembajakan.
Databook. “Indonesia Pengguna Facebook Terbesar Kedua Di Asia Setelah India,” 2021. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/07/13/indonesia-
pengguna-facebook-terbesar-kedua-dia-asia-setelah-india.
Dharmawan, Ni Ketut Supasti, and Wayan Wiryawan. “Vol.6 No.2 2014 KEBERADAAN DAN IMPLIKASI PRINSIP.” Magister Hukum Udayana 6, no. 2 (2014): 259–74. https://media.neliti.com/media/publications/44117-ID-
keberadaan-dan-implikasi-prinsip-mfn-dan-nt-dalam-pengaturan-hak-kekayaan-intele.pdf.
Diantha, I Made Pasek. Metodologi Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifikasi Teori Hukum. Prenada Media, 2016.
Dwi Djauhartono. “PEMBAJAKAN KARYA JURNALISTIK DI MEDIA INTERNET PIRACY OF LOURNALISM WORK ON INTERNET MEDIA.” Living Law 7, no. 1 (2015): 144. https://doi.org/https://doi.org/10.30997/jill.v7i1.144.
Helena, Ida Ayu Putri Dita, and I Wayan Suardana. “Legalitas Penyebarluasan Film Bioskop Pada Situs Film Online Terkait Hak Cipta.” Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 7, no. 8 (2019): 1. https://doi.org/10.24843/km.2019.v07.i08.p12.
Pricillia, Luh Mas Putri, and I Made Subawa. “Akibat Hukum Pengunggahan Karya Cipta Film Tanpa Izin Pencipta Di Media Sosial.” Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 6, no. 11 (2018): 1–15.
Putri, Cindy Alifia. “Analisis Sentimen Review Film Berbahasa Inggris Dengan Pendekatan Bidirectional Encoder Representations from Transformers.” JATISI (Jurnal Teknik Informatika Dan Sistem Informasi) 6, no. 2 (2020): 181–93.
https://doi.org/10.35957/jatisi.v6i2.206.
Rafianti, Lailana. “Sejarah Dan Politik Hukum Hak Cipta.” Jurnal Bina Mulia Hukum 2, no. 2 (2018): 1–8. https://doi.org/10.23920/jbmh.v2n2.21.
Wasita, Agus. “Perlindungan Hukum Pemegang Hak Cipta Atas Film Impor.” Business Economic, Communication, and Social Sciences (BECOSS) Journal 2, no. 2 (2020): 169– 80. https://doi.org/10.21512/becossjournal.v2i2.6132.
Widiastuti, Rosarita Niken. Memaksimalkan Penggunaan Media Sosial Dalam Lembaga Pemerintah. DIrektorat Jenderal Informasi Dan Komunikasi Publik. Jakarta:
Kementerian Komunikasi dan Informatika, 2018.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
124
Discussion and feedback