Keabsahan Sertifikasi Transaksi Secara Cyber Notary Sebagai Akta Autentik yang Dikeluarkan Notaris

Made Ary Suta1, I Made Sarjana2

1Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

2Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

Info Artikel

Masuk: 23 Juli 2022

Diterima: 14 Maret 2023

Terbit: 27 Mei 2023

Keywords:

Cyber Notary, Legality, Authentic Deed, Authority


Kata kunci:

Cyber Notary, Keabsahan, Akta

Autentik, Kewenangan

Corresponding Author:

Made Ary Suta, E-mail: [email protected]

DOI:

10.24843/JMHU.2023.v12.i01.

p11


Abstract

This study has the aim of analyzing and reviewing the authority of a notary in carrying out the concept of cyber notary related to the validity of a deed. This research uses a normative legal research due to conceptually there is a misalignment of norms in Article 16 paragraph (1) letter m and Article 15 paragraph (3) UUJN. Therefore, this research using statutory and conceptual approach. The results obtained after discussing the problems in this study shows that the authority of a notary in carrying out cyber notary concept can be said to be the same as notary authority in legalizing, besides, that it turns out and has been implemented in making the GMS of a Limited Liability Company. Regarding to the validity of authentic deeds made in a cyber notary method, it is known that the concept is only possible for the making of Relaas Deeds such as the GMS Deed and cannot be applied in the Partij Deed which involves the appellants to reach an agreement in the authentic deed because it is limited by Article 16 paragraph (1) letter (m) UUJN. Abstrak

Penelitian ini mempunyai tujuan yakni menganalisis dan mengkaji wewenang notaris dalam menjalankan konsep cyber notary terkait keabsahan suatu akta. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dikarenakan secara konsep terdapat adanya ketidak selarasan norma dalam Pasal 16 ayat (1) huruf m dan Pasal 15 ayat (3) UUJN. Maka dari itu, untuk mengkaji hal tersebut, dalam penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Hasil yang diperoleh setelah membahas permasalahan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa kewenangan notaris dalam menjalankan cyber notary dapat dikatakan sama dengan kewenangannya dalam melakukan legalisasi, selain itu ternyata kewenangan ini telah dan sudah diimplementasikan dalam pembuatan Akta RUPS Perseroan Terbatas. Kemudian berkaitan dengan keabsahan akta autentik yang dibuat secara cyber notary, diketahui bahwa konsep tersebut hanya dimungkinkan untuk pembuatan Akta Relaas seperti Akta RUPS dan tidak atau belum dapat diterapkan dalam Akta Partij yang melibatkan para penghadap untuk mencapai kesepakatan dalam akta otentik karena dibatasi oleh aturan hukum Pasal 16 ayat (1) huruf (m) UUJN.

  • I.    Pendahuluan

Faktor paling signifikan dalam era globalisasi yang sering dijumpai dalam keseharian manusia dewasa ini adalah teknologi dan informasi. Teknologi dan informasi semakin hari semakin berkembang pesat seiring dengan perkembangan kebutuhan di dalam masyarakat pula. Perkembangan yang sedemikian pesat tersebut kian hari terus membawa dampak yang sangat signifikan bagi setiap aspek kehidupan manusia dewasa ini. Sudah banyak sekali kemudahan dan keuntungan yang dirasakan akibat adanya perkembangan teknologi yang mana mempengaruhi kelangsungan hubungan antar manusia berjalan dengan cepat dan efektif tanpa perlu memperhitungkan soal aspek ruang dan waktu.1 Adanya perkembangan teknologi dan informasi yang terjadi secara signifikan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat khususnya Indonesia, mendorong diterbitkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut UU ITE). UU ITE hadir sebagai harapan pemerintah untuk tetap menjamin kemajuan teknologi dan infomasi tersebut dalam meningkatkan efektifitas dan keefisienan dalam menjalankan tugas pemerintah dalam bidang pelayanan publik.

Indonesia sekarang sedang dihadapkan dengan perkembangan teknologi informasi yang harus disadari bahwa teknologi informasi tersebut merupakan faktor krusial yang memiliki peran dan kontribusi dalam berbagai aspek pembangunan nasional mulai dari aspek sosial, budaya, dan sektor ekonomi. Tak hanya itu, kemajuan teknologi informasi pun turut serta memberi pengaruh terhadap kondisi sosial serta pelayanan publik seperti pelayanan medis, pendidikan, administrasi dalam pemerintahan, serta aspek-aspek pelayanan lain tidak terkecuali aspek ilmu kenotariatan yang berkaitan dengan pelayanannya sebagai seorang notaris.

Ciri khas seorang notaris adalah kewenangannya dalam pembuatan akta autentik.2 Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UUJN) mendefinisikan “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya.” Pasal 1868 KUHPerdata kembali menegaskan bahwa suatu akta dapat memenuhi keautentikannya bilamana akta telah dibuat sesuai dengan bentuk dan kaidah yang berkesesuaian dengan bentuk akta yang telah ditentukan dalam undang-undang. Terhadap akta tersebut, dapat dibuat langsung atau dapat dibuat dihadapan pegawai umum yang berwenang untuk hal itu, di tempat dimana akta dibuatnya. Akta autentik nantinya akan memiliki peran yang penting dan krusial dalam menjamin kepastikan hukum dalam suatu hubungan hukum pihak-pihak yang bersangkutan. 3 Sifat keautentikan sebuah akta yang dibuat notaris dalam prakteknya dapat sering kali difungsikan sebagai alat bukti surat yang memiliki

kualifikasi pembuktian sempurna dalam menangani suatu sengketa atau perkara yang berkaitan dengan akta tersebut. Notaris ditunjuk secara resmi dan patut oleh undang-undang untuk memangku jabatan sebagai pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta dapat dikatakan akan melahirkan sebuah kekhasan yang melekat dalam sebuah akta sehingga akta akan memiliki kekuatan hukum sempurna untuk digunakan sebagai alat bukti.4

Kewenangan daripada seorang notaris secara tegas diatur pada Pasal 15 UUJN yang pada pokoknya menyebutkan bahwa notaris berwenang untuk membuat akta autentik atas segala perbuatan hukum ataupun perjanjian seperti yang tercantum dalam undang-undang atau bisa juga membuat akta autentik yang isinya disesuaikan dengan kesepakatan atau kehendak pihak-pihak yang bersangkutan yang nantinya kesepakatan tersebut akan disahkan dalam bentuk akta autentik. Di samping kewenangan yang diberikan undang-undang, notaris juga berkewajiban untuk memastikan segala bentuk fakta-fakta yang terjadi selama penyusunan ataupun pengesahan suatu akta autentik mulai dari memeriksa kebenaran tanggal dibuatnya suatu akta, kemudian mengesahkan akta dengan cara menandatanganinya lalu kemudian mendaftarkan akta dalam suatu buku khusus hingga menyimpan salinan akta sesuai dengan dokumen aslinya. Notaris juga dapat memberikan saran-saran hukum in casu pembuatan akta hingga risalah lelang. Pasal tersebut juga memberikan seorang notaris “kewenangan lain” yang diatur lebih lanjut pada peraturan pelaksana.

Berkembangnya teknologi informasi yang kian hari mengalami perubahan yang signifikan menyebabkan pengaruhnya terus merambat ke banyak aspek kehidupan, tak terkecuali perkembangan teknologi informasi pada sektor transaksi elektronik. 5 Perkembangan tersebut bukan hanya mempengaruhi masyarakat umum biasa, namun transaksi elektronik juga berpengaruh bagi seorang notaris selaku pejabat umum atau pejabat publik dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Berkenaan dengan kondisi tersebut, dimana terdapat kemungkinan terjadinya transaksi elektronik yang membutuhkan pengesahan seorang notaris maka UUJN secara eksplisit mengklasifikasikan hal tersebut sebagai”kewenangan lain seorang notaris yang diatur undang-undang”. Lebih lanjutnya, penjelasan Pasal 15 ayat (3) UUJN menyebutkan bahwa notaris berwenang melakukan sertifikasi atas transaksi elektronik atau cyber notary, membuat akta ikrar serta hipotik pesawat terbang.6

Konsep cyber notary berkaitan dengan pelaksanaan kewenangan notaris berbasis teknologi informasi. 7 Pada dasarnya istilah mensertifikasi pada dasarnya berasal dari serapan kata dalam Bahasa Inggris “certification” dengan arti keterangan atau

pengesahan. Dalam ketentuan penjelasan pada pasal tersebut mensertifikasi memiliki arti “mengesahkan” yang sejalan dengan fungsi seorang notaris untuk membuat dan mengesahkan akta yang dibuatnya. Sehingga ketentuan penjelasan Pasal 15 ayat (3) UUJN tersebut menghasilkan dukungan terhadap wewenang seorang notaris untuk menerapkan cyber notary. Cyber notary sendiri dapat dimaknai sebagai bentuk berjalannya tugas dengan kewenangan jabatan notaris dalam hal pembuatan akta yang berbasis teknologi infornasi. Konsekuensi hukum yang terjadi bagi seorang notaris bilamana ia membuat akta dengan menggunakan teknologi cyber notary adalah tercapainya sebuah kepastian hukum terhadap akta berbasis cyber notary tersebut dengan berpatokan pada Pasal 15 ayat (3) UUJN dimana perbuatan hukum notaris yang membuat akta berbasis cyber notary tersebut merupakan suatu perbuatan dalam rangka pemenuhan unsur pada frasa ”menjalankan kewenangan lain menurut peraturan perundang-undangan” yakni mensertifikasi transaksi berbasis cyber notary. Pemenuhan unsur dalam suatu pasal akan menghasilkan tak hanya satu konsekuensi hukum saja namun terbuka pula kemungkinan terjadinya konsekuensi-konsekuensi lainnya. Pasal 16 ayat (1) huruf m UUJN mewajibkan seorang notaris setelah proses penyusunan akta telah rampung, untuk melakukan pembacaan akta di hadapan para pihak bersangkutan dimana selama pembacaan berlangsung wajib hadir minimal 2 orang saksi atau 4 orang jika pembuatan akta dilakukan di bawah tangan. Kemudian akta tersebut harus ditandatangani oleh penghadap, saksi, dan notaris saat itu juga. Kondisi seperti ini tentunya akan menimbulkan pertanyaan lagi mengenai kekuatan sebuah akta berbasis cyber notary, apakah akta tersebut dapat memenuhi syarat keautentikan suatu akta sebagaimana diatur dalam Pasal 1868 KUHPerdata karena segala unsur dalam pasal tersebut merupakan syarat mutlak autentisitas sebuah akta yang nantinya akan menentukan bentuk akta tersebut berdasarkan apa yang diatur undang-undang dan harus dibuat oleh atau dihadapan pegawai umum yang berwenang atas hal itu yaitu notaris.

Kehadiran fisik secara nyata bagi para penghadap selama pembacaan akta oleh notaris adalah dampak yang harus ditanggung bagi para pihak maupun notaris karena pembuatan akta autentik tersebut berhubungan signifikan terhadap sifat pembuktian sempurna sebuah akta sebagai alat bukti. Kewajiban akta yang dibuat dihadapan notaris untuk dibacakan dihadapan para penghadap merupakan bentuk implementasi pelaksanaan tugas jabatan seorang notaris dimana hal tersebut merupakan sebuah kewajiban yang harus dijalani sebagai bentuk konkret advokasi hukum seorang notaris.

Keadaan di atas menimbulkan adanya suatu konflik norma terkait Pasal 15 ayat (3) UUJN khususnya pada ketentuan penjelasan pasal tersebut, karena apabila dirujuk pada Pasal 16 ayat (1) huruf m UUJN maka dapat dikatakan bahwa kedua pasal tersebut sebenarnya saling bertentangan. Transaksi yang disertifikasi atau disahkan secara elektronik atau cyber notary dapat dikategorikan sebagai bentuk ”kewenangan lain” yang diberikan kepada seorang notaris sebagaimana termaktub dalam penjelasan Pasal 15 ayat (3) UUJN, namun menjadi kurang dimengerti bila diartikan sebagai suatu bentuk pengesahan terhadap transaksi yang dilakukan atau dibuat dengan media elektronik berbasis cyber notary sehingga transaksi itu dapat dikualifikasikan secara sah menjadi sebuah akta yang dibuat oleh notaris. Namun kondisi demikian sangat jelas bertolakbelakang dengan tata cara pembuatan akta autentik yang dibuat oleh notaris sebagaimana disebutkan dalam UUJN dimana pasal tersebut mengatur bahwa notaris diharuskan untuk hadir, membaca, dan menandatangani akta dihadapan para penghadap pada saat itu juga. Sedangkan konsep tersebut berbeda dengan konsep pembuatan akta berbasis cyber notary yang

notabene para penghadap tidak secara langsung berada secara fisik nyata dihadapan notaris, melainkan hadir melalui media elektronik sebagai wadah penghubung.

Maka dari itu, sehubungan dengan terlaksananya kewenangan seorang notaris yaitu untuk mensetifikasi transaksi elektronik berbasis cyber notary perlu dijelaskan lebih lanjut agar tidak suatu konflik norma dalam peraturan perundang-undangan tersebut. Urgensi penjelasan terhadap pasal tersebut sangat diperlukan karena dapat menimbulkan dampak terhadap keabsahan suatu akta notaris sebagai bentuk produk hasil sertifikasi atas transaksi elektronik berbasis cyber notary. Perbedaan yang membuat penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya adalah perbedaan sudut pandang dalam membahas cyber notary. Penelitian oleh Dwi Merlyani, Annalisa Yahanan, dan Agus Trisaka tahun 2020 yang berjudul “Kewajiban Pembacaan Akta Otentik Oleh Notaris di Hadapan Penghadap Dengan Konsep Cyber Notary”8 membahas mengenai filosofi dan konsep dari pembacaan akta notaris secara langsung di depan para penghadap serta kekuatan hukum akta yang pembacaannya dilakukan melalui teknologi video conference dan serta tanda tangan elektronik dalam sebuah akta. Penelitian lain dilakukan oleh Yessy Artha Mariyanawati dan Habib Adjie tahun 2022 dengan judul “Keabsahan Akta Otentik yang Dibuat Dengan Cara Elektronik (Cyber Notary)” 9 yang membahas tentang bagaimana implementasi tugas notaris sehubungan dengan pembuatan akta autentik memakai cyber notary dan konsekuensi yuridisnya bilamana terdapat akta yang tidak dibuat di hadapan notaris secara langsung.

Berangkat dari penjabaran di atas, ditemukan rumusan masalah yang akan diangkat dalam penelitian ini, yakni akan dilakukan pengkajian terhadap permasalahan yang berkaitan dengan bagaimana kewenangan seorang notaris dalam hal melakukan pensertifikasian atau mengesahkan suatu transaksi elektronik dan juga bagaimana keabsahan akta terkait sertifikasi transaksi secara elektronik yang dilakukan oleh notaris.

  • 2.    Metode Penelitian

Melihat problematika yang telah dipaparkan di atas, maka jenis penelitian yang diterapkan adalah penelitian hukum normatif. Penelitian ini melakukan kajian terhadap bahan-bahan hukum seperti peraturan-peraturan yang notabene merupakan landasan utama sebuah penelitian normatif. Konsep yang diterapkan dalam penelitian hukum ini adalah meletakkan hukum sebagai suatu sistem norma yang didasarkan atas asas, kaidah-kaidah aturan perundangan, perjanjian, doktrin, serta putusan pengadilan.10 Berkaca atas hal dan permasalahan di atas, maka diterapkan pula pendekatan undang-undang dan pendekatan konseptual untuk mendukung penelitian ini dengan menggunakan data sekunder meliputi data-data kepustakaan bersumber dari peraturan perundang-

undangan atau putusan-putusan lain serta penelitian kepustakaan yang memiliki kaitan dengan topik penelitian yang akan dibahas.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Kewenangan Notaris dalam Mensertifikasi Transaksi yang dilakukan secara Elektronik

Notaris adalah mereka memangku sebagian wewenang negara dalam hal membuat alat bukti tertulis atau autentik namun hanya khusus pada bidang hukum perdata saja. Maka dapat dikatakan, karena notaris diangkat oleh negara namun tidak menjalankan organisasi pemerintahan (wakil rakyat) maka notaris juga dapat disebut sebagai pejabat umum karena tugas dan jabatannya yang merupakan perpanjangan tangan dari wewenang kekuasaan negara tersebut. Wewenang negara yang dimaksud disini ialah wewenang pemberian langsung oleh UUJN kepada notaris sehingga jabatan yang dipangku oleh notaris bukan termasuk jabatan struktural sebagaimana dalam pemerintahan negara.

Pasal 15 UUJN memberikan 3 (tiga) jenis klasifikasi terkait pembagian kewenangan notaris yakni membagi kewenangan notaris menjadi kewenangan umum, kewenangan khusus, dan kewenangan lain. Dalam kasus kewenangan notaris untuk mensertifikasi transaksi elektronik diklasifikasikan sebagai kewenangan lain telah tercantum pada Penjelasan Pasal 15 ayat (3) UUJN yaitu: “Yang dimaksud dengan kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, antara lain, kewenangan mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik (cyber notary), membuat Akta ikrar wakaf, dan hipotek pesawat terbang.” Penormaan dalam Pasal 15 ayat (3) UUJN jika ditilik dalam bagian penjelasannya menyebutkan bahwa salah satu dari sekian kewenangan Notaris sebagai pejabat umum adalah melakukan sertifikasi transaksi yang dilakukan menggunakan media elektronik. Cyber notary dengan target untuk menjamin terlaksananya kepastian hukum serta perlindungan hukum untuk masyarakat sebagai upaya menghadapi gelombang kemajuan teknologi dewasa ini serta dibutuhkannya sebuah alat bukti yang bersifat autentik.11 Merupakan sebuah bentuk pembuktian atas suatu perbuatan hukum yang telah terjadi antar pihak bersangkutan yang kemudian atas hal tersebut dibuat suatu bukti tertulis di hadapan pejabat yang berwenang in casu notaris.

Tuntutan era globalisasi mengakibatkan adanya perubahan aturan yang membuat masuknya ketentuan baru tentang sertifikasi transaksi elektronik dalam UUJN yang baru dikarenakan beberapa aturan dalam undang-undang sebelumnya sudah tidak selaras dengan laju perkembangan hukum serta kebutuhan akan kepastian hukum dalam masyarakat sehingga menjadi sebuah urgensi bagi pemerintah Indonesia untuk melakukan penyesuaian dan perubahan dalam aturan-aturannya. Notaris selaku pejabat umum yang profesinya dijalankan dalam bentuk pemberian jasa hukum yang

diperuntukkan bagi masyarakat, dirasa sangat perlu mendapatkan suatu perlindungan serta jaminan dalam usaha untuk mencapai suatu kepastian hukum.

Surya Jaya memberikan definisi terkait cyber notary sendiri sebagai suatu pemanfaatan terhadap penggunaan teknologi informasi pada zaman ini sebagai bentuk pelaksanaan fungsi, tugas, dan kewenangan seorang notaris. Bentuk realitas teknologi informasi sebagaimana yang dimaksud di atas adalah komputer atau media elektronik lain seperti video conference atau teleconference. Berlandaskan hal tersebut, pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya noatris dapat memakai dan/atau merasakan manfaat teknologi informasi tersebut dalam bentuk cyber notary.

Implementasi nyata bagi seorang notaris yang memanfaatkan atau menggunakan kecanggihan teknologi informasi dalam pelaksanaan tugas, fungsi, dan kewenangannya tersebut dapat dilihat dalam bentuk tertulis, umpamanya bisa dalam pembuatan risalah RUPS sebuah Perseroan Terbatas yang biasanya dilakukan oleh notaris.12 RUPS sebuah Perseroan Terbatas dalam kebiasaannya dapat dilaksanakan menggunakan media elektronik seperti telekonferensi, video telekonferensi, atau saran lain yang memiliki posibilitas agar seluruh peserta RUPS berpartisipasi langsung dalam RUPS seperti yang disebut dalam Pasal 77 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut sebagai UUPT). Hubungannya dengan cyber notary adalah dalam pembuatan risalah RUPS yang dilaksanakan secara daring (dalam jaringan), notaris pasti akan memanfaatkan teknologi cyber notary tersebut untuk membuat risalah RUPS tersebut.

Notaris juga memiliki kewenangan untuk melakukan legalisasi yang prinsipnya sama halnya seperti membuat sertifikasi transaksi elektronik. Bentuk pertanggungjawaban notaris atas kewenangannya melakukan legalisasi pun juga sama seperti pertanggungjawaban yang dibebankan terhadap notaris demi melaksanakan sertifikasi transaksi elektronik tersebut. Sehingga, setiap notaris yang melakukan sertifikasi maka pertanggungjawaban seorang notaris akan diletakkan pada keabsahan yang terkandung dalam sertifikat dalam bentuk elektronik tersebut. Keabsahan yang dimaksud disini yakni berupa tanda tangan yang dibubuhkan dalam sertifikat sehingga yang hanya dapat dilakukan oleh para pihak yang berwenang untuk menandatanganinya dan tidak dapat dilakukan oleh orang lain. Selain itu, penanggalan yang digunakan oleh notaris ialah tanggal dimana para pihak bersangkutan tersebut memberikan tanda tangan atas sertifikat elektronik tersebut.

Kewenangan notaris dalam melakukan sertifikasi elektronik adalah bagian dari adanya cyber notary. Konsep lebih lanjut cyber notary pada dasarnya merupakan sebuah konsep dengan arti yang lebih luas yang bukan hanya sekadar kewenangan notaris untuk melakukan sertifikasi pada umumnya. Penggunaan dan pemanfaatan teknologi informasi dalam bentuk cyber notary dalam dunia kenotariatan tidak terlepas dari kewajiban notaris dalam melaksanakan jabatannya. Maka dari itu, kewenangan seorang notaris berkaitan

dengan melakukan sertifikasi transaksi yang dilaksanakan secara elektronik termasuk salah satu wewenang notaris dalam lingkup cyber notary.13

  • 3.2    Keabsahan Akta Terkait Sertifikasi Transaksi Secara Elektronik yang dilakukan Notaris

Kewenangan lain yang disematkan kepada seorang notaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) UUJN yakni melakukan sertifikasi atas transaksi yang memanfaatkan cyber notary memiliki kaitan dengan bukti tertulis sertifikasi tersebut berupa hasil print out. Dikarenakan basis cyber notary tersebut menggunakan media elektronik, maka jika sertifikat tersebut dicetak ke dalam bentuk fisik maka dapat dikualifikasikan sebagai dokumen elektronik. Pasal 1 angka 4 UU ITE mengatur kualifikasi mengenai dokumen elektronik secara definitif bahwa yang termasuk dokumen elektronik ialah tiap informasi dalam bentuk elektronik yang dibuat dan diteruskan atau dikirimkan untuk diterima atau disimpan dalam berbagai bentuk seperti analog, digital, dan bentuk lainnya yang sejenis. Dokumen tersebut nantinya harus dapat dilihat atau ditampilkan atau didengar dengan media elektronik seperti contohnya komputer ataupun sistem elektronik lain tanpa memberi batasan hanya pada tulisan, gambar, rancangan, foto, suara, dan lainnya karena dokumen tersebut juga bisa berupa huruf, angka, kode, simbol dan lain-lain yang memiliki makna dan bisa dipahami siapapun yang melihatnya. Walaupun dokumen elektronik tersebut juga merupakan hasil output akan implementasi kewenangan notaris selaku pembuat akta autentik, maka dokumen elektronik tersebut tidak serta merta terlepas dari syarat keautentikan sebuah akta sebagaimana yang dimaksudkan Pasal 1868 KUHPerdata.

Umumnya, tahap-tahap yang harus dipenuhi dalam proses pembuatan akta dengan cara konvensional sebagai berikut:14

  • a.    Para pihak atau penghadap biasanya datang ke kantor notaris yang telah disepakati sebelumnya lalu kemudian menyampaikan tujuan atau keinginan mereka supaya dituangkan dalam bentuk akta notaris;

  • b.    Notaris yang telah memahami dan mendengar maksud dan tujuan para pihak atau penghadap tersebut dapat mengambil atau menindaklanjuti permintaan tersebut dengan perbuatan hukum sesuai yang dikehendaki oleh para pihak atau penghadap tersebut. Notaris juga dapat memberi bantuan hukum berupa penyuluhan terkait jenis akta yang dibuat, apakah akta tersebut sudah berkesesuaian hukum dengan apa yang disyaratkan dalam undang-undang ataukah belum memenuhi syarat;

  • c.    Jika para penghadap sudah saling sepakat terhadap hal-hal yang dikehendaki, maka terhadap hal tersebut notaris dengan berpedoman pada Pasal 83 UUJN melakukan pembuatan akta notaris.

Setelah tahap-tahap di atas dilaksanakan baik oleh notaris maupun para pihak atau penghadap, notaris wajib melakukan pembacaan akta di hadapan para pihak tersebut dan wajib hadir minimal dua orang selaku saksi atau khusus pengesahan akta di bawah tangan maka minimal saksi yang hadir adalah empat orang. Akta tersebut akan menjadi

sah di mata hukum dan memperoleh keabsahan sebagai akta autentik bilamana telah ditandatangani pada hari dan tanggal tersebut oleh para penghadap, para saksi, dan notaris sebagai pejabat berwenang. Akta tersebut akan kehilangan keautentikannya bilamana syarat dalam Pasal 16 ayat (1) huruf m dan ayat (7) UUJN tersebut tidak terpenuhi dan kekuatan pembuktiannya hanya diakui sebagai akta di bawah tangan. Berkenaan dengan hal tersebut, muncul perdebatan terkait keabsahan akta autentik notaris yang dibuat melalui media cyber notary, karena dalam ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf m UUJN, pembacaan akta harus dibacakan notaris di hadiri para pihak atau penghadap dan saksi-saksi sementara jika akta dibuat menggunakan media cyber notary, otomatis unsur pasal tersebut tidak dapat terpenuhi karena frasa “hadir” yang dimaksudkan adalah hadir secara fisik dan langsung di hadapan notaris.15

Dalam hal Notaris melakukan pembuatan akta autentik melalui media cyber notary yang seperti diketahui bahwa konsep dasar cyber notary sendiri adalah memanfaatkan teknologi dalam proses pembuatan aktanya. Maka dari itu, sangatlah perlu diketahui terlebih dahulu jenis akta autentik apa yang akan dibuat oleh notaris. Terdapat 2 (dua) jenis akta yang dibuat atau dikeluarkan oleh seorang notaris yaitu:16

  • 1)    Akta Relas

Akta yang dikategorikan sebagai akta autentik dan dibuat atau dikeluarkan oleh seorang notaris sebagai bentuk pelaksanaan atas kewenangan tugas jabatan yang telah diberikan negara kepada seorang notaris;

  • 2)    Akta Partij

Akta ini merupakan akta yang isinya memuat rentetan utuh tentang keterangan yang disampaikan oleh para pihak bersangkutan dimana atas keterangan itu, notaris akan melakukan konstatir terhadap keterangan tersebut dalam bentuk akta autentik.

Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat diketahui contoh dari pembuatan Akta Relaas adalah dibuatnya Akta terkait RUPS Perseroan Terbatas karena kewenangan pembuatan akta RUPS ini telah diberikan langsung oleh undang-undang sebagai bentuk pertanggungjawaban seorang notaris yang telah diberikan kewenangan tugas jabatan oleh negara. Berdasarkan hal tersebut, pelaksanaan cyber notary hanya dapat dilaksanakan pada pembuatan Akta Relaas seperti Akta RUPS tersebut karena pelaksanaan RUPS melalui media elektronik dan pemanfaatan teknologi itu sendiri telah mendapat kepastian hukum yakni melalui Pasal 77 UUPT. Selain itu proses pendaftaran badan hukum Perseroan Terbatas dalam sistem AHU juga telah menerapkan konsep cyber notary di dalamnya. Keabsahan suatu Akta Relas yang dibuat notaris tetap bisa dipastikan, meski selama pembuatannya memanfaatkan video telekonferensi atau sarana elektronik lain sehingga kekuatan pembuktian akta tersebut tetap sempurna dengan catatan sepanjang syarat bahwa notaris wajib untuk memberi tanda tangan atas akta tersebut telah terpenuhi.17

Berkebalikan dengan Akta Relas yang secara tidak langsung pembuatannya dapat menerapkan konsep cyber notary, maka terhadap Akta Partij hal tersebut sayangnya tidak dapat diterapkan menggunakan cyber notary. Mengapa demikian? Karena pada prinsipnya, Akta Partij merupakan akta yang isinya memuat keinginan dan kehendak para pihak atau penghadap dimana posisi notaris hanya menuangkan kehendak para pihak atau penghadap tersebut dalam sebuah akta agar di kemudian hari para pihak atau penghadap yang bersangkutan dapat menggunakannya sebagai alat bukti sah.18 Melihat kondisi tersebut, penting bagi seorang notaris untuk melihat, mendengar, dan menyaksikan langsung secara fisik nyata dalam proses pembacaan akta dan juga proses ditanda tanganinya akta oleh penghadap, saksi-saksi, dan juga notaris itu sendiri. Bilamana syarat tersebut tidak dapat dipenuhi, maka Akta Partij tersebut akan kehilangan statusnya sebagai akta autentik dan berubah status menjadi hanya sebatas akta bawah tangan yang mana kekuatannya sebagai alat bukti kurang kuat jika dibandingkan dengan akta autentik karena sudah melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf m UUJN.

  • 4.    Kesimpulan

Kewenangan notaris untuk melakukan sertifikasi transaksi yang dilaksanakan dengan menggunakan sarana elektronik merupakan bentuk kualifikasi “kewenangan lain yang diberikan undang-undang” sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (3) UUJN. Kewajiban serta wewenang bagi seorang notaris untuk melakukan tugas, fungsi, dan jabatannya dengan memanfaatkan cyber notary telah dilakukan pada pembuatan Akta RUPS Perseroan Terbatas yang dilakukan secara teleconference yang pengaturannya terdapat dalam Pasal 77 UUPT. Akta autentik yang pembuatannya dilakukan oleh seorang notaris hanya akan memperoleh keabsahan bilamana sudah berkesesuaian dengan UUJN serta Pasal 1868 KUHPerdata. Keabsahan suatu akta notaris agar dapat dianggap sebagai akta autentik pun ditentukan pelaksanaan pembacaan akta yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf (m) UUJN. Akta Notaris dibagi menjadi Akta Relaas dan Akta Partij, yang dimana dalam penerapannya hanya Akta Relas saja yang memungkinkan digunakan metode cyber notary. Hal ini dikarenakan pelaksanaan dari Akta Relas seperti Akta RUPS telah diakomodir oleh peraturan khusus yang jelas yaitu Pasal 77 UUPT. Sayangnya, untuk Akta Partij kemungkinan diterapkannya teknologi cyber notary masih terbatas karena pada dasarnya UUJN mewajibkan bahwa selepas akta disusun, maka pembacaannya harus berhadapan langsung dengan para pihak bersangkutan ditambah saksi dan notaris. Setelah akta dibacakan haruslah ditandatangani langsung oleh pihak-pihak tersebut di atas.

Daftar Pustaka

Avelyne, Delia Mirza. “Penerapan E-Notary Dalam Transaksi Elektronik Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (Ite).” Jurnal Spektrum Hukum 18, no. 1   (2021):  15–22.

https://doi.org/10.35973/sh.v18i1.2773.

Bahri, Syamsul, Annalisa Yahanan, and Agus Trisaka. “Kewenangan Notaris Dalam Mensertifikasi Transaksi Elektronik Dalam Rangka Cyber Notary.” Repertorium: Jurnal Ilmiah Hukum Kenotariatan Vol. 8, no. No. 2  (2019):  142–57.

https://doi.org/10.28946/rpt.v%vi%i.356.

Darusman, Yoyon Mulyana. “Kedudukan Notaris Sebagai Pejabat Pembuat Akta Otentik Dan Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah.” ADIL: Jurnal Hukum 7, no. 1 (2016): 36– 56. https://doi.org/10.33476/ajl.v7i1.331.

Dharmawan, Ni Ketut Supasti. “Keberadaan Pemegang Saham Dalam Rups Dengan Sistem Teleconference Terkait Jaringan Bermasalah Dalam Perspektif Cyber Law.” Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) 4, no. 1 (2015): 190–202. https://doi.org/10.24843/jmhu.2015.v04.i01.p15.

Mariyanawati, Yessy Artha, and Habib Adjie. “Keabsahan Akta Otentik Yang Dibuat Dengan Cara Elektronik (Cyber Notary).” Kajian Masalah Hukum Dan Pembangunan: Perspektif 27, no. 1 (2022): 42–48. https://doi.org/10.30742/perspektif.v27i1.822.

Merlyani, Dwi, Annalisa Yahanan, and Agus Trisaka. “Kewajiban Pembacaan Akta Otentik Oleh Notaris Di Hadapan Penghadap Dengan Konsep Cyber Notary.” Repertorium:  Jurnal Ilmiah Hukum Kenotariatan 9, no. 1  (2020):  36–47.

https://doi.org/10.28946/rpt.v9i1.358.

Mukti, Fajar & Yulianto, Achmad. Dualisme Penelitian Hukum Normatif Dan Empiris. Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2017.

Nurita, Emma. Cyber Notary Pemahaman Awal Dalam Konsep Pemikiran. Bandung: Refika Aditama, 2012.

Pramudyo, Eri, Ranti Fauza Mayana, and Tasya Safiranita Ramli. “Tinjauan Yuridis Penerapan Cyber Notary Berdasarkan Perspektif UU ITE Dan UUJN.” Jurnal Indonesia Sosial Sains 2, no. 1 (2021): 1239–57. https://doi.org/10.36418/jiss.v2i8.382.

Rossalina, Zainatun, Moh Bakri, and Itta Andrijani. “Keabsahan Akta Notaris Yang Menggunakan Cyber Notary Sebagai Akta Otentik.” Jurnal Media Neliti, n.d., 1–25. https://media.neliti.com/media/publications/115310-ID-keabsahan-akta-notaris-yang-menggunakan.pdf.

Setiadewi, Kadek, and I Made Hendra Wijaya. “Legalitas Akta Notaris Berbasis Cyber Notary Sebagai Akta Otentik.” Jurnal Komunikasi Hukum (JKH) 6, no. 1 (2020): 126– 34. https://doi.org/10.23887/jkh.v6i1.23446.

Setiadi, Wahyu Tantra, and I `Nyoman Bagiastra. “Keabsahan Tanda Tangan Pada Akta Autentik Secara Elektronik Ditinjau Dari Cyber Notary.” Acta Comitas 6, no. 01 (2021): 66–77. https://doi.org/10.24843/ac.2021.v06.i01.p06.

Sjaifurrachman. Aspek Pertanggungjawaban Notaris Dalam Pembuatan Akta. Bandung: Mandar Maju, n.d.

Soeroso, R. Perjanjian Di Bawah Tangan. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

Syamsir, Elita Rahmi, and Yetniwati. “Prospek Cyber Notary Sebagai Media Penyimpanan Pendukung Menuju Profesionalisme Notaris.” Recital Review 1, no. 2 (2019): 132–47. https://online-journal.unja.ac.id/RR/article/view/7458.

Toryanto, Cheung Joan Karmel, and Yunanto. “Urgensi Pengaturan Pelaksanaan Cyber Notary Terkait Dengan Pandemi Covid-19.” Notarius : Jurnal Studi Kenotariatan 15, no. 1 (2022): 18–33. https://doi.org/10.14710/nts.v15i1.46022.

Widiasih, Ni Kadek Ayu Ena. “Kewenangan Notaris Dalam Mensertifikasi Transaksi Yang Dilakukan Secara Elektronik (Cyber Notary).” Acta Comitas 5, no. 1 (2020): 150–60. https://doi.org/10.24843/AC.2020.v05.i01.p13.

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5491)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756)

151