Perlindungan Karya Cipta Video Dalam Rangka Proses Pembelajaran Online: Perspektif Hak Ekslusif Pencipta
on
Perlindungan Karya Cipta Video Dalam Rangka Proses Pembelajaran Online: Perspektif Hak Ekslusif Pencipta
Rafika Amalia1, Putu Aras Samsithawrati2
-
1Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]
-
2 Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]
Info Artikel
Masuk: 29 Juni 2022
Diterima: 13 September 2022
Terbit: 28 September 2022
Keywords:
Legal protection; Copyright
Work of Video; Online Learning; Exclusive Right
Kata kunci:
Perlindungan Hukum; Karya Cipta Video, Pembelajaran Online, Hak Eksklusif
Corresponding Author:
Rafika Amalia, E-mail: [email protected]
DOI:
10.24843/JMHU.2022.v11.i03. p05.
Abstract
The purpose of this study is to analyze the regulation on the ownership of the exclusive right of a video, as copyright work, created by scholars in the online learning process and its protection system. This study uses a normative legal research method with the statute as well as analytical and conceptual approaches. The results indicate that normatively the video created by scholars in online learning is not included under the scope of Articles 35 and 36 Law 28,2014 (Copyright Law). However, if the video created by the scholar is the result of an assignment in online learning under the leadership and supervision that involves a process of guidance, direction, or correction from the person who designed and assigned it (lecturer), it can be interpreted that the video meets the criteria of Article Copyright Law, where the Author is the person who designed the work, in this case, the lecturer. Meanwhile if the video (created from the assignment in the online learning process) aims to increase the creativity and thought of the scholars and where the originality and ideas are entirely the results of the intellectual creativity of the scholars, it can be interpreted as fall under Article 1(2) Copyright Law. Thus, the scholars can be considered the Author who has exclusive rights to the video. The copyright protection system adheres to an automatic protection system, where recording is not an obligation but it is important to implement it.
Abstrak
Tujuan dari penelitian ini untuk menganalisis pengaturan kepemilikan hak eksklusif atas karya cipta video yang dihasilkan para penstudi dalam proses pembelajaran daring dan sistem perlindungannya. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan Perundang-Undangan dan Analisis Konsep Hukum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara normatif, karya cipta video yang dihasilkan para penstudi dalam proses pembelajaran daring tidak termasuk dalam lingkup Pasal 35 dan 36 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 (UUHC). Namun, jika video yang dibuat penstudi tersebut dihasilkan dari suatu penugasan pembelajaran daring di bawah pimpinan dan pengawasan yang melibatkan proses bimbingan, pengarahan, ataupun koreksi dari orang yang merancang sekaligus menugaskan (dosen) maka dapat ditafsirkan karya cipta video itu memenuhi kriteria Pasal 34 UUHC dimana Pencipta
adalah orang yang merancang Ciptaan, dalam hal ini dosen. Sedangkan jika video yang dihasilkan dari penugasan dalam proses pembelajaran daring untuk meningkatkan kreatifitas dan olah pikir para penstudi dimana originalitas dan idenya adalah seutuhnya hasil kreatifitas intelektual penstudi maka dapat ditafsirkan memenuhi unsur Pasal 1(2) UUHC. Dengan demikian Penstudi dapat dianggap sebagai Pencipta yang memiliki hak eksklusif atas video tersebut. Sistem perlindungan hak cipta menganut automatically protection system, dimana pencatatan bukanlah kewajiban namun penting untuk dilakukan.
Pada akhir tahun 2019, seluruh dunia dikejutkan dengan virus baru yaitu SARS-CoV-2 yang dikenal sebagai Covid-19 dan kasus pertama di Indonesia terjadi pada Maret 2020.1 Presiden Indonesia, Joko Widodo menetapkan wabah Covid-19 sebagai keadaan darurat masyarakat dengan menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 11 tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan Keputusan presiden Nomor 12 Tahu 2020 tentang Penetapan Bencana Non-alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sebagai bencana non-alam.2 Penyebaran wabah Covid-19 berawal dari masalah kesehatan yang berdampak pada segala aspek lainnya, satu diantaranya adalah aspek pendidikan. Pada Maret 2020, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan surat edaran Kebijakan Pelaksanaan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran Covid-19 yang memberikan instruksi untuk proses pembelajaran dilakukan dari rumah dengan metode pembelajaran jarak jauh atau daring (online) dan memanfaatkan akses internet sebagai medianya. Tidak bisa dipungkiri bahwa Indonesia, yang merupakan salah satu negara yang memiliki penduduk terpadat, telah memanfaatkan perkembangan teknologi informasi dalam berbagai kegiatan yang berbasis transaksi elektronik, seperti di bidang perdagangan (e-commerce), pemerintahan (e-government), keuangan (e-payment), pendidikan (e-learning), dan sektor lainnya.3 Proses pembelajaran secara daring dapat memanfaatkan Pendidikan era industri 4.0 dengan mengimplementasikan Internet of Things (IoT). Para akademisi diharapkan untuk memiliki kemampuan berpikir kreatif dan inovatif untuk menyusun metode pembelajaran yang dapat diterapkan dalam proses pembelajaran yang memanfaatkan teknologi sehingga dapat membuat penstudi berpikir kreatif dan inovatif, serta dapat memahami materi yang disampaikan oleh guru atau dosen mereka. Metode pembelajaran secara daring ini tentunya memiliki kelebihan yaitu bisa menghemat biaya transportasi dan waktu, dapat melatih penstudi
dan akademisi untuk menggunakan teknologi, namun terdapat juga kekurangannya yaitu penyampaian dan penerimaan materi kurang maksimal, serta keterbatasan dalam perangkat dan jaringan.
Sejak metode pembelajaran jarak jauh ini diberlakukan, tugas-tugas yang diberikan kepada penstudi kini bukan hanya berupa tulisan, tetapi sering kali juga dalam bentuk video. Dilihat dari perspektif Hak Kekayaan Intelektual, video merupakan karya sinematografi yang diatur dalam Pasal 40 Ayat (1) huruf m Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta (UUHC). Karya sinematografi pada dasarnya adalah karya cipta yang dibuat dalam bentuk gambar bergerak, seperti contohnya yaitu dokumenter, film iklan, reportase, film layar lebar, atau film kartun. Contoh-contoh media tempat memproduksi karya sinematografi yaitu pita seluloid, videotape, video disc, compact disc, dan/atau media lain yang diizinkan untuk ditampilkan di bioskop, layar lebar, televisi atau media lainnya. Merujuk pada penjelasan tersebut, maka diketahui bahwa karya cipta sinematografi, seperti misalnya video, mendapat perlindungan di bawah rezim hak cipta.4
Fenomena pembelajaran secara daring mengajak semua kalangan untuk inovatif termasuk dosen dan mahasiswa, salah satunya dengan penugasan pembuatan video tersebut. UUHC sesungguhnya sudah memiliki ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai kepemilikan hak cipta yang dibuat atas dasar hubungan dinas, hubungan kerja dan pesanan. Contohnya adalah Pasal 35 UUHC yang mengatur mengenai kepemilikan karya cipta dalam hubungan dinas, dimana dosen PNS yang membuat video dalam hubungan dinas, maka yang dianggap sebagai Penciptanya adalah Universitas sebagai instansi pemerintah, kecuali diperjanjikan lain. Berikutnya Pasal 36 UUHC yang mengatur mengenai kepemilikan karya cipta dalam hubungan kerja atau pesanan, dimana dalam hal seorang pegawai swasta membuat video dalam hubungan kerjanya, maka Pencipta dan Pemegang Hak Cipta atas Ciptaan tersebut adalah pegawai swasta tersebut sebagai pihak yang membuat Ciptaan, kecuali diperjanjikan lain.
Berdasarkan uraian di atas, permasalahan muncul ketika video tersebut dibuat oleh penstudi dalam rangka proses pembelajaran daring. Bagaimana pengaturan kepemilikan hak eksklusif atas karya cipta video yang dihasilkan oleh penstudi dalam rangka proses pembelajaran daring dan bagaimana sistem perlindungannya. Dengan demikian penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kepemilikan hak eksklusif atas karya cipta video yang dihasilkan oleh penstudi dalam rangka proses pembelajaran daring dan sistem perlindungannya.
Tulisan ini berbeda dengan studi-studi yang telah dilakukan sebelumnya, misalnya studi mengenai “Problematik Hak Cipta Atas Ciptaan Berdasarkan Pesanan Atau Hubungan Kerja (Studi Pada Produk Batik Kota Semarang)” 5 serta “Keabsahan
Kepemilikan Hak Cipta Koreografi Di Lingkungan Dosen Institut Seni Indonesia Yogyakarta” 6 . Sehingga jika dibandingkan dengan,penelitian-penelitian terdahulu terdapat perbedaan baik pada objek maupun metode penelitian dengan penelitian ini dan oleh karenanya dapat dikatakan bahwa penelitian ini bersifat original.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penelitian hukum normatif, dimana pendekatan yang dipergunakan yaitu pendekatan Perundang-Undangan (Statue Approach) dan pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitical & Conseptual Approach). Penelitian hukum normatif merupakan penelitian dengan mengkaji dokumen dengan mengumpulkan data dengan metode studi pustaka dan mengumpulkan bahan jurnal dengan metode deskripsi dengan melihat permasalahan yang tengah terjadi di masyarakat. Teknik analisis yang bersifat deskriptif dipergunakan dalam penelitian ini untuk menganalisis jawaban atas permasalahan penelitian.7 Bahan hukum berasal dari bahan hukum primer yakni Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta. Data-data yang dijadikan sebagai bahan penelitian ini dikumpulkan melalui studi kepustakaan yakni mengumpulkan berbagai informasi-informasi dan bahan hukum yang termasuk kedalam bahan hukum primer, sekunder maupun bahan hukum tersier dan kemudian dikelompokkan, dicatat, dikutip, diringkas dan diulas sesuai dengan kebutuhan.8
-
3. Hasil Dan Pembahasan
-
3.1 Pengaturan Kepemilikan Hak Eksklusif Atas Karya Cipta Video Yang Dihasilkan Para Penstudi Dalam Proses Pembelajaran Daring
-
Karya cipta yang bersumber dari daya cipta, rasionalitas, pemikiran dan kemampuan intelektual manusia tidak lepas dari banyaknya waktu, tenaga dan usaha dari individu yang menciptakan karya tersebut. Oleh karena itu, sudah selayaknya pencipta memperoleh perlindungan hukum berupa hak eksklusif dan diakui oleh negara. Selain diatur oleh Berne Convention, hak cipta juga diatur secara internasional melalui perjanjian Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) pada Section 1 Copyright and Related Rights, yaitu mulai Article 9 sampai dengan Article 14. Dalam Article 9 mewajibkan negara-negara anggota, termasuk Indonesia untuk menyelaraskan standar perlindungan kekayaan intelektual, termasuk hak cipta, sesuai
dengan standar perjanjian TRIPs. Penghormatan, pengakuan, dan pemberian perlindungan hukum atas karya kreatif berbasis intelektualitas, sebagai cerminan kepribadian individu yang dinamis, sudah menjadi kewajiban negara.
Robert C. Sherwood sebagaimana dikutip oleh Muhammad Fahmi Rois, Kholis Roisah mengemukakan bahwa “pelaku industri kreatif mendapatkan perlindungan melalui reward theory, recovery theory, incentive theory, risk theory, dan economic growth stimulus theory.” Reward theory pada dasarnya menentukan bahwa terhadap pencipta yang telah berhasil menciptakan karya intelektual, maka pencipta tersebut berhak atas imbalan sebagai bentuk pengakuan dan penghargaan atas kreatifitas intelektualnya tersebut. Lebih lanjut, berdasarkan Recovery theory maka Pencipta maupun pelaku ekonomi kreatif mendapatkan pengembalian atas apa yang telah dikeluarkanya. Sedangkan berdasarkan Incentive theory, guna meningkatkan karya-karya intelektual dari para pelaku ekenomi maka diperlukan adanya insentif sebagai pemacunya. Berikutnya, Risk theory menyebutkan bahwa resiko atas suatu karya cipta untuk ditiru oleh orang lain pasti ada dan karenanya perlindungan hukum diperlukan atas ciptaan. Kemudian berdasarkan Ecomonic growth stimulus theory diketahui bahwa kemampuan dari suatu industri kreatif, dalam hal ini berlandaskan HKI, yang mampu menciptakan lapangan usaha dan meningkatkan sektor riil pada perekonomian dapat menjadi tolak ukur pertumbuhan ekonomi.9
Dalam tingkat internasional, seperti misalnya dalam TRIPs, pengaturan mengenai Hak cipta atau copyright dapat ditemukan pada Section 1 Copyright and Related Rights (Article 9-Article 14). Berdasarkan Article 9 Perjanjian TRIPs diketahui bahwa terkait Hak Cipta pada dasarnya mengacu pada Berne Convention dan negara-negara diwajibkan untuk mematuhi Berne Convention tersebut. Sehingga secara garis besar, pengaturan hak cipta secara internasional dapat ditemukan tidak hanya dalam Berne Convention, dan perjanjian TRIPs, namun juga pada Universal Copyright Convention (UCC). Sedangkan secara nasional pengaturan hak cipta dapat dijumpai dalam UUHC serta peraturan terkait lainnya misalnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2020 tentang Pencatatan Ciptaan dan Produk Hak Terkait (PP 16/2020).
Pasal 1 angka 3 UUHC menentukan bahwa “ciptaan adalah hasil karya cipta di lapangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang di hasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecerdasan, keterampilan, atau keahlian yang di ekspresikan dalam bentuk nyata.” Berdasarkan ketentuan tersebut diketahui bahwa agar suatu ciptaan dapat dikatakan memiliki keaslian, maka karya cipta tersebut harus memenuhi kriteria bahwa ciptaan tersebut harus memang benar hasil pemikiran yang lahir dari pencipta.10
Karya cipta sinematografi merupakan salah satu ciptaan yang mendapatkan perlindungan di bawah payung hukum UUHC, khususnya Pasal 40 Ayat (1) huruf m, yang menentukan sebagai berikut:
“karya sinematografi merupakan ciptaan berupa gambar bergerak (moving image) antara lain film dokumenter, film iklan, reportase atau film cerita yang dibuat dengan skenario dan film kartun. Karya sinematografi dapat dibuat dalam pita seluloid, pita video, piringan video, cakram optik atau media lain yang memungkinkan untuk dipertunjukkan di bioskop layar lebar, televisi atau media lainnya. Sinematografi merupakan salah satu contoh bentuk audiovisual”.
Karya Sinematografi dapat dikatakan sebagai Hak Cipta Subjek Pertama, artinya seseorang yang berdasarkan kemampuan pikirannya, imajinasi, kecekatan, keterampilan, serta keahlian mereka kemudian dituangkan dalam bentuk yang khas dan hal itu bersifat sangat pribadi. Subjek perlindungan hak cipta, jika dikaitkan dengan karya sinematografi yang menjadi bahasan dalam penelitian ini, dalam pengaturan UUHC terdiri dari:11
-
a. Pencipta Film, yang dalam hal ini pada dasarnya adalah Pencipta yang secara umum didefinisikan dalam Pasal 1 angka 2 UUHC;
-
b. Pemegang Hak Cipta Film, yang dalam hal ini pada dasarnya adalah Pemegang Hak Cipta yang secara umum didefinisikan dalam Pasal 1 angka 4 UUHC.
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, karya cipta sinematografi adalah salah satu ciptaan yang mendapat perlindungan di bawah rezim hak cipta. Oleh karenanya, terdapat hak eksklusif yang terdiri atas hak moral dan hak ekonomi melekat kepadanya. Pasal 5 Ayat (1) UUHC menentukan bahwa “hak moral merupakan hak yang melekat secara abadi pada diri Pencipta untuk:
-
a. tetap mencantumkan atau tidak mencantumkan namanya pada salinan sehubungan dengan pemakaian ciptaannya untuk umum;
-
b. menggunakan nama aliasnya atau samarannya;
-
c. mengubah ciptaannya sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat;
-
d. mengubah judul dan anak judul ciptaan; dan
-
e. mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi ciptaan, mutilasi ciptaan, modifikasi ciptaan, atau hal yang bersifat merugikan kehormatan diri atau reputasinya.”
Lebih lanjut pengaturan mengenai hak ekonomi dapat ditemukan dalam Pasal 9 Ayat (1) UUHC yang menentukan bahwa “pencipta atau pemegang hak cipta memiliki hak ekonomi untuk melakukan:
-
a. penerbitan ciptaan;
-
b. penggandaan ciptaan dalam segala bentuknya;
-
c. penerjemahan ciptaan;
-
d. pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian ciptaan;
-
e. pendistribusian ciptaan atau salinannya;
-
f. pertunjukan ciptaan;
-
g. pengumuman ciptaan;
-
h. komunikasi ciptaan; dan
-
i. penyewaan ciptaan.”
Sebagaimana yang telah dijabarkan sebelumnya, UUHC sesungguhnya telah memiliki beberapa pasal yang khusus mengatur mengenai kepemilikan karya cipta yang dibuat berdasar hubungan dinas, hubungan kerja maupun pesanan. Ketentuan tersebut dapat ditemukan dalam Pasal 35 dan 36 UUHC yang menentukan sebagai berikut:
“Pasal 35 (1): Kecuali diperjanjikan lain Pemegang Hak Cipta atas Ciptaan yang dibuat oleh Pencipta dalam hubungan dinar, yang dianggap sebagai Pencipta yaitu instansi pemerintah; (2) Dalam hal Ciptaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan secara komersial, Pencipta dan/atau Pemegang Hak Terkait mendapatkan imbalan dalam bentuk Royalti; (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian Royalti untuk penggunaan secara komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 36: Kecuali diperjanjikan lain, Pencipta dan Pemegang Hak Cipta atas Ciptaan yang dibuat dalam hubungan kerja atau berdasarkan pesanan yaitu pihak yang membuat Ciptaan.”
Merujuk kepada ketentuan di atas, maka dapat ditafsirkan bahwa secara normatif karya cipta video yang dihasilkan para penstudi dalam proses pembelajaran daring tidak termasuk dalam lingkup Pasal 35 dan 36 UUHC. Ditafsirkan tidak memenuhi elemen dalam Pasal 35 UUHC karena video tersebut bukanlah suatu karya cipta yang dihasilkan dari hubungan dinas. Dimana hubungan dinas itu sendiri menurut penjelasan Pasal 35 ayat (1) UUHC adalah hubungan kepegawaian antara aparatur negara dengan instansinya. Hasil karya cipta dari hubungan dinas ini misalnya suatu video pembelajaran yang dihasilkan oleh seorang dosen sebagai aparatur negara dalam hubungan kedinasannya dengan instansinya bekerja, yakni universitasnya. Sedangkan topik yang diangkat dalam penelitian ini yaitu video tersebut adalah hasil dari penstudi dalam penugasan pembelajaran daring-nya. Lebih lanjut, karya cipta video yang dihasilkan para penstudi dalam proses pembelajaran daring juga tidak termasuk dalam elemen Pasal 36 UUHC sebab video tersebut bukanlah karya cipta yang dihasilkan karena suatu hubungan kerja ataupun pesanan. Hubungan kerja atau berdasarkan pesanan yang dimaksud disini, sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Pasal 36 UUHC, adalah Ciptaan yang dibuat atas dasar hubungan kerja di Lembaga swasta atau atas dasar pesanan pihak lain. Dengan demikian, suatu karya cipta video yang dihasilkan para penstudi dalam proses pembelajaran daring yang dihasilkan karena proses penugasan pembelajaran daring dan bukan karena hubungan kerja di Lembaga swasta maupun atas dasar pesanan pihak lain, dapat dikatakan sebagai tidak memenuhi unsur Pasal 36 UUHC.
Terkait karya cipta video yang dihasilkan para penstudi dalam proses pembelajaran daring, sesungguhnya terdapat beberapa skema dan hal penting untuk dipertimbangkan sebelum menentukan di bawah perlindungan pasal berapakah dalam UUHC, karya cipta video yang menjadi topik yang diangkat dalam penelitian ini akan mendapat perlindungan.
Dalam skema pertama, jika karya cipta video yang dihasilkan para penstudi dalam proses pembelajaran daring itu ditafsirkan melibatkan adanya pengarahan yang mendalam dari dosen dalam pembelajaran daring itu sendiri, dengan kata lain dosen tersebutlah yang memiliki andil besar dalam merancang karya cipta itu dan mencurahkan kreatifitas intelektualnya misalnya dengan mendesain layout, ide, konsep, storyboard, pengambilan gambar dan lainnya, dosen pula yang melakukan
pimpinan dan pengawasan dengan memberikan bimbingan, pengarahan atau koreksi kepada penstudi sebagai pihak yang mewujudkan rancangan tersebut, maka sesungguhnya secara normatif, tampaknya karya cipta video ini dapat dikategorisasikan dalam lingkup perlindungan Pasal 34 UUHC. Dimana Pasal 34 UUHC menentukan bahwa:
“Dalam hal Ciptaan dirancang oleh seseorang dan diwujudkan serta dikerjakan oleh Orang lain di bawah pimpinan dan pengawasan Orang yang merancang, yang dianggap Pencipta yaitu Orang yang merancang Ciptaan.”
Oleh karena itu ketentuan Pasal 34 UUHC tersebut harus diartikan secara Bersama dengan penjelasan Pasal 34 UUHC itu sendiri, dimana agar suatu karya cipta video yang dihasilkan para penstudi dalam proses pembelajaran daring dapat dikatakan memenuhi unsur Pasal 34 dan mendapatkan perlindungan atasnya, maka ada beberapa hal penting yang perlu digarisbawahi. Karya cipta video yang dihasilkan penstudi misalnya dari suatu penugasan pembelajaran daring yang diikutinya tersebut haruslah memenuhi unsur “di bawah pimpinan dan pengawasan orang yang merancang”. Sebagaimana yang diuraikan dalam penjelasan Pasal 34 UUHC, unsur “di bawah pimpinan dan pengawasan orang yang merancang” haruslah melibatkan proses bimbingan, pengarahan, ataupun koreksi dari orang yang memiliki rancangan tersebut. Sehingga dalam hal ini jika dikaitkan secara harafiah dengan bunyi ketentuan Pasal 34 UUHC maka posisi penstudi yang mewujudkan karya cipta video dari proses pembelajaran daring dalam skema pertama ini adalah posisinya sebagai “orang lain” yang membantu mengerjakan dan mewujudkan video yang merupakan rancangan dari orang yang merancang. “Orang yang merancang” ini diasumsikan adalah dosen yang memberikan penugasan dalam pembelajaran daring (selaku dosen yang merancang video tersebut dengan kreatifitas intelektualnya), yang kemudian memberikan pimpinan dan pengawasan dalam bentuk bimbingan, pengarahan, ataupun koreksi kepada penstudi dalam mewujudkan karya cipta video tersebut. Oleh karena itu, agar masuk dalam lingkup Pasal 34 UUHC maka unsur “di bawah pimpinan dan pengawasan” dengan melakukan bimbingan, pengarahan, ataupun koreksi dari orang yang merancang haruslah ada. Dengan terpenuhinya unsur Pasal 34 UUHC sebagaimana dijelaskan di atas, maka dalam skema pertama ini, dapat ditafsirkan bahwa Pencipta dari karya cipta video yang dihasilkan para penstudi dalam proses pembelajaran daring adalah orang yang merancang Ciptaan, dalam hal ini dosen dan bukanlah penstudi.
Setelah mengetahui dalam skema pertama ini siapa Pencipta dari karya cipta video yang dihasilkan para penstudi dalam proses pembelajaran daring yang ditafsirkan dilakukan dengan melibatkan proses bimbingan, pengarahan, ataupun koreksi dari orang yang memiliki rancangan tersebut, dalam hal ini dosen, maka dosen selaku Penciptanyalah yang memiliki hak eksklusif atas karya cipta video tersebut. Oleh sebab itu, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, maka Pencipta tersebut, dalam hal ini dosen selaku pihak yang merancang video tersebutlah, yang memiliki hak eksklusif yang berupa hak moral dan hak ekonomi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 9 ayat (1) UUHC. Agar lebih jelas, skema pertama dari karya cipta video yang dihasilkan penstudi dalam proses pembelajaran daring dapat dilihat dalam Gambar 1 di bawah ini.
Dosen
-
□ "Ch-Ungvai^Mnaskangl" Ciptaan
-
□ Filuik V.ιxιg Uimuliki kre,ιtιtit.ι⅛ InhaIekhuil, Canlntiiiva Oienitesatn Γ∣rwM ide, konsep, Jfcvwkwit pengambilan ganibar dan Iainnva
-
□ NteLikukaiipiiiipiniUi dan pmg>ιwa⅛axι memberi Hnibingaii, pengarahan, ataupun koreksi kepada penstudl
Kaiya Clpta Videoyang Dihasilkan Fenstudi dalam Proses Fembefajaran Daring
Penstudi
-
□ "Onuig y⅞ng π>cwιιjiMlkan dan mengerjakan" karya cipta di Hwah di Kwah pimpinan dan pengawasan Orang yang Uin1UiLaiig
Skema 1
Pasal 34 UUHC
J Uiipat Ititalsirkan Penripla dan karya Cipla video vang dihasilkan perι⅛tudi dalam proses pembelajaran danng dalam stema I ini adalah Dwn wlaku Orang yang DioraiiLang Ciptaaa.
J Ilak FksIusif (Hak Moral dan Hak Ekonomi! berada pada Dwn selaku Feriripia
-
□ Lnsur
* dosen selaku orang yang Iiieiaiuarig video IiieLikiik1Ui pimpinan dan pengawasan (bimbingan, pengarahan, atau koreksi) kepada jieustuill
-
■ Pmshidi sebagai orang vang mewujudkan dan mengerjakan video di bawah pimpinan dan pengawasan dosen
Sumber diolah oleh penulis
Gambar 1. Skema Pertama Kepemilikan Hak Ekslusif Atas Karya Cipta Video Yang Dihasilkan Para Penstudi Dalam Proses Pembelajaran Daring
Sedangkan dalam skema kedua, jika video yang dihasilkan penstudi dari penugasan dalam proses pembelajaran daring adalah bertujuan untuk meningkatkan kreatifitas dan olah pikir para penstudi dimana originalitas dan idenya adalah seutuhnya hasil kreatifitas intelektual penstudi maka dapat ditafsirkan bahwa karya cipta itu memenuhi unsur Pasal 1 ayat (2) UUHC. Pasal 1 ayat (2) UUHC sendiri berbunyi:
“Pencipta adalah seorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama
menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat khas dan pribadi.”
Dengan demikian dalam skema kedua ini Penstudi dapat dianggap sebagai Pencipta yang memiliki hak eksklusif atas video tersebut. Agar mendapat gambaran yang lebih jelas, skema kedua ditampilkan dalam Gambar 2 di bawah ini.
Dosen
□ H»uua IiKinbesikan penugasan Iivesnbuat Videv dalam petiIbeLijaran daring untuk. UMnnaiwnigyrnKningkatkaii Kivatiiitas dan olah pikir para Jvnshtdi
KaryA CipU Video yang Dlhasilkan Fensludi dalam Γroses Fembelajaran Daring
Skema 2
Pasal 1 ayat (2) UUHC
-
□ Dapai diiafsukaii FrniipLi dan kurva cipta video VAngdihasilkAn penstudi dalam proses pembelajaran dannp dalam skema J ini adaLιh Penstudi
-
□ Hak Fkfilusif (Hak Moral dan Hak Ekonunii ] Imt.uLi pada Prmriudi selaku Pendpta
-
□ Unsur
-
■ Ciptaan Im∙γsdal LJlis dan pribadi
Penstudi
-J Orang yang memiliki Icreatiiitas Uitrlrktiuil seutuhnya dalam pembuatan video (ide. mendesain video, Λτwπιrζ ιiwι∕ fouuf dll i
-
□ Orang yang juga mewujudkan dan mengerjakan video
Sumber diolah oleh penulis
Gambar 2. Skema Kedua Kepemilikan Hak Ekslusif Atas Karya Cipta Video Yang Dihasilkan Para Penstudi Dalam Proses Pembelajaran Daring
Sebagaimana diketahui, proses pembelajaran itu sesungguhnya bertujuan untuk mendorong lahirnya penstudi yang kreatif. Dalam skema kedua ini penugasan pembuatan video dari dosen bertujuan untuk memancing kreatifitas dan olah pikir dari penstudi, sehingga titik berat perancangan dan pewujudan karya cipta itu berada pada penstudi dan bukan pada dosen sebagaimana dicontohkan dalam skema pertama. Dengan demikian, pada skema kedua ini, kreatifitas intelektual dan olah pikir penstudilah yang tercurahkan untuk mewujudkan idenya atau mengekspresikannya dalam bentuk nyata menjadi sebuah karya cipta video hasil pembelajaran daring. Oleh karenanya, pengorban penstudi baik dalam bentuk pikiran, tenaga, materi, dan bahkan juga waktu, yang tercurahkan secara penuh untuk menghasilkan suatu karya cipta dari kreatifitas intelektualnya pada akhirnya menjadi memiliki originalitas. Oleh karena itu, dalam skema kedua ini, karya cipta video yang dihasilkan penstudi dalam penugasan pembelajaran daring tersebut dapat dikatakan memiliki sifat yang khas dan pribadi, sehingga dapat ditafsirkan memenuhi ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUHC, dimana Penciptanya dalam hal ini adalah penstudi.
-
3.2 Sistem Perlindungan Karya Cipta Video Yang Dihasilkan Para Penstudi Dalam Proses Pembelajaran Daring
Dalam sistem perlindungan hak cipt, proses pencatatan tidaklah diwajibkan. Oleh karena itu diketahui bahwa, pencipta tidak perlu melakukan registrasi dan pencatatan terlebih dahulu atas suatu ciptaan dimana begitu suatu ciptaan telah diwujudkan dalam bentuk karya cipta nyata, maka karya cipta tersesebut akan otomatis mendapatkan perlindungan hukum. Mekanisme demikian dimungkinkan sebab
sistem perlindungan hukum yang dianut dalam rezim hak cipta di Indonesia adalah system perlindungan otomatis (automatically protection system).12
Pengaturan mengenai pencatatan dapat ditemukan dalam BAB X UUHC mengenai Pencatatan Ciptaan dan Produk Hak Terkait. Secara spesifik, Pasal 64 ayat (2) UUHC telah menentukan bahwa Pencatatan Ciptaan dan produk Hak Terkait bukan merupakan syarat untuk mendapatkan Hak Cipta dan Hak Terkait. Hal ini terkait dengan system perlindungan otomatis yang dianut regim hak cipta. Namun demikian, pencatatan juga diperlukan bagi pencipta karya cipta karena pencatatan mempunyai peran penting. Misalnya apabila terjadi sengketa mengenai suatu Ciptaan, dimana ada beberapa pihak yang sama-sama mengaku sebagai pemegang hak cipta atas Ciptaan tersebut maka pihak yang telah melakukan pencatatan atas Ciptaan tersebut dapat dengan melakukan pembuktian atas hak cipta tersebut.
Proses pencatatan ini diawali dengan mengajukan permohonan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia oleh Pencipta, Pemegang Hak Cipta, pemilik Hak Terkait, atau kuasanya kepada Menteri (Pasal 66 ayat (1) UUHC). Pengajuannya kemudian dapat dilakukan baik secara elektronik dan/atau non elektronik (Pasal 66 ayat (2) UUHC). Lebih lanjut Menteri akan melakukan pemeriksaan terhadap permohonan yang sudah memenuhi persyaratan tersebut dan jika diterima maka Menteri akan menerbitkan surat pencatatan Ciptaan untuk kemudian dicatatkan dalam daftar umum Ciptaan (Pasal 68 ayat (1) jo. Pasal 69 ayat (1) UUHC). Terkait pencatatan ini, ada beberapa hal yang menyebabkan kekuatan hukum pencatatan Ciptaan dan Produk Hak Terkait hapus, yaitu: “(a) permintaan orang atau badan hukum yang namanya tercatat sebagai Pencipta, Pemegang Hak Cipta, atau pemilik Hak Terkait; (b) lampaunya waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58, Pasal 59, Pasal 60 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 61; (c) putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap mengenai pembatalan pencatatan Ciptaan atau produk Hak Terkait; atau (d) melanggar norma agama, norma susila, ketertiban umum, pertahanan dan keamanan negara, atau peraturan perundang-undangan yang penghapusannya dilakukan oleh Menteri” (Pasal 74 ayat (1) UUHC). Pengaturan lebih lanjut mengenai pencatatan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2020 tentang Pencatatan Ciptaan dan Produk Hak Terkait (PP 16/2020).
Tujuan dari UUHC pada dasarnya adalah untuk menjamin kepastian hukum bagi pencipta, pemegang hak cipta dan pemilik hak terkait serta memberikan perlindungan terhadapnya. Sementara itu, pemegang hak cipta yang merupakan pencipta sebagai pemilik hak cipta, pihak yang sah sebagai penerima hak tersebut dari pencipta atau pihak lain yang sah menjadi penerima lebih lanjut atas hak dari pihak sebagai penerima hak tersebut.13
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam subbab sebelumnya, secara normatif, karya cipta video yang dihasilkan para penstudi dalam proses pembelajaran daring tidak termasuk dalam lingkup Pasal 35 dan 36 UUHC. Pasal 35 dan 36 UUHC memang sudah
Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal), Vol. 11 No. 3 September 2022, 537-551
ISSN: 1978-1520
memberikan secara tegas pengaturan mengenai siapa Pencipta dari masing-masing karya cipta yang dihasilkan baik itu dalam hubungan kedinasan, hubungan kerja maupun pesanan. Namun, terkait dua pasal tersebut, UUHC tetap memberikan ruang kepada para pihak untuk memperjanjikan lain melalui bunyi ketentuan “kecuali diperjanjikan lain”.
Seperti bentuk benda bergerak lainnya, Hak cipta dapat beralih maupun dialihkan baik secara sebagian maupun keseluruhan. Pengalihan dalam hak cipta dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
-
1. Transfer yaitu pelepasan hak kepada pihak lain yang disebabkan karena pewarisan, wasiat, jual beli, hibah, dan lainnya.
-
2. Assigment yaitu pengalihan Hak Cipta kepada pihak lain dengan memberikan izin atau persetujuan untuk dapat memanfaatkan Hak Cipta tersebut dalam suatu waktu. Contohnya yaitu perjanjian lisensi.14
Lebih lanjut, penting juga untuk mengetahui beberapa asas yang berkaitan dengan perjanjian, yaitu:15
-
- asas pacta sunt servanda yang dapat ditemukan dalam Pasal 1338 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer). Adapun bunyi dari pasal tersebut yaitu, “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”;
-
- asas konsensualitas yang dapat dijumpai dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPer. Pasal tersebut menentukan bahwa “untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat: sepakat bagi mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal”; serta
-
- asas itikad baik (good faith) yang dapat ditemukan dalam Pasal 1338 Ayat (3) KUHPer dimana “suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”.
Dalam kaitannya dengan pembuatan video hasil karya penstudi dengan arahan atau bimbingan dari akademisi, maka dapat dibuatkan perjanjian atau kontrak yang mengatur siapa yang berhak mendapatkan hak cipta dari video tersebut. Hal ini bertujuan agar memberikan keadilan dan bermanfaat untuk dikemudian hari jika video yang dihasilkan dapat memberikan edukasi bagi masyarakat banyak. Hak Cipta tersebut dapat memberika hak eksklsif yang terdiri dari Hak Ekonomi dan Hak Moral yang diatur dalam Pasal 4 UUHC. “Hak ekonomi merupakan hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan” (Pasal 8 UUHC). Sedangkan Hak Moral diatur dalam Pasal 5 UUHC yang memberikan definisi yaitu hak yang melekat pada sang Pencipta dan tidak dapat dialihkan, dihilangkan atau dihapus.16
Secara garis besar ketentuan hak cipta dalam UUHC memperpanjang jangka waktu perlindungan hak cipta menurut penerapan aturan nasional, sehingga jangka waktu perlindungan hak cipta dalam bidang-bidang tertentu adalah seumur hidup pencipta ditambah 70 (tujuh puluh tahun) setelah penulis meninggal dunia. Perlindungan tambahan terkait dengan hak ekonomi pencipta dan/atau pemilik hak terkait, termasuk pembatasan pengalihan hak ekonomi dalam bentuk jual putus (sold flat). Yang dimaksud dengan “jual putus” adalah suatu perjanjian yang mewajibkan pencipta untuk menyerahkan ciptaannya dengan pembayaran penuh dari pembeli sehingga hak ekonomis atas ciptaan tersebut beralih sepenuhnya kepada pembeli, tanpa batas waktu, atau dalam prakteknya dikenal dengan istilah sold flat. 17
Dalam Pasal 35 Ayat (2) UUHC mengatur bahwa jika ciptaan digunakan untuk komersial, maka Pencipta dan Pemegang Hak Terkait mendapat imbalan dalam bentuk royalti. Hal ini juga perlu diatur dalam perjanjian yang dibuat antara penstudi dengan pihak akademisi, agar mencapai suatu keseimbangan dan keadilan bagi kedua pihak. Langkah preventif yang dapat dilakukan adalah tindakan pencegahan untuk dikemudian hari agar mendapatkan keseimbangan, kemanfaatan, keadilan dan kepastian hukum bagi kedua pihak maka para pihak harus mengetahui hukum yang berlaku tentang Hak Cipta, membuat kesepakatan dalam bentuk perjanjian atau kontrak yang memenuhi syarat-syarat dan asas-asas yang diatur dalam KUHPer dan menerapkan perjanjian tersebut agar tidak melawan kontrak dan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dikemukakan bahwa secara normatif karya cipta video yang dihasilkan para penstudi dalam proses pembelajaran daring tidak termasuk dalam lingkup Pasal 35 dan 36 UUHC karena video tersebut bukanlah suatu karya cipta yang dihasilkan dari hubungan dinas, hubungan kerja Lembaga swasta maupun berdasarkan pesanan. Namun, berdasarkan skema pertama, jika video yang dibuat penstudi tersebut dihasilkan dari suatu penugasan pembelajaran daring di bawah pimpinan dan pengawasan yang melibatkan proses bimbingan, pengarahan, ataupun koreksi dari orang yang merancang sekaligus menugaskan (dosen) maka dapat ditafsirkan karya cipta video itu memenuhi kriteria Pasal 34 UUHC dimana Pencipta adalah orang yang merancang Ciptaan, dalam hal ini dosen. Sehingga pada skema pertama, kepemilikan hak ekslusif dalam bentuk hak moral dan hak ekonomi ada pada dosen sebagai Penciptanya. Sedangkan dalam skema kedua, jika video yang dihasilkan dari penugasan dalam proses pembelajaran daring dilakukan untuk meningkatkan kreatifitas dan olah pikir para penstudi dimana originalitas serta kreatifitasnya adalah seutuhnya hasil kreatifitas intelektual penstudi sehingga melahirkan karya yang bersifat khas dan pribadi maka dapat ditafsirkan bahwa skema ini memenuhi unsur Pasal 1(2) UUHC. Dengan demikian dalam skema kedua ini Penstudi dapat dianggap sebagai Pencipta yang memiliki hak eksklusif atas video tersebut. Sistem perlindungan hak cipta menganut automatically protection system. Oleh karena itu pencatatan atas karya cipta video yang dihasilkan penstudi dalam
proses pembelajaran daring bukanlah kewajiban namun penting untuk dilakukan. Kemudian penting juga untuk melakukan langkah preventif sebagai tindakan pencegahan agar keseimbangan, kemanfaatan, keadilan dan kepastian hukum bagi kedua pihak dikemudian hari terwujud. Oleh karena itu para pihak harus mengetahui hukum yang berlaku tentang Hak Cipta.
Reference
Anak, Oleh:, Agung Mirah, and Satria Dewi. “Magister Hukum Udayana Perlindungan Hukum Hak Cipta Terhadap Cover Version Lagu Di Youtube.” Udayana Master Law Journal) Desember 6, no. 4 (2017): 508–20.
http://ojs.unud.ac.d/ndex.php/.
Dharmawan, N.K.S. Harmonisasi Hukum Kekayaan Intelektual Indonesia. Denpasar: Swasta Nulus, 2018.
Dharmawan, Ni Ketut Supasti, Desak Putu Dewi Kasih, and Deris Stiawan. “Personal Data Protection and Liability of Internet Service Provider: A Comparative Approach.” International Journal of Electrical and Computer Engineering 9, no. 4 (August 1, 2019): 3175–84. https://doi.org/10.11591/ijece.v9i4.pp3175-3184.
Dian Sawitri, Dewa Ayu, and Ni Ketut Supasti Dharmawan. “Perlindungan Transformasi Karya Cipta Lontar Dalam Bentuk Digitalisasi.” Acta Comitas 5, no. 2 (August 7, 2020): 298. https://doi.org/10.24843/ac.2020.v05.i02.p08.
Dian Sawitri, Dewa Ayu, and Ni Ketut Supasti Dharmawan. “Perlindungan Keberadaan Konten Karya Intelektual Dalam Transaksi E-Commerce Berbasis Perjanjian Lisensi.” Kertha Patrika 43, no. 1 (April 27, 2021): 50.
https://doi.org/10.24843/kp.2021.v43.i01.p04.
Firka Khalistia, Sarah, Siti Sarah Sahira, Theresia Gabriella Pohan, and Wisantoro Nusada Wibawanto. “Padjadjaran Law Review Perlindungan Hak Moral Pencipta Dalam Hak Cipta Terhadap Distorsi Karya Sinematografi Di Media Sosial,” n.d. https://lifestyle.bisnis.com/read/20200526/254/12448.
Indriyani, Dewi Analis. “Pelanggaran Hak Cipta Oleh Lembaga Pemerintah (Studi Kasus Penayangan Film “Sejauh Kumelangkah" Pada Program Belajar Dari Rumah Oleh Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan).” Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum 15, no. 1 (March 26, 2021): 691.
https://doi.org/10.30641/kebijakan.2021.v15.691-706.
Khotimah, Viviyani. “Keabsahan Kepemilikan Hak Cipta Koreografi Di Lingkungan Dosen Institut Seni Indonesia Yogyakarta.” Journal of Intellectual Property 1, no. 1 (2018): 30–37.
Mahartha, Ari. “Pengalihwujudan Karya Sinematografi Menjadi Video Parodi Dengan Tujuan Komersial Perspektif Perlindungan Hak Cipta.” Kertha Patrika 40, no. 01 (June 21, 2018): 13. https://doi.org/10.24843/kp.2018.v40.i01.p02.
Mahendra, Putu Rony Angga dan Kartika, I Made. “Jurnal Pendidikan
Kewarganegaraan Undiksha Vol. 8 No. 3 (September, 2020).” Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha 8, no. 3 (2020): 22–28.
Mas, Luh, Putri Pricillia, Program Kekhususan, and Hukum Bisnis. “Akibat Hukum Pengunggahan Karya Cipta Film Tanpa Izin Pencipta Di Media Sosial * Oleh: I Made Subawa ***,” n.d.
Ngurah, Gusti, Bayu Pradana, Ni Ketut, and Supasti Dharmawan. “Peranan Lembaga Manajemen Kolektif Atas Pembayaran Royalti Cover Lagu Di Youtube.” Jurnal Kertha Negara 9 (2021): 242–54.
Nyoman Dwi Indah Parwati, Desak, and I Made Sarjana. “Penerapan Force Majeure Dalam Pemenuhan Isi Kontrak Akibat Pandemi Covid-19 Di Indonesia,” n.d. https://doi.org/10.24843/JMHU.2022.v11.i01.p08.
Pasek Diantha, I Made. Metodologi Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifikasi Teori Hukum. 2nd ed. Jakarta: Prenada Media Group, 2017.
“Penetapan Status Faktual Pandemi COVID-19 Di Indonesia.” Accessed June 21, 2022. https://jdih.maritim.go.id/id/penetapan-status-faktual-pandemi-covid-19-di-indonesia.
Sulistianingsih, Dewi, Rini Fidiyani, Pujiono Pujiono, and Hesty Alya Utami. “Problematik Hak Cipta Atas Ciptaan Berdasarkan Pesanan Atau Hubungan Kerja (Studi Pada Produk Batik Kota Semarang).” Qistie 11, no. 2 (2019).
https://doi.org/10.31942/jqi.v11i2.2590.
Tutuan, Putu Bagus, and Aris Kaya. “Kajian Force Majeure Terkait Pemenuhan Prestasi Perjanjian Komersial Pasca Penetapan Covid-19 Sebagai Bencana Nasional.” Jurnal Kertha Semaya. Vol. 8, 2020.
https://covid19.go.id/p/berita/infografis-covid-19-17-mei-2020,.
Peraturan Perundang-Undangan:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2020 tentang Pencatatan Ciptaan dan Produk Hak Terkait
551
Discussion and feedback