Penegakan Hukum terhadap Eksploitasi Anak sebagai Pengemis Jalanan di Kawasan Kuta

I Made Adiguna Majuarsa1, A.A.A.N. Tini Rusmini Gorda 2

1Fakultas Hukum Universitas Pendidikan Nasional, E-mail: [email protected]

2Fakultas Hukum Universitas Pendidikan Nasional, E-mail: [email protected]

Info Artikel

Masuk: 25 Juli 2022

Diterima: 26 September 2022

Terbit: 28 September 2022

Keywords:

Law Enforcement, Legal Protection, Child Exploitation, and Beggars.


Kata kunci:

Penegakan Hukum, Perlindungan Hukum, Eksploitasi Anak, dan

Pengemis.

Corresponding Author:

I Made Adiguna Majuarsa, E-mail:

[email protected]

DOI:

10.24843/JMHU.2022.v11.i03. p16.


Abstract

dan anak-anak korban eksploitasi mendapatkan perlindungan saat dalam penanganan pengadilan sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban.

  • I.    Pendahuluan

Anak yang dilahirkan merupakan suatu anugerah yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa, harus dilindungi harkat dan martabatnya, dan harus dijamin terpenuhi hak-haknya. Hak-hak yang dimaksud adalah hak untuk berkembang dan tumbuh sesuai dengan kodratnya. 1 Selain itu, seorang anak juga perlu untuk dirawat, dijaga dan dibimbing sebaik mungkin karena suatu saat orang tua akan diminta bertanggung jawab atas sifat dan perilaku anaknya di dunia. Seorang anak tentu mewarisi keluarga, bangsa dan negara. Anak adalah sebuah aset sumber daya manusia yang nantinya akan mampu untuk membantu pengembangan bangsa dan negara.

Seorang anak sisi mental, fisik dan social belum memiliki kesanggupan untuk berdiri sendiri ketika melakukan kewajibannya.2 Anak sebagai generasi penerus bangsa harus dapat menikmati hak-haknya serta seluruh kebutuhan anak secara utuh dan layak.

Definisi anak berdasarkan Pasal 1 Angka 1 UU 35/2014 menyatakan bahwa: “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.” Perlindungan anak menurut Pasal 1 Angka 2 UU 35/2014 menyatakan bahwa: “Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Berdasakan definisi tersebut dapat dikatakan bahwa perlindungan anak sudah ada sejak anak tersebut masih dikandung oleh ibunya dan sejak anak dilahirkan hingga berusia 18 tahun seorang anak berhak untuk mendapatkan segala haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Tidak sedikit orang tua yang melibatkan anaknya untuk membantu mencari nafkah, hal tersebut dikarenakan kondisi ekonomi keluarga yang lemah sehingga menyebabkan hak-hak yang seharusnya diterima oleh seorang anak menjadi tidak terpenuhi. Banyak anak-anak yang mulai membantu orang tuanya mencari nafkah diusia yang sangat dini tentunya masyarakat sudah tidak asing dengan fenomena seperti itu. Mencari keuntungan ekonomi sebagai seorang pengemis bagi sekelompok orang tertentu dianggap sebagai kegiatan yang lebih mudah daripada pekerjaan-pekerjaan yang lainnya karena bagi sekelompok orang tersebut dengan cara sebagai mengemis dapat dengan mudah menghasilkan uang. Masyarakat menganggap seorang pengemis biasanya berpenampilan yang kotor, lusuh, rombeng dan tidak terawat, penampilan yang seperti itu dapat menimbulkan rasa iba dan kasihan bagi masyarakat yang melihatnya. Masalah kemiskinan kerap kali timbul disebabkan oleh

rendahnya taraf sumber daya manusia, baik dari segi karakter maupun keterampilan. Keterbatasan keuangan keluarga, para pengemis bersedia melaksanakan kegiatan apa saja untuk mendapatkan keuntungan, bahkan jika itu tindakan yang tidak pantas dan menyebabkan keresahan diantara masyarakat.3

Kenyataannya bahwa seorang anak pada proses pengembangan anak yang masih berjalan sangat terbatas dan tidak sedikit seorang anak mendapat perlakuan yang tidak adil. Misalnya anak yang dieksploitasi menjadi pengemis jalanan untuk mencari uang tanpa memperhatikan keselamatan seorang anak. Dengan demikian maka seharusnya orang tua yang dapat memenuhi kebutuhan anak-anaknya, bukan sebaliknya anak yang dieksploitasi untuk mengemis. 4 Keikutsertaan seorang anak dalam kegiatan ekonomi juga dikarenakan adanya desakan untuk membantu meringankan beban orangtua. Anak-anak seringkali tidak dapat menghindari keterlibatan dalam pekerjaan.

Bali adalah tujuan pariwisata dunia khususnya wilayah Kecamatan Kuta yang selalu dipadati dengan turis lokal maupun mancanegara, sehingga dapat dikatakan bahwa Kuta dapat menjadi barometer pertumbuhan dan perkembangan Bali. Kepadatan penduduk yang semakin lama semakin meningkat sehingga menimbulkan masalah sosial. Salah satu masalah yang paling kompleks untuk diatasi yaitu masalah gelandangan dan pengemis yang kehadirannya selalu meresahkan masyarakat.

Kuta saat ini banyak dikelilingi para pengemis yang tersebar sebagian besar adalah anak-anak dan ada yang membawa balita untuk mendapatkan rasa kasihan bagi yang melihatnya. Saat ini pengemis banyak bermunculan di wilayah Kabupaten Badung khususnya Kecamatan Kuta seperti yang dilansir dari laman Tribun-Bali.com (06/05/2021) bahwa pengemis masih banyak ditemukan di sejumlah ruas jalan di Wilayah Kuta.5

Hal serupa juga terjadi di wilayah Kabupaten Badung, Kecamatan Kuta, Simpang Imam Bonjol bahwa banyaknya pengemis anak-anak yang berkeliaran bahkan hingga anak kecil yang masih bayi pun ikut dibawa untuk mengemis dengan tujuan mendapat belas kasihan dari pengendara yang melihatnya. Menggunakan anak kecil dan/atau bayi untuk meminta-minta (mengemis) sebenarnya sangat mengetuk hati nurani setiap orang yang melihatnya dan orang-orang akan memberikan para pengemis tersebut uang karena rasa kasihan, dan pada kenyataannya hasil dari mengemis tersebut tidak untuk si anak kecil dan/atau untuk bayi itu.

Indonesia, khususnya Bali, fenomena eksploitasi ekonomi terhadap anak yang menjadi korban sangatlah banyak. Hidup sebagai korban eksploitasi bukanlah pilihan yang menyenangkan. Kondisi keluarga yang kurang baik dan kurangnya atau penelantaran

pendidikan merupakan faktor yang menyebabkan terjadinya eksploitasi anak. 6 Banyak kasus anak sebagai korban eksploitasi ekonomi, diantaranya merupakan kasus eksploitasi anak sebagai pengasong dan pengemis di wilayah Kabupaten Badung.

Upaya perlindungan terhadap anak sebenarnya masalah yang sudah lama dibahas baik di Indonesia maupun di dunia, mengingat masalah perlindungan anak merupakan masalah universal yang banyak dan sering terjadi. Seringnya pembicaraan mengenai masalah perlindungan anak ini menunjukan bahwa negara masih kekurangan adanya perlindungan hukum yang kuat untuk generasi penerus bangsa.7

Melalui penelusuran ditemukan beberapa tulisan yang memiliki kemiripan tema dengan riset ini seperti I Wayan Edy Darmayasa dengan judul Perlindunga Hukum terhadap Anak di bawah Umur sebagai Pengemis dengan tema perlindungan hukum terhadap anak dibawah umur berdasarkan hukum normatif8 dan Rahmadhany Septian Pratama dengan judul Eksploitasi Anak yang Dijadikan Pengemis oleh Orang Tuanya di Kota Surabaya dengan tema orang tua yang mengeksploitasi anaknya sebagai pengemis9. Meskipun riset ini memiliki tema yang sama dengan tulisan atau penelitian tersebut, namun berbeda sudut pandang dan bahkan metode penelitian yang berbeda, sehingga tidak ada unsur plagiarism di dalamnya.

Berdasarkan pemaparan latar belakang permasalahan di atas, bahwa bisa diangkat beberapa rumusan masalah pada penelitian ini, yakni : bagaimanakah penegakan hukum terhadap orang tua sebagai pelaku eksploitasi anak di wilayah Kuta? dan bagaimanakah bentuk perlindungan hukum terhadap anak yang dieksploitasi sebagai pengemis di wilayah Kuta? Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui dan memahami penegakan hukum terhadap orang tua sebagai pelaku eksploitasi anak dan untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap anak yang dieksploitasi sebagai pengemis di wilayah Kuta.

  • 2.    Metode Penelitian

Mengenai jenis penelitian yang digunakan oleh penulis pada penelitian ini menggunakan tipe penelitian hukum empiris. Penelitian Hukum Empiris ialah suatu penelitian yang dipergunakan untuk mengungkapkan kenapa norma-norma yang telah ada tidak bisa berlaku efektif dalam lingkungan masyarakat. Penelitian hukum empiris ini memberikan suatu kejelasan mengenai faktor yang menyebabkan suatu norma tidak bisa berlaku secara efektif.10 Penelitian ini juga menggunakan pendekatan kualitatif, teknik ini menguraikan suatu uraian secara sistematik dan menyeluruh

untuk memperoleh gambaran kebenaran yang terjadi di lapangan. Sumber bahan hukum yang digunakan penulis adalah data primer dan data sekunder. Sumber data primer diperoleh dari lapangan secara langsung dengan melakukan wawancara terpadu dengan daftar pertanyaan dengan pihak aparat yang berwenang di wilayah Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Badung dan Dinas Sosial Kabupaten Badung. Data sekunder adalah data-data yang diperoleh dari buku-buku sebagai data pelengkap sumber data primer.11

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1.    Penegakan Hukum terhadap Orang Tua sebagai Pelaku Eksploitasi Anak sebagai Pengemis

Pembahasan ini menggunakan Teori Penegakan Hukum, penegakan hukum diartikan sebagai penegak hukum oleh aparat penegak hukum dan orang-orang yang memiliki kepentingan sesuai dengan hukum yang berlaku. Soerjono Soekanto menjelaskan bahwa tujuan aparat penegak hukum adalah untuk membentuk dan memelihara perdamaian dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Penegakan hukum tidak hanya terbatas pada penegak hukumnya saja, tetapi juga menyakut pada aturan-aturan yang perlu ditegakkan.12 Sedangkan menurut Jimly Asshiddiqie penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.13

Satuan Polisi Pamong Praja (selanjutnya disebut Satpol PP) adalah salah satu penegak hukum yang mempunyai wewenang untuk menjalankan tugas dibidang ketertiban umum dan ketentraman masyarakat sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 3 pada Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 7 Tahun 2016 Tentang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat (selanjutnya disebut Perda Kabupaten Badung 7/2016). Tujuan dibentuknya Perda Kabupaten Badung 7/2016 untuk memupuk kesadaran masyarakat dalam hal menciptakan, menjaga serta memelihara Ketertiban Umum dan Ketenteraman Masyarakat.

Hasil wawancara dengan Bapak I Made Astika Jaya, S.H., dari Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Badung selaku Kepala Seksi Kewaspadaan Dini yang memberikan pernyataan bahwa Satpol PP melaksanakan tugas berdasarkan Perda Kabupaten Badung 7/2016 yang merupakan ladasan hukum yang kuat untuk menjaga ketertiban seperti mengamankan para pengemis di Kabupaten Badung khususnya pada wilayah Kuta. (Wawancara 12 Januari 2022).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan ada beberapa langkah-langkah yang digunakan oleh Satpol PP dan Dinas Sosial ketika penanganan gepeng yaitu:

Membuat SPT (Surat Perintah Tugas)

Operasi Penindakan gepeng

Gepeng tertangkap


Satpol PP Koordinasi bersama Dinas Sosial


Bapak I Made Astika Jaya, S.H., memberikan pernyataan bahwa Satpol PP ketika melaksanakan tugas untuk melakukan penindakan terhadap pengemis memiliki mekanisme seperti berkoordinasi bersama Dinas Sosial mengingat nantinya yang akan menampung, membina dan memulangkan seluruh pengemis hasil penindakan pengemis tersebut adalah tugas dari Dinas Sosial. Kasat (Kepala Satuan) Polisi Pamong Praja Kabupaten Badung mengeluarkan Surat Perintah Tugas /atau yang biasa disebut SPT untuk melakukan penindakan terhadap para pengemis. Setelah dikeluarkannya SPT aparat bisa melakukan tugasnya pada wilayah yang ditentukan, dalam hal ini khususnya wilayah Kuta. Aparat akan bergerak serentak disetiap persimpangan jalan wilayah Kuta yang biasanya rawan banyaknya pengemis, dan Dinas Sosial juga akan ikut bergabung ke lapangan untuk melakukan pemantauan penertiban pengemis. Aparat Satpol PP dan Dinas Sosial tidak memiliki kriteria batasan pangkat dan jabatan ketika bergabung turun ke lapangan (Wawancara 12 Januari 2022) pernyataan seperti hal tersebut juga diberikan oleh Bapak I Ketut Gede Widiana, S.Sos., dari Dinas Sosial selaku Kepala Seksi Rehabilitasi Tuna Sosial Kabupaten Badung pada Wawancara 9 Mei 2022.

Bapak I Made Astika Jaya, S.H., memberikan pernyataan bahwa pengemis yang berhasil ditindak akan dikumpulkan di Pos Induk Kuta yang berada di Kantor Camat Kuta dan akan dilakukan pendataan para pengemis. Jika pendataan sudah selesai maka para pengemis akan dibawa ke Kantor Satpol PP Kabupaten Badung. Setelah sampai di Kantor Satpol PP Kabupaten Badung akan dibuatkan Berita Acara untuk diserahkan ke Dinas Sosial Kabupaten Badung. Berita Acara yang dibuat tersebut akan dibawa ke Dinas Sosial Kabupaten Badung bersama dengan pengemis yang berhasil ditindak, selanjutnya Dinas Sosial Kabupaten Badung akan melakukan pendataan identitas dari setiap pengemis. (Wawancara 12 Januari 2022).

Bapak I Ketut Gede Widiana, S.Sos., memberikan pernyataan bahwa Dinas Sosial Kabupaten Badung juga akan melakukan pembinaan sesuai dengan Perda Kabupaten badung 7/2016 kepada seluruh pengemis dan tanpa adanya perlakuan khusus terkait usia. Setelah pembinaan maka akan dilakukan pemulangan, pemulangan pengemis akan dilakukan ke daerah asalnya masing-masing (Dinas Sosial masing-masing daerah) yang dilaksanakan oleh Dinas Sosial bersama dengan Satpol PP. Namun apabila terdapat pengemis yang berasal dari luar wilayah Provinsi Bali maka pengemis tersebut akan dibawa oleh Dinas Sosial Kabupaten Badung bersama Satpol PP Kabupaten Badung ke Dinas Sosial Provinsi Bali, dikarenakan yang memiliki tugas untuk membawa ke daerah asal (luar Provinsi Bali) adalah Dinas Sosial Provinsi. (Wawancara 9 Mei 2022).

Adapun beberapa kewenangan dari Satpol PP sesuai dengan Perda Kabupaten Badung 7/2016 dalam Pasal 6 yaitu:

  • a.    “melakukan tindakan penertiban nonyustisial terhadap Setiap Orang yang melakukan pelanggaran atas Peraturan Daerah dan/atau Peraturan Bupati;

  • b. menindak Setiap Orang yang mengganggu Ketertiban  Umum dan

Ketenteraman Masyarakat;

  • c.  fasilitasi dan pemberdayaan kapasitas penyelenggaraan  perlindungan

masyarakat;

  • d. melakukan tindakan penyelidikan terhadap Setiap Orang yang diduga

melakukan pelanggaran atas Peraturan Daerah dan/atau Peraturan Bupati; dan e. melakukan tindakan administratif terhadap Setiap Orang yang melakukan pelanggaran atas Peraturan Daerah dan/atau Peraturan Bupati”.

Bapak I Made Astika Jaya, S.H., menyatakan bahwa Satpol PP selalu melaksanakan tugasnya terkait dengan penertiban dan penanganan pengemis di wilayah Kuta, namun tetap saja para pengemis tersebut selalu datang kembali setelah dipulangkan ke daerah asalnya. Terjadinya hal tersebut dikarenakan para pengemis hanya dikenakan sanksi administratif berupa teguran lisan, dan hingga saat ini belum terlaksananya sanksi pidana bagi para pengemis tersebut. Selain itu juga dikarenakan jumlah pengemis yang selalu bertambah tiap tahunnya dan aparat Satpol PP juga mengalami kendala terkait dengan sumber daya manusia yang kurang. (Wawancara 12 Januari 2022).

Pasal demi pasal dalam Perda Kabupaten Badung 7/2016 tidak hanya fokus membahas mengenai aturan terkait pengemis, melainkan juga membahas mengenai eksploitasi anak sebagai pengemis serta sanksi yang didapatkan untuk setiap orang yang melakukan tindakan eksploitasi anak. Secara khusus membahas mengenai eksploitasi anak dapat dilihat pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disebut UU 35/2014). Meski telah ada undang-undang tersebut tetap saja tidak sedikit anak-anak yang menjadi korban eksploitasi oleh orangtuanya untuk mencari uang sebagai pengemis ataupun sebagai pedagang asongan.14 Aturan hukum dalam Perda Kabupaten Badung 7/2016 dan UU 35/2014 tentunya memiliki sanksi pidana yang tentunya bertujuan untuk memberi efek jera bagi para pelaku eksploitasi anak sebagai pengemis.

Perda Kabupaten Badung 7/2016 melarang terkait adanya kegiatan mengemis dan eksploitasi anak dapat dicermati pada Pasal 25 Huruf a, b, dan c yang memberikan pernyataan bahwa:

“Setiap Orang dilarang :

  • a)    beraktifitas sebagai pengemis, pengamen, pedagang asongan, pengelap mobil dan/atau kegiatan lain yang mengganggu di jalanan dan traffic light;

  • b)    mengkoordinir untuk menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan, dan pengelap mobil di Jalan dan/atau Tempat Umum;

  • c)    mengekspolitasi anak dan/atau balita untuk mengemis;

Perda Kabupaten Badung 7/2016 dalam Pasal 27 Ayat (1) dan (2) juga melarang adanya pengemis dan melarang anak-anak untuk mengemis, berikut adalah pernyataan lengkapnya:

  • (1)    “Setiap orang dilarang melakukan kegiatan gelandangan, mengemis, mengamen dan berdagang asongan pada kendaraan umum, kantor pemerintah, jalan, dipersimpangan jalan/traffic, taman milik Pemerintah Daerah, sekolah, rumah sakit, dan puskesmas.

  • (2)    Setiap orang dilarang menyuruh orang lain termasuk anak-anak untuk melakukan kegiatan mengemis, mengamen dan berdagang asongan pada tempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”.

Perda Kabupaten Badung 7/2016 memberikan sanksi administratif terkait dengan pelanggaran yang terjadi pada Pasal 25 dan Pasal 27. Sanksi administratif yang dimaksud terletak dalam Pasal 30 Ayat (1) dan (2) yang secara tegas menyatakan:

  • (1) “Setiap Orang yang melanggar ketentuan Pasal 10 ayat (4), ayat (6), dan ayat

  • (7), Pasal 12 ayat (1), Pasal 13, Pasal 14 ayat (1), Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17 ayat

  • (1), Pasal 18 ayat (1), Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24 ayat

  • (1), Pasal 25, Pasal 26 dan Pasal 27 dikenakan Sanksi Administratif.

  • (2)    Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa :

  • a.  teguran lisan;

  • b.  teguran tertulis;

  • c.    penghentian sementara kegiatan;

  • d.    penghentian tetap kegiatan;

  • e.  pencabutan sementara izin;

  • f.  pencabutan tetap izin; dan/atau

  • g.    denda administratif”.

Selain sanksi administratif, Perda Kabupaten Badung 7/2016 juga memiliki sanksi pidana untuk pelanggar yang melanggar Pasal 25 dan Pasal 27. Sanksi pidana yang dimaksud ada pada Pasal 32 Ayat (1) dan (2) yang menyatakan:

  • (1)    “Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4), ayat (6), dan ayat (7), Pasal 11 huruf a, huruf c, huruf e, huruf g dan huruf h, Pasal 12 ayat (1) huruf a, Pasal 13 ayat (2), Pasal 14 ayat (1), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf b, huruf c dan huruf d, Pasal 18 ayat (1), Pasal 24 ayat (1), Pasal 25 huruf a, huruf d dan huruf e, Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 28, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).

  • (2)    Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf b, huruf d dan huruf f, Pasal 12 ayat (1) huruf b sampai dengan huruf f, Pasal 13 ayat (1), Pasal 16, Pasal 17 ayat (1) huruf a, Pasal 19, Pasal 22, Pasal 25 huruf b dan huruf c, Pasal 26, dan Pasal 27 ayat (2), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)”.

Selanjutnya UU 35/2014 pada pasal 76 I menyatakan bahwa “Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual terhadap Anak”. Sanksi terhadap orangtua atau siapapun yang mengeksploitasi anak, baik secara ekonomi dan/atau seksual tercantum dalam Pasal 88 UU 35/2014 yang menyatakan bahwa “Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76I, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)”.

Pernyataan dalam pasal demi pasal tersebut sangatlah jelas bahwa sanksi administratif dan sanksi pidana yang akan menimpa para pengemis dan para pelaku eksploitasi anak tersebut. Tetapi terkait dengan penegakkan hukum berdasarkan Teori Penegakan Hukum dan berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh Bapak I Made Astika Jaya, S.H., dari Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Badung selaku Kepala Seksi Kewaspadaan Dini pada tanggal 12 Januari 2022 dan Bapak I Ketut Gede Widiana, S.Sos., dari Dinas Sosial selaku Kepala Seksi Rehabilitasi Tuna Sosial Kabupaten Badung pada tanggal 9 Mei 2022 mengenai penegakan hukum beberapa aturan-aturan tersebut masih belum dapat terlaksana sepenuhnya sehingga saat ini masih saja banyak para pengemis yang berkeliaran dan tidak hanya pengemis tetapi juga para pelaku eksploitasi anak pun masih tetap ada. Terkait dengan orang tua dari anak yang menjadi pengemis pun hanya diberikan teguran lisan oleh para aparat Satpol PP yang pada dasarnya sangatlah jelas bahwa orang tua tersebut termasuk sebagai pelaku eksploitasi anak.

  • 3.2. Perlindungan Hukum terhadap Anak yang Dieksploitasi sebagai Pengemis

Perlindungan yang diberikan kepada anak sebenarnya mencakup akan hak-hak dan asasinya, hak-hak tersebut sangatlah luas sekali, jika menyangkut eksploitasi anak sudahlah sangat melanggar akan hak hidupnya.15 Perlindungan yang utuh dan menyeluruh sudah harus diberikan sejak anak masih berada dalam kandungan ibunya, ketentuan ini juga sudah diatur dalam Konvesi Hak Anak.16 Eksploitasi anak sebagai pengemis ini merupakan kejahatan yang belum bisa dituntaskan oleh pemerintah saat ini, namun sudah ada beberapa aturan yang digunakan sebagai perlindungan bagi anak yang menjadi korban eksploitasi.

Perlindungan hukum merupakan bentuk perlindungan bagi setiap subjek hukum itu sendiri. Perlindungan hukum dapat dikatakan suatu konsep atau gambaran suatu fungsi hukum yang diharapkan mampu memberikan penjaminan terhadap ketertiban    keadilan, kemanfaatan, serta    ketentraman    damai sejahtera. 17

Perlindungan hukum memiliki 2 (dua) sifat yaitu perlindungan hukum bersifat preventif yang artinya mengutamakan pencegahan dan perlindungan hukum bersifat represif, perlindungan ini adalah upaya penegakkan berupa perlindungan akhir yang dapat berupa sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan.18

  • 1)    Perlindungan Hukum Preventif

Perlindungan hukum yang bersifat preventif ini untuk mencegah sebelum adanya atau terjadinya masyarakat yang mengemis khususnya wilayah Kuta. Jadi perlindungan hukum yang bersifat preventif ini harus dilakukan sebelum adanya kegiatan mengemis dan sebelum bertambah meluasnya aksi para

pengemis yang seringkali menganggu ketertiban umum.

Perlindungan hukum yang bersifat preventif dalam hal perlindungan pengemis anak (anak yang dieksploitasi sebagai pengemis) diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 7 Tahun 2016 Tentang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat, namun secara khusus mengenai perlindungan anak diatur pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Perda Kabupaten Badung 7/2016 bertujuan untuk mencegah timbulnya pengemis di lingkungan masyarakat, dalam Pasal 3 sangatlah jelas bahwa Pemerintah Daerah berwenang menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat dalam wilayah daerah yang menjadi kewenangannya yang dilaksanakan oleh Satpol PP yang mempunyai tugas dibidang ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat. Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Satuan Polisi Pamong Praja (selanjutnya disebut PP 16/2018) memberikan pernyataan terkait dengan kegiatan Satpol PP, yaitu:

“Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat meliputi kegiatan:

  • a.    deteksi dan cegah dini;

  • b.    pembinaan dan penyuluhan;

  • c.    patroli;

  • d.    pengamanan;

  • e.    pengawalan;

  • f.    penertiban; dan

  • g.    penanganan unjuk rasa dan kerusuhan massa”.

Hasil wawancara dengan Bapak I Made Sudira, S.H., dari Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Badung selaku Komandan Regu Lapangan juga memberikan penjelasan melalui WhatsApp telepon pada 10 Mei 2022 yang menyatakan bahwa khususnya daerah Kuta salah satunya di wilayah selatan Simpang Imam Bonjol terdapat Indomaret yang biasanya Satpol PP ditugaskan untuk memantau para gepeng yang terdapat di Simpang Imam Bonjol tersebut. Dengan demikian, berdasarkan wawancara tersebut Pemerintah Kabupaten Badung telah mengambil langkah-langkah penertiban secara rutin khususnya wilayah Kuta melalui aparat Satpol PP untuk mengimplementasikan perlindungan hukum yang bersifat preventif dengan mengadakan patroli pemantauan terhadap munculnya pengemis khususnya pada wilayah Kuta.

  • 2)    Perlindungan Hukum Refresif

Perlindungan hukum yang bersifat refresif adalah perlindungan hukum untuk menyelesaikan sengketa yang telah muncul akibat adanya pelanggaran, termasuk penanganannya di lembaga peradilan. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disebut UU 35/2014) dalam Pasal 17 menyatakan:

  • (1)    “Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk :

  • 1.    mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa;

  • 2.    memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan

  • 3.    membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.

  • (2)    Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan”.

Bantuan lainnya yang dimaksud dalam Pasal 17 Ayat (1) angka 2 adalah bimbingan sosial dari pekerja sosial, konsultasi dari psikolog dan psikiater, atau bantuan dari ahli bahasa. Pasal 18 UU 35/2014 menyatakan bahwa “Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya”. Bantuan lainnya dalam ketentuan ini termasuk bantuan medik, sosial, rehabilitasi, vokasional, dan pendidikan.

Pasal 17 dan Pasal 18 tersebut sangatlah jelas memberi perlindungan kepada seorang anak yang menjadi korban eksploitasi, perlindungan kepada anak tersebut juga berupa keadilan dan anak yang menjadi korban eksploitasi berhak untuk dirahasiakan. Selain itu juga dapat diketahui bahwa setiap anak-anak yang bermasalah dengan hukum baik itu sebagai korban maupun pelaku berhak mendapat bantuan hukum.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 (selanjutnya disebut UU 31/2014) dalam Pasal 5 Ayat (1) menyatakan bahwa:

  • a.    “memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, Keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;

  • b.    ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;

  • c.    memberikan keterangan tanpa tekanan;

  • d.    mendapat penerjemah;

  • e.    bebas dari pertanyaan yang menjerat;

  • f.    mendapat informasi mengenai perkembangan kasus;

  • g.    mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;

  • h.    mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan;

  • i.    dirahasiakan identitasnya;

  • j.    mendapat identitas baru;

  • k.    mendapat tempat kediaman sementara;

  • l.    mendapat tempat kediaman baru;

  • m.    memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;

  • n.    mendapat nasihat hukum;

  • o.    memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu Perlindungan berakhir; dan/atau

  • p.    mendapat pendampingan”.

Pasal 5 Ayat (1) tersebut didapatkan ketika para saksi dan korban dalam situasi yang sangat membahayakan jiwanya. Selain orang dewasa yang menjadi saksi dan korban juga dapat digunakan oleh anak-anak yang menjadi saksi dan korban eksploitasi ketika berada dalam penanganan pengadilan.

Perlindungan hukum yang bersifat refresif berkaitan dengan pengemis sesuai dengan Perda 7/2016 dalam Pasal 5 huruf a menyatakan bahwa salah satu kewenangan dari Satpol PP yaitu melakukan tindakan penertiban nonyustisial, ini merupakan alasan hingga saat ini belum dapat melaksanakan dan menerapkan sanksi pidana kepada para pengemis. Perlindungan hukum yang bersifat refresif juga meliputi penampungan sementara untuk para pengemis yang berada di Dinas Sosial Kabupaten Badung untuk melaksanakan pembinaan kepada seluruh pengemis sebelum dikirim ke daerah asalnya. Bapak I Made Astika Jaya, S.H., menyatakan bahwa Tidak hanya pengemis yang dewasa, melainkan apabila ada yang datang menjemput pengemis anak-anak dan mengaku sebagai orang tua maka akan ikut diberikan pembinaan. Selain itu juga terdapat pemulangan pengemis ke daerah asalnya masing-masing yang dilaksanakan oleh Dinas Sosial Kabupaten Badung dengan Satpol PP Kabupaten Badung, jika ada yang berasal dari luar Provinsi Bali maka pengemis tersebut akan diserahkan ke Dinas Sosial Provinsi Bali untuk dipulangkan ke daerah asalnya. (Wawancara 12 Januari 2022).

Berdasarkan wawancara tersebut dari dahulu sampai sekarang sanksi yang diberikan kepada para pengemis hanyalah sebatas sanksi administratif berupa teguran lisan yang kurang memberikan efek jera bagi para pengemis. Orang tua yang mengaku sebagai orang tua dari anak yang dibawanya tidak ada tindakan khusus yang membuat para orang tua tersebut menjadi jera untuk membiarkan dan/atau menyuruh anaknya ikut bergabung untuk mengemis, hal tersebut dikarenakan belum adanya sanksi pidana yang diberlakukan hingga saat ini.

  • 4. Kesimpulan

Hasil penelitian menjelaskan bahwa penegakan hukum terhadap orang tua sebagai pelaku eksploitasi anak wilayah Kuta hingga saat ini sebatas pemberian sanksi administratif berupa teguran lisan, seharusnya diberikan sanksi pidana dan untuk pengemis (orang yang sama) yang tertangkap kembali juga diberikan sanksi pidana agar tidak mengulangi perbuatan yang sama kembali.

Pemerintah Kabupaten Badung melalui aparat Satpol PP untuk mengimplementasikan perlindungan hukum yang bersifat preventif rutin mengadakan patroli pemantauan terhadap munculnya pengemis di wilayah Kuta. Secara represif hanya sebatas pemberian sanksi administratif seperti teguran lisan kepada orang tua yang melakukan eksploitasi kepada anaknya, dan anak-anak korban eksploitasi mendapatkan perlindungan saat dalam penanganan pengadilan sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban.

Daftar Pustaka

Darmayasa, I Wayan Edy, Anak Agung Sagung Laksmi Dewi, and I Made Minggu

Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal), Vol. 11 No. 3 September 2022, 710-723

Widyantara. “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Di Bawah Umur Sebagai Pengemis.” Jurnal Interpretasi Hukum 1, no. 2   (2020):   104–9.

https://doi.org/10.22225/juinhum.1.2.2445.104-109.

Diantha, I Made Pasek, Ni Ketut Supasti Dharmawan dan I Gede Artha, Metode Penelitian Hukum dan Penulisan Disertasi. Denpasar: Swasta Nulus, 2018.

Fadri, Zainal. “Upaya Penanggulangan Gelandangan Dan Pengemis (Gepeng) Sebagai Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (Pmks) Di Yogyakarta.” Komunitas 10, no. 1 (2019): 1–19. https://doi.org/10.20414/komunitas.v10i1.1070.

Husin, Azizah, and Muhammad Ajhie Guntara. “Dampak Eksploitasi Anak Dalam Bidang Pendidikan.” Aksara: Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal 7, no. 3 (2021): 947. https://doi.org/10.37905/aksara.7.3.947-958.2021.

Laurensius Arliman S. “Mewujudkan Penegakan Hukum Yang Baik Di Negara Hukum Indonesia.” Dialogia Iuridica Jurnal Hukum Bisnis Dan Investasi 11, no. 1 (2019):                                                                           1–20.

https://journal.maranatha.edu/index.php/dialogia/article/view/1831/1389.

Marlina. “Tindak Pidana Eksploitasi Seksual Komersial Anak Di Indonesia.” Jurnal Mercatoria          8,          no.          2          (2015):          91–106.

http://ojs.uma.ac.id/index.php/mercatoria/article/view/649/860.

Marzuki, Metodelogi Riset. Yogyakarta: PT. Hanindita Poffse, 1983.

Memperkerjakan, Eksploitasi, Anak Sebagai, and Pengemis Dikota. “Journal of Lex Generalis ( JLS )” 1 (2020): 1074–82.

Miranti Nugraheni Embang, Salamiah, Muthia Septarina. “Tinjauan Yuridis Terhadap Eksploitasi Anak Sebagai Pengemis Jalanan Di Banjarmasin Berdasarkan Perda Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 13 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak,” no. 35 (2014).

Penegakan, Efektifitas, Hukum Terhadap, and Eksploitasi Anak. “Journal of Lex Generalis (JLS)” 2, no. 23 (2021).

Rahmadhany Septian Pratama, "Eksploitasi Anak Yang Dijadikan Pengemis Oleh Orangtuanya Di Kota Surabaya," Court Review: Jurnal Penelitian Hukum, 1(04), (2021), 23–33, https://aksiologi.org/index.php/courtreview/article/view/50

Sari, Andang. “Korban Eksploitasi Seksual” 28, no. 2 (2019): 153–62.

Syahrul ramadhon, Tini Rusmini Gorda, “Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Sebagai Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Secara Preventif Dan Represif.” Jurnal Analisis Hukum 3, no. 2 (2020): 205–17.

Utama, Andrew Shandy. “INDONESIA” 1, no. 3 (2019): 306–13.

Yuniarti, Ninik. “Eksploitasi Anak Jalanan Sebagai Pengamen Dan Pengemis Di

Terminal Tidar Oleh Keluarga.” KOMUNITAS: International Journal of Indonesian Society      and      Culture      4,      no.      2      (2013):      210–17.

https://doi.org/10.15294/komunitas.v4i2.2416.

Zaenal Nur Arifin, Satpol PP Badung Amankan Puluhan Pengemis yang Berkeliaran di Kuta dan Kuta Utara (Denpasar: Tribun Bali, 2021).

Peraturan Perundang-Undangan

Indonesia, Undang-Undang Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 293, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5602.

Indonesia, Undang-Undang Tentang Perlindungan Anak, Nomor 32 Tahun 2014, Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 297, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 5606

Indonesia, Peraturan Daerah Kabupaten Badung Tentang Ketertiban Umum Dan Ketentraman Masyarakat, Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 7 Tahun 2016, Lembaran Daerah Kabupaten Badung Tahun 2016 Nomor 7, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Badung Nomor 7.

723