Hak Politik dan Hak Pilih Tentara Nasional Indonesia Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia

Komang Yopi Pardita1, I Made Wirya Darma2

1Fakultas Hukum Universitas Pendidikan Nasional, E-mail: [email protected]

2Fakultas Hukum Universitas Pendidikan Nasional, E-mail: [email protected]

Info Artikel

Masuk: 3 Juni 2022

Diterima: 26 September 2022

Terbit: 28 September 2022

Keywords:

Political Rights; Voting Rights;

Indonesia; Human Rights;

Indonesian National Armed

Forces


Kata kunci:

Hak Politik; Hak Pilih;

Indonesia; HAM; Tentara

Nasional Indonesia

Corresponding Author:

Komang Yopi Pardita, E-mail: [email protected]

DOI:

10.24843/JMHU.2022.v11.i03.

p13.


Abstract

The purpose of this study was to analyze the regulation of political rights and voting rights of the Indonesian National Armed Forces in the perspective of positive law in Indonesia and to examine the regulation of the political rights and voting rights of the Indonesian National Armed Forces in the perspective of human rights. This study used a normative legal research method using a statutory approach, a conceptual approach and an analytical approach. The study indicated that the political rights and voting rights of the Indonesian National Armed Forces have changed from time to time. This can be observed by examining the 3 (three) periods of power in Indonesia, which include the Old Order, New Order and Reformation. Until now, the limitation of the Indonesian National Armed Forces political rights and voting rights is regulated explicitly in Law Number 7 of 2007 which stipulates that Indonesian National Armed Forces members do not exercise their right to vote. These restrictions indicate that there is no legal synchronization between the conception of human rights in the context of a democratic society in Indonesia and the restrictions on political rights and the Indonesian National Armed Forces voting rights.

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisa pengaturan hak politik dan hak pilih Tentara Nasional Indonesia dalam perspektif hukum positif di Indonesia. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengkaji mengenai pengaturan hak politik dan hak pilih Tentara Nasional Indonesia dalam perspektif hak asasi manusia. Penelitian ini menggunakna metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep (conceptual approach) dan pendekatan analisis (analytical approach). Hasil penelitian menunjukkan bahwa hak politik dan hak pilih TNI telah mengalami perubahan dari masa ke masa. Hal ini dapat dicermati dengan menelaah 3 (tiga) periode kekuasan di Indonesia yang meliputi Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi. Hingga saat ini, pembatasan hak politik dan hak pilih TNI ditatur secara tegas pada UU Nomor 7 Tahun 2007 yang menentukan bahwa anggota TNI tidak menggunakan haknya untuk memilih. Pembatasan tersebut menunjukkan tidak adanya sinkronisasi hukum antara konsepsi HAM dalam kontek masyarakat demokratis di Indonesia dengan pembatasan hak

politik dan hak pilih TNI.

  • I.    Pendahuluan

Pemulihan hak pilih bagi anggota Tentara Nasional Indonesia (selanjutnya TNI) adalah isu yang sering muncul dalam pemilihan umum (selanjutnya Pemilu).1 Hak pilih bagi aparat keamanan dinilai dapat menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat. Membicarakan masalah pemulihan hak pilih bagi anggota TNI selalu berkaitan erat dengan hak asasi manusia (selanjutnya HAM) dan sistem politik demokrasi suatu negara. Pada masa reformasi saat ini, hak asasi dalam perkembangan masyarakat demokratis sangat berkaitan erat dengan keinginan dan kebutuhan manusia untuk berinteraksi dengan sesama untuk mencapai suatu tujuan. Keinginan dan kebutuhan tersebut tidak lepas dari hakikat manusia sebagai makhluk sosial.

Secara umum, HAM dimaknai sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan setiap manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah Tuhan yang harus dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintahan dan setiap orang.2 Kondisi ini menempatkan HAM sebagai hak yang melekat pada setiap pribadi manusia sehingga setiap manusia memiliki kedudukan yang sederajat dengan hak-hak yang sama, sehingga setiap manusia memiliki kesempatan yang sama dalam suatu interaksi sosial.3

Dalam perkembangannya, HAM selalu memiliki keterkaitan yang erat dengan sistem politik demokrasi suatu negara. 4 Demokrasi dipandang sebagai sarana untuk menciptakan peran serta politik masyarakat secara luas dengan instrument pokoknya adalah partai politik (selanjutnya parpol). Konsep demokrasi memberikan gambaran tentang peran serta sebagai unsur yang sangat dibutuhkan untuk membangun pemerintahan yang bertanggungjawab (accountability), transparan (transparency), dan responsif (responsive) terhadap kebutuhan masyarakat. 5 Hal ini kemudian bertautan dengan nomokrasi yang terjelma dalam bentuk hak politik.

Hak politik sering kali berkaitan dengan keberadaan parpol.6 Keberadaan parpol terus berkembang menjadi penghubung antara rakyat dan pemerintah. Tidak jarang parpol bahkan dianggap sebagai perwujudan atau lambang negara modern. Eksistensi parpol menjadi gambaran peran aktif masyarakat dalam proses politik sebagai bentuk

pemenuhan atas HAM. 7 Pertumbuhan parpol yang menjadi gambaran peran aktif masyarakat dalam proses politik berbanding terbalik dengan pemenuhan terhadap hak pilih TNI yang hingga saat ini belum dapat diwujudkan. Pemulihan terhadap hak pilih dan hak politik TNI telah menjadi isu hangat mengingat hampir dalam setiap Pemilu, TNI tidak memiliki kesempatan untuk menggunakan hak pilihnya. Permasalahan ini kembali menjadi topik diskusi mengingat Pemilu 2024 semakin dekat.

Pada mulanya yaitu pada Pemilu pertama dilaksanakan di Indonesia pada tahun 1955, hak bagi anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (selanjutnya ABRI) diberikan dan diizinkan untuk digunakan.8 Pada Pemilu 1955, ABRI juga memiliki hak untuk dipilih sehingga bagi anggota ABRI yang maju sebagai calon anggota legislatif (selanjutnya caleg) tidak harus mengundurkan diri sebagai anggota ABRI. Perubahan terjadi pada Pemilu di masa Order Baru. Ketentuan dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat secara tegas menentukan bahwa: “Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia tidak menggunakan hak memilih.”.9 Ketentuan ini terus dipertahankan hingga dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (selanjutnya UU Pemilu Tahun 2017), dengan nama instansi yang berubah menjadi TNI dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (selanjutnya Polri).

Saat ini, peran TNI diuji kembali, dimana terdapat pemikiran agar TNI dapat menggunakan hak pilihnya dalam pemilu. Hal ini menimbulkan polemik dimana sebagian kalangan berpandangan bahwa hak pilih TNI sebaiknya diserahkan pada internal TNI, sedangkan sebagian kalangan berpandangan bahwa hak politik belum dapat diberikan kepada TNI. Hak pilih secara universal merupakan dasar paling umum bagi pemberian suara pilih, namun hal ini biasanya dibatasi oleh beberapa faktor, antara lain: faktor kewarganegaraa, kesehatan jiwa, dan catatan kejahatan. Dalam beberapa sistem politik, pembatasan dilakukan secara lebih luas antara lain mencakup faktor melek huruf, syarat-syarat pemukiman, kualifikasi kekayaan dan militer. Pembatasan hak pilih anggota militer cenderung dilakukan oleh negara-negara yang memiliki trauma atas intervensi politik organisasi militer di masa lalu.

Pembatasaan hak memilih bagi anggota militer hanya dilakukan oleh Indonesia dan Kongo. Negara-negara lain seperti Rusia, Amerika Serikat, Kanada, Australia, Swedia, Inggris, Vietnam, Filipina, Jerman, Korea Selatan dan Perancis tidak melakukan pembatasan hak pilih bagi anggota militer. Merujuk pada pernyataan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini dalam diskusi virtual “RUU Pemilu Mau Dibawa Kemana” pada Kamis 25 Juni 2020, belum tampak adanya aturan yang mengatur bahwa TNI/Polri tidak menggunakan hak pilihnya pada draf Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pemilu tertanggal 6 Mei 2020. Hal ini berbanding terbalik dengan ketentuan dalam Pasal 200 UU Pemilu Tahun 2017 yang

secara tegas menentukan bahwa TNI dan Polri tidak mengunakan haknya untuk memilih.

Kondisi ini menjadi kekhawatiran mengingat tidak ada norma yang mengatur agar hak pilih bagi anggota TNI dan Polri pada RUU. Diizinkannya anggota TNI untuk menggunakan hak pilih dapat memperuncing segregasi dan konflik politik di masyarakat. Berdasarkan paparan tersebut diatas, maka penting untuk mengkaji mengenai pengaturan hak politik dan hak pilih Tentara Nasional Indonesia dalam perspektif hukum positif di Indonesia. Penelitian ini juga mengkaji mengenai pengaturan hak politik dan hak pilih Tentara Nasional Indonesia dalam perspektif hak asasi manusia. Penelitian ini jika dibandingkan dengan beberapa studi sebelumnya memiliki kesamaan pada topik, yaitu sama-sama mengkaji hak politik TNI, tetapi fokus kajiannya berbeda. Penelitian ini fokus mengkaji mengenai pengaturan hak politik dan hak pilih Tentara Nasional Indonesia dalam perspektif hukum positif di Indonesia dan juga pengaturan hak politik dan hak pilih Tentara Nasional Indonesia dalam perspektif hak asasi manusia.

Studi terdahulu dilakukan oleh Lutfi Fahrul Rizal pada tahun 2015 yang mengkaji mengenai “Analisis Prinsip al-Hurriyah Terhadap Hak Politik Pegawai Negeri (TNI dan Polri) di Indonesia ditinjau dari Demokrasi dan HAM”.10 Penelitian ini mengkaji hak politik TNI dan Polri di Indonesia berdasarkan prinsip al-Hurriyah menurut perspektif demokrasi dan HAM. Pada tahun 2017, Kevin R. Komalig mengkaji mengenai “Hak Politik Aparatur Sipil Negara Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014”.11 Adapun fokus kajian pada penelitian ini adalah mengenai pengaturan hak politik aparatur sipil negara (pegawai negeri sipil) berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan hak politik aparatur sipil Negara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 dikaitkan dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisa pengaturan hak politik dan hak pilih Tentara Nasional Indonesia dalam perspektif hukum positif di Indonesia. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengkaji mengenai pengaturan hak politik dan hak pilih Tentara Nasional Indonesia dalam perspektif hak asasi manusia.

  • 2.    Metode Penelitian

Tulisan ini adalah tulisan yang menggunakna metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep (conceptual approach) dan pendekatan analisis (analytical approach). Adapun bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini ditelusuri dengan menggunakan tehnik studi dokumen dan dianalisa dengan menggunakan analisis kualitatif. Merujuk pada pemikiran Peter Mahmud Marzuki, penelitian normatif dipandang sebagai suatu proses yang bertujuan untuk menemukan aturan hukum,

prinsip hukum, maupun doktrin hukum dalam upaya menjawab permasalahan hukum yang sedang terjadi.12

  • 3.    Hasil Dan Pembahasan

    • 3.1.    Pengaturan Hak Politik dan Hak Pilih Tentara Nasional Indonesia dalam Perspektif Hukum Positif di Indonesia

Pengaturan mengenai Tentara Nasional Indonesia (selanjutnya TNI) diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (selanjutnya UU TNI). Merujuk pada UU TNI dipahami bahwa TNI dipandang sebagai alat pertahanan negara yang bertugas untuk melaksanakan kebijakan pertahanan negara demi menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah, dan melindungi keselamatan bangsa, menjalankan operasi militer untuk perang dan operasi militer setelah perang, serta ikut secara aktif dalam tugas pemeliharaan perdamaian regional dan internasional.13

Pembangunan dan pengembangan TNI dilakukan secara professional sesuai dengan kepentingan politik negara, merujuk pada nilai dan prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional dan ketentuan hukum internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia. 14 Pembangunan dan pengembangan TNI juga dilakukan dengan dukungan anggaran belanja negara yang dikelola secara transparan dan akuntabel.

Merujuk pada ketentuan Pasal 5 UU TNI dipahami bahwa TNI sebagai alat negara di bidang pertahanan negara yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. Sebagai komponen utama dalam sistem pertahanan negara, TNI memiliki beberapa fungsi sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU TNI, yaitu:

  • a.    Penangkal terhadap setiap bentuk ancaman militer dan ancaman bersenjata dari luar dan dalam negeri terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah dan keselamatan bangsa;

  • b.    Penindak terhadap setiap bentuk ancaman;

  • c.    Pemulih terhadap kondisi keamanan negara yang terganggu akibat kekacauan keamanan.

Merujuk pada ketentuan dalam Pasal 7 UU TNI dipahami bahwa TNI memiliki tugas pokok yaitu menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Tugas pokok ini kemudian dilakukan dalam bentuk:

  • a.    Operasi militer untuk perang;

  • b.    Operasi militer selain perang.

Beranjak pada konsep TNI sebagaimana diatur dalam UU TNI tampak bahwa pada dasarnya TNI sebagai alat pertahanan negara dipengaruhi oleh kebijakan dan keputusan politik negara. Berdasarkan perspektif tersebut, sifat dan arah hukum terkait dengan hak pilih TNI dipengaruhi oleh kepentingan politik penguasa. Hal ini juga berkaitan erat dengan perkembangan demokratisasi di Indonesia. Pengaturan mengenai hak politik dan hak pilih TNI telah mengalami perubahan dari masa ke masa. Hal ini dapat dicermati dengan menelaah 3 (tiga) periode kekuasan di Indonesia yang meliputi Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi.

  • a.    Pengaturan Hak Politik dan Hak Pilih Tentara Nasional Indonesia Pada Masa Orde Lama

Pada masa Orde Lama, pengaturan mengenai hak memilih bagi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan Polri diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (selanjutnya UU No. 7 Tahun 1953).15 Merujuk pada ketentuan dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 7 Tahun 1953 ditentukan bahwa:

“Anggota Konstituante dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih oleh warga negara Indonesia, yang dalam tahun pemilihan berumur genap 18 (delapan belas) tahun atau yang sudah kawin lebih dahulu”.

Selanjutnya dalam Pasal 3 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1953 ditentukan bahwa:

“Pemerintah mengadakan ketentuan-ketentuan khusus untuk memungkinkan pelaksanaan hak pilih bagi anggota-anggota Angkatan Perang dan Polisi, yang pada hari dilakukan pemungutan suara sedang dalam menjalankan tugas operasi atau tugas biasa di luar tempat kedudukannya dan apabila perlu dengan mengadakan dalam waktu sependek-pendeknya pemungutan suara susulan untuk mereka itu.”

Ketentuan sebagaimana disebutkan diatas menunjukkan bahwa pada masa Orde Lama, anggota bersenjata dan Polri diberikan hak yang sama sebagai warga negara di bidang politik.16 Anggota bersenjata, yang kini dikenal dengan istilah TNI diberikan hak untuk memilih dan menggunakan haknya tersebut dalam pemilihan umum. Mencermati kondisi tersebut, tampak bahwa Pemilihan Umum Indonesia pada tahun 1955 merupakan pemilihan umum pertama yang dapat dikatakan sebagai pemilu Indonesia yang paling mendekati kategori ideal dalam hal demokratis. Walaupun Pemilu 1955 merupakan pemilu pertama dan dilaksanakan dalam situasi negara yang masih belum kondusif, tetapi anggota bersenjata dan polisi tetap diikutsertakan dalam proses pemilihan umum seperi warga negara lainnya. Bagi mereka yang sedang bertugas di

daerah rawan diberikan kesempatan untuk datang ke tempat pemilihan, sehingga dapat memilih dalam kondisi yang aman.

Keikutsertaan Angkatan bersenjata dan Polri dalam pemilihan umum tidak mempengaruhi kondisi masing-masing institusi. Kedua institusi ini tetap utuh. Kondisi ini mencerminkan pemilu yang paling mendekati kriteria demokratis mengingat tidak adanya pembatasan terhadap jumlah parpol, pemilu berlangsung dengan langsung umum bebas rahasia (luber), serta mencerminkan pluralisme dan representativeness karena melibatkan seluruh lapisan masyarakat, termasuk juga Angkatan bersenjata dan kepolisian.

  • b.    Pengaturan Hak Politik dan Hak Pilih Tentara Nasional Indonesia Pada Masa Orde Baru

Di masa Orde Baru, TNI dan Polri digunakan sebagai alat untuk mempertahankan rezim pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Soeharto yang berasal dari kalangan militer.17 Demi mempertahankan kekuasaannya, Presiden Soeharto menjadikan TNI dan Polri sebagai kekuatan sosial, politik dan ekonomi yang diberikan akses lebih untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara melalui dwifungsi ABRI disamping sebagai alat pertahanan dan keamanan.18

Dalam kaitannya dengan keikutsertaan ABRI dalam proses politik pada masa Orde Baru diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemillihan Umum Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat (selanjutnya UU No. 15 Tahun 1969). Merujuk pada ketentuan dalam Pasal 11 UU No. 15 Tahun 1969 ditentukan bahwa “Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia tidak menggunakan hak memilih”. Selanjutnya merujuk pada ketentuan dalam Pasal 14 UU No. 15 Tahun 1969 ditentukan bahwa “Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia tidak menggunakan hak dipilih”.

Merujuk pada ketentuan Pasal 11 dan Pasal 14 UU No. 15 Tahun 1969 tampak bahwa anggota ABRI tidak memiliki hak memilih dan hak untuk dipilih dalam Pemilu. Adapun dasar tidak diberikannya hak pilih dan memilih bagi anggota ABRI dikarenakan:

“Mengingat dwifungsi ABRI sebagai alat negara dan kekuatan sosial yang harus kompak Bersatu dan merupakan kesatuan untuk dapat menjadi pengawal dan pengaman Panca Sila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang kuat dan Sentosa, maka bagi ABRI diadakan ketentuan tersendiri.

Fungsi dan tujuan ABRI seperti tersebut di atas tidak akan tercapai jika anggota ABRI ikut serta dalam pemilihan umum, yang berarti bahwa anggota ABRI berkelompok-kelompok, berlain-lainan pilihan dan pendukungnya terhadap golongan-golongan dalam masyarakat.

Duduknya ABRI dalam lembaga-lembaga permusyawaratan/perwakilan melalui pengangkatan dimungkinkan oleh demokrasi Panca Sila yang menghendaki ikut sertanya segala kekuatan dalam masyarakat representative dalam lembaga-lembaga tersebut.”

Ketidakikutsertaan Anggota ABRI dalam pemilihan umum pada masa Orde Baru semakin dipertegas dengan penjelasan dalam UU No. 15 Tahun 1969 tersebut. Walaupun demikian, ABRI tetap diberikan kewenangan dalam proses politik melalui proses pengangkatan guna menjadi anggota legislatif. Hal ini mencerminkan dominasi militer dalam kehidupan sosial-politik nasional dengan menggunakan berbagai justifikasi yang akhirnya berakibat pada pencitraan negatif pada ABRI karena diberi akses untuk ikut serta dalam lembaga legislative dan ekskutif tanpa melalui mekanisme yang demokratis, sehingga dipandang sebagai suatu bentuk penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan penguasa.

  • c.    Pengaturan Hak Politik dan Hak Pilih Tentara Nasional Indonesia Pada Masa Reformasi

Keistimewaan yang dimiliki anggota ABRI pada masa Orde Baru berakhir pada tahun 1998 setelah terjadinya Gerakan Reformasi. Reformasi pada ABRI mengubah paradigma, peran dan fungsi, serta tugas ABRI menjadi 2 (dua) institusi yang berbeda, yaitu TNI dan Polri. 19 Berkaitan dengan Hak Politik dan Hak Pilih TNI pada masa reformasi diawali dengan dikeluarkannya Tap MPR No. VI/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri serta Tap MPR. No VII/2000 tentang Peran TNI dan Polri. 20 Merujuk pada ketentuan dalam Pasal 5 ayat (2) dan (4) Tap MPR No. VII/MPR/2000 ditentukan bahwa:

“TNI bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri dalam kehidupan politik praktis. Anggota TNI tidak menggunakan hak memilih dan dipilih. Keikutsertaan TNI dalam menentukan arah kebijakan nasional disalurkan melalui MPR paling lama sampai dengan tahun 2009.”

Ketentuan tersebut pada hakekatnya bertujuan untuk menciptakan sikap professional dari TNI dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Menanggapi konsepsi netralitas politik tersebut membuat Pemerintah melakukan perubahan mendasar terhadap hak pilih dari Tentara Nasional Indonesia sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 39 UU TNI yang menentukan bahwa:

“Prajurit dilarang terlibat dalam:

  • 1.    Kegiatan menjadi anggota partai politik;

  • 2.    Kegiatan politik praktis;

  • 3.    Kegiatan bisnis; dan

  • 4.    Kegiatan untuk dipilih menjadi anggota legislatif dalam pemlihan umum dan jabatan politisi lainnya.”

Ketentuan senada juga diatur dalam Pasal 200 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (selanjutnya UU No. 7 Tahun 2017) yang menentukan bahwa: “Dalam Pemilu, anggota Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak menggunakan haknya untuk memilih.” Pembatasan hak politik dan hak pilih dari TNI telah diatur secara tegas dalam UU Nomor 7 Tahun 2017. Merujuk pada ketentuan dalam Pasal 182 UU No. 7 Tahun 2017 dipahami bahwa anggota TNI hanya dapat ikut serta menjadi Peserta Pemilut setelah mengundurkan diri. Selanjutnya, ketentuan dalam Pasal 280 ayat (2) UU No. 7 Tahun 2017 secara tegas melarang TNI untuk ikut serta dalam pelaksanaan dan/atau tim kampanye dalam kegiatan Kampanye Pemilu.

Melihat ketentuan sebagaimana diatur dalam UU No. 7 Tahun 2017 tampak bahwa pemerintah masih memegang teguh konsep netralitas dengan tidak melibatkan TNI dalam kehidupan politik praktis. Hal ini merupakan suatu kemunduran mengingat pada masa Orde Lama, TNI diberikan hak memilih sebagaimana diatur dalam UU No. 7 Tahun 1953.

Berdasarkan paparan tersebut diatas dapat dipahami bahwa pengaturan mengenai hak politik dan hak pilih TNI telah mengalami perubahan dari masa ke masa. Hal ini dapat dicermati dengan menelaah 3 (tiga) periode kekuasan di Indonesia yang meliputi Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi. Pada masa Orde Lama, pangaturan mengenai hak memilih bagi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan Polri diatur dalam UU No. 7 Tahun 1953. Di masa Orde Baru, TNI dan Polri keikutsertaan ABRI dalam proses politik diatur secara tegas dalam Pasal 11 dan Pasal 14 UU No. 15 Tahun 1969 tampak bahwa anggota ABRI tidak memiliki hak memilih dan hak untuk dipilih dalam Pemilu. Pada masa reformasi hingga saat ini, pembatasan hak politik dan hak pilih TNI ditatur secara tegas pada UU Nomor 7 Tahun 2007 yang menentukan bahwa anggota TNI tidak menggunakan haknya untuk memilih.

  • 3. 2. Pengaturan Hak Politik dan Hak Pilih Tentara Nasional Indonesia dalam Perspektif Hak Asasi Manusia

Merujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia mengenai pengaturan hak politik dan hak pilih TNI tampak adanya upaya pembatasan terhadap hak untuk memilih dan hak untuk dipilih dalam Pemilu. Pengaturan tentang hak pilih ini pada hakikatnya merupakan upaya untuk memperoleh kepastian hukum untuk membatasi kekuasaan terhadap kemungkinan bergeraknya kekuasaan atas naluri sendiri yang mengarh pada penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).21

Konsep ini senada dengan pemikiran dari Plato bahwa “penyelenggaraan negara yang baik didasarkan pada pengaturan (hukum) yang baik” yang kemudian disebut dengan

istilah nomoi. 22 Merujuk pada konsep ini dipahami bahwa semua orang pada suatu negara tunduk pada hukum termasuk juga penguasa atau raja untuk mencegah terjadinya tindakan sewenang-wenang. Pembatasan mengenai kekuasaan juga dikemukakan oleh Lord Acton yang mengungkapkan bahwa “manusia yang memiliki kekuasaan cenderung menyalahgunakan kekuasaan yang dimilikinya, tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan tidak terbatas pasti akan menyalahgunakan kekuasaan secara tidak terbatas (Power tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely)”.23

Beranjak dari pemikiran-pemikiran tersebut tampak bahwa pembatasan kekuasaan memiliki hubungan yang erat dengan upaya untuk membatasi perilaku dari penguasa. Disamping itu, pembatasan tersebut juga bertujuan untuk menjamin adanya kepastian hukum. Dalam kaitannya dengan hubungan antara hukum antara negara dengan hak politik dan hak pilih TNI terdapat ketentuan yang secara tegas memberikan pembatasan terkait hak untuk memilih dan hak untuk dipilih. Pembatasan tersebut berkaitan erat dengan hubungan dinas publik. Merujuk pada pemikiran Logemann, hubungan ini terjadi apabila seseorang mengikatkan dirinya untuk tunduk pada suatu perintah dari pemerintah untuk melaksanakan jabatan yang dihargai dengan pemberian gaji dan keuntungan lainnya. 24 Hubungan ini memberikan kewajiban bagi TNI selaku alat negara untuk tunduk pada pengankatan dalam jabatannya yang berakibat pada adanya suatu penyesuaian kehendak dari yang bersangkutan dengan kehendak dari negara.25

Pembatasan yang ditetapkan oleh negara sebagai akibat dari pemberlakuan hubungan dinas publik termasuk juga pembatasan terhadap hak-hak asasi manusia. 26 Secara konstitutif, pengakuan terhadap HAM telah ditentukan dalam UUD 1945 yaitu pada ketentuan Pasal 28 J ayat (1) UUD 1945. Merujuk pada ketentuan tersebut ditentukan bahwa: “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.”

Lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 ditentukan bahwa:

“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”

Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 28 J UUD 1945 memberikan penegasan bahwa HAM yang dimiliki seseorang wajib untuk dihormati oleh orang lain, tetapi

HAM bukanlah sesuatu yang tanpa batas. Hak seseorang dibatasi oleh kewajiban menghargai dan menghormati hak orang lain. Merujuk pada ketentuan dalam Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 dipahami bahwa terdapat beberapa jenis hak asasi manusia yang dapat dibatasi dengan alasan tertentu.

Secara normatif, pengaturan mengenai HAM di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya UU HAM). Merujuk pada ketentuan dalam Pasal 1 UU HAM ditentukan bahwa:

“Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”

Adapun pengaturan mengenai hak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum bagi setiap warga negara telah diatur dalam ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU HAM. Ketentuan tersebut menentukan bahwa:

“Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Secara umum, UU HAM mengatur mengenai hak politik dan hak pilih seseorang yaitu berupa hak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum. Hak memilih yang ditetapkan dalam UU HAM merupakan hak yang bersifat personal dan bukan institusional, oleh karena itu negara mempunyai kewajiban untuk menghormati hak asasi manusia dan mencegah atau menahan dari melanggar atau mengurangi penikmatan hak asasi dari warga negaranya, termasuk juga anggota TNI. 27 Hal ini bermakna bahwa hak politik dan hak pilih TNI seharusnya tidak dapat dihapuskan oleh siapapun, kecuali jika yang bersangkutan yang memilih untuk tidak menggunakan hak tersebut.28 Namun, dalam kaitannya dengan TNI, hak politik dan hak pilih tersebut dibatasi sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 200 UU No. 7 Tahun 2017 yang secara tegas menetapkan bahwa anggota Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak menggunakan haknya untuk memilih.

Pembatasan ini diakomodir dalam ketentuan Pasal 70 UU HAM yang menentukan bahwa: “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-Undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memnuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbagnan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”. Beranjak pada ketentuan tersebut tampak bahwa negara tidak memberikan akses terhadap hak politik dan hak pilih anggota TNI dalam proses politik. Pembatasan tersebut menunjukkan tidak adanya sinkronisasi

hukum antara konsepsi HAM dalam kontek masyarakat demokratis di Indonesia dengan pembatasan hak politik dan hak pilih TNI. Padahal, berkaca dari sejarah Pemilu 1955, anggota ABRI (sebutan TNI saat itu) diberikan hak untuk memilih dan dipilih dalam Pemilu 1955 tanpa menimbulkan gangguan keamanan. Hal ini menunjukkan adanya kemunduran dalam prosese pemilihan umum di Indonesia.

Berdasarkan paparan tersebut diatas dapat dipahami bahwa pengaturan HAM terkait hak politik dan hak pilih telah diakomodir dalam UU HAM. Namun, dalam kaitannya dengan TNI, hak politik dan hak pilih tersebut dibatasi sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 200 UU No. 7 Tahun 2017 yang secara tegas menetapkan bahwa anggota Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak menggunakan haknya untuk memilih. Hak memilih yang ditetapkan dalam UU HAM merupakan hak yang bersifat personal dan bukan institusional, oleh karena itu negara mempunyai kewajiban untuk menghormati hak asasi manusia dan mencegah atau menahan dari melanggar atau mengurangi penikmatan hak asasi dari warga negaranya, termasuk juga anggota TNI. Pembatasan tersebut menunjukkan tidak adanya sinkronisasi hukum antara konsepsi HAM dalam kontek masyarakat demokratis di Indonesia dengan pembatasan hak politik dan hak pilih TNI. Hal ini menunjukkan adanya kemunduran dalam prosese pemilihan umum di Indonesia. Padahal, berkaca dari sejarah Pemilu 1955, anggota ABRI (sebutan TNI saat itu) diberikan hak untuk memilih dan dipilih dalam Pemilu 1955 tanpa menimbulkan gangguan keamanan.

  • 4. Kesimpulan

Berdasarkan paparan tersebut diatas dapat dipahami bahwa pengaturan mengenai hak politik dan hak pilih TNI telah mengalami perubahan dari masa ke masa. Hal ini dapat dicermati dengan menelaah 3 (tiga) periode kekuasan di Indonesia yang meliputi Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi. Pada masa Orde Lama, pangaturan mengenai hak memilih bagi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan Polri diatur dalam UU No. 7 Tahun 1953. Di masa Orde Baru, TNI dan Polri keikutsertaan ABRI dalam proses politik diatur secara tegas dalam Pasal 11 dan Pasal 14 UU No. 15 Tahun 1969 tampak bahwa anggota ABRI tidak memiliki hak memilih dan hak untuk dipilih dalam Pemilu. Pada masa reformasi hingga saat ini, pembatasan hak politik dan hak pilih TNI ditatur secara tegas pada UU Nomor 7 Tahun 2007 yang menentukan bahwa anggota TNI tidak menggunakan haknya untuk memilih. Pengaturan HAM terkait hak politik dan hak pilih telah diakomodir dalam UU HAM. Hak memilih yang ditetapkan dalam UU HAM merupakan hak yang bersifat personal dan bukan institusional, oleh karena itu negara mempunyai kewajiban untuk menghormati hak asasi manusia dan mencegah atau menahan dari melanggar atau mengurangi penikmatan hak asasi dari warga negaranya, termasuk juga anggota TNI. Pembatasan tersebut menunjukkan tidak adanya sinkronisasi hukum antara konsepsi HAM dalam kontek masyarakat demokratis di Indonesia dengan pembatasan hak politik dan hak pilih TNI. Hal ini menunjukkan adanya kemunduran dalam prosese pemilihan umum di Indonesia. Padahal, berkaca dari sejarah Pemilu 1955, anggota ABRI (sebutan TNI saat itu) diberikan hak untuk memilih dan dipilih dalam Pemilu 1955 tanpa menimbulkan gangguan keamanan

Daftar Pustaka

Apena, William Edson. “Kajian Konstitusional Atas Hak Pilih Anggota Tni Dan Polri Dalam Pemilihan Umum.” Lex Crimen 6, no. 1 (2017).

Arliman, Laurensius. “Komnas Ham Sebagai State Auxialiary Bodies Di Dalam Penegakan Hak Asasi Manusia Di Indonesia.” Jurnal Bina Mulia Hukum 2, no. 1 (2017): 54–66.

Aswandi, Bobi, and Kholis Roisah. “Negara Hukum Dan Demokrasi Pancasila Dalam Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia (HAM).” Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia 1, no. 1 (2019): 128–45.

Azwar, Asrudin, and Mirza Jaka Suryana. “Dwifungsi TNI Dari Masa Ke Masa.” Jurnal Academia Praja 4, no. 1 (2021): 154–79.

Busthomi, Masum, and M Iwan Satriawan. “The Dynamic Influence of Community Organisation in Filling Komisi Pemilihan Umum Regional Members.” Journal of Political Issues 2, no. 1 (2020): 21–33.

Chalim, Munsharif Abdul, and Faisal Farhan. “Peranan Dan Kedudukan Tentara Nasional Indonesia (Tni) Di Dalam Rancangan Undang-Undang Keamanan 102 Nasional Di Tinjau Dari Perspektif Politik Hukum Di Indonesia.” Jurnal Pembaharuan Hukum 2, no. 1 (2016): 102–10.

Danendra, Ida Bagus Kade. “Kedudukan Dan Fungsi Kepolisian Dalam Struktur Organisasi Negara Republik Indonesia.” Lex Crimen 1, no. 4 (2013).

Dewi, Elvia Puspa. “Good Governance Dan Transparansi Rencana Strategi Terwujudnya Akuntabilitas Kinerja Pemerintah.” Jurnal Lentera Bisnis 7, no. 2 (2018): 81–108.

Dewi, Septya Hanung Surya, and Agus Riwanto. “PENGARUH PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 33/PUU-XIII/2015 DIKAITKAN DENGAN PEMBATASAN POLITIK DINASTI PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH.” Res Publica 5, no. 3 (2021): 338–55.

Fajar, M;, and Y Achmad. Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013.

Haryadi, Toni, Eddhie Praptono, and Erwin Aditya Pratama. “Implikasi Hukum Terhadap Pembatasan Peran Serta Aparatur Sipil Negara Dalam Proses Politik Di Indonesia.” Diktum: Jurnal Ilmu Hukum 7, no. 1 (2019): 43–67.

Helvis, Helvis. “TNI Dalam Demokrasi Di Indonesia.” Jurnal Revolusi Indonesia 2, no. 3 (2022): 264–81.

Indika, Alkindi. “Perlindungan Hukum Terhadap Pegawai Negeri Sipil Akibat Pelanggaran Sistem Merit Pada Proses Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi.” JuristDiction 2, no. 5 (2019): 1559–74.

Itinyo, Pandri S. “Peran Partai Politik Dalam Mewujudkan Kesejahteraan Masyarakat Ditinjau Dari UU. No. 2 Tahun 2011.” Lex Privatum 4, no. 3 (2016).

Kasman, Aloysius, and Septa Rahadian. “KULTUR POLITIK TRADISIONAL JAWA PADA MASA REZIM ORDE BARU TAHUN 1967-1998.” MAHARSI 2, no. 1 (2020): 65–79.

Komalig, Kevin R. “Hak Politik Aparatur Sipil Negara Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014.” Lex Crimen 6, no. 4 (2017).

Kusumo, Guntur Rubyantoro. “Pertanggungan Kecelakaan Penumpang Angkutan Berbasis Aplikasi Online Dalam Perlindungan Dasar Pemerintah.” Jurnal Akta Yudisia 3, no. 1 (2018): 296568.

Muabezi, Zahermann Armandz. “Negara Berdasarkan Hukum (Rechtsstaats) Bukan Kekuasaan (Machtsstaat).” Jurnal Hukum Dan Peradilan 6, no. 3 (2017): 421.

https://doi.org/10.25216/jhp.6.3.2017.421-446.

Nasution, Bahder Johan. “Kajian Filosofis Tentang Konsep Keadilan Dari Pemikiran Klasik Sampai Pemikiran Modern.” Yustisia Jurnal Hukum 3, no. 2 (2014).

Nugraha, Harry Setya, Dimar Simarmata, and Imentari Siin Sembiring. “Politik Hukum Pengaturan Netralitas Aparatur Sipil Negara Dalam Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2018.” Justisi Jurnal Ilmu Hukum 3, no. 1 (2018).

Rizal, Lutfi Fahrul. “ANALISIS PRINSIP AL-HURRIYAH TERHADAP HAK POLITIK PEGAWAI NEGERI (TNI DAN POLRI) DI INDONESIA DITINJAU DARI DEMOK ASI DAN HAM.” ADLIYA: Jurnal Hukum Dan Kemanusiaan 9, no. 2 (2015): 287–316.

Sarbaini, Sarbaini. “Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung Dan Demokratis Sebagai Bentuk Perwujudan Hak Asasi Politik Masyarakat Di Indonesia.” Legalitas: Jurnal Hukum 12, no. 1 (2020): 107–36.

Sayogie, Frans. “Perlindungan Negara Terhadap Hak Kebebasan Beragama: Perspektif Islam Dan Hak Asasi Manusia Universal.” Jurnal Hukum PRIORIS 3, no. 3 (2016): 42–66.

Subagyo, Subagyo. “POTRET PENDIDIKAN SEJARAH DI AKADEMI KEPOLISIAN UNTUK PEMBENTUKAN KARAKTER POLISI SIPIL.” Paramita: Historical Studies Journal 23, no. 1 (2013).

Triwahyuningsih, Susani. “Perlindungan Dan Penegakan Hak Asasi Manusia (Ham) Di Indonesia.” Legal Standing: Jurnal Ilmu Hukum 2, no. 2  (2018):  113.

https://doi.org/10.24269/ls.v2i2.1242.

Ubaidillah, Lutfian. “KONSEP KEBEBASAN BERPOLITIK ANGGOTA TENTARA NASIONAL INDONESIA DAN KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DALAM PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA.” Fairness and Justice: Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum 16, no. 1 (2018): 50–64.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum

676