Pengelolaan Hutan Adat Imbo Putui untuk Meningkatkan Ekonomi Masyarakat Hukum Adat Kabupaten Kampar

Rika Lestari1

1Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, E-mail: [email protected]

Info Artikel

Masuk: 29 Mei 2022

Diterima: 25 September 2022

Terbit: 28 September 2022

Keywords:

Management; Imbo Putui Customary Forest; Adat Law

Community


Abstract

This study aimed to analyze the management of Imbo Putui Customary Forest and as well as the model for using customary forest that can improve the community’s economy in Kenegerian Petapahan. The Imbo Putui Customary Forest managed by adat law communities based on adat law and local wisdom of society in Kampar Regency. The challenge is that there are still individuals who carry out illegal logging of trees without permission of the tribal chief for commercial purposes. This research is useful theoretically and practically. The type of research is sociological or empirical legal research. The results of the study show that customary forest management is carried out based on adat law in the form of rules, prohibitions, and sanctions such as; take medicinal plants only for daily needs, not selling wood commercially, maintaining etiquette in words and actions while in the Imbo Putui Customary Forest. People who break the rules will be penalized. The model for using Imbo Putui customary forest that can improve the community's economy, such as making the customary forest a center of study, developing natural tourism, and cultivating kelulut bees. In addition, the community need to expand cooperation networks with the government and nongovernmental, also promote customary forests both domestic and foreign.

Kata Kunci:

Pengelolaan; Hutan Adat Imbo

Putui; Masyarakat Hukum Adat


Corresponding Author:

Rika Lestari, E-mail:

[email protected]


DOI:


Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengelolaan Hutan Adat Imbo Putui, dan model pemanfaatan Hutan Adat agar dapat meningkatkan ekonomi masyarakat hukum adat di Kenegerian Petapahan. Hutan Adat Imbo Putui dikelola masyarakat hukum adat berdasarkan hukum adat dan kearifan lokal masyarakat di Kabupaten Kampar. Tantangannya masih ada oknum yang melakukan penebangan liar pohon tanpa ijin kepala suku untuk kepentingan komersial. Penelitian ini bermanfaat secara teoritis dan praktis. Jenis penelitian adalah penelitian hukum sosiologis atau empiris. Hasil penelitian menujukkan bahwa pengelolaan hutan adat dilakukan berdasarkan hukum adat berupa Aturan, larangan dan sanksi seperti: boleh mengambil tanaman obat-obatan hanya untuk keperluan sehari-hari, tidak boleh menjual kayu secara komersial, menjaga adab perkataan dan perbuatan saat berada


10.24843/JMHU.2022.v11.i03. p15.


di Hutan Adat Imbo Putui, jika melanggar aturan-aturan tersebut maka akan dikenakan sanksi adat. Model pemanfaatan hutan adat imbo putui agar dapat meningkatkan perekonomian masyarakat seperti menjadikan hutan adat sebagai pusat studi, pengembangan wisata alam dan budidaya lebah kelulut. Perlu dilakukan upaya perluasan jejaring kerjasama baik dengan pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat dan promosi hutan adat baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

  • 1.    Pendahuluan

Masyarakat hukum adat Kampar mewarisi sistem hukum adat Tali Bapilin Tigo, Tigo Tungku Sajoghangan, sistem hukum ini mengakui adanya tiga sistem hukum (sistem hukum tritunggal) yaitu Agama, Adat, dan Undang (pemerintah). Ketiganya bersintetik dalam satu kesatuan yang kokoh, harmonis dan seimbang. Sistem hukum Tungku Nan Tigo ini menjadi dasar konsep berfikir lahirnya falsafah “Adat bersendikan Syara’, Syara’ Bersendikan Kitabullah”dalam kehidupan masyarakat hukum adat di Kabupaten Kampar. 1 Griffiths menjelaskan konsep seperti ini sebagai pluralisme hukum dimana bila suatu situasi terdapat dua atau lebih sistem hukum bekerja secara berdampingan dalam suatu bidang kehidupan sosial yang sama, atau apabila terdapat keberadaan dua atau lebih sistem pengendalian sosial dalam satu bidang kehidupan.2 Hukum adat di Kabupaten Kampar merupakan hukum yang hidup (the living law) dalam kehidupan dan prilaku masyarakat hukum adatnya. 3 Istilah ini menurut Soepomo bahwa hukum adat adalah suatu hukum yang hidup karena ia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat, tetapi belum dikembangkan secara ilmiah.4 hukum adat bisa tertulis bisa juga tidak tertulis yang secara sosiologis senantiasa digunakan dalam hubungan kehidupan antar anggota masyarakat yang bersumber dari adat istiadat atau kebiasaan. Eugen Ehrlich menjelaskan bahwa the living law merupakan seperangkat ketentuan yang kelahirannya bersamaan dengan lahirnya masyarakat. Hukum tidak dapat dilepaskan dari masyarakat. Hukum dibentuk oleh masyarakat, dan hukum berfungsi untuk melayani kepentingan masyarakat. Karenanya, bagi Eugen Ehrlich hukum negara (state law) bukan merupakan sesuatu yang independen dari faktor-faktor kemasyarakatan. Hukum negara harus memperhatikan the living law yang telah hidup dan tumbuh dalam kehidupan

masyarakat.5 Konsep The living law sebelumnya dapat dilihat dari pendapat Friedrich Karl von Savigny sebagai perintis mazhab sejarah, dalam bukunya yang berjudul vom Beruf Unserer Zeit fur Gesetzgebung und Rechtswissenschaft (Tentang Tugas Zaman Kita bagi Pembentuk Undang-Undang dan Ilmu Hukum), antara lain dikatakan: “Das Recht wird nicht gemacht, est ist und wird mit dem volke (hukum itu tidak dibuat, tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat)”. Ajaran Savigny tersebut dilatarbelakangi oleh suatu pandangannya yang menyatakan bahwa di dunia ini terdapat banyak bangsa dan pada tiap bangsa mempunyai volksgeist/jiwa rakyat. Perbedaan ini juga sudah barang tentu berdampak pada perbedaan hukum yang disesuaikan dengan tempat dan waktu. Hukum sangat bergantung atau bersumber pada jiwa rakyat, dan isi hukum itu ditentukan oleh pergaulan hidup manusia dari masa ke masa.6

Hukum adat yang berlaku pada masyarakat hukum adat Kampar disebutkan hukum adat jati Andiko Nan 44. Hukum adat ini masih digunakan untuk mengatur kehidupan masyarakat hukum adat Kampar yang hingga saat masih eksis keberadaannya, sebagaimana hasil penelitian Erman dan Afdhal Rinaldi menjelaskan bahwa secara sosiologis empiris keberadaan Masyarakat Hukum Adat Kampar tidak terbantahkan. Mereka hidup berpuluh-puluh tahun bahkan beratus tahun dalam lingkungan yang ditopang oleh dukungan sumber daya alam yang berlimpah. Mereka memiliki otoritas wilayah berupa tanah, hutan dan air yang didalamnya kaya akan sumber penghidupan. Terdapat pengaturan baik yang berlaku bagi pribadi maupun kelompok. 7 Sumber daya alam yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat di Kabupaten Kampar antara lain berupa hutan adat atau hutan larangan yang terdapat di beberapa wilayah atau kenegerian di Kabupaten Kampar. Hutan adat di Kabupaten Kampar merupakan bagian dari hak ulayat yang dikenal dengan sebutan hutan larangan. Hak ulayat hutan larangan adalah bagian dari ulayat persukuan atau kenegerian yang memiliki hutan. Ulayat hutan larangan yang berada dalam ulayat suku ditetapkan oleh kerapatan suku tersebut dan diketahui oleh seluruh suku negeri. Jika hak ulayat hutan larangan ada di dalam ulayat negeri maka harus diketahui dan disetujui oleh seluruh penghulu negeri tersebut sebagai perwakilan anak kemenakan dalam kerapatan negeri. kegunaan hak ulayat hutan larangan adalah untuk mengantisipasi akan adanya kekurangan kayu, rotan, damar, binatang dan lain sebagainya yang terkandung dalam hutan bagi kelangsungan hidup anak kemenakan di kemudian hari. Wujud nyata Adat Andiko Nan 44 mematuhi hukum yang terdapat dalam Syara’ adalah adanya larangan untuk melakukan kerusakan di muka bumi, sebab manusia diciptakan untuk menjadi pemimpin untuk mengatur dan menjaga kelestarian alam raya.8 Menurut Erman dan Afdhal Rinaldi dalam masyarakat hukum adat di Kabupaten Kampar, hak ulayat memiliki beberapa fungsi, yaitu: pertama

fungsi Identitas Kultural yang mana bagi masyarakat hukum adat Kabupaten Kampar, tanah ulayat dipandang sebagai identitas kultural (cultural identity). Kedua fungsi simbol kedudukan sosial, bagi masyarakat hukum adat Kabupaten Kampar, tanah dijadikan sebagai simbol kedudukan sosial. Ketiga fungsi sumber ekonomi, fungsi lainnya dari tanah ulayat adalah fungsi ekonomi dan mata pencaharian bagi masyarakat tersebut. Fungsi inilah yang banyak mendapat perhatian masyarakat hukum adat Kabupaten Kampar. 9

Hak ulayat hutan larangan yang terdapat di Kabupaten Kampar salah satunya adalah Hutan Adat Imbo Putui seluas 251 Ha terdapat di Kenegerian Petapahan. Hutan adat Imbo Putui ini sudah mendapatkan pengakuan dari Pemerintah pusat melalui Surat Keputusan (SK) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yakni: Surat Keputusan Menteri Lingkungan hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor 7503/MENLHK-PSKL/PKTHA/KUM-1/9/2019 Tentang Penetapan Hutan Adat Imbo Putui Kenegerian Petapahan kepada Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Petapahan Seluas + 251 (Dua Ratus Lima Puluh Satu) Hektare di Desa Petapahan, Kecamatan Tapung, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. SK ini diserahkan langsung oleh Presiden Joko Widodo kepada Kepala Suku yang mengelola Hutan Adat Imbo Putui di Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Syarif Hasyim pada 21 Februari 2020. 10 Pengakuan terhadap hutan adat pada tingkat daerah telah lebih dulu dilakukan melalui Surat Keputusan Bupati Kampar yaitu Keputusan Bupati Kampar Nomor 660-491/X/2018 Tentang Pengakuan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Petapahan dan Pengakuan Hutan Adat Imbo Putui Kenegerian Petapahan Desa Petapahan Kecamatan Tapung Kabupaten Kampar.

Pemanfaatan Hutan Adat Imbo Putui dikelola oleh Masyarakat Hukum Adat berdasarkan hukum adat dan kearifan lokal masyarakat. Berdasarkan pemikiran Djojodigoeno hukum adat merupakan bahan hukum asli Indonesia atau realitas hukum atas berbagai prinsip yang nyata berlaku dalam suatu masyarakat.11 Menurut norma hukum adat mereka, pemanfaatan kayu hanya boleh dilakukan untuk pembuatan jembatan di desa Petapahan, atau fasilitasfasilitas umum lainnya, selain itu juga untuk membangun rumah masyarakat yang kurang mampu ataupun membuat sampan untuk nelayan. Akan tetapi terhadap aktifitas ini tidak dilakukan dengan sembarangan, bagi mereka yang menebang diwajibkan untuk kembali menanam bibit pohon yang mereka tebang tersebut dengan jumlah yang sama.12 Walaupun sudah ada norma hukum adat yang mengatur pemanfaatan hutan adat, namun ada saja anggota masyarakat hukum melakukan penebangan liar pohon-pohon di dalam hutan adat.

Perbuatan tersebut tentu saja bertentangan dengan norma hukum adat yang berlaku. Penebangan liar mengakibatkan kerusakan hutan adat dan berkurangnya keanekaragaman hayati dan ekologi di wilayah Hutan Adat. menurut Datuk Baidarus (Laskar Dubalang) 13 menjelaskan bahwa pelanggaran norma hukum adat yang mengatur pemanfaatan hutan adat yang dilakukan oleh beberapa oknum anggota masyarakat karena faktor ekonomi melakukan penebangan liar terhadap kayu-kayu yang terdapat pada Hutan Adat Imbo Putui tanpa ijin kepala suku yang dihanyutkan melalui sungai pinggiran Hutan Adat Imbo Putui untuk dijual secara komersial. Fenomena di atas terlihat bahwa masih terdapat pelanggaran terhadap norma hukum adat dalam pemanfaatan hutan adat karena alasan faktor ekonomi, oleh sebab itu perlu dilakukan upaya pemanfaatan hutan adat yang tidak merusak hutan akan tetapi dapat meningkatkan perekonomian masyarakat hukum adat.

Penelitian terdahulu dilakukan oleh Hengki Firmanda dengan judul: Hukum Adat Masyarakat Petapahan dalam Pengelolaan Lingkungan Sebagai Upaya Pemenuhan Hak Masyarakat Adat, hasil penelitiannya adalah pengelolaan lingkungan terdiri dari pengelolaan kawasan perairan dan kawasan darat. Kawasan perairan atau sungai digunakan untuk kegiatan mencari hasil-hasil sungai, salah satunya manubo ikan dengan menggunakan alat-alat tradisional dan getah akar pohon karet yang berfungsi untuk membuat ikan menjadi pusing sehingga mudah untuk ditangkap. Kawasan daratan adanya hutan adat yang dikenal dengan sebutan Utan Imbo Putuih, yang dikelola agar menjadi tetap alami hingga saat ini.

Berdasarkan latar belakang di atas peneliti tertarik melakukan penelitian tentang Bagaimanakah Eksistensi Hutan Adat Imbo Putui bagi masyarakat hukum adat di Kenegerian Petapahan Kabupaten Kampar? dan bagaimanakah Model Pemanfaatan dan Pelestarian Hutan Adat Imbo Putui agar dapat meningkatkan ekonomi masyarakat hukum adat di Kenegerian Petapahan Kabupaten Kampar? Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui eksistensi hutan adat Imbo Putui dan norma-norma hukum adat yang mengatur pemanfaatan hutan adat saat ini serta merumuskan model pemanfaatan hutan adat yang dapat meningkatkan perekonomian masyarakat hukum adat di Kenegerian Petapahan.

  • 2.    Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum sosiologis atau empiris. Menurut Muhaimin penelitian hukum empiris adalah salah satu jenis penelitian hukum yang menganalisis serta mengkaji bekerjanya hukum dalam masyarakat. 14 Suteki menjelaskan apabila peneliti memilih pendekatan empiris maka dilakukan melalui pendekatan sosial.15 Lokasi penelitian ini dilakukan di Kenegerian Petapahan. Objek penelitiannya adalah Hutan Adat Imbo Putui Kenegerian Petapahan. Sedangkan subjek penelitian dan atau responden penelitian ini yaitu Pucuk-Pucuk Suku (Kepala Suku) di Kenegerian Petapahan, Masyarakat Hukum Adat di Kenegerian Petapahan dan Pengelola Hutan Adat Imbo Putui dan Ketua Bahtera Alam. Jenis data yang

digunakan adalah data primer dan data sekunder.16 Sumber data primer merupakan data yang diperoleh dari sumber utama. Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan melakukan studi kepustakaan, bahan-bahan hukum yang terdiri dari 3 (tiga), yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Teknik/cara pengumpulan data melalui studi dokumen atau bahan pustaka, dan wawancara mendalam (indepth interview). Analisis yang digunakan adalah analisis metode kualitatif. Menurut Munir Fuady analisis secara kualitatif yaitu analisis yang tidak menggunakan angka-angka dan rumus-rumus statistik, yang dilakukan melalui berbagai cara seperti interview dan komunikasi mendalam (indepth interview).17 Lebih lanjut Soetandyo Wignjosoebroto menjelaskan perihal metode kualitatif dikembangkan untuk mengkaji kehidupan manusia dalam kasus-kasus terbatas. Kasuistis sifatnya, namun mendalam (in-depth) serta bersifat total/menyeluruh (holistic), dalam arti tidak mengenal pemilahan-pemilahan gejala secara konseptual ke dalam aspek-aspeknya yang eksklusif yang kita sebut atau kenal sebagai variabel.18 Penarikan kesimpulan secara induktif yakni penarikan kesimpulan dari hal-hal yang bersifat khusus kepada hal-hal yang bersifat umum.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

Hutan Adat Imbo Putui dahulu dikenal dengan Hutan Larangan Imbo Putui, merupakan hutan adat yang terletak di Desa Petapahan, Kecamatan Tapung, Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Hutan Adat Imbo Putui dalam bahasa Indonesia berarti hutan terputus, ini disebabkan banyak ekosistem hutan yang terputus oleh beberapa aliran sungai di dalam hutan adat ini. Kawasan Hutan Adat Imbo Putui memiliki luas + 250 Ha. Flora dalam kawasan Hutan Adat Imbo Putui memiliki keanegaragaman jenis tumbuhan. Keanekaragaman flora terdiri dari epifit 5 jenis, liana 4 jenis, terna 7 jenis dan pohon 37 jenis. Pohon yang terdapat di Hutan Adat Imbo Putui sebanyak 37 jenis dengan total individu yang ditemukan secara keseluruhan sebanyak 213 individu. Jenis-jenis pohon tersebut yaitu kompas (Kompasia mallensis), trembesi (Samanea saman), tuba, kulim (Scorodorocarpus borneensis), keruing/ makaluang (Dipterocarpus retusus), putaghan, plampayan (Neolamarckia cadamba), puspa (Schima wallichii), kayu agho, cempedak hutan (Artocarpus integer), puniong-puniong, ulin (Eusideroxylon zwageri), tampui, kuras, meranti pirang (Shorea parvifolia), meranti anak, meranti kunyit ((Shorea hamsleyana), lalan, kolek, tapah, suminai, pasak bumi, kuranji (Dialium guineense), garunggang (Cratoxylum spp), gaharu, tembesu, tampui, sonduok-sonduok (Endospermum spp), kayu batu, ubar, towok, kelok keong besi, dan bintangor. Fauna yang terdapat dalam kawasan Hutan Adat Imbo Putui memiliki keanekaragaman jenis mamalia. Ada 16 jenis mamalia, 36 jenis jenis burung, 11 Jenis reptil, dan 4 jenis amfibi, 42 jenis serangga. 19

  • 3.1    Eksistensi Hutan Adat Imbo Putui bagi Masyarakat Hukum Adat di Kenegerian Petapahan Kabupaten Kampar.

Hutan merupakan sumberdaya alam yang cukup potensial serta memiliki peran strategis dalam pembangunan. Karena peran tersebut, konsep pengelolaan hutan di Indonesia bersifat dinamis, sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan yang ingin dicapai. Hutan dapat berfungsi untuk memberikan pelayanan jasa lingkungan sebagai penyerap karbon, perlindungan plasma nutfah, keanekaragaman hayati, dan nilai-nilai estetika yang potensial bernilai ekonomi apabila dilakukan pengelolaan dengan tepat. Hutan tidak hanya berkaitan dengan ekonomi perkayuan saja, tetapi dapat menjangkau berbagai sistem ekonomi, sosial dan budaya yang beranekaragam, serta memiliki potensi untuk pengembangan berbagai bidang ilmu dan teknologi.20 The Food and Agriculture Organization (FAO) pada tahun 1999 sebagaimana dikutif oleh Sofia R Hirakuri mengemukakan bahwa hutan menutupi hampir 25% daratan dunia. Menurut FAO, kira-kira 3454 juta ha permukaan bumi ditutupi hutan, termasuk hutan alam dan hutan tanaman. Sekitar 55% dari hutan dunia terletak di negara berkembang, dengan 45% sisanya di negara maju. Berdasarkan wilayah, Amerika Latin dan Karibia menyumbang 27%, Eropa 27%, Afrika 15%, Amerika Utara 13%, dan Asia/Oseania 18% . Hasil penelitian Sofia R Hirakuri menjelaskan bahwa di Negara Finlandia memiliki tradisi intraksi bersahabat antara manusia dan hutan dikenal dengan “budaya hutan”. Masyarakat Finlandia memiliki nilai positif terhadap hutan, Hutan sangat terkait dengan cara hidup orang Finlandia. Hutan telah memainkan peran penting dalam membentuk ekonomi dan budaya Finlandia. Selain manfaat ekonomi, Finlandia telah menikmati dan menghormati nilai-nilai nonmaterial yang ditawarkan hutan. Ini termasuk kepercayaan, mitos, dan adat istiadat yang berkaitan dengan hutan. Faktanya, hutan tercermin dalam setiap aspek budaya Finlandia, termasuk sastra, musik, dan lukisan. Akan tetapi berbeda dengan masyarakat di Brasil, Bolivia, dan Kosta Rika cenderung memiliki sikap negatif terhadap hutan, dan hutan dipandang sebagai penghalang pembangunan. Padalah hutan hujan Amazon di Brazil memiliki peran penting dalam mitigasi pemanasan global akibat stok karbonnya yang besar, baik dalam biomassa maupun tanah.21

Indonesia sebagai negara yang luas, tanahnya dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah Zona Kawasan Hutan yang terdiri dari 120,6 juta hektar atau sekitar 63% dari luas daratannya. Kelompok kedua adalah kawasan daratan sisanya berupa areal bukan kawasan hutan yang dikenal sebagai Areal Penggunaan Lain (APL). Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.17/Menlhk/Setjen/Kum.1/8/2020 Tentang Hutan Adat dan Hutan Hak, Pasal 4 dijelaskan bahwa Hutan berdasarkan statusnya terdiri atas; Hutan Negara dan Hutan Hak. Sedangkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Kehutanan

menjelaskan Hutan Berdasarkan Statusnya Terdiri Atas: Hutan Negara; Hutan Adat; dan Hutan Hak (Pasal 15).

Berdasarkan penelitian dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), di Indonesia luasan hutan adat yang sudah dipetakan oleh AMAN saat ini adalah 64% dari 7,4 juta hektar wilayah adat. 22 Untuk tingkat daerah misalnya di Kabupaten kampar Provinsi Riau berdasarkan data dari Bahtera Alam, terdapat 7 (tujuh) usulan hutan adat dengan luas total 10.318,5 hektar yang diajukan untuk mendapatkan pengakuan terhadap Masyarakat Hukum Adat dan Hutan Adat yakni, 641 Ha Hutan Adat di Desa Batu Songgan Kenegerian Batu Songgan, 4.414 Ha di Desa Gajah Bertalut Kenegerian Gajah Bertalut, 251 Ha di Desa Petapahan (Hutan Adat Imbo Putui) Kenegerian Petapahan, 1827 Ha di Desa Aur Kuning Kenegerian Aur kunig, 767 Ha Di Desa Terusan Kenegerian Terusan, 156,8 Ha di Desa Kampa Dan Desa Koto Perambahan (Hutan Adat Ghimbo Bonca Lida dan Ghimbo Pomuan) Kenegerian Kampa, dan 1871,7 Ha di Desa Bukit Melintang.23

Hutan Adat Imbo Putui telah mendapat pengakuan dari Pemerintah Daerah melalui Surat Keputusan Bupati Kampar Nomor : 660 – 491/X/2018 Tentang Pengakuan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Petapahan dan Pengakuan Hutan Adat Imbo Putui Kenegerian Petapahan Desa Petapahan Kecamatan Tapung Kabupaten Kampar. Sedangakan pengakuan dari pemerintah pusat adalah melalui Surat Keputusan Nomor 7503/menlhk-PSKL/PTKHA/KUM-1/9/2019 untuk Hutan Adat Imbo Putui kenegerian Petapahan, Kecamatan Tapung, dengan luas 251 hektare.

Hutan Adat Imbo Putui merupakan bagian dari hak ulayat masyarakat hukum adat. hak ulayat merupakan hak historis yang dipunyai oleh kelompok-kelompok suku yang tersebar di wilayah Indonesia yang mengandung nilai kearifan dalam pengaturan, penguasaan, penggunaan, pemanfaatan, persediaan, dan pemeliharaan sumber daya agraria termasuk tanah, setidaknya itu adalah pendapat yang dikemukakan oleh Rudi dan kawan-kawan.24 Menurut Maria S.W. Sumardjono hak ulayat utamanya berkaitan dengan hubungan hukum antara masyarakat hukum adat dengan tanah dalam lingkungan wilayahnya. 25 Hak ulayat di Kabupaten Kampar keberadaan dan kedaulatannya sudah diakui menurut hukum adat secara turun temurun sejalan dengan tumbuh dan berkembangnya adat dalam Pemerintahan Andiko Nan 44. Terdapat 3 (tiga) jenis hak ulayat berdasarkan hukum adat di Kabupaten Kampar yaitu: Hak Ulayat Persukuan, Hak Ulayat Kenegerian, Hak Ulayat Hutan Larangan (Hutan Adat). Hak ulayat persukuan adalah hak ulayat yang dimiliki oleh suku tertentu, misalnya hak ulayat Suku Domo. Hak ulayat kenegerian dapat dikelola dan dimanfaatkan oleh persekutuan masyarakat hukum adat yang terdiri dari anak kemenakan tanpa memandang suku nya dengan cara meminta ijin terlebih

dahulu kepada penghulunya atau kepala adat nya dengan tujuan agar anggota masyarakat hukum adat tidak mengambil hak anggota masyarakat hukum adat yang lain yang telah terlebih dahulu mengelola tanah ulayat tersebut. Tugas penghulu atau kepala adatnya yang memberikan ijin untuk mengelola atas tanah, air dan gurun sebagai wilayah persekutuannya dengan memberi petunjuk batas-batas tanah. Hal ini bertujuan agar adanya ketertiban di dalam masyarakat hukum adat. Orang dari luar persekutuan masyarakat hukum adat yang ingin mengelola tanah ulayat persekutuan, terlebih dahulu meminta ijin kepada penghulu atau kepala adat, ijin diberikan apabila telah diadakan musyawarah dengan semua anggota persekutuan masyarakat hukum adat, dengan memenuhi persyaratan Adat diisi Limbago dituang yang diajukan penghulu atau kepala suku seperti melakukan upacara adat, membayar pancuong ale terhadap persekutuan, jangka waktu pengelolaan tanah ulayat dan sebagainya. Persyaratan Adat diisi Limbago dituang tersebut ditetapkan berdasarkan hukum adat yang berlaku. 26 Hak ulayat hutan larangan di beberapa kenegerian telah diakui eksistensinya oleh negara kemudian dikenal sebagai hutan adat, hutan larangan (hutan adat) bagi masyarakat hukum adat memiliki arti penting tersendiri.

Berdasarkan hasil penelitian Akmal dan Piki Setri Pernantah menjelaskan bagaimana cara pandang masyarakat hukum adat terhadap hutan larangan di Kabupaten Kampar. Pertama; cara pandang berdasarkan faktor ekonomi, sejarah dan sosial. Masyarakat hukum adat di Kenegerian Rumbio secara ekonomi memandang hutan sebagai sumber kehidupan dan cadangan harta kekayaan negeri, terdapat pepatah “kabukik samo-samo mandapek angin ka lugha samo-samo mandapek ayu, di tongah-tongah adalah kehidupan”. Makna dari pepatah ini bahwa ke bukit akan mendapatkan sumber oksigen karena adanya hutan yang asri, di pinggir hutan terdapat sungai yang mengalir untuk mendapatkan air. Oksigen dan air merupakan sumber kehidupan manusia oleh sebab itu masyarakat hukum adat menyadari akan pentingnya menjaga kelestarian hutan dan menyepakati cara-cara untuk menjaga kelestariannya. Cara pandang hutan merupakan cadangan harta kekayaan negeri yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat secara turun-temurun yang dititipkan oleh nenek moyang kepada anak cucu di masa yang akan datang. Cara pandang dari aspek sejarah bahwa hutan larangan merupakan asal usul keberadaan masyarakat hukum adat. hutan larangan menyimpan kesadaran kolektif masyarakat zaman dahulu yang ditinggalkan untuk anak cucu di masa yang akan datang. Hutan larangan menjadi salah satu identitas dan jati diri masyarakat hukum adat. kedua, cara pandang dari faktor kepercayaan, budaya dan tradisi. Cara pandang dari aspek kepercayaan bahwa hutan merupakan kawasan makhluk gaib. Makhluk gaib (jin) membangun pemukiman dan peradaban di hutan larangan, masyarakat hukum adat meyakini hutan larangan merupakan kerajaan makhluk gaib sehingga masyarakat akan berhati-hati untuk memasuki hutan. Masyarakat mengetahui mana bagian hutan yang bisa dimasuki dan mana bagian hutan yang tidak boleh dimasuki oleh manusia. Pandangan masyarakat hukum adat bahwa hutan larangan sebagai bukti adanya adat istiadat dan hukum adat. hutan larangan merupakan tanah pusaka, harta kekayaan negeri dan simbol adanya adat

yang dijunjung tinggi, maka keberadaannya sebagai harga diri, marwah dan jati diri masyarakat hukum adat.27

Pengelolaan hutan larangan (hutan adat) dilakukan berdasarkan hukum adat dan kearifan lokal masyarakat setempat. Menurut C Van Vollenhoven Hukum adat (adatrecht) adalah adat yang mempunyai akibat-akibat hukum. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa jika ada sanksinya yang mengandung paksaan itulah yang dimaksud dengan hukum adat. 28 Soepomo mendefinisikan Hukum Adat sebagai sinonim dari hukum yang tidak tertulis didalam peraturan legislatif, hukum yang hidup sebagai konversi di badan-badan hukum Negara (Parlemen, Dewan Provinsi, dan sebagainya), dan hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahankan di dalam pergaulan hidup, baik di kota maupun di desa-desa. Persfektif Dudu Duswara Machmudin mengatakan bahwa karena wujud tidak tertulis dari hukum adat tersebut membuat masyarakat menganggap bahwa hukum tidak tertulis tersebut lebih mendekati kebenaran materiil dibandingkan dengan hukum tertulis. Hukum tidak tertulis (un-statutery, un-written law, non-sciptum) merupakan hukum yang masih hidup dalam keyakinan dan kenyataan di dalam masyarakat, dianut dan ditaati oleh masyarakat yang bersangkutan.29 Selain itu sejarah juga mencatat bahwa banyak para ahli hukum justru mempelajari hukum adat, salah satunya Van Vollenhoven mengatakan bahwa apabila seseorang ingin mendapatkan pengetahuan dan keterangan tentang hukum yang hidup di bumi ini, justru karena keragaman bentuknya pada zaman lampau dan sekarang, maka keseluruhan aturan pada zaman hindia belanda merupakan sumber hukum yang tidak akan pernah kering untuk dipelajari.30 Terdapat pandangan dasar bahwa hukum adat adalah suatu sistem yang unsur-unsurnya tersusun secara hirarkis dan sistematik karena satu sama lain tidak terlibat dalam pertentangan, membuat hukum adat bekerja dengan bantuan nalar deduktif. Nalar deduktif mengandaikan adanya unsur-unsur tertentu yang abstrak, umum dan tetap yang menjadi rujukan dalam mengambil keputusan. Pada umumnya para ahli hukum adat berpandangan sama bahwa sistem hukum adat memiliki tiga unsur yaitu konsepsi dasar, asas, dan norma. Ketiganya tersusun secara hirarkis yang sekaligus menjelaskan kekuatan validitas. Unsur konsepsi dasar berada pada tingkatan tertinggi pada hirarki tersebut, disusul asas, dan unsur norma pada kedudukan terendah. Konsep dasar dan asas bersifat abstrak dan karena itu dapat berlaku umum (beberapa tempat dan kasus). Adapun norma, bersifat konkret dan karena itu berlaku hanya pada tempat dan kasus tertentu.31

Hukum adat Jati Andiko Nan 44 merupakan hukum warisan dari Pemerintahan Andiko Nan 44 yang telah eksis sejak 2000 tahun lalu dan kemudian mengalami

perubahan. Walau sudah beberapa kali berganti dasar Asas Pemerintahan Andiko Nan 44 mulai dari mengikuti alur nan patut yang hanya memakai adat semata sampai berubah asasnya menjadi Adat bersendi Syara’, Syara bersendi kitabullah sekaligus melahirkan pemerintahan Tali Nan Bapilin Tigo Tongku Sajorangan (adat, Syara’, undang/pemerintah) namun ia tetap menjadi jiwa dari masyarakat Kampar sampai saat ini. Sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Eugen Ehrlich seorang sosiolog hukum dan salah satu tokoh mazhab sociological jurisprudence tidak melihat hukum sebagai suatu aturan yang berada di luar anggota-anggota masyarakat, melainkan diwujudkan dan diungkapkan dalam kelakuan mereka sendiri. Hukum lahir dari kesadaran masyarakat akan kebutuhan atau kepentingannya (opinio necessitates). Kepentingan tersebut bisa dari aspek ekonomi, sosial dan budaya dan aspek lainnya.32 Teori ini kemudian dikenal dengan teori living law yang mana Eugen Ehrlich menjelaskan bahwa “The living law is the law which dominates life itself even though it has not been posited in legal propositions”.33 “hukum yang hidup (the living law) merupakan hukum yang mendominasi kehidupan itu sendiri, walaupun belum dimasukkan ke dalam proposisi hukum” (translasi oleh peneliti). Lebih lanjut Eugen Ehrlich menjelaskan bahwa: “The source of our knowledge of this law is, first, the modern legal document; secondly, direct observation of life, of commerce, of customs and usages, and of all associations, not only of those that the law has recognized but also of those that it has overlooked and passed by, indeed even of those that it has disapproved “.34 The knowledge of the living law has an independent value, and this consists in the fact that it constitutes the foundation of the legal order of human society.35 Sumber pengetahuan kita tentang hukum ini (Living Law) pertama adalah dokumen hukum modern, kedua pengamatan langsung dalam kehidupan, perdagangan, adat dan kebiasaan, dan dari semua perkumpulan, tidak hanya dari mereka yang mengakui hukum ini tetapi juga yang mengabaikannya, bahkan dari yang tidak menyetujuinya. Pengetahuan tentang living law memiliki nilai yang merdeka dan terdiri dari fakta bahwa living law merupakan dasar dari tatanan hukum manusia dalam masyarakat (translasi oleh peneliti).

Hakikat hukum Adat Jati Andiko Nan 44 telah mengkonsepkan hukum ribuan tahun lalu yang dikenal dengan “kato” sebagai pengganti kata Pasal. Salah satu kato menyatakan bahwa suatu kesalahan dalam hukum harus melalui proses pertimbangan hukum sebelum mengambil keputusan untuk mencapai keadilan. Pengambil keputusan akan mengkaji alasan-alasan hukum yang terdapat dalam hukum adat, setelah itu membuat keputusan yang dalam pepatah hukum adat, batunggue basilampiok, basuyio pasin-pasin. Artinya sesuatu keputusan itu harus berdasarkan bainah, ainah, karena dan Ijtihat.36 Kepala Suku mengambil pokok pemikiran dalam membentuk

hukum adat yaitu Rupo Alam, Guno Alam, Condo Alam, dan Seperti Alam. Empat pokok pemikiran tersebut merupakan dasar lahirnya falsafat adat batunggue basilampiok, basuyio pasin-pasin. Terdapat 4 (empat) dasar hukum adat yang paling utama, yang bisa disebut empat aturan Soko Pisoko atau Empat Hontak Soko Pisoko yaitu:37 Adat (Ushalli); Adat Soko; Adat Pisoko; dan Adat Limbago. Melalui empat dasar hukum adat atau empat Hontak Soko Pisoko di ataslah hukum adat dijabarkan kembali menjadi aturan-aturan tambahan dalam hukum adat.

Hukum adat yang mengatur tentang “hukum ulayat” terdiri dari 3 (tiga) pasal (kato), Pasal 1 berbunyi “Ka Ghimbo babungo kayu”, Pasal 2 berbunyi “Kagughun atau ka pulau babungo ompiong” Pasal 3 berbunyi “Ka ayu babungo kaghang. Terkait pengelolaan hutan adat menggunakan Pasal 1. Kata tersebut memiliki makna bahwa segala yang dihasilkan dari hutan dan pengelolaan hutan dalam wilayah adat maka soko baginya ulayat tersebut. Bagi masyarakat hukum ada yang ingin mengambil hasil hutan atau mengolah hutan harus duduok baguru togak batanyo kepada kepala suku yang menguasai ulayat tersebut, dengan tujuan agar masyarakat hukum adat tidak mengambil atau batimpiok (berdempet) hak yang dimiliki masyarakat yang lain yang lebih dahulu diberikan hak menguasai oleh kepala suku, dan bagi orang luaran yang ingin mengolah hutan atau memanfaatkan hutan harus duduok baguru togak batanyo untuk mendapat kata sepakat dari Persekutuan Adat, agar bisa ditetapkan sesuai musyawarah dan mufakat Adat diisi Limbago dituang. Implementasi dari kato tersebut dibuatlah hukum adat yang berbentuk larangan, ajakan, sanksi dalam pemanfaatan Hutan Adat.

Khusus pengelolaan Hutan Adat Imbo Putui menurut Datuk Zulfahmi 38 menjelaskan tentang hukum adat yang berbentuk “larangan” dalam pemanfaatan Hutan Adat Imbo Putui berupa:

  • 1.    Tidak boleh menebang pohon tanpa seijin dari kepala suku yang menguasai Hutan Adat Imbo Putui. Hutan adat merupakan kekayaan alam yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat dapat memberikan manfaat bagi kehidupan masyarakat hukum adat, baik manfaat ekologi, sosial, budaya dan ekonomi secara seimbang dan dinamis. Oleh sebab itu hutan adat harus dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan untuk kehidupan masyarakat hukum adat saat ini dan masa yang akan datang.

  • 2.    Tidak boleh menjual kayu-kayu dari hutan adat secara komersial.

Hakekatnya pemanfaatan hutan adat adalah untuk kepentingan hidup dan kehidupan bersama masyarakat hukum adat, penjualan kayu dari hutan adat secara komersial bertentangan dengan konsep komunal religius yang mengandung makna, bahwa tanah ulayat diyakini sebagai anugerah dari kekuatan gaib dan sebagai milik bersama.

  • 3.    Tidak boleh berburu fauna yang hidup di Hutan Adat Imbo Putui.

Di dalam Hutan Adat Imbo Putui terdapat kehidupan fauna yang beraneka ragam jenisnya. Hewan-hewan langka yang sudah hidup ribuan tahun di dalam Hutan Adat Imbo Putui harus dilestarikan keberadaannya, pemanfaatan yang boleh dilakukan hanyalah untuk kegiatan penelitian bagi hewan-hewan langka yang terdapat di dalam Hutan Adat Imbo Putui.

  • 4.    Tidak boleh memanfaatkan hutan adat tanpa seijin dari kepala suku yang menguasai Hutan Adat Imbo Putui.

Bagi masyarakat hukum ada yang ingin mengambil hasil hutan atau mengolah hutan harus duduok baguru togak batanyo kepada kepala suku yang menguasai ulayat tersebut, dengan tujuan agar masyarakat hukum adat tidak mengambil atau batimpiok (berdempet) hak yang dimiliki masyarakat yang lain yang lebih dahulu diberikan hak menguasai oleh kepala suku, dan bagi orang luaran yang ingin mengolah hutan atau memanfaatkan hutan harus duduok baguru togak batanyo untuk mendapat kata sepakat dari Persekutuan Adat, agar bisa ditetapkan sesuai musyawarah dan mufakat Adat diisi Limbago dituang.

  • 5.    Tidak boleh merusak Hutan Adat dan tumbuh-tumbuhan yang hidup di dalam hutan adat.

Masyarakat hukum adat memiliki kearifan lokal dalam mengelola hutan adat, pemanfaatan hutan adat tidak boleh merusak hutan adat, seperti misalnya apabila mengambil tumbuhan untuk obat-obatan, maka harus dilakukan penanaman kembali.

  • 6.    Tidak boleh memasuki hutan adat tanpa seijin dari pengelola hutan adat.

Larangan untuk memasuki hutan adat tanpa ijin bertujuan untuk menjaga kelestarian hutan adat, di samping itu dalam wilayah hutan adat terdapat tempat-tempat yang boleh dikunjungi oleh manusia, dan terdapat tempat-tempat yang tidak boleh dimasuki oleh sembarangan orang, karena diyakini di dalam hutan adat terdapat pemukiman makhluk gaib, yang apabila dimasuki oleh manusia maka tidak akan menemukan jalan pulang.

  • 7.    Tidak boleh berkata kotor dan berbuat tidak baik di dalam hutan adat yang melanggar norma adat dan norma agama.

Pemanfaatan hutan adat dilakukan berdasarkan hukum adat. Hukum adat yang berlaku adalah “Adat bersendikan Syara’, Syara’ Bersendikan Kitabullah”. Artinya tidak boleh melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan agama yang menjadi sendi dasar dari norma adat.

Sedangkan aturan yang berisi “ajakan” adalah masyarakat hukum adat diminta untuk saling menjaga kelestarian hutan adat, baik flora dan fauna yang hidup, tumbuh di dalam Hutan Adat Imbo Putui.

Ketentuan tentang “sanksi adat” yang diterapkan bagi pihak-pihak yang melanggar aturan hukum adat, Salah satu contoh Keputusan Ninik Mamak Desa Petapahan tentang Imbo Putui Desa Petapahan Nomor 001/141/Ktps-Tp/2014, tahun 2014 dalam Pasal 3 menetapkan tentang Sanksi Adat berbunyi:

  • (1) . Barang siapa yang mengambil kayu atau tanaman di areal Imbo Putui Desa Petapahan yang berukuran diameter 5 cm s/d 20 cm, dikenakan sanksi atau denda sebesar 200 (dua ratus) sak semen per batang.

  • (2) . Barang siapa yang mengambil kayu di Imbo Putui Desa Petapahan yang berukuran diameter 20 cm sampai dengan seterusnya diberikan sanksi atau denda sebesar (lima ratus) sak semen per batang.

Selanjutnya Pasal 4 berbunyi: “sanksi atau denda semen sebagaimana dijelaskan pada Pasal 3 ayat (1) dan (2) dipergunakan untuk keperluan pembangunan Desa Petapahan”.

Keputusan Ninik Mamak tersebut ditindaklanjuti dengan Peraturan Kepala Desa Petapahan Nomor 08/141/Ktps-Tp/2014 tentang Pelaksanaan Keputusan Ninik

Mamak Desa Petapahan Mengenai Imbo Putui Desa Petapahan. Penjatuhan sanksi ini dilakukan oleh kepala suku yang menguasai hutan adat dan masyarakat hukum adat. secara praktek terdapat ketidaktegasan dalam penerapan ketentuan tentang penjatuhan sanksi apabila pelaku memiliki hubungan kekerabatan dengan para kepala suku di Kenegerian petapahan, apalagi pelanggaran dalam penebangan liar itu dilakukan dengan alasan ekonomi keluarga si pelaku.

Saat ini pemanfaatan Hutan Adat Imbo Putui telah mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan masyarakat hukum adat, hutan adat dimanfaatkan untuk wisata alam berupa tempat pemandian di pinggir hutan adat yang dipisahkan antara tempat pemandian laki-laki dan perempuan dan tempat pemandian keluarga, hal ini sesuai dengan hukum adat yang berlaku di Kenegerian Petapahan. Selain itu hutan adat juga dimanfaatkan untuk pusat studi baik studi kehutanan, studi hukum lingkungan, studi hukum adat. Para peneliti datang dari berbagai negara, provinsi dan universitas, berdasarkan keterangan pengelola hutan adat peneliti berasal dari 24 negara salah satunya dari Swedia, WRI (World Resources Institute), dari berbagai universitas dari UNRI, UIN, IPB. Hutan Adat Imbo Putui juga dimanfaatkan untuk budidaya lebah kelulut yang dilakukan oleh masyarakat hukum adat di Desa Petapahan.

  • 3.2 Model Pemanfaatan dan Pelestarian Hutan Adat Imbo Putui agar dapat meningkatkan Ekonomi masyarakat hukum adat di Kenegerian Petapahan Kabupaten Kampar.

Model pemanfaatan dan pelestarian Hutan Adat Imbo Putui berangkat dari paradigma pembangunan yang berkelanjutan yang menjadi konsep pembangunan hampir di sebagian besar negara-negara di dunia. Menurut Bond et al., menjelaskan istilah keberlanjutan (sustainability) di definisikan sebagai pembangunan dari kesepakatan multi dimensional untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik untuk semua orang. Pemahaman lain terhadap konsep berkelanjutan dikemukakan oleh Roderic et al., bahwa berkelanjutan memerlukan pengelolaan tentang skala berkelanjutan ekonomi terhadap dukungan sistem ekologi, pembagian distribusi sumberdaya dan kesempatan antara generasi sekarang dan yang akan datang secara berimbang dan adil serta efisiensi dalam pengalokasian sumberdaya. Di lain kesempatan Dahuri et al., mengemukakan bahwa pembangunan berkelanjutan secara umum dapat dikelompokkan ke dalam empat dimensi yaitu ekologi, sosial ekonomi, sosial politik, serta hukum dan kelembagaan.

Sementara itu, hutan merupakan sumberdaya alam yang cukup potensial dan memiliki peran strategis dalam pembangunan. Dengan peran yang cukup strategis tersebut, konsep pengelolaan hutan di Indonesia bersifat dinamis, sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan yang ingin dicapai. Fungsi hutan dalam pelayanan jasa lingkungan diberikan oleh keberadaan hutan sebagai penyerap karbon, perlindungan plasma nutfah, keanekaragaman hayati, dan nilai-nilai estetika yang potensial bernilai ekonomi apabila dapat dikelola dengan tepat.39

Keberlanjutan dalam pengelolaan hutan tidak saja memperhatikan pada kelestarian saja, tetapi aspek ekologi, ekonomi dan hukum. Berkembangnya kehidupan masyarakat hukum adat maka kebutuhan dan kepentingan terhadap hutan adat juga berkembang, maka perlu dirumuskan suatu konsep pengelolaan hutan adat yang dapat meningkatkan ekonomi masyarakat hukum adat. hal ini bila dikaitkan dengan teori utilitarisme yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham yang menjelaskan bahwa manusia akan bertindak untuk mendapatkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaan.40 Filsuf Ingggris ini dikenal dengan jargonnya the greatest happiness of the greatest number. Jeremy Bentham dalam bukunya An Introduction to the Principles of Morals and Legislation menjelaskan prinsip utilitas adalah “By the principle of utility is meant that principle which approves or disapproves of every action whatsoever. according to the tendency it appears to have to augment or diminish the happiness of the party whose interest is in question”. 41 Aliran pemikiran kaum utilitarian merupakan pendekatan yang dapat digunakan dalam pemanfaatan hutan adat agar dapat meningkatkan perekonomian masyarakat hukum adat di Kenegerian Petapahan Kabupaten Kampar. Aliran ini juga dikenal dengan konsep kemanfaatan. Selain itu untuk merumuskan hukum adat ke depan secara progresif maka dapat menggunakan konsep berfikir hukum progresif sebagaimana dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo yang dikenal dengan gerakan hukum progresif yang salah satu pemikirannya adalah hukum sebagai ajaran kemanusiaan dan keadilan yang mana dasar filosofis dari hukum progresif adalah suatu institusi yang memiliki tujuan untuk mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan bahagia. Asumsi dasar dari hukum progresif “hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya”. Oleh sebab itu maka kelahiran hukum bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang jauh lebih luas untuk harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan dan kemuliaan manusia itu sendiri. Itulah sebabnya jika terjadi suatu permasalahan di dalam hukum, maka hukum tersebut yang harus ditinjau dan diperbaiki, bukan manusianya yang dipaksa untuk dimasukkan dalam skema hukum. Satjipto Rahardjo menjelaskan bahwa pernyataan hukum untuk manusia adalah dalam pengertian hukum hanyalah sebagai “alat” untuk mencapai kehidupan yang adil, sejahtera dan bahagia bagi manusia. Maka menurut hukum progresif, hukum bukanlah tujuan dari manusia, melainkan sebagai alat, oleh sebab itu keadilan subtantif haruslah didahulukan.42

Konsep hukum progresif jika dikaitkan dengan model pemanfaatan dan pelestarian hutan adat imbo putui sebagai upaya penguatan ekonomi masyarakat hukum adat di kenegerian petapahan kabupaten Kampar dapat dilakukan melalui:

  • a.    Penguatan kelembagaan adat sehingga hukum adat pemanfaatan hutan adat dapat diterapkan sebagaimana mestinya.

penguatan kelembagaan adat bertujuan untuk mengoptimalkan eksistensi, peran dan fungsi lembaga adat. Selain itu juga untuk menetapkan norma-norma hukum adat yang strategi implementasi agar dapat dijalankan

secara berkesinambungan dalam upaya melindungi, melestarikan dan memajukan Hutan Adat Imbo Putui.

  • b.    Perluasan jejaring kerjasama baik dengan pemerintah daerah maupun lembaga swadaya masyarakat seperti dalam hal pengawasan bersama dengan dinas kehutanan, promosi hutan adat baik di dalam negeri maupun di luar negeri sebagai pusat studi dan wisata alam.

Kerjasama ini bertujuan untuk menerapkan pengelolaan hutan adat yang berkelanjutan secara sosial, ekologi dan ekonomi untuk memperbaiki kondisi ekosistem dan mata pencaharian masyarakat hukum adat setempat dengan peningkatkan kapasitas para pihak terkait.

  • c.    Meningkatkan sarana dan prasarana untuk menjadikan hutan adat sebagai pusat studi, wisata alam dan budidaya lebah kelulut, budidaya batok untuk minyak sirih.

Untuk melengkapi sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk mengembangan, pemanfaatan dan pelestarian hutan adat perlu adanya dukungan dana baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

  • d.    pemberdayaan masyarakat kawasan hutan agar bersinergi dengan pengelola hutan adat dalam menjaga kelestarian hutan adat dan terlibat dalam berbagai aktifitas yang bernilai ekonomis mengelola hutan adat Imbo Putui seperti kelompok usaha perhutanan sosial (kelompok madu kelulut, kelompok pohon asuh, kelompok eko wisata, kelompok kuliner, kelompok pengrajin).

  • 4 Kesimpulan

Eksistensi Hutan Adat Imbo Putui bagi masyarakat hukum adat di Kenegerian Petapahan Kabupaten Kampar saat ini pemanfaatan Hutan Adat Imbo Putui telah mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan masyarakat hukum adat, hutan adat dimanfaatkan untuk wisata alam berupa tempat pemandian di pinggir hutan adat yang dipisahkan antara tempat pemandian laki-laki dan perempuan dan tempat pemandian keluarga, hal ini sesuai dengan hukum adat yang berlaku di Kenegerian Petapahan. Selain itu hutan adat juga dimanfaatkan untuk pusat studi baik studi kehutanan, studi hukum lingkungan, studi hukum adat. Para peneliti datang dari berbagai negara, provinsi dan universitas, seperti dari Swedia, WRI (World Resources Institute), dari berbagai universitas lainya. Hutan Adat Imbo Putui juga dimanfaatkan untuk budidaya lebah kelulut yang dilakukan oleh masyarakat hukum adat di Desa Petapahan.

Pemanfaatan dan Pelestarian Hutan Adat Imbo Putui agar dapat meningkatkan ekonomi masyarakat hukum adat di Kenegerian Petapahan Kabupaten Kampar seperti: Penguatan kelembagaan adat sehingga hukum adat pemanfaatan hutan adat dapat diterapkan sebagaimana mestinya; Perluasan jejaring kerjasama baik dengan pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat seperti dalam hal pengawasan bersama dengan dinas kehutanan, promosi hutan adat baik di dalam negeri maupun di luar negeri sebagai pusat studi dan wisata alam; Meningkatkan sarana dan prasarana untuk menjadikan hutan adat sebagai pusat studi, wisata alam dan budidaya lebah kelulut, budidaya batok untuk minyak sirih; pemberdayaan masyarakat kawasan hutan agar bersinergi dengan pengelola hutan adat dalam menjaga kelestarian hutan adat dan terlibat dalam berbagai aktifitas yang bernilai

ekonomis mengelola hutan adat Imbo Putui seperti kelompok usaha perhutanan sosial (kelompok madu kelulut, kelompok pohon asuh, kelompok eko wisata, kelompok kuliner, kelompok pengrajin).

Rekomendasi dalam penelitian ini adalah memperkuat komitmen dan kerjasama antara kepala suku, masyarakat hukum adat, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat untuk melestarikan dan mempertahankan eksistensi Hutan Adat Imbo Putui sebagai warisan budaya masyarakat hukum adat Kenegerian Petapahan. Menggunakan berbagai media sosial untuk mempromosikan Hutan Adat Imbo Putui agar dapat mengundang yayasan-yayasan dunia untuk berinvestasi di Hutan Adat Imbo Putui.

Daftar Pustaka

(AMAN), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara. “Apa Itu Hutan Adat.” Accessed September 19, 2021. www.aman.or.id/apa-itu-hutan-adat.

Abubakar, Lastuti. “Revitalisasi Hukum Adat Sebagai Sumber Hukum Dalam Membangun Sistem Hukum Indonesia.” Jurnal Dinamika Hukum 13, no. 2 (2013): 319–31. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.20884/1.jdh.2013.13.2.213.

Ahmal, and Piki Setri Pernantah. “Kajian Masyarakat Adat Rumbio Dan Relevansinya Sebagai Sumber Nilai Dalam Pembelajaran IPS.” Indonesian Journal of Social Science Education        (IJSSE)        3,        no.        1        (2021):        39–54.

https://doi.org/:http://dx.doi.org/10.29300/ijsse.v3i1.44897,.

Alam, Bahtera. “Jalan Panjang Pengembalian Hak Masyarakat Adat Atas Hutan Di Kampar Riau.” 27 Desember 2020. Accessed September 19,  2021.

/bahteraalam.org/2020/12/27/jalan-panjang-pengembalian-hak-masyarakat-adat-atas-hutan-di-kampar-riau.

Anggoro, FB, and Budhi Santoso (ed). “‘Riau Miliki Dua Hutan Adat Yang Diakui Pemerintah.’” 29 Februari 2020. Accessed March 20,   2021.

https://www.antaranews.com/berita/1326538/riau-miliki-dua-hutan-adat-yang-diakui-pemerintah.

Azwar, Budi., Defri Roza, Husni Thamrin, and Elfiandri. “Strategi Keberlanjutan Pengelolaan Hutan Larangan Adat Kenegerian Rumbio Kabupaten Kampar Propinsi Riau.” Dinamika Lingkungan Indonesia 8,  no. 1  (2021):  57–64.

https://doi.org/10.31258/dli.8.1.p.57-64.

Bentham, Jeremy. An Introduction to the Principles of Morals and Legislation. Kitchener: Batoche Books, 2000.

Darussamin, Zikri. “Kewarisan Adat Limo Koto Kampar.” AL-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman          15,          no.          2          (2016):          284–97.

https://doi.org/http://dx.doi.org/10.24014/af.v15i2.4017.

Ehrlich, Eugen. Fundamental Principles of The Sociology of Law. Edited by Taylor and Francis.    Cambridge,    Mass:    Harvard    University    Press,    2017.

https://doi.org/https://dx.doi.org/10.4324/9780203791127.

Erman, and Afdhal Rinaldi. “Kerukunan Dan Kearifan Lokal Dalam Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat Kampar.” Toleransi: Media Ilmiah Komunikasi Umat Beragama      4,      no.       2,      Desember       (2012):       206–28.

https://doi.org/http://dx.doi.org/10.24014/trs.v4i2.951.

Fuady, Munir. Metode Riset Hukum; Pendekatan Teori Dan Konsep. Depok: Rajawali Pers, 2018.

Hadi, Syofyan. “HUKUM POSITIF DAN THE LIVING LAW (Eksistensi Dan Keberlakuannya Dalam Masyarakat).” DiH Jurnal Ilmu Hukum 13, no. 26 (2017): 259–66. https://doi.org/https://doi.org/10.30996/dih.v0i0.1588.

Hidayat, Nur, and Desi Apriani. “Peninjauan Hukum Menurut Hukum Adat Kampar : Sumbangan Dalam Mewujudkan Hukum Yang Responsif Judicial Review According to Kampar Customary Law: Contribution in Making A Responsive Law.”     Jurnal     Konstitusi     19,     no.     1      (2022):     225–46.

https://doi.org/https://doi.org/10.31078/jk1912.

Hirakuri, Sofia R. “Can Law Save the Forest? Lessons from Finland and Brazil.” The Center for International Forestry Research (CIFOR), 2013.

HS, Salim, and Erlies Septiana. Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis Dan Disertasi. Jakarta: Rajawali Pers, 2017.

Kabupaten Kampar, Kenegerian Petapahan. “Dokumen Pengusulan Pengakuan Masyarakat Hukum Adat Dan Hutan Adat”, Kenegerian Petapahan, Desa Petapahan, Kecamatan Tapung.” Kabupaten Kampar, 2018.

Lestari, Rika, and Djoko Sukisno. “Kajian Hak Ulayat Di Kabupaten Kampar Dalam Perspektif Peraturan Perundang-Undangan Dan Hukum Adat.” Jurnal Hukum Ius Quia        Iustum        28,        no.         1         (2021):         1–21.

https://doi.org/10.20885/iustum.vol28.iss1.art5.

Manan, Abdul. Aspek-Aspek Pengubah Hukum. Jakarta: Kencana, 2005.

Muhaimin. Metode Penelitian Hukum. Mataram: Mataram University Press, 2020.

Mukhidin. “Hukum Progresif Sebagai Solusi Hukum Yang Mensejahterakan Masyarakat.” Jurnal Pembaharuan Hukum 1, no. 3, September-Desember (2014): 267–86. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.26532/jph.v1i3.

Nasution, Muhammad Syukri Albani, Zul Pahmi Lubis, Iwan, and Ahmad Faury. Hukum Dalam Pendekatan Filsafat. Jakarta: Kencana, 2016.

Rizani, Rasyid. “Sosiologi Hukum Dalam Pandangan Eugen Ehrlich: Sebuah Teori Living    Law.”    30    Juni    2020.    Accessed    June    26,    2022.

https://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/sosiologi-hukum-dalam-pandangan-eugen-ehrlich-oleh-rasyid-rizani-s-hi-m-hi-30-6.

Rudy, Rudi Wijaya, and Muhammad Amin Putra. Rekognisi Hukum Adat Dan Masyarakat Hukum Adat. Depok: Rajawali Pers, 2021.

S., Hengki Firmanda. “Hukum Adat Masyarakat Petapahan Dalam Pengelolaan Lingkungan Sebagai Upaya Pemenuhan Hak Masyarakat Adat.” Jurnal Fikri 2, no. 1, Juni (2017): 1–26. https://doi.org/10.25217/jf.v2i1.

Sembiring, Rosnidar. Hukum Waris Adat. Depok: Rajawali Pers, 2021.

Simarmata, Rikardo. “Pendekatan Positivistik Dalam Studi Hukum Adat.” Mimbar Hukum       30,       no.       3,       Oktober       (2018):       465–89.

https://doi.org/https://doi.org/10.22146/jmh.37512.

Sulastriyono, Sulastriyono, and Sartika Intaning Pradhani. “Pemikiran Hukum Adat Djojodigoeno Dan Relevansinya Kini.” Mimbar Hukum - Fakultas Hukum Universitas     Gadjah     Mada     30,     no.     3     (2018):     449–64.

https://doi.org/10.22146/jmh.36956.

Suteki, and Galang Taufani. Metode Penelitian Hukum (Filsafat, Teori Dan Praktik). Depok: Rajawali Pers, 2018.

Syarfi, Muhammad., Abdullah, Dt. Marajo Bosau, Nurhidayat, Hasan, and Rina Dianti. Adat Jati Kabupaten Kampar. Pekanbaru: UNRI Press kerjasama dengan Dinas Perhubungan, Pariwisata dan Seni Budaya Kabupaten Kampar, 2007.

Tahali, Ahmad. “Hukum Adat Di Nusantara Indonesia.” Jurnal Syariah Hukum Islam 1, no. 2 (2018): 68–84. https://doi.org/10.5281/zenodo.2019141.

Thontowi, Jawahir, Irfan Nur Rachman, Nuzul Qur’aini Mardiya, and Titis Anindyajati. Aktualisasi Masyarakat Hukum Adat (MHA): Perspektif Hukum Dan Keadilan Terkait Dengan Status MHA Dan Hak-Hak Konstitusionalnya. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2012.

Wignjosoebroto, Soetandyo. “Ragam-Ragam Penelitian Hukum.” In Metode Penelitian Hukum Konstelasi Dan Refleksi, edited by Sulistyowati Irianto and Shidarta, Kedua. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2013.

Peraturan Perundang-Undangan

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Kehutanan menjelaskan Hutan Berdasarkan Statusnya Terdiri Atas: Hutan Negara; Hutan Adat; dan Hutan Hak

Peraturan Kepala Desa Petapahan Nomor 08/141/Ktps-Tp/2014 tentang Pelaksanaan Keputusan Ninik Mamak Desa Petapahan Mengenai Imbo Putui Desa Petapahan

709