Penetapan Berat dan Aturan Pelaksanaan Denda dalam Perundang-undangan dan Implikasinya terhadap Eksekusi Denda oleh Jaksa

Ach. Tahir1, Mahrus Ali2

1Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, E-mail: [email protected]

2Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, E-mail: [email protected]

Info Artikel

Masuk: 27 Mei 2022

Diterima: 6 Juli 2022

Terbit:28 September 2022

Keywords:

Fines; Alternative sanction for an unpaid fine; Proportionality; Execution


Kata kunci:

Denda; Aturan pelaksanaan pidana; Proporsionalitas;

Eksekusi


Corresponding Author:

Mahrus Ali, E-mail: [email protected]

DOI:

10.24843/JMHU.2022.v11.i03.

p06.


Abstract

This study aims to analyze the determination of the severity of criminal finse and their alternative sanction for an unpaid fine in legislations as well as the effectiveness of the execution of fine by the public prosecutor. This research employed both doctrinal and empirical legal research using literature study, interview and document to obtain the data. The result of this research concluded that the weight of fine set by environmental, economic, and financial laws for individual perpetrator varied ranging from fine amounted 5 billion IDR to 200 billion IDR. The system of tightening fine for corporation contained three patterns, namely setting the maximum weight of fine, establishing a system of fine foldable from the primary threat of criminal sanction that is violated, and adding one third and two third of fine from the primary threat of the criminal sanction. The maximum fine for both individual and corporation tended to cause disparity of sentencing and undermine proportionality of punishment. Most of the Laws did not promulgate the alternative sanction for an unpaid fine. Even if it was existed, this alternative did not distinguish for individual and corporation as well as the nature of perpetrator and offense. As a result, the execution of fine by the public prosecutor was ineffective because inmates would rather serve a prison sentence in a relatively short period of time than pay fine.

Abstrak

Studi ini bertujuan untuk menganalisis penetapan beratnya pidana denda dan aturan pelaksanaannya dalam perundang-undangan serta efektifitas eksekusi denda oleh jaksa penuntut umum. Penelitian ini merupakan penelitian hukum doctrinal dan empiris dengan menggunakan studi literatur, wawancara, dan studi dokumen untuk memperoleh data. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa beratnya ancaman denda yang ditetapkan oleh (pembentuk) Undang-undang bidang lingkungan, ekonomi, dan keuangan untuk orang perorangan bervariasi mulai dari denda paling banyak 5 miliar hingga 200 miliar. Sistem pengancaman denda bagi korporasi memuat tiga pola, yaitu menetapkan bobot denda maksimal, menetapkan sistem denda kalilipat dari ancaman pidana pokok yang dilanggar, dan menambahkan 1/3 dan 2/3 denda dari ancaman pidana pokok yang dilanggar. Beragamnya berat denda maksimal bagi orang

perorangan maupun korporasi cenderung menimbulkan disparitas pidana dan melanggar prinsip proporsionalitas pidana. Besarnya denda tersebut juga tidak diikuti dengan aturan pelaksanaan denda. Kalaupun ada aturan pelaksanaan denda, aturan tersebut tidak dibedakan untuk orang perorangan dan korporasi serta tidak disesuaikan dengan karakteristik pelaku dan delik. Akibatnya, eksekusi denda oleh jaksa penuntut umum tidak efektif karena narapidana lebih memilih menjalani pidana penjara dalam waktu yang relatif singkat daripada harus membayar denda

  • 1.    Pendahuluan

Studi ini berfokus kepada penetapan bobot/berat pidana denda (strafmaat) dan aturan pelaksanaannya (strafmodus) dalam perundang-undangan di luar KUHP dan implikasinya terhadap eksekusi pidana denda yang dijatuhkan hakim oleh jaksa penuntut umum. Beratnya sanksi mengacu kepada ancaman pidana maksimal denda untuk tiap-tiap delik dalam suatu Undang-undang baik bagi subjek delik orang perorangan maupun korporasi. Aturan pelaksanaan pidana denda berkenaan dengan alternatif yang disediakan oleh pembentuk Undang-undang dalam hal orang perorangan atau korporasi yang dijatuhi pidana denda ternyata tidak mampu/tidak mau membayar denda tersebut.

Penetapan sanksi pidana dalam perundang-undangan harus memuat jenis pidana (strafsourt), berat/bobot pidana (strafmaat), dan aturan pelaksanaan pidana (strafmodus) sekaligus. 1 Ketidaklengkapan di dalam mengatur ketiga hal tersebut akan menimbulkan masalah dalam penegakan hukum pidana pada tahap aplikasi maupun tahap eksekusi.2 Untuk menghindari adanya masalah dalam mengeksekusi pidana denda oleh jaksa penuntut umum, pembentuk Undang-undang perlu membedakan antara aturan pelaksanaan pidana denda bagi orang perorangan dan korporasi. 3 Aturan pelaksanaan tersebut tidak membuka peluang bagi narapidana untuk tidak membayar denda yang dijatuhkan hakim. Selain itu, ketiadaan aturan ini menjadikan ancaman denda yang besar sekalipun tidak akan efektif karena secara otomatis berlaku ketentuan Pasal 30 ayat (2) KUHP tentang pidana kurungan pengganti pidana denda.4

Riset-riset terdahulu terkait eksistensi pidana denda telah dilakukan, tapi kajiannya hanya diarahkan kepada Undang-undang tertentu seperti kepada formulasi denda dan

uang pengganti dalam perkara korupsi,5 formulasi denda bagi korporasi yang tidak membayar denda dalam tindak pidana korupsi,6 aplikasi penjatuhan denda pasca keluarnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyelesaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP,7 dan formulasi denda dalam RUU KUHP.8 Tidak satupun dari riset-riset tersebut yang diarahkan kepada kesesuaian antara penetapan aturan pelaksanaan denda dengan karakteristik pelaku orang perorangan ataupun korporasi9 dan tindak pidana serta pelaksanaan denda oleh jaksa penuntut umum pada tahap eksekusi. Oleh karena itu, penting untuk diriset secara lebih mendalam mengenai penetapan bobot dan aturan pelaksaan denda dalam Undang-undang dan implikasinya terhadap eksekusi denda oleh jaksa penuntut umum.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis kebijakan penetapan bobot pidana denda (strafsourt) dalam perundang-undangan, sesuai tidaknya penetapan aturan pelaksanaan pidana denda (strafmodus) dalam perundang-undangan dengan karakter pelaku dan tindak pidana, dan implikasi dari pengaturan atau ketiadaan pengaturan aturan pelaksanaan pidana denda terhadap eksekusi denda oleh Jaksa Penuntut Umum.

  • 2.    Metode Penelitian

Riset ini menggunakan penelitian hukum doktinal dan penelitian hukum non-doktrinal/empiris. Tipe penelitian yang pertama berfokus kepada norma hukum tentang bobot dan aturan pelaksanaan pidana denda dalam sejumlah Undang-undang. Untuk menganalisis dan membatasi ruang lingkup objek riset, sejumlah Undang-undang bidang lingkungan hidup, ekonomi dan keuangan di luar KUHP yang mengatur pidana denda dijadikan sebagai bahan hukum primer. Undang-undang bidang lingkungan hidup yang dikaji meliputi Undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, Undang-undang Penataan Ruang, Undang-undang Perkebunan, Undang-undang Pertambangan, dan Undang-undang Perikanan, sedangkan Undang-undang bidang ekonomi dan keuangan yang diteliti antara lain Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-undang Perbankan, Undang-undang Pasar Modal, Undang-undang Perdagangan Orang, Undang-undang Narkotika, dan Undang-undang Transfer Dana. Pendekatan perundang-undangan digunakan sebagai konsekuensi dari tipe penelitian hukum normatif yang fokus utamanya adalah para kajian norma hukum dalam perundang-undangan. Untuk mempertajam analisis, pendekatan konseptual terutama mengenai karakteristik denda, subjek delik orang perorangan dan korporasi digunakan dalam penelitian ini.

Penelitian hukum empiris diarahkan kepada praktik eksekusi pidana denda oleh jaksa penuntut umum. Peneliti telah melakukan wawancara dengan jaksa selaku eksekutor pidana denda dan terpidana yang dijatuhi denda. Hasil dari wawancara ini digunakan untuk mengetahui eksekusi pidana denda dan preferensi apakah terpidana membayar pidana denda atau justru memilih alternatif sanksi yang lain. Dokumen putusan pengadilan dan eksekusi denda oleh jaksa penuntut umum dikumpulkan dan dianalisis terutama tentang besaran denda dan alternatifnya yang dijatuhkan hakim dan kemudian dikaitkan dengan preferensi terpidana. Dokumen tersebut dibatasi hanya kepada perkara tindak pidana narkotika dengan pertimbangan bahwa perkara tersebut adalah perkara paling banyak ditangani oleh kejaksaan dibandingkan dengan perkara tindak pidana lainnya. Hasil kajian terhadap norma hukum, wawancara, dan dokumen eksekusi denda dianalisis secara kualitatif.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1.    Penetapan Beratnya Ancaman Denda dalam Perundang-undangan

Dari 6 (enam) Undang-undang bidang lingkungan hidup yang diteliti, 5 (lima) Undang-undang yang menetapkan jenis dan berat/bobot pidana denda baik bagi orang perorangan maupun korporasi. UU PPLH tidak menetapkan jenis sanksi pidana bagi badan usaha yang melakukan kejahatan yang diatur mulai Pasal 98 hingga Pasal 115. Hal yang justru diatur adalah pidana tambahan atau tindakan tata tertib terhadap badan usaha berupa; a) perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; b) penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan; c) perbaikan akibat tindak pidana; d) pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau e) penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun (Pasal 119). Pidana tambahan merupakan pidana yang tidak mandiri (dependent criminal sanction) di mana penjatuhannya bergantung kepada pidana pokok. Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana tambahan tanpa berbarengan dengan pidana pokok.

Berat denda yang diancamkan bagi orang perorangan dan sistem pengancamannya khususnya bagi korporasi terlihat pada tabel 1 di bawah ini:

Tabel 1. Jumlah Maksimal Denda dalam UU bidang Lingkungan

UU                         Denda

PPLH

PPPH


  •    Orang perorangan: Denda paling banyak Rp. 15 miliar.

  •    Korporasi: Tidak diatur pidana pokok bagi korporasi

  •    Orang perorangan: Denda paling banyak Rp. 100 miliar.

  •    Korporasi: Denda paling banyak 1 triliun

    Penataan Ruang

    Perkebunan

    Pertambangan

    Perikanan


Orang perorangan: Denda paling banyak Rp. 5 miliar.

  •    Korporasi: Denda dikalilipat tiga kali dari ancaman pidana pokok

  •    Orang perorangan: Denda paling banyak Rp. 10 miliar dan ditambah 1/3 bagi pejabat.

  •    Korporasi: Denda ditambah 1/3 dari ancaman pidana pokok

  •    Orang perorangan: Denda paling banyak Rp. 10 miliar.

  •    Korporasi: Denda ditambah 1/3 dari ancaman pidana pokok

  •    Orang perorangan: Denda paling banyak Rp. 20 miliar dan ditambah 1/3 bagi pejabat

  •    Korporasi: Denda ditambah 1/3 dari ancaman pidana pokok

Sumber: diolah oleh peneliti

Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa berat denda bagi orang perorangan ternyata bervariasi, mulai dari paling banyak 5 miliar, 10 miliar, 20 miliar hingga 100 miliar. Sistem pengancaman denda bagi korporasi memuat tiga pola, yaitu; 1) menetapkan berat denda maksimal sebagaimana dalam UU PPPH; 2) menetapkan sistem denda kalilipat dari ancaman pidana pokok yang dilanggar sebagaimana dalam UU Penataan Ruang; dan 3) penambahan 1/3 denda dari ancaman pidana pokok yang dilanggar sebagaimana dalam UU Perikanan, UU Pertambangan, dan UU Perkebunan.

Undang-undang bidang ekonomi dan keuangan juga mengatur jenis dan berat pidana denda baik bagi orang perorangan maupun korporasi, kecuali UU Pasar Modal dan UU Perbankan. Meskipun UU Pasar Modal mengakui keberadaan korporasi sebagai salah satu subjek delik,10 tapi ancaman pidana dirumuskan secara kumulatif baik antara pidana penjara dan denda11 maupun antara pidana kurungan dan denda.12 Dengan perumusan yang demikian, korporasi dengan karakteristiknya yang khas tidak mungkin dijatuhi denda dan penjara atau denda dan kurungan sekaligus. 13 Sementara itu, UU Perbankan tidak memiliki formulasi sanksi pidana khusus bagi korporasi. Undang-Undang ini mengakui korporasi sebagai subjek tindak pidana, meskipun secara eksklusif terbatas pada perbuatan "mengumpulkan dana dari masyarakat dalam bentuk deposito tanpa izin usaha dari Kepala Bank Sentral Indonesia", sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46. Sayangnya, tidak ada sanksi pidana yang secara eksplisit untuk korporasi. Kumulasi penjara dan denda tidak dapat dikenakan pada korporasi. Kurungan dan/atau denda dapat dikenakan bagi Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang lalai memberikan informasi sebagaimana

diatur dalam Pasal 48 ayat (2) UU tersebut. Secara lebih rinci, berat pidana denda dalam UU bidang ekonomi dan keuangan tergambar pada Tabel 2 di bawah ini:

Table 2. Jumlah Maksimal Denda dalam UU Bidang Ekonomi dan Keuangan

UU

Denda

Anti-Korupsi

  • •  Orang perorangan: Denda paling banyak Rp. 1 miliar.

  • •  Korporasi: Denda ditambah 1/3 dari ancaman pidana

TPPU

pokok.

•  Orang perorangan: Denda paling banyak Rp. 10 miliar.

Perbankan

  • •  Korporasi: Denda paling banyak Rp. 100 miliar.

  • •  Orang perorangan: Denda paling banyak Rp. 200

miliar.

Pasar modal

  • •  Korporasi: Tidak diatur pidana pokok bagi korporasi

  • •  Orang perorangan: Denda paling banyak Rp. 15 miliar.

Perdagangan

  • •  Korporasi: Tidak diatur pidana pokok bagi korporasi

  • •  Orang perorangan: Denda paling banyak Rp. 5 miliar.

orang

•  Korporasi: Denda dikalilipat tiga kali.

Narkotika

•  Orang perorangan: Denda paling banyak Rp. 20 miliar.

Transfer Dana

  • •  Korporasi: Denda dikalilipat tiga kali.

  • •  Orang perorangan: Denda paling banyak Rp. 20 miliar.

•  Korporasi: Denda ditambah 2/3.

Sumber: diolah oleh peneliti

Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa berat denda maksimal bagi orang perorangan untuk tiap-tiap Undang-undang juga bervariasi. Terdapat denda paling banyak hanya sebesar Rp. 1 miliar sebagaimana diatur dalam UU Anti-korupsi, tapi ada berat denda paling banyak dalam jumlah yang sangat besar, yaitu Rp. 100 miliar sebagaimana diatur dalam UU TPPU dan Rp. 200 miliar sebagaimana diatur dalam UU Perbankan. Sistem pengancaman denda bagi korporasi juga tidak seragam. Ada tiga pola yang digunakan pembentuk Undang-undang, yaitu; 1) menetapkan berat denda maksimal sebagaimana dalam UU TPPU; 2) menetapkan sistem denda kalilipat dari ancaman pidana pokok yang dilanggar sebagaimana dalam UU Narkotika,dan UU Perdagangan Orang; dan 3) penambahan 1/3 denda dari ancaman pidana pokok yang dilanggar sebagaimana dalam UU Anti-Korupsi dan 2/3 sebagaimana dalam UU Transfer Dana.

Beragamnya berat denda maksimal ini baik dalam Undang-undang bidang lingkungan hidup maupun bidang ekonomi dan keuangan berpotensi menimbulkan disparitas pidana oleh hakim. 14 Secara konseptual, disparitas pidana diartikan sebagai ‘Penerapan sanksi pidana yang tidak setara untuk tindak pidana yang sama atau tindak pidana-tindak pidana yang sebanding tanpa dasar pembenaran yang jelas’.15 Hal ini juga terjadi pada pengenaan hukuman bagi orang-orang yang melakukan tindak pidana secara bersama-sama. Disparitas tersebut memiliki dampak yang signifikan terhadap isi keseimbangan konstitusional antara kebebasan individu dan

hak negara untuk menghukum.16 Dalam kasus korupsi tersebut, Mahkamah Agung melalui Putusan Mahkamah Agung Nomor 536 K/Pid.Sus/2019 menghukum Ety Kurniasih sebesar Rp 50 juta atas pelanggaran Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sementara itu, Putusan Pengadilan Nomor 637/Pid.Sus/2019/PN. JMB menghukum Rohim sebesar Rp 1 miliar karena melakukan tindak pidana pencucian uang sebagaimana dijerat Pasal 3 Undang-Undang Anti Pencucian Uang. Denda yang dijatuhkan hakim dalam kasus pencucian uang 19 kali lebih tinggi dari kasus korupsi. Kondisi tersebut disebabkan oleh pelanggaran prinsip proporsionalitas oleh legislatif di mana denda maksimal UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi hanya Rp 1 miliar dibandingkan dengan Undang-undang Anti Pencucian Uang sebesar Rp 10 miliar.

Beragamnya berat denda maksimal untuk tiap-tiap Undang-undang yang dikaji juga cenderung melanggar prinsip proporsionalitas pidana. Prinsip ini menegaskan bahwa berat-ringannya ancaman pidana (denda) harus sepadan dengan seriusitas kejahatan.17 Delik-delik yang serius harus diancam dengan pidana denda yang berat, sedangkan delik-delik ringan harus diancam dengan pidana yang ringan.18 Dalam konteks ini, penetapan berat pidana denda dalam UU bidang lingkungan hidup melanggar prinsip ini. Ditemukan berat denda yang tidak proporsional terhadap delik-delik materiil yang akibatnya berupa timbulnya kematian. Pasal 98 ayat (3) UU PPLH menetapkan bobot denda paling banyak Rp. 15 miliar bagi ‘setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan orang luka berat atau mati’, sedangkan Pasal 70 ayat (4) UU Penataan Ruang menetapkan denda paling banyak Rp. 5 miliar bagi ‘setiap orang yang memanfaatkan ruang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang yang mengakibatkan kematian orang’. Kedua delik ini merupakan delik materiil, tapi berat maksimal denda yang diancamkan tidak proporsional. Bahkan terdapat delik yang dirumuskan secara formil dalam Pasal 99 ayat (3) UU PPPH,19 tapi ancaman dendanya jauh lebih berat, yaitu 1 triliun sehingga tidak mencerminkan proporsionalitas pidana.

Berat pidana denda dalam Undang-undang bidang ekonomi dan keuangan juga tidak proporsional. Berat denda bagi ‘setiap orang yang secara melawan hukum merusak Sistem Transfer Dana’ adalah paling banyak Rp. 20 miliar sebagaimana dalam Pasal 84 Undang-undang No. 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana. Dalam UU Anti-Korupsi,

berat pidana paling banyak hanya sebesar Rp. 1 miliar bagi ‘orang perorangan atau korporasi yang melawan hukum memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara’. Bahkan terdapat berat pidana denda yang sangat besar Rp. 200 miliar bagi ‘anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja menghilangkan atau tidak memasukkan atau menyebabkan tidak dilakukannya pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank’ sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (1) huruf b UU Perbankan. Dari ketiga delik tersebut, delik materiil dalam UU Anti-Korupsi justru diancam dengan denda yang paling ringan dibandingkan dengan dua delik lainnya yang dirumuskan sebagai delik formil sehingga tidak sesuai dengan prinsip proporsionalitas.

  • 3.2.    Aturan Pelaksanaan Denda dalam Perundang-undangan

Aturan pelaksanaan denda berkaitan erat dengan bagaimana jumlah denda yang dijatuhkan hakim bisa dibayar oleh terpidana dan dieksekusi oleh jaksa penuntut umum. Dari 13 (tiga belas) Undang-undang yang dikaji, hanya UU PPPH, UU TPPU dan UU Narkotika mengatur aturan pelaksanaan ini, sedangkan UU yang lain justru tidak mengaturnya sebagaimana terlihat pada tabel 3 di bawah ini:

Table 3. Aturan Pelaksanaan Denda dalam UU bidang Lingkungan, Ekonomi, dan Keuangan

UU

Aturan Pelaksanaan Denda

PPLH

Tidak diatur

a. Orang perorangan: Terdakwa dikenai hukuman penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman

PPPH

maksimum dari pidana pokok sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini

b. Korporasi: tidak diatur

Penataan Ruang Perkebunan Pertambangan Perikanan Anti-Korupsi

Tidak diatur

Tidak diatur

Tidak diatur

Tidak diatur

Tidak diatur

  • a.    Orang perorangan: Diganti dg pidana kurungan paling lama 1 tahun 4 bulan

  • b.    Korporasi:

  • Diganti dengan perampasan Harta Kekayaan milik Korporasi atau Personil Pengendali Korporasi yang

TPPU

nilainya sama dengan putusan pidana denda yang dijatuhkan.

Jika tidak mencukupi, pidana kurungan pengganti denda dijatuhkan terhadap Personil Pengendali Korporasi dengan memperhitungkan denda yang telah dibayar

Perbankan

Tidak diatur

Pasar modal Perdagangan orang

Narkotika

Transfer Dana


Tidak diatur

Tidak diatur

  • a.    Orang perorangan: Dijatuhi pidana penjara paling lama 2 thn (Pasal 148)

  • b.    Korporasi: tidak diatur

Tidak diatur

Sumber: diolah oleh peneliti

Ketiadaan pengaturan mengenai aturan pelaksanaan denda akan menimbulkan masalah dalam penegakan hukum di tahap eksekusi terutama ketika jaksa penuntut umum akan mengeksekusi jumlah denda yang telah dijatuhkan hakim kepada terpidana. Ketidakmampuan terpidana untuk membayar denda tersebut menjadikan bobot denda yang besar sekalipun tidak akan efektif eksekusinya karena ketiadaan aturan pelaksanaan ini. Padahal, Pasal 103 KUHP menegaskan bahwa apabila Undang-undang di luar KUHP ingin mengatur ketentuan mengenai sanksi pidana yang menyimpang dari KUHP, bentuk dan tata cara pelaksanaannya harus diatur secara lengkap di Undang-undang yang bersangkutan. Dalam Undang-undang tersebut tidak mengatur secara lengkap, maka Pasal 1 hingga 85 KUHP berlaku. Dalam konteks ini, ketiadaan aturan pelaksanaan denda dalam pelbagai UU yang diteliti berimplikasi kepada berlakunya ketentuan Pasal 30 ayat (2) KUHP mengenai pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan sebagai pengganti denda yang tidak dibayarkan terpidana. Secara pragmatis, terpidana akan memilih untuk menjalani pidana kurungan daripada harus membayar denda dalam jumlah yang sangat besar yakni Rp. 200 miliar sebagaimana dalam UU Perbankan.

Alternatif pidana kurungan bagi terpidana yang tidak membayar denda menimbulkan masalah hukum apabila diterapkan kepada korporasi. Kebanyakan Undang-undang yang dikaji justru mengakui korporasi subjek delik yang bisa melakukan tindak pidana. Tiga pola yang digunakan oleh pembentuk Undang-undang dalam merumuskan ancaman denda bagi korporasi yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya menjadi tidak dapat dieksekusi sehingga keberadaannya tidak efektif. Sebagai kumpulan dari harta kekayaan yang terpisah dari kekayaan pengurus, korporasi tidak bisa melakukan aktifitas tanpa melalui perantara pengurusnya. Korporasi juga hanya bisa melakukan tindak pidana melalui perantara pengurus yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi.20 Oleh karena itu, sanksi pidana yang dapat dijatuhkan dan dieksekusi adalah pidana denda sebagai pidana badan, pencabutan izin korporasi, penutupan seluruh atau Sebagian usaha korporasi, perampasan keuntungan korporasi dari melakukan tindak pidana, dan sanksi pidana lain yang secara khusus bagi korporasi. Dalam konteks ini, alternatif pidana kurungan sebagai pengganti pidana denda tidak mungkin bisa dijatuhkan dan dijalankan oleh korporasi. Karakter korporasi sebagai pelaku delik tidak diperhatikan pembentuk Undang-undang.

Undang-undang yang mengatur mengenai aturan pelaksanaan denda juga masih menimbulkan beberapa persoalan hukum. Pertama, skema yang disediakan pembentuk Undang-undang bagi orang perorangan yang tidak membayar denda masih belum diorientasikan kepada karakteristik pelaku dan tindak pidana lingkungan, ekonomi, dan keuangan. Pelaku pada Undang-undang bidang ini merupakan makhluk rasional yang menimbang antara keuntungan yang diperoleh dan kerugian yang dialami saat dan setelah melakukan kejahatan.21 Dengan jumlah denda maksimal sebesar Rp. 100 miliar yang bisa dijatuhkan hakim kepada pelaku tindak pidana PPPH, pelaku akan lebih memilih menjalani pidana yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokok. Selain itu, frase ‘dijatuhi pidana penjara paling lama 2 tahun’ sebagai alternatif denda yang tidak dibayar oleh pelaku tindak pidana narkotika merupakan alternatif sanksi yang menyulitkan jaksa untuk mengeksekusi denda yang dijatuhkan hakim. Dalam hal hakim menjatuhkan denda sebesar Rp. 20 miliar kepada pelaku tindak pidana narkotika yang apabila denda tidak dibayar diganti dengan pidana penjara paling lama 4 bulan, secara rasional pelaku akan memilih menjalani pidana penjara selama 4 bulan daripada harus membayar denda dalam jumlah yang besar.

Kedua, UU PPPH dan UU Narkotika tidak mengatur mengenai aturan pelaksanaan denda bagi korporasi. Ketiga, aturan pelaksanaan denda bagi korporasi dalam UU TPPU belum sepenuhnya mengacu kepada karakter korporasi dan kekhasan tindak pidananya. Frase ‘jika tidak mencukupi, pidana kurungan pengganti denda dijatuhkan terhadap Personil Pengendali Korporasi dengan memperhitungkan denda yang telah dibayar’ menunjukkan bahwa alternatif sanksi sebagai aturan pelaksanaan denda masih berorientasi kepada orang meskipun hal itu sebenarnya ditujukan kepada korporasi.

Aturan pelaksanaan denda bagi korporasi harus disesuaikan dengan karakteristik pelaku dan tindak pidana korporasi. Tindak pidana korporasi adalah tindak pidana yang dilakukan oleh pengurus baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan bertindak untuk dan atau atas nama korporasi baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama.22 Korporasi yang melakukan suatu tindak pidana umumnya diarahkan untuk mendapatkan keuntungan ekonomis, sejalan dengan tujuan pembentukannya. Keuntungan yang diperoleh korporasi bisa dalam jumlah yang sangat besar. Tindak pidana oleh korporasi seringkali mengakibatkan timbulnya kerugian dalam jumlah yang sangat besar yang dialami oleh banyak orang. 23 Dengan karakteristik yang demikian, dalam hal korporasi tidak membayar denda yang dijatuhkan hakim kepadanya karena terbukti bersalah melakukan tindak pidana, perampasan aset

korporasi merupakan alternatif yang paling rasional.24 Apabila aset korporasi yang dirampas tersebut masih belum memenuhi jumlah denda yang wajib dibayarkan kepada negara, pembentuk bisa membuat skema pembayaran denda harian bagi korporasi.25 Korporasi dapat mencicil pembayaran denda yang dijatuhkan hakim.

  • 3.3.    Eksekusi Denda oleh Jaksa Penuntut Umum: Analisis terhadap Perkara Tindak Pidana Narkotika

Aturan pelaksanaan denda dalam Undang-undang ternyata berimplikasi kepada kesuksesan eksekusi denda oleh jaksa penuntut umum. Meskipun Undang-undang sudah menetapkan aturan pelaksanaan denda bagi orang perorangan tapi jika skema yang disediakan masih belum diorientasikan kepada karakter pelaku dan tindak pidana, hal itu ternyata berkorelasi dengan preferensi terpidana untuk memilih membayar denda atau menjalani alternatif sanksi yang disediakan pembentuk Undang-undang dalam hal denda tidak dibayar. Dalam praktik, jaksa penuntut umum selalu menanyakan kepada terpidana, apakah akan membayar denda yang dijatuhkan hakim ataukah memilih untuk menjalani pidana penjara/kurungan dalam waktu yang relatif singkat sesuai dengan ketentuan tiap-tiap Undang-undang yang mengatur alternatif sanksi dalam hal denda tidak dibayar oleh terpidana. Terpidana kemudian diminta untuk mengisi berita acara (kode administrasi adalah D/2) terkait pilihan dimaksud. Dalam hal terpidana memilih untuk membayar denda, denda tersebut harus dibayar paling lambat satu bulan setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Jika memilih untuk menjalani pidana penjara/kurungan, maka jaksa akan berkoordinasi dengan petugas Lembaga Pemasyarakatan terkait teknis eksekusinya.26

Secara lebih rinci, di bawah ini adalah data perkara tindak pidana narkotika yang telah berkekuatan hukum tetap dan praktik eksekusi denda oleh jaksa penuntut umum. Dari Oktober 2019 hingga Mei 2022, terdapat 57 perkara tindak pidana narkotika yang diputus Pengadilan Negeri Ungaran. Denda yang dijatuhkan bervariasi, yaitu; 1) 800.000.000; 2) 1.000.000.000; 3) 1.200.000.000; 4) 1.500.000.000; 4) 2.000.000.000; 5) 3.000.000.000; dan 6) 10.000.000.000. Alternatif denda yang dijatuhkan hakim rata-rata 1 bulan hingga 6 bulan penjara. Dari 57 perkara tersebut, tidak ada satupun narapidana yang memilih untuk membayar denda. Semuanya memilih untuk menjalani pidana penjara dalam waktu singkat. Salah satu terpidana berpendapat bahwa denda 10 miliar yang dijatuhkan hakim lebih baik digunakan untuk tambahan modal usaha daripada dibayarkan ke kas negara. Ia memilih untuk menjalani pidana penjara selama 4 bulan. Selain karena waktunya yang relatif singkat, juga karena semua kebutuhan pokok selama di Lembaga Pemasyarakatan sudah ditanggung oleh negara. 27 Sementara itu, putusan pidana oleh Pengadilan Negeri Mungkid dan

eksekusinya oleh jaksa penuntut umum juga terlihat pada tabel 4 di bawah ini sebagai berikut:28

Table 4. Eksekusi Denda oleh Jaksa Penuntut Umum

No. Putusan

Besaran Denda

Alternatif Denda

Preferensi Terpidana

Eksekusi

14/Pid.Sus/2017/PN.Mkd

R∩∩ info

2 bulan

Memilih

Tidak

800 juta

penjara

penjara

berhasil

76/Pid.Sus/2017/PN.Mkd

R∩∩ i11⅛

4 bulan

Memilih

Tidak

800 juta

penjara

penjara

berhasil

77/Pid.Sus/2017/PN.Mkd

R∩∩ hι⅛

4 bulan

Memilih

Tidak

800 juta

penjara

penjara

berhasil

218/Pid.Sus/2017/PN.Mkd

1 M

1 bulan

Memilih

Tidak

penjara

penjara

berhasil

243/Pid.Sus/2017/PN.Mkd

R∩∩

800

1 bulan

Memilih

Tidak

penjara

penjara

berhasil

54/Pid.Sus/2018/PN.Mkd

1M

3 bulan

Memilih

Tidak

penjara

penjara

berhasil

74/Pid.Sus/2018/PN.Mkd

1M

2 bulan

Memilih

Tidak

penjara

penjara

berhasil

155/Pid.Sus/2018/PN.Mkd

1 M

1 bulan

Memilih

Tidak

penjara

penjara

berhasil

169/Pid.Sus/2018/PN.Mkd

R∩∩

800

2 bulan

Memilih

Tidak

penjara

penjara

berhasil

181/Pid.Sus/2018/PN.Mkd

R∩∩

800

2 bulan

Memilih

Tidak

penjara

penjara

berhasil

222/Pid.Sus/2018/PN.Mkd

2 bulan

Memilih

Tidak

penjara

penjara

berhasil

19/Pid.Sus/2019/PN.Mkd

3 bulan

Memilih

Tidak

penjara

penjara

berhasil

192/Pid.Sus/2018/PN.Mk

6 bulan

Memilih

Tidak

penjara

penjara

berhasil

248/Pid.Sus/2018/PN.Mkd

1 M

2 bulan

Memilih

Tidak

penjara

penjara

berhasil

Sumber: diolah oleh peneliti

Tabel 4 di atas menunjukkan bahwa dari 14 putusan hakim yang menjatuhkan denda kepada terdakwa perkara tindak pidana narkotika, alternatif sanksi yang disediakan dalam hal terpidana tidak membayar denda adalah pidana penjara dalam waktu yang relatif pendek, yakni paling lama 6 bulan. Lebih dari 50% pidana penjara yang dijatuhkan hakim sebagai pengganti denda yang tidak dibayar rentang waktunya 1 (satu) hingga 2 (bulan). Hal yang menarik adalah bahwa tidak ada satupun dari mereka setelah menjadi narapidana yang membayar denda yang dijatuhkan hakim. Semua narapidana ternyata memilih untuk menjalani pidana penjara yang lamanya

bervariasi daripada membayar denda dengan beberapa alasan. Pertama, jumlah denda yang dibayarkan hakim dalam jumlah yang besar, yakni 800 juta hingga 1 miliar. Kedua, lamanya pidana penjara yang dijatuhkan hakim sebagai pengganti denda relatif pendek sehingga tidak akan banyak memengaruhi pekerjaan atau bisnis narapidana yang sudah berjalan saat menjalani pidana penjara di Lembaga Pemasyarakatan. Ketiga, saat menjalani pidana penjara semua kebutuhan pokok narapidana ditanggung oleh negara. Kalaupun ada biaya tambahan yang harus dikeluarkan sendiri oleh narapidana, jumlahnya relatif kecil. Keempat, narapidana lebih memilih untuk menggunakan uang tersebut sebagai tambahan modal usaha daripada disetor ke kas negara.29

Berdasarkan data tersebut, berat denda yang besar sekalipun yang ditetapkan oleh pembentuk Undang-undang tidak akan efektif eksekusinya jika tidak diikuti dengan aturan pelaksanaan denda yang disesuaikan dengan karakteristik pelaku dan tindak pidananya. Semua narapidana yang dijatuhi denda pada 14 putusan yang dikaji terbukti secara melawan hukum menawarkan untuk dijual narkotika golongan 1 sebagaimana diatur dalam Pasal 114 ayat (1) atau melawan hukum menyalurkan narkotika golongan II Pasal 118 ayat (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Kedua delik tersebut sebenarnya diorientasikan kepada pelaku rasional saat melakukan tindak pidana narkotika, yaitu untuk mendapatkan keuntungan ekonomis. 30 Oleh karena itu, aturan pelaksanaan denda mestinya diarahkan kepada ketidakmungkinkan terpidana untuk tidak membayar denda yang telah dijatuhkan hakim sehingga dapat dieksekusi oleh jaksa penuntut umum.

  • 4.    Kesimpulan

Berat pidana denda bagi orang perorangan dalam perundang-undangan bervariasi mulai dari paling banyak 5 miliar hingga 200 miliar. Terdapat 2 (dua) Undang-undang yang justru tidak mengatur jenis pidana pokok bagi korporasi sehingga berimplikasi kepada tidak diaturnya berat pidana denda. Sistem pengancaman denda bagi korporasi memuat tiga pola, yaitu; 1) menetapkan berat denda maksimal; 2) menetapkan sistem denda kalilipat dari ancaman pidana pokok yang dilanggar; dan 3) menambahkan 1/3 dan 2/3 denda dari ancaman pidana pokok yang dilanggar. Beragamnya bobot denda maksimal bagi bagi orang perorangan maupun korporasi cenderung menimbulkan disparitas pidana dan melanggar prinsip proporsionalitas pidana

Aturan pelaksanaan denda lebih banyak tidak diatur dalam Undang-undang bidang lingkungan, ekonomi dan keuangan sehingga secara otomatis berlaku ketentuan Pasal 30 ayat (2) KUHP tentang pidana kurungan paling lama 6 bulan sebagai pengganti denda yang tidak dibayarkan terpidana. Kalaupun aturan pelaksanaan tersebut diatur di dalam suatu Undang-undang, selain keberadaannya masih belum membedakan antara aturan pelaksanaan denda untuk orang perorangan dan korporasi juga tidak

disesuaikan dengan karakteristik pelaku dan tindak pidana. Ketiadaan aturan pelaksanaan denda atau keberadaan aturan pelaksanaan denda yang tidak memperhatikan kedua aspek tersebut terbukti menjadikan bobot denda yang besar sekalipun tidak efektif. Tidak ada satupun narapidana yang dijatuhi pidana denda oleh hakim yang membayar denda. Mereka lebih memilih menjalani pidana penjara dalam waktu yang relatif singkat sehingga eksekusi denda oleh jaksa penuntut umum tidak berhasil. Ke depan, pembentuk Undang-undang harus menetapkan aturan pelaksanaan denda baik bagi orang perorangan maupun korporasi disesuaikan dengan karakteristik delik yang tidak memberi peluang bagi narapidana untuk tidak membayar denda.

Daftar Pustaka

Buku

Arief, B.A. Kebijakan Formulasi Ketentuan Pidana Dalam Peraturan Perundang-Undangan Semarang: Pustaka Magister, 2012.

Muladi & Arief, N.A. , Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana. Bandung: Alumni, 1992.

Jurnal

Ali, Mahrus. “Kebijakan Penal Mengenai Kriminalisasi Dan Penalisasi Terhadap Korporasi (Analisis Terhadap Undang-Undang Bidang Lingkungan Hidup),” Pandecta          15,          no.          2          (2020):          261–72,

http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/pandecta/article/view/23833.

Aryaputra, Muhammad Iftar, Ani Triwati, and Subaidah Ratna Juita, “Kebijakan Aplikatif Penjatuhan Pidana Denda Pasca Keluarnya Perma No. 2 Tahun,” Jurnal    Dinamika    Sosial    Budaya    19,    no.    1    (2017):    56,

https://doi.org/10.26623/jdsb.v19i1.685.

Bryantonio, Maulana. “Kebijakan Formulasi Pidana Bagi Korporasi Yang Tidak Membayar Denda Dalam Tindak Pidana Korupsi,” UNNES LAW JOURNAL 2, no.                      1                      (2013):                      27–35,

https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ulj/article/download/2900/2683/.

Cicchini, Michael D. “An Economics Perspective on the Exclusionary Rule and Deterrence” 700, no. 2 (2009): 459–92.

Cohen, Mark A. “The Economic of Crime and Punishment: Implication for Sentencing of Economic Crime and New Technology Offences,” Georgia Mason Law Review, (2020).

Chasani, Muchammad. “Corporate Criminal Liability in Indonesia on the Perspective of Comparison,” IJCLS (Indonesian Journal of Criminal Law Studies) 2, no. 2 (2017): 144–54, https://doi.org/10.15294/ijcls.v2i2.12322.

Colvin, Eric. “Corporate Personality and Criminal Liability,” Criminal Law Forum 8, no. 9 (1995). S. Earl, “Ascertaining the Criminal Liability of Corporation,” New Zealand Business Law Quarterly, (2007).

Firganefi and Rifai, Eddy. “Analysis of Effective Criminal Sanctions Corporations as Criminal Actors of Corruption,” International Journal of Business, Economics and Law 24, no. 1 (2021): 126–30.

Gulo, Nimerodi. “Disparitas Dalam Penjatuhan Pidana,” Masalah-Masalah Hukum 47, no. 3 (2018): 215, https://doi.org/10.14710/mmh.47.3.2018.215-227.

Hovenamp, Herbert. “Rational Choice, Behavioral Economic and the Law,” Stanford Law Review 50 (1998).

Husak, Douglas. “Criminal Law at the Margins,” Criminal Law Nd Philosophy, (2020).

Husak, Douglas. “The Price of Criminal Law Skepticism: Ten Functions of the Criminal Law,” New Criminal Law Review 23, no. 1  (2020):  27–59,

https://doi.org/10.1525/nclr.2020.23.1.27.

Kahan, Dan M. “Social Influence, Social Meaning, and Deterrence,” Virginia Law Review 83 (1997).

Kelly, E. I. “From Retributive to Restorative Justice,” Criminal Law and Philosophy 15 (2021). Nicola Lacey, “Getting Proportionality in Perspective: Philosophy, History, and Institutions,” Crime and Justice 50, no. 1  (2021):  77–114,

https://doi.org/10.1086/715030.

King, Ryan D. and Michael T., “Have Racial and Ethnic Disparities in Sentencing Declined?,”         Crime        and        Justice        366         (2019),

https://www.journals.uchicago.edu/doi/epdf/10.1086/701505.

Korobkin, Russel B. and Ulen, Thomas S. “Law and Behavioral Sciene: Removing the Rationality Assumption from Law to Economic,” California Law Review 88 (2000).

Miles, Thomas. “Empirical Economics and the Study of Punishment and Crime,” University of Chicago Legal Forum 2005, no. 1 (2015): 1–25.

Rahmat, Diding. “Korupsi Di Indonesia Formulation of Fine Criminal Policies and Replacement Money in Criminal Enforcement,” Jurnal IUS Kajian Hukum Dan Keadilan 8, no. 1 (2020): 11.

Stephens, Beth. “The Amorality of Profit: Transnational Corporations and Human Rights,”     Human    Rights    and    Corporations,     (2018),    21–66,

https://doi.org/10.4324/9781315252964-2.

Sheley, Erin. “Tort Answers to the Problem of Corporate Criminal Mens Rea,” North Carolina     Law     Review     97,     no.     4      (2019):      788–89,

https://heinonline.org/HOL/Page?handle=hein.journals/nclr97&id=813&div =30&collection=journals.

Tamboto, J.R. “Eksistensi Pidana Denda Dalam Pemidanaan Di Indonesia,” Lex Et Societatis           III,           no.           3           (2015):           189–96,

https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexetsocietatis/article/view/8037.

Vivian, G.C. “Harmonizing Multinational Parent Company Liability for Foreign Subsidiary Human Rights Violation,” Chicago Journal of International Law 17 (2017).

Wagner, Robert E. “Criminal Corporate Character,” Florida Law Review 64, no. 4 (2013): 1293–1329,

https://scholarship.law.ufl.edu/cgi/viewcontent.cgi?referer=https://www.google.com.ua/&httpsredir=1&article=1151&context=flr.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal

Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Perdagangan Orang

Undang-Undang No. 31 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup

Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan

Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

Undang-Undang No. 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana

Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan

Undang-Undang No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan

Undang-Undang No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

567