Ketentuan Pidana Administrasi (Administrative Penal Law) Dalam Penegakan Hukum Lingkungan setelah Diundangkannya UU Cipta Kerja
on
Ketentuan Pidana Administrasi (Administrative Penal Law) Dalam Penegakan Hukum Lingkungan setelah Diundangkannya UU Cipta Kerja
Hajriyanti Nuraini 1, Nadia Astriani2, Yulinda Adharani3
1Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, E-mail: [email protected]
2Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, E-mail: [email protected]
3Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, E-mail: [email protected]
Info Artikel
Masuk: 25 Mei 2022
Diterima: 13 September 2022
Terbit: 28 September 2022
Keywords:
Job Creation Law;
Environmental Law;
Administrative Penal Law.
Kata kunci:
UU Cipta Kerja; Hukum Lingkungan; Ketentuan Pidana Administrasi.
Corresponding Author:
Hajriyanti Nuraini, E-mail: [email protected] c.id
DOI:
10.24843/JMHU.2022.v11.i03. p08.
Abstract
lingkungan setelah diundangkannya UU Cipta Kerja menerapkan sanksi administratif terlebih dahulu. Selain itu, pemberian sanksi pidana pada pelanggaran hukum administrasi hanya berlaku bagi pelanggaran hukum administrasi yang memberikan dampak terhadap lingkungan hidup. Perubahan mengenai ketentuan tersebut tidak memperhatikan karakteristik dari pencemaran dan kerusakan hidup yang tidak muncul saat pelanggaran tersebut terjadi namun muncul setelah bertahun-tahun kemudian.
Tercapainya penaatan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan membutuhkan upaya penegakan hukum lingkungan.1 Penegakan hukum lingkungan adalah tahapan atau proses terakhir dalam rangkaian siklus peraturan (regulatory chain) dan perencanaan kebijakan (policy planning) mengenai lingkungan, yaitu: (1) Perundang-undangan (legislation); (2) Penentuan Standar (Standard setting); (3) Pemberian Izin (Issuing permits); (4) Penerapan (Implementation); (5) Penegakan Hukum (Law Enforcement). 2 Berdasarkan tahapan tersebut, penegakan hukum lingkungan merupakan suatu bagian dari rangkaian regulatory chain dan policy planning mengenai lingkungan.3
Dalam pelaksanaannya penegakan hukum lingkungan menggunakan instrumen administratif, kepidanaan dan keperdataan. Penjelasan umum dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut UUPPLH) pada angka 6 menyebutkan bahwa “Penegakan hukum pidana dalam Undang-Undang tersebut memperkenalkan ancaman hukuman minimum di samping hukuman maksimum, perluasan alat bukti, pemidanaan bagi pelanggaran baku mutu, keterpaduan penegakan hukum pidana, dan pengaturan tindak pidana korporasi”. UUPPLH mengatur bahwa penegakan hukum pidana lingkungan tetap memperhatikan asas ultimum remedium yaitu penerapan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah penegakan hukum administrasi dan perdata dianggap tidak berhasil.
Sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (selanjutnya disebut UU Cipta Kerja) Penerapan asas ultimum remedium pada UUPPLH hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu pelanggaran terhadap baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan yang diatur pada Pasal 100 UUPPLH. Pasal 100 UUPPLH adalah bentuk dari penerapan ultimum remedium yang memiliki pertimbangan bahwa apabila baku mutu emisi dilampaui, perbuatan tersebut belum
tentu mengakibatkan terjadinya pencemaran ke media lingkungan hidup, maka sanksi administratif yang tepat untuk diberikan pada pelanggaran tersebut. Sanksi Pidana yang bersifat ultimum remedium bisa diterapkan apabila sanksi administratif telah: (1) dijatuhkan dan tidak dipatuhi; atau (2) jika pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali.
Setelah disahkannya UU Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020 dengan tujuan untuk mempermudah jalannya investasi di Indonesia menimbulkan perubahan terhadap penegakan hukum pidana pada UUPPLH. Perubahan tersebut berdampak pada ketentuan pidana administrasi pada UUPPLH. Ketentuan pidana administrasi adalah sanksi yang diberikan pada pelanggaran-pelanggaran administrasi. Pemberian sanksi pidana pada hukum administrasi dapat disebut juga dengan sebutan “administrative penal law”. 4 Hadirnya sanksi pidana pada peraturan administrasi bertujuan untuk ditaatinya peraturan administrasi dan bukan bertujuan untuk menghukum.5
Karakteristik dari sebagian ketentuan tindak pidana pada UUPPLH sebelum diundangkannya UU Cipta Kerja, dapat menerapkan sanksi pidana terhadap pelanggaran administrasi sebagai penegakan hukum pertama. Namun, ketentuan tersebut berubah, dengan menerapkan sanksi administrasi sebagai penegakan utama dan pidana akan diterapkan apabila terdapat bukti adanya dampak terhadap lingkungan. Perubahan terhadap ketentuan pidana administrasi sebagai bentuk dari regulatory chain akan memberikan dampak pada penerapan penegakan hukum lingkungan untuk tercapainya penaatan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan.
Selain itu, berubahnya ketentuan sanksi pidana pada hukum administrasi di bidang lingkungan hidup berkaitan erat dengan prinsip prevention of harm dan precautionary principle. Kedua prinsip prevention of harm dan precautionary principle memiliki hubungan yang sangat erat, dimana prevention of harm menitikberatkan kepada cara-cara untuk pencegahan dilakukan sedini mungkin, dalam konteks perlindungan lingkungan, pencegahan merupakan langkah yang tepat daripada penanggulangan atau ganti rugi. 6 Sedangkan prinsip precautionary principle adalah prinsip yang menyebutkan untuk mengambil tindakan pencegahan walaupun tidak adanya bukti ilmiah yang konklusif dan pasti mengenai kerusakan lingkungan.7
Berdasarkan uraian di atas, maka terdapat isu hukum mengenai perubahan ketentuan pidana administrasi (Administrative Penal Law) dalam penegakan hukum lingkungan di Indonesia setelah diundangkannya UU Cipta Kerja. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan ketentuan pidana administrasi di bidang lingkungan setelah diundangkannya UU Cipta Kerja. Selain itu, untuk menganalisis perubahan ketentuan tersebut terhadap penegakan hukum lingkungan serta memberikan rekomendasi agar penegakan hukum lingkungan di Indonesia dapat berjalan secara efektif. Untuk mencapai tujuan tersebut penulis akan membahas (1) perubahan ketentuan pidana
administrasi pada UUPPLH setelah diundangkannya UU Cipta kerja, (2) pentingnya ketentuan pidana administrasi di bidang lingkungan, (3) implikasi perubahan tersebut terhadap penegakan hukum lingkungan Indonesia, (4) implementasi prinsip prevention of harm dan precautionary principle, dan (5) rekomendasi ketentuan pidana administrasi terhadap penegakan hukum lingkungan Indonesia.
Terdapat penelitian terdahulu yang membahas mengenai ketentuan pidana terhadap penegakan hukum lingkungan. Pertama, Michael Faure dalam “Towards a New Model of Criminalization of Environmental Pollution ” yang membahas mengenai bagaimana penerapan ketentuan pidana dalam hukum administrasi untuk mengurangi pencemaran terhadap lingkungan hidup.8 Kedua, Alfikri dalam “Kebijakan Penghapusan Sanksi Pidana Terhadap Tindak Pidana Lingkungan Hidup Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja” yang membahas mengenai kebijakan penghapusan sanksi pidana terhadap tindak pidana lingkungan hidup dalam UU Cipta Kerja dan dampaknya dalam melemahkan penegakan lingkungan hidup.9
Penelitian di atas memiliki kesamaan dalam membahas mengenai penerapan sanksi pidana pada bidang lingkungan hidup dan hubungannya dengan penegakan hukum lingkungan. Apabila membandingkan dengan kedua penelitian tersebut, penelitian ini juga memiliki topik yang sama, namun terdapat perbedaan dalam fokus kajian. Penelitian ini memfokuskan pembahasan mengenai perubahan ketentuan pidana administrasi lingkungan spesifiknya mengenai pelanggaran perizinan lingkungan setelah diundangkannya UU Cipta Kerja dan dampaknya terhadap penerapan penegakan hukum lingkungan di Indonesia. Oleh karena itu, penelitian ini berbeda dari penelitian terdahulu dan memiliki kebaruan dalam penelitian hukum.
Penulisan artikel ini menggunakan metode penelitian hukum normatif.10 Penggunaan metode penelitian hukum normatif pada penelitian ini bertujuan untuk mengkaji ketentuan pidana administrasi lingkungan dalam UUPPLH. Selain itu, untuk menggambarkan bagaimana dampak diubahnya ketentuan tersebut terhadap penegakan hukum lingkungan Indonesia dengan berdasarkan teori hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Berkaitan dengan hal tersebut, penelitian ini dilakukan dengan meneliti bahan pustaka (library research), seperti peraturan perundang-undangan, buku, jurnal, karya ilmiah dan lain-lainnya. Dalam melakukan analisis bahan hukum, penulis menggunakan teknik deskriptif dengan menggunakan metode interpretasi untuk menemukan jawaban dari rumusan masalah agar dapat ditarik kesimpulan dalam penelitian ini.
-
3. Hasil Dan Pembahasan
-
3. 1. Ketentuan Pidana Administrasi pada UUPPLH sesudah diundangkannya UU Cipta Kerja
Ketentuan pidana pada UUPPLH diatur dari Pasal 97 sampai dengan Pasal 120. Sebagian besar ketentuan pidana tersebut memiliki ciri khas ketentuan pidana administrasi, yaitu penerapan sanksi pidana terhadap hukum administrasi. Menurut Muladi, hadirnya perundang-undangan hukum administrasi yang mencantumkan sanksi pidana bertujuan untuk memperkuat hukum administrasi. 11 Hal tersebut dikarenakan pelanggaran administrasi di bidang lingkungan hidup memerlukan sanksi yang memberikan dampak shock therapy terhadap pelanggaran yang keterlaluan dan sudah menimbulkan kerugian yang besar.12 Lebih lanjut, Michael G. Faure juga menyebutkan bahwa “Initially, environmental laws were primarily administrative in nature, for example, requiring operators to apply for permits and run operations as stipulated in the permits”.13 (Pada awalnya, hukum lingkungan pada pokoknya bersifat administratif, contohnya, operator wajib untuk mengajukan perizinan dan menjalankan pekerjaan sebagaimana diatur dalam perizinan). Dengan begitu, perizinan sebagai salah satu instrumen dalam pencegahan pencemaran lingkungan hidup termasuk kedalam bidang hukum administrasi. 14 Setelah diundangkannya UU Cipta Kerja terdapat beberapa perubahan dalam ketentuan sanksi pidana pada pengaturan mengenai perizinan, seperti pada Pasal 102 dan Pasal 109, yang ketentuannya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 1.1
Perbandingan Ketentuan Pidana Administrasi pada Pasal 102 dan Pasal 109 sebelum dan sesudah diundangkannya UU Cipta Kerja.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup |
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta kerja |
Pasal 102 Setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). |
Pasal 102 Dihapus |
Pasal 109 |
Pasal 109 |
11 Maroni, Pengantar Hukum Pidana Administrasi.
12 Ibid.
13 Ragnhild Sollund, Christoph H. Stefes, dan Anna Rita Germani, Fighting Environmental Crime in Europe and Beyond: The Role of The EU and Its Member States (London: Palgrave Macmillan, 2016).
14 Fitri Wahyuni, Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia (Tangerang Selatan: PT Nusantara Persada Utama, 2017).
Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 Ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). |
Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki:
|
Selain kedua pasal tersebut, UU Cipta Kerja juga menambahkan beberapa pasal mengenai Perizinan yaitu Pasal 82A yang berbunyi “Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki: (1) Perizinan Berusaha, atau persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (5), Pasal 34 ayat (3), Pasal 59 ayat (1) atau Pasal 59 ayat (4); atau (2) Persetujuan dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) huruf b; dikenai sanksi administratif.
Lalu, Pasal 82 B ayat (1) yang berbunyi “(1) Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang memiliki: a. Perizinan Berusaha, Pemerintah Pusat atau persetujuan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (5), Pasal 34 ayat (3), Pasal 59 ayat (1), atau Pasal 59 ayat (4); b. persetujuan dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) huruf b; atau c. persetujuan dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) yang tidak sesuai dengan kewajiban dalam Perizinan Berusaha, atau persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah, dan/atau melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, dikenai sanksi administratif”. Perubahan lainnya yaitu mengenai perubahan terhadap pelanggaran baku mutu ambien, baku mutu air limbah atau baku mutu emisi atau baku mutu gangguan yang juga termasuk dalam pelanggaran ketentuan hukum
lingkungan administrasi. 15 Dalam UU Cipta Kerja terdapat penambahan pada ketentuan tersebut pada Pasal 82 B ayat (3) yang berbunyi “Setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang tidak sesuai dengan Perizinan Berusaha yang dimilikinya dikenai sanksi administratif”.
Ketentuan pidana administrasi yang telah diubah setelah diundangkannya UU Cipta Kerja adalah proses depenalisasi. Depenalisasi adalah perubahan terhadap perbuatan yang semula diancam pidana dihilangkan namun, masih dimungkinkan adanya penuntutan dengan cara lain dengan melalui hukum perdata atau administrasi. 16 Perubahan ketentuan pidana administrasi setelah diundangkannya UU Cipta Kerja berkaitan dengan kebijakan hukum pidana Indonesia. Menurut Barda Nawawi Arief, usaha penanggulan kejahatan dengan penerapan hukum pidana pada hakikatnya adalah bagian dari usaha penegakan hukum.17 Oleh karena itu, sebagai bagian dari kebijakan hukum pidana, dengan berubahnya ketentuan pidana administrasi pada UUPPLH akan merubah arah dari penegakan hukum lingkungan di Indonesia.
Pelanggaran yang terjadi dalam bidang lingkungan, berkaitan erat dengan hukum administrasi, mengingat salah satu instrumen pencegah dalam pengaturan lingkungan hidup yaitu perizinan. Dari segi hukum, sanksi administratif dan pidana dapat dijatuhkan secara bersamaan karena memiliki tujuan yang berbeda. Sanksi administratif bertujuan supaya perbuatan atau pengabaian yang melanggar hukum atau tidak memenuhi persyaratan, berhenti atau mengembalikan keadaan seperti semula. 18 Sedangkan sanksi pidana bertujuan untuk menghukum perilaku tertentu untuk menegakkan norma-norma tertentu dalam masyarakat karena sanksi pidana dapat memberikan efek jera.19
Dikarenakan penegakan hukum lingkungan banyak berkaitan dengan hukum administrasi, terdapat kebergantungan antara penerapan hukum pidana dan hukum administrasi. Dalam hal perizinan, sebelum dilakukan kegiatan usaha tentunya diperlukan izin yang telah diberikan oleh pejabat administratif, terlebih lagi apabila kegiatan tersebut menghasilkan Limbah B3. Dengan eratnya hukum administrasi pada penegakan hukum lingkungan tentunya diperlukan penerapan sanksi yang sesuai dengan jenis pelanggarannya. Pelanggaran hukum administrasi yang sudah
keterlaluan dan memberikan dampak memerlukan penerapan hukuman yang dapat memberikan efek jera atau shock therapy.
Penggunaan sanksi pidana sebagai penguatan terhadap penaatan hukum lingkungan dalam perlindungan lingkungan hidup juga banyak disetujui oleh negara lain, seperti Uni Eropa pada pengaturan Perlindungan Lingkungan melalui Hukum Pidana, dimana pada preamble disebutkan rationale dari peraturan tersebut yaitu “Experience has shown that the existing systems of penalties have not been sufficient to achieve complete with the laws for the protection of the environment. Such compliance can and should be strengthened by the availability of criminal penalties, which demonstrate a social disapproval of a qualitatively different nature compared to administrative penalties or a compensation mechanism under civil law”.20 Dengan begitu, untuk pelanggaran lingkungan tertentu diperlukan hukum pidana agar menunjukan ketidaksetujuan sosial terhadap pelanggaran tersebut.
Terlebih lagi, pengenaan hukum pidana pada pelanggaran lingkungan hidup dalam prosesnya merupakan suatu bentuk pengakuan penting bahwa negara mempunyai tanggung jawab untuk mengatasi pelanggaran tersebut sama seperti negara juga memiliki tanggung jawab untuk mengatasi jenis pelanggaran-pelanggaran lainnya, yang sebagaimana diakui juga di negara-negara lainnya.21 Dengan adanya tindakan tegas seperti pengenaan sanksi pidana terhadap pelanggaran administratif tersebut, negara sudah mengakui bahwa terdapat kewajiban yang harus dilaksanakan yaitu untuk mencegah adanya pencemaran ataupun kerusakan lingkungan.
Selain itu dari sifatnya, perbedaan hukum pidana dengan bidang hukum lain, sanksi hukum pidana memberikan ancaman penderitaan dengan sengaja dan sering juga pengenaan penderitaan, sekalipun tidak ada korban kejahatan. Dengan mengancam penerapan hukum pidana pada tingkah laku manusia berarti suatu Negara telah mengambil alih tanggung jawab dengan mempertahankan peraturan-peraturan yang telah ditentukan.22
Pemberian sanksi pidana terhadap pelanggaran lingkungan memiliki tujuan utama untuk (1) mendidik masyarakat mengenai kesalahan moral yang berkaitan dengan perilaku yang dilarang; (2) mencegah atau menghalangi pelaku potensial agar tidak melakukan perilaku yang tidak bertanggungjawab terhadap lingkungan hidup. 23 Dengan demikian, penerapan sanksi pidana mempunyai efek memberikan ketaatan yang lebih besar terhadap peraturan.
Negara Jerman dalam menerapkan hukum pidana lingkungan sangat bergantung dengan hukum administrasi. 24 Kebergantungan tersebut terjadi dengan adanya penerapan sanksi pidana pada pelanggaran hukum administrasi. 25 Ciri khas dari penerapan hukum pidana lingkungan tersebut dikarenakan badan legislatif Negara Jerman tidak bergantung hanya pada hasil dari suatu tindakan untuk menerapkan hukum pidana. Alasan dari penerapan karakteristik hukum pidana lingkungan Negara Jerman adalah dalam memberikan perlindungan efektif terhadap lingkungan, hukum pidana tidak bisa menunggu sampai adanya kerusakan muncul.26 Selain itu, perlu diperhitungkan dalam penerapannya hukum pidana lingkungan memiliki kompleksitas, seperti kesulitan dalam penetapan bukti yang cukup dalam menghubungkan setelah adanya kerusakan yang muncul terhadap individu atau perbuatan.27
Ketentuan tindak pidana lingkungan di Negara Jerman sangat berkaitan dengan konsep kerugian dan kerusakan nyata dan adanya ancaman kerusakan. Hal ini dikarenakan pelanggaran pada lingkungan hidup seringkali belum terlihat pada saat pelanggaran tersebut terjadi dimana dampaknya muncul di masa yang akan datang dan kerugian yang dialami di waktu tersebut tidak dapat dihitung dengan mudah.28 Dengan begitu, pelanggaran administrasi yang mudah untuk dibuktikan pelanggarannya seharusnya dapat dikenakan sanksi yang dapat memberikan efek jera dan dapat melindungi lingkungan hidup. Namun, tidak semua pelanggaran administrasi dirasa adil saat diberikan sanksi pidana, mengingat pelanggaran perizinan merupakan pelanggaran administrasi. Oleh karena itu penting untuk mengatur jenis pelanggaran administrasi yang dapat diberikan sanksi pidana.
Menurut Michael Faure, suatu bahaya yang konkrit terhadap lingkungan yang setidaknya terdapat pelanggaran emisi, merupakan suatu syarat untuk adanya pertanggungjawaban pidana. 29 Dengan begitu penerapan hukum pidana pada pelanggaran administrasi seperti pelanggaran perizinan yang berkaitan dengan baku mutu limbah dan pengelolaan limbah B3, sangatlah penting agar efektifnya penegakan hukum lingkungan di Indonesia.
Oleh karena itu, pembuat peraturan perundang-undangan perlu mempertimbangkan kebijakan hukum pidana yang tepat dalam menentukan penerapan sanksi pidana bagi pelanggaran administrasi untuk mencegah pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup.
-
3. 3. Implikasi Perubahan Ketentuan Pidana Administrasi Tanpa Izin yang
berpotensi Memberikan Dampak bagi Lingkungan terhadap Penegakan
Hukum Lingkungan Indonesia
Penegakan hukum adalah upaya dalam menegakkan norma/kaidah dan nilai hukum yang terdapat di belakang norma tersebut.30 Dalam bidang lingkungan, nilai hukum tersebut adalah kondisi yang dicapai dalam pelestarian lingkungan hidup yang baik dan sehat. Dalam pelaksanaanya diperlukan aparat penegak hukum dan kepatuhan masyarakat terhadap peraturan yang berlaku; yaitu hukum administratif, pidana dan perdata.31 Pengaturan mengenai penegakan hukum lingkungan terdapat pada Pasal 28H angka (1) UUD 1945 yang menyebutkan “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Selain itu, Penjelasan Umum angka (5) UUPPLH juga menyebutkan bahwa konsep dari penegakan hukum adalah “Upaya preventif dalam rangka pengendalian dampak lingkungan hidup perlu dilaksanakan dengan mendayagunakan secara maksimal instrumen pengawasan dan perizinan. Dalam hal pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup sudah terjadi, perlu dilakukan upaya represif berupa penegakan hukum yang efektif, konsekuen, dan konsisten terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang sudah terjadi”.
Penegakan hukum lingkungan dapat dilaksanakan secara preventif sebagai upaya pemenuhan peraturan (compliance) dan secara represif melalui pemberian sanksi atau proses pengadilan apabila terjadinya perbuatan melanggar peraturan.32 Dengan begitu, penegakan hukum lingkungan bertujuan untuk mencegah dan menanggulangi kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan.
Penegakan hukum lingkungan secara represif terhadap pelanggaran administrasi setelah diundangkannya UU Cipta Kerja mengutamakan penerapan sanksi administratif dan apabila tidak berhasil barulah sanksi pidana diterapkan. Selain itu, dengan melihat perubahan ketentuan pada Pasal 109 UUPPLH, pelanggaran yang dapat langsung diberikan sanksi pidana adalah apabila pelanggaran administrasi tersebut telah menimbulkan dampak terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan (“K2L”).
Sehingga apabila melihat ketentuan tersebut, penerapan sanksi pidana terhadap pelanggaran administrasi, seperti pelanggaran perizinan, menitikberatkan pada prinsip ultimum remedium. Sebelum diundangkannya UU Cipta Kerja, sanksi pidana terhadap pelanggaran administrasi seperti pelanggaran izin pengelolaan limbah B3 dapat langsung menggunakan sanksi pidana (primum remedium), yang menjadikan sanksi pidana sebagai instrumen yang bersifat punitive. Dengan adanya perubahan
setelah diundangkannya UU Cipta Kerja, sanksi administratif menjadi sanksi yang penting dalam penegakan hukum lingkungan hidup.
Dalam memberikan sanksi terhadap pelanggaran perizinan, terkadang dibutuhkan penyesuaian untuk terlaksananya penaatan terhadap peraturan. Michael G. Faure dan Majolein Visser menyebutkan bahwa “It could indeed be argued that, although the theoretical arguments in favor of criminal sanctions are convincing, certain minor violations of license conditions committed in good faith by a company could easily be dealt with by means of an administrative fine or sanctions under civil law. However, even when only administrative sanctions are used, it should be borne in mind that the authorities in question will have more power in their negotiations concerning the measures to be taken to comply with the conditions of a license, if they know that they are backed by a public prosecutor, who can initiate criminal proceedings if the company is not willing to follow the proposals made by the administrative authorities. Thus criminal law also has a very useful role in backing up the enforcement of administrative law”. 33 (Memang dapat dikatakan, meskipun argumen teoretis yang mendukung sanksi pidana meyakinkan, pelanggaran ringan tertentu mengenai persyaratan izin yang dilakukan dengan itikad baik oleh perusahaan dapat dengan mudah ditangani dengan penerapan denda administratif atau sanksi menurut hukum perdata. Namun, bahkan ketika hanya sanksi administratif yang digunakan, harus diingat bahwa pihak berwenang yang bersangkutan akan memiliki lebih banyak kekuatan dalam negosiasi mengenai langkah-langkah yang harus diambil untuk mematuhi persyaratan izin, apabila diketahui bahwa mereka didukung oleh penuntut umum, yang dapat memulai proses pidana jika perusahaan tidak mau mematuhi persyaratan yang dibuat oleh otoritas administratif. Dengan demikian hukum pidana juga memiliki peran yang sangat berguna dalam mendukung penegakan hukum administrasi). Dengan begitu, penerapan sanksi pidana pada pelanggaran administrasi seperti perizinan sebagai instrumen pencegahan memiliki peran yang penting dalam penaatan terhadap peraturan di bidang lingkungan.
Sebelum diundangkannya UU Cipta Kerja, pelanggaran administrasi dapat langsung diberikan sanksi pidana seperti terhadap pelanggaran perizinan pengelolaan limbah B3 yang sebelumnya diatur pada Pasal 102. Namun, setelah diundangkannya UU Cipta Kerja, penerapan sanksi pidana terhadap pelanggaran administrasi tersebut, diharuskan menerapkan sanksi administratif terlebih dahulu atau telah memberikan dampak yang sangat besar bagi lingkungan hidup. Untuk lebih lanjut dijelaskan di bawah ini klasterisasi pelanggaran administrasi dan sanksinya Dalam UUPPLH Jo. UU Cipta Kerja.
Tabel 1.2
Tabel Klasterisasi Pelanggaran Administrasi dan Sanksi Dalam UUPPLH Jo. UU Cipta Kerja
Klasifikasi Pelanggaran |
Klasifikasi pelanggaran |
sanksi | |
Formiil |
Materiil |
33 Michael G. Faure dan Marjolein Visser, “Law and Economics of Environmental Crime: a Survey,” 2003,
http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.549.9704&rep=rep1&type=pdf.
Pelanggaran Perizinan Berusaha. |
Memiliki perizinan berusaha namun tidak melaksanakan kewajiban lingkungan dalam perizinan. |
Administratif | |
Pelanggaran melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki perizinan berusaha. |
Tidak memiliki izin berusaha dan belum menyebabkan K2L. |
Administratif | |
Pelanggaran perizinan berusaha yang yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan. |
Memiliki perizinan berusaha tetapi perbuatannya mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan Lingkungan Hidup. |
Pidana | |
Pelanggaran melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki perizinan berusaha yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan. |
usaha dan/atau perbuatan tanpa perizinan berusaha dan mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan Lingkungan Hidup. |
Pidana |
Sumber Tabel: Webinar Rapat Koordinasi Persamaan Persepsi Implementasi Prinsip Ultimum Remedium Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan sesuai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, pada tanggal 4 November 2021.
Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa sanksi pidana hanya akan diterapkan apabila usaha/atau kegiatan yang memiliki perizinan berusaha tetapi perbuatannya mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan. Selain itu, Pelanggaran yang usaha dan/atau perbuatan tanpa perizinan berusaha dan mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan Lingkungan Hidup. Dengan berubahnya ketentuan tersebut, terdapat perubahan pula pada penentuan pelanggaran perizinan lingkungan. Sebelumnya, pelanggaran perizinan lingkungan adalah larangan untuk melakukan sesuatu (delik formal), berubah menjadi larangan untuk menimbulkan sesuatu akibat tertentu yaitu pelanggaran yang menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan (delik material). 34 Selain itu, arah penegakan hukum pidana lingkungan di Indonesia
berubah dari menggunakan prinsip primum remedium menjadi prinsip ultimum remedium. Perubahan dari penerapan sanksi pidana menjadi sanksi administratif adalah bentuk dari pelemahan penegakan hukum lingkungan.
Walaupun penegakan hukum administrasi penting untuk mendorong tingkat penataan dari pelaku usaha, tapi tidak bisa disamaratakan penerapannya, termasuk kepada subjek hukum yang kegiatan usahanya menghasilkan limbah, terlebih lagi limbah B3 dengan tanpa izin.35 Kegiatan yang menghasilkan Limbah B3 memberikan dampak yang besar apabila tidak diatur dengan baik oleh peraturan perundang-undangan. Seiring dengan kemudahan perizinan berusaha yang diatur UU Cipta Kerja, hal tersebut berdampak terhadap perizinan dalam pengelolaan limbah B3.
Pasal 102 UUPPLH mengatur bahwa pengelolaan limbah B3 tanpa izin dapat dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Namun, setelah disahkannya UU Cipta Kerja, Pasal 102 telah dihapus yang mengakibatkan tindak pidana pengelolaan limbah B3 tanpa izin tidak lagi menjadi tindak pidana. Hal tersebut mengakibatkan kegiatan yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin diperbolehkan dan tidak melanggar hukum. Berdasarkan Pasal 1 angka 23 UUPPLH yang termasuk dalam pengelolaan limbah B3 adalah kegiatan yang meliputi pengurangan, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan, dan/atau penimbunan. Selain itu, setelah disahkannya UU Cipta Kerja, Pasal 104 UUPPLH tidak dihapus, yang berbunyi “Setiap orang yang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 UUPPLH, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”. Hal tersebut menunjukan bahwa apabila pembuangan limbah B3 tanpa izin bukan suatu tindak pidana sementara limbah yang dibuang tanpa izin yang bukan limbah B3 dikenakan pidana.
Dengan begitu, kebijakan hukum pidana dalam UUPPLH setelah diundangkannya UU Cipta Kerja mengatur bahwa pelanggaran perizinan hanya dapat diberikan sanksi pidana yang telah menyebabkan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup yang berdampak pada keselamatan dan kesehatan lingkungan dan nyawa manusia. Ketentuan tersebut tidak memperhatikan karakteristik dari dampak pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang tidak muncul saat pelanggaran tersebut terjadi namun muncul setelah bertahun-tahun kemudian atau yang biasa disebut sebagai long latency period.36
-
3. 4. Implementasi Prinsip Prevention of Harm dan Precautionary Principle terhadap Perubahan Ketentuan Pidana Administrasi Lingkungan setelah Diundangkannya UU Cipta Kerja
Berubahnya ketentuan UUPPLH dalam menerapkan sanksi pidana menjadi sanksi administratif pada pelanggaran administrasi merupakan suatu bentuk pelemahan dari penegakan hukum lingkungan dan tidak memperhatikan prinsip-prinsip hukum lingkungan modern, antara lain prevention of harm dan precautionary principle.
Berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 36/KMA/SK/II/2013, Prinsip Prevention of harm menitikberatkan pada perizinan dan penilaian atau assessment untuk kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak terhadap lingkungan. Dimana dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara lingkungan hidup, hakim harus mempertimbangkan perizinan lingkungan sebagai instrumen pencegahan dan kontrol penting dalam pengelolaan lingkungan hidup dan bukan hanya sebatas formalitas administrasi. Penerapannya prinsip ini dapat digunakan dalam beberapa mekanisme seperti perizinan (termasuk penetapan syarat operasi dan konsekuensinya apabila melanggar), penentuan standar dan pembatasan emisi, serta penggunaan best available techniques. Selain itu, penerapan prinsip ini juga dapat dilakukan dengan memberlakukan penilaian (assessment) awal, monitoring, dan pemberian informasi atas dilakukannya suatu kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak terhadap lingkungan. Pencemaran dan/atau perusakan lingkungan pada suatu wilayah atau komponen lingkungan hidup tertentu dapat mempengaruhi wilayah atau komponen lingkungan hidup lainnya. Oleh karena itu, bukan hanya sebagai formalitas administrasi saja, perizinan lingkungan juga merupakan instrumen pencegahan dan kontrol penting dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Sedangkan precautionary principle atau prinsip kehati-hatian yang berawal dari Rio Declaration, disebutkan pada Principle 15 yaitu:” where there are threats of serious or irreversible damage, lack of full scientific certainty shall not be used as a reason for postponing cost-effective measures to prevent environmental degradation”. Berdasarkan pengertian tersebut, precautionary principle menitikberatkan pada upaya pencegahan terhadap pencemaran ataupun kerusakan lingkungan hidup. Upaya pencegahan tersebut dilakukan terhadap kegiatan dan/atau usaha yang kemungkinan memiliki dampak yang serius dan tidak dapat dipulihkan dan kurangnya kepastian ilmiah bukanlah alasan untuk menunda diambilnya upaya pencegahan.37
Prinsip prevention of harm sangat berkaitan dengan precautionary principle, dimana prinsip prevention of harm menghindari adanya risiko saat adanya kepastian sedangkan precautionary principle menekankan kepada kewajiban untuk mengambil tindakan preventif saat risiko masih belum pasti.38 Terlebih lagi penerapan precautionary principle diarahkan hanya terhadap resiko atau ancaman yang tidak bisa dipulihkan atau yang sangat serius.39
Dihapusnya Pasal 102 UUPPLH mengenai penerapan sanksi pidana pada pelanggaran perizinan terhadap pengelolaan limbah B3 tanpa izin, berimplikasi pada penerapan prinsip prevention of harm. Pengelolaan limbah B3 adalah kegiatan yang memiliki potensi menimbulkan dampak bagi lingkungan hidup apabila dilaksanakan tanpa izin. Selain itu, perubahan ketentuan pidana administrasi lainnya yang menekankan pelanggaran perizinan setelah munculnya korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan dan/atau lingkungan mempengaruhi penerapan dari precautionary principle. Hal tersebut dikarenakan apabila pemberian sanksi pidana menitikberatkan terhadap adanya dampak yang sangat besar bagi lingkungan dan manusia terlebih dahulu, sedangkan izin sebagai instrumen pencegahan sudah dilanggar tentunya tidak sesuai dengan penerapan precautionary principle yang mengedepankan upaya-upaya pencegahan sebelum adanya dampak bagi lingkungan dan manusia. Terlebih lagi, penegakan hukum setelah adanya dampak terhadap lingkungan dan manusia adalah suatu bentuk kerugian bagi Negara.
Diterbitkannya perizinan berusaha hanya dapat dilakukan apabila telah memenuhi Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup yang telah melewati uji kelayakan lingkungan hidup. Usaha atau kegiatan yang dilakukan tanpa izin, tentunya tidak melalui uji kelayakan lingkungan hidup. Mengingat hal tersebut, apabila penerapan sanksi pidana hanya diberikan kepada pelanggaran perizinan yang sudah memberikan dampak, sedangkan usaha atau kegiatan yang tidak memiliki izin juga memberikan ancaman bagi lingkungan hidup. Penerapan sanksi pidana setelah munculnya korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan dan/atau lingkungan, tentunya melampaui apa yang ditetapkan pada precautionary principle yaitu timbulnya suatu ancaman saja terhadap lingkungan hidup.
Selain itu, sebelum diundangkannya UU Cipta Kerja, penerapan sanksi administratif biasanya telah diberikan pada kegiatan usaha yang melanggar, namun sering kali tidak dilaksanakan karena tidak adanya kekuatan yang mengikat. Sebagai sarana pemulihan, situasi tersebut tidak sesuai dengan tujuan dalam pemberian sanksi administratif. Oleh karena itu, perubahan penerapan sanksi pidana pada pelanggaran administratif setelah diundangkannya UU Cipta Kerja tidak sejalan dengan penerapan prinsip prevention of harm dan precautionary principle.
Agar penegakan hukum lingkungan dapat berjalan dengan efektif diperlukan perubahan terhadap kebijakan hukum pidana pada pelanggaran lingkungan. Hukum lingkungan sangat bergantung pada hukum administrasi, oleh karena itu, diperlukan penegakan hukum yang efektif terhadap penataan hukum administrasi tersebut. Namun, perlu diingat bahwa pelanggaran hukum administrasi, seperti melakukan usaha tanpa adanya perizinan berusaha apabila dikenakan pidana akan berlebihan karena belum tentu menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup. Michael Faure memberikan rekomendasi model terhadap ketentuan sanksi pada pelanggaran
administrasi dengan membedakan pelanggaran administrasi yang menimbulkan bahaya konkrit dan bahaya abstrak sebagai berikut:40
-
1. Pelanggaran administrasi yang menimbulkan bahaya konkrit bagi lingkungan, seperti pelanggaran mengenai ketentuan banyaknya dan kualitas pembuangan suatu emisi ke lingkungan hidup dapat diberikan sanksi pidana.
-
2. Pelanggaran administrasi yang menimbulkan bahaya abstrak bagi lingkungan, seperti pelanggaran syarat perizinan dapat diberikan sanksi seperti denda administrasi.
Dengan kebijakan hukum pidana seperti di atas, apabila dikaitkan dengan ketentuan pada Pasal 102 UUPPLH mengenai pengelolaan limbah B3 tanpa izin dapat langsung diberi sanksi pidana karena memberikan bahaya yang konkrit bagi lingkungan hidup dan tanpa perlu adanya pembuktian lingkungan hidup tercemar. Ditambah, ketentuan pada Pasal 82 B ayat (1) dan (3) mengenai pelanggaran perizinan yang yang melanggar ketentuan perundang-undangan dan pelanggaran baku mutu dapat diberikan pidana karena sudah memberikan ancaman bahaya konkrit terhadap lingkungan hidup. Sedangkan untuk pelanggaran administrasi seperti pada Pasal 109 UUPPLH dan Pasal 82 A mengenai usaha atau kegiatan tanpa perizinan berusaha dapat diberikan denda administratif di bawah sanksi administratif dikarenakan belum adanya bahaya yang konkrit bagi lingkungan hidup. Namun, apabila kegiatan usaha tanpa izin tersebut sudah memberikan ancaman atau bahkan dampak terhadap lingkungan, sanksi pidana dapat diterapkan.
Penegakan hukum lingkungan setelah diundangkannya UU Cipta Kerja mengedepankan penerapan prinsip ultimum remedium pada pelanggaran-pelanggaran lingkungan hidup. Namun, penerapan prinsip tersebut pada semua pelanggaran lingkungan hidup tidak selalu memperhatikan tujuan untuk melindungi lingkungan hidup dikarenakan pelanggaran administratif seperti perizinan merupakan pelanggaran yang memiliki dampak serius terlebih mengenai perizinan limbah B3. Penerapan sanksi administratif terhadap pelanggaran tersebut tidak akan memberikan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan lingkungan dengan kemungkinan dampak yang akan dihasilkan oleh kegiatan usaha tersebut. Selain itu, penerapan sanksi administratif terhadap pelanggaran administrasi tidak sesuai dengan prinsip yang dianut oleh Indonesia dalam hukum lingkungan modern yaitu prevention of harm dan precautionary principle. Hal tersebut dikarenakan kedua prinsip tersebut menitikberatkan pada pencegahan terhadap pelanggaran lingkungan hidup. Penerapan sanksi administratif terhadap pelanggaran perizinan yang telah memberikan dampak besar bagi lingkungan hidup tidak sesuai dengan penerapan kedua prinsip tersebut, yang mengedepankan instrumen izin sebagai upaya pencegahan pencemaran dan kerusakan terhadap lingkungan hidup. Dengan memperhatikan perbedaan karakteristik pelanggaran administrasi lingkungan maka perlu perbedaan penerapan pada sanksinya, yaitu bagi pelanggaran yang menimbulkan bahaya yang konkrit atau pelanggaran yang menimbulkan bahaya yang abstrak terhadap lingkungan hidup. Penerapan sanksi yang dilihat dari karakteristik
pelanggaran administrasi lingkungan akan membuat penegakan hukum lingkungan di Indonesia berjalan dengan efektif. Oleh karena itu diperlukan pertimbangan ulang mengenai kebijakan hukum pidana dalam UU Cipta Kerja terhadap UUPPLH mengenai sanksi pidana pada pelanggaran perizinan sebagai pelaksanaan dari penegakan hukum lingkungan hidup.
Daftar Pustaka
Alfikri. “Kebijakan Penghapusan Sanksi Pidana Terhadap Tindak Pidana Lingkungan Hidup dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja.” Jurnal Eksekusi 3, no. 1 (2021): 1–17. https://doi.org/10.24014/je.v3i1.12467.
Ali, Mahrus. “Overcriminalization dalam Perundang-undangan di Indonesia.” Jurnal Hukum Ius Quia Iustum 25, no. 3 (2018): 450–71.
https://doi.org/10.20885/iustum.vol25.iss3.art2.
Arief, Barda Nawawi. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru. Jakarta: Prenadamedia Group, 2016.
European Union. “DIRECTIVE 2008/99/EC OF THE EUROPEAN PARLIAMENT AND OF THE COUNCIL of 19 November 2008 on the protection of the environment through criminal law.” Official Journal of the European Union L, no. 328 (2008): 28–37.
Fadli, Moh., Mukhlish, dan Mustafa Lutfi. Hukum dan Kebijakan Lingkungan. Malang: UB Press, 2016.
Farihah, Liza, dan Femi Angraini. “Prinsip Kehati-hatian dan Kerugian Potensial dalam Perkara Tata Usaha Negara terkait Lingkungan Hidup.” Jurnal Komisi Yudisial 5, no. 3 (2012): 241–60. https://doi.org/10.29123/jy.v5i3.123.
Faure, Michael. “Towards A New Model of Criminalization of Environmental Pollution: The case of Indonesia.” In Environmental Law in Development: Lessons from the Indonesian Experience, diedit oleh Michael Faure & Nicole Niessen, 188– 217. UK: Edward Elgar Publishing, 2006.
Faure, Michael G., dan Marjolein Visser. “Law and Economics of Environmental Crime: a Survey,” 2003.
http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.549.9704&rep=rep1& type=pdf.
Hall, Mathew. Victims of Environmental Harm Rights, Recognition and Redress Under National and International Law. New York: Routledge, 2013.
Hamzah, Andi. Penegakan Hukum Lingkungan. Bandung: PT. Alumni, 2016.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran.
Panduan Penegakan Hukum Pidana Lingkungan. Kesatu., 2003.
L.Y., D’Hondt. “Addressing Industrial Pollution in Indonesia: The Nexus between Regulation and Redress Seeking.” Leiden University, 2019.
Lamintang, P.A.F. Dasar-Dasar Untuk Mempelajari Hukum Pidana Yang Berlaku Di Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2011.
Maroni. Pengantar Hukum Pidana Administrasi. Lampung: CV. Anugrah Utama Raharja,
2015.
Muhammad, Abdulkadir. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004.
Pratiwi, Kania Tamara, Siti Kotijah, dan Rini Apriyani. “Penerapan Asas Primum Remedium Tindak Pidana Lingkungan Hidup.” Sasi 27, no. 3 (2021): 363–75. https://doi.org/10.47268/sasi.v27i3.471.
Sari, Indah. “Penegakan Hukum Lingkungan Menuju Tercapainya Keadilan Lingkungan.” Jurnal Mitra Manajemen 8, no. 2 (2016): 19–34.
———. “Unsur-Unsur Delik Materiel dan Delik Formil dalam Hukum Pidana Lingkungan.” Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara 10, no. 1 (2019): 64–80.
https://doi.org/10.35968/jh.v10i1.404.
Sina, Stephan. “Environmental Criminal Law in Germany.” In Environmental Crime in Europe, diedit oleh Michael Faure and Grazia Maria Vagliasindi Andrew Farmer. Oxford: Hart Publishing, 2017.
Sollund, Ragnhild, Christoph H. Stefes, dan Anna Rita Germani. Fighting Environmental Crime in Europe and Beyond: The Role of The EU and Its Member States. London: Palgrave Macmillan, 2016.
Sudarto. Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: PT Alumni, 2007.
Syaprillah, Aditia. “Penegakan Hukum Administrasi Lingkungan melalui Instrumen Pengawasan.” Jurnal Bina Hukum Lingkunga 1, no. 1 (2016): 99–113.
https://doi.org/10.24970/bhl.v1i1.4.
Syarif, Laode M., dan Andri G. Wibisana. Hukum Lingkungan, Teori, Legislasi dan Studi Kasus. Jakarta: Kemitraan Partnership, 2015.
Wahyuni, Fitri. Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia. Tangerang Selatan: PT Nusantara Persada Utama, 2017.
“Webinar Rapat Koordinasi Persamaan Persepsi Implementasi Prinsip Ultimum Remedium Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan sesuai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, pada tanggal 4 November 2021.” 2021.
Wibisana, Andri G. “Three Principles of Environmental Law.” In Environmental Law in Development: Lessons from the Indonesian Experience, diedit oleh Michael Faure and Nicole Niessen. Edward Elgar Publishing, 2006.
Widayati, Lidya Suryani. “Ultimum Remedium dalam Bidang Lingkungan Hidup.” Jurnal Ius Quia Iustum 22, no. 1 (2015): 163–79.
https://doi.org/10.20885/iustum.vol22.iss1.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 5059).
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia 6573).
Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup.
599
Discussion and feedback