Aspek De Jure Perlindungan Lagu dan Royalti Pasca Pemberlakuan Peraturan Pemerintah No. 56 Tahun 2021

Anak Agung Sagung Ngurah Indradewi1, Anak Agung Istri Ari Atu Dewi2

  • 2 Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

    Info Artikel

    Masuk :27 Januari 2022

    Diterima :10 Mei 2022

    Terbit : 12 Mei 2022

    Keywords :

    Legal protection; Song; Music; Copyrights; Royalty


    Kata kunci:

    Perlindungan hukum; Lagu;

    Musik; Hak cipta; Royalti

    Corresponding Author:

    Anak Agung Sagung Ngurah Indradewi,

    Email:

    [email protected]

    DOI :

    10.24843/JMHU.2022.v11.i01.p09


Abstract

This writing aimed to analyze, identify and elaborate the legal protection of song and music based on the prevailing law concerning Copyrights and the mechanism of collecting and distributing of royalty after the enactment of Government Regulation Number 56 of 2021. This article was normative legal research using statutory approach, conceptual approach and analytical approach. The study indicated that song is one of the objects of copyright which is protected under the provision of Article 40-point d of the Law Number 28 of 2014 concerning Copyright. The enactment of Government Regulation Number 56 of 2021 emphasized that the mechanism for managing royalties for songs and/or music is carried out through the National Collective Management Institutions. To realize a royalty management for songs and/or music, it is necessary to have awareness on the part of the Author, Copyright Holder, and Related Rights owners to carry out the Recording of songs and/or music and there needs to be awareness from parties who use songs and/or music in a form of public service that is commercial in nature to fulfill obligations in the form of royalty payments to Authors, Copyright Holders and/or Related Rights owners through National Collective Management Institutions.

Abstrak

Tujuan penulisan ini adalah untuk menganalisis, mengidenfitikasi, dan mengelaborasi perlindungan hukum atas lagu berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait hak cipta, dan mekanisme pemungutan dan pengelolaan royalti setelah diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 56/2021. Artikel ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan, pendekatan konsep serta pendekatan analisis. Studi menunjukkan bahwa lagu merupakan objek perlindungan hak cipta sebagaimana diatur dalam Pasal 40 huruf d Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 mempertegas bahwa mekanisme pengelolaan royalti atas lagu dan/atau musik dilakukan melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional. Untuk mewujudkan suatu pengelolaan royalti atas lagu dan/atau musik, diperlukan adanya kesadaran dari pihak Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan pemilik Hak Terkait untuk melakukan Pencatatan atas lagu dan/atau musik dan perlu

ISSN: 1978-152                     ISSN: 1978-1520

adanya kesadaran dari pihak yang memanfaatkan lagu dan/atau musik dalam bentuk layanan public yang bersifat komersial untuk melakukan pemenuhan kewajiban berupa pembayaran royalti kepada Pencipta, Pemegang Hak Cipta dan/atau pemilik Hak Terkait melalui LMKN.

  • I.    Pendahuluan

Lagu dan royalti adalah dua aspek yang menjadi pokok perhatian dalam upaya perlindungan terhadap kekayaan intelektual, khususnya dalam rezim hak cipta. Keberadaan lagu dan royalti memiliki keterkaitan yang erat dalam kaitannya dengan perlindungan hak cipta.

Perlindungan atas lagu dan royalti diatur melalui “Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta” (selanjutnya disebut UUHC).1 Perlindungan atas lagu dilandasi pada konsep hukum hak cipta yang berupaya untuk melindungi karya kreatif yang merupakan hasil dari daya intelektual manusia dan diwujudkan dalam bentuk nyata sehingga dapat dinikmati melalui panca indera, yang dikenal dengan istilah expressed works.2

Pada awalnya, perlindungan atas hak cipta diberikan sebagai bentuk penghargaan atas kemampuan seseorang untuk menghasilkan suatu karya. Dalam perkembangannya, perlindungan atas hak cipta, termasuk lagu, diberikan karena adanya nilai ekonomi atas suatu karya yang dihasilkan oleh Pencipta. Perlindungan ini kemudian dikenal dengan istilah hak eksklusif, yang terdiri atas hak moral dan hak ekonomi.3

Di masa industri 4.0 yang serba digital, akses terhadap kekayaan intelektual sangat mudah dilakukan oleh berbagai pihak. Kemudahan yang diberikan melalui dunia digital membuat setiap orang dapat mengakses berbagai hasil Ciptaan, seperti lagu, musik, film dan Ciptaan lainnya.4 Sayangnya, kemudahan yang diberikan oleh perkembangan dunia digital juga disertai dengan kemudahan untuk melakukan duplikasi terhadap suatu Ciptaan yang berpotensi melanggar hak eksklusif yang dimiliki oleh Pencipta maupun Pemegang Hak Cipta.

Fenomena pelanggaran hak eksklusif terhadap suatu karya sering kali terjadi, khususnya terhadap Ciptaan berupa lagu. Adapun beberapa jenis kasus pelanggaran

atas hak cipta lagu yang terjadi di Indonesia antara lain penggubahan lagu tanpa izin, menyanyikan lagu tanpa izin, ataupun menggunakan lagu tanpa izin Pencipta.5

Penggunaan lagu tanpa izin dari Pencipta merupakan salah satu fenomena yang paling sering terjadi di Indonesia. Berbagai lagu-lagu dari musisi dan Pencipta lagu terkenal dapat dengan mudah diputar oleh pihak-pihak di berbagai kegiatan seperti pelaku usaha yang memutar lagu di restaurant atau café, pemutaran musik atau lagu di kegiatan seminar, bahkan pemutaran lagu di pusat perbelanjaan. Selain itu, penggunaan lagu tanpa izin juga masih terjadi dalam bentuk cover lagu yang kemudian diunggah dalam berbagai situs media sosial, seperti You-tube, Instagram, Tik-Tok, ataupun media sosial lainnya.

Keberadaan media sosial dengan berbagai akun atau channel yang menyediakan lagu yang dapat diputar dengan mudah dan tanpa biaya juga berkembang secara sporadis. Beragam jenis lagu dari berbagai musisi di dunia dapat dengan mudah diakses melalui satu sentuhan saja. Kemudahan akses atas berbagai lagu menjadi tantangan tersendiri bagi para Pencipta dan Pemegang Hak Cipta untuk terus berupaya melindungi hak-hak atas Ciptaannya.

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan tersebut diatas, maka penting untuk dikaji secara mendalam mengenai isu hukum berkaitan dengan pengaturan perlindungan atas lagu dan royalti serta mekanisme pemungutan dan pembayaran royalty setelah diberlakukannya Peraturan Pemerintah Repubik Indonesia Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik (selanjutnya disebut PP 56/2021).

Adapun tujuan penulisan ini adalah untuk menganalisis, mengidenfitikasi, dan mengelaborasi perlindungan hukum atas lagu berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait hak cipta, dan mekanisme pemungutan dan pengelolaan royalti setelah diberlakukannya PP 56/2021. Untuk mewujudkan tujuan penulisan, tulisan akan membahas substansi yang relevan dengan fokus permasalahan. Pertama, dibahas mengenai pengaturan perlindungan lagu dan royalti. Kedua, dibahas mengenai mekanisme pemungutan dan pengelolaan royalti.

Studi terdahulu dilakukan pada 2021 oleh Vione Natasya Alicia, yang mengkaji mengenai “Penerapan Pasal 87 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta Terkait Pemungutan Royalti Lagu Melalui Lembaga Manajemen Kolektif (Studi di Karya Cipta Indonesia dan Sentra Lisensi Musik)”. Dalam penelitian ini, fokus kajian adalah pelaksanaan pemungutan royalti melalui Lembaga Manajemen Kolektif dalam hal ini Karya Cipta Indonesia dan Sentra Lisensi Musik yang mengacu pada Pasal 87 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. 6 Pada tahun 2014, penelitian serupa juga pernah dilakukan oleh Rezky Lendi Maramis yang mengkaji mengenai “Perlindungan Hukum Hak Cipta Atas Karya Musik dan Lagu Dalam Hubungan dengan Pembayaran Royalti”. Dalam penelitian ini, fokus kajian penulis

ISSN: 1978-152                     ISSN: 1978-1520

adalah mengenai perlindungan hukum terhadap Pencipta karya musik dan lagu termasuk cara memperoleh haknya (Royalti) berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.7

Penelitian ini jika dibandingkan dengan beberapa studi terdahulu memiliki kesamaan dari segi topik, yaitu sama-sama membahan mengenai perlindungan atas lagu, namun memiliki fokus kajian yang berbeda. Tulisan ini menekankan pada undang-undang hak cipta dan mekanisme pemungutan dan pengelolaan royalti setelah diberlakukannya PP 56/2021.

  • 2.    Metode Penelitian

Artikel ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan (Statutory Approach), pendekatan konsep (Conceptual Approach) serta pendekatan analisis (Analytical Approach). Tehnik penelusuran bahan hukum menggunakan tehnik studi dokumen, serta analisis kajian menggunakan analisis kualitatif. Merujuk pada pemikiran Peter Mahmud Marzuki, penelitian normatif dapat dipahami sebagai suatu proses untuk menemukan jawaban ats permasalahan hukum yang terjadi dengan mengkaji aturan hukum, prinsip hukum, atau bahkan melalui doktrin hukum terkait.8

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    3.1.    Pengaturan Perlindungan Lagu dan Royalti

Lagu atau musik adalah salah satu objek perlindungan hak cipta yang diakui sebagaimana ditentukan dalam Pasal 40 huruf (d) UUHC. Merujuk pada penjelasan Pasal 40 huruf d ditentukan bahwa “lagu atau musik dengan atau tanpa teks diartikan sebagai satu kesatuan karya cipta yang bersifat utuh”.9 Menurut Encyclopaedia Britannica, lagu atau song diartikan sebagai “piece of music performed by a single voice, with or without instrumental accompaniment”.10

Dalam lingkup hak cipta, perlindungan atas Ciptaan, termasuk lagu diberikan secara otomatis setelah karya tersebut diwujudkan dalam bentuk nyata (expressed work). Dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 UUHC ditentukan secara tegas bahwa hak cipta dipandang sebagai hak eksklusif yang dimiliki oleh Pencipta yang timbul secara otomatis dengan berdasarkan atas prinsip deklaratif, yaitu prinsip yang diyakini bahwa perlindungan atas Ciptaan diberikan setelah Ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata.11

Konsep perlindungan otomatis sebagaimana ditentukan dalam UUHC merupakan adopsi dari Berne Convention.12 Konsep ini dikenal sebagai automatically protection.13 Prinsip perlindungan secara otomatis tidak mewajibkan seorang Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk melakukan Pencatatan atas Ciptaan miliknya, maka dari itu Pencatatan yang diatur dalam UUHC tidak wajib untuk dilakukan atau bersifat fakultatif.14 Seiring dengan perkembangan teknologi dan sebagai upaya untuk memberikan perlindungan atas hak eksklusif yang dimiliki Pencipta, tentu akan lebih menguntungkan apabila Pencatatan dilakukan sebagai upaya preventif yang nantinya dapat digunakan sebagai tanda bukti formal apabila terjadi pelanggaran hak eksklusif atas Ciptaan.15

Pada awal kemunculannya, konsep perlindungan otomatis atau automatically protection yang dianut oleh Berne Convention didasari oleh prinsip hak cipta Prancis yang mengutamakan hak-hak ilmiah sebagaimana dianut daam mahzab hukum alam yang pada intinya meyakini hak cipta lahir secara alamiah dan melekat pada individu. 16 Pemikiran ini mempertegas bahwa hak cipta bukanlah pemberian dari orang lain. 17 Hal ini senada dengan pemikiran John Locke yang dikenal dengan teori hukum alam yang pada intinya mengemukakan bahwa suatu hak secara natural akan lahir pada suatu Ciptaan yang berasal dari suatu investasi individu, sehingga kekayaan intelektual tersebut merupakan hak individu yang dimiliki oleh Pencipta.18

Pengaturan terhadap perlindungan hak cipta juga diungkapkan oleh Robert M. Sherwood yang dikenal dengan teori perlindungan kekayaan intelektual, yaitu teori penghargaan (reward theory), teori pemulihan (recovery theory), teori risiko (risk theory), teori insentif (incentive theory), dan teori economic stimulus growth.19 Merujuk pada pemikiran Robert M. Sherwood dipahami bahwa pemberian perlindungan atas Ciptaan patut dilakukan dengan mempertimbangkan kesempatan untuk memberikan penghargaan kepada Pencipta sebagaimana teori penghargaan, dan kepatutan untuk menghargai pengorbanan yang telah dilakukan oleh Pencipta dengan memberikan insentif sebagaimana dikenal dengan teori insentif.20

Teori penghargaan (reward theory) sebagaimana diungkapkan oleh Robert M. Sherwood terefleksi dalam ketentuan Pasal 4 UUHC yang pada intinya mengakui hak eksklusif berupa hak moral dan hak ekonomi. Hak moral yang diakui dalam UUHC diakui sebagai hak yang melekat secara pribadi pada diri Pencipta dan tetap diakui serta dihormati walaupun Pencipta meninggal, sehingga perlindugan terhadap hak moral tidak memiliki batas waktu.21 Adapun bentuk perlindungan hak moral secara lebih lanjut diatur dalam ketentuan Pasal 5 UUHC yang memberikan hak kepada Pencipta untuk:

  • a.    Tetap mencantumkan atau tidak mencantumkan namanya pada Salinan sehubungan dengan pemakaian Ciptaannya untuk umum;

  • b.    Menggunakan nama aliasnya atau samarannya;

  • c.    Mengubah Ciptaannya sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat;

  • d.    Mengubah judul dan anak judul Ciptaan; dan

  • e.    Mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi Ciptaan, mutilasi Ciptaan, modifikasi Ciptaan, atau hal yang bersifat merugikan kehormatan diri atau reputasinya.

Pemikiran Sherwood juga mengakomodir mengenai adanya perlindungan terhadap hak ekonomi yang dimiliki oleh Pencipta melalui incentive theory. Hak ekonomi ini diatur dalam ketentuan Pasal 8 dan Pasal 9 UUHC. Merujuk pada ketentuan Pasal 9 ayat (1) UUHC diatur bahwa “Pencipta atau pemegang hak cipta memiliki hak ekonomi untuk melakukan penerbitan ciptaan, pengadaan ciptaan, penerjemahan ciptaan, pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian ciptaan, pendistribusian ciptaan atau salinannya, pertunjukkan ciptaan, pengumuman ciptaan, komunikasi ciptaan, dan penyewaan ciptaan”. UUHC juga menegaskan kewajiban untuk memperolah izin dari Pencipta dalam hal penggunaan Ciptaan secara komersial, sebagaimana ditentukan dalam pasal 9 ayat (2) UUHC.

Merujuk pada ketentuan dalam Pasal 58 ayat (1) UUHC ditentukan bahwa “perlindungan terhadap hak cipta berupa buku berlaku selama hidup Pencipta dan terus berlangsung selama 70 (tujuh puluh) tahun setelah Pencipta meninggal dunia”. Namun, UUHC menentukan jangka waktu perlindungan yang berbeda bagi Badan Hukum, yaitu berlaku “selama 50 (lima puluh) tahun terhitung sejak pertama kali dilakukannya Pengumuman”.

Pengaturan mengenai royalti juga diatur dalam UUHC. Merujuk pada ketentuan Pasal 1 angka 21 UUHC ditentukan bahwa “Royalti adalah imbalan atas pemanfaatan Hak Ekonomi suatu Ciptaan atau Produk Hak Terkait yang diterima oleh Pencipta atau Pemegang Hak Terkait”. Merujuk pada UUHC, dikenal adanya Lembaga Manajemen Kolektif yang bertugas sebagai “institusi yang diberi kuasa oleh Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan/atau pemilik Hak Terkait guna mengelola hak ekonominya dalam bentuk menghimpun dan mendistribusikan royalti”.

Dalam beberapa ketentuan UUHC ditentukan secara tegas bahwa Pencipta dan/atau Pemegang Hak Cipta memiliki hak untuk mendapatkan imbalan dalam bentuk royalti dalam hal Ciptaan yang dibuat dalam hubungan dinas dan digunakan secara

komersial. Merujuk pada ketentuan Pasal 80 dipahami bahwa pemberian royalty juga dikenakan pada penerima lisensi. Dalam Pasal 80 ayat (3) dipahami bahwa Lisensi yang diberikan kepada penerima Lisensi disertai dengan kewajiban untuk memberikan Royalti kepada Pencipta dan/atau Pemegang Hak Cipta selama jangka waktu Lisensi. Adapun besaran dan tata cara pemberian royalti disepakati oleh para pihak yang kemudian dituangkan dalam perjanjian Lisensi.

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas dapat dipahami bahwa lagu merupakan objek perlindungan hak cipta sebagaimana diatur dalam Pasal 40 huruf d UUHC. Sebagai objek perlindungan hak cipta, perlindungan atas lagu diberikan secara otomatis setelah lagu tersebut diwujudkan dalam bentuk nyata atau expressed work. Lagu dan royalti merupakan dua aspek yang saling terhubung dan terkait. Dalam hal penggunaan dan pemanfaatan atas lagu, terutama dalam hal penggunaan secara komersial, maka Pencipta dan/atau Pemegang Hak Cipta berhak untuk menerima royalty atau imbalan atas pemenfaatan hak ekonomi atas lagu tersebut.

  • 3.2.    Mekanisme Pemungutan dan Pengelolaan Royalti Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik

Mekanisme pengelolaan dan pemungutan royalti atas lagu dan musik kini dituangkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah, yaitu “Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik” (selanjutnya disebut PP 56/2021). Dibentuknya PP 56/2021 didasari atas beberapa pertimbangan antara lain sebagai “usaha untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum terhadap Pencipta, Pemegang Hak Cipta dan pemilik Hak Terkait terhadap hak ekonomi atas lagu dan/atau musik yang digunakan secara komersial serta upaya untuk mengoptimalkan fungsi pengelolan royalti sesuai dengan ketentuan dalam UUHC”.

Upaya perlindungan dan kepastian hukum terhadap Pencipta, Pemegang Hak Cipta dan Pemilik Hak Terkait senada dengan pemikiran Philipus M. Hadjon mengenai perlindungan hukum yang diberikan keapda setiap orang.22 Menurut pemikiran Hadjon, dipahami bahwa “perlindungan berdasarkan harkat dan martabat akan pengukuhan hak asasi manusia yang di miliki oleh subyek hukum yang mana subyek hukum tersebut adalah masyarakat Indonesia yang berlandaskan atas suatu peraturan ataupun kaidah-kaidah yang dapat dijadikan landasan sebuah perlindungan dari suatu hal lainnya”.23 Pemikiran Hadjon memberikan pemahaman bahwa pada dasarnya perlindungan diberikan kepada setiap orang dari suatu perbuatan atau tindakan yang berpotensi merugikan orang tersebut dengan berdasarkan pada hak asasi manusia.

Merujuk pada ketentuan Pasal 2 ayat (1) PP 56/2021 dipahami bahwa “penggunaan layanan publik yang bersifat komersial untuk Pencipta atau Pemegang Hak Cipta meliputi pertunjukkan Ciptaan, pengumuman Ciptaan, dan komunikasi Ciptaan”. Selanjutnya ketentuan Pasal 3 ayat (1) PP 56/2021 pada intinya menentukan

ISSN: 1978-152                     ISSN: 1978-1520

pembayaran royalti kepada Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan/atau pemilik Hak terkait melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (selanjutnya disebut LMKN) dalam hal penggunaan secara komersial atas lagu dan/atau musk dalam bentuk layanan public yang bersifat komersial. Adapun bentuk layanan public yang bersifat komersial antara lain:

  • a.    Seminar dan konferensi komersial;

  • b.    Restoran, kafe, pub, bar, bistro, kelab malam, dan diskotek;

  • c.    Konser musik;

  • d.    Pesawat udara, bus, kereta api, dan kapal laut;

  • e.    Pameran dan bazar;

  • f.    Bioskop;

  • g.    Nada tunggu telepon;

  • h.    Bank dan kantor;

  • i.    Pertokoan;

  • j.    Pusat rekreasi;

  • k.    Lembaga penyiaran televisi;

  • l.    Lembaga penyiaran radio;

  • m.    Hotel, kamar hotel, dan fasilitas hotel; dan

  • n.    Usaha karaoke.

Melalui PP 56/2021 ditentukan adanya pusat data lagu dan/atau musik, dimana merujuk pada ketentuan Pasal 4 dipahami bahwa “pencatatan atas lagu dan/atau musik dilakukan oleh Menteri berdasarkan adanya permohonan pencatatan yang diajukan secara online oleh Pencipta, Pemegang Hak Cipta, Pemilik Hak Terkait; atau kuasa”. Dalam hal pengajuan dilakukan oleh Kuasa, maka LMKN berdasarkan kuasa dari Pencipta, Pemegang hak cipta atau pemilik hak terkait dapat mengajukan permohonan, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 4 ayat (3) PP 56/2021.

Pencatatan atas lagu dan/atau musik ini selanjutnya dicatatkan dalam daftar umum Ciptaan yang kemudian dimasukkan dalam pusat data lagu dan/atau musik yang dikelola oleh Direktorat Jenderal. Pusat data ini kemudian dapat diakses oleh:

  • 1.    LMKN sebagai dasar Pengelolaan Royalti; dan

  • 2.    Pencipta, Pemegang Hak Cipta, pemilik Hak Terkait dan/atau kuasanya, serta orang yang melakukan penggunaan secara komersial untuk memperoleh informasi atas lagu dan/atau musik yang tercatat.

Adapun informasi yang wajib ada dalam Pusat data lagu dan/atau musik diatur dalam ketentuan Pasal 7 PP 56/2021, antara lain:

  • a.    Pencipta wajib memuat informasi jelas atas pulis notasi dan/atau melodi; penulis lirik; nama samara Pencipta; dan pengarah musik;

  • b.    Pemegang hak cipta wajib memuat informasi mengenai penerbit musik; ahli waris Pencipta; pihak yang menerima hak tersebut secara sah dari Pencipta; dan pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut secara sah;

  • c.    Pemilik Hak terkait wajib memuat informasi mengenai produser fonogram dan pelaku pertunjukkan;

  • d.    Hak cipta wajib memuat judul lagu; nama Pencipta notasi dan/atau melodi; nama Pencipta lirik; nama penerima manfaat; judul lagu alternatif; klaim

kepemilikan notasi dan/atau melodi; Klaim kepemilikan lirik; tahun fiksasi; penerbit musik; LMK Hak Cipta; kode Pencipta dunia; kode Hak Cipta; dan kode e-Hak Cipta Direktorat Jenderal;

  • e.    Hak Terkait wajib memuat pemilik karya rekam; produser musik; nama artis; musisi pendukung; penata suara rekaman sebagai co-produser; kode karya rekam dunia; kode pelaku pertunjukkan dunia; dan kode e-Hak Terkait Direktorat Jenderal.

Informasi yang ada pada pusat data lagu dan/atau musik dapat berasal dari e-Hak Cipta. Pusat data lagu dan/atau musik terus diperbaharui secara berkala yaitu setiap 3 (tiga) bulan atau diperbaharui secara sewaktu-waktu apabila diperlukan adanya perbaharuan.

Dalam ketentuan Pasal 8 PP 56/2021 ditegaskan bahwa “pengelolaan royalti dilakukan oleh LMKN dengan berdasarkan pada data yang terintegrasi pada pusat data dan/atau musik”. Bagi siapapun yang ingin menggunakan lagu dan/atau musik secara komersial terutama penggunaan “dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial dapat mengajukan permohonan Lisensi kepada Pemegang Hak Cipta atau pemilik Hak Terkait melalui LMKN, sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) PP 56/2021”. Pelaksanaan Lisensi ini disertai dengan kewajiban untuk memberikan laporan penggunaan lagu dan/atau musik kepada LMKN melalui Sistem Informasi Lagu dan/atau Musik (selanjutnya disebut SILM), yaitu “sistem informasi atau data yang digunakan dalam pendistribusian Royalti lagu dan/atau musik”. Penggunaan Secara Komersial untuk suatu pertunjukkan dapat menggunakan lagu dan/atau musik dapat dilakukan tanpa adanya perjanjian Lisensi namun tetap dikenakan kewajiban untuk membayar Royalti melalui LMKN segera setelah penggunaan secara komersial atas lagu dan/atau musik.

Merujuk pada ketentuan Pasal 11 ayat (1) PP 56/2021 dapat dipahami bahwa terdapat keringanan tarif royalti dalam hal penggunaan secara komersial atas lagu dan/atau musik oleh pelaku usaha Mikro. Adapun keringanan tersebut ditetapkan oleh Menteri.

Melalui PP 56/2021 dipertegas bahwa “penarikan Royalti dari orang yang melakukan penggunaan secara komersial atas lagu dan/atau musik dalam betuk layanan public bersifat komersial dilakukan oleh LMKN”. Selain penarikan atas Royalti, LMKN juga bertugas untuk menghimpun Royalti dengan melakukan koordinasi dan menetapkan besaran royalti yang menjadi hak masing-masing Lembaga Manajemen Kolektif (selanjutnya disebut LMK) sesuai dengan kelaziman dalam praktik dengan berdasarkan atas keadilan. Royalti yang telah dihimpun oleh LMKN kemudian digunakan untuk:

  • a.    didistribusikan kepada Pencipta, Pemegang Hak Cipta dan pemilik hak terkait yang telah menjadi anggota LMK;

  • b.    dana operasional; dan

  • c.    dana cadangan.

Pendistribusian oleh LMKN tersebut dilakukan berdasarkan atas laporan penggunaan data lagu dan/atau musik yang ada di SILM. Pendistribusian kepada Pencipta, Pemegang Hak Cipta dan pemilik hak terkait kemudian dilakukan melalui LMK. Dalam hal Pencipta, Pemegang Hak Cipta dan pemilik Hak Terkait tidak diketahui

dan/atau belum menjadi anggota dari suatu LMK, maka Royalti tersebut disimpan dan diumumkan oleh LMKN selama 2 (dua) tahun. Namun, apabila dalam jangka waktu tersebut Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan pemilik Hak Terkait tetap tidak diketahui, maka “Royalti dapat digunakan sebagai dana cadangan. Dalam hal terjadi ketidaksesuaian dalam hal pendistribusian atas besaran Royalti, maka Pencipta, Pemegang Hak Cipta dan pemilik Hak Terkait dapat menyampaikan kepada Direktorat Jenderal untuk dilakukan penyelesaian sengketa secara mediasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 16 PP 56/2021”.

Melihat pola dalam PP 56/2021, tampak bahwa Pencatatan atas lagu dan/atau musik saat ini mulai bergeser. Merujuk pada penjelasan Pasal 64 ayat (2) UUHC dipahami bahwa Pencatatan Ciptaan bukan merupakan suatu keharusan24, namun dengan adanya PP 56/2021 ini, Pencatatan yang awalnya bukan merupakan suatu keharusan mulai dipertimbangkan menjadi awal yang krusial, esensial dan perlu untuk dilakukan sebagai upaya untuk mendukung program pengelolaan royalti. Tanpa adanya Pencatatan atas lagu dan/atau musik, Pemerintah melalui Menteri dan Direktorat Jenderal terkait tidak akan memiliki informasi jelas pada pusat data lagu dan/atau musik. Dengan demikian, Pemerintah perlu menggalakkan program Pencatatan atas Ciptaan, khususnya lagu dan/musik sebagai hal yang krusial dan esensial dalam hal kaitannya dengan upaya pengelolaan royalti atas lagu dan/atau musik.

Berdasarkan paparan tersebut di atas dapat dipahami bahwa pengelolaan atas royalti kini diatur dalam bentuk Peraturan Pemerintah, yaitu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik. Adapun tujuan pembentukan PP ini adalah untuk untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum terhadap Pencipta, Pemegang Hak Cipta dan pemilik Hak Terkait terhadap hak ekonomi atas lagu dan/atau musik yang digunakan secara komersial serta upaya untuk mengoptimalkan fungsi pengelolaan royalti sesuai dengan ketentuan dalam UUHC. Dengan demikian, untuk mewujudkan suatu pengelolaan royalti atas lagu dan/atau musik, diperlukan adanya kesadaran dari pihak Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan pemilik Hak Terkait untuk melakukan Pencatatan atas lagu dan/atau musik dan perlu adanya kesadaran dari pihak yang memanfaatkan lagu dan/atau musik dalam bentuk layanan public yang bersifat komersial untuk melakukan pemenuhan kewajiban berupa pembayaran royalti kepada Pencipta, Pemegang Hak Cipta dan/atau pemilik Hak Terkait melalui LMKN.

  • 4. Kesimpulan

Berdasarkan paparan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa lagu merupakan objek perlindungan hak cipta sebagaimana diatur dalam Pasal 40 huruf d UUHC. Perlindungan atas lagu diberikan secara otomatis setelah lagu tersebut diwujudkan dalam bentuk nyata atau expressed work. Lagu dan royalti merupakan dua aspek yang saling terhubung dan terkait. Dalam hal penggunaan dan pemanfaatan atas lagu, terutama dalam hal penggunaan secara komersial, maka Pencipta dan/atau Pemegang Hak Cipta berhak untuk menerima royalty atau imbalan atas pemenfaatan hak ekonomi atas lagu tersebut. Pengelolaan atas royalti kini diatur dalam bentuk Peraturan Pemerintah, yaitu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 56

Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik. Adapun tujuan pembentukan PP ini adalah untuk untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum terhadap Pencipta, Pemegang Hak Cipta dan pemilik Hak Terkait terhadap hak ekonomi atas lagu dan/atau musik yang digunakan secara komersial serta upaya untuk mengoptimalkan fungsi pengelolaan royalti sesuai dengan ketentuan dalam UUHC. PP ini menegaskan fungsi LMKN untuk melalukan penarikan atas royalti, penghimpunan atas royalti dan pendistribusian atas royalti. Dengan demikian, untuk mewujudkan suatu pengelolaan royalti atas lagu dan/atau musik, diperlukan adanya kesadaran dari pihak Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan pemilik Hak Terkait untuk melakukan Pencatatan atas lagu dan/atau musik dan perlu adanya kesadaran dari pihak yang memanfaatkan lagu dan/atau musik dalam bentuk layanan public yang bersifat komersial untuk melakukan pemenuhan kewajiban berupa pembayaran royalti kepada Pencipta, Pemegang Hak Cipta dan/atau pemilik Hak Terkait melalui LMKN.

Daftar Pustaka

“5 Kasus Pelanggaran Hak Cipta Lagu, Dari Dewa 19 Hingga Iwan Fals | Kumparan. Com.”         Accessed        July         25,         2021.

https://kumparan.com/kumparannews/5-kasus-pelanggaran-hak-cipta-lagu-dari-dewa-19-hingga-iwan-fals-1543575783267928409/full.

Alicia, Vione Natasya. “PENERAPAN PASAL 87 UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA TERKAIT PEMUNGUTAN ROYALTI LAGU MELALUI LEMBAGA MANAJEMEN KOLEKTIF (STUDI DI KARYA CIPTA INDONESIA DAN SENTRA LISENSI MUSIK).” Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum, 2021.

Amrikasari, Risa Hartati, Sophar Maru Hutagalung, and Slamet Supriatna. “Perwujudan Dalam Bentuk Nyata (Fixation) Atas Karakter Fiksi Pada Karya Sinematografi Film Dalam Hukum Hak Cipta.” Krisna Law 2, no. 1 (2020): 77– 94.

Asri, Dyah Permata Budi. “Perlindungan Hukum Preventif Terhadap Ekspresi Budaya Tradisional Di Daerah Istimewa Yogyakarta Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta.” JIPRO: Journal of Intellectual Property 1, no. 1 (2018): 13–23.

Asyfiyah, Siti. “PERLINDUNGAN HUKUM POTENSI INDIKASI GEOGRAFIS DI KABUPATEN BREBES GUNA PENGEMBANGAN EKONOMI MASYARAKAT     LOKAL.”     Jurnal     Idea     Hukum,     2015.

https://doi.org/10.20884/jih.v1i2.17.

Carducci, David R. “Copyright Registration: Why the US Should Berne the Registration Requirement.” Ga. St. UL Rev. 36 (2019): 873.

Dewi, Anak Agung Mirah Satria. “Perlindungan Hukum Hak Cipta Terhadap Cover Version Lagu Di Youtube.” Jurnal Magister Hukum Udayana 6, no. 4 (2017).

Dwijayanthi, Putri Triari, and Ni Ketut Supasti Dharmawan. “The Responsibilities of Influencers in Promoting Tie-Dye Motif Products Based on Copyright Law.” Substantive Justice International Journal of Law 3, no. 2 (December 6, 2020): 167–79. https://doi.org/10.33096/substantivejustice.v3i2.90.

Fadhila, Ghaesany. “Perlindungan Karya Cipta Lagu Dan/Atau Musik Yang Dinyanyikan Ulang (Cover Song) Di Jejaring Media Sosial Dikaitkan Dengan Hak Ekonomi B Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta.” ACTA DIURNAL Jurnal Ilmu Hukum Kenotariatan 1, no. 2 (2018):

222–35.

Kusno, Habi. “Perlindungan Hukum Hak Cipta Terhadap Pencipta Lagu Yang Diunduh Melalui Internet.” FIAT JUSTISIA: Jurnal Ilmu Hukum 10, no. 3 (2016).

“Madrigal | Vocal Music | Britannica,” n.d.

Maramis, Rezky Lendi. “Perlindungan Hukum Hak Cipta Atas Karya Musik Dan Lagu Dalam Hubungan Dengan Pembayaran Royalti.” Lex Privatum 2, no. 2 (2014).

Muis, Lidya Shery, Ari Purwadi, and Dwi Tatak Subagiyo. “PERLINDUNGAN HUKUM HAK CIPTA FESYEN TERHADAP EKONOMI KREATIF DALAM MASYARAKAT     EKONOMI     ASEAN.”     Perspektif,     2017.

https://doi.org/10.30742/perspektif.v22i2.618.

Mukti Fajar, ND, and Y Achmad. Dualisme Penelitian Hukum: Normatif & Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013.

Nurdahniar, Inda. “ANALISIS PENERAPAN PRINSIP PERLINDUNGAN LANGSUNG DALAM PENYELENGGARAAN PENCATATAN CIPTAAN.” Veritas et Justitia, 2016. https://doi.org/10.25123/vej.2073.

Saputra, M Febry. “Hak Cipta Dance Challenge Yang Diunggah Ke Aplikasi Tiktok.” Jurnal Penegakan Hukum Indonesia 2, no. 1   (2021):   69–91.

https://doi.org/https://doi.org/10.51749/jphi.v2i1.16.

Setyaningrum, Indriasari. “Perlindungan Hak Eksklusif Pencipta Terkait Hak Moral Dan Hak Ekonomi Dalam Perjanjian Royalti Dengan Penerbit Buku (Studi Di UB Press Malang, UM Press Malang, Penerbit Bayumedia Malang).” Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum 1, no. 2 (2014).

Situmeang, Ampuan, and Rita Kusmayanti. “Perlindungan Hukum Terhadap Pencipta Atau Pemegang Hak Cipta Lagu Dalam Pembayaran Royalti.” Journal of Law and Policy Transformation 5, no. 1 (2020): 155–76.

Supasti, Ni Ketut. “RELEVANSI HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DENGAN HAK ASASI MANUSIA GENERASI KEDUA.” Jurnal Dinamika Hukum, 2014.

https://doi.org/10.20884/1.jdh.2014.14.3.323.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik

136