Perlindungan Hukum Terhadap Merek Terdaftar Akibat Tindakan Trademarks Squatting di Indonesia

Tania Novelin1, Pande Yogantara S.2

1Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

2Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

Info Artikel

Masuk: 26 Januari 2022 Diterima: 10 Mei 2022 Terbit: 12 Mei 2022


Keywords:

Legal protection; Registered Mark;

Trademarks squatting


Kata kunci:

Perlindungan hukum; Merek

Terdaftar; Trademarks squatting

Corresponding Author:

Tania Novelin, E-mail: [email protected]

DOI:

10.24843/JMHU.2022.v11.i01.p12


Abstract

The purpose of this paper is the purpose of this paper is to examine, analyze and elaborate the concept of trademarks squatting and legal protection of registered trademarks due to trademarks squatting in Indonesia. This paper is a paper using a normative research method using a statutory approach, a conceptual approach and an analytical approach. The results show that the concept of the Trademarks Squatting Act is not regulated in the provisions of the Trademarks and Geographical Indications Act, but in international settings, WIPO explains that trademark squatting is the act of registering or using a mark which is generally a well-known foreign mark, where the mark has not been registered in a country or the mark has been registered but has never been used by the owner of the mark concerned. As well as legal protection for registered marks as a result of trademark squatting in Indonesia, namely being able to file a lawsuit against other parties who unlawfully use a Mark that has similarities in principle or in its entirety for similar goods and/or services in the form of a claim for compensation; and/or Termination of all actions related to the use of the Mark in accordance with the provisions of Article 83 paragraph 1 of the Law on Marks and Geographical Indications.

Abstrak

Tujuan penulisan ini adalah tujuan penulisan ini adalah untuk mengkaji, menganalisa dan mengelaborasi konsep tindakan trademarks squatting serta perlindungan hukum terhadap merek terdaftar akibat tindakan trademarks squatting di Indonesia. Tulisan ini merupakan tulisan dengan menggunakan metode peneltiian normatif dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep (conceptual approach) dan pendekatan analisis (analytical approach). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Konsep Tindakan Trademarks Squatting tidak diatur dalam ketentuan Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis, namun dalam pengaturan internasional, WIPO menjelaskan bahwa trademark squatting adalah tindakan mendaftarkan atau menggunakan merek yang umumnya merupakan merek asing terkenal, di mana merek tersebut belum terdaftar di suatu negara atau merek tersebut sudah terdaftar namun tidak pernah digunakan oleh pemilik merek yang bersangkutan. Serta perlindungan hukum terhadap merek terdaftar akibat tindakan trademarks squatting di Indonesia yaitu dapat mengajukan gugatan terhadap pihak lain

yang secara tanpa hak menggunakan Merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya untuk barang dan/atau jasa yang sejenis berupa Gugatan ganti rugi; dan/atau Penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan Merek tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 83 ayat 1 UU Merek dan Indikasi Geografis.

  • 1.    Pendahuluan

Merek adalah sesuatu (gambar atau nama) yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi suatu produk atau perusahaan di pasaran.1 Merek sangatlah penting dalam dunia bisnis karena terkait dengan pemasaran suatu produk. Hal ini menjadi wajar karena publik sering mengaitkan suatu image, kualitas atau reputasi barang dan jasa dengan merek tertentu. Signifikansi suatu merek juga akan berguna bagi konsumen karena merek yang terkenal biasanya memberikan jaminan nilai atau kualitas dari barang.2

Secara nasional, perlindungan terhadap merek telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di Indonesia yaitu pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (selanjutnya UU Merek dan Indikasi Geografis). Pengertian Merek termuat dalam Pasal 1 angka 1 UU Merek dan Indikasi Geografis yang menjelaskan bahwa Merek adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa.

Hak atas merek termuat dalam ketentuan Pasal 3 UU Merek dan Indikasi Geografis yang menjelaskan bahwa “Hak atas Merek diperoleh setelah Merek tersebut terdaftar”, dengan kata lain Hak merek haruslah didaftarkan terlebih dahulu agar dapat terlindungi atau disebut dengan sistem first to file. Sistem first to file atas hak merek ini menghasilkan suatu celah hukum dalam proses pendaftaran merek. Terdapat suatu fenomena baru yang bernama trademark squatting.3 Secara sederhana trademark squatting dapat diartikan sebagai praktik untuk mendaftarkan merek-merek atas produk-produk baik barang atau jasa yang belum terdaftar sebelumnya untuk kemudian memperjualbelikannya kembali kepada pemilik merek sebenarnya.

Praktik trademark squatting pada awalnya terjadi dan berkembang di luar negeri. Adapun korban dari trademark squatting di luar negeri adalah merek-merek terkenal yang sudah terdaftar di negara asalnya namun belum terdaftar di negara tempat trademark squatting terjadi. Salah satu contoh trademark squatting terjadi di negara

Tiongkok saat perusahaan teknologi asal Amerika Serikat Apple hendak mendaftarkan merek iPhone. Pendaftaran Apple ditolak dengan alasan telah terlebih dahulu didaftarkan oleh perusahaan lokal Tiongkok. 4 Kasus serupa juga dialami oleh perusahaan asal Amerika Serikat yang terkenal dengan produk kopi berikut gerainya yaitu Starbucks Corporation. Merek Starbucks didaftarkan oleh seorang trademark squatters di Rusia sehingga Starbucks Corporation tidak bisa menggunakan merek dagangnya tersebut di Rusia.

Praktik trademark squatting dilakukan oleh pelaku yang biasa disebut sebagai trademark squatters. Trademark squatters biasanya akan melakukan semacam penelitian di lapangan terkait merek mana yang sudah relatif dikenal oleh publik namun belum terdaftar untuk kemudian mendaftarkan merek tersebut. Setelah merek tersebut terdaftar, trademark squatters akan meminta kompensasi kepada pemilik merek asli karena telah menggunakan merek yang telah lebih dulu trademark squatters daftarkan. Umumnya trademark squatters akan meminta uang melebihi nominal yang ia keluarkan saat mendaftarkan merek dulunya. Jika pemilik merek asli menolak untuk membayar atau memberikan kompensasi maka trademark squatters akan meminta pada pemilik merek asli untuk mengganti merek yang selama ini digunakannya atau jika masih bersikeras untuk menggunakan, trademark squatters mengancam akan menempuh jalur hukum.

Mengingat UU Merek dan Indikasi Geografis tidak melarang praktik ini secara tegas dan juga terkait dengan sistem pendaftaran merek yang berlaku di Indonesia adalah first to file. Selain itu, masih minimnya kesadaran pelaku usaha di Indonesia untuk mendaftarkan merek membuat mereka semakin rentan terhadap praktik trademark squatting.

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan tersebut, maka penting untuk dilakukan kajian secara mendalam mengenai isu hukum berkaitan dengan Bagaimanakah Perlindungan Hukum Terhadap Merek Terdaftar Akibat Tindakan Trademarks Squatting di Indonesia. Selain itu, perlu untuk dikaji mengenai bagaimanakah konsep trademarks squatting di Indonesia serta bagaimana perlindungan terhadap merek terdaftar akibat tindakan trademarks squatting di Indonesia.

Studi terdahulu dilakukan oleh Zil Aidi dan Widya Justitia pada tahun 2016 yang mengkaji mengenai “Praktik Trademark Squatting Dalam Proses Pendaftaran Merek di Indonesia”.5 Adapun fokus kajian pada tulisan ini adalah praktik trademark squatting dapat terjadi dalam proses pendaftaran merek di Indonesia dan kendala yang ditemukan dalam proses pendaftara merek beserta cara mengatasinya yang mana dalam penelitian tersebut masih menggunakan UU No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek. Adanya persamaan pada topik bahasan, yaitu sama-sama mengkaji tindakan trademarks squatting. Namun, fokus kajian penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya. Penelitian ini memfokuskan analisa kajian pada bentuk konsep tindakan trademarks squatting di Indonesia serta perlindungan hukum terhadap merek terdaftar akibat tindakan trademarks squatting di Indonesia.

Adapun tujuan penulisan ini adalah untuk mengkaji, menganalisa dan mengelaborasi konsep tindakan trademarks squatting serta perlindungan hukum terhadap merek terdaftar akibat tindakan trademarks squatting di Indonesia. Untuk mewujudkan tujuan penulisan, tulisan ini akan membahas substansi yang relevan dengan fokus permasalahan secara terstruktur dan sistematis. Pertama, dibahas mengenai konsep tindakan trademarks squatting di Indonesia. Kedua, dibahas mengenai perlindungan hukum terhadap merek terdaftar akibat tindakan trademarks squatting di Indonesia.

  • 2.    Metode Penelitian

Tulisan ini merupakan tulisan dengan menggunakan metode penelitian normatif karena fokus kajian berangkat dari kekosongan norma. Tulisan ini menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep (conceptual approach) dan pendekatan analisis (analytical approach). Adapun bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini ditelusuri dengan menggunakan tehnik studi dokumen dan dianalisa dengan menggunakan analisis kualitatif. Merujuk pada pemikiran dari Peter Mahmud Marzuki, penelitian normatif dipahami dan dimengerti sebagai suatu proses dengan tujuan untuk menemukan aturan hukum, prinsip hukum, ataupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab permasalahan hukum yang sedang dihadapi.6

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Konsep Trademarks Squatting di Indonesia

Pengertian maupun konsep trademark squatting tidak termuat dalam ketentuan UU Merek dan Indikasi Geografis. Trademark squatting dapat ditemukan definisinya dalam WIPO. Intellectual Property Handbook memaknai trademark squatting sebagai “the registration or use of a generally well-known foreign trademark that is not registered in the country or is invalid as a result of non-use”.7 WIPO menyatakan bahwa trademark squatting adalah tindakan mendaftarkan atau menggunakan merek yang umumnya merupakan merek asing terkenal, di mana merek tersebut belum terdaftar di suatu negara atau merek tersebut sudah terdaftar namun tidak pernah digunakan oleh pemilik merek yang bersangkutan. Doris Long juga menjelaskan bahwa trademark squatters sebagai pihak yang berupaya mendaftarkan merek milik pihak lain sebelum merek tersebut didaftarkan oleh pihak pemilik merek yang asli.8

Secara praktis trademark squatting dapat diartikan sebagai suatu tindakan yang dilakukan oleh trademark squatters untuk mendaftarkan merek, bisa berupa merek dagang ataupun jasa, milik orang lain yang belum terdaftar untuk kemudian setelah sertifikat kepemilikkan merek tersebut didapatkan akan ia jual kepada pemilik merek yang asli dengan ancaman apabila pemilik merek yang asli tersebut tidak mau membeli maka pemilik merek yang asli harus mengganti merek yang sedang

digunakan atau jika tetap berkeras menggunakan maka trademark squatters akan mempersoalkan hal ini melalui jalur hukum.

Ditinjau dari sisi pihak yang menjadi korban, trademark squatting dapat diklasifikasikan menjadi dua, yang pertama adalah korban merupakan pemilik merek luar negeri yang tidak atau belum terdaftar di negara trademark squatters, mengingat sifat pendaftaran merek yang bersifat lokal atau hanya berlaku di negara tempat didaftarkannya merek tersebut. Kedua adalah korban yang merupakan pemilik merek lokal dalam negeri yang mana sudah menggunakan mereknya namun belum terdaftar.

Praktik trademark squatting di luar negeri dapat terlihat pada kasus Starbucks Corporation yang merupakan perusahaan yang core dengan bisnisnya utamanya adalah penjualan kopi dengan membuka gerai. Pada tahun 1997, Starbucks mendaftarkan mereknya di Rusia dan telah mendapat sertifikat hak merek. Namun, Starbucks Corporation tidak pernah membuka bisnisnya di Rusia secara resmi dengan membuka gerai melainkan hanya menjualnya melalui toko-toko kecil saja. Pada tahun 2002, seorang trademark squatters Rusia bernama Sergei Zuikov mendaftarkan merek Starbucks untuk produk kopi kepada The Federal Service for Intellectual Property or Rospatent Rusia setelah sebelumnya mengajukan permohonan pembatalan hak merek Starbucks dengan alasan tidak digunakan. Setelah memiliki hak atas merek Starbucks, Sergei Zuikov menawarkan kepada Starbucks Corporation selaku pemilik sebenarnya atas merek Starbucks di Amerika Serikat untuk membeli hak merek tersebut dengan harga $600.000. Starbucks Corporation menolak dan memutuskan untuk membawa perkara ini ke pengadilan dengan mengajukan gugatan pembatalan merek. Pada akhirnya Starbucks dimenangkan dengan alasan Sergei Zuikov mendaftarkan merek dengan iktikad tidak baik.9

Trademark squatting juga pernah menimpa perusahaan Apple di Tiongkok yang mencoba untuk memasarkan produk terkenalnya yaitu iPhone ke negara Tiongkok yang notabene adalah salah satu pasar terbesar di dunia. Apple sudah melakukan pendaftaran atas merek dagang iPhone kepada Chinese Trademark O ffice pada tahun 2002. Namun, pihak Apple hanya mendaftarkan merek pada sub kelas 'komputer dan software komputer', tanpa mendaftarkannya pada sub kelas 'telepon dan telepon genggam'. Padahal sebagaimana yang telah diketahui, iPhone merupakan produk smartphone yang tergolong sebagai telepon genggam. Segera setelah itu, sebuah perusahaan asal Tiongkok yang bernama Hanwang Technology mendaftarkan merek iPhone di bawah sub kelas termasuk 'telepon dan telepon genggam'. Telah terdaftarnya merek iPhone pada sub kelas 'telepon dan telepon genggam' atas milik Hanwang Technology tentunya memberikan mereka hak untuk melarang Apple menjual produk iPhone di Tiongkok. Apple berjuang keras untuk mendapatkan

kembali merek miliknya, namun mereka kalah dalam posisinya di Chinese Trademark Office dan juga pada Trade Mark Review and Adjudication Board (TRAB). Pada akhirnya Apple kemudian bersepakat untuk membayar $3.650.000 kepada Hanwang Technology untuk mendapatkan kembali hak atas merek iPhone di sub kelas 'telepon dan telepon genggam'.10

Permasalahan yang menimpa dua perusahaan besar di atas pada intinya disebabkan oleh sistem pendaftaran merek yang bersifat lokalistik atau tidak berlaku internasional melainkan hanya di negara di tempat didaftarkan saja. Selain itu lemahnya sistem pendaftaran merek di dua negara tempat terjadinya trademark squatting juga menjadi faktor yang membuat praktik ini semakin berkembang. Bagaimana mungkin merek seterkenal iPhone dan Starbucks tidak digolongkan sebagai merek terkenal oleh otoritas HKI di kedua negara tersebut.

Melihat begitu banyaknya praktik trademark squatting di Negara lain, dapat dikatakan bahwa praktik ini juga berpotensi tinggi dapat berkembang di Indonesia sebagai dampak sistem perlindungan first to file pada hak merek yang memiliki celah-celah hukum. Tindakan yang dilakukan oleh trademark squatters ini mungkin dapat dinilai sebagai tindakan yang curang dan jahat, akan tetapi dari perspektif hukum dalam hal ini UU Merek dan Indikasi Geografis, apa yang dilakukan oleh trademark squatters adalah upaya untuk mempertahankan apa yang menjadi miliknya. Dalam sistem first to file pada pendaftaran merek jelas mengatur bahwasanya pemilik merek yang sah adalah pemilik yang memiliki sertifikat atas merek tersebut.

Meskipun tidak ada aturan yang melarang secara eksplisit praktik trademark squatting dalam UU Merek dan Indikasi Geografus, tetapi hal ini bisa sebenarnya dicegah dengan menerapkan aturan Pasal 21 ayat 2 UU Merek dan Indikasi Geografis yang dinyatakan bahwa “Permohonan hak atas merek akan ditolak jika diajukan oleh pemohon yang beretikad tidak baik”. Tindakan trademark squatters mendaftarkan merek yang bukan miliknya untuk kemudian dijual kembali dengan harga yang lebih mahal pada pemilik asli merek tersebut merupakan satu bentuk iktikad tidak baik. Pada realitasnya, sulit sekali untuk mendeteksi pada saat awal pendaftaran seseorang itu apakah ia mendaftarkan merek dengan itikad baik. Pada asasnya Ditjen HKI harus menerima dan menganggap setiap orang yang hendak mendaftarkan merek sebagai orang yang berkitikad baik kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.

  • 3.2    Perlindungan Terhadap Merek Terdaftar Akibat Tindakan Trademarks Squatting di Indonesia

Hingga saat ini, Indonesia belum memiliki peraturan khusus yang mengatur mengenai tindakan trademarks squatting. Hal ini memberikan ruang untuk memberlakukan perlindungan hukum hak atas merek sebagaimana diatur dalam UU Merek dan Indikasi Geografis dan UU ITE. Merujuk pada ketentuan dalam Pasal 1 angka 1 UU Merek dan Indikasi Geografis, dapat dipahami bahwa:

Merek adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga)dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdaganganbarang dan/atau jasa.

Dalam perlindungan Hak Kekayaan Intelektual, pemikiran Utilitarianis dari Jeremy Bentham kerap kerapkali digunakan sebagai dasar pijakan atau landasan filosofi dalam membahas perlindungan hukum HKI. Menurut Bentham, “the ultimate end of legislation is the greatest happiness of the greatest number”.11

Hukum diciptakan untuk mencapai kebahagiaan bagi bagian terbesar masyarakatnya. Sesungguhnya the principle of utility dari Bentham tidak hanya ditujukan semata-mata bagi kebahagiaan masyarakat, akan tetapi termasuk di dalamnya masyarakat dalam sosoknya sebagai individu. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa pemikiran Bentham dapat mendukung gagasan individualistic sekaligus juga komunal. Dalam konteks itu, Bentham lebih jauh mengemukakan:

By utility is meant that property in any object, whereby it tends to produce benefit, advantage, pleasure, good, happiness, or to prevent the happening of mischief, pain, evil, or unhappiness to the party whose interest is considered; if that partynbe the community in general, then the happiness of the community; if a particular individual, then the happiness of individual.12

Bentham mengemukakan bahwa pada hakikatnya tujuan hukum dibentuk adalah untuk mencapai kebahagiaan dari sebagian besar warga masyarakat. Dengan demikian, pemikiran Bentham tentang tujuan hukum dapat mengakomodir perlindungan hukum baik dalam dimensi individual maupun komunal.

Perlindungan hukum hak atas merek termuat dalam UU Merek yang menjelaskan bahwa hak atas merek hanya dapat diberikan apabila suatu merek telah didaftarkan terlebih dahulu. 13 Artinya, perlindungan merek diperoleh setelah Merek tersebut terdaftar, yaitu dengan dilakukannya permohonan pendaftaran merek melalui proses pemeriksaan seperti pemeriksaan substantif, telah melalui proses pengumuman dan

mendapat persetujuan dari Direktur Jendral agar dapat diterbitkannya sertifikat pendaftaran merek sebagai bukti pendaftaran merek.14

Pendaftaran merek didasarkan pada prinsip first to file system atau sistem konstitutif yang berarti hak atas merek hanya diberikan kepada pihak yang melakukan pendaftaran atas merek berdasarkan pada ikhtikad baik yang mendaftarkan merek tersebut.15 Adapun produk akhir dari pendaftaran merek adalah penerbitan sertifikat pendaftaran merekyang menunjukkan bahwa hak merek adalah hak eksklusif.

Adapun jangka waktu perlindungan hak atas merek yang ditentukan dalam UU Merek dan Indikasi Geografis adalah selama 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak tanggal penerimaan pendaftaran merek dan dapat diperpanjang.16 UU Merek dan Indikasi Geografis juga mengatur bahwa hak atas merek dapat dicabut apabila merek tidak digunakan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun berturut-turut atau apabila pendaftaran merek tersebut melanggar merek terdaftar milik pihak lain.17 Apabila terjadi pelanggaran terhadap suatu merek dan/atau merek terkenal, maka pemilik merek terdaftar dapat mengajukan gugatan terhadap orang ataupun badan hukum yang secara tanpa hak menggunakan merek tersebut. 18 Gugatan dapat diajukan dengan melihat adanya persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek terdaftar dan/atau merek terkenal untuk barang ataupun jasa.

Dalam hal pihak pemilik suatu merek terdaftar ingin mempertahankan haknya, pihak pemilik merek dapat mengajukan gugatan perdata sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 83 UU Merek dan Indikasi Geografis.19 Merujuk pada ketentuan Pasal 83 ayat (1) UU Merek dan Indikasi Geografis ditentukan bahwa:

Pemilik Merek terdaftar dan/atau penerima Lisensi Merek terdaftar dapat mengajukan gugatan terhadap pihak lain yang secara tanpa hak menggunakan Merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya untuk barang dan/atau jasa yang sejenis berupa:

  • a.    Gugatan ganti rugi; dan/atau

  • b.    Penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan Merek tersebut.

Gugatan dapat diajukan oleh pihak pemilik merek terdaftar kepada Pengadilan Niaga. Kesempatan untuk mengajukan gugatan juga dapat dilakukan oleh pemilik Merek terkenal berdasarkan putusan pengadilan. Gugatan atas pelanggaran merek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3), Pasal 68, Pasal 74, dan Pasal 76 UU Merek dan Indikasi Geografis dapat diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga dalam wilayah hukum tempat tinggal atau domisili Tergugat.

Merujuk pada ketentuan dalam Pasal 100 ayat (1) UU Merek dan Indikasi Geografis dapat dipahami bahwa dalam hal terdapat pihak yang menggunakan dengan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya dengan suatu Merek terdaftar milik pihak lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000, - (dua miliar rupiah). Dalam hal penggunaan secara tanpa hak atas Merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya dengan Merek terdaftar milik pihak lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 2.000.000.000, - (dua milyar rupiah).

Selain penyelesaian sengketa dengan mengajukan gugatan perdata sebagaimana diatur dalam ketentuan dalam Pasal 83 UU Merek dan Indikasi Geografis, pihak pemilik merek juga harus memaksimalkan pendaftaran merek melalui proses pendaftaran secara internasional serta melakukan promosi secara terus menerus. Perlindungan hukum terhadap merek di luar negeri juga dilakukan dengan cara pendaftaran merek tersebut di negara tujuan karena merek yang hanya didaftarkan di Indonesia, tidak memiliki perlindungan di negara lain. Dalam UU Merek dan Indikasi Geografis sudah mengatur mengenai permohonan pendaftaran merek secara internasional sebagaimana Pasal 52 ayat (1) dan (2) mengatur:

  • (1)    Permohonan pendaftaran Merek internasional dapat berupa:

  • a.    Permohonan yang berasal dari Indonesia ditujukan ke biro internasional melalui

Menteri; atau

  • b.    Permohonan yang ditujukan ke Indonesia sebagai sarah satu negara tujuan yang diterima oleh Menteri dari biro internasional.

  • (2)    Permohonan pendaftaran Merek internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a hanya dapat dimohonkan oleh:

  • a.    Pemohon yang memiliki kewarganegaraan Indonesia;

  • b.    Pemohon yang memiliki domisili atau tempat kedudukan hukum di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; atau

  • c.    Pemohon yang memiliki kegiatan usaha industri atau komersial yang nyata di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Selanjutnya, Pasal 52 ayat (4) mengatur Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran Merek internasional berdasarkan Protocol Relating to the Madrid Agreement Conceming the International Registration of Marks diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Berdasarkan paparan tersebut di atas dapat dipahami bahwa dalam hal pihak pemilik merek terdaftar bermaksud untuk mempertahankan haknya, maka pihak pemilik merek terdaftar dapat mengajukan gugatan perdata terhadap pihak yang menggunakan merek secara tanpa hak tersebut. Gugatan diajukan ke Pengadilan Niaga. Selain itu, pihak pemilik merek harus mengoptimalkan pendaftaran merek secara internasional dan melakukan promosi secara terus-menerus.

  • 4.    Kesimpulan

Berdasarkan paparan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa Konsep Tindakan Trademarks Squatting tidak diatur dalam ketentuan Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis, namun dalam pengaturan internasional, WIPO menjelaskan bahwa trademark squatting adalah tindakan mendaftarkan atau menggunakan merek yang umumnya merupakan merek asing terkenal, di mana merek tersebut belum terdaftar di suatu negara atau merek tersebut sudah terdaftar namun tidak pernah digunakan oleh pemilik merek yang bersangkutan. Serta perlindungan hukum terhadap merek terdaftar akibat tindakan trademarks squatting di Indonesia yaitu dapat mengajukan gugatan terhadap pihak lain yang secara tanpa hak menggunakan Merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya untuk barang dan/atau jasa yang sejenis berupa Gugatan ganti rugi; dan/atau Penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan Merek tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 83 ayat 1 UU Merek dan Indikasi Geografis. Selain itu dengan melakukan promosi secara terus menerus serta melakukan penaftaran secara internasional.

Daftar Pustaka

Abdillah, Mohammad Amar. “Perlindungan Hukum Pemilik Merek Tidak Terdaftar Atas Tindakan Pendaftaran Mereknya Oleh Pihak Lain Ditinjau Dari Asas Itikad Baik.” Jurist-Diction 2, no. 4 (2019): 1357–74.

Aidi, Zil, and Widya Justitita. “Praktik Trademark Squatting Dalam Proses Pendaftaran Merek Di Indonesia.” Padjadjaran Journal of Law 3, no. 1 (2016): 133– 53.

Antons, Christoph, and Kui Hua Wang. “Well-Known Trade Marks, Foreign Investment and Local Industry: A Comparison of China and Indonesia.” Deakin Law Review 20, no. 2 (2015): 185–219.

Assa, Belalia Jovie. “Pengaturan Penyelesaian Pelanggaran Merek Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek Dan Indikasi Geografis.” LEX PRIVATUM 7, no. 2 (2019).

Campbell, Patricia E, and Michael Pecht. “The Emperor’s New Clothes: Intellectual Property Protections in China.” J. Bus. & Tech. L. 7 (2012): 69.

Chang, Sunny. “Combating Trademark Squatting in China: New Developments in Chinese Trademark Law and Suggestions for the Future.” Nw. J. Int’l L. & Bus. 34 (2013): 337.

Dharmawan, Ni Ketut Supasti. Harmonisasi Hukum Kekayaan Intelektual Indonesia. Denpasar: Swasta Nulus, 2018.

Jotyka, Gossain, and I Gusti Ketut Riski Suputra. “Prosedur Pendaftaran Dan Pengalihan Merek Serta Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Merek Terkenal Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001.” Ganesha Law Review 3, no. 2 (2021): 125–39.

Long, Doris Estelle. “Is Fame All There Is-Relating Global Monopolists at Their Own

Marketing Game.” Geo. Wash. Int’l L. Rev. 40 (2008): 123.

M, Fajar, and Achmad Y. Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013.

Makruf, Makruf, and Sri Walny Rahayu. “Perlindungan Pemilik Merek Dagang Yang Terdaftar Dikaitkan Dengan Tanggungjawab Pelayanan Publik Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual.” Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Keperdataan 2, no. 3 (2018): 564–75.

Mamahit, Jisia. “Perlindungan Hukum Atas Merek Dalam Perdagangan Barang Dan Jasa.” Lex Privatum 1, no. 3 (2013).

Mukti Fajar, ND, and Y Achmad. Dualisme Penelitian Hukum: Normatif & Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013.

Putra, Fajar Nurcahya Dwi. “Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Hak Atas Merek Terhadap Perbuatan Pelanggaran Merek.” Mimbar Keadilan, 2014, 240068.

Rianda, Stephani, Rinitami Njatrijani, and Herni Widanarti. “Pelaksanaan Pendaftaran Merek Indikasi Geografis Pada Produk Mendoan Banyumas Di Pemkab Banyumas.” Diponegoro Law Journal 5, no. 4 (2016): 1–18.

Sangsuvan, Kitsuron. “Trademark Squatting.” Wis. Int’l LJ 31 (2013): 252.

Sardjono, Agus. Hak Kekayaan Intelektual Dan Pengetahuan Tradisional. Alumni, 2010.

Suwirda, Yuony. “Analisis Ekonomi Terhadap Hukum (Studi Terhadap Pembentukan Undang-Undang Merek).” Universitas Islam Indonesia, 2010.

Tinenta, Kristami. “Pengalihan Hak Atas Merek Terdaftar Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek Dan Indikasi Geografis.” Lex Privatum 6, no. 5 (2018).

Utomo, Tomi Suryo. Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Di Era Global Cetakan Pertama. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010.

Windari, Dayu. “Pelanggaran Merek Terkenal Dan Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Hak Dalam Perspektif Paris Convention, Trips Agreement Dan UU Merek Indonesia.” Jurnal Magister Hukum Udayana 3, no. 3 (2014): 44128.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek Dan Indikasi Geografis

176