Pertanggungjawaban terhadap Tindak Pidana Pelaku Insider Trading Menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
on
Pertanggungjawaban terhadap Tindak Pidana Pelaku Insider Trading Menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
Agus Ryan Pravanta,1 A.A.A.N Sri Rahayu Gorda 2
-
1 Fakultas Hukum Universitas Pendidikan Nasional, E-mail : [email protected]
-
2 Fakultas Hukum Universitas Pendidikan Nasional, E-mail: [email protected]
Info Artikel
Masuk : 2 Januari 2022
Diterima : 30 November 2022
Terbit : 28 Desember 2022
Keywords :
Criminal Act, Capital Market, Insider Trading
Kata kunci:
Tindak pidana, Pasar Modal, Insider Trading
Corresponding Author:
Agus Ryan Pravanta, E-mail:
DOI :
10.24843/JMHU.2022.v11.i04.
p13.
Abstract
This study aims to examine the regulation regarding insider trading (Insider trading) in Indonesia which has several statutory provisions such as the Criminal Code and Law No. 8 of 1995 concerning capital markets. This study also analyzes criminal liability for corporations that carry out insider trading based on the laws and regulations in force in Indonesia. This study uses a normative juridical research method with a statutory approach and a conceptual approach. The results of the study show that arrangements regarding insider trading in Indonesia are regulated in Law No. 8 of 1995 concerning Capital Markets. The thing that makes it a capital market crime is that when buying and selling shares, insiders base their actions on information about material facts about the company that has not been informed to the public, for example about the company's plan to merge or plan to acquire other companies that will make the company's value will increase. This kind of behavior is categorized as insider trading. As for criminal liability for corporations that carry out insider trading contained in Article 104 UUPM, liability is limited to the imposition of a maximum fine of IDR 15,000,000,000.00 (fifteen billion rupiah).
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaturan mengenai perdagangan orang dalam (Insider trading) di Indonesia memiliki beberapa ketentuan undang-undang seperti KUHP dan Undang-undang No.8 Tahun 1995 tentang pasar modal. Penelitian ini juga menganalisa pertanggung jawaban pidana bagi korporasi yang melakukan insider trading berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan (statutory approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach). Hasil studi menunjukkan bahwa pengaturan mengenai perdagangan orang dalam (Insider trading) di Indonesia diatur dalam Undang-undang No.8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Adapun hal yang membuatnya menjadi tindak pidana pasar modal adalah
apabila dalam melakukan pembelian dan penjualan saham, insiders saham, insiders itu mendasarkan perbuatannya kepada adanya informasi mengenai fakta materil perusahaan yang belum diinformasikan kepada publik, misalnya tentang rencana perusahaan untuk melakukan merger, atau rencana akan mengakuisisi perusahaan lain yang akan membuat nilai perusahaan itu akan menjadi naik. Perbuatan yang demikian inilah yang dikategorikan sebagai insider trading. Adapun pertanggungjawaban pidana bagi korporasi yang melakukan insider trading terdapat pada Pasal 104 UUPM maka pertanggungjawaban hanya terbatas pada penjatuhan pidana denda maksimal Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
Pasar modal merupakan suatu lembaga yang memobilisasi dana masyarakat dengan menyediakan sarana atau tempat untuk mempertemukan penjual dan pembeli dana-dana jangka panjang yang disebut efek atau saham.1 Untuk membeli saham atau menjual saham maka suatu informasi tentang situasi perusahaan tersebut sangat diperlukan oleh para investor. Informasi yang harus disampaikan kepada publik adalah informasi yang akurat dan lengkap sesuai dengan keadaan perusahaan.2
Pemberian informasi ini harus didasarkan pada prinsip keterbukaan sehingga dengan adanya keterbukaan informasi inilah kegiatan di pasar modal akan menjadi lebih efisien,3 sehingga para investor dapat menganalisis dan mendapat keuntungan dalam melakukan penawaran jual atau beli atas suatu efek. Namun, apabila informasi yang belum boleh dikeluarkan tersebut dimanfaatkan oleh orang dalam perusahaan untuk memperoleh keuntungan pribadi maka akan menimbulkan suatu kejahatan.4
Salah satu jenis kejahatan dalam prinsip keterbukaan adalah praktik insider trading. Untuk membuktikan terjadinya insider trading dalam perdagangan saham di kegiatan pasar modal cukup sulit.5 Hal ini disebabkan karena sulitnya penentuan mengenai standar fakta materiel dalam prinsip keterbukaan dan penghilangan fakta materiel
baik dalam transaksi saham maupun dalam dokumen-dokumen dalam penawaran umum lainnya.6
Selain itu perangkat hukum yang ada tidak berkembang secepat pasar modal, sehingga otoritas kesulitan dalam mencari alat bukti yang dapat diterima secara hukum. Masih lemahnya perangkat hukum dalam mengatasi praktik insider trading, maka perlu adanya perlindungan hukum dan pengaturan yang lebih tegas terhadap tindakan insider trading yang sangat merugikan para investor tersebut.
Studi terdahulu dilakukan olah Dedi Indra Sari yang mengkaji “Analisa Kasus Atas Dugaan Terjadinya Insider Trading dalam Perdagangan Saham PT. Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk.” Hasil penelitian menunjukkan bahwa tersebut Indikator yang dapat dipergunakan untuk mengungkap insider trading, yaitu; return or negative return, volatility, frequency transaction, volume transaction, dominasi anggota bursa, maka otoritas pengawasan dan penegakan hukum di pasar modal, berdasarkan Undang-undang No. 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal (selanjutnya UUPM) berada ditangan Bapepam-LK sebagai satu-satunya lembaga yang menjalankan peran tersebut untuk melakukan analisis.
Hal ini dibuktikan dengan pemberian kewenangan untuk melakukan pemeriksaan dan atau penyidikan apabila menurutnya telah terjadi pelanggaran terhadap Undang-undang pasar modal. Dalam menjalankan peran sebagai pemegang otoritas pengawasan di pasar modal, Bapepam-LK telah melaksanakan fungsi pemeriksaan dengan sangat baik, terkait dengan kasus dugaan insider trading PT. Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk. Berdasarkan Pasal 95 UUPM seharusnya sudah dapat dilakukan penyidikan dimana unsur-unsurnya telah terpenuhi. Peranan Bursa Efek dalam hal terjadinya dugaan insider trading atau kejahatan lainnya di dalam pasar modal sangat menetukan, dimana dalam hal terdapat ketidak-wajaran yang terjadi pada perdagangan saham suatu emiten, maka sistim penolakan (auto rejection) dapat mendeteksi ketidak wajaran yang terjadi.
Dalam hal ini, seharusnya Bapepam-LK dan Bursa Efek dapat mengambil langkah-Iangkah konkrit untuk menanggulangi kejahatan yang terjadi di pasar modal. Adanya pengecualian oleh pasal 98, tidak menghalangi ataupun meniadakan penyidikan, justru penyidikan tetap harus dilakukan agar ditemukan bukti untuk penuntutannya. Sedangkan pemeriksaan dapat dilaksanakan tetapi hanya merupakan tindakan pendahuluan dari penyidikan, sebatas meneari bukti-bukti awal dan menemukan peristiwa pidananya. Bila Bapepam-LK tidak tegas menjalankan tugasnya, maka kejahatan di pasar modal khususnya insider trading akan terus berlanjut.
Pembuktian tindak pidana insider trading, memang cukup sulit, akan tetapi bukan tidak mungkin dibuktikan. Memang sangat dimungkinkan terjadi bahwa tidak terbukti tindak pidananya, akan tetapi yang penting adalah pelaksanaan penuntutannya telah dilakukan sesuai prosedur dan transparan serta tindakan tersebut diawali oleh pelaksanaan penyidikan, sehingga tidak menimbulkan keeurigaan seperti saat ini.
Penelitian serupa juga dilakukan oleh Simon Oloan Sitorus yang mengkaji mengenai “Analisis Normatif Terhadap Kejahatan Insider Trading sebagai Predicate Crime dalam Praktik Money Laundering”. Penelitian ini menunjukkan bahwa Insider Trading di pasar modal Indonesia dimuat dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal khususnya dalam Pasal 95, 96, 97 dan Pasal 98 yang intinya adalah melarang orang dalam dari suatu emiten atau perusahaan publik yang mempunyai informasi orang dalam untuk melakukan pembelian ataupun penjualan atas efek emiten atau perusahaan tersebut maupun juga emiten atau perusahaan yang melakukan transaksi dengan emiten dimana ia bekerja.
Selain itu, orang dalam perusahaan publik atau emiten dilarang untuk mempengaruhi pihak lain ataupun memberikan informasi kepada pihak lain yang patut diduga dapat menggunakan informasi tersebut untuk membeli atau menjual efek perusahaan publik atau emiten yang disampaikan kepadanya. Larangan penggunaan informasi orang dalam ini lebih disebabkan karena tindakan tersebut merupakan tindakan yang kurang fair terhadap orang lain, yang sama sekali tidak tahu adanya informasi tersebut. Karena penggunaan informasi orang dalam oleh insider, atau pihak lain yang mempunyai hubungan dengan orang dalam (insiders) dapat menyebabkan diuntungkannya pihak tersebut secara finansial, dengan mengakibatkan kerugian pada pihak/investor lain Tindak Pidana Asal (Predicate Crime) diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Disebutkan bahwa hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana, salah satunya tindak pidana di bidang pasar modal. Pasal 2 ayat (1) huruf h tersebut memang tidak secara eksplisit menyebutkan jenis tindak pidana yang bagaimana yang dimaksud terjadi di bidang pasar modal. Namun, Penulis beranggapan bahwa insider trading juga termasuk dalam tindak pidana yang terjadi di bidang pasar modal.
Adapun yang menjadi dasar pemikiran penulis adalah Pasal 95, 96, 97 dan Pasal 98 Undang-Undang No.8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal melarang dilakukannya insider trading, dan adanya sanksi yang dijatuhkan kepada mereka yang melanggar aturan tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 104 Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Atas dasar itulah, penulis berkesimpulan bahwa insider trading juga termasuk sebagai predicate crime dalam praktik money laundering yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Penegakan hukum terhadap insider trading sebagai predicate crime dalam praktik money laundering memiliki tingkat kesulitan yang tinggi, berbeda dengan penegakan hukum kejahatan konvensional lainnya. Kenyataan menunjukkan bahwa kasus tersebut harus sampai ke pengadilan jauh lebih sulit daripada membawa kasus-kasus konvensional. Kesulitan ini disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut:
-
1. Modus operandi dari white collar crime jauh lebih kompleks dibandingkan dengan kejahatan konvensional;
-
2. Pelaku white collar crime jarang yang mempunyai riwayat kriminal seperti yang umumnya dimiliki oleh pelaku kejahatan konvensional;
-
3. Kerugian dari white collar crime di pengadilan umumnya seperti orang-orang innocent, tidak kelihatan sebagai penjahat karena pelaku white collar crime
umumnya orang-orang terdidik, maka pintar merekayasa dan menyembunyikan kesalahannya.
Para pelaku white collar crime umumnya adalah orang-orang terpandang dan memiliki banyak teman dan uang, maka biasanya dapat menyewa pengacara mahal dan handal, yang dapat membantu mereka terbebas dari jeratan hukum. Dengan dasar uang yag banyak dan relasi yang punya kedudukan baik di pemerintahan maupun di parlemen, maka tidak terlalu sulit bagi seorang pelaku white collar crime untuk mendekati aparat penegak hukum, seperti: polisi, jaksa atau hakim di seluruh tingkat peradilan.
Di samping kesulitan-kesulitan yang telah disampaikan di atas, penulis juga beranggapan bahwa penegakan hukum bila dilakukan secara maksimal di bidang pasar modal dapat membuat investor menjadi tidak percaya lagi dengan pasar modal Indonesia dan khawatir untuk terjun ke pasar modal menanamkan uangnya dengan membeli saham suatu emiten atau perusahaan publik karna mereka takut akan menjadi korban dari kejahatan insider trading dan pelangggaran lainnya di bidang pasar modal. Namun, bilamana penegakan hukum di pasar modal tidak dilakukan, maka tindak pidana di bidang pasar modal akan tumbuh subur. Maka dari itulah, Tindak pidana money laundering di Pasar Modal termasuk ke dalam kejahatan kerah putih (white collar crime).
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaturan mengenai perdagangan orang dalam (Insider trading) di Indonesia memiliki beberapa ketentuan undang-undang seperti KUHP dan Undang-undang No.8 Tahun 1995 tentang pasar modal. Namun dalam Undang-undang No 8 Tahun 1995 dalam pasal 95, pasal 96, pasal 97, pasal 98 belum tertulis bahwa pertanggungjawaban seperti apa untuk para korban insider trading tersebut dan juga belum secara detail disebutkan apakah pertanggungjawaban dari pelanggaran apa. Seperti contoh pelaku bisa saja yang menawarkan informasi atau menjual informasi saham untuk kepentingan pribadi. Penelitian ini juga menganalisa pertanggung jawaban pidana bagi korporasi yang melakukan insider trading berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif,7 penelitian hukum dalam hal ini norma kabur (vague van normen) terkait dengan pengaturan mengenai perdagangan orang dalam (Insider trading) di Indonesia memiliki beberapa ketentuan undang-undang seperti KUHP dan Undang-undang No.8 Tahun 1995 tentang pasar modal. Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini menggunakan teknik sistem kartu (card system) yaitu menelaah peraturan-peraturan yang relevan, buku-buku atau bahan-bahan bacaan atau, karya ilmiah para sarjana dan hasilnya dicatat dengan sistem kartu, hal ini dilakukan agar lebih memudahkan dalam penguraian, menganalisa, dan membuat kesimpulan dari konsep yang ada.
Pengaturan mengenai perdagangan orang dalam (Insider trading) di Indonesia diatur dalam Undang-undang No.8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (selanjutnya UUPM).8 Dalam UUPM mengkategorikan tindak pidana menjadi dua, yaitu kejahatan dan pelanggaran. Apabila dilihat dari sudut beratnya ancaman pidana, undang-undang ini membagi empat kategori:
-
1. Kejahatan dengan ancaman pidana maksimum 10 tahun penjara dan maksimal denda 15 milyar Rupiah.
-
2. Kejahatan yang diancam dengan pidana maksimum lima tahun penjara dan denda maksimum 5 milyar Rupiah.
-
3. Kejahatan yang diancam dengan pidana maksimum tiga tahun penjara dan denda maksimum 5 milyar Rupiah.
-
4. Kejahatan yang diancam dengan pidana maksimum satu tahun kurungan dan denda maksimumsatu juta Rupiah.
Informasi yang wajib diungkapkan (disclose) adalah fakta materil yang dapat
mempengaruhi keputusan investor untuk berinvestasi.9 Fakta materil merupakan informasi yang relevan mengenai peristiwa, kejadian atau fakta yang dapat
mempengaruhi harga efek pada pasar modal atas keputusan pemodal, calon pemodal, dan pihak lain yang berkepentingan atas fakta materil tersebut. Wajib hukumnya fakta materil itu diungkapkan ke publik akan tetapi oleh insiders, fakta materil tersebut terkadang demi kepentingan pribadinya tidak diungkapkan ke publik. Sementara itu, contoh dari informasi yang tidak perlu bahkan tidak boleh didisclose adalah sebagai berikut10:
-
1. Informasi yang belum matang untuk di-disclose. Misalnya sebuah perusahaan pertambangan menemukan sumur baru yang belumbegitu pasti;
-
2. Informasi yang apabila di-disclose akan dimanfaatkan oleh pesaing-pesaingnya sehingga merugikan perusahaan tersebut.
-
3. Informasi yang memang sifatnya bersifat rahasia atau sering disebut rahasia perusahaan. Misalnya jika ada kontrak dengan pihak ke tiga, tetapi dalam kontrak tersebut ada klausula yang menyatakan bahwa apa-apa yang ada di dalam kontrak tersebut adalah bersifat rahasia di antara para pihak tersebut.
Salah satu prinsip yang bertentangan dengan insider trading adalah prinsip keterbukaan.11 Hal ini bertentangan karena yang bersangkutan membeli atau menjual saham berdasarkan informasi fakta materil dari orang dalam yang sifatnya tidak terbuka ke publik atau tidak fair yang dapat merugikan pihak lain yang tidak menerima informasi yang sama, sehingga pihak lain tersebut tidak dapat mengambil keputusan untuk membeli atau menjual saham.
Adapun hal yang membuatnya menjadi tindak pidana pasar modal adalah apabila dalam melakukan pembelian dan penjualan saham, insiders saham, insiders itu mendasarkan perbuatannya kepada adanya informasi mengenai fakta materil perusahaan yang belum diinformasikan kepada publik, misalnya tentang rencana perusahaan untuk melakukan merger, atau rencana akan mengakuisisi perusahaan lain yang akan membuat nilai perusahaan itu akan menjadi naik. Perbuatan yang demikian inilah yang dikategorikan sebagai insider trading. Secara teknis, bentuk-bentuk insider trading dibatasi dalam hal:12
-
1. Pihak yang mengemban kepercayaan secara langsung maupun tidak langsung dari emiten atau perusahaan oknum atau disebut juga sebagai pihak yang berada dalam fiduciary position; dan
-
2. Pihak yang menerima informasi orang dalam dari pihak pertama (fiduciary position) atau dikenal dengan tippees.
-
3.2. Pertanggung Jawaban Pidana bagi Korporasi yang Melakukan Insider Trading berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia
Dalam hukum pidana, konsep liability atau pertanggungjawaban merupakan konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa latin, ajaran kesalahan dikenal dengan sebutan mens rea.13 Doktrin mens rea ini dilandaskan pada konsep bahwa suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat.14
Secara lebih rinci, Sudarto menyatakan bahwa agar seseorang memiliki aspek pertanggungjawaban pidana, dalam arti dipidananya pembuat, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu15:
-
1. Adanya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat;
-
2. Adanya unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan;
-
3. Adanya pembuat yang mampu bertanggung jawab;
-
4. Tidak adanya alasan pemaaf.
Awalnya, pertanggungjawaban korporasi didasarkan pada doktrin respondent superior, suatu doktrin yang menyatakan bahwa korporasi sendiri tidak bisa melakukan tindak pidana dan memiliki kesalahan. Ada tiga syarat yang harus dipenuhi untuk adanya pertanggungjawaban korporasi, yaitu:
-
1. agen melakukan suatu tindak pidana;
-
2. tindak pidana yang dilakukan itu masih dalam ruang lingkup pekerjaannya; dan
-
3. dilakukan dengan tujuan untuk menguntungkan korporasi16.
KUHP belum mengenal adanya ketentuan pidana yang menetapkan korporasi sebagai subjek yang dapat dikenakan pidana. Hal ini terlihat dalam ketentuan umum KUHP yang menyebutkan berlakunya peraturan perundang-undangan Indonesia bagi setiap orang.
Terminologi lain yang dipakai dalam KUHP adalah “warga negara” sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 KUHP, yang pada intinya menetapkan berlakunya peraturan perundang-undangan Indonesia bagi warga negara Indonesia yang melakukan kejahatan tertentu, di luar wilayah Indonesia. Namun demikian, dalam perkembangannya, korporasi kemudian menjadi subjek hukum dalam rumusan ketentuan pidana.
Praktik insider trading ini bertentangan dengan sikap dalam sebuah bursa efek yaitu prinsip keterbukaan.17 Prinsip keterbukaan (disclosure principle) merupakan sesuatu yang harus ada, baik untuk kepentingan pengelola bursa, BAPEPAM (selaku pengawas), maupun investor.
Keterbukaan dalam suatu transaksi efek adalah informasi mengenai keadaan usaha yang meliputi aspek keuangan, hukum, manajemen, dan harta kekayaan perusahaan kepada masyarakat. Tujuan dari prinsip keterbukaan ini adalah untuk menciptakan efisiensi dan transaksi efek.
Perdagangan yang efisien adalah perdagangan yang dapat dilakukan secara mudah, cepat, dan dengan biaya yang relatif murah. UUPM tidak memberikan batasan insider trading melainkan hanya memberikan batasan terhadap transaksi yang dilarang, antara orang lain dalam arti emiten yang mempunyai informasi dilarang melakukan transaksi dengan emiten atau perusahaan publik yang bersangkutan. Namun demikian, perdagangan efek dapat dikategorikan sebagai insider trading apabila memenuhi minimal tiga unsur yaitu adanya orang dalam, informasi material yang belum tersedia bagi masyarakat (belum disclosure), dan melakukan transaksi karena informasi material.
Insider trading sangat berbahaya bagi pasar modal.18 Ada beberapa hal yang digunakan sebagai dasar mengapa insider trading ini dilarang:
-
1. Insider trading berbahaya bagi mekanisme pasar yang fair dan efisien karena pembentukan harga yang tidak fair dan perlakuan tidak adil diantara para pelaku pasar;
-
2. Insider trading berdampak negatif bagi emitten;
-
3. Kerugian materiil bagi investor;
-
4. Kerahasiaan itu milik perusahaan.
Dengan itu bagaimana pertanggungjawaban jika ada emiten yang melanggar hal tersebut, belum diketahui formulasinya. Di dalam UUPM, ancaman pidana yang disediakan sudah cukup tinggi, yaitu untuk denda berkisar antara satu miliar sampai lima belas miliar, sedangkan pidana penjaranya berkisar antara satu tahun sampai dengan sepuluh tahun tahun. Namun, ancaman pidana yang dirumuskan tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum pidana saat ini, di mana dalam merumuskan sanksi pidananya tidak menganut pola minimal-maksimal. Jadi, apa yang dirumuskan dalam UUPM masih berorientasi pada pola rumusan KUHP yang berlaku saat ini.
Di samping itu, ancaman pidana yang tersedia hanya pidana denda, kurungan dan pidana penjara. Jadi, yang dicantumkan hanya terbatas pada pidana pokok. Padahal, jika ancaman pidana itu hendak ditujukan kepada korporasi, maka di samping pidana denda yang merupakan kelompok jenis pidana pokok, seharusnya diatur pula alternatif jenis sanksi lainnya, misalnya seperti pidana tambahan yang diatur dalam Pasal 7 UUTPE dan Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana dirubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, tindakan tata-tertib (Pasal 8 UUTPE), dan tindakan tata-tertib sementara sebagaimana diatur Pasal 27 dan Pasal 28 UUTPE.
Dalam praktik, Bapepam sebagai badan pengawas pasar modal lebih suka untuk memberikan sanksi administratif berupa denda. Penerapan sanksi administratif ini didasarkan pada UUPM Pasal 5 huruf n, yaitu:
“Bapepam berwenang untuk melakukan tindakan yang diperlu- kan untuk mencegah kerugian masyarakat sebagai akibat pelanggaran atas ketentuan di bidang pasar modal.”
Untuk menentukan pertanggungjawaban pidana bagi korporasi yang melakukan insider trading, kita dapat memilih beberapa teori pertanggungjawaban pidana serta memilih satu dari tiga sistem pertanggungjawaban pidana dilihat dari subjek yang melakukan kejahatan seperti yang dijelaskan di atas. Namun, dalam hal ini, penulis lebih setuju ketika pertanggungjawaban pidana menggunakan teori corporate cultural model, sebab korporasi sebagai suatu keseluruhan adalah pihak yang harus bertanggungjawab karena telah dilakukannya perbuatan yang melanggar hukum dan bukan orang yang melakukan perbuatan itu saja yang harus bertanggung jawab.
Pengaturan mengenai perdagangan orang dalam (Insider trading) di Indonesia diatur dalam Undang-undang No.8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Adapun hal yang membuatnya menjadi tindak pidana pasar modal adalah apabila dalam melakukan pembelian dan penjualan saham, insiders saham, insiders itu mendasarkan perbuatannya kepada adanya informasi mengenai fakta materil perusahaan yang belum diinformasikan kepada publik, misalnya tentang rencana perusahaan untuk melakukan merger, atau rencana akan mengakuisisi perusahaan lain yang akan membuat nilai perusahaan itu akan menjadi naik. Perbuatan yang demikian inilah yang dikategorikan sebagai insider trading. Adapun pertanggungjawaban pidana bagi korporasi yang melakukan insider trading terdapat pada Pasal 104 UUPM, yaitu dengan pidana penjara paling lama (10) sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). Karena pertanggungjawaban pidana bagi korporasi tidak dapat dilakukan dengan penjatuhan pidana penjara, maka pertanggungjawaban hanya terbatas pada penjatuhan pidana denda maksimal Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
Saran-saran yang dapat dikemukakan sebagai bahan kajian lebih lanjut yaitu seharusnya dalam UUPM menambahkan pidana tambahan atau alternatif bagi korporasi yang melakukan Insider Trading. Pidana Tambahan ini dapat berupa: 1. Perampasan barang bergerak yang berwujud maupun tidak berwujud; 2. Pembayaran uang ganti rugi bagi pihak yang dirugikan karena insider trading; 3. Pencabutan izin usaha; 4. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan yang melakukan insider trading; 5. Jika tidak membayar uang ganti rugi paling lama 1 (satu) bulan setelah putusan pengadilan, harta benda dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang ganti rugi tersebut.
Daftar Pustaka
Amalia, Reva. “Tindak Pidana Pasar Modal Yang Dilakukan Oleh Korporasi Dalam Suatu Kejahatan Insider Trading.” Lex Renaissance 6, no. 4 (2021): 664–76.
Fajar, M;, and Y Achmad. Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013.
Hariono, Wisnu Satrio. “Perlindungan Hukum Bagi Investor Terhadap Kejahatan Insider Trading Dalam Pasar Modal Indonesia.” Jurnal Media Hukum Dan Peradilan 4, no. 2 (2018): 199–219.
Ilyasa, Raden Muhammad Arvy, Muhammad Fauzan Millenio, and Ahsana Nadiyya. “Problematika Kejahatan Insider Trading Dan Solusi Dalam Mewujudkan Perlindungan Dan Kepastian Hukum Bagi Para Investor.” Jurnal Legislatif, 2021, 203–14.
Khoirunnisaa, Nur Faiz, and Muh Ali Masnun. “PERLINDUNGAN HUKUM BAGI INVESTOR TERHADAP INSIDER TRADING DALAM PERSPEKTIF UNDANG– UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1995 TENTANG PASAR MODAL.” NOVUM: JURNAL HUKUM, 2022, 91–100.
Muharam, Noviasih. “Perlindungan Hukum Bagi Investor Dalam Pembelian Kembali Sahamnya.” Pranata Hukum 13, no. 1 (2018).
Nuha, Mohamad Ulin. “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Karyawan Marketing.” Jurnal Cakrawala Hukum I
Volume 9, no. 1 (2018).
Nusi, Rizal Ramadhani, Pramudita Pramudita, and Anisya Bella Azahra. “KETIDAKADILAN INFORMASI DENGAN ADANYA PRAKTIK INSIDER TRADING PADA PASAR MODAL INDONESIA.” Gorontalo Law Review 5, no. 1 (2022): 202–11.
Pohan, Siti Zuraidah. “Kajian Hukum Insider Trading Dalam Transaksi Saham Pada Perseroan Terbatas.” UMSU, 2020.
Putra, Dony Setiawan. “Pertanggungjawaban Pidana Rumah Sakit Sebagai Perseroan Terbatas Dalam Kasus Jual Beli Manusia.” Jurnal Hukum Magnum Opus 2, no. 1 (2019): 276590.
Rizki, Septia Sakinah, Ayu Ashara Harahap, and Maryam Batubara. “Analisis Efisiensi Pasar Modal Indonesia.” JIKEM: Jurnal Ilmu Komputer, Ekonomi Dan Manajemen 2, no. 1 (2022): 1475–80.
Rohjadina, Ilham, Bismar Nasution, Mahmul Siregar Sunarmi, and Mahmul Siregar. “Penentuan Inside Information Dalam Praktek Insider Trading Di Pasar Modal Indonesia: Studi Perbandingan Dengan Perkara Texas Gulf Sulphur Di Amerika Serikat.” USU Law Journal, 2019.
Tolokonde, Jefri, Anshar Anshar, and Wahda Z Imam. “Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Praktik Insider Trading Sebagai Kejahatan Bisnis Di Bidang Pasar Modal.” Hermeneutika: Jurnal Ilmu Hukum 5, no. 2 (2021).
Utoyo, Marsudi, Kinaria Afriani, Rusmini Rusmini, and Husnaini Husnaini. “Sengaja Dan Tidak Sengaja Dalam Hukum Pidana Indonesia.” Lex Librum: Jurnal Ilmu Hukum, 2020, 75–85.
Yudhianto, Haris. “Penerapan Asas Kesalahan Sebagai Dasar Pertanggungjawaban Pidana Korporasi.” Karya Ilmiah Dosen 4, no. 2 (2018).
Yusuf, Chandra, and Endang Purwaningsih. “Pengawasan Terhadap Informasi Asimetri Dalam Laporan Keuangan Yang Mempengaruhi Transaksi Saham Di Pasar Modal.” Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM 29, no. 2 (2022): 283–304.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasal Modal Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608
911
Discussion and feedback