Rekonstruksi Penegakan Hukum Bagi Penyandang Disabilitas Dan Keberlakuan Keterangan Psikiater Sebagai Keterangan Ahli
on
Rekonstruksi Penegakan Hukum Bagi Penyandang Disabilitas Dan Keberlakuan Keterangan Psikiater Sebagai Keterangan Ahli
Dian Fitriyani1, Irma Cahyaningtyas2
1Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, E-mail: [email protected] 2Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, E-mail: [email protected]
Info Artikel
Masuk: 22 Desember 2021
Diterima: 16 Juli 2022
Terbit: 20 Juli 2022
Keywords:
Persons with Disabilities;
Accessibility; Expert Statement; Progresive Law
Kata kunci:
Penyandang Disabilitas;
Aksesibilitas; Keterangan Ahli;
Hukum Progresif
Corresponding Author:
Dian Fitriyani, E-mail:
DOI:
10.24843/JMHU.2022.v11.i02.
p13.
Abstract
The limitation of a person with a disability in digesting and knowing an action can be one of the causes of an unlawful act. The purpose of this study is to find out about Indonesia’s policy in granting special rights to a person with a disability in legal proceedings in Indonesia and to find out how much influence the strength of a psychiatrist’s statement in determining criminal liability for a person with a disability is and efforts to creat progressive law for persons with disabilities. The perpetrator of the crime is a person with a disability. The research method used is normative juridical. The result show thalt basically the state’s obligation to gluarantee legal protection for a person with a disability includes 3 things, namely making regulations or laws, providing accessible facilities and infastructure and conducting various research and trlaining. In the law enforcement process to assess the ability to be responsible for a person with a disability, the judge is given the authority to present with a psychiatrist as an expert statement. In the legal process, law enforcers as far as possible prioritize justice over legal certlainty. The application of progressive law can be applied by presenting other criminal law alternatives such as conditional punishment/ postponement of criminal execution, converted to fines, replacing with social work obligations, strong reprimands, pardons from judges, imprisonment only for a certain time and conditional release
Abstrak
Keterbatasan seorang penyandang disabilitas di dalam mencerna dan mengetahui sesuatu perbuatan dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya tindakan melawan hukum. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui mengenai kebijakan Indonesia di dalam memberikan hak-hak khusus terhadap seorang penyandang disabilitas dalam proses beracara hukum di Indonesia dan untuk mengetahui seberapa pengaruh kekuatan Keterangan psikiater di dalam menentukan pertanggungjawaban pidana terhadap seorang penyandang disabilitas. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif. Hasill penelitian menunjukkan bahwa pada pokoknya kewajiban negara di dalam menjamin perlindungan hukum bagi seorang penyandang disabilitas menclakup 3 hall, yaitu membuat regulasi atau undang-undang, menyediakan sarana dan
prasarana yang aksesibell dan mengadakan berbagai penelitian dan pelatihaln. Dalam proses penegakan hukum untuk menilai kemampuan bertanggungjawab pada seorang penyandang disabilitas, hakim diberikan kewenangan untuk menghadirkan seorang psikiater sebagai keterangan ahli. Dalam proses hukum, penegak hukum sejauh mungkin mengutamakan keadilan diatas kepastian hukum. Pengaplikasian hukum progresif dapat diterapkan dengan menghadirkan atenative-aternative hukum pidana lain seperti pidana bersyarat/penundaan pelaksanaan pidana, dikonversi dengan denda, mengganti dengan kewajiban kerja sosial, teguran keras, permaafan hakim, pidana halnya dalam waktu tertentu masuk penjara dan pellepasaln bersyarat
Manusia sebagai makhuk ciptaan Tuhaln YME yang semenjak di dalam kandungan hingga di lahirkan mendapatkan sesuatu keistimewaan yang berbeda dari makhluk lain. Manusia secara kodrati memiliki hak asasi manusia yang merupakan hak-hak dasar yang melekat padanya. Hak tersebut tercantum sebagai perwujudan pada harkat, martabat dan kedudukan manusia yang dilarang untuk dirampas, dilecehkan, maupun dikurangi oleh siapapun 1 . Hak asasi manusia memiliki kedudukan fundamental di dalam mempertahankan eksistensi manusia tatkala menjadi makhuk sosial dan mahkuk individual dalam mengapikasikan kehidupan, utamanya di dalam rangkaian kegiatan penegakan hukum.
Sejatinya di dunia ini tidak pasti ada yang sempurna tergolong manusia itu sendiri, manusia yang di ciptakan terkadang memiliki ketidaksempurnaan dari bilasanya, mereka bisa dikategorikan sebagai kaum disabilitas. Penyandang disabilitas merupakan mereka yang memiliki kekurangan seperti keterbatasan fisik, mental, intelektual atau sensorik dalam jangka permanen atau sesuai dengan keadaan manusia tersebut2 . Penyandang disabilitas dalam melaksanakan interaksi dengan yang lain akan menghadapi suatu rintangan yang menimblukan kesulitan dalam mencerna maksud orang lain. Walaupun demikian seorang penyandang disabilitas di muka hukum patut di himbau untuk turut serta ikut berpartisipasi secara penuh dalam mengikuti serangkaian aktivitas penegakan hukum. Sehingga ketidaksempurnaan tersebut bukan objek penghalang maupun pemicu hilangnya harkat dan martabat dari seorang penyandang disabilitas.
Perkembangan negara yang terus menerus menjadi pesat tak terkecuali Indonesia saat ini tidak ada yang mampu menjamin seseorang dapat terlepas dari jerumusan suatu perilaku tindak pidana kalau bukan dirinya sendiri yang tahan dan tidak goyah mengendalikannya. Kemajuan industrialisasi dan urbanisasi yang terus melonjak tidak menutup kemungkinan tingkat kriminalitas juga akan meningg3. Perdebatan mengenai
cara penyelesaian atas suatu kasus tindak pidana di Indonesia menjadi masalah yang tidak terhentikan dari perdebatan hukum di Indonesia. Utamanya kasus tindak pidana yang menyudutkan penegakan hukum di Indonesia yang seolah-olah terkesan kejam hingga terihat miris/jauh dari rasa keadilan. Hal tersebut menjadi buah bibir pada setiap kalangan yang mengetahui perkaranya, sehingga tidak heran perkara akan mudah tersebar di kalangan publik.
Secara prinsip hukum diciptakan guna memberikan keyakinan kepada manusia terhadap kepentingannya dengan tujuan terwujudnya kesejahteraan padanya. Keadilan sebagai tujuan utama dari penegakan hukum terkadang tersingkirkan oleh kepastian hukum atau aturan yang berlaku saat ini sehingga penegakan hukum terkesan sangat klaku 4 . Seseorang penyandang disabilitas rata-rata mereka mempunyai kesulitan di dalam mellakukan penalaran, mengolah, mengenai sesuatu perbuatan baik dan buruk. Hal tersebut pastinya akan menjadi masalah yang apabila ia terjerat dalam kasus tindak pidana. Permasalahannya penegakan hukum di Indonesia mendasarkan pada “perbuatan”. Apa yang telah diperbuat oleh seseorang dapat dinilai sebagai perbuatan yang melanggar hukum bilamana perbuatan tersebut masuk dalam aturan atau pasal-pasal tertentu baik dalam undang-undang maupun KUHP.
Penyandang disabilitas terkadang banyak dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu sebagai tangan kanan dari pelaku utama tindak pidana mengingat keterbatas yang mereka miliki yang bisa dengan gampang untuk ditipu daya. Walaupun kondisinya dimanfaatkan secara hukum mereka dihadapan hukum senantiasa tetap wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya. Melihat keterbatasan seorang penyandang disabilitas, selayaknya negara harus bijak turut serta dalam memberikan dan mengawa penyandang disabilitas dalam proses beracara hukum. Mereka selayaknya menperoleh proteksi secara spesia atas keterbatasannya guna menjamin rasa keadilan dan guna senantiasa memelihara kondisi mental serta psikis mereka.
Pada urut-urutannya hukum pidana Indonesia terselip tiga problem krusial yang membawa kita untuk hendak dilaklukan pengkajian, yaitu perihal tindak pidana yang dengan cara apa menunjukkan tindakan yang dapat mengancam dengan sanksi, penyelewengan dan pertanggungjawaban pidana yang bagaimana untuk menetapkan siapa yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan tipe apa yang sepadan berkenaan diberikan arestasi dan rentang waktu sanksi dijatuhkan.
Tatkala mengimplementasikan undang-undang, hukum tidak sekadar dikendaikan oleh penegak hukum belaka selaku struktur hukum melainkan terdapat bagian lain di dalamnya. awrence M Friedman, mengemukakan pada hakikatnya hukum merupakan jalinan antara bagian struktur, substansi dan kultur. Berikut penjelasannya5:
-
a. Bagian struktur hukum adalah institusi yang diciptakan oleh sistem hukum untuk menyelenggarakan berbagai macam peran dalam rangka mendukung berproses sistem tersebut. Bagian ini boleh jadi untuk mengamati bagaimana sistem hukum
itu memberikan perlindungan mengenai pelanggaran atas ketentuan hukum secara koheren
-
b. Bagian substansi hukum adalah sebagai output dari sistem hukum, berbentuk peraturan-peraturan, keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh institusi yang berwenang sebagai petunjuk di dalam menyelenggarakan hukum
-
c. Bagian kultur hukum adalah terdiri dari nilai-nilai dan perbuatan yang ditemukan yang memiliki konsekuensi bekerjanya hukum. Kultur hukum inilah yang berkedudukan sebagai jembatan yang menghubungkan antara peraturan hukum dengan perillaku masyarakat
Hukum tidak bisa di samakan dengan alat mesin, melainkan hukum sarat dengan peran yang dimainkan oleh manusia itu sendiri (penegak hukum dan masyarakat). Dalam keberhasilan penegakan hukum itu tergantung dari individu manusianya sendiri, sebab manusialah yang melaksanakan ketertiban hukum itu sendiri. Semenjak kehadiran manusia di muka bumi, manusia mempunyai peran penting dalam pelaksanaan penegakan hukum itu sendiri, manusia yang menciptakan hukum sendiri maka manusia ituah juga yang harus mengikuti aturan hukumnya, hal ini dihalrapkan segaa sesuatu yang baik dapat berpuang kembali kepada manusia itu sendiri.
Penegakan hukum dapat dibagi ke dalam dua golongan yakni pertama semata-mata halnya dilihat dari segi ketentuan yang berlaku sebagai tindakan atau ketetapan logis dari diciptakannya peraturan hukum yang dibuat dan kedua adalah keterikatan manusia dalam proses menjaankan peraturan hukum. Penegakan hukum ialah sebagai suatu tindakan ogis yang di dasarkan pada keadilan suatu peraturan hukum tersebut. Apa yang terjadi tidak terikat dari keadilan yang telah ditetapkan oleh hukum meaui pemikiran ogika6.
Pada saat kita ingin menjaankan peraturan hukum, kita tidak terlepas dari interaksi antara tingkah laku masyarakat dan tindakan hukum. Sosioogi hukum beranggapan bahwa ketetapan hukum tidak dapat di paksakan agar isi dari peraturan hukum dapat di aksanakan dengan tepat. Sebab hukum tidak terlepas dari pengaruh kondisi dimana hukum itu ditetapkan 7 . Struktur organisasi dapat diartikan sebagai jembatan penghubung antara organisasi dengan masyarakat. Bagaimana cara dia dapat menyusun pelapisan pada organisasi masyarakat, menyusun kaidah masyarakat, perangkat nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat serta tindakan maupun hubungan antar setiap individu masyarakat.
Penyandang disabilitas tidak menutup kemungkinan akan mengalami masalah dan hambatan baik terkait interaksi maupun fasilitas saat menempuh proses beracara hukum. Interaksi antara penegak hukum dengan penyandang disabilitas akan mengalami gangguan yang disebabkan oleh tidak seluruh penegak hukum memahami pendapat/keinginan dari seorang penyandang disabilitas tersebut dan yang menjadi esensia terkadang seorang penyandang disabilitas memiliki keterbatasan dalam menguasai persoaan di muka hukum.
Sangat pentingnya kegiatan sosialisasi penyuuhaln informasi hukum dan pemahaman dalam norma hukum dan dalam peraturan perundang-undangan yang diberlakukan kepada masyarakat. Kegiatan sosialisasi bermanfalat dalam mewujudkan dan meningkatkan kesadaran hukum pada jiwa individu masyarakat itu sendiri sehingga dapat tercapai peraturan perundang-undangan yang berlaku demi berdirinya integritas hukum.
Pada keadaan seseorang penyandang disabilitas dapat terjerat di dalam perkara tindakan pidana maka dari itu proses berdirinya hukum sangat peru diberikan aksesibilitas baik pada persidangan maupun di luar persidangan mulai dari proses penahalnan hingga proses pemidanaan. Aksesibilitas terdiri dari dua macam yaitu aksesibilitas fisik dan aksesibilitas prosedural. Aksesibilitas fisik dapat di lihat dengan dengan fasilitas yang didapati di dalam peradilan seperti gedung pengadilan beserta seisinya yang terikat dengan ketetapan pada hukum tindak pidana yang sesuai dengan keadaan penyandang disabilitas. Aksesibilitas prosedural adalah suatu prosedur hukum yang ditujlukan kepada penegak hukum agar dapat mengadakan penerjemaah dan pengguna huruf braie pada tahap penyidikan8 serta berhak untuk mendapatkan jaminan atau bantuan hukum dengan gratis (prodeo) demi keperuan pembelaan diri.
Pemberian pelayanan yang cukup memadai di dalam penegakan hukum sangat berfungsi demi kelanjutan proses penyelidikan. Oleh karena itu dengan adanya peningkatan keahlian aparat penegak hukum dalam mengenai jenis-jenis disabilitas, peningkatan sarana dan prasarana sehingga pada tahap penyelidikan, penuntutan maupun pemeriksaan dapat berjaan dengan optima peru ditingkatkan. Dan hal lain yang tak kalah pentingnya adalah kesediaan sarana fisik, seperti tipe bangunan, tipe ruang pemeriksaan dan fasilitas publik yang aksesibel sehingga dapat mempermudah penyandang kebutuhaln khusus dalam mengikuti berbagai macam prosedur hukum9.
Sebagai pelaku tindak pidana mereka secara kodrati dalam mellakukan tindakan perbuatannya adakalanya tidak mampu mensyaratkan pertanggungjawaban pidana. Otoriter hakim sebagai pemutus perkara diperkenankan untuk mendatangkan seorang ahli kejiwaan atau psikologi di muka persidangan untuk menguraikan perihal keadaan terdakwa. Dalam mengeluarkan keputusan, hakim mereduksi keterangan ahli jiwa, namun hakim berlandaskan diskresi subjektifnya berkuasa penuh untuk menampung atau mengetepikan keterangan ahli jiwa berlandaskan ketetapan halti.
Pada hakikatnya keterangan ahli memegang kekuatan pembuktian bebas, artinya hakim bebas untuk menimbang dan tidak ada keharusan menean kesaksian keterangan ahli. Seorang ahli halnya mengutarakan perihal kondisi jiwa terdakwa melakukan tindak pidana. Dalam memutuskan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang bersifat deskriptif normatif10. Deskriptif artinya mengiustrasikan kondisi jiwa pelaku yang tampak oleh kaca mata seorang ahli
sedangkan normatif artinya hakim yang mengira-ngira berlandaskan hasil peninjauan keterangan ahli berkenaan cakap atau tidak dalam mempertanggungjawabkan perbuatannya
landasan fiosofis KUHP dalam pelaksanaan pemidanaan struktural adalah berpegang pada bahwa pertanggungjawaban pidana kadang kaa meibatkan pihak lain selain pelaku tindak pidana atau muncul keapaan dalam mempratikkan ketentuan perundang-undangan sehingga terjadi tindak pidana yang tidak diinginkan. Dalam draf rekontrukksi KUHP di Indonesia, berfokus pada perefeksian dalam “ide keseimbangan/monodualistik” 11 . Selama ini kita hanya berpegang pada adanya kealpaan dalam tindak pidana (asas cupabiitas) kendatipun dalam KUHP lama belum diatur. Akan tetapi dalam perkembangan saat ini hukum pidana lebih menuntut adanya keseimbangan karena melihat tujuan adanya hukum adalah keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Bila selama ini dilihat penegakan hukum halnya sebagai corong dari peraturan perundang-undangan yang lebih mendahulukan pada aspek kepastian hukum, hal inilah yang penting dibenahli.
Penelitian sebelumnya membahas mengenai kesetaraan hukum yang tidak membeda-bedakan bagi penyandang disabilitas 12 , kemudian terdapat penelitian lain yang memfokuskan pada pembuktian alat bukti yang sah dalam proses penyidikan dan pemeriksaan sidang pengadilan13, dan penelitian seanjutnya yang dilaklukan oleh Endah Rantau Itasari dengan judu Perlindungan Hukum Terhadap Penyandang Disabilitas Di Kaimantan Barat yang memfokuskan pada Peraturan Daerah Provinsi Kaimantan Barat Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perlindungan Dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas. Jurnal tersebut membahas mengenai infrastruktur yang belum memadai dan tempat wisata yang belum aksesibel14. Dalam tulisan yang akan dibahals akan lebih kompeks membahas mengenai hukum yang asksesibiitas bagi penyandang disabilitas. Serta terdapat kebaharuan dalam tulisan ini dengan mencari alternatif-alternatif hukum lain selain sanksi hukum pidana penjara bagi penyandang disabilitas
Maka berdasarkan uraian dari atar beakang yang sudah dijeaskan, permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah Bagaimana kebijakan Indonesia dalam menjamin hak-hak khusus terhadap penyandang disabilitas dalam proses beracara hukum? Bagaimana pengaruh pembuktian keterangan ahli dalam menentukan pertanggungjawaban pidana terhadap penyandang disabilitas (Studi Analisis Beberapa Putusan Di Indonesia)? Serta Bagaimana implementasi hukum progresif bagi penyandang disabilitas sebagai upaya pembaharuan hukum pidana Indonesia?. Tujuan Penelitian ini ialah untuk meneliti kebijakan Indonesia dalam menjamin hak-hak khusus terhadap penyandang disabilitas dalam proses beracara hukum dan pengaruh pembuktian keterangan ahli dalam menentukan pertanggungjawaban
pidana terhadap penyandang disabilitas (Studi Analisis Beberapa Putusan Di Indonesia) serta implementasi hukum progresif bagi penyandang disabilitas sebagai upaya pembaharuan hukum pidana Indonesia.
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif. Secara etimologi, istilah penelitian hukum normative berasa dari Bahasa Inggris yaitu normative ega research 15 . E. Saefuah Wiradipradja menguraikan bahwa, penelitian hukum normative merupakan “penelitian hukum yang mengkaji norma hukum positif sebagai obyek kajiannya”. Hukum tidak lagi dipandang sebagai sebuah hal yang bersifat utopia semata tetapi telah terlembaga dan telah dituis dalam bentuk norma, asas dan lembaga hukum yang ada16. Dalam penelitian hukum ini menggunakan studi kepustakaan sebagai landasan dalam menjawab permasalahan tersebut 17. Studi kepustakaan diperlukan untuk mengumpulkan bahan-bahan hukum yang diperlukan, seperti bahan-bahan hukum primer yang meliputi peraturan perundang-undangan terkait dalam penulisan. Bahan-bahan hukum sekunder, seperti buku-buku, karya imiah hukum, dan bahan-bahan tertuis lain yang dipakai untuk memberikan penjelasan dari beberapa istilah yang digunakan dalam penulisan ini. Orientasi analisisnya menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konsep (conceptua approach). Pendekatan undang-undang (statue approach) dilaklukan dengan cara meneaah dan menganalisis berbagai undang-undang dan regulasi terkait dengan isu hukum yang sedang ditangani. Pendekatan konseptua (conceptua approach) dilaklukan dengan cara membedah buku-buku yang berkaitan dengan penulisan18. Teknik penelusuran bahan hukum menggunakan teknik studi dokumen serta analisis kajian menggunakan analisis kualitatif. Menurut Syaoidih Sukmadinata, penelitian kualitatif adalah suatu penelitian yang ditujlukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara individual maupun kelompok19. Prosedur di dalam menyusun penelitian kualitatif berdasarkan kata-kata atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Metode kualitatif berusaha mengungkap berbagai keunikan yang terdapat dalam individu, kelompok, masyarakat dan/atau organisasi dalam kehidupan sehari-hari secara menyeuruh, rinci, mendalam dan dapat dipertanggungjawabkan secara imiah20.
-
3. Hasil dan Pembahasan
-
3.1 Kebijakan Indonesia Dalam Menjamin Hak-hak Khusus Terhadap Penyandang Disabilitas Dalam Proses Beracara Hukum
-
Dalam intinya keharusan negara dalam menjamin keamanan hukum bagi seseorang yang memiliki keterbatasan khusus (penyandang disabilitas) setidaknya terdapat 3 hal penting, yaitu
-
1. Menciptakan regulasi peraturan atau undang-undang untuk menjamin keamanan bagi kaum disabilitas
-
2. Menciptakan berbagai macam sarana dan prasarana yang aksesibilitas bagi kaum disabilitas untuk beraktivitas agar tidak terhambat
-
3. Melakukan penelitian bagi kaum disabilitas dan perlindungan hukum (HAM) guna memperbaiki paradigma masyarakat tentang penyandang disabilitas
Penyandang disabilitas sebagai pelaku tindak pidana terjadi karena ketidaksanggupan mereka dalam melawan atau dorongan karena faktor ketidaktahuan dan keterpaksaan mereka dalam tindakan yang menjadi melanggar ketetapan hukum. Akan tetapi kondisi demikian tidak menghiangkan kewajiban mereka dalam
mempertanggungjawabkan tindakannya kecuali terdapat pertimbangan lain di Pengadilan. Indonesia menjamin perlindungan hak-hak kepada kaum disabilitas sebagai adanya perlindungan hukum di depan hukum yang di atur dalam peraturan perundang-undangan, sebagai berikut:
-
1. Pasal 28A-28J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
HAM sebagai hak konstitusional setiap warga negara (constitutiona right). Pasal 28H ayat (2) berbunyi “Setiap orang berhak mendapatkan kemudahaln dan tindakan khusus untuk mendapatkan kesempatan dan kegunaan yang sama, guna menciptakan persamaan dan keadilan”. Pada dasarnya seluruh masyarakat Indonesia memiliki hak sama di depan hukum, sehingga dilarang memberikan perlakuan khusus kepada sekelompok masyarakat atau warga negara. Ada pun pada kondisi tertentu maupun keadaan mendesak berdasarkan dalam Pasal 28H ayat (2) UUD ini, negara mendapat kewenangan untuk memberikan hak atau tindakan khusus kepada masyarakat tertentu. Hal ini berlandaskan jika mereka diperalakukan sama seperti apa adanya, maka mereka akan merasakan ketidakadilan dalam dirinya. Oleh karena itu, tindakan khusus diberikan kepada warga negara tersebut guna menjamin perlindungan dan keadilan pada dirinya. Penyandang disabilitas adalah orang yang memiliki keterbatasan fisik atau fisiknya tidak sempurna oleh karena itu mereka berhak untuk mendapatkan afirmative action atau diskriminasi positif dari lembaga penegakan hukum di Indonesia.
-
2. Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas (Convention On The Rights Of Persons With Disabilities)
Indonesia meratifikasi Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (CRPD) sebagai bentuk perubahan dari memandang penyandang disabilitas sebagai “obyek” penilaian sepee masyarakat berubah semenjak adanya peraturan perundang-undangan disabilitas kaum disabilitas. Mereka tidak dianggap beban lagi dan sekarang lebih diprioritaskan masyarakat. Indonesia sedang berproses untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak seorang penyandang disabilitas agar mereka lebih menghormati kaum disabilitas agar mereka bebas dari penyiksaan, perlakuaan yang tidak baik, tidak manusiawi, diskriminatif, eksploitasi, serta berhak untuk mendapatkan jaminan hukum dari negara.
-
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas
Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas ini memuat perlindungan hak dan perlindungan hukum terhadap seseorang penyandang disabilitas yang berhaldapan dengan hukum. Pasal 37 berbunyi “Rumah Tahalnan Negara dan lembaga Pemasyarakatan wajib menyediakan Unit Layanan Disabilitas". Pada unit disabilitas berfungsi sebagai unit yang menjamin hak-hak dan perlindungan hukum bagi seorang penyandang disabilitas. Negara di wajibkan memberikan sarana dan prasarana kepada penyandang disabilitas seperti obat-obatan dan penyediaan ayanan rehabilitasi yang memadai agar penyandang disabilitas memiliki mental yang bagus.
Pasal 30 mengatur kewajiban kepada penegak hukum (Poisi, Jaksa, Hakim) untuk meminta pertimbangan dari psikoog, dokter, dan pekerja sosial sebelum menangani perkara tindak pidana terhadap penyandang disabilitas. Pasal 36 mengatur agar penegak hukum dapat memberikan akomodasi yang layak bagi penyandang disabiititas. Pasal 9 menyebutkan bahwa penyandang disabilitas berhak memperoleh penyediaan aksesibilitas dalam pelayanan peradilan21.
Jenis-Jenis Penyandang Disabilitas22:
-
1) Disabilitas Fisik
Yaitu kecacatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi tubuh, kecacatan ini meliputi beberapa macam, yaitu:
-
a) Kelainan Tubuh (Tuna Daksa)
Tuna daksa yaitu orang yang mengalami kecacatan fisik, cacat tubuh, kelainan, kerusakan, dan lain sebagainya yang disebabkan oleh kerusakan otak, kerusakan syaraf tuang beakang, keceakaan, cacat sejak ahlir, dan sebagainya. Contoh tuna daksa yaitu orang yang lumpuh, kakinya keci sebeah, tangannya keci sebeah dan lain sebagainya.
-
b) Kelainan Indra Penglihatan (Tuna Netra)
Tuna netra yaitu orang yang tidak bisa melihat dengan kedua matanya secara sempurna. Mereka bilasanya memiliki kemampuan mendeteksi benda-benda di sekitarnya dengan memaksimalkan kemampuan pendengarannya lewat suara atau getaran yang didengarnya.
-
c) Kelainan Indra Pendengaran (Tuna Rungu)
Tuna rungu yaitu orang yang tidak memiliki kemampuan mendengar sebagaimana orang norma pada umumnya. Orang yang mempunyai cacat pendengaran belum parah masih bisa diobati dengan menggunakan alat bantu pendengaran sehingga dapat mendengar dengan lebih baik.
-
d) Kelainan Bicara (Tuna Wicara)
Tuna wicara yaitu orang yang tidak bisa berbicara sebagaimana orang norma pada umumnya atau bilasanya disebut “bisu”. Kebanyakan sebab terjadinya tuna wicara adalah masalah pendengaran sejak lahir yang tidak terdeteksi, sehingga anak menjadi kesulitan untuk bicara dengan normal
-
2) Disabilitas Mental
Yaitu kelainan mental dan atau tingkah laku baik yang diperoleh dari cacat bawaan maupun akibat dari penyakit, antara lain:
-
a) Retardasi Mental/ Keterbelakangan Mental
Disabilitas mental atau keterbelakangan mental yaitu mereka yang memiliki kemampuan intelektual di bawah rata-rata orang seusianya. Mereka tidak tahu jika tindakannya termasuk dalam perbuatan pidana walaupun usia biologisnya sudah terbilang dewasa misalnya 25 tahun, namun usia mental/intelektuanya masih 10 tahun 23 . Retardasi mental umumnya terjadi dalam periode perkembangan dan berkaitan dengan kerusakan salah satu atau lebih faktor dari kemampuan beajar, kemampuan moral dan penyesuaian diri terhadap lingkungan sosial.
Menurut Kartini Kartono tingkatan retardasi mental dijabarkan dalam beberapa kategori sebagai berikut, yaitu:
-
• Idiot/Disabilitas Mental Berat
Pada umumnya kategori idiot mempunyai Inteegency Quotient (IQ) kurang dari 25. Ia mengalami cacat jasmani dan rohani berat, pada umumnya mereka tidak mampu menjaga dirinya sendiri terhadap bahaya yang datang dari luar. Inteegensinya tidak bisa berkembang, tidak bisa mengerti dan tidak bisa memahami apa-apa. Mereka tidak memiliki instink-instink yang fundamental dan tidak mempunyai kemampuan untuk mempertahankan diri serta melindungi diri. Mereka tidak mempunyai kemampuan untuk menanggapi/menghayati tindakan. Kadang-kadang mereka tidak bisa menerima rangsangan dari sinar matahari, rabaan, bau dan tidak punya ingatan. Mereka harus dimandikan, harus diberi pakaian, harus disuapi seperti layaknya seorang bayi. Sering mereka ngompo dan bulang kotoran diceananya dan slukar menjaga kebersihan diri.
-
• Imbisi/Disabilitas Mental Sedang
Mereka seperti anak-anak usia 36-83 bulan (3-7tahun), IQ 25-49, ukuran tinggi dan bobot badannya kurang, sering badannya cacat atau mengalami kelainan-kelainan (anomai). Gerakan-gerakannya tidak stabil dan lamban. Pada umumnya mereka tidak mampu mengemudikan dan mengurus diri sendiri. Namun demikian, mereka masih dapat menanggapi suatu bahaya dan bisa melindungi diri terhadap bahaya fisik tersebut. Mereka bisa mengerjakan tugas yang sederhalna di bawah pengawasan, misalnya makan sendiri, minum, berpakaian, mencuci dan mengelap piring. Ada
defektivitas dalam kapasitas edukasinya dalam artian mereka tidak bisa belajar dalam sekolah konvensional, oleh karena itu mereka sangat bergantung pada perlindungan dan pertolongan keluarga.
-
• Debi/Disabilitas Mental Ringan
Mereka memiliki IQ 50-70 yang dapat diatih dan dididik halnya di lembaga istimewa atau SB, tidak dapat berfikir secara abstrak, halnya hal-hal konkrit yang dapat dipahami, mereka kurang dapat memahami hal yang keci atau hal-hal yang baik dan buruk, perkembangan fisiknya norma tetapi perkembangan bicara bilasanya terambat, usia inteegensinya seperti anak-anak usia 7-16 tahun
-
3) Disabilitas Ganda (Fisik dan Mental)
Yaitu mereka yang mempunyai kelainan cacat fisik dan cacat mental. Dari hal diatas menunjukkan penegakan hukum atau hukum yang menjamin keselamatan bagi penyandang disabilitas sudah diciptakan namun dalam pelaksanaannya masih sangat minim dan kurang efisien dalam proses menjalankannya. Dan dalam hal seseorang beracara di muka hukum Indonesia telah memberikan pelayanan bantuan hukum yang sudah diatur pada Pasal 37 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Ada 4 hal yang mencakup dalam bantuan hukum tersebut yaitu24:
-
1. Menjamin hak untuk mendapatkan keadilan
-
2. Menjamin hak konstitusional seluruh warga sesuai prinsip kesamaan di haldapan hukum
-
3. Menjamin kepastian penyeenggaraan bantuan hukum
-
4. Mewujudkan peradilan yang efektif
Di dalam kondisi seseorang penyandang disabilitas dapat terjerat dalam perkara tindak pidana maka dalam proses penegakan hukumnya perlu diberikan aksesibilitas baik di dalam persidangan maupun di luar persidangan. Hal ini bertujuan agar penyandang disabilitas tidak merasa dirinya dikucilkan yang akan berimbas pada kesehatan mentalnya25. Pada intinya kewajiban negara dalam menjamin perlindungan hukum bagi seseorang penyandang disabilitas sebaiknya mencakup 3 hal yaitu membuat undang-undang dengan menjamin keselamatan penyandang disabilitas, menyediakan fasilitas yang memadai bagi penyandang disabilitas serta mengadakan penelitian HAM guna mengubah pandangan masyarat tentang penyandang disabilitas.
Perlindungan hukum bagi kaum disabilitas peru dimaksimalkan agar mereka bisa hidup dengan normal tanpa adanya tekanan dari masyarakat banyak. Pedoman hukum disabilitas bertujuan agar pemerintah lebih memperhaltikan kaum disabilitas. Melihat kondisi sekarang Indonesia telah menjamin hak-hak bagi kaum disabilitas di muka hukum selayaknya manusia pada umumnya. Penjaminan akan hak-hak khusus sangat penting agar mereka dapat hidup dengan norma tanpa adanya tekanan dari masyarakat. Dengan adanya ketentuan undang-undang yang menjadi pedoman dalam
pelaksanaan hukum, pemerintah dihimbau untuk dapat mengaplikasikan ketentuan tesebut dengan sebaik mungkin.
-
3.2 Pengaruh Pembuktian Keterangan Ahli Dalam Menentukan
Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Penyandang Disabilitas (Studi Analisis Beberapa Putusan di Indonesia)
Masalah kemampuan bertanggungjawaban pidana (crimina responbiity / iabiity) memang belum mendapat tempat/pengaturan penuh di dalam aturan umum KUHP kita saat ini. Sama halnya seperti kesengajaan, keapaan, pertanggungjawaban terhadap akibat-akibat yang timbul tidak dengan sengaja dan masalah kesesatan (error).
Kesemuanya belum mendapat aturan yang jelas dalam KUHP 26 . Dasar
pertanggungjawaban pidana yaitu kesalahan. Dalam arti sempit kesalahan dapat berbentuk sengaja (opzet) atau aai (cupa). Pertanggungjawaban pidana merupakan dasar fundamental hukum pidana untuk mempertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilaklukan oleh seseorang untuk menilai terbukti tidak adanya unsur-unsur yang menyalahi aturan sehingga dengan sendirinya perbuatan tersebut dapat dianjutkan ke proses hukum dan bahkan dapat dikenakan sanksi pidana27.
Salah satu asas yang dianut dalam hukum pidana Indonesia yaitu asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schud). Asas ini menunjukkan bahwa seseorang halnya dapat dihukum atas perbuatan apabila dirinya terdapat kesalahan atau telah mellakukan suatu perbuatan yang diancam dengan sanksi pidana serta terdapat sikap batin yang salah 28 . Kesalahan dapat ditentukan dengan melihat kemampuan bertanggungjawab (toerekeningsvatbaarheid) dari seorang pelaku tindak pidana dengan ia menunjukkan adanya sikap batin tertentu sehubungan dengan perbuatannya yang dilaklukannya baik berupa kesengajaan atau keapaan dan tidak ada alasan yang menghapuskan kesalahan atau menghapuskan pertanggungjawabban pidana pada diri pelaku.
Penghapusan pidana dapat menyangkut perbuatan atau pembuatnya. Alasan penghapus pidana atau bilasa disebut dengan alasan-alasan yang menghiangkan sifat tindak pidana dapat dikelompokkan dalam dua alasan yakni alasan pembenar dan alasan pemaaf29.
-
1) . Alasan pembenar (rechtvaardigingsgond, fair justificatif, rechtfertigungsgrund)
Alasan pembenar menghapus sifat melawan hukumnya perbuatan, meskipun perbuatan ini telah memenuhi rumusan deik dalam undang-undang. Alasan pembenar yang terdapat dalam KUHP ialah pembeaan terpaksa/noodweer (Pasal 49 ayat 1), pelaksanaan peraturan perundang-undangan (Pasal 50) dan perintah jabatan (Pasal 50 ayat 1)
-
2) . Alasan pemaaf atau alasan penghapus kesalahan (schud uitsulitingsgrond, fait d'excuse, entschudigungsgrund, schudausschiesungsgrund)
Alasan pemaaf menyangkut pribadi si pembuat dimana seseorang tersebut tidak dapat dicea menurut hukum atau tidak dapat dipertanggungjawabkan, meskipun perbuatannya bersifat melawan hukum sehingga tidak ada pemidanaan. Alasan pemaaf yang terdapat di KUHP ialah tidak mampu bertanggungjawab (Pasal 44), bela paksa lampau batas/noodweer-exces (Pasal 49 ayat 2), dengan itikad baik melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah (Pasal 51 ayat 1). Pasal 44 KUHP yang mengatur tentang ketidakmampuan bertanggungjawab terlihat dalam 2 hal yaitu pertama pada penentuan bagaimana keadaan jiwa si pembuat (persaksian dapat dilaklukan oleh dokter penyakit jiwa/psikiater) dan kedua adanya penentuan hubungan kausa antara keadaan jiwa si pembuat dengan perbuatannya
Pasal 44 ayat 2 KUHP apabila tersangka ternyata tidak mampu bertanggung jawab karena keadaan-keadaan yang disebut dalam Pasal 44 ayat 1 maka Majelis Hakim dapat memerintahkan agar ia dimasukkan dalam rumah sakit jiwa selama masa percobaan, yang tidak melebihi waktu satu tahun baik atas permintaan keluarga, jaksa atau saksi ahli dengan alasan guna menjaga ketertiban dan guna mencegah tindak pidana lain timbul. Hal tersebut layak diperuntukkan untuk orang yang karena tindak lakunya buruk dan tidak cakap untuk dibilarkan mengurus diri sendiri atau membahayakan keamanan orang lain
Pada proses beracara hukum pidana di Indonesia sebelum Majelis Hakim menjatuhkan putusan, Beliau selaku yang memutuskan suatu perkara maka dengan kerja kerasnya Beliau berupaya untuk mencari alat bukti sedetail mungkin untuk menguatkan keyakinan pada dirinya. Alat bukti yaitu alat-alat yang ada hubungannya dengan suatu tindak pidana dimana alat-alat tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian di dalam proses persidangan yang berguna untuk menberikan keyakinan bagi Majelis Hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilaklukan oleh terdakwa. Menurut Pasal 184 KUHAP alat bukti terdiri dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.
Kaitannya dengan seorang penyandang disabilitas sebagai pelaku tindak pidana mereka sejatinya dalam aksi perbuatannya terkadang tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana. Tentunya hal tersebut dapat menyulitkan seorang hakim sebagai pemutus perkara, akan tetapi hakim diberikan kewenangan untuk menghadirkan seorang ahli kejiwaan atau psikologi di dalam proses persidangan untuk menerangkan mengenai kondisi terdakwa. Pernyataan persaksian/hasil yang diberikan oleh seorang ahli kejiwaan atau psikologi dapat dimasukkan sebagai alat bukti keterangan ahli.
Putusan Majelis Hakim merupakan puncak kimaks dari suatu kasus perkara yang sedang diadilinya, dalam memberikan keputusannya mengenai peristiwa apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang dituduhkan atau tidak, mengenai apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa itu merupakan suatu tindak pidana atau tidak dan apakah terdakwa bersalah dan dapat dipidana atau tidak30. Majelis mempunyai kuasa penuh untuk menilainya berdasarkan keyakinan dan segala hal yang berangsung dalam proses persidangan.
Seorang ahli halnya berhak mengatakan mengenai keadaan jiwa terdakwa pada saat mellakukan tindak pidana. Adapun yang berhak menetapkan adanya hubungan kausa antara keadaan jiwa tersebut dengan tindak pidana yang dilaklukan terdakwa adalah tetap pada seorang hakim. Hal ini dikarenakan sistem hukum yang dipakai KUHP dalam menentukan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang bersifat deskriptif normatif. Deskriptif maksudnya menggambarkan keadaan jiwa pelaku menurut apa adanya oleh seorang ahli sedangkan normatif maksudnya hakim yang menilai berdasarkan hasil pemeriksaan keterangan ahli tentang mampu atau tidak mampunya terdakwa dalam mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Beberapa contoh hasil putusan perkara tindak pidana pada seorang penyandang disabilitas di Indonesia sebagai pelaku tindak pidana
-
a. Putusan Nomor 115/ Pid.B/2006/PN.TNG
Kasus perkara bermula dari terdakwa yang mellakukan perbuatan penuslukan terhadap kakak kandungnya yang mengakibatkan meninggal dunia. Sehingga terdakwa dituntut oleh JPU dengan Pasal 351 ayat (3) KUHP, yakni penganiayaan yang mengakibatkan meninggal dunia. Selain itu terdakwa juga dituntut secara Dakwaan Alternatif dengan Pasal 306 ayat (2) KUHP. Majelis Hakim menghadirkan ahli kejiwaan dr. Rosmaia beserta visum et repertum Psychiatricum menyatakan bahwa terdakwa mengalami gangguan kejiwaan berat yang diistilahkan dalam kedokteran sebagai gangguan psikiotik poimorfik lakut dengan gejala Skizofrenia. Majelis Hakim dalam perkara ini menjatuhkan putusan lepas berdasarkan pertimbangan dari keterangan ahli dr. Rosmalia beserta visum et repertum Psychiatricum
-
b. Putusan Nomor 141/Pid.B/2010/PN.Kbm
Dalam perkara ini terdakwa didakwa dengan subsidaritas, yakni Primair : Pasal 81 ayat (2) UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat (1) KUHP dan Subsidair : Pasal 287 ayat (1) KUHP jo Pasal 65 ayat (1) KUHP. Majelis Hakim menghadirkan saksi verbalisan untuk menjeaskan kondisi terdakwa. Dr. Suryono, SP.Kj dari Rumah Sakit Jiwa Mageang berpendapat bahwa terdakwa mengalami gangguan retardasi mental/kemunduran mental yang sulit untuk mempertanggungjawabkan perbuatan yang dilaklukannya. Dalam Putusan keterangan ahli halnya dijadikan sebagai dasar peringan, Majelis Hakim tetap menjatuhkan sanksi pidana penjara terhadap terdakwa Pago Satria Permana selama 1 tahun dan 6 bulan
-
c. Putusan Nomor 874/Pid.B/2010/PN.SRG
Perkara ini bermula dari terdakwa yang telah mengambi barang 38 pandro cip/alat penambah elastis. Perbuatan pencurian tersebut dilaklukan tanpa ijin dari pihak PT Kereta Api sebagai pemiik pandro cip. Atas perbuatannya, maka terdakwa didakwakan Pasal 363 ayat (1) ke-5 KUHP. Dalam persidangan Majelis Hakim menghadirkan ahli Sake Ramawisakti yang merupakan ahli psikologi dari Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Serang. Ahli Sake Ramawisakti mengemukakan bahwa terdakwa mengalami gangguan mental golongan imbicil yang direkomendasikan untuk tidak dipidana namun dimasukkan ke RSUD Serang bagian
rehabilitasi. Majelis Hakim menjatuhkan putusan lepas dengan mendasarkan pada keterangan ahli
-
d. Putusan Nomor 16/Pid.B/2011/PN.BK
Kasus perkara bermula dari terdakwa yang sering merasakan kegelisahan, akibat kegelisahannya terdakwa mengambi parang yang teretak di bawah tempat tidur dan mengayunkannya kepada 3 korban. Perbuatan terdakwa mengakibatkan dua korban mengalami luka serius dan satu korban meninggal dunia. Atas perbuatannya maka terdakwa didakwa dengan Dakwaan Alternatif Kesatu Pasal 338 KUHP atau Kedua Pasal 351 ayat (3) KUHP atau Ketiga Pasal 44 ayat (3) UU No 23 Tahun 2004 tentang PKDRT dan Dakwaan Kumulatif Kedua Pasal 44 ayat (1) UU PKDRT serta Dakwaan Kumulatif Ketiga Pasal 1 ayat (1) UU No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Majelis Hakim menghadirkan seorang ahli kejiwaan dari Rumah Sakit Khusus Daerah (RSKD) Provinsi Sulawesi selatan dr Theodorius Singara Sp.KJ. Beiau berpendapat bahwa terdakwa mengalami penumplukan afek, halusinasi aduitorik, depresionalisasi dan ide curiga pada orang lain. Hal ini mengakibatkan adanya suatu gangguan jiwa berat berupa Psikosa Non Organik YTT (Yang Tidak Tergoong). Keterangan ahli menyatakan bahwa terdakwa tidak mampu untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan disertai bukti visum et repertum psychiatricum. Terkait perkara ini, Majelis Hakim menjatuhkan putusan lepas dengan mendasarkan pada keterangan ahli.
-
e. Putusan Nomor 2554/K/Pid.Sus/2011
Pada perkara ini JPU menuntut terdakwa dengan Dakwaan Kumulatif, yakni Kesatu Pasal 338 KUHP dan Pasal 4A ayat (1) UU PKDRT. Pada tingkat Pengadilan Negeri Bulukumba, Majelis Hakim menjatuhkan Putusan lepas (Putusan Nomor 16/Pid.B/2011/PN.BK) dengan mendasarkan pada keterangan ahli dr. Theodorus Singara Sp.Kj yang menerangkan terdakwa mengalami penumpuan afek, halusinasi, auditorik, depresionalisasi, dan ide curiga pada orang lain. Terdakwa mengalami gangguan jiwa berat berupa Psikosa Non organik, sehingga tidak mampu untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. MA menoak permohonan kasasi dari JPU, yang dalam pertimbangannya mengatakan kondisi terdakwa saat mellakukan perbuatan tidak dalam kondisi sehat jasmani maupun rohani, sama dengan Putusan Nomor 16/Pid. B/2011/PN.BK serupa dengan Putusan MA Nomor
1850/K/Pid.Sus/2006 jo. Putusan Nomor 115/ Pid.B/2006/PN.TNG yang menjatuhkan Putusan lepas.
-
f. Putusan Nomor 833/Pid.B/2012/PN.TTD
Perkara ini bermula dari terdakwa yang mellakukan penuslukan terhadap kakaknya Erin Halriati dengan menggunakan pisau. Akibatnya korban mengalami pendarahan hebat dan meninggal dunia dengan luka tusuk di sekujur tubuh. Terdakwa didakwakan dengan Dakwaan Alternatif yakni Pertama Pasal 351 ayat (2) KUHP atau Kedua Pasal 306 ayat (2) KUHP. Majelis Hakim berpandangan bahwa perbuatan yang dilaklukan oleh terdakwa tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana berdasarkan Pasal 44 KUHP. Pertimbangan ini didasarkan oleh keterangan dari ahli kejiwaan yakni dr Rosmaia Sp., KJ serta visum et Repertum Psychiatricum yang menyatakan bahwa terdakwa mengalami gangguan jiwa berat yang diistilahkan dalam kedokteran sebagai gangguan psikotik lakut dengan gejala Skizofrenia (F23.I). Hasil
Putusan menyatakan bahwa terdakwa terbukti dengan sah dan menyakinkan mellakukan tindak pidana, tetapi tidak dapat dimintai pertanggung jawaban pidananya dan Majelis Hakim memutus dengan Putusan lepas
-
g. Putusan Nomor 50/Pid.Sus/2013/PN.SKA
Pada perkara ini saksi ahli menyatakan bahwa RA adalah anak berkebutuhaln khusus atau anak penyandang disabilitas mental tipe debi. Akan tetapi dalam putusan Majelis Hakim berkeyakinan bahwa meskipun benar RA memiliki kekurangan mental, namun kekurangan mental tersebut dianggap masih memungkinkan RA untuk dapat mengetahui akibat dari perbuatan yang dilaklukannya. Majelis Hakim dalam putusannya tidak menetapkan bahwa RA sepenuhnya mampu bertanggungjawab, tetapi Majelis Hakim lebih bijaksana dengan menetapkan RA dalam kondisi kurang mampu bertanggungjawab, sehingga dapat dijatuhi pidana dengan kedisabilitasan RA sebagai hal yang meringankan pidananya. Hakim menjatuhkan pidana 10 bulan penjara dengan masa percobaan 1 tahun 6 bulan kepada terdakwa31.
-
h. Putusan Nomor 190/Pid.B/2013/ PN.MG
Dalam perkara ini terdakwa didakwa telah mellakukan penipuan dengan cara memberikan cek yang tidak dapat dicairkan. Terdakwa dianggap telah mengetahui jika tidak ada dana yang tersedia dalam rekening tersebut. JPU mendakwa terdakwa dengan Pasal 378 KUHP. Dalam perkara ini penasehat hukum terdakwa dalam persidangan menghadirkan ahli psikiater yang merawat terdakwa. Ahli dr Agung Budi Setyawan, Sp,Kj berpendapat terdakwa mengalami sakit jiwa hal ini diperkuat dengan bukti visum et repertum Psychiatricum yang menyatakan terdakwa mengalami gangguan jiwa. Majelis Hakim dalam perkara ini mengesampingkan keterangan ahli dan visum et repertum Psychiatricum. landasan Majelis Hakim menyingkirkan keterangan ahli berasa dari pengamatan fakta-fakta dipersidangan yang menunjukkan bahwa terdakwa dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana. Majelis Hakim menggunakan keterangan ahli kejiwaan sebagai dasar peringanan dalam penjatuhan sanksi pemidanaan.
-
i. Putusan Nomor 18/Pid.Sus-Anak/2016/PN.RAP
Putusan Nomor 18/Pid.Sus-Anak/2016/PN.RAP menerangkan bahwa berdasarkan surat dari rumah sakit jiwa dari Makasar menyatakan bahwa terdakwa adalah kurang waras (kurang mampu berfikir secara baik) dan sebaiknya untuk diberikan perawatan di rumah sakit jiwa. Berdasarkan keterangan ahli dan surat dari Rumah Sakit tersebut Majelis Hakim tidak menjatuhkan pidana dan dillepas dari tuntutan hukum. Majelis Hakim mengikuti saran ahli berupa pemberian perawatan di rumah sakit jiwa. Putusan tersebut juga berlandaskan pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 215K/Pid/2005
-
j. Putusan Nomor 135/Pid.Sus/2018/PN Btg
Putusan Nomor 135/Pid.Sus/2018/PN Btg terdapat dua keterangan ahli, menurut dr. Endang Septiningsih, Sp.KJ. terdakwa PA termasuk ke dalam retardasi mental ringan. Kejadian tersebut terjadi karena keterbatasan fungsi berpikir yang dimilikinya, terdakwa PA tidak dapat memahami resiko dari perbuatannya. Keinginannya muncul secara spontan dan baru dipahami bahwa perbuatannya salah setelah mellakukannya, sehingga memunclukan rasa tlakut pada dirinya. Ahli Endang menyatakan bahwa terdakwa PA dianggap mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya. Sedangkan menurut keterangan ahli Dr. Auia, S.H., M.Hum. berpendapat bahwa PA termasuk dalam penyandang disabilitas tuna grahlita yaitu seseorang yang memiliki fungsi inteektua di bawah rata-rata yaitu IQ 84 ke bawah. Dalam perkara ini Majelis Hakim menjatuhkan putusan terhadap terdakwa PA dengan memberikan pemidanaan berupa sanksi penjara selama 5 tahun dan denda Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)32.
-
3.3 Implementasi Hukum Progresif Bagi Penyandang Disabilitas Sebagai Upaya Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia
Pada hakikatnya kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari hukum (ibi societas ibi ius), keadilan merupakan induk hukum. Merumuskan konsepsi keadilan progresif ialah bagaimana melahirkan keadilan substantif blukan keadilan prosedur. Hukum di Indonesia dihadapkan pada dua pilihan antara pengadilan yang menitikberatkan pada prosedur atau pada substansif. Buah pikiran hukum progresif pertama kai dicetuskan oleh Prof. Satjipto Rahalrdjo. Hukum seyogianya mampu mengikuti kemajuan era, meayani masyarakat dengan menapakkan pada segi moraitas dari penegak hukum. Salah satu pemicu kinerja dan kuaitas penegak hukum menyusut adalah dominasi sifat formalitas yang inheren.
Tujuan hukum adalah untuk memenuhi kemauan manusia, menyeenggarakn hukum tidak halnya sekadar teks hitam-putih dari aturan, melainkan hukum hadir dengan spirit dan makna yang mendalam. Hakim memegang ruang bebas33 dalam memutus perkara. Akan tetapi hakim di Indonesia lebih dominan bermlain pada ranah ogika yang fokus pada teks beaka34. Putusan yang progresif akan hadir bilamana hakim lebih mengenakan kajian empiris terhadap hukum. Kajian empiris adalah kajian yang menganggap hukum sebagai kenyataan dan mendalami aw in action dan bersifat deskriptif das sein (apa kenyataannya)35. Hukum yang progresif akan memandang sesungguhnya bagian utama dalam hukum itu adalah manusia.
Sekalipun secara sah dan menyakinkan terbukti mellakukan tindak pidana, penegak hukum memegang otoritas untuk tidak meneruskan perkara ke jalur penal. Rekomendasi sanksi non pemenjaraan dalam reformasi RUU KUHP semata-mata sebagai upaya komprehensif dalam menekan penerapan pidana penjara utamanya pada difabel seperti dapat diterapkan rehabilitasi medis dan/atau sosial, perawatan di
lembaga yang menyelenggarakan program di bidang sosial atau lembaga sosial, perawatan di rumah sakit jiwa dan konseling.
Pokok pemikiran tentang pidana dan pemidanaan dalam Konsep RUU KUHP berorientasi pada faktor orang/ide individuaisasi (pelaku tindak pidana). Implementasi penentuan alasan penghapus pidana khususnya alasan pemaaf karena faktor tidak mampunya bertanggungjawab seseorang layak berlaku untuk penyandang disabilitas. Hakim juga dihimbau agar dalam mengambi keputusan dapat mempertimbangkan beberapa faktor seperti motif, sikap batin, cara si pembuat melangsungkan tindak pidana, riwayat hidup dan bagaimana dampak pidana terhadap masa depan si pembuat. Rechterijk Pardon ini berlandaskan pada asas cupa in causa36.
Bertolak dari ide keseimbangan manakala penegak hukum mengalami situasi terhempit dalam hal menentukan antara kepastian hukum dan keadilan. Konsep RUU KUHP memberikan pedoman agar dalam merefleksikan hukum sejauh mungkin mengedepankan keadilan diatas kepastian hukum37. Perwujudan hukum progresif dalam praktik dapat diaplikasikan dengan bentuk atenative-aternative lain atau aternative to imprisonment yang menclakup aternative untuk menjauhi penggunaan sanksi pidana penjara dan untuk melonggarkan penggunaan sanksi pidana penjara38.
Aternative sub a menjauhi penggunaan sanksi pidana penjara terdiri dari:
-
a. Pidana bersyarat/penangguhaln pelaksanaan pidana
-
b. Dikonversi dengan denda
-
c. Mengganti dengan kewajiban kerja sosial untuk kepentingan publik
-
d. Halnya mengenakan teguran keras
-
e. Pernyataan bersalah tanpa menjatuhkan pidana
-
f. Menjatuhkan pidana lain
Alternatif sub b melonggarkan penggunaan pidana terdiri dari:
-
a. Hanya malah hari masuk penjara
-
b. Hanya malam minggu masuk penjara
-
c. Peringanan masa pidana penjara
-
d. Penerapan pidana penjara dapat diangsur
-
e. Amnesti pidana bersyarat
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1990 mengelluarkan UN Standart Minimum Rues for Non-Custodia Measures atau dikena sebagai “Tokyo Rues” yang menyatakan bahwa hukuman non penjara (non-custodia measures) efektif untuk menekan kondisi overcrowding. Aternative-aternative tersebut hadir karena melihat penjara sangat boros, membutuhkan dana yang tinggi dan minim berdampak positif terhadap tujuan pemidanaan. Pilihan pemidanaan selayaknya harus efektif dan efisien. Teori absolut menyatakan bahwa penjatuhan pidana sekadar pembalasan pada pelaku tindak pidana. Teori relative menyatakan bahwa hukuman digunakan untuk menegakkan ketertiban masyarakat dan menegakkan tujuan pidana yaitu meminimalisir kejahatan.
Sementara teori gabungan mengemukakan bahwa tujuan pemidanaan selain harus membuat jera, juga harus memberikan perlindungan serta pendidikan kepada masyarakat dan pelaku39 . Dalam praktik tujuan pemidanaan aternative-aternative hukuman selain penjara dapat berhasil dan lebih efektif untuk menekan pelanggaran HAM seseorang. Meminimalisir kemungkinan seseorang mellakukan atau mengulangi tindak pidana.
Pada pokoknya kewajiban negara dalam menjamin perlindungan hukum bagi seorang penyandang disabilitas setidaknya menclakup 3 hal penting, yaitu membuat regulasi atau undang-undang guna melindungi hak penyandang disabilitas, menyediakan berbagai sarana dan prasarana aksesibel dan mengadakan berbagai penelitian/pelatihan mengenai penyandang disabilitas. Dalam hal menilai kemampuan bertanggungjawab pada seorang penyandang disabilitas Majelis Hakim diberikan kewenangan untuk menghadirkan seorang ahli kejiwaan/psikologi di dalam persidangan untuk menerangkan mengenai kondisi terdakwa yang dapat dimasukkan sebagai alat bukti keterangan ahli. Keterangan ahli di dalam proses persidangan mempunyai beberapa varian yaitu varian “Keterangan Ahli dijadikan satu-satunya landasan untuk menentukan pertanggungjawaban pidana” (Putusan lepas), varian “Pengamatan Majelis Hakim dapat mengesampingkan Keterangan Ahli” (keterangan ahli dijadikan sebagai suatu dasar peringanan penjatuhan sanksi) dan varian “Keterangan Ahli tidak sama sekali mempengaruhi dalam pertimbangan putusan. Konsep dalam mempertimbangkan hukum yang akan diterapkan penegak hukum sejauh mungkin mengutamakan keadilan diatas kepastian hukum. Adlagium dari Hukum Progresif bahwa hukum untuk manusia, mengartikan bahwa penegakan hukum bertujuan semata-mata halnya demi keadilan manusia. Pengaplikasian tersebut dapat diterapkan dengan menghadirkan alternative-aternative hukum pidana lain seperti pidana bersyarat/penundaan pelaksanaan pidana, dikonversi dengan denda, mengganti dengan kewajiban kerja sosial, teguran keras, permaafan hakim, pidana halnya dalam waktu tertentu masuk penjara, dan pelepasan bersyarat
Daftar Pustaka
Ali, Achmad, and Wiwie Heryani. Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum. Jakarta: Prenada Media Group, 2013.
-
———. Sosiologi Hukum: Kajian Empiris Terhadap Pengadilan, Cet. Jakarta: Prenada Media Group, 2012.
Alin, Failin. “Sistem Pidana Dan Pemidanaan Di Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia.” JCH (Jurnal Cendekia Hukum) 3, no. 1 (2017): 14–31.
Arief, Barda Nawawi. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru. Cetakan Ke. Jakarta: Prenadamedia Group, 2016.
-
———. Perbandingan Hukum Pidana. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011.
Ariman, Rasyid, and Raghib Fahmi. Hukum Pidana. Malang: Cita Intrans Selaras, 2011.
Benuf, Kornelius, and Muhamad Azhar. “Metodologi Penelitian Hukum Sebagai
Instrumen Mengurai Permasalahan Hukum Kontemporer.” Gema Keadilan 7, no. 1 (2020): 20–33. https://doi.org/https://doi.org/10.14710/gk.7.1.20-33.
Dewi, Dian Candra. “Pertanggungjawaban Pidana Penyandang Disabilitas Mental Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Studi Putusan Nomor 50/Pid. Sus/2013/Pn. Ska).” Jurnal Hukum Pidana Dan Penanggulangan Kejahatan 3, no. 2 (n.d.): 179–89.
Faisal. Menerobos Positivisme Hukum. Bekasi: Gramata Publishing, 2012.
Hiariej, Eddy. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2019.
HS, Salim, and Erlies Septiana Nurbani. “Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis Dan Disertasi.” Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014.
Itasari, Endah Rantau. “Perlindungan Hukum Terhadap Penyandang Disabilitas Di Kalimantan Barat.” Integralistik 31, no. 2 (2020): 70–82.
Jamaludin, Jamaludin, Diah Puji Nali Brata, Dinar Sugiana Fitrayadi, Sardjana Orba Manullang, Salamun Salamun, Nurul Fadilah, Windawati Pinem, Syafrizal Syafrizal, and Moad Moad. Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan. Yayasan Kita Menulis, 2021.
Kartono, Kartini. Patologi Sosial 2 : Kenakalan Remaja. Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2011.
Lestari, Eta Yuni, Slamet Sumarto, and Noorochmat Isdaryanto. “Pemenuhan Hak Bagi Penyandang Disabilitas Di Kabupaten Semarang Melalui Implementasi Convention on the Rights of Persons with Disabillities (CPRD) Dalam Bidang Pendidikan.” Integralistik 28, no. 1 (2017): 1–9.
Maerani, Ira Alia. Hukum Pidana Dan Pidana Mati. Cetakan Pe. Semarang: Unissula Press, 2018.
Mahardika, Yohanes Adi Putra. “Kekuatan Alat Bukti Keterangan Saksi Penyandang Disabilitas Tuna Rungu Dalam Proses Peradilan Pidana.” UAJY, 2015.
Maramis, Frans. “Hukum Pidana: Umum Dan Tertulis Di Indonesia,” 2013.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Edisi Revi. Jakarta: Kencana, 2014.
Nafil, Farhandika. “Penakan Hukum Pidana Bagi Terdakwa Penyandang Disabilitas Intelektual (Studi Putusan Nomor 135/PID. SUS/2018/PN BTG).” Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2020.
Nawawi, Arief Barda. Kapita Selekta Hukum Pidana. 3rd ed. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2013.
Ohoiwutun, A Triana. “Kesaksian Ahli Jiwa Dalam Pertanggungjawaban Pidana Penganiayaan Berat Kajian Putusan Nomor 210/Pid.B/2005/PN.RKB.” Jurnal Yudisial 8, no. 1 (2015): 1–22.
Priamsari, R R Putri A. “Hukum Yang Berkeadilan Bagi Penyandang Disabilitas.” Masalah-Masalah Hukum 48, no. 2 (2019): 215–23.
Rahardjo, Satjipto. Sosiologi Hukum Perkembangan Metode Dan Pilihan Masalah. Cetakan Ke. Yogyakarta: Genta Publishing, 2010.
Raharjo, Trisno, and Laras Astuti. “Konsep Diversi Terhadap Anak Penyandang Disabilitas Sebagai Pelaku Tindak Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak.” Jurnal Media Hukum 24, no. 2 (2017): 181–92.
Rifai, Ahmad. Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif. Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
Runtuwene, Maykel. “Kekuatan Pembuktian Keterangan Ahli Hukum Pidana Dalam Penyidikan Dan Pemeriksaan Sidang Pengadilan.” Lex Crimen 8, no. 5 (2019).
Sagama, Suwardi. “Analisis Konsep Keadilan, Kepastian Hukum Dan Kemanfaatan Dalam Pengelolaan Lingkungan.” Mazahib 15, no. 1 (2016): 20–41.
Siti, Nurhayati. “Kesetaraan Di Muka Hukum Bagi Penyandang Disabilitas (Analisis Putusan Nomor 28/Pid. B/Pn. Skh/2013).” Realita 14, no. 1 (2016): 94–110.
Sukmadinata, Syaoidih. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Rosda Karya, 2012.
Sulchan, Achmad. Kemahiran Litigasi Hukum Pidana. Cetakan Ke. Semarang: Unissula Press, 2018.
Suteki. Desain Hukum Di Ruang Sosial. Yogyakarta: Thafa Media, 2013.
Suteki, and Gaang Taufani. Metodologi Penelitian Hukum (Filsafat, Teori Dan Praktik).
Depok: Raja Grafindo Persada, 2020.
Warassih, Esmi. Pranata Hukum : Sebuah Telaah Sosiologis. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2011.
Wiarti, July. “Kompleksitas Persoalan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas Di Pengadilan Negeri Pekanbaru.” Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM 27, no. 1 (2020): 87–109.
Wiradipraja, E Saefullah. “Penuntun Praktis Metode Penelitian Dan Penulisan Karya Ilmiah Hukum.” Bandung: Keni Media, 2015, 1–17.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas
Convention On The Rights Of Persons With Disabilities
426
Discussion and feedback