Perlindungan Hukum Bagi Konsumen yang Dirugikan dalam Fintech Lending Transaksi Peminjaman Uang Online Perspektif UU No 8 Tahun 1999
on

Perlindungan Hukum Bagi Konsumen yang Dirugikan dalam Fintech Lending Transaksi Peminjaman Uang Online Perspektif UU No 8 Tahun 1999
M Shidqon Prabowo1, Lulu’ul Karimah2
-
1 Fakultas Hukum Universitas Wahid Hasyim, E-mail: Shidonhamzah@yahoo.com
-
2 Fakultas Hukum Universitas Wahid Hasyim, E-mail: luluulkarimahcilacap@gmail.com
Info Artikel
Masuk: 19 September 2021
Diterima: 29 Desember 2021
Terbit: 31 Desember 2021
Keywords:
Fintech; legal protection; consumers
Kata kunci:
Fintech; perlindungan hukum; konsumen
Corresponding Author:
M Shidqon Prabowo,
E-mail:
DOI:
10.24843/JMHU.2021.v10.i04.p 07
Abstract
hukum primer dan bahan hukum sekunder. Untuk selanjutnya dianalisis dengan menggunakan pendekatan deskriptif analitis serta menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach).
Peradaban terus bergerak, dunia selalu berkembang bersama dengan isinya. Perkembangan teknologi telah mempengaruhi tatanan kehidupan. Teknologi mengubah cara manusia berkomunikasi dan berinteraksi. Perkembangan teknologi mengubah analog menjadi digital. Beberapa aspek yang dulu bersifat lokal dan sempit jangkauannya, kini telah beralih ke jangkauan yang lebih luas bahkan global.1 Munculnya internet sebagai media baru, mendorong perubahan ini menjadi lebih maju. Kecepatan, kemudahan, serta murahnya biaya internet menjadi pertimbangan banyak orang untuk memanfaatkannya, termasuk dalam memanfaatkan transaksi online. Teknologi internet ini menimbulkan permasalahan baru dibidang hukum, khususnya hukum dan teknologi, perlindungan konsumen. Dalam lingkup pembicaraan hukum dan teknologi, perlindungan konsumen menjadi hal yang sangat efektivitas perkembangan dan penerapan teknologi tersebut ditengah masyarakat.2 Agar dapat dikatakan masyarakat sejahtera, salah satu yang dilihat ialah perkembangan sistem perekonomiannya. Jika suatu negara mempunyai sistem perekonomian yang baik dan mudah dijangkau masyarakat maka kesejahteraan tersebut bisa tercapai. Salah satu unsur dari perekonomian ini ialah sistem keuangan.
Teknologi informasi sudah mengubah masyarakat, menciptakan berbagai jenis dan berbagai peluang bisnis baru, serta menciptakan jenis pekerjaan dan karier baru dalam pekerjaan manusia. Salah satu bagian yang paling berkembang pesat dari bidang teknologi adalah internet, yang pada awalnnya diciptakan sebagai saluran swasta untuk kepentingan kegiatan penelitian dan akademis, sekarang internet lebih banyak dieksploitasi oleh bisnis sebagai pelayanan komersial. Penggunaan teknologi komputer, dan informasi mendorong berkembangnya transaksi elektronik melalui internet bagi beberapa perusahaan di dunia maupun di Indonesia. Pemanfaatan fasilitas internet sebagai media transaksi, salah satunya yaitu internet banking. Kegiatan pinjam meminjam uang secara langsung berdasarkan perjanjian baik tertulis maupun tidak tertulis merupakan praktik yang telah berlangsung di tengah kehidupan masyarakat.
Internet membawa perekonomian dunia memasuki babak baru yang lebih dikenal dengan istilah digital economic atau ekonomi digital. Dalam era perkembangan ekonomi digital, masyarakat terus mengembangkan inovasi penyediaan layanan dalam kegiatan pinjam meminjam yang salah satunya ditandai dengan adanya Layanan Jasa Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi yang dinilai turut berkontribusi terhadap pembangunan dan perekonomian nasional. Teknologi informasi atau information technology (IT) telah mengubah masyarakat dalam menciptakan jenis-jenis dan peluang-peluang bisnis baru, serta menciptakan jenis pekerjaan dan karier baru dalam pekerjaan manusia. Dari hal inilah muncul istilah kontrak elektronik atau biasa dikenal dengan e-contract. Kontrak elektronik merupakan salah satu jenis kontrak dimana regulasi aturannya terdapat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), khususnya ada pada Pasal 1 angka 17 yang kemudian dijelaskan kembali pada Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE) dalam Pasal 1 angka 15.3
Sistem keuangan mempunyai peranan penting dalam meningkatkan pertumbuhan dan kesehatan kegiatan perekonomian suatu negara secara berkelanjutan dan seimbang. Sistem keuangan berfungsi sebagai fasilitator perdagangan domestik dan internasional, mobilisasi simpanan menjadi berbagai instrumen investasi dan menjadi perantara antara penabung dengan pemberi pinjaman.
Pasal 1754 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan: “pinjam-meminjam ialah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.”
Saat ini lembaga keuangan dalam sistem perekonomian semakin berkembang pesat mengikuti perkembangan teknologi dan zaman yang semakin modern. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya variasi instrumen dalam sistem keuangan baik di bidang perbankan dan non perbankan.4 Fungsi utama perbankan adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat yang bertujuan untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya.5 Di masa globalisasi saat ini aktivitas dapat di bantu dengan teknologi begitu juga lembaga keuangan yang menggunakan sistem online. Financial technology atau biasa dikenal dengan akronim fintech merupakan inovasi di bidang jasa keuangan yang sedang naik daun di Indonesia selang beberapa tahun terakhir. Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK), fintech adalah sebutan inovasi pada industri jasa keuangan yang memanfaatkan penggunaan teknologi.6
Munculnya perusahaan-perusahaan keuangan dalam pelayanan pinjaman online semakin menjadi perhatian publik dengan adanya uang berbasis teknologi informasi (peer to peer lending atau P2P lending) serta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia yang menjadi regulator perusahaan tersebut. Hal ini tercantum dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01.2016 tentang Layanan Peminjaman Uang Berbasis Online. Dalam POJK mengatur tentang layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi dan informasi yang biasa disebut dengan pinjaman meminjam uang secara peer to peer. Layanan ini merupakan suatu terobosan masyarakat di Indonesia yang belum mengetahui layanan perbankan (unbanked people) akan tetapi sudah mengerti teknologi.
Dalam Peraturan Nomor 77/POJK.01/2016 Otoritas Jasa Keuangan mengenai Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi yang kemudian disebut dengan POJKP2P Lending tertulis dalam ketentuan Pasal 1 angka 3 menyebutkan Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi atau P2P Lending yaitu penyelenggaraan layanan terhadap jasa keuangan dengan tujuan untuk mempertemukan para pihak dalam memberi pinjaman dengan para pihak yang menerima pinjaman untuk melakukan perjanjian dalam bentuk pinjam meminjam dengan menggunakan mata uang rupiah yang dilakukan langsung melalui sistem yang berbasis elektronik dengan menggunakan jaringan internet.
Layanan pinjam meminjam uang yang diatur dalam pasal 1745 KUHPerdata berbeda dengan layanan peer to peer lending. Dalam pasal 1745 KUHPerdata menyebutkan bahwa perjanjian pinjam meminjam melibatkan dua pihak yaitu pemberi pinjaman dan penerima pinjaman sehingga dalam hal kedua belah pihak memiliki hubungan hukum secara langsung yang dimana perjanjian tersebut melahirkan hak serta kewajiban bagi para pihak.
Untuk memahami kontrak harus merujuk kepada Pasal 1320 KUHPerdata : Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :
-
1. Sepakat untuk mengikatkan diri;
-
2. Cakap untuk membuat perjanjian;
-
3. Suatu hal tertentu;
-
4. Sebab yang sah atau tidak dilarang.
Hubungan hukum yang timbul dan berkembang dalam kegiatan manusia terjadi pada saat seseorang membuat perjanjian. Dalam membuat suatu perjanjian sering kali ditemukan pencantuman klausul sesuai dengan kehendak para pihak. Dalam setiap perkembangan teknologi serta ekonomi maka hal tersebut akan dihadapkan oleh sisi positif dan sisi negatif yang berlangsung bagi perdaban manusia. Saat ini teknologi telah memberikan kontribusi yang besar untuk mencapai tingkat kesejahteraan yang sekaligus mampu menjadi objek yang efektif dalam melakukan tindakan perbuatan melawan hukum maka dapat dikatakan bahwa teknologi saat ini berevolusi sebagai pedang bermata dua.7
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, Pasal 1 angka 1 menyatakan OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan.
Oleh karena itu, kegiatan yang dilakukan penyelenggara Fintech berbasis P2P Lending harus tetap dalam koridor hukum pengawasan OJK, sebagaimana diatur dalam penyelanggara Fintech berbasis P2P Lending dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Pinjaman online di Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu Pinjaman online legal dan ilegal (terdafar dan tidak terdaftar). Dengan adanya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam-meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Perusahaan layanan pinjaman online diwajibkan mendaftarkan perusahaannya ke OJK. Berbeda hal dengan pinjaman online ilegal, tidak ada ketentuan yang mengaturnya. Tingginya pertumbuhan layanan pinjaman online yang tidak terdaftar di OJK atau ilegal ini berasal dari masyarakat Indonesia itu sendiri yang menjadi pasar yang sangat besar untuk layanan pinjaman online. Masih banyak masyarakat yang kurang edukasi mengenai pinjaman ini sehingga mereka banyak memberikan pinjaman tanpa mengetahui resiko dari tindakan tersebut. Dampaknya sangat berpengaruh pada kehidupan mereka, ada yang data pribadinya tersebar, dilecehkan bahkan bunga yang cukup besar karena keterlambatan pembayaran pinjaman.8
Muhammad Erieq M.A dalam Skripsinya yang berjudul Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Fintech Lending Yang Dirugikan Dalam Transaksi Peminjaman Uang Secara Online menuliskan contoh permasalahan hukum di Indonesia pada Perusahaan Fintech yang diawasi oleh OJK dan yang berbasis ilegal yaitu tentang kasus Layanan Pinjam Online yang berbasis Teknologi yang menjerat supir bunuh diri karena Pinjaman Online. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengungkapkan fakta tentang kasus bunuh diri sopir taksi yang bernama Zulfadli yang berumur 35 tahun, karena terlambat dan tidak kunjung dibayar, nilai utang yang harus dibayarkan dengan bunga membuat Zulfadli tertekan. Setelah diselidiki ternyata korban hanya meminjam uang sebesar Rp 500 ribu pada salah satu aplikasi pinjaman online, karena belum membayar jadinya bunga semakin besar dan pada saat itu korban mendapatkan tekanan yang diberikan berupa penyebaran data pribadi dan juga ancaman yang menekan secara pribadi dari pinjam online tersebut. Korban juga sempat menuliskan wasiat wahai para rentenir online, kita bertemu nanti di alam sana.
Fazal Akmal Musyarri dan Nurul Ula Ulya dalam penelitannya yang berjudul Reformulasi Pengaturan Mengenai Financial Technology dalam Hukum Positif di Indonesia yang diterbitkan dalam Jurnal Arena Hukum menekankan pada pembahasan analisis normatif terhadap pengaturan Financial Technology dalam hukum positif Indonesia serta problematika yang menyertai dalam permasalahan hukum yang ada dan menerangkan terkait reformulasi konsep pembangunan hukum berparadigma ekonomi sebagai upaya sistematisasi Financial Technology sebagai inovasi yang distruptif. Pada kesempatan kali ini dalam penelitian saya; penelitian yuridis normatif akan lebih dispesifikan
pada pembahasan bentuk perlindungan hukum bagi konsumen fintech lending yang dirugikan dalam transaksi peminjaman uang secara online dan tentang keabsahan pinjaman online ilegal.
Dalam sistem ekonomi free market kelompok yang lemah biasanya cenderung dimangsa oleh yang kuat. Di dalam sistem ekonomi itu, perusahaan finacial tecnology di pastikan selalu akan mengulang cerita kelam nasabah yang terjerat utang oleh rentenir konvensional. Hutang dengan bunga tinggi berakibat pada hilangnya aset nasabah bahkan sampai habis semuanya. Faktor penyebab hal ini berhubungan dengan beroperasinya perusahaan fintech peer to peer lending ilegal.9
Terdapat dua permasalahan utama yang kami bahas dalam penelitian ini ;
-
1. Apa bentuk perlindungan hukum bagi konsumen fintech lending yang dirugikan dalam transaksi peminjaman uang secara online?
-
2. Bagaimana keabsahan pinjaman online ilegal?
Menurut Prof. Dr. Sugiyono metode penelitian merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.10 Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukun tertentu dengan jalan menganalisanya, kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala bersangkutan. Sudah barang tentu dalam penelitian hukum tersebut seorang peneliti hukum dapat melakukan aktivitas-aktivitas untuk mengungkapkan “kebenaran hukum” yang dilakukan secara terencana, secara metodologis, sistematis dan konsisten atau secara kebetulan, misalnya dengan mendasarkan diri pada keadaan atau metode untung-untungan (trial and eror) dalam aktivitasnya tersebut.11
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif, yakni penelitian hukum berdasarkan analisisnya pada peraturan perundang-undangan yang terkait dengan masalah yang menjadi fokus penelitian. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan, dan bahan hukum sekunder yaitu buku dan jurnal yang membehas perlindungan hukum konsumen Fintech Peer to Peer Lending dengan penelusuran pustaka. Untuk selanjutnya dianalisis dengan menggunakan pendekatan deskriptif analitis, yakni cara analisis dengan menggambarkan objek yang diteliti.12
Pendekatan penelitian hukum yang digunakan oleh penulis ialah pendekatan perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Pendekatan perundang-undangan digunakan karena terkait dengan permasalahan yang dibahas dan diteliti ialah aturan-aturan yang menjadi suatu fokus dan juga sebagai tema sentral pada suatu penelitian. Pendekatan ini digunakan dengan menelaah semua regulasi dan undang-undang yang berkaitan dengan isu-isu hukum yang akan dibahas dan ditangani berdasarkan rumusan masalah yang pertama bentuk perlindungan hukum bagi konsumen fintech lending dalam transaksi peminjaman uang secara online dan kedua tentang bagaimana keabsahan pinjaman online secara ilegal. Pendekatan ini akan membuka suatu kesempata bagi penulis untuk mengetahui kesesuaian peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan yang lain atau dengan regulasi yang lain. Nantinya Penulis akan melakukan analisa tentang kesesuaian perlindungan jasa antara Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perlinungan Data Konsumen Jasa Keuangan dengan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi Nomor 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Hukum Data Pribadi dalam Sistem Elektronik serta Peraturan Otoritas Jsa Keuangan Nomor 77 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi. Lalu kedua, Penulis menggunakan pendekatan konseptual. Yang dimaksud pendekatan konseptual ini ialah suatu metode pendekatan melalui pendekatan yang merujuk pada prinsip-prinsip hukum.13 Prinsip ini dapat ditemukan dalam pandagan para sarjana ataupun doktrin-doktrin hukum. Dalam menggunakan pendekatan penelitian ini, Penulis menggunakan teori isu Peer to Peer Lending dalam industri finansial teknologi terkait keterlambatan pembayaran pinjaman dan menjawab dari rumsan masalah.
-
3. Hasil Dan Pembahasan
-
3.1Bentuk Perlindungan Hukum bagi Konsumen yang dirugikan dalam Fintech Lending Transaksi Peminjaman Uang Online.
Perlindungan pengguna jasa menjadi salah satu isu utama dalam pengembangan bisnis Finansial Teknologi yang sudah diatur dan diawasi oleh Bank Indonesia dalam PBI nomor 16/1/PBI/2014 tentang Perlindungan Konsumen Penyelenggara Sistem Pembayaran yang mengatur perlindungan nasabah pengguna sistem pembayaran termasuk nasabah Finansial Teknologi. Kegiatan bisnis online dan transaksi elektronik termasuk finansial teknologi juga terkait dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Jika terjadi kejahatan penipuan, maka ini dimasukan dalam tindak pidana penipuan yang terjadi dalam bisnis online dan transaksi elektronik. Tindak pidana penipuan yang terjadi dalam bisnis online dan transaksi elektronik perlu ditangani melalui penerapan pasal penipuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam penanganan tindak pidana penipuan, pihak konsumen dapat melaporkan kepada Kepolisian, sedangkan penyelesaian sengketa konsumen dengan pelaku usaha dapat diselesaikan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
Hingga saat ini permasalahan utama layanan keuangan berbasis digital adalah belum adanya regulasi yang secara khusus mengatur kegiatan ini. Sementara disisi lain fasilitas ini sudah dikenal dan mulai banyak dimanfaatkan oleh masyarakat bahkan diprediksi di masa yang akan datang FinTech akan semakin berkembang dan mengambil bagian cukup besar dalam sistem keuangan Indonesia.14 Permasalahan yang timbul mencakup permasalahan yuridis dan non-yuridis. Permasalahan yuridis meliputi keabsahan perjanjian menurut KUHPerdata, penyelesaian sengketa transaksi e-commerce, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang tidak akomodatif, dan tidak adanya lembaga penjamin toko daring (online shop). Permasalahan non-yuridis meliputi keamanan bertransaksi, serta tidak pahamnya konsumen dan bertransaksi e-commerce.15 Pelaku usaha bisnis Finansial Teknologi harus menawarkan produknya melalui Sistem Elektronik dengan informasi yang lengkap dan benar sesuai dengan syarat kontrak, produsen,dan produk yang ditawarkan dan tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Aspek perlindungan konsumen ialah terkait transparansi jasa sistem pembayaran yang disediakan dan penanganan pengaduan konsumen. Peraturan Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE) juuga mengatur aspek perlindungan konsumen dalam transaksi elektronik dan bisnis daring. Bisnis Finansial Teknologi juga diatur dalam Pasal 65 dan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Perlindungan Konsumen juga diatur dalam rancangan Peraturan Pemerintah secara Elektronik (E-Commerce) yang pada saat ini sedang diproses Kemetrian Perdagangan menjadi Peraturan Pemerintah.16
Saat ini payung hukum untuk kegiatan Peer to Peer Lending di Indonesia adalah Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga independen memiliki fungsi, tugas, wewenang dan pengaturan, pengawasaan, pemeriksaan, dan penyidikan. Terdapat dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. OJK membentuk suatu peraturan tentang teknologi finansial yaitu Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Miminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBTI). Peraturan tersebut menyebutkan setiap penyelenggara teknologi finansial wajib mengajukan pendaftaran dan perizinan kepada OJK.17
Untuk layanan yang dilakukan oleh pelaku usaha Jasa Keuangan (PUJK) yang sudah mendapatkan izin dan diawasi oleh OJK, maka PUJK tersebut wajib memperhatikan dan melaksanakan ketentuan perlindungan konsumen pada Peraturan OJK No. 77/POJK.01/2016 tentang layanan pinjam meminjam uang berbasis Teknologi Informasi sampai saat ini. Namun, dengan memperhatikan kajian pemetaan potensi
risiko dari bisnis fintech, pengaturan Fintech yang telah ada di Indonesia beberapa temuan kegiatan operasi intelejen yang telah dilaksanakan oleh Direktorat Market Conduct OJK, dan telaah beberapa artikel Fintech, maka setidaknya ada 4 aspek perlindungan konsumen pada fintech yang harus diperhatikan baik oleh pemerintah maupun reglator di sektor jasa keuangan:
o Kelengkapan Informasi dan Transparasi Produk/ Layanan
Fintech wajib menyediakan informasi secara lengkap, up-to-date, dan transparan terkait produk/ layanan yang ditawarkan kepada konsumen dan masyarakat. Penyelenggara harus memastikan bahwa informasi yang diberikan bersifat transparan sehingga hal ini dapat memberikan kesempatan bagi konsumen untuk memahami dan memilih produk dengan baik serta menghindarkan diri dari risiko yang mereka ingin hindari, seperti misleading advertisement dan penipuan.
Aspek kelengkapan informasi serta transparansi pada Fintech di Indonesia wajib terdiri dari : biaya-biaya dan kewajiban yang akan dikenakan kepada konsumen, transparansi syarat dan ketentuan penggunaan produk/ layanan, pemberitahuan kepada konsumen apabila terdapat perubahan biaya, syarat dan ketentuan, kejelasan informasi dari periklanan produk yang dipasarkan. Yaitu dengan penggunaan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami dalam media periklanan yang digunakan, misalnya dalam website perusahaan, brosur, iklan media masa, online, dan sebagainya.
Penyedia layanan Fintech harus menginformasikan syarat dan ketentuan produk/ layanan pada saat perjanjian dengan sejelas-jelasnya, dengan menggunakan bahasa yang komunikatif. Mengingat tingkat literasi keuangan masyarakat Indonesia secara umum memang masih rendah. Apabila terdapat perubahan terhadap biaya yang dikenakan atau syarat dan ketentuan terkait produk yang dipasarkan, penyedia layanan Fintech seharusnya menginformasikan hal tersebut kepada konsumen melalui berbagai jalur komunikasi sampai konsumen tersebut terinformasikan dengan baik. Perjanjian juga dilarang mengungkapkan adanya pengalihan tanggung jawab atau kewajiban dari pelaku Fintech keepada konsumen (klausulaeksonerasi).
Salah satu contoh bahasa periklanan yang dapat memberikan gambaran keliru pada masyarakat adalah penawaran fasilitas pembelian barang secara kredit online. Masyarakat hanya diinformasikan terkait kemudahan dan kepraktisan dalam mengajukan kredit secara online, tetapi dari awal tidak diinfokan mengenai besarnya kewajiban biaya bunga dari besarnya pinjaman. Apabila kondisi ini tidak diperhatikan, maka dikhawatirkan akan muncul kebiasaan masyarakat yang mudah berutang dengan tidak memperhatikan kebutuhan dan kemampuan untuk membayar kembali (irresponsible lending). Untuk itu penyedia layanan wajib bertanggungjawab terhadap iklan produk yang dipasarkan dan regulator wajib memonitor dengan seksama terhadap informasi dan iklan yang disampaikan kepada masyarakat.
o Penanganan, pengaduan serta Penyelesaian sengketa Konsumen
Pemasalahan dan pengaduan dari konsumen merupakan suatu hal yang pasti akan dihadapi oleh pelaku Fintech, sehingga aspek ini mwnjadi hal yang wajib disediakan. Dan bagi para pelaku yang memiliki mekanisme penanganan pengaduan dan penyelesaian sengketa yang efektif akan memiliki peluang untuk menyempurnakan produk/ layanannya, karena dari data pengaduan yang diterima dapat dianalisa
penyebabnya dan hal tersebut dapat memacu upaya perbaikan dan pengembangan produk/ layanan.
o Pencegahan Penipuan dan Keandalan Sistem Layanan
Upaya penipuan di Fintech dapat berbentuk seperti penyalahgunaan situs layanan (phising), peretasan terhadap sistem keamanan, dan pemasaran produk/ layanan yang menipu. Dengan banyaknya layanan Fintech yang menggunakan media seperti situs jejaring dan aplikasi dalam melakukan promosi dan pemasaran produk/ layanannya, maka potensi kerentanan terjadinya penipuan juga akan meningkat.
o Perlindungan Terhadap Data Pribadi
Aspek ini menjadi salah satu hal penting yang harus diperhatikan penyedia layanan dan regulator. Hal karena penyalahgunaan data pribadi (konsumen) dapat berdampak pada pencurian identitas, penyalahgunaan profil konsumen, penawaran produk kepada konsumen yang datanya tercuri, hingga berdampak pada resiko dan kerugian yang lebih besar lainnya seperti ketidakpercayaan masyarakat terhadap layanan Fintech.
Berbagai potensi resiko dan kerawanan layanan fintech antara lain :
o Digitalisasi dan otomatisasi menyebabkan rawan sekali timbul aksi kejahatan online seperti penyadapan, pembobolan, dan cybercrime (transaksi fiktif, carding/penggunaan kartu kredit orang lain, penipuan di marketplace).
o Tidak semua penyedia jasa layanan teknologi finansial memiliki lisensi untuk menjalin kerjasama dengan lembaga perbankan syariah atau melakukan transaksi finansial secara tersistem dan legal, sehingga dimungkinkan terjadinya praktik penyalahgunaan wewenang atau penyimpangan transaksional, yang akan merugikan lembaga perbankan syariah itu sendiri.18
Maka dari itu, untuk perlindungan konsumen pada Fintech yang makin berkembang saat ini di Indonesia, berikut yang dapat dilaksanakan oleh OJK :
o Pengawasan dan pengaturan yang berfokus pada Fintech yang telah berkembang dan digunakan di Indonesia
Sesuai kewenangan OJK yang ada pada sektor jasa keuangan, maka Fintech dari PUJK yang berkaitan dengan sektor jasa keuangan dapat diatur berdasarkan UU OJK dan UU di masing-masing sektor jasa keuangan. Fintech yang ada hubungannya di sektor perbankan dapat diatur dengan hukum yang ada di sektor perbankan. Begitu juga dengan Fintech yang terkait sektor pasar modal lembaga keuangan non-bank (seperti asuransi, pembiayaan, dan pengadaian). Sedangkan untuk Fintech yang terkait dengan layanan pembayaran dapat diatur dengan menggunakan peraturan di Bank Indonesia.
o Peningkatan koordinasi dengan pemangku kepentingan
OJK berkoordinasi serta bekerjasama dengan para pemangku kepentingan Fintech lainnya. Koordinasi ini dilakukan dengan Kementerian Koordinator Bidang
Perekonomian, Bank Indonesia, Kementrian Perdagangan, Kementrian Keruangan, Kementrian Komunikasi dan Informatika, Kementrian Hukum dan HAM, asosiasi di sektor jasa keuangan asosiasi dan praktisi Fintech, serta akademisi. Selain ini, saat ini terdapat perusahaan Regtech (Reglations Technology) yang dapat mendukung pelaku Fintech untuk memastikan Comply terhadap peraturan terkait.
o Penyiapan mekanisme penyelesaian sengketa pada Fintech startup
Penyelesaian sengketa terkait Fintech yang dilakukan oleh PUJK (Fintech 2.0) dapat dilakukan melalui internal PUJK (mekanisme Internal Dispute Resolution), Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS), dan fasilitasi terbatas dari OJK. Namun untuk Fintech yang Non PUJK (Fintech startup), sampai dengan saat ini belum ditentukan mekanisme penyelesaian sengketa konsumen jika pengaduan tidak dapat diselesaikan oleh pelaku Fintech sendiri. Maka dari itu, OJK perlu mendiskusikan hal ini dengan pelaku Fintech P2P Lending yang telah terdaftar dan diawasi oleh OJK. Tujuannya agar konsumen pengguna layanan P2P Lending mendapatkan kejelasan atas penanganan pengaduan dan sengketanya. Selain ini, salah satu hal yang dapat dipertimbangkan untuk pelaksanaan penanganan pengaduan dan penyelesaian sengketa pada Fintech adalah Online Dispute Resolution (ODR).
o Peningkatan Legitimasi Fintech
Dalam upaya ini, ada tiga hal yang dapat dilaksanakan oleh OJK guna meningkatkan legitimasi Fintech di Indonesia. Pertama, OJK ataupun regulator terkait dapat memberlakukan trustmark (dapat berupa logo, gambar, ata lencana) pada situs dan/atau aplikasi pelaku Fintech yang telah terdaftar dan diawasi. Kedua, menerapkan sertifikat digital signature yang akan mengotentikasi identitas konsumen secara elektronik dengan memakai tanda tangan. Ketiga menerapkan verifikasi biometrik yang dapat mengidentifikasi satu atau lebih ciri-ciri biologis unik konsumen.19
Penyelesaian Sengketa Pelanggaran Hukum Perlindungan Konsumen Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999.20
o Lembaga Yang Berwenang
-
a. Badan Perlindungan Konsumen Nasional
-
b. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat
-
c. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
o Proses Penyelesaian Sengketa
Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa di luar
pengadilan tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.
Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan menurut ketentuan Pasal 47 UUPK, Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.
o Sanksi Hukum
-
1. Sanksi Administratif
Dalam pasal 60 UUPK dijelaskan, Badan penyelesaian sengketa konsumen berwenang menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, Pasal 25 dan Pasal 26 undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp. 200.000.0000,00 (dua ratus juta rupiah).
-
2. Sanksi Pidana
Pasal 61 UUPK menjelaskan bahwa Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya. Pasal 62 menjelaskan bahwa Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9,Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e,ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f di pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00(lima ratus juta rupiah). Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku. Pasal 63 menjelaskan: Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa:
-
1) . perampasan barang tertentu;
-
2) . pengumuman keputusan hakim;
-
3) . pembayaran ganti rugi;
-
4) . perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;
-
5) . kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau
-
6) . pencabutan izin usaha.
Tentang pembinaan dijelaskan dalam pasal 29 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Bahwa Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaran perlindumgan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan
pelaku usaha. Pembinaan oleh pemerintah atas pnyelenggaraan perlindungan tersebut dilaksanakan oleh Menteri dan/ atau menteri teknis terkait Menteri ini melakukan koordinasi atas penyelenggaraan perlindungan konsumen. Beberapa upaya dalam pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen adalah :
-
a. Terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen;
-
b. Berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
-
c. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia serta meningkatnya kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen.
Untuk ketentuan lain terkait pembinaan penyelenggaran konsumen diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pengawasan dijelaskan dalam pasal 30 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat. Pengawasan oleh pemerintah tersebut dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait. Pengawasan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar. Apabila hasil pengawasan tersebut ternyata menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membahayakan konsumen, Menteri dan/atau menteri teknis mengambil tindakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hasil pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada Menteri dan menteri teknis. Ketentuan pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
-
• Keabsahan Pinjaman Online Ilegal
Stufentheory menyebutkan bahwa hukum merupakan kategori keharusan (sollenskatagorie) bukan seinkatagorie (katagori faktual). Hukum adalah suatu keharusan yang mengatur tingakah laku manusia. Dalam hal ini yang dipersoalkan oleh hukum bukanlah “bagaimana hukum itu seharusnya” (what the law ought to be), tetapi “apa hukumnya” (what the law is). Teori ini dpaat digunakan dalam melakukan penyelenggaraan Fintech berbasis Peer to Peer Lending, hubungan hukum yang terjadi antara Pemberi Pinjaman dengan Penyelenggara layanan Fintech dan antara Pemberi Pinjaman dengan Penerima Pinjaman.
Dalam Pinjam meminjam uang berbasis Teknologi Informasi merupakan penyelenggaraan layanan jasaa keuangan guna mempertemukan pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman.21 Dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah yaitu berdasarkan syarat sahnya perjanjian, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”,
artinya semua perjanjian mengikat mereka yang tersangkut bagi yang membuatnya. Setiap orang dapat mengadakan perjanjian, asalkan memenuhi syarat yang ditetapkan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Pada November 2018 lalu, Dirjen Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) sempat mengatakan masyarakat tidak perlu takut untuk meminjam ke pinjol ilegal, karena setelah melakukan peminjaman tidak perlu melakukan pembayaran.
Pernyataan Dirjen Kemenkominfo diatas menimbulkan pertanyaan tersendiri, apakah ini berarti masyarakat boleh melakukan peminjaman ke pinjol ilegal, dan tidak perlu melakukan kewajiban pembayaran hutang. Pernyataan tersebut jika dilihat dari sudut pandang terminologi dan peraturan pinjam meminjam seperti tidak sesuai. Dari pernyataan tersebut terdapat isu hukum yang hendak selalu menarik dibahas, karena terdapat peristiwa perbuatan hukum, dalam hal ini pinjam meminjam yang melibatkan pihak ilegal yaitu pinjol ilegal.
Ketentuan pinjam meminjam sendiri diatur dalam Pasal 1754 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa :
Pinjam pakai habis adalah suatu perjanjian, yang menentukan pihak pertama yang mengajukan barang yang dapat diselesaikan terpakai kepada pihak kedua dengan persyaratan kedua akan membawa barang-barang ke jumlah pertama dan jumlah ke dua.
Selanjutnya karena bentuknya perjanjian, perlu memperhatikan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata yang menyatakan bahwa empat syarat yang sah perjanjian ialah 1) Adanya kesepakatan; 2) Kecakapan untuk membuat perjanjian; 3) Suatu hal tertentu; 4) Suatu sebab yang dilarang.
Kemudian perjanjian yang sudah dibuat dan disepakati oleh para pihak berlaku sebagai undang-undang dan mengikat para pihak yang membuatnya, sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Untuk analogi, pinjol ilegal ini karakteristiknya sangatlah mirip dengan rentenir. Istilah rentenir memiliki konotasi negatif, pada Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti lintah darat. Dalam hal ini, masyarakat sebenarnya memiliki kesadaran dan pilihan untuk melakukan peminjaman melalui rentenir atau ke lembaga resmi. Sama halnya dengan pinjol ilegal, calon peminjam juga memiliki kesadaran untuk memilih melakukan peminjaman melalui pinjol ilegal atau pinjol yang terdaftar di OJK. Jika melihat ketentuan dan pembahasan diatas, masyarakat yang telah melakukan peminjaman pada pinjol ilegal, maka status peminjaman akan tetap ada serta sah sebagai sebuah kesepakatan karena peminjam dengan sadar telah melakukan perjanjian pinjam meminjam dengan pihak pinjol ilegal.
4. Kesimpulan
Dalam mekanisme penyelenggaraan Fintech berbasis Peer to Peer Lending, hubungan hukum terjadi antara Pemberi Pinjaman dengan Penyelenggara layanan Fintech dan antara Pemberi Pinjaman dengan Penerima Pinjaman. Hubungan hukum antara Pemberi Pinjaman dengan Penyelenggara layanan Fintech adalah perjanjian pemberian kuasa sebagaimana Pasal 1792 KUHPerdata. Penyelenggara layanan Fintech berbasis
P2PL diberi kuasa oleh Pemberi Pinjaman bertindak untuk dan atas nama Pemberi Pinjaman dalam menyalurkan dana Pemberi Pinjaman kepada Penerima Pinjaman. Dari kuasa tersebut Penyelenggara dapat mengelola dana Pemberi Pinjaman kemudian disalurkan dalam bentuk pinjaman kepada Penerima Pinjaman yang dianggap cukup berkualitas. Regulator dalam komunikasi ke publik menggunakan istilah pinjol legal bagi perusahaan pinjol yang telah terdaftar resmi, bagi pinjol yang tidak melakukan pendaftaran, regulator menyebutnya dengan sebutan pinjol ilegal. Meski disebut pinjol ilegal, perjanjian pinjam meminjam antara pinjol ilegal dan pengguna tetap berlaku, artinya pengguna tidak dapat mengesampingkan kewajiban membayar hutang dengan alasan karena meminjam di perusahaan pinjol ilegal.
Ucapan Terima Kasih (Acknowledgments)
Kami ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu dalam penulisan penelitian ini.
Daftar Pustaka
Buku
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, Dan R&D. Bandung: Alfabeta, 2019.
Sunggono, Bambang. “Metodologi Penelitian Hukum Cet. 15, PT.” Rajawali Pers, Jakarta, 2015.
Jurnal
Basrowi, Basrowi. “Analisis Aspek Dan Upaya Perlindungan Konsumen Fintech Syariah.” Lex Librum: Jurnal Ilmu Hukum 5, no. 2 (2019): 959–80.
https://doi.org/https://doi.org/10.46839/LLJIH.V5I2.134.
Benuf, Kornelius. “Urgensi Kebijakan Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Fintech Peer to Peer Lending Akibat Penyebaran COVID-19.” Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional 9, no. 2 (2020): 203.
https://doi.org/https://doi.org/10.33331/RECHTSVINDING.V9I2.427.
Mu’in, Fathul, Bobby Oktavianda, Rissa Afni Martinouva, and Chandra Muliawan. “Perlindungan Hukum Konsumen Dalam Transaksi Bisnis Fintech Pada PT. Lampung Berkah Finansial Teknologi.” Jurnal Hukum Malahayati 2, no. 1 (2021): 27–41.
Novita, Yustina Dhian, and Budi Santoso. “Urgensi Pembaharuan Regulasi Perlindungan Konsumen Di Era Bisnis Digital.” Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia 3, no. 1 (2021): 46–58.
https://doi.org/https://doi.org/10.14710/JPHI.V3I1.46-58.
Nugroho, Hendro. “Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak Dalam Transaksi Pinjaman Online.” JUSTITIA: Jurnal Ilmu Hukum Dan Humaniora 7, no. 2 (2020): 328–34. https://doi.org/https://doi.org/10.31604/justitia.v7i2.328-334.
Nursaidi N A, and Ashar Sinilele. “Perlindungan Hukum Nasabah Dalam Transaksi Pinjaman Online (Fintech).” El-Iqtishady 3, no. 1 (June 2021): 96–105.
https://doi.org/https://doi.org/10.24252/el-iqthisadi.v3i1%20Juni.22138.
Prabowo, Muhammad Shidqon, and Nurma Fatmawati. “Belanja Online Dalam Prespektif Perlindungan Hukum Konsumen (Suatu Telaah UU No 8 Tahun 1999).” QISTIE 13, no. 2 (2020): 214–44.
https://doi.org/https://doi.org/10.31942/JQI.V13I2.3910.
Putri, Triastarina Pratama, Sunarjo Sunarjo, and Fadilla Dwi Lailawati. “Keabsahan Yuridis Perjanjian Pinjaman Online Yang Tidak Terdaftar Di Otoritas Jasa Keuangan.” Bhirawa Law Journal 1, no. 2 (2020): 56–62.
Situngkir, Fridolin. “Penyelesaian Sengketa Pelanggaran Hukum Perlindungan Konsumen Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999.” Lex Et Societatis 3, no. 1 (2015). https://doi.org/https://doi.org/10.35796/LES.V3I1.7067.
Wulandari, Bernadetta Tjandra. “Aspek Perlindungan Hukum Pengguna Fasilitas Financial Technology Di Indonesia.” Jurnal Paradigma Hukum Pembangunan 2, no. 01 (2017): 93–107.
Skripsi
Bretama, Rangga Apsa, Yunial Laili Mutiari, and Arfianna Novera. “Perlindungan Hukum Bagi Penerima Pinjaman Pada Pinjaman Berbasis Online (Peer To Peer Lending) Dalam Transaksi Pinjam-Meminjam Uang.” Sriwijaya University, 2020.
MA, Muhammad Erieq. “Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Fintech Lending Yang Di Rugikan Dalam Transaksi Peminjaman Uang Secara Online.” Fakultas Hukum Universitas Jember, n.d.
Peraturan/ Undang-Undang
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01.2016 tentang layanan Peminjaman Uang Berbasis Online Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tetang Perlindungan Konsumen.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)
Website
Idris M. “Fintech Adalah: Pengertian, Jenis, Dan Aturan Hukumnya Halaman All -Kompas.Com.” Accessed April 22, 2021.
Otoritas Jasa Keuangan. “Perbankan.” Accessed October 8, 2021.
https://www.ojk.go.id/sustainable-finance/id/tentang/Pages/Perbankan.aspx.
768
Discussion and feedback