Kedudukan Sertipikat Hak Atas Tanah terkait Berlakunya Sistem Publikasi Negatif di Indonesia
on

Kedudukan Sertipikat Hak Atas Tanah terkait
Berlakunya Sistem Publikasi Negatif di Indonesia
Putu Astika Yasa1, I Nyoman Bagiastra2
1Kantor Notaris-PPAT I Made Warnawa, S.H., M.Kn, E-mail: putuastikayasa@gmail.com
2Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: nyoman_bagiastra@unud.ac.id
Info Artikel
Masuk: 22 September 2021
Diterima: 26 Desember 2021
Terbit: 31 Desember 2021
Keywords:
Certificate; Legal Certainty;
Negatif Publication
Kata kunci:
Sertifikat Hak Atas Merek Tanah; Kepastian Hukum;
Publikasi Negatif
Corresponding Author:
Putu Astika Yasa, e-mail : putuastikayasa@gmail.com
DOI:
10.24843/JMHU.2021.v10.i04.
p12
Abstract
The purpose of writing this article aims to provide an understanding related to how the status of property rights certificates with the enactment of the negative publication system. The research method used is a normative research method. The results of the research are (1) The regulation of land ownership rights by the people in Indonesia is regulated in Law no. 5 of 1960 concerning Agrarian Principles which was later explained in more detail through Government Regulation no. 24 of 1997 concerning Land Registration as the legal basis and contains procedures for the process and settlement and, (2) Legal certainty regarding land ownership rights with the application of a negative publication system is evidenced by a land certificate which will have a permanent position after 5 (five) years. ) years no one has sued or proved otherwise.
Abstrak
Tujuan dari penulisan artikel ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang berkaitan dengan bagaimana kedudukan sertipikat hak milik dengan berlakunya sistem publikasi negatif. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian normative dengan pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Hasil penelitiannya adalah (1) Pengaturan hak atas kepemilikan tanah oleh masyarakat di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok – Pokok Agraria yang kemudian dijelaskan lebih detail melalui Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah sebagai dasar hukumnya dan memuat mengenai tata cara proses dan penyelesaiannya dan, (2) Kepastian hukum mengenai hak atas kepemilikan tanah dengan berlakunya sistem publikasi negatif dibuktikan dengan sertipikat tanah yang dimana akan memiliki kedudukan yang tetap ketika setelah 5 (lima) tahun tidak ada yang menggugat atau membuktikan sebaliknya.
manusia sebagai tempat untuk mencari penghidupan maupun beraktivitas, maka dari itu hubungan manusia dengan tanah tidakdapat dipisahkan.1 Perkembangan zaman dewasa ini yang begitu pesatnya, membuat proses pembangunan di Indonesia meningkat hal ini tentu berdampak terhadap harga tanah yang akan cenderung naik karena kebutuhan dari masyarakat itu sendiri, yang mana kita ketahui keberadaan dari tanah yang bersar manfaatnya itu sangatlah terbatas.
Dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD) Pasal 33 Ayat (3) disebutkan bahwa “pemanfaatan fungsi bumi, air dan ruang angkasa serta segala apa yang terkandung di dalamnya adalah sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Perlu ditekankan bahwa bumi, air dan ruang angkasa sepenuhnya dimanfaatkan demi kemakmuran rakyat dan untuk tercapainya hal tersebut diperlukan adanya kepastian hukum terhadap ha katas tanah tersebut. Dengan melakukan pendaftaran tanah. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan suatu organisasi kekuasaan yang dibentuk dari seluruh rakyat Indonesia, untuk mengatur dan mengurus serta untuk menyelesaikan segala urusan yang berkaitan dengan kepentingan-kepentingan nasional. 2 Berdasarkan hal tersebutlah dilimpahkannya wewenang seluruh rakyat Indonesia kepada Negara selaku organisasi kekuasaan untuk sepenuhnya berwenang mengurus, mengatur, dan menguasai serta menyelesaikan persoalan yang berkenaan dengan fungsi bumi, air, dan ruang angkasa”.
Wujud dari pelaksanaan Pasal 33 Ayat (3) UUD adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disingkat UUPA) mengatur “bahwa untuk menjamin kepastian hukum hak-hak katas tanah pemerintah menyelenggarakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia. Dalam arti hukum tanah merupakan hal yang penting karena menentukan keberadaan, kelangsungan hubungan dan perbuatan hukum dalam kehidupan masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat urusan tanah merupakan hal yang sensitif, untuk menghindari dari adanya masalah atau konflik kepentingan didalam masyarakat yang diakibatkan oleh tanah diperlukan adanya pengaturan yang berkaitan dengan penggunaan dan penguasaan tanah atau dengan kata lain dapat disebut hukum tanah. Dalam UUPA Pasal 4 ayat (1) mengatur bahwa atas dasar hak untuk menguasai dari negara yang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan dengan adanya macam-macam hak atas sebidang tanah, yang dapat diberikan kepada dan/atau dipunyai oleh orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan hukum.
Pasal 19 UUPA Ayat (1) oleh pemerintah untuk menjamin kepastian hukum yang berkaitan dengan pengadaan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia dilakukan menurut [eraturan pemerintah. Peraturan Pemerintah yang dimaksudkan disini adalah Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut PP No. 24 Tahun 1997. Dalam Pasal 3 PP No. 24 Tahun 1997 menyebutkan tujuan dari dilakukkannya pendaftaran tanah diantaranya :
-
1. Memberikan perlindungan hukum dan kepastian hukum kepada para pemegang ha katas suatu bidang tanah dan satuan rumah susun serta hal-
hal lainnnya yang terdafta agar dapat dengan mudah untuk membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.
-
2. Tersedianya informasi bagi pihak pihak yang berkepentingan atas hak tersebut termasuk pemerintah agar dimudahkan memperoleh data yang diperlukan dalam melakukan perbuatan hukum mengenai ha katas bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun yang sudah terdaftar.
-
3. Agar terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
Sertipikat hak atas sebidang tanah merupakan output dari dilakukannya proses pendafataran tanah yang berisi data fisik yang di dalamnya berupa keterangan berkaitan dengan batas tanah, letak tanah, luas tanah, serta bangunan diatasnya apabila ada dan dianggap perlu, dan data-data yuridis yang di dalamnya berupa keterangan mengenai status tanah, bangunan yang berdiri diatasnya, pemegang ha katas sebidang tanah tersebut dan hak hak pihak lain yang ada, serta hal-hal lain yang ada diatasnya. PP No. 24 Tahun 1997 Pasal 32 mengatur bahwa sertipikat merupakan:
-
(1) Sertifikat adalah surat tanda bukti yang kuat hak kepemilikan yang berlaku sebagai alat pembuktian mengenai data fisik serta data yuridis yang ada di dalamnya, sepanjang data fisik serta data yuridis yang ada tersebut sesuai dengan data yang ada di dalam SU (surat ukur) dan buku tanah.
-
(2) Dalam hal atas bidang tanah yang sudah terbit sertipikatnya secara sah dan nama orang/badan hukum yang tercantum di dalamnya yang membuktikan kepemilikan ha katas bidang tanah tersebut dengan beritikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihk lain yang merasa memiliki hak atas sebidang tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu lima tahun sejak diterbitkannya sertipikat hak atas tanah tersebut tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan kepada Kepala Kantor Pertanahan yang bersakutan atau tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan atas penguasaan atas tanah atay penerbitan sertipikat tersebut.
Proses pendaftaran atas sebidang tanah yang outputnya sertipikat hak atas suatu bidang tanah adalah terdiri dari salinan dari buku tanah yang berisikan data yuridis, selanjutnya dilampirkan surat ukur yang berisikan data fisik, lalu dijilid menjadi satu dan diberikat sampul yang berwarna hijau bergambar garmbar burung garuda. Di dalam pendaftaran atas bidang tanah ada dua sistem publikasi yang dikenal yaitu sistem publikasi positif dan sistem publikasi negatif. Di Indonesia sendiri menganut sistem stelsel negatif bertendensi positif yang mengikuti seperti yang dituangkan dalam Pasal 19 UUPA secara tersirat3, dengan begitu pembuktian sertifikat hak atas bidang tanah di Indonesia menjadi kuat. Namun demikian sertifikat atas bidang tanahpun masih dapat dibatalkan berdasarkan ketentuan dari Pasal 32 PP No. 24 Tahun 1997.
Dalam ketentuan PP No. 24 Tahun 1997 Pasal 32 Ayat (2) terdapat frasa yang menyatakan bahwa apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertipikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan Kepala
Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat tersebut, frasa tersebut dapat diartikan bahwa dalam waktu kurang dari 5 tahun apabila ada yang menggugat dan membuktikan sebaliknya maka sertpikat tersebut dapat dibatalkan sehingga menurut pendapat penulis kekuatan hukum sertipikat yang tercantum di Ayat (1) menimbulkan kekaburan. Hal ini menjadi berpengaruh mengingat banyaknya permasalah-permasalahan yang berkaitan dengan hak atas bidang tanah atau disebut sengketa pertanahan yang terjadi akibat penggunaan dari sistem publikasi negatif yang berunsur bertendensi positif di Indonesia.4
Berdasarkan hal tersebut diatas maka diangkat permasalahan yaitu bagaimana pengaturan mengenai kepemilikan hak atas tanah dan bagaimana kepastian hukum terhadap kedudukan sertipikat tanah akibat adanya sistem publikasi negatif.
Penulisan artikel ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang berkaitan dengan bagaimana kedudukan sertipikat hak milik dengan berlakunya sistem publikasi negatif.
Berkaitan dengan orisinalitas penulisan artikel ini berikut adalah beberapa artikel terdahulu dengan pembahasan serupa. Irsyad Surawirawan Pengaruh Penerapan Stelsel Negatif Terhadap Duplikasi Kepemilikan Tanah Dikaitkan Dengan Pengembangan Perumahan Bagi Masyarakat” yang mana dalam artikel tersebut membahas tentang penerapan stelsel negatif terhadap pendaftaran sertifikat tanah serta efektifitas penyelesaian hukum terhadap pemegang hak atas tanah bila terdapat kepemilikan hak atas tanah ganda5. Adapun yang membedakan penelitian tersebut dengan penulisan yang dilakukan oleh penulis adalah penelitian tersebut lebih berfokus pada penerapan stelsel negative terhadap duplikasi kepemilikan tanah dan dikaitkan pada pengembangan perumahan, sedangkan penelitian yang dilakukan penulis lebih berfokus pada kedudukan sertifikat hak atas tanah setelah adanya sistem publikasi negative di Indonesia. 6
Dalam penulisan artikel ini digunakan penelitian hukum normatif berangkat dari kekaburan norma yang ada pada PP No. 24 Tahun 1997 Pasal 32 Ayat (1) Tentang Pendaftaran Tanah yang menimbulkan keraguan terhadap kepastian hukum sertipikat hak atas tanah. Kemudian dalam pendekatannya menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan analisis (analytical approach). Serta dalam Teknik pengumpulan bahan hukumnya dilakukan melalui studi dokumen dengan metode analisis kualitatif terhadap bahan hukum yang telah diperoleh.7
Tanah dulunya hanya dinilai sebagai faktor penunjang aktivitas pertanian saja. Namun seiring perkembangan zaman dengancara pandang yang lebih strategis, tanah sudah menjadi aset penting dalam kehidupan masyarakat.8 Tanah merupakan sumber daya alam yang amat penting bagi kehidupan makhlik hidup di muka bumi ini, baik bagi manusian, hewan dan, tumbuhan, tanah juga merupakan sumber yang terbatas atau dengan kata lain tidak dapat diperbanyak atau diperluas. Tanah yang dapat dilihat sebagai tempat tumbuhnya tanaman yang mana ada yang disebut tanah subur dan tanah gersang, tanah juga dapat diukur dengan ukuran volume misalnya permeter kubik tanah dan tanah juga dapat dibandang sebagai ruang muka bumi seperti yang disebutkan dalam UUPA Pasal 4 Ayat (1). Kebijakan dalam penggunaan hak atas tanah di Indonesia di atur dalam UUPA Pasal 2 Ayat (3), yang menyatakan bahwa pemanfaatan tanah digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran, kesejahteraan, dan kemerdekaan untuk rakyat Indonesia. Sedangkan untuk pemeliharaan guna menambah kesuburan tanah tersebut diatur dalam UUPA Pasal 14. Di dalam UUD Pasal 33 Ayat (1) mengatur bahwa bumi, air, dan ruang angkasa termasuk dengan kekayaan alam yang ada di dalamnya dikuasai oleh negara. Negara adalah yang berperan sebagai organisasi berkekuasaan penuh bagi seluruh rakyatnya. Hak untuk menguasai yang dimiliki oleh negara tertuang dalam UUPA Pasal 1 Ayat (2) yang menyatakan bahwa memberikan kewenangan kepada negara untuk mengatur menyelenggarakan peruntukan atas bidang tanah, mengatur penggunaannya, mengatur persediaan tanah, dan mengatur hubungan-hubungan hukum yang timbul antara orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa. Serta menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang timbul akibat dari hak atas tanah tersebut.
Di dalam UUPA Pasal 4 Ayaat (1) mengatur bahwa atas hak atas menguasai dari suatu negara sebagaimana yang di maksud dalam UUPA Pasal 2 ditentukan dengan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yg disebut tanah itu, yang dapat diberikan kepada dan dimiliki oleh orang perorangan maupun badan hukum. Adanya kepemilikan hak atas sebidang tanah terjadi akibat adanya penetapan Pemerintah melaluai Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional (selanjutnya disebut ATR/BPN. Melalui penetapan Pemerintah kepemilikan hak atas sebidang tanah juga dapat dilakukan dengan menunjukan bukti kepemilikan yang haknya merupakan bukti kepemilikan hak-hak lama dalam hal ini baik berkas hak barat maupun hak adat. Dan juga dapat dilakukan terhadap tanah yang status tanahnya dikuasai langsung oleh negara melalui permohonan untuk memiliki tanah tersebut. Isi dari penetapan Pemerintah tersebut adalah pemberian hak atas sebidang tanah kepada subyek, baik hak atas sebidang tanah untuk perorangan maupun hak atas sebidang tanah untuk badan hukum dengan obyek suatu bidang tanah tertentu, hal tersebut tertuang dalam UUPA Pasal 22 Ayat (2), Pasal 31, dan Pasal 37. Berdasarkan ketentuan Pasal 23 PP No. 24 tahun 1997 mengatur bahwa pemberian hak
atas sebidang tanah termasuk dalam kategori pembuktian hak baru. Tanah yang dapat dilakukan melalui proses pemberian hak atas sebidang tanah adalah umumnya tanah yang dikuasi langsung oleh negara9.
Di dalam Peraturan Menteri Negara atau Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara Pasal 1 angka 5 j.o Peraturan Menteri Negara atau Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan Pasal 1 angka 8 menegaskan bahwa Pemberian hak atas sebidang tanah adalah penetapan yang dilakukan pemerinta guna memberikan suatu hak atas sebidang tanah negara, memperpanjang jangka waktu hak, perubahan atas hak, termasuk pemberian hak di atas hak untuk pengelolaan. Pada tahap proses penetapan atau pemberian hak atas tanah yang diberikan pemerintah tersebut, ada yang langsung diberikan hak secara cuma-cuma tanpa terlebih dahulu menunjukan bukti penguasaan hak atas tanahnya, ada pula penetapan yang terlebih dahulu harus menunjukan adanya hubunganhukum antara orang atau badan hukum dengan tanahnya yang merupakan bukti penguasaan hak atas sebidang tanahnya, baik berupa bukti yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang maupun membuat sendiri pernyataan bahwa memang bener bahwa tanah yang dimaksud sejak awal dia yang mengelola10. Setiap warga negara dapat memiliki hak atas sebidang tanah dengan memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.”
Mendaftarkan hak atas sebidang tanah dilakukan semata-mata untuk mendapatkan kepastian hukum, pendaftaran hak atas sebidang tanah yang diselenggarakan pemerintah ini pula untuk memenuhi kebutuhan baik masyarat maupun pemerintah. Dengan diselenggarakannya pendaftran hak atas sebidang tanah diharapkan masyarakat merasa aman serta tidak mendapat gangguan dari pihak lain atas hak atas sebidang tanah yang dimilikinya. Kepastian hukum terhadap suatu hak atas sebidang tanah sangat dipengaruhi oleh sistem pendaftaran yang dianut dalam pendaftaran tanahnya11. Boedi Harsono mengemukakan bahwa pengertian dari pendaftaran hak atas sebidang tanah adalah suatu proses kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah atau negara secara teratur dan berkelanjutan, berupa pengumpulan atau memperbaharui data-data tertentu mengenai tanah yang ada di wilayah-wilayah tertentu, penyimpanan, pengolahan, dan penyajian untuk kepentingan masyarakat,
dengan cara memberikan kepastian hukum dibidang pertanaha, termasuk pernerbitan tanda bukti hak dan pemeliharaannya12.
Pendaaftaran tanah sebagai jaminan untuk mendapatkan kepastian hukum diatur dalam UUPA Pasal 19 Ayat (1) yang menyatakan bahwa “untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan- ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Ketentuan Pasal ini diperuntukan kepada pemerintah agar diselenggarakannya pendaftaran hak atas sebidang tanah di seluruh wilayah Indonesia yang bersifat recht kadaster yang artinya adalah untuk menjamin kepastian hukum, untuk mewujudkan hal itu diperlukan adanya kepastian hukum itu sendiri. Ketentuan-ketentuan lain yang ada dalam UUPA yang mengarah kepada mereka yang memegang hak atas sebidang tanah dengan maksud agar mereka memperoleh kepastian berkaitan dengan haknya. Ketentuan-ketentuan tersebut adalah sebagai berikut:
-
a. UUPA Pasal 23 Ayat (1) yang menagtur bahwa Hak Milik, demikian pula setiap peralihannya, pembebanannya, dan hapusnya hak-hak itu harus didaftarkan sesuai ketentuan yang dimaksud oleh Pasal 19.
-
b. UUPA Pasal 32 Ayat (1) yang mengatur bahwa Hak Guna Usaha, termasuk syarat- syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan penghapusan hak tersebut, harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19.
-
c. UUPA Pasal 38 Ayat (1) yang mengatur bahwa Hak Guna Bangunan, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan hapusnya hak tersebut harus didaftarkan menurut ketentuan- ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19.
Tujuan dari diselenggarakannya pendaftaran hak atas sebidang tanah sebagai mana yang telah di atur dalam UUPA Pasal 19 Ayat (1) yaitu "Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Menurut A.P. Parlindungan bahwa apabila dihubungkan tujuan dari diselenggarakannya pendaftaran hak atas tanah seperti yang telah disebutkan dalam PP No. 24 Tahun 1997 selanjutnya dapat memperluas ketentuan Pasal 19 UUPA, hal itu terjadi karena sebagai berikut:
-
a. Tercapainya perlindungan dan kepastian hukum terhadap pemilik hak atas sebidang tanah apabila sertipikat telah diterbitkan.
-
b. Adanya data terkait pertanahan di kantor pertanahan memudahkan pemerintah untuk membuat perenccanaan pembangunan negara, serta bagi masyarakat sendiri akan lebih mengetahui kepemilikan dan peruntukan tanahnya.
-
c. Masa depan pertanahan akan lebih terpelihara dengan administrasi pertanahan yang baik.”
Tujuan dari penyelenggaaraan pendaftaran hak atas sebidang tanah tidak lain adalah sebagai salah satu faktor penting untuk mewujudkan suatu kepastian hukum. Dalam masyarakat modern penyelenggaraan pendaftaran tanah adalah merupakan sebuah tugas negara yang dilaksanakan melalui pemerintah untuk kepentingan rakyat guna memberikan jaminan kepastian hukum khususnya dalam bidang pertanahan.
Untuk dapat memberikan perlindungan dan kepastian hukum, pemegang hak atas suatu bidang tanah diberikan sebuah sertipikat sebagai tanda bukti atas bidang tanah sersebut. Dalam UUPA sendiri tidak disebutkan apa yang dimaksud dengan tanda bukti hak atas sebidang tanah tersebut. Mengenai hal tersebut disebutkan dalam ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut PP No. 10 Tahun 1961) dalam Pasal 13 Ayat (3) yang menyebutkan “bahwa surat tanda bukti atas sebidang tanah dinamakan sertipikat, yang mana merupakan Salinan dari aslinya yaitu buku tanah dan surat ukur, lalu dijahit menjadi satu dengan sampul yang ditetapkan oleh Menteri Agraria”. Selanjutnya dalam PP No. 24 Tahun 1997 pada Pasal 1 angka 20 mengatur “bahwa sertipikat merupakan surat tanda bukti hak kepemilikan atas tanah sebagaimana yang terkandung di dalam UUPA Pasal 19 Ayat (2) huruf C untuk hak pengelolaan atas tanah, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun serta hak tanggungan yang mana masing-masing dari hak tersebut sudah di bukukan dalam buku tanah bersangkutan”. Dengan kata lain dalam hukum pembuktian sertipikat alat bukti merupakan alat bukti yang kuat13.
Hak atas sebidang tanah dianggap sebagai suatu hubungan hukum yang diartikan hak atas permukaan bumi yang memberikan wewenang penuh kepada pemegang haknya untuk memanfaatkannya, beserta apa yang terkandung di dalamnya dan air serta ruang di atasnya, dengan dibatasi batas-batas menurut UUPA dan peraturan lainnya. Apabila ditelaah lebih lanjut lagi pengertian sertipikat itu sendiri merupakan tanda bukti penguasaan terhadap sebidang tanah yang kuat, yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui proses penyelenggaraaan pendaftaran hak atas sebidang tanah. Sertipikat hak atas tanah tersebut pula dapat membuktikan bahwa seseorang maupun badan hukum mempunyai hak untuk mengelola dan menguasai atas tanh tertentu tersebut.
Dalam pembuktian, untuk membuktikan kepemilikan terhadap suatu bidang tanah memang dapat di buktikan dengan berbagai macam alat bukti seperti bukti pembayaran pajak akan tetapi pembuktian terkuat tetap ada pada sertipikat tanah, hal ini terkandung dalam UUPA Pasal 19 Ayat (2) huruf C. Tanah yang bersangkutan harus didaftarkan terlebih dahulu di kantor Pertanahan Nasional setempat apabila ingin memperoleh sertipikat hak atas tanah. Dalam hal pembuktian hak atas sebidang tanah dapat dilihat dalam PP No. 24 Tahun 1997 Pasal 23 yang mengatur bahwa “dalam rangka untuk mendapatkan kebenaran yuridis terhadap hak-hak yang baru dan pembuktian diperlukan untuk melakukan pendaftaran hak serta dengan syarat-syarat sebagai berikut:
-
a. Ditetapkannya pemberian hak atas sebidang tanah oleh pejabat yang berwenang, menurut ketentuan yang berlaku apabila tanah tersebut
merupakan langsung dari tanah negara atau merupakan tanah pengelolaan maka pejabat yang berwenang untuk itu dapat dikeluarkannya penetapan tersebut secara individu, kolektif maupu secara umum.
-
b. Adanya akta PPAT yang memuat pemberian hak atas sebidang tanah hak milik kepada penerima hak yang bersangkutan terkait dengan Hak Pakai atau Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik, pemberian hak ini selain diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 diatur pula dalam Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 9 tahun 1999.
Selanjutnya dalam PP No. 24 Tahun 1997 Pasal 32 Ayat (1) merupakan eksposisi dari Pasal-Pasal yang ada di dalam UUPA antari lain Pasal 19 Ayat (2) huruf C, Pasal 23 Ayat (2), Pasal 32 Ayat (2) dan Pasal 38 Ayat (2), yang mana menyatakan “bahwa output dari terselenggaranya pendaftaran tanah tersebut adalah surat tanda bukti atas kepemilikan sebidang tanah yang mana sebagai alat pembuktian yang kuat, hal ini dikarenakan keterangan-keterangan yang tercantum didalamnya harus diterima sebagai keterangan yang bener adanya serta memiliki kekuatan hukum selama dan sepanjang tidak dibuktikan sebaliknya.14
Kekuatan dari berlakunya hak atas sebidang tanah sangatlah penting adanya karena sertipikat hak atas sebidang tanah memberikan kepastian hukum kepada pemegang hak atau yang namanya tercantum dalam sertipikat tersebut, adanya sertipikat atas penguasaan sebidang tanh juga dapat mencegah terjadinya sengketa kepemilikan hak atas tanah dan dengan dmilikinya sertipikat atas sebidang tanah dapat melakukan perbuatan hukum apa saja terhadap tanah tersebut selama tidak melanggar atau bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Walau begitu fungsi dari sertipikat hak atas sebidang tana tersebut merupakan sebagai alat bukti yang diakui keberannya tetap saja masih ada alat bukti lainnya sebagai alat bukti tambahan misalnya akta register yang dikeluarkan oleh pemerintah desa yang di dalam akta tersebut berisi mengenai letak tanah tersebut.15
Sertipikat hak milik atas sebidang tanah berfungsi sebagai alat bukti kepemilikan tanah diakui secara hukum, sebagaimana yang telah disebutkan dalam UUPA Pasal 19 Ayat (2) yang berisikan “sertipikat sebagai tanda bukti kepemilikan atas sebidang tanah memiliki kekuatan hukum tetap yang berisikan data fisik dan data yuridis. Fungsi lainnya adalah untuk memberikan perlindungan hukum bagi pemegang atau nama yang tercantum di dalamnya. Berkaitan dengan kepastian hukum memiliki makna bahwa hukum itu positifm berdasarkan data dan fakta yang harus dirumuskan dengan jelas dan hukum positif tersebut tidak dapat dirubah-ubah, yang dalam pelaksanaannya memang tidak dapat dipisahkan dari tindakan orang lainnya. Perlindungan hukum juga diperlukan oleh pemilik atas obyek sebudang tanah tersebut yang berarti negara memberikan jaminan kepada setiap warga negaranya untuk melakukan perbuatan hukum atas dasar hak kepemilikan atas tanah. Perlindungan hukum terhadap hak perorangan atas sebidang tanah tertentu adalah perlindungan hukum melalui peraturan-peraturan yang berlaku terhdap hubungan hukum yang timbul antara orang-perorangan dan tanahnya16”.
Pemberian jaminan terhadap kepastian hukum serta perlindungan hukum di bidang pertanahan diperlukan adanya peraturan-peraturan yang jelas sehingga dapat terlaksana dengan maksimal. Pendaftran tanah untuk menghasilkan sertipikat sebagai surat tanda bukti kepemilikan atas sebidang tanah memerlukan suatu sistem pendaftaran tanah, ada beberapa kategori dalam sistem pendaftaran tanah antara lain17 :
-
1. Registration of deeds (sistem pendaftaran yang menggunakan akta) yang dalam pendaftarannya didasari oleh akta yang memuat perbuatan hukum sehingga terbit sertipikat atau yang membebaninya. Akta perubahan akan dibuat dan menjadi satu-satunya bukti apabila terjadi perubahan.
-
2. Registration of title (sistem pendaftaran hak), merupakan pendaftaran hak atas tanah yang diperoleh merupakan rujukan diterbitkannya hak atas tanah tersebut serta yang membebaninya.
Dalam pembuktian hak atas sebidang tanah diperlukan adanya data fisik dan yuridis yang diarsipkan oleh Kantor Pertanahan mengetai hak atas tanah tertentu, dengan demikian pelaksanaan pendaftran tanah diarahkan pada tata tertib hukum dan admisitrasi pertanahan yang memang dikehendaki demikian dengan adanya PP No. 24 Tahun 1997 Pasal 4 yang mengatur bahwa:
-
1. Agar dapat memberikan perlindungan dan kepastian hukum sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 3 huruf A kepada pemegang hak yang bersangkutan diberikan sertipikat hak atas sebidang tanah.
-
2. Agar terlaksananya fungsi informasi sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 3 huruf B data fisik dan data yuridis atas sebidang tanah dan satuan rumah susun terbuka untuk umum.
-
3. Agar tercapainya administrasi yang tertib sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 3 huruf C, atas setiap bidang tanah dan atas satuan rumah susun termasuk pembebanan, peralihan dan hapusnya hak atas sebidang tanah dan hak milik atas satuan rumah susun wajib didaftarkan.”
Dalam UUPA pada Pasal 19 Ayat (1) huruf C, Pasal 23 Ayat (2), Pasal 32 Ayat (2), dan Pasal 38 Ayat (2) menentukan “bahwa output dari diselenggarakannya proses pendaftaran hak atas sebidang tanah termasuk perubahannya yang menyangkut subyek, perubahan-perubahan dan status haknya yang dilakukan terhadap haknya adalah merupakan alat pembuktian kuat. Dalam hal ini alat pembuktian yang bukan dimaksudkan adalah bukan merupakan alat pembuktian sempurna/mutlak menurut UUPA dan PP No. 24 Tahun 1997. Dalam PP No. 24 Tahun 1997 padal Pasal 32 Ayat (1) mengatur bahwa sertipikat adalah tanda bukti hak yang merupakan alat pembuktian yang kuat, akan tetapi pada Ayat (2) disebutkan bahwa di atas bidang tanah yang sertipikatnya sudah terbang secara sah atas nama orang atau badan hukum yang mendapatkan hak atas sebidang tanah tersebut dengan secara nyata menguasainya secara beritikad baik, dan orang lain yang merasa menguasainya tidak dapat lagi melakukan tuntutan setelah lewat dari lima tahun sejak penerbitan sertipikat tersebut baik ke Kantor Pertanahan setempat maupun ke Kantor Pengadilan mengenai penguasaan tanah dan/atau penerbitan sertipikat. Dengan demikian kemungkinan masih akan ada gugatan dari pihak lain yang merasa dirugikan dari
penerbitan sertipakat hak atas sebidang tanh tersebut, dengan mengajukan keberatan kepada Kepala Kantor Pertanahan dan kepada orang atau badan hukum yang memegang sertipikat hak atas sebidang tanah tersebut apabila penerbitan sertipikat atas sebidang tanah tersebut belum lima tahun. Permasalahan hukum dalam hal hukum pertanahan nasional yang sering muncul adalah adanya sertipikat ganda yang berdasarkan PP No. 24 Tahun 1997 Pasal 32 Ayat (2) dapat mengakibatkan kerugian kepada orang yang membeli tanah dengan beritikad baik tersebut.
PP No. 24 Tahun 1997 mengatur secara jelas berkaitan dengan penerbitan sertipikat untuk kepentingan para pemegang hak sesuai denga nisi data yuridis dan data fisik yang sesuai dengan buku tanah. Apabila dalam catatan data fidik maupun data yuridis dalam buku tanah terdapat cacat maka penerbitan sertipikat ditangguhkan sampai cacat yang dimaksudkan hapus atau dengan kata lain data fisik maupun data yurisdis bersih dari cacat. Sertipikt yang sudah terbit hanya dapat diambil oleh orang yang bersangkutan, yang tercantum namanya di dalam sertipikat atau pihak lain yang diberikan kuasa oleh si pemegang hak tersebut. Selanjutnya mengenai hak atas suatu bidang tanah atau satuan rumah susun kepunyaan bersama orang atau badan hukum diterbitakn sebuah sertipikat dan yang menerimanya adalah salah satu pemegang hak bersama atas pernyataan tertulis para pemegang hak bersama lainnya18. Sedangkan mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun kepunyaan bersama dapat diterbitkan sertifikat sebanyak jumlah pemegang hak bersama untuk diberikan kepada tiap pemegang hak bersama yang bersangkutan, yang memuat nama serta besarnya bagian masing-masing dari hak bersama tersebut. Setelahnya baru diakan dikeluarkan sertipikat lain sebanyak jumlah pemegang bersama yang bersangkutan, yang mana memuat nama serta besar ukuran yang didapat dari masing-masing pemegang hak bersama itu. Dan untuk bentuk, cara pengisian, dan isinya serta penandatanagan sertipikat tersebut ditetapkan oleh Menteri.
Pengertian perlindungan hukum sering diartikan sebagai sebuah bentuk kewajiban yang dilaksanakan oleh pemerintah atau apparat penegak hukum, agar timbulnya rasa aman, baik ssecara fisik maupun mental kepada para korban, dan para saksi dari ancaman, kekerasan, terror, maupun gangguan dari pihak lain yang ada pada proses litigasi dan/atau nonlitigasi. Bagi subyek hukum, wajib mendapat perlindungan hukum berupa penegak hukum yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif serta baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Maka dari itu dapat dikatakan bahawa dalam hubungan hukum akan selalu menimbulkan hak dan kewajiban. Perlindungan hukum dengan kata lain adalah melayani dan melindungan hak-hak seseorang dari kerugian yang ditimbulkan oleh orang lain serta perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar terciptanya rasa aman dan dapat menikmati hak-haknya yang diberikan oleh hukum 19 . Sedangkan oleh Simanjuntak mengartikan perlindungan hukum adalah merupakan upaya pemerintah untuk menimbulkan adanya kepastian hukum dan rasa aman bagi hak-hak warganya agar terhindar dari ancaman atau tidak
dilanggar oleh orang lain serta bagi yang melanggar hak orang lain tersebut dapat diberikan hukuman berupa sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku. Hukum yang berfungsi untuk melindungi bagi masyarakat agar kepentingan dari masyarakat, maka dari itu hukum harus bersifat professional dan tegas agar tujuan dari pelaksanaannya berlangsung tertib. Hukum yang yerlanjur dilanggar wajib ditegakkan melalui aparat apparat penegak hukum. Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa perlindungan hukum adalah suatu sebab yang menimbulkan rasa aman dari ancaman luar bagi orang-perorangan maupun badan hukum dalam bentuk sebuah perangkat yang sifatnya prefentif dan/atau represif serta baik yang tertulis maupun tidak tertulis
Berdasarkan pemarapan diatas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
Pengaturan hak atas kepemilikan tanah oleh masyarakat di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok – Pokok Agraria yang kemudian dijelaskan lebih detail melalui Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah sebagai dasar hukumnya dan memuat mengenai tata cara proses dan penyelesaiannya.
Kepastian hukum mengenai hak atas kepemilikan tanah dengan berlakunya sistem publikasi negatif dibuktikan dengan sertipikat tanah yang dimana akan memiliki kedudukan yang tetap ketika setelah 5 (lima) tahun tidak ada yang menggugat atau membuktikan sebaliknya.
Ucapan terima Kasih (Acknowledgments)
Pertama-tama kami ucapkan terima kasi kepada Bapak/Ibu dosen serta pegawai di Magister Knotariatan Fakultas Hukum Universitas Udayana tas bantuannya serta dukungannya, sehingga aartikel ini terlaksana dengan baik. Terima kasih kepada Bapak Prof. I Made Subawa, S.H., M.S. selaku ketua Program Studi Magister Knotaritan Fakultas Hukum Universitas udayana yang telah memfasilitasi kami. Dan terima kasih kepada seluruh sahabat-sahabat seangkatan yang telah banyak membantu dan berdiskusi sehinggi penulisan artikel ini terlaksana dengan baik.
Daftar Pustaka
Buku
Ginting, Darwin. “Hukum Kepemilikan Hak Atas Tanah Bidang Agribisnis,” 2010.
Hermit, Herman. Cara Memperoleh Sertipikat Tanah Hak Milik. Bandung: CV Mandar Maju, 2004.
Santoso, Urip. Hukum Agraria Hak-Hak Atas Tanah. Jakarta: Prenada Media, 2005.
Zaman, Nurus. Hukum Politik Pengadaan Tanah. Bandung: Refika Aditama, 2016.
Jurnal
Andriyani, Komang, and I Gede Surata. “Pendaftaran Tanah Secara Rechts Kadaster Melalui Proses Konversi (Studi Kasus Di Kantor Pertanahan Kabupaten Buleleng).” Kertha Widya 4, no. 2 (2016).
Arifin, Zainal, and Muhammad Ihsan Muhlashon. “Perlindungan Hukum Pemegang Sertipikat Hak Atas Tanah Sebagai Bukti Kepemilikan Tanah (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Blitar Nomor 70/Pdt. G/2016/PN. Blt).” Mizan: Jurnal Ilmu Hukum 8, no. 1 (2019): 45–54.
Darmadha, I Gusti Agung Putri Pradnyautari I Nyoman, and I Wayan Novy Purwanto. “Kepastian Hukum Bagi Pihak Pemegang Sertipikat Hak Milik Berdasarkan Pasal 32 Ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.” Jurnal Kertha Semaya 8, no. 3 (2020).
Darusman, Yoyon Mulyana. “Kedudukan Notaris Sebagai Pejabat Pembuat Akta Otentik Dan Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah.” ADIL: Jurnal Hukum 7, no. 1 (2016): 36–56.
Hadisiswati, Indri. “Kepastian Hukum Dan Perlindungan Hukum Hak Atas Tanah.” Jurnal Ahkam 2, no. 1 (2014).
Juliani, Ni Luh, and I Gusti Ngurah Dharma Laksana. “Fungsi Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematif Lengkap (Ptsl) Di Kabupaten Tabanan Dalam Rencana Tata Ruang Terhadap Masyarakat.” Kertha Negara 9, no. 1 (2021).
Rismayadi, Yana. “Kekuatan Hukum Sertipikat Hak Atas Tanah Dalam Program Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap Berdasarkan Sistem Publikasi Negatif Bertendensi Positif.” Perpustakaan Pascasarjana, 2018.
Rismayanthi, Ida Ayu Wulan. “Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah (Ppat) Terhadap Pendaftaran Peralihan Hak Atas Tanah Yang Menjadi Objek Sengketa.” Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan 77 (2015).
Satrianingsih, Ni Nyoman Putri, and A A Ngurah Wirasila. “Peralihan Hak Milik Atas Tanah Melalui Perjanjian Jual Beli Dibawah Tangan.” Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 7, no. 6 (2018): 1–14.
Surawirawan, Irsyad, and Martin Roestamy. “Pengaruh Penerapan Stelsel Negatif Terhadap Duplikasi Kepemilikan Tanah Dikaitkan Dengan Pengembangan Perumahan Bagi Masyarakat.” Jurnal Living Law 8, no. 1 (2016): 73–81.
Susanto, Bronto. “Kepastian Hukum Sertifikat Hak Atas Tanah Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.” DiH: Jurnal Ilmu Hukum 10, no. 20 (2014).
Widyawati, Widyawati. “Peran PPAT Dalam Meningkatkan Kesadaran Hukum Masyarakat Untuk Melakukan Pendaftaran Hak Atas Tanah Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah Di Kabupaten Pati.” Universitas Islam Sultan Agung, 2019.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Indonesia, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043.
Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah Republik Indonesai, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 59.
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 9 tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaannya”
840
Discussion and feedback