Keputusan Elektronis Pada Layanan Perizinan Pendirian Perguruan Tinggi Swasta (Studi Kasus Putusan PTUN Nomor 521/K/TUN/2018)
on
Keputusan Elektronis Pada Layanan Perizinan Pendirian Perguruan Tinggi Swasta (Studi Kasus Putusan PTUN Nomor 521/K/TUN/2018)
Siti Labiba Fathin1, Anna Erliyana2
1 Program Studi Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, E-mail: sitilabibafatin@gmail.com
2Fakultas Hukum Universitas Indonesia, E-mail: annaerliyana@gmail.com
Info Artikel Masuk: 16 September 2021 Diterima: 28 Desember 2021 Terbit: 31 Desember 2021 |
Abstract This study was conducted with a normative research that provides answers to two issues in this research, first, electronic decree regulation in the government administration law and omnibus law; second, analyzing the decisions of judges from the |
Keywords: |
first level verdict to cassation verdict, related to electronic decree |
Electronic Decree; Permit for Establishment of Private Higher Education; State Administrative Court |
on licensing services for the establishment of private higher education at the Directorate General of Higher Education, Research, and Technology. Regarding the first issue, an answer was found that Electronic Decree are regulated in UUAP, especially Article 38 in conjunction with the Omnibus Law, where Electronic Decree have the same legal force or are not different from written decree. However, there is a change in the Omnibus Law regarding this electronic decree, namely the change occurs in the deletion of paragraphs 5 and 6 of Article 38, so that electronic decree no longer have to be made in writing, and there is an electronic system that is centralized in the central government. Regarding the second issue, the TUN verdict Number 53/B/2018/ PT.TUN.JKT, could not be implemented by the Kemenristekdikti because the judex facti of the Judges in the decision was wrong, and besides there was an ultra petita in the decree, so the Kemenristekdikti putted on appeal to the Supreme Court for the verdict of TUN Number 53/B/2018/PT.TUN.JKT. the Supreme Court granted the appeal and canceled the verdict of TUN Number 53/B/2018/PT.TUN.JKT Abstrak |
Kata kunci: |
Kajian ini dilakukan dengan penelitian normatif yang |
Keputusan Elektronis; Ijin Pendirian Perguruan Tinggi Swasta; Pengadilan Tata Usaha Negara |
memberikan jawaban dua permasalahan dalam penelitian ini, pertama, pengaturan keputusan elektronis di undang-undang administrasi pemerintahan dan omnibus law; kedua, menganalisa putusan majelis hakim dari putusan tingkat pertama sampai dengan tingkat kasasi terkait keputusan |
Corresponding Author: |
elektronis pada layanan perizinan pendirian perguruan tinggi |
Siti Labiba Fathin, email: sitilabibafatin@gmail.com |
swasta di Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi. Terkait permasalahan pertama, ditemukan jawaban bahwa Keputusan Elektronis diatur di UUAP khususnya Pasal |
DOI: 10.24843/JMHU.2021.v10.i04. p10 |
38 juncto Omnibus Law, dimana Keputusan Elektronis mempunyai kekuatan hukum yang sama atau tidak berbeda dengan Keputusan tertulis. Namun, terdapat perubahan pengaturan dalam Omnibus Law mengenai keputusan elektronis |
ini, yaitu perubahan terjadi pada penghapusan ayat 5 dan ayat 6 dari Pasal 38, sehingga Keputusan elektronis, tidak lagi harus dibuat Keputusan tertulis, dan adanya sistem elektronis yang terpusat di pemerintah pusat. Terkait permasalahan kedua, putusan TUN Nomor 53/B/2018/ PT.TUN.JKT, namun putusan tersebut tidak dapat dilaksanakan oleh pihak Kemenristekdikti karena judex facti Majelis Hakim pada putusan tersebut telah keliru, dan adanya ultra petita dalam putusan tersebut, sehingga pihak Kemenristekdikti mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung untuk putusan TUN Nomor 53/B/2018/ PT.TUN.JKT. Majelis Hakim Agung mengabulkan permohonan kasasi tersebut serta membatalkan putusan TUN Nomor 53/B/2018/PT.TUN.JKT.
-
1. Pendahuluan
Informasi elektronik maupun dokumen elektronik menjadi satu diantara jenis alat bukti persidangan, yang dijelaskan di ketentuan umum Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (UU ITE), dengan penjelasan informasi elektronik, yaitu sejenis data dalam bentuk elektronik semacam suara, gambar, dan foto. Sedangkan, dokumen elektronik, yaitu sejenis informasi dalam bentuk elektronik semacam suara, foto, gambar, tulisan, yang disimpan pada flash disk atau penyimpanan digital lainnya seperti eksternal hard disk yang dapat dibuka di komputer.
Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) mendorong perubahan pelaksanaan pemerintahan, terlebih lagi pengaruh revolusi industri 4.0 mengarahkan dan mengharuskan perubahan paradigma pelaksanaan pelayanan publik dari manual, yang semula interaksi langsung atau tatap muka antara pemerintah dan stakeholder di kantor-kantor pemerintahan menjadi bisa interaksi dengan berbasis elektronik dan dapat diakses oleh masyarakat dari mana saja1 , atau lebih dikenal dengan egovernment. Tujuan e-government ini, agar pemerintah melakukan kinerja dari segi manajemen secara efektif, efisien.
Inti e-government yaitu rangkaian penggunaan teknologi informasi sebagai sarana pelaksanaan penyelenggaraan sistem pemerintahan menjadi lebih efisien dan efektif, sehingga ada dua yang harus dimengerti dalam pengertian e-government yaitu pertama, tujuannya yaitu pemerintahan dapat terselenggara lebih efisien, dan kedua, pemanfaatan teknologi informasi, seperti teknologi internet, sebagai sarana bantu.2
Sejalan dengan perkembangan e-government berbasis elektronis, maka berkembang pula hal mengenai keputusan pejabat, keputusan tidak hanya dalam bentuk tertulis
saja, namun ada keputusan elektronis, hal tersebut diatur di Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP) khususnya pada Pasal 38, keputusan elektronik ini dibuat dengan cara sistematis melalui tahapan administrasi yang menggunakan aplikasi digital, atau keputusan tersebut disampaikan melalui media digital.3 Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Omnibus Law) pada tahun 2020, pengaturan mengenai keputusan elektronis tersebut mengalami sedikit perubahan bahwa keputusan elektronis tidak perlu disertai dengan keputusan tertulis.
Sejalan dengan perkembangan e-government berbasis elektronis, sejak tahun 2015, layanan perizinan pendirian perguruan tinggi swasta di kementerian yang menangani pelayanan di bidang pendidikan tinggi telah dilakukan berbasis digital. Pelayanan tersebut tidak luput dari ketidakpuasan stakeholder atas hasil penilaian dari usulan yang diajukan oleh stakeholder, sehingga pada 2017, Ditjen Kelembagaan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) digugat oleh Yayasan Pendidikan Hukum Lamongan, ke pengadilan yang menangani urusan tata usaha negara atau lebih dikenal dengan pengadilan tata usaha negara (PTUN) dengan objek gugatan keputusan elektronis Kemenristekdikti atas permohonan Yayasan Pendidikan Hukum Lamongan dalam akun www.silemkerma.ristekdikti.go.id yaitu
akademiparalegal@yahoo.com yang diterima oleh pihak yayasan pada tanggal 12 Mei 2017 perihal belum disetujuinya permohonan yayasan Pendidikan Hukum Lamongan untuk mendirikan perguruan tinggi. Perjalanan perkara tersebut dari PTUN tingkat pertama sampai dengan kasasi.
Tujuan dari Penelitian ini, pertama untuk menganalisa perihal keputusan elektronis dan transformasi pelayanan berbasis digital (e-government). Kedua, menganalisis putusan Majelis Hakim pada setiap putusan dari putusan tingkat pertama sampai dengan kasasi (Putusan PTUN Nomor 521/K/TUN/2018) untuk keputusan elektronis pada layanan perizinan perguruan tinggi swasta (PTS)).
Sebelumnya penelitian mengenai dokumen publik elektronik telah dilakukan oleh Edmon Makarim dengan judul artikel “Keautentikan Dokumen Publik Elektronik Dalam Administrasi Pemerintahan dan Pelayanan Publik” dengan fokus kajian yaitu keautentikan dokumen publik elektronik terkait pelaksanaan pelayanan publik serta administrasi pemerintahan, dan perbandingan penyelenggaraan keautentikan dokumen elektronik dengan Belanda. Penelitian lain juga dilakukan oleh Vani Wirawan dengan judul artikel “Penerapan E-Government dalam Menyongsong Era Revolusi Industri 4.0 Kontemporer di Indonesia” dengan fokus kajian terkait egovernment dengan pemanfataan teknologi dalam pelaksanaan pemerintahan sehingga terciptanya pelayanan publik yang lebih baik. Berdasarkan 2 (dua) penelitian itu terdapat kesamaan kajian dalam hal penggunaan dokumen elektronik dan egovernment, namun terdapat perbedaan fokus kajian. Penelitian ini akan membahas keputusan elektronis pada layanan perizinan PTS dengan studi kasus putusan PTUN Nomor 521/K/TUN/2018, dengan 2 (dua) rumusan masalah yaitu, pertama, pengaturan keputusan elektronis pada undang-undang administrasi pemerintahan Pasal 38 juncto Undang-Undang cipta kerja, dan Kedua, Analisa akibat putusan Majelis
ISSN: 1978-1520
Hakim pada setiap putusan dari putusan tingkat 1 sampai dengan kasasi untuk keputusan elektronis pada layanan perizinan PTS di Kemenristekdikti.
-
2. Metode Penelitian
Penelitian ini secara khusus membahas keputusan elektronis pada layanan perizinan perguruan tinggi swasta dengan menganalisa putusan PTUN. Sehingga untuk menemukan jawaban maupun menganalisa putusan PTUN yang terkait dengan keputusan elektronis layanan perizinan perguruan tinggi swasta, maka digunakan metode penelitian yuridis-normatif, bahan pustaka4 sebagai sumber penelitian terkait keputusan elektronis pada layanan perizinan perguruan tinggi swasta, dengan menggunakan data sekunder, berupa bahan pustaka sejenis artikel, buku, peraturan perundang-undangan, dokumen resmi, serta karya ilmiah yang terkait penelitian5, serta diperoleh dari bahan hukum sekunder seperti tesis, disertasi, jurnal, artikel, serta buku yang terkait penelitian, dan bahan hukum primer seperti peraturan perundang-undangan terkait penelitian contohnya UUAP, omnibus law, dan peraturan lainnya, serta bahan hukum tersier berupa ensiklopedia, kamus, surat kabar, majalah, dan sebagainya.6
Pendekatan penelitian yang digunakan yaitu pendekatan analitis, dan pendekatan kasus dengan ditunjang oleh penelurusan bahan hukumnya melalui teknik studi dokumen yang kemudian diolah melalui teknik analisa kualitatif, penguraian data secara bermutu dengan kalimat yang logis, runtun, teratur, tidak tumpang tindih, serta selektif, sehingga pemahaman hasil analisis serta interpretasi data menjadi lebih mudah.7
-
3. Hasil dan Pembahasan
Sejak era reformasi, perkembangan penggunaan TIK tidak hanya berdampak pada sektor swasta, namun juga berpengaruh pada sektor pemerintahan, hal ini dapat dilihat dari penyelenggaraan pemerintahan dalam hal pembuatan SIM, paspor, perbankan dan layanan publik lainnya. Dengan menggunakan TIK, pemerintah dapat memberikan akses pelayanan secara mudah dan cepat, kapanpun dan dimanapun, sehingga pelayanan pemerintah menjadi lebih baik kepada masyarakat.8 Layanan dengan menggunakan TIK tersebut didukung dengan salah satu perangkat perundangan-undangan yaitu UU ITE. Secara garis besar, pengertian yang harus diketahui dalam UU ITE untuk keputusan elektronis yaitu satu diantaranya dokumen
elektronik seperti yang telah disampaikan sebelumnya pada pendahuluan, contoh dari dokumen elektronik saat ini adalah keputusan berbentuk elektronis yang diatur dalam UUAP. Hal ini sejalan dengan pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan dengan konsep e-government.
Rachel Silcock menyampaikan definisi tentang e-government yaitu peningkatan akses dan pengiriman layanan pemerintahan dengan memanfaatkan teknologi sehingga pelayanan pemerintahan memberikan manfaat bagi masyarakat. Dari definisi tersebut dapat dikatakan e-government sebagai alat untuk terus mendorong pemerintah melakukan inovasi, mengembangkan metode atau mode pelayanan publik, sehingga organisasi umum atau publik atau pemerintah dapat memberikan pelayanan yang terintegrasi, mutakhir atau modern, tanpa batas ke masyarakat. Pemerintah dan masyarakat tidak lagi memiliki hubungan searah dari top-down, tetapi membangun kemitraan dengan masyarakat.9
Bank Dunia memberikan pengertian tentang e-government yaitu penyelenggaraan pemerintahan menggunakan teknologi informasi, contohnya jaringan area yang luas, komputasi bergerak, atau internet, yang dapat melakukan perubahan paradigma hubungan antara warga, swasta, dan/atau pemerintah. Melalui teknologi ini maka pemerintah dapat mengoptimalkan pelayanan publik ke masyarakat, sebagai contoh penyampaian yang lebih baik untuk layanan pemerintah kepada masyarakat, interaksi yang lebih baik dengan pihak dunia industry dan bisnis, pemberdayaan masyarakat atau warga yang lebih baik dengan akses informasi, dan manajemen pemerintahan menjadi lebih berdaya guna, efektif. Faedah pengoptimalisasian dengan teknologi tersebut dapat meningkatkan transparansi atau akuntabitiltas, meminimalisir tindakan korupsi, menciptakan kenyamanan yang lebih besar, pengurangan biaya pengeluaran, dan/atau perkembangan pencapaian pendapatan.”10
Pelaksanaan e-government telah ada sejak 2003 dengan Instruksi Presiden No.3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional11, dikatakan bahwa pengembangan egovernment adalah satu diantara usaha pemerintah kearah lebih baik untuk menyelenggarakan pemerintahan dengan mode atau menggunakan elektronik yang akan mendorong kualitas pelayanan publik secara efisien serta berdaya guna atau efektif. pengembangan e-government dilakukan dengan cara pengoptimalisasian penggunaan teknologi informasi di sistem manajemen pemerintah maupun proses kerja pemerintah.12 Contoh awal pelaksanaan e-government yaitu pada April 2004, terdapat aplikasi elektronik untuk surat izin mengemudi, nomor pajak dengan satu
ISSN: 1978-1520 nomor identifikasi (SIN), dan pengajuan permohonan paspor.13 Seiring dengan berjalannya waktu, penerapan e-government di Indonesia mengalami kemajuan dari tahun-tahun sebelumnya,14 pada tahun 2020, United Nations e-Government Survey 202015 memberikan peringkat delapan puluh delapan kepada Indonesia untuk mengembangkan pelaksanaan sistem pemerintahanan berbasis teknologi/elektronik atau yang dikenal sebagai e-government.16
E-government tersebut sejalan dengan pengaturan mengenai keputusan elektronis pada Pasal 38 UUAP, keputusan elektronik ini dibuat sistematis dengan tahapan administrasi pada aplikasi digital atau keputusan melalui sarana digital. Sebagaimana yang disampaikan sebelumnya bahwa salah satu contoh pertama kali adanya keputusan elektronis yaitu sistem adminitrasi badan hukum, di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Kemenkumham, dengan tahapan administrasi di aplikasi digital mulai dari log in sampai penerbitan keputusan pendirian badan hukum. Apabila pemohon merasa dirugikan karena proses tidak berlanjut pada tahapan tertentu, maka pemohon dapat mengajukan gugatan ke PTUN. Contoh lainnya yaitu keputusan pengesahan pendirian badan hukum yang disampaikan melalui media digital. Apabila pihak ketiga atau pihak lain tidak setuju keputusan tersebut maka pihak ketiga atau pihak lain dapat mengajukan gugatan ke PTUN.17 Begitupula halnya dengan keputusan elektronis pendirian PTS di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi.
Sebelum kepada penjelasan pengaturan keputusan elektronis, perlu diketahui terlebih dahulu hal yang terkait dengan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). KTUN merupakan penetapan tertulis dari badan atau pejabat tata usaha negara, mempunyai sifat konkret, individual, dan final, serta berisi perbuatan hukum tata usaha negara sesuai peraturan perundang-undangan, dan menyebabkan dampak hukum kepada badan hukum perdata atau seseorang (lihat Pasal 1 angka 9 UU No 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara jo UU No 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara, diatur dalam Pasal 87 UU Administrasi Pemerintah). Namun, terdapat pengecualian yang tidak termasuk dalam KTUN, yaitu apabila KTUN: (lihat Pasal 2 UU No 5 Tahun 1986 jo UU No 9 Tahun 2004) a) mempunyai sifat umum; b) termasuk tindakan hukum secara perdata; c) membutuhkan persetujuan lebih lanjut; d) hasil pemeriksaan badan peradilan sesuai peraturan perundang-undangan; e) sesuai Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, atau peraturan perundang-undangan yang terkait hukum pidana lainnya; f) Keputusan Komisi Pemilihan Umum pusat maupun daerah tentang hasil pemilihan umum; dan/atau g) terkait dengan tata usaha Tentara Nasional Indonesia.
Berdasarkan Pasal 54 UUAP ada Keputusan yang bersifat konstitutif atau deklaratif, dari penjelasan Pasal 54 UUAP diketahui beberapa kategori sifat keputusan, yaitu : a) keputusan konstitutif yang berdiri sendiri atau penetapan mandiri oleh pejabat TUN yang berwenang; b) keputusan konstitutif yang dilanjutkan dengan keputusan deklaratif baik secara horizontal maupun vertikal oleh pejabat yang berwenang menetapkan keputusan konstitutif; c) keputusan konstitutif yang tidak dilanjutkan dengan keputusan deklaratif, misalnya Putusan Komite Etik yang tidak ditindaklanjuti; d) keputusan deklaratif tanpa didahului adanya keputusan konstitutif, contohnya Akta Kelahiran sesuai Undang-Undang Administrasi Kependudukan.18
Sejak UUAP diundangkan, Pejabat Pemerintahan mempunyai hak untuk membuat tindakan dan/atau keputusan, diantaranya adalah hak untuk memutuskan tindakan, dan/atau menetapkan keputusan elektronis atau tertulis (lihat Pasal 6 UU No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan). Dengan kata lain, dengan adanya hak tersebut maka memungkinkan KTUN tidak hanya secara tertulis tetapi juga dapat berbentuk elektronis. Namun, sejak diundangkannya Omnibus Law (lihat Pasal 38 UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja), terdapat sedikit perubahan pengaturan keputusan elektronis dalam Pasal 38, sebagaimana tabel berikut.
Tabel 3.1. Perubahan Pengaturan Keputusan Elektronis Pasal 38 UUAP dan Omnibus
10.24843/JMHU.2021.v10.i04.p05Law
Komponen UUAP |
Omnibus Law |
Keputusan Elektronis dapat dibuat Pejabat/Badan Pemerintah TUN |
√ |
Penyampaian Keputusan Elektronis kepada stakeholder disampaikan melalui sistem elektronis yang ditetapkan Pemerintah Pusat, contoh OSS |
√ |
Kekuatan Hukum Keputusan Elektronis tidak berbeda dengan Keputusan Tertulis, serta berlaku mulai dari Keputusan diterima pihak terkait. |
√ |
Apabila keputusan tertulis tidak disampaikan, maka |
Keputusan elektronis tidak |
18 Muhammad Amin Putra, “Keputusan Tata Usaha Negara Yang Berpotensi Menimbulkan Akibat Hukum Sebagai Objek Sengketa Di Pengadilan Tata Usaha Negara Administrative Decisions With Potential Legal Consequences As Object Of Dispute In The State,” 2020. h. 8.
Komponen |
UUAP |
Omnibus Law |
yang berlaku yaitu keputusan elektronis. |
√ |
dibuat Keputusan tertulis. Jadi, tidak ada lagi keputusan tertulis. |
Apabila ada ketidaksamaan antara Keputusan tertulis dan Keputusan elektronis, yang berlaku adalah Keputusan tertulis. |
√ |
X |
Keputusan yang menimbulkan akibat pembebanan keuangan negara wajib dibuat dalam bentuk tertulis. |
√ |
X |
Dari tabel diatas, dengan penghapusan pasal 38 ayat 5 dan ayat 6 Omnibus Law, dapat diketahui perbedaan pengaturan keputusan elektronis dalam UUAP dan Omnibus Law yaitu keputusan elektronis tidak lagi dibuat keputusan tertulisnya. Apabila proses keputusan dilakukan melalui sistem elektronik yang ditetapkan pemerintah pusat, maka penyampaiankeputusan elektronis wajib dibuat atau disampaikan melalui sistem elektronik tersebut, atau saat ini dikenal dengan online single submission.
Perubahan pengaturan tersebut juga telah dijelaskan dalam naskah akademik RUU Omnibus law, perubahan keputusan elektronik diperlukan karena dimungkinkannya Keputusan Elektronis dibuat oleh Pejabat dan/atau Badan Pemerintahan TUN, selain itu, kekuatan hukum Keputusan Elektronis tersebut sama dengan Keputusan tertulis, berlakunya pun sama sejak diterimanya Keputusan tersebut oleh pihak terkait. Sehingga, Pejabat dan/atau Badan Pemerintahan TUN tidak mempunyai kewajiban lagi untuk menyampaikan secara tertulis kepada pihak terkait, dengan kata lain, Keputusan tertulis tidak dibuat jika telah dibuat Keputusan Elektronis. Selain itu, apabila proses keputusan dilakukan melalui sistem elektronik yang ditetapkan pemerintah, maka Keputusan Elektronis wajib dibuat atau disampaikan melalui sistem elektronik tersebut (lihat UU Naskah Akademis RUU Cipta Kerja).
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Kemenristekdikti (Ditjen Diktiristek) (d/h Ditjen Kelembagaan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Kemenristekdikti), memiliki salah satu layanan publik melalui Direktorat Kelembagaan yaitu izin pendirian PTS. Pendirian PTS memiliki pengertian pembentukan satuan pendidikan tinggi seperti institut, universitas, politeknik, akademi, sekolah tinggi, atau akademi komunitas, oleh badan hukum penyelenggara berprinsip nirlaba (lihat Pasal 1 angka 3 Permen Pendidikan dan kebudayaan No 7
Tahun 2020), seperti perkumpulan, yayasan, atau badan hukum nirlaba lain sesuai peraturan perundang-undangan (lihat Pasal 1 angka 4 Permen Pendidikan dan kebudayaan No 7 Tahun 2020), selain itu juga mendapatkan izin pendirian PTS dari kementerian yang memiliki kewenangan izin pendirian PTS. Badan hukum berprinsip nirlaba disahkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemkumham) atas dasar permohonan. Apabila telah mendapatkan pengesahan dari kementerian yang memiliki kewenangan pengesahan badan hukum, maka dengan status badan hukum tersebut, badan penyelenggara mengajukan permohonan pendirian PTS sesuai dengan persyaratan pendirian PTS kepada Ditjen Pendidikan Tinggi melalui Direktorat Kelembagaan.
Sejak tahun 2015, dilakukan perbaikan layanan perizinan pendirian PTS dibantu dengan sistem informasi yang dikenal dengan silemkerma, guna memberikan kemudahan akses bagi badan penyelenggara berbadan hukum nirlaba yang berada di luar Jakarta,yang akan mengajukan pendirian perguruan tinggi swasta, hal tersebut sejalan transformasi pemerintah menjadi e-government dan revolusi industri 4.0.19 Dengan adanya penggunaan sistem informasti tersebut, masyarakat yang akan ikut berkontribusi dalam dunia Pendidikan dan berdomisili di luar Jakarta, terutama daerah terdepan, tertinggal, terluar (3T) (lihat Perpres RI No 63 Tahun 2020 tentang Penetapan Daerah Tertinggal Tahun 2020-2024) tidak perlu datang ke kantor Ditjen Pendidikan Tinggi dengan membawa dokumen tebal untuk pengajuan pendirian perguruan tinggi swasta.
Dalam perjalanan pelaksanaan layanan publik izin pendirian perguruan tinggi swasta ini melalui sistem informasi tersebut, tidaklah berjalan mulus, tentunya masih ada kekurangan dalam pelaksanan pelayanan publik tersebut dan pernah ada gugatan ke PTUN terkait dengan hasil evaluasi pendirian perguruan tinggi swasta melalui sistem informasi, karena pihak yayasan tidak menerima hasil evaluasi tersebut, kasus tersebut telah diselesaikan dengan Putusan Kasasi 521/K/TUN/2018 (lihat PTUN No 53/B/2018/PT.TUN.JKT dan PTUN No 112/G/2017/PTUN.JKT), dengan rincian para pihak dengan rincian para pihak (Penggugat/Pemohon Banding/Termohon Kasasi yaitu Yayasan Pendidikan Hukum Lamongan; Tergugat/Termohon Banding/Pemohon Kasasi), dan objek gugatannya yaitu Keputusan elektronis yang diterbitkan oleh TERGUGAT atas permohonan PENGGUGAT dalam akun kemenristekdikti (www.silemkerma.ristekdikti.go.id) yaitu akademiparalegal@yahoo.com yang diterima oleh PENGGUGAT tanggal 12 Mei 2017 perihal belum disetujuinya permohonan PENGGUGAT. Menurut Penggugat/Pemohon Banding/Termohon Kasasi, keputusan elektronis yang diterbitkan oleh Kemenristekdikti tersebut tidak sesuai dengan prosedur sehingga tidak memenuhi salah satu unsur dari Pasal 52 ayat (1) huruf b UUAP yaitu tidak sesuai prosedur.20
Permasalahan dimulai ketika badan penyelenggara bernama Yayasan Pendidikan Hukum Lamongan (“Yayasan”) mengajukan pendirian PTS Bernama Akademi Paralegal Lamongan tahun 2017 melalui web silemkerma.ristekdikti.go. id (setelah bergabung dengan Kemendikbud pada Kabinet Indonesia Maju melalui Perpres No 67
Tahun 2019 tentang Penataan Tugas dan Fungsi Kementerian Negara Kabinet Indonesia Maju Periode Tahun 2019-2024 diubah menjadi silemkerma. kemdibud. go.id) dengan hasil belum disetujui, mereka lalu melakukan perbaikan dokumen dan mengajukan kembali usul pendirian, namun hasilnya tetap sama yaitu belum disetujui. Pihak yayasan merasa bahwa mereka sudah memenuhi persyaratan sesuai peraturan dan seharusnya sudah diterbitkan izin pendirian perguruan tinggi swasta, sehingga pihak yayasan mengajukan gugatan keputusan elektronis yang diterbitkan oleh Kemenristekdikti atas permohonan Yayasan dalam akun kemenristekdikti (www.silemkerma.ristekdikti.go.id) yaitu akademiparalegal@yahoo.com, ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta bahwa keputusan elektronis itu melanggar Pasal 38 ayat (2) UUAP, karena pihak yayasan merasa sudah memenuhi seluruh persyaratan pendirian perguruan tinggi sebagaimana di atur dalam Pasal 10 Permenristekdikti Nomor 100 Tahun 2016 (lihat Surat Dirjen Kelembagaan Iptekdikti No 1492/C.C4/KL/2017 untuk usul pendirian PTS Periode 20171). Ikhtisar amar Putusan terkait kasus tersebut sebagai berikut.
Putusan PTUN. Nomor 112/G/2017/ PTUN.JKT |
Putusan PTUN. Nomor Putusan MA Nomor 53/B/2018/ PT.TUN.JKT 521/K/TUN/ 2018 |
Menolak gugatan pihak yayasan |
pemohon banding. kasasi;
elektronis Kemenristekdikti Nomor 53/B/2018/PT.TUN.JKT;
Kemenristekdikti untuk 3. Menolak gugatan mencabut Keputusan Penggugat. elektronis Kemenristekdikti.
Kemenristekdikti memproses pemberian izin pendirian PTS dari pemohon. |
Tabel 3.2.1. Ikhtisar Amar Putusan
Berdasarkan keterangan dari pihak yang mewakili Ditjen Kelembagaan Iptekdikti Kemenristekdikti saat itu, hakim sebelum memutuskan perkara pada tingkat pertama, melihat secara langsung kondisi sarana prasarana yang akan dijadikan gedung kampus Akademi Paralegal tersebut, dan ternyata gedung yang dimaksud adalah gedung dalam ruko-ruko dan memiliki fasilitas yang tidak sesuai untuk gedung kampus dan tidak sesuai dengan ketentuan persyaratan pendirian PTS (disampaikan oleh Bpk Robertus Ulu Wardhana d/h Kasubag Advokasi Hukum,
Biro Hukum Dan Organisasi, Kemenristekdikti). Hal tersebut menjadi pertimbangan bagi hakim sehingga permohonan gugatan pihak yayasan ditolak oleh Majelis HakimTata Usaha Negara melalui Putusan nomor 112/G/2017/PTUN.JKT.
Pihak yayasan mengajukan banding ke Pengadilan Tingkat Tinggi PTUN, dengan diberikan Nomor Perkara 53/B/2018/PT.TUN.JKT, pada putusan pengadilan tingkat tinggi ini, Hakim mengabulkan permohonan banding yayasan, dengan membatalkan Putusan PTUN Nomor 112/G/2017/PTUN-JKT dan memerintahkan Kemenristekditki harus memproses pemberian izin pendirian Akademi Paralegal Lamongan.21 Menurut hakim, keputusan elektronis Kemenristekdikti tersebut bertentangan dengan peraturan hukum baik formal/prosedural, juga sangat merugikan pihak yayasan pendidikan hukum lamongan sehingga majelis banding berpendapat membatalkan Putusan PTUN Nomor 112/G/2017/PTUN-JKT Keputusan Elektronis yang dikeluarkan oleh Ditjen Kelembagaan IPTEK dan DIKTI, Kemenristekdikti, dan memproses pemberian izin pendirian perguruan tinggi swasta. Ada beberapa analisa terkait isi Putusan Nomor
53/B/2018/PT.TUN.JKT, yaitu:
-
1) Judex facti Majelis Hakim Tingkat Banding, yaitu:
-
a) Tidak jelasnya pengetikan peraturan perundang-undangan, seperti keselahan pengetikan peraturan yaitu Pasal 10 Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi melalui surat Nomor 100 Tahun 2016 persyaratan huruf a dan huruf f; (lihat Putusan PTUN No 53/B/2018/PT.TUN.JKT, h. 8) lalu penulisan “bahwa akan tetapi dalam Peraturan Pemerintah persyaratan pendirian Perguruan Tinggi Swasta diatur sedemikian dengan persyaratan yang sangat terinci dan ditambahkan, …dst” (lihat Putusan PTUN No 53/B/2018/PT.TUN.JKT, h. 12). Padahal persyaratan pendirian tidak diatur dalam peraturan pemerintah tetapi Peraturan Menteri Ristekdikti nomor 100 tahun 2016 (lihat Pasal 10 Permen Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi No 100 Tahun 2016 tentang Pendirian, Perubahan, Pembubaran Perguruan Tinggi Negeri dan Pendirian, Perubahan, Pencabutan Izin Perguruan Tinggi Swasta).
-
b) pada pertimbangan hakim terlihat bahwa hakim melihat pengaturan tata cara dan prosedur pendirian perguruan tinggi swasta hanya sebagian, tidak menyeluruh untuk satu kesatuan proses pendirian perguruan tinggi swasta, seperti hakim mengacu kepada Pasal 60 ayat 2 sampai ayat 4 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (Undang-Undang Pendidikan Tinggi), Pasal 10 huruf a dan huruf f Permenristekdikti Nomor 100 Tahun 2016. Padahal peraturan perundang-undangan untuk pendirian dan perizinan PTS harus dilihat secara menyeluruh yaitu mulai dari Pasal 60 Undang-Undang Pendidikan Tinggi, lalu peraturan delegasinya yaitu
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2014 Pasal 8 ayat 3, lalu Pasal 10 Permenristekdikti Nomor 100 Tahun 2016, serta pedoman pendirian perguruan tinggi swasta.
Hakim hanya menilai bahwa persyaratan untuk mendirikan perguruan tinggi swasta adalah telah memenuhi status dan badan hukum yang disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM, serta memiliki syarat jumlah dosen (menurut majelis hakim pada tingkat banding sudah termasuk telah memenuhi akreditasi minimum), padahal apabila melihat peraturan yang ada tidak hanya 2 (dua) hal tersebut yang harus dipenuhi untuk memenuhi persyaratan akreditasi minimum, ada ketentuan lainnya yang harus dipenuhi, seperti kepemilikan lahan atas nama yayasan untuk akademi minimal dengan luas 5.000 m2 atau lima ribu meter persegi (lihat Pasal 10 ayat (2) huruf e Permenristekdikti No 100 Tahun 2016), kurikulum (lihat Pasal 10 ayat (2) huruf a Permenristekdikti No 100 Tahun 2016), dan persyaratan dokumen lainnya yang tercantum di Pasal 10 ayat 4 Permenristekdikti 100/2016.
-
c) Majelis Hakim meminta untuk memproses izin pendirian perguruan tinggi swasta, namun majelis hakim, dalam hal ini, tidak melihat secara teliti bahwa terdapat persyaratan dan prosedur yang harus dilalui dalam usul pendirian perguruan tinggi swasta. seperti prosedur yang diatur dalam pedoman, yaitu tahapan administrasi mulai dari pengajuan usulan pendirian perguruan tinggi swasta melalui silemkerma, evaluasi dokumen termasuk program studi yang diusulkan, apabila lulus evaluasi dokumen maka akan ada evaluasi lapangan, apabila lulus dan memenuhi persyaratan baru akan dikeluarkan izin.
-
2) Ultra petita dalam amar putusan yang memberikan putusan melebihi gugatan pemohon, dalam amar putusannya mewajibkan Kemenristekdikti untuk memproses pemberian izin, artinya Kemenristekdikti diwajibkan untuk memberikan izin bagi Yayasan terlepas dari apakah Yayasan memenuhi syarat lain yang sampai dengan saat ini belum diperiksa oleh Kemenristekdikti yaitu visitasi. Hal tersebut, dapat dikatakan Majelis Hakim memberikan putusan melebihi gugatan pemohon (ultra petita), karena penggugat/pembanding yaitu yayasan hanya menuntut agar usulan pendirian perguruan tinggi swasta yang diajukan dapat diproses lebih lanjut sampai dengan rangkaian prosesnya selesai, termasuk melakukan verifikasi secara fisik (visitasi), terlepas apakah diujung prosesnya nanti akan diterbitkan izin atau tidak, bukan meminta izin pendirian Akademi Paralegal.
-
3) Putusan 53/B/2018/PT.TUN.JKT yang mengabulkan gugatan/banding dari penggugat/pembanding, pada faktanya putusan tersebut tidak dapat dilaksanakan, terutama putusan mengenai Kemenristekdikti diwajibkan untuk memberikan izin pendirian Akademi Paralegal, karena apabila dilaksanakan oleh Kemristekdikti, maka Kemenristekdikti akan melanggar persyaratan, tata cara dan prosedur dari pendirian perguruan tinggi swasta, karena pada faktanya, dilihat dari sarana prasrananya berada di ruko dan persyaratan lainnya juga belum terpenuhi. Oleh karena itu, Kemenristekdikti mengajukan permohonan kasasi.
Pihak Kemenristekdikti mengajukan kasasi dengan perkara 521/K/TUN/2018, pada putusan tersebut,Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi Kemenristekdikti, dengan membatalkan putusan TUN Nomor
53/B/2018/PT.TUN.JKT; menekankan Putusan PTUN Nomor 112/G/ 2017/PTUN.JKT tertanggal 07 Desember 2017. Dalam pertimbangan putusan kasasi tersebut, Mahkamah Agung berpendapat bahwa:
-
1) Kemenristekdikti berwenang untuk menerbitkan keputusan elektronis a quo berdasarkan Pasal 1 angka 11 juncto Pasal 38 ayat 1 sampai ayat 5 UUAP juncto Pasal 60 Undang-Undang Pendidikan Tinggi juncto Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2015 tentang Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi khususnya Pasal 2;
-
2) harus dipenuhi persyaratan pendirian PTS bersamaan dengan pembukaan program studi, sebagaimana diatur di Peraturan Menteri Ristekdikti No.100 Tahun 2016, serta buku panduan persyaratan dan prosedur pendirian PTS. Persyaratan tersebut bersifat kumulatif, artinya persyaratan tersebut haruslah terpenuhi semuanya sebelum izin diterbitkan.
-
3) Bahwa in cassu usulan Termohon Kasasi/Penggugat berdasarkan hasil penilaian dokumen, total skor/nilai akhir atas penilaian terhadap dokumen digital milik Termohon Kasasi/Penggugat tidak memenuhi syarat minimal skor/nilai untuk dapat dilanjutkan pada tahap penilaian selanjutnya.
Sehingga, Mahkamah Agung berpendapat bahwa Hakim telah keliru dan salah dalam menerapkan hukum pada putusan TUN Nomor 53/B/2018/PT.TUN.JKT atau dengan kata lain, adanya Judex Facti. Adapun setelah adanya Putusan PTUN, maka harus ada eksekusi dari Putusan PTUN. Putusan dapat dieksekusi setelah ada putusan berkekuatan hukum tetap. Untuk pelaksanaan putusan pengadilan tersebut, menurut Indroharto, eksekusi dilakukan dengan bantuan pihak luar atau pihak ketiga dari para pihak.22 Perlu juga dipahami mengenai Putusan TUN berkekuatan hukum mengikat. Menurut Martiman Prodjohamidjojo, putusan berkekuatan mutlak itu mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dalam bahasa latin disebut “resjudicata pro veritate habetur” (putusan yang pasti atau mutlak atau berkekuatan hukum tetap, dengan sendirinya mempunyai kekuatan mengikat).23 Selain itu, Martiman Prodjohamidjojo juga memberikan pendapat, putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan mutlak dapat dijalankan atau putusan tersebut memiliki kekuatan eksekutorial. Senada pernyataan Martiman, R. Subekti berpendapat, tujuan akhir dari proses peradilan yaitu memperoleh putusan hakim yang memiliki kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde), dengan arti suatu putusan hukum tidak dapat diubah lagi.
Jika pejabat atau badan TUN tidak menjalankan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, dapat dikenakan tindakan, apabila (lihat Pasal 116 ayat (2), (3), (4) No 5 Tahun 1986 jo UU No 9 Tahun 2004 jo UU No 51 Tahun 2009):
-
1) putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tidak dijalankan setelah enam puluh hari kerja putusan, KTUN yang dipermasalahkan tidak lagi memiliki kekuatan hukum.
-
2) setelah sembilan puluh hari kerja, pihak yang dinyatakan kalah tidak menjalankan putusan, maka ketua pengadilan dapat memerintahkan pelaksanaan putusan pengadilan berdasarkan permohonan dari pihak yang dimenangkan.
-
3) pihak yang dinyatakan kalah tidak bersedia menjalankan putusan pengadilan, upaya paksa akan dikenakan kepada pejabat yang berkepentingan seperti sanksi administratif dan/atau pembayaran sejumlah uang paksa. Jika tidak dilakukan juga, maka panitera akan menyebarluaskan pengumuman melalui media massa cetak setempat. Selain pengumuman di media massa cetak setempat, maka pejabat TUN terkait dilaporkan oleh ketua pengadilan ke Presiden, sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi, agar Presiden memerintahkan pejabat TUN terkait untuk menjalankan putusan pengadilan, dan diawasi oleh lembaga perwakilan rakyat.
Kelemahan impelementasi eksekusi putusan PTUN yaitu tidak memiliki lembaga paksa seperti yang terdapat dalam peradilan umum, namun ada poin kuat upaya paksa pada Pasal 116 ayat (6) UU Nomor 5 Tahun 1986 juncto UU Nomor 9 Tahun 2004 juncto UU No. 51 Tahun 2009, yaitu ketua pengadilan harus melaporkan pejabat tata usaha negara yang tidak menjalankan putusan pengadilan, ke Presiden sebagai pemegang tertinggi kekuasaan pemerintahan untuk memberikan perintah kepada pejabat tersebut agar menjalankan putusan pengadilan, serta ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai fungsi pengawasan. Pengajuan kepada Presiden ini sebagai salah satu upaya paksa agar pejabat terkait melaksanakan putusan pengadilan, dan diawasi oleh DPR, dengan catatan bahwa dalam pelaksanaannya, Ketua Pengadilan, Presiden, dan DPR tidak dipengaruhi oleh keputusan politis. Selain itu, diperlukan pula kesadaran diri secara hukum dari pejabat pembuat KTUN untuk menjalankan putusan PTUN.
Dari penjelasan ekseskusi putusan tersebut diatas, perlu dilihat juga eksekusi pelaksanaan putusan PTUN tingkat pertama, Putusan Pengadilan Tinggi TUN, serta Putusan Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi dalam kasus tersebut diatas. Pada rangkaian putusan TUN kasus tersebut diatas, apabila pihak Kemenristekdikti tidak melakukan kasasi atas putusan TUN Nomor 53/B/2018/PT.TUN.JKT, maka putusan TUN tersebut tidak dapat di eksekusi atau tidak dapat dilaksanakan oleh Kemenristekdikti, karena majelis hakim pengadilan tinggi TUN telah salah menerapkan judex facti, dan putusan tersebut tentunya menyalahi peraturan
perundang-undangan terkait pemenuhan persyaratan pendirian PTS yang telah diterbitkan oleh Kementerian, sehingga tidak dapat dieksekusi.
-
4. Kesimpulan
Pertama, Keputusan Elektronis diatur di UUAP khususnya Pasal 38 juncto Omnibus Law, dimana Keputusan Elektronis mempunyai kekuatan hukum yang sama atau tidak berbeda dengan Keputusan tertulis. Namun, terdapat perubahan pengaturan dalam
Omnibus Law mengenai keputusan elektronis ini, yaitu perubahan terjadi pada penghapusan ayat 5 dan ayat 6 dari Pasal 38, sehingga Keputusan elektronis, tidak lagi harus dibuat Keputusan tertulis, dan adanya sistem elektronis yang terpusat di pemerintah pusat.
Kedua, Terkait putusan Majelis Hakim pada setiap putusan kasus keputusan elektronis Kemenristekdikti, yaitu pada putusan pengadilan tingkat pertama (Putusan TUN Nomor 112/G/2017/PTUN-JKT), Majelis Hakim menolak gugatan dari penggugat yaitu dari pihak yayasan, kemudin pihak yayasan mengajukan banding. Permohonan banding tersebut dikabulkan oleh Majelis Hakim Tinggi melalui putusan TUN Nomor 53/B/2018/ PT. TUN.JKT, namun putusan tersebut tidak dapat dilaksanakan oleh pihak Kemenristekdikti karena judex facti Majelis Hakim pada putusan tersebut telah keliru, dan terdapat ultra petita, sehingga pihak Kemenristekdikti mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung untuk putusan TUN Nomor 53/B/2018/PT.TUN.JKT. Majelis Hakim Agung mengabulkan permohonan kasasi tersebut serta membatalkan putusan TUN Nomor 53/B/2018/PT.TUN.JKT.
Daftar Pustaka
Buku
Abdulkadir, Muhammad. “Hukum Dan Penelitian Hukum.” PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004.
Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum. Sinar Grafika, 2021.
Indroharto. Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku I Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Negara. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999.
Prodjohamidjojo, Martiman. Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara Dan UU PTUN 2004. Jakarta: Ghalia Indonesia (Anggota IKAPI), 2005.
Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum. Edisi I. Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2009.
Jurnal
Angguna, Yordan Putra. “Upaya Pengembangan E-Government Dalam Pelayanan Publik Pada Dinas Koperasi Dan UKM Kota Malang.” Jurnal Administrasi Publik 3, no. 1 (2015): 80–88.
Lumbanraja, Anggita Doramia. “Urgensi Transformasi Pelayanan Publik Melalui EGovernment Pada New Normal Dan Reformasi Regulasi Birokrasi.”
Administrative Law and Governance Journal 3, no. 2 (2020): 220–31.
https://doi.org/https://doi.org/10.14710/alj.v3i2.220-231.
Nugraha, Agung. “Sistem Pengelolaan Dokumen Elektronik Untuk Digitalisasi Pada Layanan Publik.” Jurnal Komputer Dan Informatika 15, no. 1 (2020): 274–81. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/B978-0-323-60984-5.00062-7.
Nugroho, Trisapto. “Analisis E-Government Terhadap Pelayanan Publik Di Kementerian Hukum Dan Ham (Analysis of E-Government to Public Services in the Ministry of Law and Human Rights).” Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum 10, no. 3 (2016): 279–96.
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.30641/kebijakan.2016.V10.279-296.
Sosiawan, Edwi Arief. “Evaluasi Implementasi E-Government Pada Situs Web Pemerintah Daerah Di Indonesia: Prespektif Content Dan Manajemen.” In
Seminar Nasional Informatika (SEMNASIF), Vol. 1, 2015.
Suciska, Wulan. “Optimalisasi Penerapan E-Government Melalui Media Sosial Dalam Mewujudkan Good Governance.” In Prosiding Seminar Nasional Komunikasi" Akselerasi Pembangunan Masyarakat Lokal Melalui Komunikasi Dan Teknologi Informasi", 374–89. Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas
Lampung, 2016.
Putra, Muhammad Amin. “Keputusan Tata Usaha Negara Yang Berpotensi Menimbulkan Akibat Hukum Sebagai Objek Sengketa Di Pengadilan Tata Usaha Negara Administrative Decisions With Potential Legal Consequences As Object Of Dispute In The State,” 2020.
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Nomor 112/G/2017/PTUN.JKT.
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Nomor 53/B/2018/PT. TUN.JKT,
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negaara Nomor 521/K/TUN/2018
Naskah Akademik
Naskah Akademik RUU Cipta Kerja
Media Internet
Asia Today. “Naik 19 Level, E-Government Indonesia Masuk Peringkat 100 Besar Dunia | AsiaToday.Id.” Accessed December 20, 2021.
https://asiatoday.id/read/naik-19-level-e-government-indonesia-masuk-peringkat-100-besar-dunia.
Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. “Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara Dan Reformasi Birokrasi - Hasil Survei PBB, ‘e-Government’ Indonesia Naik Peringkat.” Accessed December 20, 2021. https://menpan.go.id/site/berita-terkini/hasil-survei-pbb-e-government-indonesia-naik-peringkat.
Leski Reskinaswara. “Revolusi Industri 4.0 – Ditjen Aptika.” Accessed December 20, 2021. https://aptika.kominfo.go.id/2020/01/revolusi-industri-4-0/.
Supandi. “Keputusan Elektronik Dan Permasalahan Bukti Elektronik Di PTUN -Petitum.Id.” Accessed December 20, 2021.
https://www.petitum.id/2020/02/19/keputusan-elektronis-dan-permasalahan-bukti-elektronik-di-ptun/.
The United Nations. “2020 United Nations E-Government Survey | Multimedia Library - United Nations Department of Economic and Social Affairs.” Accessed December 20, 2021.
https://www.un.org/development/desa/publications/publication/2020-united-nations-e-government-survey.
Unair News. “Pelaksanaan E-Government Di Indonesia - Unair News.” Accessed December 20, 2021. http://news.unair.ac.id/2020/12/22/pelaksanaan-e-
government-di-indonesia/.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945. 2002.
Indonesia. Undang-Undang Tentang Pengadilan Tata Usaha Negara. UU Nomor 5 Tahun 1986. LN Nomor 77 Tahun 1986, TLN No. 3344.
Indonesia. Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. UU Nomor 9 Tahun 2004. LN. Nomor 35 Tahun 2004, TLN. No. 4380.
Indonesia. Undang-Undang tentang Administrasi Pemerintahan. UU Nomor 30 Tahun 2014. LN. Nomor 292 Tahun 2014, TLN No. 5601.
Indonesia. Undang-Undang tentang Cipta Kerja. UU Nomor 11 Tahun 2020. LN Tahun 2020 Nomor 245. Tambahan Lembaran Negara Nomor 6573.
Indonesia. Peraturan Presiden tentang Penataan Tugas dan Fungsi Kementerian Negara Kabinet Indonesia Maju Periode Tahun 2019-2024. Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2019. LN.Nomor 202 Tahun 2019.
Indonesia. Peraturan Presiden tentang Penetapan Daerah Tertinggal Tahun 2020-2024. Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2020. LN.Nomor 119 Tahun 2020.
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. Peraturan Menteri Kementerian Riset, Teknologi, Dan Pendidikan Tinggi Nomor 100 Tahun 2016 tentang Pendirian, Perubahan, Pembubaran Perguruan Tinggi Negeri, dan Pendirian, Perubahan, Pencabutan Izin Perguruan Tinggi Swasta. Permenristekdikti Nomor 100 Tahun 2016.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 7 Tahun 2020 tentang Pendirian, Perubahan, Pembubaran Perguruan Tinggi Negeri, Dan Pendirian, Perubahan, Pencabutan Izin Perguruan Tinggi Swasta. Permendikbud Nomor 7 Tahun 2020.
811
Discussion and feedback