Pengujian Tindakan Faktual dan Perbuatan Melanggar Hukum oleh Pemerintah dalam Sistem Peradilan Tata


Usaha Negara


Ridwan1


1Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, E-mail: [email protected]


Info Artikel

Masuk: 26 Agustus 2021

Diterima: 10 Mei 2022

Terbit: 12 Mei 2022

Keywords:

Government’s Real Act;Illegal Acts by the Government;Administrative Court


Kata kunci:

Tindakan Faktual; Perbuatan

Melanggar Hukum oleh

Pemerintah; PTUN


Corresponding Author:

Ridwan, e-mail : [email protected]


DOI:


10.24843/JMHU.2022.v11.i01.p07


Abstract

This research aims to analyse the basis of examination to the government’s factual and unlawful actions and the compensation determination due to both actions in the Indonesian administrative court system. It is normative legal research that studies the principles and norms with the sources of law as the main objects. Various approaches used in this research are the statute approach, conceptual approach, and case approach. The result shows that the regulations and good governance principles or governance legal norms are still used as the basis in assessing and examining the government’s factual and unlawful actions (onrechtmatige overheidsdaad) in the administrative court system. It also shows that the compensation determination remains laid on the Government Regulation Number 43 the Year 1991 concerning the Compensation and its Procedure in Administrative Court and the Treasury Minister Regulation Number 1129/KMK.01/1991 concerning the Procedural of Imposing Administrative Court Decision on Compensation Payment.

Abstrak

Tujuan penelitian ini untuk menganalisis dasar pengujian terhadap tindakan faktual dan perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah dalam sistem PTUN dan menganalisis penentuan ganti kerugian dalam perkara tindakan faktual dan perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah dalam sistem PTUN. Penelitian ini merupakan penelitian normatif yaitu penelitian terhadap kaidah atau hukumnya itu sendiri dan asas hukum positif, dengan menjadikan bahan-bahan hukum (sources of the law) sebagai objek kajian. Metode pendekatan yang akan digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan secara tidak langsung digunakan pula pendekatan kasus (case approach). Hasil penelitian menunjukan bahwa dasar penilaian dan pengujian terhadap tindakan faktual dan/atau perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah (onrechtmatige overheidsdaad) dalam sistem PTUN sampai saat ini masih berupa peraturan perundang-undangan dan AUPB atau norma hukum pemerintahan. kerugian dalam konteks tindakan faktual dan perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah dalam sistem PTUN sampai saat ini masih menggunakan ketentuan PP No. 43 Tahun 1991 tentang Ganti Rugi dan Tata Cara Pelaksanaannya pada PTUN dan Keputusan Menteri Keuangan


Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal), Vol. 11 No. 1 Mei 2022, 89-108

No. 1129/KMK.01/1991 tentang Tata Cara Pembayaran Ganti Rugi Pelaksanaan Keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara.

  • I.    Pendahuluan

Sejak berlaku UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (selanjutnya ditulis UUAP) dan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 2 Tahun 2019 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (onrechtmatige overheidsdaad), PTUN diberikan kewenangan untuk menguji tindakan faktual dan perbuatan melanggar hukum oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan. Sebelumnya, perkara tindakan faktual dan onrechtmatige overheidsdaad ini diselesaikan melalui Peradilan Negeri dengan dasar gugatan Pasal 1365 KUH Perdata. Dalam praktiknya perkara-perkara yang berkaitan dengan KTUN seringkali dilakukan upaya hukum secara perdata setelah menempuh upaya hukum di PTUN. Suatu KTUN yang merugikan digugat terlebih dahulu di PTUN. Apabila ternyata gugatan itu dimenangkan penggugat dan pihak pejabat atau instansi yang bersangkutan tidak melaksanakan putusan tersebut, ketidaktaatan terhadap putusan PTUN tersebut dijadikan dasar menggugat adanya onrechtmatige overheidsdaad ke Pengadilan Negeri.1

Berdasarkan Pasal 11 Perma No. 2 Tahun 2019 disebutkan bahwa “Perkara perbuatan melanggar hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (onrechtmatige overheidsdaad) yang sedang diperiksa oleh Pengadilan Negeri, Pengadilan Negeri harus menyatakan tidak berwenang mengadili”. Pengalihan kompetensi absolut dari Pengadilan Negeri ke PTUN ini menimbulkan sejumlah permasalahan hukum yang memerlukan pemikiran dan penelitian.

Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 9 Tahun 2004 dan diubah terakhir dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN (selanjutnya ditulis UU PTUN) dan UUAP, dasar pengujian (toetsingsgrond) yang harus digunakan hakim dalam penyelesaian perkara di PTUN adalah peraturan perundang-undangan dan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), sementara tindakan faktual yang menimbulkan kerugian dan perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah itu diuji atas dasar Pasal 1365 KUH Perdata atau norma Hukum Perdata. Pasal 1365 KUH Perdata tidak dapat dimasukkan dalam norma Hukum Administrasi. Pelanggaran norma hukum privat itu juga tidak berarti pelanggaran norma hukum publik, begitu pula sebaliknya.

AUPB sebagai salah satu dasar pengujian terhadap tindakan pemerintahan, oleh sejumlah pakar Hukum Administrasi dikualifikasi sebagai hukum tidak tertulis,2sementara penerapan Pasal 1365 KUH Perdata dalam perkembangannya

terutama setelah tahun 1919 juga memasukkan hukum tidak tertulis sebagai salah satu unsur perbuatan melanggar hukum. Dalam hal perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah itu diselesaikan melalui PTUN, apakah pengujian terhadap pemerintah itu diterapkan AUPB, hukum tidak tertulis Pasal 1365 KUH Perdata, ataukah kedua-duanya?

Berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU PTUN, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang menjalankan urusan pemerintahan. Di dalam UUAP dan yurisprudensi PTUN telah terjadi perluasan makna pemerintah. Menurut UUAP, Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara itu mencakup eksekutif, legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya, sementara berdasarkan yurisprudensi PTUN meliputi badan hukum swasta yang menjalankan fungsi pemerintahan. Setelah perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah itu diselesaikan melalui PTUN, pengertian pemerintah dalam onrechtmatige overheidsdaad itu tentu menimbulkan konsekuensi perluasan makna yang berkorelasi dengan perluasan pihak tergugat.

Memperluas pihak tergugat dalam penyelesaian sengketa di PTUN itu sesungguhnya bukan tanpa masalah, di antaranya bahwa badan-badan atau lembaga-lembaga kenegaraan itu melaksanakan aktifitas atas dasar Hukum Tata Negara (staatsrecht). Pihak pemerintah dalam onrechtmatige overheidsdaad itu melakukan tindakan faktual atau keperdataan (privaat recht) dan menimbulkan kerugian bagi pihak lain. Badan-badan swasta fungsi utamanya di bidang privat. Sementara proses hukum pada PTUN itu pada prinsipnya menerapkan hukum materil yang berupa Hukum Administrasi yaitu peraturan perundang-undangan dan AUPB. Tentu tidak relevan memeriksa dan menguji tindakan organ kenegaraan, badan hukum, atau subjek hukum tertentu yang melakukan tindakan hukum (rechtshandeling) berdasarkan Hukum Tata Negara (HTN) atau Hukum Perdata tetapi kemudian dinilai atas dasar norma Hukum Administrasi (bestuursrecht).

Permasalahan hukum lain yang terkait dengan penyelesaian sengketa tindakan faktual dan perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah di PTUN adalah menentukan pihak yang bertanggungjawab (aansprakelijkheid) untuk memberikan ganti rugi (schadevergoeding). Meskipun tampak jelas bahwa pelaku dalam onrechtmatige overheidsdaad itu pemerintah dan karenanya pihak yang bertanggungjawab untuk memberikan ganti kerugian itu juga pemerintah sesuai dengan asas “schuldaansprakelijkheid” (tanggung jawab atas dasar kesalahan) yang mendasari Pasal 1365 KUH Perdata, namun sesungguhnya tidak mudah untuk merealisasikannya.

Hal tersebut karena ketika pemerintah itu melakukan tindakan-tindakan, keadaannya tidak sama dengan perbuatan atau tindakan subjek hukum manusia (natuurlijk persoon). Dalam tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah itu terkait banyak aspek dan tidak setiap tindakan yang dilakukan oleh pemerintah itu selalu dapat dituntut pertanggungjawaban, meskipun menimbulkan kerugian bagi pihak lain. Contohnya pemindahan terminal atau bandara, tentu menimbulkan kerugian pada sebagian pemilik toko atau restoran di sekitar itu karena akan sepi pengunjung. Pemadaman listrik sementara untuk pemasangan instalasi, tentu merugikan para pelaku usaha. Padahal dalam perkara atau gugatan terhadap tindakan faktual pemerintah dan perbuatan melanggar hukum pemerintah itu persoalan utamanya adalah tanggung jawab untuk memberikan ganti kerugian.

Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal), Vol. 11 No. 1 Mei 2022, 89-108

Tindakan faktual pemerintah tidak akan dipersoalkan jika tidak ada kerugian, begitu pula perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah itu tidak akan digugat jika tidak menimbulkan kerugian beserta hubungan kausalnya. Berdasarkan Pasal 53 ayat (1) UU PTUN, seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan dapat mengajukan gugatan ke PTUN. Artinya harus ada unsur kerugian ketika akan mengajukan gugatan atas tindakan pemerintah, meskipun hanya “merasa”, yang berarti kepentingannya itu belum atau tidak harus sudah faktual. Dalam sistem PTUN tuntutan ganti rugi ini ditempatkan hanya sebagai tuntutan tambahan, sehingga dikabulkan tidaknya tergantung pada tuntutan pokok.

Persoalan lain yang perlu dicermati adalah penggunaanistilah hukum yang terkait dengan perkara tindakan faktual dan perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah dalam UUAP dan Perma No. 2 Tahun 2019 yaitu tindakan pemerintahan, tindakan administrasi pemerintahan, tindakan faktual, dan perbuatan melanggar hukum oleh pejabat pemerintahan. Dalam Pasal 1 angka 8 UUAP digunakan istilah tindakan administrasi pemerintahan, sementara dalam Pasal 1 angka 1 Perma No. 2 Tahun 2019 digunakan istilah tindakan pemerintahan, dengan definisi yang sama yaitu perbuatan pejabat pemerintahan atau penyelenggara lainnya untuk melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan konkret dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan. Istilah tindakan faktual hanya ditemukan dalam Pasal 87 huruf a UUAP dan tidak ditemukan dalam Perma No. 2 Tahun 2019. Dalam UUAP tidak ditemukan definisi dan penjelasan apa yang dimaksud dengan tindakan faktual. Penggunaan istilah perbuatan melanggar hukum oleh pejabat pemerintahan (onrechtmatige overheidsdaad) ada dalam Perma No. 2 Tahun 2019, namun tidak ditemukan dalam UUAP. Istilah ini juga tidak ditemukan definisi dan penjelasannya.

Perma No. 2 Tahun 2019, yang diterbitkan dalam rangka melaksanakan UUAP, memberikan wewenang kepada Hakim PTUN untuk menguji dan menilai sengketa tindakan pemerintahan dan/atau perbuatan melanggar hukum oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan, yang dalam register perkara digunakan kode TF yaitu tindakan faktual. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan pemerintahan dan/atau perbuatan melanggar hukum oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan itu dikualifikasi sebagai tindakan faktual, sementara dalam Pasal 87 huruf a UUAP tindakan faktual dianggap sebagai bagian dari keputusan tata usaha negara.

Penggunaan istilah dalam kajian ilmu hukum, perlu kehati-hatian, kecermatan, dan harus memperhatikan relevansinya, karena akan berdampak pada proses analisis, validitas, akurasi, dan hasil analisis, serta konsekuensi hukumnya. Dalam kaitannya dengan proses peradilan, tentu akan membawa konsekuensi pada putusan (vonnis) yang dikeluarkannya. Suatu istilah hukum tertentu hampir selalu memiliki asas, norma, dan implementasi yang berbeda dengan istilah hukum lainnya.

Dalam riset ini ada dua isu hukum yang akan dianalisis yaitu apa dasar penilaian dan pengujian terhadap tindakan faktual dan perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah dalam sistem PTUN? dan bagaimanakah pelaksanaan ganti kerugian dalam konteks tindakan faktual dan perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah dalam sistem PTUN?

Tujuan riset ini untuk menganalisis dasar pengujian terhadap tindakan faktual dan perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah dalam sistem PTUN dan menganalisis penentuan ganti kerugian dalam perkara tindakan faktual dan perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah dalam sistem PTUN.

Melalui penelusuran ditemukan beberapa tulisan yang memiliki kemiripan tema dengan riset ini seperti Agus Budi Susilo,3 Bagus Oktafian Abrianto, Xavier Nugraha, Nathanael Grady, 4 Bambang Arwanto, 5 Muhammad Addi Fauzani dan Fandi Nur Rohman,6 Hairul Maksum,7 dan Sudarsono.8 Meskipun riset ini memiliki kemiripan tema dengan tulisan atau penelitian tersebut, namun berbeda sudut pandang dan bahkan mengkritisi sebagian tulisan mereka, sehingga tidak ada unsur plagiarisme di dalamnya. Riset ini beranjak dari sudut pandang teori hukum, khususnya Hukum Administrasi, yang hasilnya tidak deskriptif tetapi preskriptif. Hasil riset ini diharapkan dapat membantu para pengambil kebijakan dalam merumuskan norma hukum pemerintahan. Selain itu, diharapkan bermanfaat bagi Hakim PTUN dalam memberikan pertimbangan hukum (ratio decidendi) dan merumuskan putusan, serta memberikan sumbangsih terhadap pengembangan keilmuan hukum.

  • 2.    metode penelitian

Penulisan artikel ilmiah ini merupakan penelitian normatif yaitu penelitian terhadap kaidah atau hukumnya itu sendiri dan asas hukum positif, dengan menjadikan bahan-bahan hukum (sources of the law) sebagai objek kajian. Metode pendekatan yang akan digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan secara tidak langsung digunakan pula pendekatan kasus (case approach).9 Bahan hukum yang digunakan adalah hukum primer dan bahan hukum sekunder. Analisis atas bahan hukum dilakukan secara yuridis dari sudut pandang teori hukum, yang hasilnya diarahkan bersifat preskripsi

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1.    Sistem Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia

Sistem adalah perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas. Berdasarkan pengertian sistem ini, selanjutnya akan diterapkan dalam konteks peradilan, yaitu untuk mengetahui apa dan bagaimana sistem peradilan di Indonesia, khususnya PTUN.

Istilah peradilan, yang berasal dari kata dasar “adil” dan mendapat awalan “per” dan akhiran “an”, dimaknai sebagai proses untuk memberikan keadilan di dalam rangka menegakkan hukum atau het rechtspreken. Dalam bahasa Belanda, peradilan ini disebut dengan istilah rechtspraak. Suatu istilah dari dua kata yang digabungkan; recht (hukum atau hak) dan spraak (pembicaraan), yang menunjukan bahwa dalam rechtspraak itu hukum dibicarakan, diperbincangkan, dan diperdebatkan, atau hak dituntut dan diperjuangkan, termasuk de gedachtegang van een rechtscollege als grondslag van de beslissing van ene rechtskwestie (jalan pemikiran majelis hakim sebagai dasar putusan tentang persoalan atau perkara hukum) sampai als rechter een vonnis uitspreken (ketika hakim membacakan putusan) dalam proses peradilan tersebut. Sehubungan perbincangan hukum ini konteksnya untuk penyelesaian sengketa atau memberikan keadilan pada tempat yang telah ditentukan, sehingga tidak keliru untuk menyebut rechtspraak itu dengan pengadilan atau de van staatswege geschapen organisatie tot het behandelen en beeindigen van rechtschille (organisasi yang dibentuk oleh negara untuk memeriksa dan menyelesaikan sengketa hukum).

Menurut Sudikno Mertokusumo, peradilan berarti segala sesuatu yang bertalian dengan pengadilan. Pengadilan di sini bukanlah diartikan semata-mata sebagai badan untuk mengadili, melainkan sebagai pengertian yang abstrak, yaitu “hal memberikan keadilan”. “Hal memberikan keadilan” berarti; yang bertalian dengan tugas badan pengadilan atau Hakim dalam memberi keadilan, yaitu memberikan kepada yang bersangkutan – konkretnya kepada yang memohon keadilan – apa yang menjadi haknya atau apa hukumnya.10 Apa yang dikemukakan Sudikno ini tentu merujuk pada pengertian peradilan pada umumnya. Dalam kaitannya dengan proses penyelesaian sengketa tata usaha negara, hal tersebut tidak sepenuhnya berlaku, terutama dalam penyelesaian sengketa melalui Upaya Administratif. “Hal memberikan keadilan” dalam penyelesaian sengketa melalui Upaya Administratif tidak dilakukan oleh Hakim, tetapi oleh organ pemerintah. Penyelesaian sengketa tata usaha negara yang dilakukan oleh hakim hanya terjadi dalam hal sengketa tersebut diajukan ke PTUN.

Secara kelembagaan, “hal memberikan keadilan” itu dilaksanakan oleh kekuasaan kehakiman (rechterlijke macht). Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD Negara RI Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Indonesia.

Berdasarkan Pasal 24 ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945; “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Selanjutnya dalam Pasal 18 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan; “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.

Kecuali Mahkamah Konstitusi, masing-masing lembaga peradilan tersebut proses peradilannya diselenggarakan dengan sistem berjenjang yang berpuncak pada Mahkamah Agung. Semua lembaga peradilan itu dilengkapi dengan sub sistem yaitu hukum materil dan formil, sumber daya manusia – hakim, panitera, dan pegawai administrasi – sarana dan prasarana, termasuk sistem informasi.

Berdasarkan keterangan tersebut tampak bahwa PTUN merupakan salah satu bagian dari organ yudisial (orgaan judicieel) atau kekuasaan kehakiman (rechterlijke macht), yang berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara. Sebagaimana peradilan lainnya, PTUN itu diselenggarakan secara berjenjang dan berpuncak pada Mahkamah Agung. Dalam melaksanakan proses peradilan, PTUN juga dilengkapi dengan sub sistem yang berupa hukum materil dan formil, sumber daya manusia, sarana dan prasarana.

Dalam penyelesaian sengketa tata usaha negara, dikenal adanya Upaya Administratif yaitu penyelesaian sengketa tata usaha negara yang dilakukan oleh instansi yang mengeluarkan keputusan dan/atau tindakan atau instansi lain atau instansi atasan dari yang mengeluarkan keputusan dan/atau tindakan. Berdasarkan Penjelasan Pasal 48 UU PTUN antara lain disebutkan; “Dalam hal penyelesaiannya itu harus dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan keputusan yang bersangkutan, maka prosedur tersebut dinamakan "banding administratif”, dan “dalam hal penyelesaian Keputusan Tata Usaha Negara tersebut harus dilakukan sendiri oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan itu, maka prosedur yang ditempuh tersebut disebut "keberatan". Upaya administratif telah diakui dalam hukum positif di Indonesia sebagai bagian dari sistem Peradilan Tata Usaha Negara.11

Berbeda dengan UU PTUN yang mengharuskan penyelesaian sengketa tata usaha negara melalui Upaya Administratif sepanjang disediakan oleh peraturan dasarnya, sejak berlaku UUAP dan Perma No. 6 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Administrasi Pemerintahan Setelah Menempuh Upaya Administratif, penyelesaian sengketa tata usaha negara melalui Upaya Administratif itu merupakan keharusan.

Keharusan menempuh Upaya Administratif sebelum mengajukan gugatan ke Peradilan Administrasi tersebut didasarkan pada tiga paradigma; 12 Pertama, pengaturan Upaya Administratif dalam UUAP menghendaki penyatuan antara sistem Peradilan Administrasi dengan Upaya Administratif. UUAP mensyaratkan bahwa proses final dari Upaya Administratif adalah gugatan ke Peradilan Administrasi. Artinya, semua keputusan Pejabat Tata Usaha Negara yang dipersoalkan atau merugikan warga negara dapat digugat ke Peradilan Administrasi dengan terlebih dahulu melewati mekanisme Upaya Administratif yakni keberatan dan banding administratif; Kedua, dengan mensyaratkan semua perkara yang mempersoalkan KTUN yang diterbitkan pejabat tata usaha negara harus melewati mekanisme keberatan dan banding, maka dengan sendirinya internal aparatur harus mampu berbenah dan menyiapkan perangkat aturan dan struktur dalam rangka penyelesaian internal masing-masing institusi; Ketiga, dengan terlebih dahulu harus diselesaikan secara internal maka UUAP lebih mendorong upaya-upaya penyelesaian sengketa melalui mekanisme internal non peradilan. Dengan demikian, paradigma paling mendasar dari Upaya Administratif dalam UUAP adalah adanya penyatuan sistem yang menyatu dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan antara Upaya Administratif di internal pemerintahan dan peradilan murni di PTUN. Keduanya menyatu dalam satu sistem. Upaya Administratif dikatakan sebagai bagian dari sistem peradilan administrasi karena Upaya Administratif merupakan kombinasi atau bagian atau komponen khusus yang berkaitan dengan peradilan administrasi yang sama-sama berfungsi untuk mencapai tujuan memelihara keseimbangan, keserasian, dan keselarasan antara kepentingan masyarakat atau kepentingan umum.

Ketika penyelesaian sengketa tata usaha negara melalui Upaya Administratif ini telah ditempuh, namun hasilnya tidak memuaskan pihak penggugat, selanjutnya pihak penggugat berhak mengajukan gugatan ke PTUN. Upaya Administratif dan PTUN itu dirancang menjadi satu kesatuan sistem penyelesaian sengketa tata usaha negara.

  • 3.2.    Penyelesaian Sengketa Tindakan Faktual dan/atau Perbuatan Melanggar Hukum oleh Pemerintah dalam Sistem PTUN

Pengalihan kompetensi absolut dari Pengadilan Negeri ke PTUN untuk menguji dan menilai sengketa tindakan pemerintahan dan/atau perbuatan melanggar hukum oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan, menimbulkan beberapa persoalan hukum terutama karena penggunaan istilah-istilah hukum yang tidak atau kurang proporsional sehingga salah persepsi pun acapkali tak terhindarkan.

Hairul Maksum mengemukakan bahwa dalam praktik Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Umum sering terjadi titik singgung, sehingga sulit sekali menentukan batasan yang lengkap mengenai KTUN dan yang mana yang bukan merupakan KTUN.13 Amrizal J. Prang membuat klasifikasi bahwa perbuatan pemerintah yang dapat digugat ke PTUN adalah perbuatan pemerintah yang bersifat konkret, individual, dan final, sementara yang dapat digugat Peradilan Umum itu berupa

perbuatan yang bersifat umum-abstrak, umum-konkret, dan individual-abstrak.14 Jika ada tindakan faktual dari penguasa atau badan atau pejabat tata usaha negara yang melawan hukum atau merugikan kepentingan seseorang atau badan hukum perdata (onrechtmatige overheids daad), maka merujuk pada ketentuan Pasal 87 UU No. 30 Tahun 2014 kini menjadi kompetensi absolut PTUN dari sebelumnya menjadi kompetensi absolut PN. 15 Sudarsono mengatakan bahwa tindakan administrasi pemerintahan adalah tindakan hukum (rechtshandelingen) oleh administrasi pemerintahan yang dimaksudkan untuk melakukan suatu perbuatan kongkret dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan. 16 Dalam kaitannya dengan gugatan terhadap tindakan faktual pemerintah, Bambang Arwanto membuat kesimpulan, 17 “Kewenangan mengadili PTUN hanya terbatas pada pengujian keabsahan (legalitas) semata, tidak sampai pada tuntutan atas dasar ganti kerugian.”

Telah dikemukakan bahwa UUAP dan Perma No. 2 Tahun 2019, yang menjadi dasar hukum pengalihan kompetensi absolut dari Pengadilan Negeri ke PTUN, menggunakan istilah-istilah; tindakan pemerintahan, tindakan administrasi pemerintahan, tindakan faktual, dan perbuatan melanggar hukum oleh pejabat pemerintahan. Telah disebutkan pula bahwa dalam kajian ilmu hukum itu perlu kehati-hatian, kecermatan, dan harus memperhatikan relevansinya, karena akan berdampak pada proses analisis, validitas, akurasi, dan hasil analisis, serta konsekuensi hukumnya. Oleh karena itu, masing-masing istilah tersebut perlu dideskripsikan, meskipun secara garis besar.

Istilah tindakan atau perbuatan pemerintahan (berstuurshandeling) ialah perbuatan yang dilakukan oleh pemerintah dalam menjalankan aktifitas pemerintahan. Penggunaan istilah tindakan administrasi pemerintahan, tergolong suatu pleonasme atau berlebihan. Kata administrasi yang berasal dari bahasa Latin “administrare” (to manage) ini derivasinya antara lain menjadi “administratio” yang berarti besturing atau pemerintahan. Secara garis besar, tindakan pemerintahan ini terbagi dua yaitu tindakan biasa atau faktual (feitelijke handeling) dan tindakan hukum (rechtshandeling).

Di dalam berbagai kepustakaan Hukum Administrasi, tindakan faktual (feitelijke handeling) dikualifikasi sebagai tindakan biasa atau perbuatan konkret, yaitu tindakan-tindakan yang tidak ada relevansinya dengan hukum dan oleh karenanya tidak menimbulkan akibat-akibat hukum (rechtsgevolgen).18 Philipus M. Hadjon mengatakan bahwa feitelijke handeling yang dilakukan oleh badan tata usaha negara atau pejabat tata usaha negara tidak termasuk “rechtshandeling van de administratie”.19 Atas dasar pengertian ini, maka penyebutan penetapan tertulis termasuk juga tindakan faktual

pada Pasal 87 huruf a UUAP itu dikualifikasi sebagai contradiction in terminis, karena penetapan tertulis (beschikking) itu jelas-jelas suatu rechtshandeling.

Tindakan faktual merupakan bagian dari aktifitas pemerintahan. F.C.M.A. Michiels mengatakan bahwa aktifitas seperti membuat dan merawat jalan, bendungan, pelabuhan, bandara, gedung, dan sebagainya, 20 merupakan pekerjaan rutin yang dilaksanakan oleh pemerintah dan dilakukan secara berkesinambungan (continuiteit of bestendigheid). Lebih lanjut disebutkan bahwa het zijn dan geen rechtshandelingen, maar wel rechtsfeiten21 (tindakan faktual itu bukan tindakan hukum, tetapi fakta hukum). J.B.J.M. ten Berge mengatakan bahwa ada sejumlah bidang aktifitas pemerintah yang sering mengakibatkan tuntutan ganti rugi. Kebanyakan aktifitas yang mengakibatkan tuntutan ganti rugi itu terdapat dalam rangka pembangunan lingkungan pisik – pembuatan jalan, penataan lingkungan, pekerjaan dinas, dan sebagainya,22yang dalam pelaksanaannya dimungkinkan ada pihak-pihak yang dirugikan.

Sesuai dengan pengertiannya, tindakan faktual itu bukan tindakan hukum dan tidak dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum, sehingga ketika ada pihak yang mengalami akibat hukum berupa kerugian, pada prinsipnya pihak yang mengalami kerugian itu, diberikan hak untuk menuntut ganti rugi (schadevergoeding). Meskipun demikian, adanya kerugian itu tidak selalu melahirkan tuntutan ganti rugi seperti penggunaan hak milik warga untuk kepentingan umum yang dikenal dengan istilah kewajiban merelakan (duldplicht) atau pembatasan penggunaan pemilik (belemmering) seperti tanah milik warga yang dipasang tiang pancang atau petunjuk jalan, tiang listrik, pemasangan pipa gas di bawah tanah milik warga, dan sebagainya.

Sehubungan tindakan faktual pemerintah itu tidak termasuk “rechtshandeling van de administratie” dan bukan dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum, tindakan faktual pemerintah tidak memerlukan legalitas, berbeda dengan tindakan hukum pemerintah di bidang publik yang harus didasarkan pada legalitas. Atas dasar itu, kesimpulan Bambang Arwanto di atas, akan tepat dan relevan jika dibalik; “Kewenangan mengadili PTUN hanya terbatas pada tuntutan ganti kerugian, tidak sampai pengujian keabsahan (legalitas),” karena telah jelas bahwa tindakan faktual pemerintah yang dapat digugat ke pengadilan itu hanyalah tindakan yang menimbulkan kerugian. Perkara tindakan faktual pemerintah itu bukan persoalan legalitas, tetapi masalah kerugian yang ditimbulkannya.

Argumen yang dikemukakan Ayu Putriyanti terhadap Pasal 87 huruf a UUAP dengan menyatakan bahwa hal itu dianggap sebagai suatu perkembangan di bidang hukum administrasi negara yang mengikuti dan menyesuaikan terhadap pelbagai perkembangan yang terjadi dan memberi pengaruh dalam penyelenggaraan pemerintahan, 23 tidak dapat dijadikan dasar untuk mengubah karakter tindakan faktual dari feitelijk handeling menjadi rechtshandeling.

Adapun tindakan hukum adalah tindakan-tindakan yang berdasarkan sifatnya dapat menimbulkan akibat hukum tertentu atau tindakan yang dimaksudkan untuk menciptakan hak dan kewajiban. 24 Berdasarkan pengertian ini, tindakan hukum pemerintahan (administratieve rechtshandeling) adalah tindakan pemerintah yang berdasarkan sifatnya dapat menimbulkan akibat hukum atau menciptakan hak dan kewajiban. Tindakan hukum pemerintah ini terdiri atas tindakan hukum publik dan tindakan hukum privat, yang masing-masing diatur dengan norma hukum publik dan hukum privat.

Tindakan hukum yang sesuai dengan norma hukum berarti perbuatannya dikategorikan sebagai perbuatan yang sah secara hukum (rechtmatig daad), sebaliknya tindakan hukum yang tidak sesuai atau bertentangan norma hukum berarti perbuatannya dikategorikan sebagai perbuatan yang tidak sah atau perbuatan melanggar hukum (onrechtmatig daad). Ada beragam penerjemahan terhadap istilah onrechtmatig daad ini oleh para penulis Indonesia; perbuatan melanggar hukum, perbuatan melawan hukum, perbuatan menyalahi hukum, dan perbuatan yang bertentangan dengan hukum. Sudikno Mertokusumo menyebutkan beberapa terjemahan lain seperti tindak asusila, tindak tanpa hak, perbuatan tanpa hak25 Jika perbuatan yang tidak sah atau perbuatan melanggar hukum itu dilakukan oleh pemerintah, digunakan istilah onrechtmatige overheidsdaad (perbuatan melanggar hukum oleh penguasa). Ada istilah lain yang diterjemahkan sama dengan onrechtmatig daad, yaitu wederrechtelijkheid. Istilah ini digunakan dalam hukum pidana, yang terdiri atas formele wederrechtelijkheid dan materiele wederrechtelijkheid.

Perbuatan melanggar hukum itu tidak hanya berkaitan dengan tindakan aktif berbuat, tetapi juga dalam bentuk pasif atau tidak berbuat sesuatu yang seharusnya dilakukan, yang biasa disebut by commission maupun by ommision.26 Intinya, segala perbuatan yang disebabkan karena kesengajaan maupun kelalaian atau ketidakhati-hatian, dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum, sepanjang perbuatan itu salah (melanggar hukum dalam arti luas), dan oleh karena itu si pelakunya layak diberikan beban untuk mengganti kerugian.27

Asas hukum yang mendasari norma kewajiban ganti rugi adalah “subjek hukum tidak boleh melakukan perbuatan yang merugikan subjek hukum lain”. Ketika ada subjek hukum, baik itu seseorang (natuurlijk persoon), badan hukum (rechtspersoon), maupun negara atau pemerintah (overheid), melakukan perbuatan yang merugikan pihak lain, kepadanya dibebani kewajiban mengganti kerugian secara seimbang, adil, dan proporsional.

Istilah onrechtmatige overheidsdaad sebenarnya merupakan konsep untuk perbuatan melanggar hukum di bidang perdata. Sudikno mengatakan bahwa perbuatan melawan hukum oleh pemerintah itu menjadi bagian dalam hukum perdata.28Onrechtmatige overheidsdaad atau perbuatan melanggar hukum oleh penguasa (pemerintah atau badan atau pejabat pemerintahan) sebagaimana diketahui dalam sejarah hukum di Indonesia adalah bersumber pada Pasal 1365 B.W (KUHPerdata), yang termasuk lapangan hukum perdata, 29 dan diselesaikan melalui Peradilan Umum. Sangat banyak yurisprudensi tentang hal ini baik di Belanda, Perancis, maupun Indonesia. Kedudukan hukum pemerintah dalam perkara onrechtmatige overheidsdaad yang diselesaikan melalui Peradilan Umum adalah selaku pihak privat (overheid als particulieren) yang dapat melakukan perbuatan-perbuatan di berbagai bidang privat dan tunduk pada norma hukum perdata. Lebih jauh dapat lihat padaTen Berge, Bescherming Tegen de Overheid. Dalam konteks ini, kurang tepat apa yang ditulis A. Sakti bahwa proses penerapan hukum administrasi sarat dengan kepentingan para penguasa apabila tidak dijalankan sebagaimana mestinya, maka akan menimbulkan onrechtmatige overheidsdaad. 30Secara konseptual, penerapan hukum administrasi tidak sebagaimana mestinya itu akan menimbulkan onrechtmatig besturen, bukan onrechtmatige overheidsdaad. Tepat apa yang ditulis oleh Mutia bahwa tindakan pemerintah di bidang perdata itu meskipun umumnya didahului dengan keputusan, maka keputusan itu melebur ke dalam tindakan hukum perdata dan penyelesaiannya menjadi kompetensi absolut hakim perdata,31 dan palanggarannya dapat dikualifikasi sebagai onrechtmatige overheidsdaad serta diuji dengan norma hukum perdata, sebagaimana yang ditunjukkan hasil penelitian Maximus Watung.32

Ketika onrechtmatige overheidsdaad diselesaikan melalui PTUN, istilah ini dimaknai dalam konteks hukum publik, yaitu tindakan hukum pemerintah yang bertentangan dengan norma hukum pemerintahan (bestuursrecht). Hal ini sesuai dengan keberadaan PTUN, yang dibentuk dan disediakan untuk memeriksa dan menyelesaikan sengketa yang terjadi antara organ pemerintah dengan warga negara atau badan hukum perdata sebagai akibat dari tindakan pemerintah yang bersifat publik (publiek rechtshandeling), baik dalam bentuk keputusan tata usaha negara maupun tindakan pemerintahan. Dengan kata lain, perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah yang diselesaikan melalui PTUN ini dalam konteks Pasal 1 angka 8 UUAP yaitu perbuatan pejabat pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan konkret dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan. Demikian pula halnya dalam hal objek sengketanya berupa tindakan faktual

pemerintah yang menimbulkan kerugian, adalah dalam konteks Pasal 1 angka 8 UUAP. Kedudukan hukum (rechtspositie) pemerintah dalam Upaya Administratif dan PTUN adalah als zodanig, yang dilekati kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan hukum di bidang publik seperti membuat peraturan (regeling), kebijakan (beleid), menetapkan rencana (het plan), mengeluarkan keputusan (beschikking), dan sebagainya, dan karenanya diuji dengan norma hukum publik ketika terjadi masalah hukum.

Ketentuan Pasal 1 angka 8 UUAP ini berkenaan dengan tindakan pemerintahan yang dikualifikasi sebagai besturen yaitu penyelenggaraan urusan pemerintahan terutama dalam memberikan pelayanan kepada warga negara, bukan tindakan yang berkaitan dengan kegiatan regelen atau pengaturan, sehingga klasifikasi Amrizal J. Prang di atas tidak relevan. Hal ini karena sifat umum-abstrak, umum-konkret, dan individual-abstrak itu merupakan sifat untuk peraturan perundang-undangan (regeling), dan menjadi kewenangan absolut Mahkamah Agung untuk mengujinya, bukan kewenangan Peradilan Umum.

  • 3.3.    Dasar Pengujian Tindakan Faktual dan/atau Perbuatan Melanggar Hukum oleh Pemerintah dalam Sistem PTUN

Sehubungan bahwa tindakan faktual pemerintah yang menimbulkan kerugian dan perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah yang diselesaikan melalui PTUN itu dalam konteks Pasal 1 angka 8 UUAP atau ranah hukum publik, istilah yang tepat bukan onrechtmatige overheidsdaad, tetapi onjuist besturen.

Istilah onjuist besturen yang diintrodusir B. de Goede tersebut di dalamnya terkandung dua makna yaitu penyelenggaraan pemerintahan yang tidak sesuai hukum (het onrechtmatig besturen) dan tidak sesuai dengan kebijakan atau tujuan diberikannya kewenangan (het ondoelmatig besturen). Dikatakan bahwa tindakan pemerintahan itu onrechtmatigheid ketika tindakan itu bertentangan dengan hukum (strijdig is met het recht), dan tindakan pemerintahan itu tidak sesuai dengan kebijakan yaitu dalam hal tindakan itu selain onrechtmatigheid, juga tidak sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai atau tidak mencapai tujuan yang telah ditetapkan.33 Lebih lanjut B. de Goede merinci empat macam tindakan pemerintahan yang tergolong onrechtmatig besturen, yaitu:

  • a.    Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau peraturan tertulis yang mengikat umum (algemeen verbindend voorschrift);

  • b.    Nyata-nyata menggunakan kewenangan untuk tujuan lain daripada tujuan diberikannya kewenangan itu;

  • c.    Sesudah mengambil pertimbangan yang terkait dengan pelbagai kepentingan, seharusnya tindakan pemerintahan itu tidak dilakukan;

  • d.    Tindakan itu bertentangan dengan kesadaran hukum atau bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.34

Penggunaan istilah onjuist besturen ini beserta parameternya akan sesuai dengan dasar-dasar pengujian (teotesingsgrond) yang digunakan dalam proses penyelesaian sengketa

tata usaha negara di PTUN berdasarkan UU PTUN, UUAP, dan Perma No. 2 Tahun 2019 yaitu peraturan perundang-undangan yang meliputi aspek prosedural/formal, aspek material atau substansial, dan aspek kewenangan, Lebih terperinci dapat dilihat pada penjelasan Pasal 53 ayat (2) UU PTUN. dan AUPB. Hidayat Pratama Putra menambahkan putusan pengadilan sebagai salah satu alat uji keabsahan keputusan atau tindakan.35 Apa yang dikemukakan Hidayat ini tampaknya tidak sepenuhnya dapat diterima, karena keberadaan putusan pengadilan atau yurisprudensi ini sekalipun memiliki fungsi yang penting namun tidak memiliki kedudukan hukum yang jelas di Indonesia, baik dalam tataran teori dan praktik.36 Secara yuridis formal, dasar pengujian atau alat uji keabsahan tindakan hukum pemerintahan adalah peraturan perundang-undangan dan AUPB.

AUPB merupakan norma hukum tidak tertulis untuk organ pemerintahan (administratieve organen), bukan untuk organ kenegaraan (staat organen) juga bukan norma hukum untuk tindakan-tindakan keperdataan (privaatrechtelijke rechtshandeling) meskipun pelakunya pemerintah. Oleh karena itu, memasukkan organ-organ kenegaraan sebagai pihak tergugat di PTUN atau menempatkan unsur penyelenggara negara dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan seperti yang tercantum dalam Pasal 1 angka 8 UUAP tersebut menjadi tidak relevan dan mengaburkan batas staatsrecht dengan bestuursrecht. Telah jelas bahwa organ-organ kenegaraan atau penyelenggara negara itu menjalankan tugas dan kewenangannya atas dasar dan tuntuk pada norma staatsrecht, dan karenanya tidak proporsional diuji dan dinilai oleh Hakim PTUN dengan dasar pengujian (teotesingsgrond) norma bestuursrecht.

Ketika pemerintah bertindak dalam bidang keperdataan dan terjadi pelanggaran hukum, diuji dengan dasar pengujian norma hukum perdata tertulis (geschreven recht) dan tidak tertulis (ongeschreven recht). AUPB yang merupakan norma hukum tidak tertulis dalam hukum administrasi tidak dapat diterapkan terhadap perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah di bidang keperdataan, begitu pula sebaliknya norma hukum tidak tertulis di bidang perdata tidak dapat diterapkan pada perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah di bidang publik. Kedua jenis norma hukum tidak tertulis ini memiliki nilai, asas, dan objek yang berbeda.

Meskipun penyelesaian sengketa tindakan pemerintahan dan/atau perbuatan melanggar hukum oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan di PTUN itu digunakan istilah dalam hukum perdata yaitu onrechtmatige overheidsdaad, namun dimaknai dalam arti onjuist besturen dan diterapkan dasar pengujian peraturan perundang-undangan dan AUPB serta dalam konteks Pasal 1 angka 8 UUAP, sebagaimana tampak pada putusan nomor: 20/G/2017/PTUN.Mdo, putusan nomor: 230/G/TF/2019/PTUN-JKT, putusan nomor: 199/G/TF/2019/PTUN-JKT, putusan nomor: 99/G/TF/ 2020/PTUN. PTUN-JKT, dan lain-lain.

Sebenarnya, pemaknaan onrechtmatige overheidsdaad dalam arti onjuist besturen tersebut sekaligus pula membatasi cakupannya, sehingga ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata

tidak menjadi pasal “sapu jagat” dan “pukat harimau” untuk menggugat apapun yang dilakukan pemerintah dan dianggap merugikan. Istilah sapu jagat dan pukat harimau ini berasal dari Enrico Simanjuntak.37 Hanya saja, sehubungan istilah Hukum Perdata onrechtmatige overheidsdaad tersebut digunakan secara resmi dalam Perma No. 2 Tahun 2019 dan tidak dibatasi dalam arti Hukum Administrasi; onjuist besturen, sehingga unsur-unsur dari onrechtmatig daad itu tetap dijadikan dasar dalam proses pemeriksaan di PTUN, termasuk dalam memeriksa gugatan terhadap tindakan faktual pemerintah. Enrico Simanjuntak mengatakan:

“Dalam konteks adanya tuntutan tambahan ganti rugi dalam perkara tindakan pemerintahan, maka kriteria atau dasar-dasar pengujian perkara PMHP seperti selama ini digunakan oleh hakim perdata menjadi relevan untuk diadopsi dan dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan praktik. Dengan demikian, unsur-unsur PMHP: (1) adanya kerugian; (2) adanya kesalahan; dan (3) hubungan kausalitas tetap relevan untuk dijadikan sebagai acuan.38

Sesuai dengan ketentuan Perma No. 6 Tahun 2018, gugatan terhadap tindakan pemerintahan dan/atau perbuatan melanggar hukum oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan di PTUN itu dilakukan setelah melalui Upaya Administratif.

  • 3.4.    Ganti Rugi dalam Sistem PTUN

Telah jelas bahwa persoalan utama dalam perkara tindakan faktual pemerintah dan/atau perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah adalah ganti rugi. Seseorang atau badan hukum perdata tidak akan menuntut ganti rugi dan mengajukan gugatan terhadap tindakan faktual pemerintah dan/atau perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah, jika tidak mengalami kerugian.

Penyelesaian sengketa dalam sistem PTUN, tuntutan ganti rugi itu merupakan tuntutan tambahan, sama halnya dengan penyelesaian sengketa tata usaha negara umumnya. Sebagai tuntutan tambahan, tentu keberadaannya tergantung pada tuntutan pokok, artinya dikabulkan atau tidak tuntutan ganti rugi ini tergantung pada dikabulkan atau tidak tuntutan pokoknya. Konsekuensinya menurut Maftuh Effendi tuntutan ganti rugi ini tidak bersifat mutlak (affirmative), artinya dalam sebuah gugatan tuntutan ganti rugi tersebut dapat dicantumkan atau tidak dicantumkan.39

Ketika sengketa itu berkenaan dengan tindakan faktual pemerintah, tentu tuntutan pokoknya berupa ganti rugi, karena sebagaimana telah dikemukakan bahwa tindakan faktual pemerintah itu merupakan pekerjaan rutin yang dilaksanakan oleh pemerintah secara berkesinambungan serta dikualifikasi sebagai fakta hukum (rechtsfeiten), bukan tindakan hukum. Pekerjaan rutin pemerintah tidak dapat dituntut secara hukum, kecuali ada pihak yang dirugikan. Oleh karena itu, tuntutan seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b dan c Perma No. 2 Tahun 2019 yaitu tidak melakukan

Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal), Vol. 11 No. 1 Mei 2022, 89-108

tindakan pemerintahan dan menghentikan tindakan pemerintahan, tidak dapat dijadikan tuntutan untuk perkara tindakan faktual pemerintah.

Berbeda halnya ketika perkara itu perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah, yang pengertiannya meliputi tindakan aktif (doen) yaitu melakukan sesuatu yang dilarang, pasif atau tidak berbuat (niet doen) sesuatu yang seharusnya dilakukan atau pembiaran (laten), tuntutan dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b dan c Perma No. 2 Tahun 2019 tersebut dapat diterapkan, termasuk tuntutan huruf a yakni melakukan tindakan pemerintahan, dengan dua syarat; ada kerugian dan ada hubungan kausal antara perbuatan melanggar hukum dengan kerugian yang muncul.

Terkait dengan gugatan dan tuntutan terhadap tindakan faktual dan tindakan hukum, perkara nomor 205/G/2016/PTUN.JKT menarik untuk dicermati. Dalam perkara a quo, ada dua hal yang digugat yaitu penerbitan surat peringatan ketiga (SP3) oleh Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kota Administrasi Jakarta Selatan, sebagai tindakan hukum, dan normalisasi sungai Ciliwung dan pembangunan jalan inspeksi di atas tanah dan bangunan para penggugat, sebagai tindakan faktual. Hakim PTUN Jakarta menyatakan bahwa objek sengketa tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik sehingga beralasan hukum untuk dinyatakan batal atau tidak sah. Namun pada putusan nomor 95/B/2017/PT.TUN.JKT, majelis hakim PTTUN Jakarta membatalkan putusan PTUN dan menyatakan bahwa objek sengketa dalam perkara a quo tidak bertentangan dengan asasasas umum pemerintahan yang baik dan UUAP. Vera W. S. Soemarwi telah menganalisis dengan baik putusan PTTUN dan menyimpulkan bahwa putusan majelis hakim PTTUN Jakarta tidak tepat.40

Dalam perkara a quo, majelis hakim PTUN dan PTTUN menguji tindakan faktual dengan dasar pengujian peraturan perundang-undangan dan AUPB. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa tindakan faktual itu bukan perbuatan hukum dan berdasarkan doktrin tidak dapat diuji atas dasar norma hukum. Dalam perkara a quo, yang harus diuji secara hukum di PTUN adalah penerbitan surat peringatan ketiga (SP3) oleh Kepala Satuan Polisi Pamng Praja yang merupakan tindakan hukum, sementara tindakan faktual yang merupakan satu rangkaian dengan tindakan hukum pejabat pemerintah yang tidak sah dan menimbulkan kerugian bagi para pihak, dituntut ganti rugi sesuai kerugian yang diderita para penggugat.

Kerugian yang timbul akibat dari perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah itu melahirkan kewajiban untuk mengembalikan pada kondisi semula seperti sebelum terjadinya perbuatan melanggar hukum (herstel in de vorige toestand). Namun jika upaya mengembalikan pada kondisi semula itu tidak dapat dilakukan, pemerintah dibebani kewajiban memberikan ganti kerugian.

Secara garis besar ketentuan ganti kerugian disebutkan dalam Pasal 120 UU PTUN dan dilaksanakan dengan PP No. 43 Tahun 1991 tentang Ganti Rugi dan Tata Cara Pelaksanaannya serta lebih rinci lagi dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 1129/KMK.01/1991 tentang Tata Cara Pembayaran Ganti Rugi Pelaksanaan Keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara.

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 PP No. 43 Tahun 1991, ganti rugi adalah pembayaran sejumlah uang kepada orang atau badan hukum perdata atas beban Badan TUN berdasarkan putusan PTUN karena adanya kerugian materiil yang diderita oleh penggugat. Dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) disebutkan bahwa “Ganti rugi yang menjadi tanggung jawab Badan Tata Usaha Negara Pusat, dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)”, dan “Ganti rugi yang menjadi tanggung jawab Badan Tata Usaha Negara Daerah, dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)”. Adapun besarnya ganti kerugian itu ditentukan dalam Pasal 3 yaitu paling sedikit Rp. 250.000 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah).

Jumlah nominal ganti kerugian tersebut tampak terlampau kecil, apalagi dengan kondisi saat ini, dan sangat mungkin tidak seimbang dengan kerugian riil yang diderita seseorang atau badan hukum perdata. Tambahan lagi bahwa berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan tersebut prosesnya sangat panjang dan berliku serta tidak ada kejelasan batas waktunya, sehingga seperti disebutkan Enrico, selain tidak sesuai dengan asas peradilan cepat, sederhana dan berbiaya ringan maka perjalanan sengketa yang sudah panjang dan berliku selama bertahun-tahun pada akhirnya terancam tidak tuntas (justice delay is justice denied).41Meskipun pada penjelasan Pasal 120 ayat (3) UU PTUN disebutkan bahwa besarnya ganti rugi ditentukan dengan memperhatikan keadaan yang nyata, namun jumlahnya tidak dapat melebihi apa yang ditentukan peraturan tersebut. Berdasarkan Pasal 3 ayat (2) PP No. 43 Tahun 1991 disebutkan bahwa “Ganti rugi yang telah ditetapkan dalam putusan Pengadilan Tata Usaha Negara jumlahnya tetap dan tidak berubah sekalipun ada tenggang waktu antara tanggal ditetapkannya putusan tersebut dengan waktu pembayaran ganti rugi”. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa “Ketentuan ini mengandung arti bahwa sekalipun terdapat tenggang waktu antara saat ditetapkannya putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dengan pelaksanaan pembayaran ganti rugi, tetapi hal ini tidak mempengaruhi jumlah ganti rugi yang telah diputuskan oleh Hakim Tata Usaha Negara. Dengan demikian terhadap jumlah ganti rugi tersebut tidak dimungkinkan untuk dimintakan bunga sebagai tambahan atas nilai ganti rugi”.

Sehubungan dengan jumlah ganti kerugian yang sangat kecil dengan prosedur yang rumit dan panjang, selama ini ditempuh gugatan ke PTUN dan seperti disebutkan Bagus Oktafian dan kawan-kawan di atas, selanjutnya ditempuh gugatan ganti rugi ke Peradilan Umum. Cara ini dimungkinkan atas dasar Juklak No. 223/Td.TUN/X/1993. Indroharto mengatakan bahwa dengan adanya PP tersebut tidak berarti kemungkinan pengajuan gugatan ganti rugi ke hakim perdata berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata sudah tertutup.42 Setelah berlaku Perma No. 2 Tahun 2019 pengajuan gugatan tindakan faktual pemerintah dan perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah ke Peradilan Umum telah tertutup.

Ketika gugatan ke Peradilan Umum telah tertutup, sementara ganti kerugian melalui gugatan ke PTUN jumlahnya sangat kecil, akses seseorang atau badan hukum perdata

untuk mendapatkan keadilan melalui proses peradilan justru menjauh atau tidak memenuhi rasa keadilan. Amanat UUAP untuk memberikan jaminan pelindungan kepada setiap warga masyarakat tidak terrealisir sebagaimana mestinya. Sangat logis apa yang diusulkan Reydonaldo Thomas Sidabutar dan Anna Erliyana, ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991 yang membatasi besarnya ganti rugi harus dihapus dan besarnya ganti rugi ditentukan oleh Hakim berdasarkan unsur keadilan dan kelayakan. 43 Dalam adagium Latin disebutkan, “Judex ante oculos aequitatem semper habere debet” (seorang hakim harus selalu memiliki keadilan di depan matanya), dan lembaga peradilan dibentuk untuk mewujudkan keadilan.

  • 4.    Kesimpulan

Dasar penilaian dan pengujian terhadap tindakan faktual dan/atau perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah (onrechtmatige overheidsdaad) dalam sistem PTUN sampai saat ini masih berupa peraturan perundang-undangan dan AUPB atau norma hukum pemerintahan (bestuursrecht). Onrechtmatige overheidsdaad merupakan konsep dalam hukum perdata dan diselesaikan melalui Peradilan Umum. Ketika onrechtmatige overheidsdaad diselesaikan di PTUN, konsepnya harus diganti atau dimaknai dengan onjuist besturen, sehingga sesuai dengan eksistensi PTUN dan dasar pengujiannya.

Pelaksanaan ganti kerugian dalam konteks tindakan faktual dan perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah dalam sistem PTUN sampai saat ini masih menggunakan ketentuan PP No. 43 Tahun 1991 tentang Ganti Rugi dan Tata Cara Pelaksanaannya pada PTUN dan Keputusan Menteri Keuangan No. 1129/KMK.01/1991 tentang Tata Cara Pembayaran Ganti Rugi Pelaksanaan Keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara. Peraturan ini sudah tidak sesuai dengan kondisi saat ini dan harus diganti. Pemberian ganti rugi harus seimbang dan proporsional sesuai dengan kerugian riil yang diderita seseorang atau badan hukum perdata.

Daftar Pustaka

Abrianto, Bagus Oktafian, Xavier Nugraha, and Nathanael Grady. “Perkembangan Gugatan Perbuatan Melanggar Hukum Oleh Pemerintah Pasca-Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014.” Negara Hukum 11, no. 30 (2020): 43–62. https://doi.org/https://doi.org/10.22212/jnh.v11i1.1574.

Arwanto, Bambang. “Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Akibat Tindakan Faktual Pemerintah.”      Yuridika      31,      no.      3      (2016):      358–83.

https://doi.org/https://doi.org/10.20473/YDK.V31I3.4857.

Ayu Putriyanti. “Kajian Undang-Undang Administrasi Pemerintahan Dalam Kaitan Dengan Pengadilan Tata Usaha Negara.” Jurnal Pandecta 10, no. 2 (2015). https://doi.org/https://doi.org/http://dx.doi.org/10.15294/pandecta.v10i2.

B De Goede. Beeld Van Het Nederlands Bestuursrecht (s’Gravenhage: Vijfde Druk, Vuga Uitgeverij B.V, n.D), 1986.

Berge, JBJM ten. “Bescherming Tegen de Overheid.” WEJ Tjeenk Willink, Zwolle, 1995.

Berge, Johannes B J M ten. Besturen Door de Overheid. Vol. 1. Kluwer, 2001.

Fauzani, Muhammad Addi, and Fandi Nur Rohman. “Problematik Penyelesaian

Sengketa Perbuatan Melawan Hukum Oleh Penguasa Di Peradilan Administrasi Indonesia (Studi Kritis Terhadap Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019).” Widya Pranata Hukum: Jurnal Kajian Dan Penelitian Hukum          2,          no.          1          (2020):          19–39.

https://doi.org/https://doi.org/10.37631/widyapranata.V3I1.79.

Hadjon, Philipus M. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993.

Indroharto. Usaha Memahami Undang-Undang Tentang PTUN, Buku II. Jakarta: Sinar Harapan, 2003.

Mahfud, M D. “Hukum Dan Pilar-Pilar Demokrasi.” Yogyakarta: Gama Media, 1999.

Maksum, Hairul. “Batasan Kewenangan Mengadili Pengadilan Umum Dan Pengadilan Tata Usaha Negara Dalam Penyelesaian Sengketa Perbuatan Melawan Hukum Yang Melibatkan Badan Negara Atau Pejabat Pemerintah Ditinjau Dari Perma Nomor 2 Tahun 2019.” JURIDICA: Jurnal Fakultas Hukum Universitas Gunung Rinjani            2,            no.            1            (2020):           4–16.

https://doi.org/https://doi.org/10.46601/juridica.V2I1.178.

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum (Edisi Revisi). Edited by 13. Revisi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2014.

Mertokusumo, Sudikno. Perbuatan Melawan Hukum Oleh Pemerintah. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2014.

  • — ——. “Sejarah Peradilan Dan Perundang-Undangannya Di Indonesia Sejak 1942 Dan Apakah Kemanfaatannya Bagi Kita Bangsa Indonesia.” Universitas Gadjah Mada, 1971.

Michiels, FCMA. “Hoofdzaken van Het Bestuursrecht, 3e Druk.” Kluwer, Deventer (hoofdstukken 1 tot en met 4 en 6 tot en met 8 (tot en met …, 2003.

Muslim, Mutia Jawaz. “Tinjauan Yuridis Terhadap Keputusan Tata Usaha Negara Yang Merupakan Perbuatan Hukum Perdata.” Jurnal Fundamental Justice 1, no. 1 (2020):                                                                   87–109.

https://doi.org/https://doi.org/10.30812/FUNDAMENTAL.V1I1.637.

Prang, Amrizal J. “Perbuatan Melawan Hukum Oleh Penguasa (Onrechtmatige Overheids Daad).” Jurnal Transformasi Administrasi 3, no. 2 (2013): 571–90.

Putra, Hidayat Pratama. “Assessment Regarding the Nullity or Invalidity of a Governmental Administrative Decision and/or Action.” Jurnal Hukum Peratun 3,                no.                1                (2020):                35–50.

https://doi.org/https://doi.org/https://doi.org/10.25216/peratun.312020.35-50.

Rakia, A Sakti R S. “Perkembangan Dan Urgensi Instrumen Hukum Administrasi Pasca Penetapan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 Pada Masa Pandemi Covid-19.” SIGn Jurnal Hukum 2, no. 2   (2021):    157–73.

https://doi.org/https://doi.org/10.37276/SJH.V2I2.106.

Salam, Syukron. “Perkembangan Doktrin Perbuatan Melawan Hukum Penguasa.” Jurnal     Nurani     Hukum     1,     no.     1     (2018):     33–44.

https://doi.org/https://doi.org/10.51825/NHK.V1I1.4818.

Shidarta, Shidarta. “Perbuatan Melawan Hukum Lingkungan Penafsiran Ekstensif Dan Doktrin Injuria Sine Damno.” Jurnal Yudisial 3, no. 1  (2017):  60–77.

https://doi.org/https://doi.org/10.29123/JY.V3I1.5.

Sidabutar, Reydonaldo Thomas, and Anna Erliyana. “Rekonstruksi Hukum Terhadap Ganti Kerugian Dan Penundaan Pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara Dalam Sengketa Tata Usaha Negara Yang Berdasarkan Nilai-Nilai Keadilan.”

Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal), Vol. 11 No. 1 Mei 2022, 89-108

Pakuan     Law     Review     6,      no.     1     (2020):      187–210.

https://doi.org/https://doi.org/https://doi.org/10.33751/palar.v6i1.2133.

Simanjuntak, Enrico. Kewenangan PTUN Mengadili Perkara Perbuatan Melawan Hukum Pemerintah. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2021.

  • — ——. “Peran Yurisprudensi Dalam Sistem Hukum Di Indonesia.” Jurnal Konstitusi 16, no. 1 (2019): 83–104. https://doi.org/https://doi.org/10.31078/JK1615.

  • — ——. “Tantangan Dan Peluang Kompensasi Ganti Rugi Di Peradilan Tata Usaha Negara.”     Jurnal     Hukum     Peratun     2     (2019):     33–54.

https://doi.org/https://doi.org/10.25216/peratun.222019.165-190.

Soemarwi, Vera W S. “Meligitimasi Tindakan Negara Berdasarkan Kekuasaan (Machstaat).” Jurnal Yudisial 12,     no. 2     (2019):    141–58.

https://doi.org/https://doi.org/10.29123/JY.V12I2.294.

Sudarsono. “Sengketa Tata Usaha Negara Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014.” Tanjungpura Law Journal 1, no. 2 (2017): 156–76.

Sugiharto, Hari, and Bagus Oktafian Abrianto. “Upaya Administratif Sebagai Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Dalam Sengketa Tata Usaha Negara.” Arena Hukum          11,          no.          1          (2018):          24–47.

https://doi.org/https://doi.org/10.21776/ub.arenahukum.2018.01001.2.

Supandi. Hukum Peradilan Tata Usaha Negara. Bandung: Alumni, 2016.

Susilo, Agus Budi. “Reformulasi Perbuatan Melanggar Hukum Oleh Badan Atau Pejabat Pemerintahan Dalam Konteks Kompetensi Absolut Peradilan Tata Usaha Negara.” Jurnal Hukum Dan Peradilan 2, no. 2 (2013):  291–308.

https://doi.org/https://doi.org/10.25216/JHP.2.2.2013.291-308.

Tohadi, Tohadi, Frieda Fania, and Dadang Gandhi. “Problem Teoritik Dan Implikasi Praktis Atas Perubahan Keputusan Tata Usaha Negara.” Jurnal Hukum IUS QUIA      IUSTUM      26,      no.      3      (2019):      500–521.

https://doi.org/https://doi.org/10.20885/iustum. vol26.iss3.art4.

Watung, Maximus. “Onrechtmatige Overheidsdaad Dalam Praktik Peradilan Negara Hukum    Indonesia.”    Jurnal Lex et Societatis    6    (2018).

https://doi.org/https://doi.org/10.35796/les.v6i1.19171.

Wijk, H.D. van, and Willem Konijnenbelt. Hoofdstukken van Administratief Recht. s’Gravenhage: Vuga, 1995.

Peraturan Perundang-undangan

UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 9 Tahun 2004 dan diubah terakhir dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN.

UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

PP No. 43 Tahun 1991 tentang Ganti Rugi dan Tata Cara Pelaksanaannya pada PTUN.

Peraturan Mahkamah Agung No. 6 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyelesaian

Sengketa Administrasi Pemerintahan Setelah Menempuh Upaya Administratif.

Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2019 tentang Pedoman Penyelesaian

Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (onrechtmatige overheidsdaad).

Keputusan Menteri Keuangan No. 1129/KMK.01/1991 tentang Tata Cara Pembayaran Ganti Rugi Pelaksanaan Keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara.

108