Penerapan Force Majeure dalam Pemenuhan isi Kontrak Akibat Pandemi Covid-19 di Indonesia


Desak Nyoman Dwi Indah Parwati1, I Made Sarjana2

1Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail : [email protected]

2Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail : [email protected]


Info Artikel


Masuk : 23 Agustus 2021

Diterima : 10 Mei 2022

Terbit : 12 Mei 2022


Keywords:


Contract; Force Majeure; covid-19


Kata Kunci :

Kontrak; Force Majeure; covid-19


Corresponding Author:

Desak Nyoman Dwi Indah Parwati,

E-mail: [email protected]

DOI:

10.24843/JMHU.2022.v11.i01.p08


Abstract

This study aimed to analyze the application of force majeure related to the fulfillment of contract contents in contracts due to the covid-19 that occurred in Indonesia. Normative legal research was the method chosen in this study. The result of study indicated that has been performed display that with the issuance of Presidential Decree No. 12 of 2020 concerning Determination of Non-Natural Disasters for the Spread of Corona Virus Disease 2019 by some people as a legal basis for determining covid-19 as force majeure. Debtors are allowed to submit to creditors that the Pandemic Covid-19 has made debtor difficult for to fulfill the contents of the contract. However, not all debtors can use Covid-19 as an excuse for force majeure, only debtors who do not have a steady income and are proven directly to creditors who can use the Covid-19 excuse as force majeure and good faith is needed from the debtor. In addition, related to the impact of force majeure on the fulfillment of the contents of the contract in a contract being disrupted, the process of fulfilling the contents of the contract is delayed due to the covid-19 pandemi but does not make a contract void or can be canceled.

Abstrak

Penelitaian ini bertujuan untuk menganalisa mengenai penerapan force majeure terkait pemenuhan isi kontrak dalam kontrak akibat pandemi covid-19 yang terjadi di Indonesia. Penelitian hukum normative merupakan metode yang dipilih dalam penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dikeluarkannya kebijakan tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 melalui Keppres No. 12 Tahun 2020 oleh sebagian masyarakat dijadikan acuan dasar hukum penetapan covid-19 sebagai alasan force majeure. Debitur diperbolehkan mengajukan kepada kreditur bahwa adanya pandemi covid-19 menyebabkan debitur sulit untuk memenuhi isi kontrak. Namun tidak semua debitur bisa menggunakan covid-19 sebagai alasan force majeure, hanya debitur yang tidak memiliki penghasilan tetap saja dan dibuktikan langsung kepada kreditur yang bisa menggunakan alasan covid-19 sebagai force majeure serta diperlukan adanya itikad baik dari debitur. Selain itu terkait dengan dampak force majeure terhadap pemenuhan isi kontrak dalam suatu kontrak menjadi terganggu, proses pemenuhan isi kontrak menjadi tertunda akibat pandemi covid-19 namun tidak menjadikan suatu kontrak menjadi batal atau dapat dibatalkan.


  • I.    Pendahuluan

Kontrak merupakan salah satu bentuk dari perikatan. Kontrak dapat diartikan sebagai kesepakatan yang disepakati antara dua orang pihak bahkan bisa lebih yang bertujuan melakukan suatu perbuatan saling mengikatkan diri dimana para pihak dalam kontrak memiliki kewajiban untuk memenuhi isi dari kontrak. Kontrak pada terma hukum dapat dipahami sebagai suatu hubungan yang para pihak saling mengikatakan diri yang selanjutan didalam hubungan tersebut diatur oleh seperangkat norma yang disepakati.

Sahnya suatu kontrak menyebabkan adanya akibat hukum mengikat bagi pihak yang telah sepakat mengadakan kontrak sehingga harus dipenuhinya hak dan kewajiban bagi para pihak sebagaimana terdapat pada isi kontrak. 1 Dalam Pasal 1313 KUHPerdata diatur mengenai definisi kontrak/perjanjian bahwa kontrak dapat diartikan sebagai suatu persetujuan yang satu pihak atau dapat lebih saling mengikatkan diri pada satu pihak lain ataupun lebih. Kontrak berawal karena adanya disparatis kepentingan dan melalui kontrak coba untuk dipertemukan, selain itu dengan adanya kontrak segala perbedaan antara dua belah pihak atau lebih disesuaikan dan dibingkai dalam perangkat hukum dan mampu mengikat bagi pihak-pihak yang saling mengikatkan diri tersebut.2

Sifat Hukum kontrak yaitu terbuka, artinya diberikan kebebasan kepada siapa saja untuk mengadakan kontrak namun mengenai bentuk dan juga isi dari kontrak yang dibuat sebagian besar sudah ditentukan sepihak, tetapi baik isi maupun bentuk kontrak yang dibuat harus sesuai dan tidak diperbolehkan apabila tidak sesuai dengan ketentuan umum yang berlaku serta perundang-undangan.3 Dalam hal-hal tertentu para kontraktan dapat membuat klasula-klasula sendiri sesuai dengan keinginannya, namun tidak dapat menyimpang dari kesepakatan yang ada pada kontrak didasarkan atas pemikiran perlu perlindungan hukum dan adanya kepastian hukum terhadap hak diantara pihak-pihak yang membuat kontrak dan harus dipenuhi melalui pelaksanaan isi kontrak.4 Apabila para pihak telah menyatakan kata sepakat disaat kontrak tersebut dibuat maha kebebasan menyatakan kehendak mulai berlaku diantara mereka yang membuat kontrak.5

Adanya kebebasan untuk menyatakan kehendak merupakan penjabaran dari asas kebebasan berkontrak yang terdapat dalam hukum kontrak. Diaturnya ketentuan

kebebasan berkontrak pada KUHPerdata yakni Pasal 1338 ayat (1) merupakan pedoman diberikannya suatu kebebasan kepada para pihak yang ingin mengadakan kontrak diluar peraturan perundang-undangan sesuai dengan sifat kontrak yakni terbuka, sifat terbuka tersebut sesuai dengan fungsi dari hukum yang memiliki tujuan untuk mengaktualisasikan berbagai aturan hukum yang berlaku sehingga apa yang dikehendaki hukum yang salah satunya yaitu terwujudnya sikap tingkah laku manusia yang selaras dengan kerangka pemikiran yang telah ditetapkan hukum ataupun peraturan perundang-undangan.6

Kekuatan hukum yang dibuat dalam kontrak sama dengan undang-undang. 7 Hal tersebut dapat diartikan bahwa kontrak berlaku sebagai hukum dan juga mengikat bagi para pihak yang mengadakan kontrak, apabila dalam proses kontrak berlangsung terdapat pihak yang pelaksanaan kewajibannya tidak sesuai dengan sebagaimana termuat dalam kontrak yang disepakati maka pihak tersebut dapat dikatakan telah wanprestasi. Sehingga penting untuk para pihak yang mengadakan suatu konrak memperhatikan asas-asas dalam kontrak agar tujuan diadakannya kontrak dapat tercapai dan nantinya salah satu pihak ada yang merasa di rugikan.8

Apabila wanprestasi terjadi pada suatu kontrak yang sedang berjalan, bagi pihak yang tidak melakukan perbuatan untuk memenuhi kewajibannya sesuai dengan isi kontrak diharuskan untuk memberikan biaya berupa ganti rugi kepada pihak yang dirugikan akibat perbuatan tersebut yang termuat dalam atas kesengajaan maupun kelalaian yang dibuat oleh pihak tersebut. Apabila terjadinya wanprestasi dalam suatu kontrak pihak yang merasa telah mengalami kerugian tersebut berhak mendapatkan ganti kerugian sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1243 KUHPerdata. Jika tidak dipenuhinya isi kontrak oleh satu pihak yang bukan disebabkan oleh sebuah kesengajaan ataupun kelalaian yang disebabkan dirinya sendiri maka pihak yang telah melakuan kelalaian dapat bebas dari tanggung jawab membayar biaya ganti rugi.

Perihal pembebasan biaya ganti rugi ini telah diatur pada Pasal 1245 KUHPerdata, dalam pasal tersebut dikatakan bahwa debitur tidak dikenakan penggantian biaya ganti rugi maupun bunga apabila ia tidak melakukan kewajibannya yang disebabkan karena keadaan memaksa. Terdapat beberapa pengecualian kewajiban debitur untuk memberikan biaya ganti rugi akibat wanprestasi yang dilakukan dimana pihak yang tidak melakukan kewajiban sebagai mana dalam kontrak dapat melakukan pembelaan dengan beberapa alasan salah satunya yaitu force majeure.9

Seperti halnya yang terjadi pada akhir 2019 hingga sekarang, dunia telah menghadapi penyebaran penyakit Corona Virus Disease 2019 di mayarakat penyakit tersebut disebut

dengan corona atau bisa juga covid-19 kini dinyatakan sebagai virus yang dapat menular dengan mudah apabila kita berinteraksi dengan orang yang membawa virs tersebut di dalam dirinya sehingga hal ini menyebabkan kedaduratan terhadap sistem kesehatan hampir seluruh masyarakat di berbagai negara. Bahkan negara Indonesia tak luput dari banyak kasus penularan virus covid-19 bahkan dapat dikatakan Indonesia menjadi negara yang memiliki dampak paling besar dari adanya penyebaran covid-19 dan untuk menghentikan serta mengurangi penularan virus covid-19 semakin meluas pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yaitu seperti adanya kebijakan physical distancing dimana hal itu tertuang pada Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Beberapa waktu terakhir pemerintah mengeluarkan kebijakan PPKM Darurat Covid-19 untuk diterapan pada Wilayah Jawa-Bali dimana pada intruksi yang dikeluarkan oleh Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2021 diatur bahwa sektor non-esensial diberlakukan WFH dan beberapa kegiatan pembatasan pada sektor esensial. Untuk kegiatan pada pusat-pusat perbelanjaan/pusat perdagangan dilakukan penutupan. Kondisi ini tentu sangat mempengaruhi berbagai sektor seperti halnya ekonomi, pariwisata, pendidikan. Banyak kegiatan ekonomi terhenti karena adanya penularan virus covid-19 dan berbagai kebijakan yang diberlakukan oleh pemerintah sangat berpengaruh pada berbagai sector baik essential maupun non-esential di Indonesia.

Selain beberapa kebijakan sebagaimana yang telah disebutkan, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan melalui Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Kedaruratan Kesehatan covid-19 dan Perpu nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19. Banyaknya Kebijakan yang di keluarkan oleh pemerintah tentu sangat mempengaruhi terhadap pemenuhan isi kontrak, perjanjian dan transaksi bisnis yang sudah berlangsung sebelum adanya covid-19 saat ini. Hal ini dikarenakan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah beberapa diantaranya dianggap menghambat para pihak dalam kontrak untuk dapat memenuhi kewajiban memenuhi isi kontrak baik bagi pihak-pihak yang terkena dampak langsung maupun dampak tidak langsung.

Akibat dari adanya covid-19 salah satunya yaitu berpengaruh pada kontrak yang menimbulkan force majeure yaitu keadaan salah satu pihak yakni debitur tidak mampu melakukan pemenuhan isi kontrak. Adanya situasi debitur yang tidak dapat memenuhi kewajibannya tersebut disebut dengan force majeure.

Biasanya dalam suatu Kontrak para pihak selalu mencantumkan tentang force majeure. Dicantumkannya force majeure dalam kontrak dimaksudkan agar saat terjadi keadaan dimana terdapat pihak pada kontrak yang tidak bisa melaksanakan kewajibannya sebagaimana termuat pada isi kontrak maka diharapkan semua pihak yang telah sepakat membuat kontrak dapat memahami keadaan tersebut yang disebabkan karena keadaan memaksa ataupun kelalaian.

Berlakunya force majeure dapat berakibat pada suatu kontrak menjadi dibatalkan atau tertunda dan dapat juga batal oleh hukum, hal ini di sebabkan karena ada pihak dalam kontrak tidak memenuhi kewajibannya dikarenakan ketidakmampuan dari debitur untuk melaksanakan kewajibannya disebabkan oleh keadaan-keadaan yang terpaksa.

Bencana pandemi covid-19 yang terjadi sampai saat ini digunakan sebagai sebuah alasan bagi pihak-pihak dalam kontrak untuk tidak melakukan pemenuhan isi kontrak atau kewajibannya dikarenakan adanya suatu peristiwa diluar kemampuan dari pihak-pihak yang membuat kontrak. Hal ini tentu menyebabkan banyak kontrak-kontrak yang sudah terbentuk sebelum adanya covid-19 menjadi diubah bahkan dibatalkan.

Debitur yang sebelumnya telah melakukan kontrak mempunyai kewajiban hukum memenuhi isi kontrak dengan cara menyerahkan sejumlah uang kepada para kreditor sebagai bentuk pembayaran yang telah disepakati dan berjalan sebelumnya secara tepat waktu. Bagi sebagaian kontraktan yang terkena dampak dari kebijakan PPKM yaitu adanya kondisi ekonomi serta penghasilannya menjadi menurun ataupun terganggu menyebabkan para debitor menjadi sulit ataupun gagal dalam pemenuhan kewajiban tersebut kepada kreditur secara tepat waktu.

Kesulitan bahkan gagalnya debitur untuk memenuhi isi kontrak tersebut menyebabkan debitur wanprestasi dan karena hal tersebut secara otomatis memberikan hak gugat kepada kreditur. Kreditur berhak untuk menerima ganti rugi dari debitur sebagai bentuk penegakan hak-hak kontraktual yang dimiliki oleh kreditur. Tetapi tidak hanya hak kepada kreditur saja melainkan Namun hukum memberikan juga hak kepada debitur berupa hak melakukan pembelaan. Adapun pembelaan yang dilakukan oleh debitur bisa dengan cara mengajukan pembelaam bahwa tidak terlaksananya kontrak sebagaimana yang telah disepakati secara bersama dikarenakan keadaan memaksa (force majeure). Debitur beranggapan bahwa acuan dasar hukum penetapan covid-19 sebagai force majeure adalah adanya Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).

Penelitian terdahulu yang menulis tentang force majeure akibat pandemi covid-19 yaitu diantaranya: Sufiarina dimana focus kajiannya mengenai pemberlakuan PSBB Covid-19 berlaku sebagai feiten notoir bagi debitur untuk menyatakan force majeure.10 Hasil kajiannya menyatakan bahwa pembuktian dari adanya kebijakan PSBB Covid-19 sebagai force majeure tidak berlaku bagi adagium feiten notoir. Dalam hal ini debitur diharuskan untuk dapat membuktikan dan mengemukakan secara personal terkait permasalahan yang mungkin saja apa yang dialami oleh debitur memiliki perbedaan dengan apa yang terjadi oleh debitur lainnya. Dilakukannya pembuktian secara pribadi yaitu dengan cara meyakinkan kreditur bahwa adanya aturan PSBB Covid-19 membawa dampak dari segi ekonomi pada dirinya secara langsung salah satunya kesulitan keuangan, sehingga pihak debitur tidak bisa dituntut berkaitan dengan resiko dan pemenuhan isi kontrak.11

Pada penelitian yang lebih khusus, Kansul Wafa mengkaji berkaitan dengan pandemi covid-19 di indonesia termasuk sebagai suatu peristiwa force majeure dan apakah langsung dapat dijadikan sebagai alasan untuk pembatalan suatu kontrak, dimana hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pandemi covid-19 yang terjadi termasuk dalam force majeure yang sifatnya sementara sehingga adanya pandemi covid-19 bisa digunakan untuk menjembatni antara para pihak dalam proses negosiasi untuk

mengubah ataupun membatalkan isi dari kontrak yang telah mereka sepakati secara bersama. Sehingga adanya covid-19 tidak begitu saja dapat digunakan sebagai alasan oleh pihak-pihak dalam kontrak untuk membatalkan kontrak.12 Meskipun terdapat kesamaan yaitu sama-sama mengkaji mengenai force majeure akibat pandemi covid-19, namun focus kajian dalam penelitian ini terdapat perbedaan yang akan diuraikan oleh penulis yaitu terkait adanya penyebaran virus covid-19 yang dijadikan sebagai alasan force majeure dan pemenuhan isi kontrak dalam kaitan adanya alas an force majeure tersebut.

Berdasarkan pada uraian diatas, maka muncul isu mendasar terkait apakah debitur dapat menggunakan adanya penyebaran covid-19 yang terjadi khusunya di Indonesia untuk mengajukan alasan force majeure dalam pemenuhan isi dari kontrak serta bagaimanakah dampak dari adanya force majeure dalam pelaksanaan isi kontrak pada saat pandemi covid 19 di Indonesia. Nantinya penelitian ini memiliki tujuan agar dapat memberikan suatu pandangan yang lebih mendalam mengenai debitur yang bisa menggunakan pandemi covid-19 yang terjadi untuk mengajukan alasan force majeure dalam pemenuhan isi kontrak dan dampak yang ditimbulkan dari adanya force majeure terhadap pelaksanaan isi kontrak saat terjadi pandemi covid-19 di Indonesia.

  • 2.    Metode Penelitian

Mengenai jenis penelitian yang digunakan oleh penulis pada penelitian ini menggunakan tipe penelitian hukum normative. Penelitian yang menggunakan penelitian hukum normative yaitu meneliti terhadap aspek hukum sebagai suatu permasalahan yang dilakukan dengan cara menganalisa berbagai bahan hukum terdiri dari bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder kemudian selanjutnya dihubungkan pada permasalahan hukum yang ada atau yang dikaji. Penelitian hukum normative merupakan suatu penelitian hukum dimana mempusatkan pada kajian mengenai penerapan norma-norma dan kaidah-kaidah hukum di dalam hukum positif, sehingga diharapkan dapat memberikan solusi bagi penemuan hukum yang akan datang dimana kajian penelitian hukum normative meletakkan hukum sebagai suatu sistem norma.13 Sumber bahan hukum yang digunakan penulis adalah sumber bahan hukum primer dan sekunder. Data-data yang dijadikan sebagai bahan penelitian ini dikumpulkan melalui studi kepustakaan yakni mengumpulkan berbagai informasi-informasi dan bahan hukum yang termasuk kedalam bahan hukum primer, sekunder maupun bahan hukum tersier dan kemudian dikelompokkan, dicatat, dikutip, diringkas dan diulas sesuai dengan kebutuhan. Pendekatan perundang-undangan dan Pendekatan analitis merupakan pendekatan yang dipilih dalam penelitian ini yang diartikan sebagai pendekatan yang menguraikan berbagai aturan-aturan hukum sehingga nantinya didapatkan unsur maupun komponen yang bisa diterapkan di dalam persoalan tertentu yang memiliki kaitan dengan permasalahan yang sedang di bahas.14

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Pandemi covid 19 sebagai alasan Force Majeure Dalam Pemenuhan Isi Kontrak

Adanya pandemi covid-19 saat ini yang terjadi secara global sehingga menyebabkan banyak kegiatan ekonomi terhenti tidak begitu saja dapat digunakan oleh debitur untuk dijadikan alasan force majeure sehingga debitur dapat untuk tidak memenuhi kewajibannya atau menunda membayarkan kewajibannya sebagaimana terdapat dlam kontrak. Tidak semua keadaan yang tidak terduga dapat dikatakan sebagai force majeure diperlukan adanya pembuktian dimana unsur-unsur force majeure telah terpenuhi.

Dalam perkembangannya force majeure dapat dikategorikan berdasarkan kriteria yang berbeda-beda yaitu berdasarkan atas penyebab terjadinya, sifat terjadinya, objek, subjek, ruang lingkup terjadinya serta beberapa hal lain yang ada pada hukum kontrak. 15 Keadaan force majeure lazimnya ditunjukkan terhadap kejadian yang terjadinya di luar kemauan atau kehendak manusia agar dapat menghindar dari perisiwa ysng terjadi.16

Pada setiap aturan hukum maupun putusan pengadilan terdapat kesamaan unsur yang dijadikan sebagai pedoman untuk mengatakan bagaimana keadaan yang terjadi dapat dikategorikan sebagai force majeure.17 Di Indonesia untuk melihat pengaturan terkait force majeure dapat dilihat pada KUHPerdata yaitu pada Pasal 1244 dan Pasal 1245, pasal tersebut menekankan tentang bagaimana pemberian biaya, rugi dan bunga dan selain itu dapat digunakan sebagai tolak ukur pengaturan force majeure. Berdasarkan ketentuan kedua pasal yang terdapat di KUHPerdata tersebut maka dikatakannya suatu keadaan sebagai force majeure disaat keadaan telah memenuhi unsur-unsur keberadaanya, terdiri dari:

  • 1.    Tidak dipenuhinya prestasi ataupun kewajibannya tidak disebabkan oleh unsu unsur kelalaian atau kesengajaan

  • 2.    Peristiwa yang terjadi merupakan peristiwa yang tidak terduga sehingga menyebabkan terdapat pihak dalam kontrak yang dapat memenuhi kewajibannya sebagaimana termuat dalam kontrak.

  • 3.    Terjadinya peristiwa yang ada tidak terduga tersebut tidak dapat untuk dimintakan pertanggung jawaban kepada pihak yang tidak bias melaksanakan kewajiban atau prestasinya.

  • 4.    Didalam pemenuhan kewajibannya atau prestasinya pihak yang tidak dapat memenuhi kewajibannya tersebut masih memiliki itikad baik pada darinya.

Pengertian mengenai force majeure atau keadaan memaksa dapat ditemui pada beberapa peraturan perundang-undangan yang ada yaitu seperti terdapat pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi dimana pada Pasal 57

mengatur bahwa keadaan kahar merupakan keadaan atau peristiwa yang terjadinya diluar kemauan dan kemampuan para pihak yang membuat kontrak dimana hal tersebut menimbulkan adanya kerugian bagi satu pihak pada kontrak yang telah di sepakati. Selain itu PP Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah yang Pasal 1 ayat (52) menyatakan Keadaan kahar merupakan keadaan yang terjadinya diluar kemauan para pihak yang membuat kontrak dan keadaan tersebut para pihak tidak memperkirakan sebelumnya akan terjadi sehingga berdampak pada tidak dapat dipenuhinya kewajiban sebagaimana termuat pada isi kontrak.

Di dalam kontrak kedudukan force majeure berada dalam pokok kontrak. Kehadiran klasula force majeure dalam isi kontrak sangat penting untuk menghindari konflik dan perselisihan yang timbul dari non-kinerja akibat peristiwa force majeure.18 Keadaan memaksa dapat diklasifikasikan dalam keadaan memaksa absolut dan yang dalam keadaan memaksa relative.

Adanya kondisi dimana terdapat satu pihak yakni debitur tidak bisa sama sekali memenuhi tanggungannya berupa kewajiban atau prestasi kepada kreditur dikarenakan adanya satu peristiwa atau bencana yang debitur tidak menghendakinya ataupun diluar kendali debitur diartikan sebagai keadaan memaksa bersifat absolut. Peristiwa dimana satu pihak debitur masih dimungkinkan untuk memenuhi kewajibannya atau prestasinya kepada kreditur hanya saja sedikit menjadi berubah diartikan sebagai keadaan memaksa relative.

Dalam sebuah kontrak yang telah disepakati secara bersama kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi isi kontrak adalah mutlak. 19 Dari adanya kontrak yang disepakati secara bersama menimbulkan adanya perikatan dan dalam perikatan menentukan ada atau tidaknya wanprestasi sangat penting yaitu terkait pelaksanaan perikatan pada waktunya. Ditentukannya seorang debitur telah melakukan perbuatan wanprestasi dilihat dalam bentuk ketiadalaksanaan perikatan sesuai pada waktunya.20

Dalam kontrak memperhatikan force majeure telah ditentukan dalam isi kontrak sangat penting. Jika dalam isi kontrak para pihak tidak mengatur force majeure maka pihak-pihak tersebut dianggap harus tunduk kepada undang-undang. Menurut Mariam Darus adanya force majeure untuk alasan pembenar yang memiliki tujuan melepaskan debitur dari menanggung kewajiban untuk mengganti rugi merupakan kehendak dari pembentuk undang-undang.21

Adanya keadaan Force majeure tidak langsung digunakan sebagai alasan untuk bisa membatalkan kontrak, hanya saja bisa digunakan untuk menjembatani para pihak melakukan negosiasi untuk membatalkan maupun merubah isi dari kontrak.22 Hal ini

sesuai ketenuan Pasal 1338 KUHPerdata yang mengatur bahwa berlakunya kontrak atau perjanjian yang dibuat secara sah sebagai undang-undang untuk pihak-pihak yang membuatnya, hal ini mengartikan jika pelaksanaan dari kontrak yang disepakati tetap dilaksanakan sesuai dengan sebagaimana termuat pada isi kontrak.

Pandemi covid-19 dikelompokkan dalam suatu keadaan memaksa atau force majeure tergantung pada definisi keadaan memaksa atau force majeure jika hal tersebut telah tercantum dalam kontrak. Apabila pihak yang mengalami kesulitan dalam pemenuhan isi kontrak mampu membuktikan bahwa keadaan force majeure telah dipenuhi, maka adanya peristiwa pandemi covid-19 dapat dinyatakan oleh pihak tersebut termasuk dalam keadaan kahar. Berdasarkan Keppres No. 12 Tahun 2020 menyatakan adanya penyebaran covid-19 adalah bencana nasional yang disebabkan oleh non-alam sehingga dapat dijadikan sebagai pintu masuk untuk menilai suatu keadaan berada dalam force majeure.

Bencana non alam dapat didefinisikan sebagai suatu peristiwa bencana yang penyebabnya dikarenakan peristiwa atau rangkaian peristiwa non alam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemic dan wabah penyakit pengertian tersebut dapat dilihat pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana yaitu Pasal 1 ayat (3). Terjadinya Covid-19 sampai sekarang ini yang menimpa seluruh dunia dikategorikan sebagai force majeure yang bersifat relative dan sementara, maka berdasarkan ketentuan Pasal 1245 KUHPerdata debitur dapat di bebaskan dari biaya bunga dan utang pokok tetap menjadi tanggung jawab debitur sehingga dalam hal ini terpenting dalam pelaksanaan suatu kontrak adanya itikd baik.

Adanya asas clausula rebus sic stantibus menjadi dasar penafsiran covid-19 sebagai force majeure pada kontrak yang diartikan bahwa pembatalan atau diakhirinya kontrak yang telah disepakati oleh para pihak jika terdapat perubahan fundamental pada keadaan-keadaan yang berkaitan dengan kontrak yang dibuat. Dijadikannya covid-19 alasan force majeure pada beberapa kontrak diperlukan suatu pembuktian untuk membuktikan sejauh mana bencana tersebut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pelaksanaan isi kontrak dan klasulanya. 23 Penting untuk dipenuhi bahwa pihak yang menjadikan force majeure sebagai klasula untuk mencari pemulihan dalam pemenuhan isi kontrak harus dapat menunjukkan bahwa tidak ada alasan lain yang menyebabkan kegagalan pihak pada kontrak tidak dapat memenuhi kewajibannya selain karena adanya Covid-19.24

Menurut pendapat Mahfud MD adanya kebijakan Keppres RI no.12 tahun 2020 yang dipakai sebagai dasar untuk melakukan pembatalan kontrak merupakan suatu kekeliruan, ia menegaskan covid-19 yang tergolong sebagai bencana yang terjadi secara non alam tidak bisa begitu saja dipakai alasan force majeure pada kontrak.

Keadaan force majeure pada saat pandemi Covid-19 yang dimaksudkan hanyalah kadaan memaksa yang bersifat relatif sehingga implikasinya kontrak yang telah dibuat

tidak dapat dibatalkan oleh para pihak atau mengganggap kontrak yang dibuat batal, tetapi pihak kreditur hanya dapat memberikan kelonggaran kepada debitur berupa penundaan pemenuhan kewajibannya. Namun, adanya Covid-19 yang menyebabkan keadaan force majeure juga belum dapat dijadikan sebagai sarana bagi debitur untuk menunda melakukan kewajibannya sebagaimana termuat dalam kontrak tanpa adanya pembuktian maupun negosiasi bahwa adanya covid-19 benar-benar menyebabkan debitur tidak dapat memenuhi isi kontrak.

Pada proses tersebut pihak yang tidak dapat memenuhi kewajibannya harus mampu beritikad baik sebagai upaya untuk menghasilkan sebuah solusi yang nantinya tidak terdapat kerugian yang dirasakan secara sepihak atau pihak lain atas perbuatan tersebut. Pada umumnya itikad baik merupakan suatu kewajiban moral yang ada dalam kontrak. Kontrak tidak dapat menampung segala hal yang memiliki peran penting dalam pelaksanaannya sehingga apa yang mengikat bukan hanya apa saja yang secara eksplisit tertuang dalam kontrak melainkan juga apa yang menurut itikad baik juga di haruskan, dalam hukum kontrak pengaturan mengenai itikad baik terdapat pada Pasal 1338 (3) KUHPerdata yang menekankan itikad baik merupakan sebuah keharusan bagi pihak-pihak dalam menjalankan kontrak.25

Perlunya itikad baik dari debitur sebagai upaya dalam melakukan negoisasi dengan kreditur bahwa adanya pandemi Covid-19 ini menyebabkan dirinya tidak dapat melaksanakan kewajibannya sesuai isi konrak. Dalam melakukan negosiasi antara para pihak dalam kontrak itikad baik disertai juga dengan penyertaan bukti-bukti memadai yang menunjukkan bahwa memang benar keadaan tersebut menyebabkan debitur tidak bisa memenuhi kewajibannya hal ini berdasarkan pada Pasal 1245 KUHPerdata.

Pihak yang tidak dapat memenuhi kewajibannya harus bisa meyakinkan pihak lain dalam kontrak bahwa dirinya memang benar mengalami kesulitan financial dikarenakan adanya pandemi Covid-19. Dengan dinyatakan Corona Virus Disease 2019 sebagai suatu bencana yang terjadi secara non alam sehingga covid-19 dapat dikategorikan kedalam force majeure, meskipun dalam kontrak hal tersebut tidak diatur tetapi dengan melihat unsur-unsur dan sifat covid-19 debitur dapat menyatakan bahwa tidak dapat dipenuhinya prestasi dalam suatu kontrak diakibatkan oleh adanya pandemi covid-19. Namun melekatnya force majeure yang diakibatkan covid-19 tidaklah langsung melekat bagi semua debitur, hal ini berlaku hanya bagi debitur yang secara langsung terkendala dalam pemenuhan kewajibannya.

Debitur tertentu diharuskan mengemukakan keadaan keterbatasannya dan kendalanya secara personal terkait proses pemenuhan kewajiban akibat pandemi covid-19. Sedangkan kondisi covid-19 tidak dapat dikatakan sebagai force majeure yang melekat pada diri debitur bagi debitur yang memiliki penghasilan tetap di setiap bulannya. Keadaan pandemi covid-19 tidak berlaku secara otomatis bagi semua debitur. siatuasi covid-19 sebagai force majeure hanya dapat digunakan bagi beberapa debitur saja.

  • 3.2    Dampak Force Majeure Dalam Pelaksanaan Kontrak Saat Terjadi Pandemi Covid-19 di Indonesia.

Kondisi covid-19 merupakan suatu peristiwa dimana tidak ada satupun yang menduga sebelumnya bahwa akan terjadi wabah seperti saat ini sehingga para pihak-pihak yang telah mengadakan kontrak tidak terbayangkan akan terjadi suatu peristiwa yang berdampak pada kontrak yang telah di sepakati. Adanya gangguan financial saat terjadi pandemi covid-19 berdampak pada pemenuhan isi suatu kontrak namun hanya bagi debitur tertenu saja yang mengalami masalah keuangan saat pandemi covid-19 yang merasakan kesulitan untuk pemenuhanisi kontak tetapi untuk debitur yang memiliki penghasilan tetap setiap bulannya seperti salah satunya Aparatur Sipil Negara kendala ekonomi tidak terlalu berat dirasakan.

Melekatnya force majeure pada debitur akibat adanya covid-19 tidak begitu saja otomatis berlaku untuk semua debitur, hal ini hanya berlaku untuk debitur yang memang benar-benar merasakan kesulitan secara langsung dalam pemenuhan kewajiban disebabkan adanya penghasilan yang menurun atau bahkan tidak memiliki penghasilan sama sekali. Debitur yang mengalami kendala tersebut harus mampu menyatakan keadaan keterbatasannya dan keidakmampuannya untuk memenuhi isi kontra secara personal kepada kreditur akibat pandemi covid-19 yang terjadi. Sedangkan untuk debitur yang tergolong masih memiliki penghasilan yang tetap setiap bulannya pandemi covid-19 yang telah menjadi masalah serius sampai saat ini tidak bisa digunakan sebagai alasan force majeure pada dirinya. Sehingga menyebabkan keberadaan covid-19 tidak berlaku untuk semua debitur. Force majeure yang disebabkan adanya pandemi covid-19 berlaku sebagai suatu alasan hanya bagi debitur yang penghasilannya menurun atau berkurang. Walaupun debitur bisa menggunakan alasan pandemi covid-19 yang dikategorikan kedalam keadaan memaksa atau force majeure, alasan tersebut tidak cukup untuk menunjukkan satu pihak dalam kontrak yakni debitur dapat dilepaskan begitu saja dari kewajibannya untuk memberikan tanggungjawabnya berupa ganti kerugian yang disebabkan tidak dipenuhinya isi kontrak karena force majeure. Keadaan pandemi covid-19 yang terjadi di Indonesia akan lebih mudah digolongkan kedalam keadaan memaksa atau force majeure jika pemerintah mengeluarkan regulasi kebijakan sehingga menjadi pasti bahwa ketidakmampuan satu pihak untuk memenuhi isi kontrak karena ada penyebaran covid-19 dan keadaan yang demikian dapat dikategorikan kedalam keadaan force majeure.26

Force majeure dapat juga dipahami sebagi suatu keadan ketikmampuan antara satu pihak pada kontrak yang telah disepakati untuk memenuhi kewajibannya sebagaimana tercantum dalam kontrak sehingga akibat hukum dari tidak dipenuhinya isi kontrak yang sesuai dengan kesepakatan bersama maka dipersilahkan untuk dimintakan ganti kerugian atas perbuatan tersebut bagi pihak yang merasa dirugikan.27 Jika dicermati Pasal 1244 jo Pasal 1245 KUHPerdata dimana jika dilihat Pasal 1244 menyatakan bahwa apabila pada suatu kontrak terdapat pihak yang berhutang harus diberikan hukuman untuk membayar segala biaya ganti rugi dan juga

bunga jika pihak tersebut tidak membuktikan tidak dipenuhinya isi kontrak dikarenakan adanya hal yang tidak diduga sebelumnya berada di luar kehendaknya dan dapat dipertanggungjawabkan, itupun jika pihak yang berhutang tidak memiliki itikad buruk pada dirinya. Sedangkan pada Pasal 1245 KUHPerdata mengatur apabila dalam kontrak terdapat satu pihak tidak melaksanakan isi kontrak ia tidak dapat dimintakan untuk memberikan biaya, rugi dan bunga yang harus dibayar jika hal tersebut disebabkan oleh keadaan yang tidak sengaja ataupun keadaan memaksa sehingga pihak berhutang menjadi berhalangan untuk melaksanakan kewajibannya atau dilakukan perbuatan yang terlarang yang dikarenakan hal yang sama.

Dilihat dari dua pasal tersebut lebih menekankan untuk membebaskan kewajiban kepada pihak yang tidak mampu melaksanakan kewajibannya kepada kreditur dengan membayar ganti rugi akibat perbuatannya tersebut dikarenakan adanya kendala force majeure disebut juga keadaan memaksa. Jika terdapat keadaan force majeure yang harus diutamakan yaitu adanya kebijaksanaan dari para pihak yang membuat kontrak untuk menyikapi keadaan tersebut. Masing-masing pihak dalam kontrak mampu menyikapi bahwa selain kerugian yang dialami oelh salah satu pihak harus mampu mengedepankan sikap untuk menanggung kerugian secara bersama. Jika force majeure menyebabkan salah satu pihak terlambat untuk memenuhi isi kontrak, diharapkan pihak lainnya mampu memberikan kebijaksanaan seperti halnya kompesasi kepada pihak tersebut untuk melakukan pemenuhan isi kontrak pada waktu yang telah mereka sepakati secara bersama-sama oleh kedua belah pihak.

Sejak awal munculnya wabah varian virus covid-19 menimbulkan berbagai dampak yang dirasa sangat menggangu bagi kesehatan manusia, selain dampak kesehatan yang sangat serius, adanya covid-19 juga berdampak bagi perekonomian masyarakat. Berbagai kebijakan-kebijanan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang bertujuan untuk mencegah adanya penularan covid-19 tidak semakin parah di masyarakat menyebabkan beberapa sektor menjadi terhenti. Seperti halnya sektor pariwisata, hiburan, perhotelan, sekolah dan sector-sektor lainnya yang turut terdampak dari adanya wabah virus covid-19 tersebut.

Banyak UMKM-UMKM yang ada saat ini merasakan dampak parah dari adanya pandemi covid-19 dimana dapat diketahui bahwa 90% pertumbuhan ekonomi negara didukung oleh sektor UMKM dan hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi sangat didukung oleh peran UMKM. Sehingga saat terjadi pandemi covid-19 yang kian meningkat saat ini menyebabkan banyak UMKM yang merasakan dampaknya, maka hal ini berakibat juga pada ketidakstabilan ekonomi suatu negara.

Pada masyarakat di sektor informal, pada kehidupan sehari-hari sebelum adanya covid-19 mereka sering kali melakukan perjanjian, baik yang berkaitan dengan kontrak jual beli, perjanjian pinjam meminjam maupun kontrak lainnya yang menyebabkan mereka harus memenuhi kewajibannya kepada pihak kreditur. Namun dengan adanya pandemi covid-19 ini mereka tidak dapat memenuhi kewajibannya atau prestasinya yang diakibatkan oleh faktor:

  • 1.    Kendala ekonomi

Kendala ekonomi dialami oleh hamper sebagian besar masyarakat yang terkena dampak adanya wabah covid-19. Terhentinya berbagai aktivitas dan kegiatan menyebabkan pergerakan ekonomi menjadi lambat bahkan di

beberapa sector menjadi terhenti. Hal ini tentu berakibat pada tidak adanya pemasukan pendapatan bagi beberapa pihak seperti halnya terhentinya sector pariwisata yang menyebabkan banyak tenaga kerja yang harus di PHK atau di rumahkan sehingga menyebabkan mereka tidak memiliki penghasilan. Dari adanya hal ini mereka tidak dapat untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya untuk memenuhi isi kontrak terhadap beberapa kontrak yang telah mereka buat sebelum adanya pandemi covid-19 seperti saat ini.

  • 2.    Kendala Non-Ekonomi

Selain kendala ekonomi, factor lain diluar ekonomi juga sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan prestasi dalam suatu perjanjian akibat adanya pandemi covid-19. Kendala lain yang dimaksud seperti transportasi, bahan baku, adanya PSBB yang menyebabkan pergerakan manusia menjadi tidak bebas, maupun kesulitan-kesulitan lainnya yang menyebabkan masyarakat dalam hal ini sebagai debitur memerlukan pengorbanan yang lebih extra untuk dapat memenuhi isi kontrak.

Adanya faktor-faktor penghambat bagi debitur untuk melakukan pemenuhan isi kontrak dalam kontrak akibat covid 19 jika dikaitkan dengan force majeure terhadap pelaksanaan kontrak maka force majeure dalam suatu kontrak membawa konsekuensi dimana suatu kontrak tidak terlaksana dengan sebagaimana mestinya dan dengan itu kreditur tidak dapat menuntut debitur untuk memenuhi isi kontrak.

Suatu keadaan force majeure membawa konsekuansi hukum bagi para pihak dalam kontrak yaitu kreditur tidak dapat menyatakan bahwa debitur lalai, sehingga kreditur tidak bisa menuntut pemenuhan isi kontrak kepada debitur, selain itu resiko yang timbul akibat tidak dipenuhinya prestasi tidak beralih kepada debitur. Menurut Agus Yudha Hemoko, penting untuk memperhatikan sifat dari force majeure terkait pelaksanaan isi kontrak dalam suau kontrak antara lain :28

  • a.    Sifat Force majeure yang permanen ataupun tetap, hal ini menyebabkan pemenuhan isi kontrak sulit bahkan tidak mungkin untuk dipenuhi.

  • b.    Sifat Force majeure yang tidak tetap, hal ini menyebabkan pemenuhan prestasi dalam suatu kontrak secara umum tidak dapat dilasanakan, sedangkan secara tidak normal mungkin untuk dilaksanakan suatu prestasi bahkan mungkin ditangguhkan bebrapa waktu sampai dirasakan bahwa dimungkinkan untuk pelaksanaan pemenuhan prestasi kembali dilakukan.

Adanya klasula Force Majeure yang diakibatkan pandemi covid-19 yang terjadi saat ini tidaklah menghapuskan kewajiban debitur untuk memenuhi isi kontrak. Dengan adanya force majeure, dampak yang ditimbulkan terkait pelaksanaan prestasi suatu kontrak menjadi tertunda. Debitur yang mengalami kesulitan dalam pemenuhan isi kontrak dapat meminta untuk dilakukan peninjauan atau dapat juga meminta penanganan berkaitan dengan kewajiban yang harus dipenuhinya kepada kreditur yang salah satu caranya dapat dilakukan dengan melakukan restrukturikasi yaitu dengan cara rescheduling atau dapat juga dilakukan reconditioning resctruturing.

Upaya yang dilakukan pemerintah melalui berbagai peraturan hukum yang telah dikeluarkan seperti salah satunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) menjadi sebagai landasan hukum bagi debitur untuk mengajukan permohonan berkaitan dengan penangguhan pemenuhan kewajiban kepada kreditur. Berdasarkan ketentuan Pasal 1245 KUHPerdata menyatakan bahwa seorang debitur dapat bebas dari kewajiban bunga yang harus dipenuhinya, namun utang pokok tetap menjadi tanggung jawab debitur, sehingga keadaan force majeure tidak menjadi alasan bagi debitur untuk diputusnya perjanjian atau kontrak yang telah diatur dalam Pasal 1339 KUHPerdata perihal kepatutan.

Seperti halnya dalam perjanjian pembiayaan, pihak debitur yang merasa kesulitan untuk dapat memenuhi kewajiban kreditnya dapat mengajukan kepada pihak kreditur untuk memberikan kebijaksanaan berkaitan dengan tidak dapat terpenuhinya prestasi akibat pandemi covid-19. Dilihat dari sifat pandemi covid-19 sebagai force majeure yang bersifat relative maka pihak kreditur dengan kebijaksanaanya memberikan kemudahan berupa keringanan pembiayaan sehingga debitur tetap dapat menggunakan barang modal yang telah dipinjamnya untuk tetap berusaha dalam melunasi hutangnya. Hal yang dapat dilakukan yaitu dengan memperpanjang jangka waktu angsuran yang semula misalnya 24 bulan menjadi 36 bulan dengan tanpa perhitungan bunga selama pandemi berlangsung yang artinya selama masa pandemi debitur dibebaskan dari biaya bunga sebagaimana diatur dalam Pasal 1245 KUHPerdata.

  • 4. Kesimpulan

Pandemi Covid-19 yang terjadi saat ini digolongkan sebagai force majeure bersifat relatif yakni bahwa melekatnya force majeure dalam suatu kontrak akibat pandemi covid-19 belum bisa begitu saja berlaku untuk semua debitur, namun hal tersebut hanya bisa dijadikan alasan bagi debitur yang memang langsung terkendala terkait pelaksanaan kewajibannya untuk memenuhi isi kontrak. Debitur yang memiliki pengasilan tetap setiap bulannya adanya keadaan pandemi covid-19 belum dapat digolongkan force majeure pada dirinya. Dijadikannya covid-19 alasan force majeure belum dapat secara langsung dijadikan sebagai alasan bagi semua debitur. Hanya beberapa debitur yang memang benar-benar mengalami kesulitan dalam penemuhan isi kontrak bisa menjadikan siatuasi covid-19 sebagai force majeure. Dampak yang ditimbulkan dari adanya force majeure terhadap pemenuhan isi kontrak akibat pandemi covid-19 yaitu terjadinya penundaan pemenuhan prestasi dalam isi kontrak dimana debitur dapat dibebakan dari biaya bunga dan ganti rugi akibat tidak dipenuhinya prestasi. Force majeure tidaklah menghapuskan kewajiban debitur untuk memenuhi isi kontrak dan juga debitur tidak dapat membatalkan kontrak yang telah disepakati dengan alasan force majeure tersebut.

Daftar Pustaka

Abdulkadir, M. Hukum Perjanjian Di Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003.

Arini, A. “Pandemi Corona Sebagai Alasan Force Majeur Dalam Suatu Kontrak Bisnis.".” Jurnal Kajian Ilmu Hukum 9(1) (2020): 41–56.

Badrulzaman, M. Kompilasi Hukum Perikatan. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001.

Dahlan, and S Bintang. Pokok-Pokok Hukum Ekonomi Dan Bisnis. Jakarta: Citra Aditya Bakti, 2000.

Dewi, A. “‘Eksistensi Otonomi Desa Pakraman Dalam Perspektif Pluralisme Hukum.’” Jurnal Magister Hukum Udayana 7(3) (2014).

Hansen, S. “Does the COVID-19 Outbreak Constitute a Force Majeure Event? A Pandemi Impact on Construction Contracts. ".” In Journal of the Civil Engineering Forum 6(1) (2020): 201–14.

Hernoko, A. Hukum Perjanjian. Jakarta: Prenada Media, 2019.

Isradjuningtias, A. “Force Majeure (Overmacht) Dalam Hukum Kontrak (Perjanjian) Indonesia. ".” Jurnal Veritas et Justitia 1(1) (2015).

Jennejohn, M, J Nyarko, and E Talley. “COVID-19 As a Force Majeure in Corporate Transactions. ".” Jurnal Columbia Law and Economics 2(5) (2020).

Kanzul, W, I Suseno, and E Prasetyawat. “Klausa Force Majeure Dalam Kontrak Dan Pandemi Covid-19 Di Indonesia.” Maleo Law Journal 4(2) (2020).

Lathifah, H, and M Noorman. “‘Penyelesaian Perjanjian Kredit Bank Sebagai Akibatforce Majeure Karena Gempa Di Yogyakarta.’” Jurnal Pembaharuan Hukum 3(2) (2016): 161–71.

Lawyers Counselor. “Dapatkah Pandemi Covid-19 Dikualifikasikan Sebagai Force Majeure Meskipun Tidak Ditentukan Dalam Perjanjian,” 2020.

Lestari, A. “‘Perjanjian Baku Dalam Jual Beli Kredit Sepeda Motor Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999.’” Jurnal Magister Hukum Udayana 5(2) (2016): 337–52.

Mujadi, W, and K Muljadi. Perikatan Pada Umumnya. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.

Muskibah, M, and L Hidayah. “Penerapan Prinsip Kebebasan Berkontrak Dalam Kontrak Standar Pengadaan Barang Dan Jasa Pemerintah Di Indonesia.” Jurnal Ilmu Hukum 4(2) (2020): 175–94.

Nayasari, S, and B Muljono. “‘Analisis Hukum Relaksasi Kreadit Saat Pandemi Corona Dengan Kelonggaran Kredit Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK. 03/2020.’” Jurnal Sains Sosio Humaniora 4(2) (2020).

Politon, R. “Pemenuhan Hak Dan Kewajiban Sesuai Kesepakatan Para Pihak Dalam Kontrak Ditinjau Dari Kitab Undang Undang Hukum Perdata.” E-Jurnal Unsrat 6(3) (2017).

Risma, A, and Zainuddin. “Tafsir Pandemi Covid-19 Sebagai Alasan Force Majeure Yang Mengakibatkan Pembatalan Perjanjian.” Jurnal Wawasan Yuridika 5 5(1) (2021): 100–112.

Sarjana, I.M, D Kasih, and I.G Kartika. “Menguji Asas Droit De Suite Dalam Jaminan Fidusia1.”.” Jurnal Magister Hukum    Udayana 4(3)    (2015):

https://doi.org/10.24843/JMHU.2015.v04.i03.p01, p.

Sinaga, N. “Perspektif Force Majeure Dan Rebus Sic Stantibus Dalam Hukum Indonesia.” Jurnal Ilmah Hukum Dirgantara 11(1) (2021).

Sonbai, A. “Keabsahan Kontrak Kemitraan Youtube Kepada Anak Sebagai Mitra Youtube.” Jurnal Kertha Patrika 41(1) (2019).

Syamsiah, D. “Penyelesaian Perjanjian Hutang Piutang Sebagai Akibat Forje Majeur Karena Pandemi Covid 19.".” Jurnal Ilmu Hukum 4(1) (2020): 306–13.

Timothy, M. “"Analisa Klasula Force Majeure Pada Perjanjian Pemborongan Natara PT. Sinergi Mega Karya Dengan PT. Narasari Indoensia Dalam Situasi Pandemi Covid-19.” DiH:” Jurnal Ilmu Hukum 17(1) (2021): 117–27.

Udiana, I.M, I Westra, and N.K Utari. “Kewajiban Pengusaha Menyediakan Angkutan Antar Jemput Bagi Pekerja/Buruh Perempuan Yang Berangkat Dan Pulang Pada Malam Hari Di Bali Safari And Marine Park. " (2015).” Jurnal Magister

Hukum Udayana 4(3) (2015).

Wahyuni, S. “‘Force Majeure Dan Notoir Feiten Atas Kebijakan PSBB Covid-19.’” Jurnal Hukum Sasana 6(1) (2020).

Wasano, R.Y. “Menyikapi Dampak Virus Corona Terhadap Kontrak Bisnis, Sumber : Menyikapi Dampak Virus Corona Terhadap Kontrak Bisnis - SIP Law Firm,” 2020.

Widyaswari, R. “‘Perlindungan Kue Tradisional Bali Dalam Perspektif Kekayaan Intelektual.’ J.” Urnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) 9(3) (2020).

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Perppu nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19.

Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)

Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Kedaruratan Kesehatan covid-19

124