Pelayanan Prima Narapidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan

Y.Sri Pudyatmoko1, G.Aryadi2

1Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, E-mail: [email protected] 2Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, E-mail: [email protected]

Info Artikel

Masuk: 20 Agustus 2021

Diterima: 09 Mei 2022

Terbit: 12 Mei 2022

Keywords:

Excellent service; Correctional Institution; Corruption.


Kata kunci:

Pelayanan prima; Lembaga Pemasyarakatan; Korupsi.

Corresponding Author:

Y. Sri Pudyatmoko, e-mail : [email protected]

DOI:

10.24843/JMHU.2022.v11.i01.p11


Abstract

The purpose of this study is to identify and analyze public services for convicts of corruption cases in Penitentiary Institutions. This study is intended to find the basis for applying the principle of correctional justice with a justice approach to the possibility of preferential treatment. This research is a normative legal research based on secondary data from Correctional Institutions in Special Region of Yogyakarta, especially Wirogunan Prison and Sleman Prison with the support of primary data. The results of the study indicate that public services have been implemented with reference to service standards in the two research objects. Special treatment is given based on considerations of justice by referring to affirmative action to certain prisoners but does not only lead to corruption convicts. In the preferential treatment of prisoners there is indeed discrimination, but it is positive discrimination according to justice which is justified.

Abstrak

Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui dan menganalisis pelayanan publik bagi narapidana kasus korupsi di Lembaga Pemasyaraktan. Penelitian ini dimaksudkan menemukan landasan penerapan prinsip pemasyarakatan dengan pendekatan keadilan terhadap kemungkinan adanya perlakuan istimewa. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif berdasarkan data sekunder Lembaga Pemasyarakatan di Daerah Istimewa Yogyakarta, khususnya Lapas Wirogunan dan Lapas Sleman dengan dukungan data primer. Hasil studi menunjukkan bahwa pelayanan publik telah dilaksanakan dengan mengacu standar pelayanan di kedua objek penelitian. Perlakuan istinewa diberikan berdasarkan pertimbangan keadilan dengan mengacu pada affirmative action kepada narapidana tertentu akan tetapi tidak mengarah kepada narapidana kasus korupsi saja. Dalam perlakuan istimewa terhadap narapidana tersebut memang terdapat diskriminasi, akan tetapi merupakan diskriminasi positif sesuai keadilan yang memang dibenarkan.

kenyataannya pada masa itu tidak terlalu banyak yang diproses sampai ke pengadilan. 1 Salah satu yang terlibat penanganan korupsi adalah Lembaga Pemasyarakatan (selanjutnya disebut Lapas). Menurut Hariadi pada saat ini Lapas selain dihuni oleh para narapidana biasa juga dihuni oleh narapidana intelektual yang kemampuannya pasti di atas petugas Lapas itu sendiri. Jelas hal ini merupakan suatu dilema, di satu sisi Lapas dituntut untuk dapat mengembalikan para penghuninya menjadi orang baik dan dapat hidup di tengah-tengah masyarakat secara normal, tetapi di sisi lain fungsi tersebut tidak berjalan karena para penghuni hotel prodeo itu adalah orang-orang yang memiliki kepandaian intelektual di atas petugas Lapas, dan mereka pada dasarnya sudah tidak memerlukan lagi bimbingan maupun pelatihan dari petugas Lapas. 2 Dalam tulisan tersebut ditekankan pada soal dilema yang dihadapi Lapas. Hal tersebut sangat menarik mengingat petugas Lapas dituntut melakukan pembinaan. Pembinaan terhadap penghuni Lapas merupakan bagian dari layanan publik, sesuai standar tertentu mesti dilakukan dengan layanan prima. Istilah layanan prima tersebut bisa menjadi kabur dengan layanan istimewa yang selama ini memang sudah sangat dikenal terhadap narapidana kasus korupsi. Soal inilah yang diangkat dalam tulisan ini.

Narapidana kasus korupsi sering mendapat perlakuan istimewa, tidaklah sulit menunjukkan contohnya. Kamar mewah berpendingin udara dengan sejumlah set furnitur, ada ranjang empuk, lemari dan rak yang menempel di dinding, washtafel, toilet dengan shower dan air panas, dispenser, serta televisi layar datar berukuran besar. Sepintas, kamar ini seperti sebuah apartemen tipe studio bergaya minimalis contohnya. 3 Fenomena tersebut berkait penyalahgunaan wewenang berhubungan dengan adanya perbuatan suap menyuap, dan implikasinya bertentangan dengan prinsip persamaan (equality before the law) dan prinsip keadilan dalam negara hukum.4 Menahan koruptor yang memiliki sumber daya keuangan dan pengaruh politik yang sangat besar di dalam penjara bukanlah perkara yang mudah. Jumlah koruptor tahun 2018 mungkin hanya 4.552 dari 248.690 tahanan atau 1,8% dari total narapidana di Indonesia, namun kemampuan mereka untuk mempengaruhi bagaimana penjara dikelola jauh lebih besar daripada angka 1.8% tersebut.5

Menarik kiranya apa yang dituliskan oleh Nimerodi Gulo. Dengan membandingkan penanganan narapidana kasus korupsi di sejumlah negara kemudian berusaha menemukan konsep ideal yang dapat diterapkan di Indonesia. Menurutnya idealnya proses penegakan hukum dan proses pembinaan tindak pidana korupsi harus berjalan secara integral dan saling mempengaruhi. Pada kenyataannya selama

ini belum ada mekanisme/sistem ketentuan yang secara khusus disusun untuk melakukan pembinaan terhadap narapidana korupsi. 6 Berbeda dengan tulisan tersebut, dalam tulisan ini lebih menekankan pada layanan yang diberikan kepada narapidana kasus korupsi dengan mengacu pada aturan layanan publik.

Melihat kondisi tersebut di atas, maka ketika dalam rangka penanganan Covid-19 Menkumham mengeluarkan Permenkum HAM Nomor 10 Tahun 2020 dan Keputusan Menkumham Nomor 19 Tahun 2020 tentang Syarat Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi Bagi Narapidana dan Anak Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19 untuk menyiasati over kapasitas, juga dikhawatirkan dapat memberikan perlakuan istimewa kepada para narapidana kasus korupsi. 7 KPK menyarankan urutan prioritas dalam pembebasan narapidana untuk mengurangi kapasitas lapas, pembebasan narapidana yang sudah melebihi masa tahanan, tahanan narkoba yang sudah melewati dua per tiga masa tahanan dan tahanan anak dan lansia. “Itu semua harus melalui proses seleksi di Lapas masing-masing.”8

Lapas sebagai penyelenggara layanan publik dituntut untuk melaksanakan pelayanan prima (Excellent service), di sisi lain gambaran pengistimewaan narapidana korupsi terjadi di sejumlah Lapas yang menangani terpidana kasus korupsi. Bagaimana layanan prima diberikan kepada narapidana kasus korupsi di Lapas? Apakah perlakuan yang berbeda bagi narapidana korupsi juga terjadi di Lapas di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), khususnya di Lapas Kota Yogyakarta dan Lapas Kabupaten Sleman? Apakah hal tersebut termasuk dalam kategori pelayanan prima dan dapat dibenarkan?

  • 2.    Metode Penelitian

Dalam penulisan jurnal ini menggunakan medote penelitian hukum normatif, dengan pendekatan kasus (case approach) dan pendekatan perundang-undangan. Tujuan penelitian ini ialah untuk menentukan solusi dari munculnya problematika yuridis yang ada kemudian diharapkan adanya preskripsi atas problematika yuridis tersebut. Penelitian hukum bertujuan mencapai kebenaran koherensi yakni apakah suatu aturan hukum telah sejalan dengan norma hukumnya, ataukah norma hukum tersebut koheren bila disandingkan dengan prinsip hukum, ataukah tindakan seseorang telah mencapai kesesuaian bila dilihat dari norma hukum (tidak hanya sesuai atau tidaknya dengan aturan hukum) dan atau atau prinsip hukum.9 Menurut Whitney dalam Moh Nazir bahwa pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Dalam penelitian ini digunakan sumber data bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, dengan dukungan data hasil wawancara dengan narasumber. Untuk selanjutnya data

dianalisis dengan menggunakan pendekatan deskriptif analitis, yakni dengan menggambarkan objek yang diteliti. Penelitian ini termasuk dalam penelitian kualitatif yang dimaksudkan untuk menemukan kebenaran kualitatif yakni kesesuaian sesuatu dengan sesuatu yang lain berdasarkan ukuran yang berupa keharusan dipenuhinya persyaratan kualitas (nilai atau sifat) tertentu. Dalam penulisan ini disajikan fakta hukum mengenai pelayanan kepada narapidana korupsi di Lapas.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    3.1 Perlakuan Terhadap Narapidana Kasus Korupsi di Lapas

Dari aspek layanan publik, maka pelayanan di Lapas mesti mengindahkan ketentuan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, beserta peraturan pelaksananya. Menurut Yogi Satria Nugraha, Pelayanan publik di lingkungan Rumah Tahanan Negara (Rutan) dan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) masuk bagian pelayanan publik yang bersifat khusus yang melibatkan publik tertentu.10 Sesuai filosofi konsep pemasyarakatan, Sahardjo sebagaimana dikutip Suryani mengatakan bahwa Lapas bukan tempat yang semata-mata memidana orang, melainkan juga sebagai tempat membina atau mendidik orang-orang terpidana, agar setelah menjalani pembinaan mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan di luar lembaga pemasyarakatan sebagai warga Negara yang baik dan taat pada hukum yang berlaku.11 Pemasyarakatan dapat dijabarkan menjadi 3 (tiga) pokok pikiran, yaitu Pemasyarakatan sebagai suatu tujuan, Pemasyarakatan sebagai sistem proses dan pemasyarakatan sebagai metode dalam pelaksanaan pidana penjara di Indonesia.12

Pelayanan publik yang dilaksanakan di Lapas tidak terlepas dari cakupan tugas dan tanggaung jawab dari Lapas terhadap warga binaan. Oleh karena itu cakupan dari layanan publik di Lapas juga berkaitan dengan kegiatan pembinaan terhadap warga binaan, maupun hal-hal lain yang terkait di dalamnya. Konseling psikologi, Pembinaan tahap awal dilaksanakan sejak seseorang berstatus sebagai narapidana, dengan melakukan kegiatan dalam rangka kesadaran beragama, kesadaran hukum, kemampuan intelektual, kesadaran berbangsa dan bernegara, kesehatan jasmani, kesenian dan rekreasi. Pada tahap lanjutan baik tahap lanjutan tahap pertama maupun tahap kedua, macam kegiatannya bisa sama tetapi bisa yang lain dengan frekuensi yang berbeda. Yang membedakan dalam pembinaan tahap awal dan tahap lanjutan antara lain soal pengawasanya, di mana dalam pembinaan tahap awal dengan maximum security, untuk pembinaan tahap lanjutan dengan tingkat pengawasan

medium security, sementara pembinaan tahap akhir Ketika persiapan untuk Kembali ke masyarakat maka tingkat pengawasanya minimum security.

Dalam pelayanan publik dikenal adanya istilah pelayanan prima (Excellent service). Pelayanan prima tersebut dilakukan dengan sebaik mungkin sehingga memberikan kepuasan kepada pihak yang dilayani (pelanggan). Kualitas layanan yang disebut sebagai layanan prima ditentukan berdasarkan standar pelayanan yang mesti dimiliki oleh setiap penyelenggara pelayanan publik. Standar Pelayanan adalah tolok ukur yang dipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan publik dan acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai kewajiban dan janji penyelenggara kepada masyarakat dalam rangka pelayanan yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau, dan terukur. Secara normative standar pelayanan tersebut terdiri atas 14 komponen meliputi:

  • 1.    dasar hukum,

  • 2.    persyaratan;

  • 3.    sistem;

  • 4.    jangka waktu penyelesaian;

  • 5.    biaya/tarif;

  • 6.    produk pelayanan;

  • 7.    sarana, prasarana, dan/atau fasilitas;

  • 8.    kompetensi pelaksana;

  • 9.    pengawasan internal;

  • 10.    penanganan pengaduan, saran, dan masukan;

  • 11. jumlah pelaksana;

  • 12. jaminan pelayanan yang memberikan kepastian pelayanan dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan;

  • 13. jaminan keamanan dan keselamatan pelayanan dalam bentuk komitmen untuk memberikan rasa aman; dan

  • 14. evaluasi kinerja pelaksanaan.

Standar pelayanan disusun dengan melibatkan masyarakat dan pihak terkait. Dengan adanya pelibatan masyarakat dan pihak terkait maka tolok ukur di dalam standar pelayanan tidak didasarkan selera dan penilaian dari penyelenggara layanan publik. Penyusunan standar pelayanan dilakukan berdasarkan pedoman dari peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara. Dalam Pasal 24 ayat (2) PP Nomor 96 Tahun 2012 ditentukan bahwa Penyiapan rancangan Standar Pelayanan harus berorientasi pada peningkatan kualitas pelayanan dengan tidak memberatkan Penyelenggara. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa adanya Standar pelayanan dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat. Rasio dari hal tersebut adalah bahwa pelayanan itu demi kesejahteraan masyarakat, dan yang namanya kesejahteraan selalu meningkat (progresif). Menurut Atep Adya Bharata, terdapat empat unsur penting dalam proses pelayanan publik, yaitu penyedia layanan, penerima layanan, jenis layanan, dan kepuasan pelanggan.13 Keempat hal tersebut saling berkaitan dan sangat penting dalam soal layanan kepada masyarakat.

Menurut Pasal 31 PP Nomor 96 Tahun 2012, baik penyelenggara maupun Masyarakat wajib menggunakan Standar Pelayanan sebagai tolok ukur dan acuan penilaian

kualitas penyelenggaraan pelayanan. Mengingat begitu pentingnya posisi standar pelayanan, maka sudah barang tentu standar pelayanan ini mesti harus ada pada setiap jenis pelayanan publik, oleh karena itu dalam PP tersebut diwajibkan kepada setiap penyelenggara layanan publik untuk membuatnya. Pedoman penyusunan standar pelayanan diatur dalam Permenpan-RB No.15 Tahun 2014 tentang Pedoman Standar Pelayanan.

Pelayanan Publik merupakan pemenuhan keinginan dan kebutuhan masyarakat oleh penyelenggara negara. Negara didirikan oleh publik (masyarakat) tentu saja dengan tujuan agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.14 Agar pelayanan publik berjalan dengan baik, kualitasnya tetap terjaga atau bahkan meningkat yang pada akhirnya dapat memberikan kepuasan kepada masyarakat, maka diperlukan adanya upaya pengawasan dan evaluasi. Dalam hal ini menurut PP Nomor 96 Tahun 2012 Standar Pelayanan harus dievaluasi setiap 3 tahun sekali. Oleh karena itu evaluasi mesti dilakukan. Dalam hubungan dengan kebutuhan tersebut maka ada survey kepuasan masyarakat. Survey kepuasan masyarakat dalam rangka pelayanan publik diatur dalam Permenpan-RB Nomor 14 Tahun 2017 tentang Pedoman Penyusunan Survei Kepuasan Masyarakat Unit Penyelenggara Pelayanan Publik.

Pelayanan yang diberikan oleh Lapas kepada narapidana tipikor sering ditengarai dilakukan dengan memberikan pelayanan istimewa. Hal tersebut seperti sudah menjadi hal yang biasa karena sering diberitakan. Perlakuan istimewa dapat berupa pemberian fasilitas yang berbeda, pemberian perlakuan yang berbeda juga menyangkut tempat yang lebih bersih dan nyaman, ukuran yang lebih luas, dengan posisi yang lebih enak, soal remisi, kemudahan menerima kunjungan, atau bahkan kemudahan untuk keluar masuk Lapas dengan berbagai alasan dan keperluan. Terhadap hal tersebut sering menjadi sorotan. Pendapat yang pro-kontra atas pemberian remisi terhadap koruptor misalnya menurut Berlian timbul sebagai akibat dari adanya pandangan yang menganggap bahwa pidana yang dijatuhkan hakim dalam putusannya kepada para koruptor masih (sangat) rendah dan jauh dari harapan masyarakat sesuai dengan sifat jenis tindak pidana itu.15

Temuan Ombudsman melalui sidak (inspeksi mendadak) menemukan beberapa perlakuan istimewa antara blok yang dihuni narapidana kasus korupsi dengan narapidana umum. Di Lapas Cibinong, narapidana tipikor ditempatkan pada blok Bravo, sedangkan narapidana umum (selain tipikor) di blok Alpha, Charlie, dan Delta.16

Pelayanan istimewa tidak sama dengan pelayanan prima. Sesuai dengan prinsip dasar pelayanan publik, maka dalam penyelenggaraan layanan publik tidak diperkenankan adanya perlakuan yang diskriminatif, karena hal tersebut bertentangan dengan prinsip persamaan dan keadilan. Dalam pelayanan publik yang prima ada fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan. Pemberian kemudahan terhadap kelompok

rentan tersebut menyesuaikan keadaan dari yang bersangkutan sebagai konsumen layanan publik, sehingga tercipta keadilan dalam pelayanan. Dalam hal ini memang ada pengkhususan, sehingga ada yang menyebut sebagai diskriminasi positif.

Pelayanan prima dilakukan oleh penyelenggara pelayanan publik dengan mengindahkan standar pelayanan yang di dalamnya terkandung prinsip non diskriminasi. Dengan pelayanan yang non diskriminatif tersebut maka masyarakat mendapat keadilan dan kesamaan yang juga secara konstitusional dengan jelas ditentukan sebagaimana tertera dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945: Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya. Menurut Lewis dan Gilman pelayanan publik yang adil dan dapat dipertanggung-jawabkan menghasilkan kepercayaan publik. Dibutuhkan etika pelayanan publik sebagai pilar dan kepercayaan publik sebagai dasar untuk mewujudkan pemerintah yang baik.17 Pelayanan publik yang prima (excellent) merupakan tanda dari kesadaran baru dari pemerintah atas tanggung jawab utama dalam mengelola pemerintahan dan memenuhi kebutuhan masyarakat agar dapat lebih memuaskan masyarakat pengguna layanan, maka perlu perubahan mindset seluruh aparatur pelaksana pelayanan publik sebagai langkah awal pelayanan yang prima tersebut.18

Menurut Ferdy Saputra pembinaan di Lapas terkesan hanya menitikberatkan pada pelaksanaan pembinaannya saja, bukan agar tujuan dari pembinaan itu tercapai. Hal ini disebabkan karena kurangnya pengawasan yang dilakukan oleh Ka Lapas.19 Apabila hal seperti itu terjadi maka tentu kualitas layanan menjadi sesuatu yang masih perlu mendapatkan perhatian.

  • 3.2    Pelayanan Bagi Narapidana Korupsi Di Lapas Sleman dan Kota Yogyakarta

    3.2.1    Lapas Kabupaten Sleman

Berdasarkan database yang ada dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, pada tahun 2021 ini jumlah narapidana yang menjadi warga binaan yang ada di Lapas Kelas IIB Kabupaten Sleman sejumlah 153 orang. 20 Sebelumnya memang pernah dilakukan pembinaan terhadap warga binaan kasus khusus korupsi ketika Lapas ini di dalamnya terdapat warga binaan kasus korupsi.

Lapas Kabupaten Sleman dalam melakukan pelayanan sudah dilengkapi dengan standar pelayanan. Hal tersebut sejalan dengan ketentuan PP Nomor 96 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Layanan Publik.

Ketentuan tersebut menegaskan bahwa penyelenggara layanan publik tidak hanya berhenti pada mempunyai standar pelayanan, melainkan harus menerapkan standar

pelayanan yang sudah dimilikinya itu. Lebih lanjut juga ditentukan bahwa pelibatan masyarakat dalam penyusunan standar pelayanan dilaksanakan dengan mengindahkan prinsip tidak diskriminatif, mempunyai kaitan langsung dengan jenis pelayanan, sekaligus memiliki kompetensi.

Terhadap banyaknya sorotan terkait pelayanan kepada narapidana kasus korupsi di Lapas, narasumber berpandangan bahwa pada prinsipnya di semua Lapas sudah memiliki standar pelayanan tanpa harus membedakan kasus ataupun strata sosialnya. Di Lapas Kabupaten Sleman tidak ada pembedaan perlakuan terhadap semua warga binaan, termasuk dengan warga binaan yang terkena kasus korupsi. Hal tersebut dikemukakan oleh Rajindra Pragnya.PJ.A.Md.I.P.SH.MH., Kepala Seksi Administrasi Ketentraman dan Ketertiban pada Lembaga Pemasyarakatan Kabupaten Sleman, dalam wawancara pribadi 3 Maret 2021.

Berkaitan dengan umpan balik dari masyarakat, Lapas Kabupaten Sleman telah melakukan survey kepuasan pelanggan. Survey tersebut dilakukan dengan sasaran warga binaan, keluarga warga binaan, maupun stake holder terkait. Survey dilakukan dengan cara memberikan kuesioner kepada subjek sasaran, dan juga menyediakan kotak saran di Lapas. Survey tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan IPK (Indeks Penilaian Kepuasan) dan IKM (Indeks Kepuasan Masyarakat). Kuesioner tersebut berisi 17 pertanyaan dan isian, yang antara lain menyangkut jenis layanan, kemudahan prosedur, biaya pelayanan, waktu pelayanan, respons petugas, kemampuan petugas, soal pungutan liar, soal percaloan dan sebagainya.

Laporan hasil survei IKM dan IPK Januari, Februari dan Maret 2021 menyebutkan bahwa IKMdan IPK sangat baik. Hal tersebut juga termasuk dalam soal Integritas, Indeks system anti korupsi, Indeks SDM Indeks Anggaran, Indeks Aturan dan Norma.21

Dari hasil survey yang dipublikasikan tersebut terlihat bahwa semua unsur penilaian mendapatkan nilai yang sangat baik. Hal tersebut juga menyangkut persoalan yang selama ini banyak disorot publik di media masa, seperti soal integritas, soal anggaran, korupsi, dan sebagainya. Apa yang dilakukan di Lembaga ini tentu bukan kerja yang singkat, melainkan melalui proses panjang yang dilakukan dengan kesungguhan dari semua yang terlibat. Warga binaan beserta keluarganya dapat menilai sesuai dengan apa yang mereka alami dan mereka rasakan. Dari sisi manajemen pengelolaan, survey tersebut dapat membantu evaluasi dan perencanaan sehingga pelaksanaan program kerja bisa berjalan dengan baik.

Salah satu hal yang ada dalam kuesioner survey adalah soal kritik dan saran. Dengan adanya kritik dan saran yang diberikan oleh warga binaan beserta keluarganya diharapkan memberi masukan kepada pimpinan dan Lembaga untuk meningkatkan kualitas layanan sesuai dengan yang diharapkan. Sayangnya hasil dari kritik dan saran tersebut peneliti tidak menemukan dipublikasikan di website Lembaga. Kiranya hal seperti itu penting untuk mendapatkan perhatian, mengingat bahwa apa yang disarankan dan diberikan masukan diharapkan ditindaklanjuti dengan baik.

Lapas Sleman juga memberikan layanan pengaduan bagi masyarakat yang ingin menyampaikan keluhan dan saran terkait layanan kunjungan dan layanan penghuni. Keluhan dan saran disampaikan melalui kotak pengaduan yang ada di beberapa sudut ruangan maupun secara langsung di ruang layanan informasi serta dapat melalui WA pengaduan. Pengaduan dibawa dalam forum sidang TPP setiap bulan untuk dicarikan solusi dan tindak lanjut, dan dipublikasikan di papan informasi yang terletak di ruang kunjungan dan wisma hunian.22 Penyediaan sarana aduan dan penanganan terhadapnya ini sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 18 ayat (c) UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik bahwa masyarakat berhak mendapatkan tanggapan terhadap pengaduan yang diajukan.

Sesuai dengan ketentuan UU Pelayanan Publik maka Lapas Sleman juga mempublikasikan prosedur pelayanan. Bukan hanya itu, dalam pelayanan publik ada yang lebih penting dari itu yakni pelaksana layanan publik yang sangat menentukan mutu layanan, oleh karena itu harus mempunyai komitmen yang baik, yang dituangkan dalam maklumat pelayanan. Lapas Sleman mempublikasikan maklumat pelayanan misalnya dalam laman: (http://lapassleman.kemenkumham.go.id/).

  • 3.2.2    Lapas Kota Yogyakarta

Lapas Kelas II A Kota Yogyakarta memberikan layanan yang begitu banyak. Produk layanan tersebut di antaranya berupa layanan kunjungan, layanan informasi, dan layanan pengaduan.23

Menurut Sukamto. Aks, Kasubdit Bimaswat, Lapas Wirogunan Yogyakarta, disebutkan bahwa narapidana koruptor pria di LP Wirogunan yang perempuan dipisah dan ditempatkan di LP Wonosari. Perlakuan mengenai kegiatan, kamar, fasilitas kesehatan, makanan, pakaian, dan lain-lain sama dengan narapidana kriminal lainnya, hanya saja kamarnya dipisahkan dengan kamar/sel pelaku kriminal biasa untuk memudahkan pembinaan. Umumnya koruptor itu sudah lanjut usia, maka hanya dibedakan untuk fasilitas kamar mandi, wc duduk/bukan jongkok, dan jenis kegiatan disesuaikan dengan usia narapidana.

Narapidana laki-laki tindak pidana korupsi yang ada di LP. Kelas II A Yogyakarta pada bulan April 2021 berjumlah 34 orang. Data pada bulan April 2021 ada 6 Narapidana wanita tindak pidana korupsi yang ada di LP. Wonosari.24

Lapas Kota Yogyakarta melaksanakan survei kepuasan masyarakat dengan cara meminta pendapat pengunjung mengisi angket yang di dalamnya terdapat sembilan unsur yang harus dinilai responden, berupa kemudahan mendapatkan pelayanan, kesesuaian pelayanan, ketepatan pelayanan, biaya pelayanan, prosedur pelayanan, kemampuan petugas memberikan pelayanan, sikap petugas, pemasangan maklumat,

dan pengadaan sarana pengaduan. 25     Selain sembilan unsur tersebut, dalam

survey juga ditampilkan indeks kepuasan masyarakat secara umum terhadap pelayanan kunjungan di Lapas Kelas IIA Yogyakarta. Survey masyarakat yang melakukan kunjungan, baik yang mengunjungi warga binaan pemasyarakatan, atau karena kunjungan lain tersebut dilakukan dengan maksud untuk mendapat gambaran tentang tingkat kepuasan masyarakat mendapatkan pelayanan publik dalam hal pelayanan kunjungan, dan ingin mengetahui kemungkinan adanya tindakan pungutan liar oknum petugas di Lapas Kelas IIA Yogyakarta.

Tidak seluruh pengunjung dijadikan responden, tetapi dipilih dengan menggunakan teknik nonrandom sampling berupa teknik kuota. Terhadap 9 unsur yang disurvei, misalnya dalam kwartal pertama tahun 2020 dilaporkan kemudahan mendapatkan pelayanan, kesesuaian pelayanan, ketepatan pelayanan, biaya pelayanan, prosedur pelayanan, kemampuan petugas memberikan pelayanan, sikap petugas, pemasangan maklumat, dan pengadaan sarana pengaduan semuanya sangat baik. Kesembilan item penilaian tersebut bernilai A yaitu “sangat baik”.

Memasuki masa pandemi Covids 19, Lapas tetap melakukan survey, dengan sasaran yang agak berbeda. Responden survei berupa masyarakat yang telah melakukan kunjungan online (Video Call) kepada Warga Binaan Pemasyarakatan, atau karena kunjungan lain. Tidak seluruh pengunjung dijadikan responden, tetapi dipilih dengan menggunakan teknik nonrandom sampling berupa teknik Kuota, yaitu memilih responden tidak dengan sistem acak dan telah ditentukan jumlah respondennya. Sebagai gambaran, pada bulan Januari 2021 survei dilakukan terhadap 51 responden, Februari 2021 terhadap 41 responden, Maret 2021 dilakukan terhadap 36 responden. Hasil dari survei tersebut baik terhadap IKM maupun Sangat Baik (A).26

Lapas Kelas IIA Yogyakarta dalam survey mendapatkan berbagai masukan dan umpan balik dari para responden yang dikategorikan menilai bahwa sudah sangat bagus, ada yang perlu ditingkatkan, ada yang perlu diperbaiki, sampai ada yang memang melihatnya masih kurang atau bahkan ada yang menilainya sebagai sesuatu yang buruk. Tanggapan yang bernada pujian/apresiasi, saran peningkatan, saran perbaikan, saran pengadaan, misalnya untuk agar memasang wifi gratis untuk penunggu, dan toilet diberi pengharum ruangan, dan juga engajukan pertanyaan mengenai cara agar bisa mengirim makanan untuk warga binaan, juga mengapa pintu toilet di ruang kunjungan dikunci.27

Tanggapan dan pendirian dari pihak yang diteliti oleh Lapas tersebut bisa dikatakan sebagai gambaran pendapat dan pendirian para warga binaan beserta keluarganya yang menjadi konsumen layanan publik dari Lapas.

Lapas Kota Yogyakarta berupaya melakukan peningkatan kualitas pelayanan publik merupakan suatu upaya untuk meningkatkan kualitas dan inovasi pelayanan publik pada masing-masing instansi pemerintah secara berkala sesuai kebutuhan dan

harapan masyarakat sekaligus membangun kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara pelayanan publik dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam hal ini dengan menjadikan keluhan masyarakat sebagai sarana untuk melakukan perbaikan pelayanan publik. Target yang ingin dicapai melalui program peningkatan kualitas pelayanan publik ini adalah meningkatnya kualitas pelayanan publik (lebih cepat, lebih murah, lebih aman, dan lebih mudah dijangkau) pada instansi pemerintah, meningkatnya jumlah unit pelayanan yang memperoleh standardisasi pelayanan internasional pada instansi pemerintah, dan meningkatnya indeks kepuasan masyarakat terhadap penyelenggaraan pelayanan publik oleh masing-masing instansi pemerintah.28

Relevan dengan survey yang telah dilakukan oleh Lapas Kota Yogyakarta, maka pendapat dan masukan dari penelitian tersebut menjadi point konkrit untuk mendapatkan perhatian. Dalam rangka peningkatan kualitas layanan publik maka yang mesti ditindaklanjuti tentu terhadap penilaian yang masih kurang seperti misalnya hal-hal yang berkaitan dengan saran peningkatan, saran perbaikan, saran pengadaan, sekaligus juga menjawab pertanyaan mereka.

Lapas Kelas IIA Kota Yogyakarta menyediakan sejumlah SOP. SOP tersebut memiliki kekuatan sebagai petunjuk atau direktif. Hal ini mencakup hal-hal dari operasi yang memiliki prosedur pasti atau terstandardisasi, tanpa kehilangan keefektifannya. Setiap sistem manajemen kualitas yang baik selalu didasari oleh POS, ada pun SOP di Lapas Kelas IIA Yogyakarta antara lain SOP Kunjungan Online, SOP Layanan Informasi Integrasi Online, SOP Layanan Pengaduan, SOP Asimilasi Tindak Pidana Tertentu, dan SOP lainya yang jumlahnya lebih dari 20 macam. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Andari Rizky, bahwa Lapas dapat dikatakan berhasil apabila tidak ada hal-hal penyimpangan, kerusuhan, pemberontakan dan pelarian serta penegakan peraturan dan Standar Operasional Prosedur (SOP) di dalam Lapas. 29 Dengan demikian SOP menjadi hal yang sangat urgen dalam Lapas.

Menurut Sukamto. Aks, Kasubdit Bimaswat, Lapas Wirogunan, perlakuan terhadap warga binaan semua sama. Untuk fasilitas semua juga sama. Untuk warga binaan yang lanjut usia diberikan perhatian dengan memberikan tempat yang memungkinkan yang bersangkutan dapat melakukan aktivitas dengan baik. Untuk narapidana korupsi tetap diperlakukan sama. Ada kemungkinan mereka mempunyai kemampuan kalau mau memberi bantuan silahkan diberikan untuk masjid atau gereja di dalam Lapas. Pegawai Lapas mengkomunikasikan kepada para warga binaan agar jangan sampai karena ulah mereka, menjadikan pegawai Lapas berubah menjadi penghuni, karena para pegawai tersebut telah mendapat remunerasi yang cukup. Hal tersebut dikemukakan Sukamto, SIP. Kasubdit Bimaswat, Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan, dalam Kuliah umum tentang Optimalisasi pembinaan warga binaan di LP Wirogunan, Yogyakarta beserta kendalanya, 9 Juni 2021. Di Lapas warga binaan masuk ke sana menjalani proses sesuai dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, dan juga Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan Dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak

Warga Binaan Pemasyarakatan. Proses yang dilakukan di Lapas dilaksanakan dalam 3 tahapan.

Pertama ketika masuk, ini masuk tahapan awal, dilakukan dengan menerapkan maximum security, karena dalam tahap ini sebenarnya bisa dikatakan sebagai tahap untuk mengenal warga binaan baru tersebut. Tahap awal ini berlangsung dari 0 - 1/3 masa tahanan. Setiap warga binaan yang masuk ada walinya bertugas mengayomi, mendampingi, mengingatkan, menjaganya dari awal sampai akhir, itulah tugas wali pemasyarakatan.

Tahap kedua masuk tahap medium security, yakni setelah yang bersangkutan selesai menjalani proses tahap pertama sampai 1/2 masa tahanan. Dalam tahap ini pengawasan sudah agak dilonggarkan/dikendorkan. Pembinaan setelah dari ½ sampai 2/3 masa tahanan. Ini merupakan proses yang melanjutkan medium security. Diharapkan setelah tahap ini berakhir pembinaanya maka akan dilakukan pembebasan bersyarat, atau cuti bersyarat, atau cuti menjelang bebas pada 2/3 plus 1 hari. Kalau 2/3 itu tingkah lakunya baik berarti dia bebas.

Mereka merasa senang, karena merasa “diwongke” (dihargai sebagai manusia), bukan karena makanannya tetapi disadarkan akan dirinya, di sini malah mereka bisa doa rutin. Yang muslim, yang Kristen, Katolik, Hindu, Buda, semua dapat kesempatan dan terlaksana dengan baik. Mereka juga dapat kontak dengan keluarga, dalam seminggu yang tidak ada hanya hari Jumat dan hari Selasa. Kalau ada keluarganya yang akan menghubungi warga binaan juga disediakan web khusus. Perkembangan yang ada di LP juga disampaikan ke keluarga. Hal ini agar kontak dengan keluarga tetap terjaga. Keberhasilan pemasyarakatan sangat ditentukan oleh tiga pihak yakni warga binaan, keluarga, dan masyarakatnya. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Desy Maryani, yang menyatakan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan tidak tercapainya tujuan pemasyarakatan di antaranya faktor kelembagaan, faktor penegak hukum, faktor sarana dan fasilitas, faktor hukum, masyarakat dan budaya.30 Untuk memberi layanan yang baik dalam Lapas juga ada perpustakaan yang terhubung dengan perpustakaan daerah. Dua bulan sekali koleksi perpustakaan diperbarui, dengan meminta perpustakaan daerah.

Tahap ketiga masuk tahap minimum security, untuk menyiapkan warga binaan kembali ke masyarakat. Persiapan integrasi warga binaan dengan masyarakat itu yang harus dipersiapkan karena mereka seringkali mendapatkan stigma tertentu dari masyarakat. Jadi asimilasi sebenarnya berlangsung dua kali yakni ketika masuk ke Lapas dan ketika mau Kembali ke masyarakat. Layanan tidak hanya diberikan kepada warga binaan, dari masyarakat juga boleh masuk ke LP ini, untuk berbagai keperluan. Untuk masa pandemic ini pihak Lapas memang memberikan pembatasan mengingat itu sangat riskan, terutama bagi warga binaan yang lebih dari 340 orang itu.

Kaitanya dengan standar pelayanan yang ada di LP Wirogunan, penyusunan dan sebelum dilakukan penerapannya maka disosialisasikan ke warga binaan. Kalau ada warga binaan dan keluarga yang belum jelas mereka biasanya masuk ke web Lapas. Seperti untuk layanan, untuk pengaduan, bina lingkungan dan sebagainya. Untuk itu

Standar pelayanan disosialisasikan, karena kalau tidak disosialisasikan selain menyalahi aturan juga rasa tanggung jawab mereka yang terlibat juga kurang.

Tanggapan dari warga binaan, kalau bisa langsung ditindaklanjuti hari itu juga. Follow up dari aduan dapat dipantau, karena kalau aduan terus diabaikan maka dapat menyebabkan nilai pelayanan merah. Oleh karena itu mesti akan segera ditindaklanjuti, sejauh itu informasi aduan itu akurat. Untuk semua warga binaan dan pegawai itu diberikan standar tertentu, misal untuk masuk ke lembaga tidak diperkenankan membawa dan mengaktifkan HP. Untuk video call memang dibatasi terutama untuk mereka yang kangen keluarga tetapi tidak punya uang, untuk mengatasi itu ada wartelsus yang berbayar. Wartelsus disediakan di blok depan dan dibelakang. Seperti yang dikatakan Simon, bahwa kepada warga binaan mesti dilakukan pengayoman, yakni perlakuan kepada warga binaan pemasyarakatan dalam rangka melindungi masyarakat dari pengulangan perbuatan pidana oleh Warga Binaan dengan cara memberikan pembekalan melalui proses pembinaan.31 Di sisi lain menurut Ramadhanu dan Padmono wibowo pemenjaraan ini tidak boleh memberikan efek penderitaan lebih dari kehidupan sebelum pelaku masuk ke dalam Lapas, sesuai dengan Standar Minimum Rules For The Treatment Of Prisoners.32 Hal tersebut senada dengan yang disampaikan Penny, bahwa rogram reintegrasi sosial bertujuan untuk mengembalikan Warga Binaan Pemasyarakatan kembali bersosialisasi di tengah-tengah masyarakat sebagai seorang yang pernah terkena masalah hukum tanpa harus memberikan stigma negatif terhadap perbuatan atau kesalahan yang telah mereka buat dengan pembinaan yang mereka dapatkan di Lapas.33

Narapidana tipikor diperlakukan sama dengan narapidana yang lain. Mulai dari orientasi awal sudah diperlakukan sama. Kalau mau memberi dibolehkan untuk membantu gereja, masjid tempat ibadah di dalam. Ini juga ada jaksa dari Solo juga begitu, kepada mereka selalu dipesan, karena kalau mereka mau macam-macam nanti bisa mencelakakan petugas. Karena tipikor rata-rata orang terdidik, maka pembinaanya dilakukan secara tepat di awal. Kalau warga binaan yang umum itu tidak. Sebagai contoh lain ada narapidana yang ingin jadi justice collaborator maka itu kan dipersidangan, ketika di Lapas tidak ada. Kalau mereka menghendaki itu maka harus kembali minta jaksa. Semua diperlakukan sama dan tidak ada permintaan lagi sejauh ini.

  • 3.3    Pembenaran perlakuan istimewa terhadap Narapidana di Lapas

Apakah semua perlakuan istimewa dilarang? Pertanyaan tersebut menarik dan menggelitik. Setiap orang sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang bermartabat membutuhkan perlakuan yang baik. Dari sisi bahasa, kata “istimewa” dapat diartikan

sebagai “lain daripada yang lain.”34 “Mengistimewakan” menjadikan (memandang, mem-perlakukan, dan sebagainya) istimewa. Perlakuan yang lain daripada yang lain tersebut dalam hal terentu sering dikonotasikan sebagai perlakuan yang tidak baik, tidak wajar dan tidak adil bagi yang lain.

Setiap orang mempunyai hak dasar yang melekat pada pribadinyayang harus diakui dan dihormati, serta tidak boleh terganggu demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM). Hak asasi manusia harus dihormati dan tidak boleh diberlakukan secara diskriminatif.

Tidak semua perlakuan berbeda memang dianggap tidak baik dan benar, karena dalam soal perlakuan yang berbeda juga dikenal adanya diskriminasi positif atau affirmative action. Di tingkat global, sebenarnya isu tentang affirmative action tersebut telah populer pada pertengahan abad ke-20. Amerika Serikat misalnya, telah miliki sejarah lebih lama dan kompleks tentang affirmative action.35

Diskriminasi positif atau affirmative action secara konstitusional diatur dalam Pasal 28H ayat (2) UUD 1945, bahwa Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Ketentuan yang sama juga diatur dalam Pasal 5 ayat (3) UU HAM, yang menentukan bahwa setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya. Pada bagian penjelasan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan: kelompok masyarakat yang rentan” atara lain adalah orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil, dan penyandang cacat.” Dalam Pasal 41 ayat (2) Undang-undang tersebut juga ditentukan: “Setiap penyandang cacat, orang yang berusia lanjut, wanita hamil, dan anak-anak, berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus.” Pada bagian penjelasan ditentukan bahwa yang dimaksud dengan “kemudahan dan perlakuan khusus” adalah pemberian pelayanan, jasa atau penyediaan fasilitas dan sarana demi kelancaran, keamanan, kesehatan, dan keselamatan.”

Hal tersebut tentu juga dapat dihubungkan dengan pelayanan bagi warga binaan di Lapas. Warga binaan yang kebetulan sedang menghadapi persoalan hukum terkait kasus korupsi dalam hidupnya merupakan pribadi yang mempunyai hak tertentu sehingga hal tersebut menarik untuk dicermati.

  • 3.3.1    Karena Sakit

Kondisi kesehatan bisa merupakan alasan yang secara umum menjadi pertimbangan untuk memberikan perlakuan khusus bagi orang tertentu. Dalam hal warga binaan keadaannya sedang menderita sakit menurut Pasal 14-17 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan maka Setiap Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang layak. Setiap Lapas menyediakan poliklinik beserta fasilitasnya dan disediakan sekurang-kurangnya seorang dokter dan seorang

tenaga kesehatan lainnya. Pelayanan kesehatan dilakukan oleh dokter Lapas. Dalam hal dokter berhalangan, maka pelayanan Kesehatan tertentu dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan lainnya. Dalam hal penderita sakit tersebut memerlukan perawatan lebih lanjut, maka dokter Lapas memberikan rekomendasi kepada Kepala Lapas agar pelayanan kesehatan dilakukan di rumah sakit umum Pemerintah di luar Lapas. Pelayanan kesehatan bagi penderita di rumah sakit harus mendapat izin tertulis dari Kepala Lapas. Penderita yang dibawa dan dirawat di rumah sakit wajib dikawal oleh Petugas Lapas dan bila diperlukan dapat meminta bantuan petugas kepolisian. Biaya perawatan kesehatan di rumah sakit bagi penderita dibebankan kepada negara. Dalam hal ada Narapidana atau Anak Didik Pemasyarakatan yang sakit, maka Kepala Lapas harus segera memberitahukan kepada keluarganya. Ketentuan tersebut menggambarkan bahwa bagi warga binaan yang menderita sakit dirawat berdasarkan standar dan prosedur tertentu binaan lain yang sehat, maka bila warga binaan sedang menderita sakit dapat diperlakukan khusus (berbeda) dalam rangka untuk mendapatkan kesehatan dan kesembuhannya kembali, bahkan memungkinkan untuk dirawat di luar Lapas.

  • 3.3.2    Karena usia lanjut

Di Indonesia ada ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia yang mengatur bahwa seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas dapat dikategorikan sebagai lanjut usia. Menarik bila memperhatikan konsiderans menimbang huruf b dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tersebut yang menyatakan: “bahwa walaupun banyak diantara lanjut usia yang masih produktif dan mampu berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, namun karena faktor usianya akan banyak menghadapi keterbatasan sehingga memerlukan bantuan peningkatan kesejahteraan sosialnya.”

Orang lanjut usia dikonotasikan sebagai orang yang menghadapi banyak keterbatasan sehingga layak untuk mendapatkan bantuan peningkatan kesejahteraan sosialnya. Hal tersebut tidak dapat diwujudkannya lagi seperti ketika yang bersangkutan masih muda dan mempunyai kemampuan yang memadai. Sebagai contoh misalnya di Lapas ada kemungkinan disediakan kursi roda untuk membantu mobilitas warga binaan yang usia lanjut. Menurut Shinta Julianti tidak terwujudnya pemenuhan hak-hak lansia salah satunya karena adanya pandangan dan sikap masyarakat yang merendahkan lansia itu sendiri, yang merupakan hasil dari sebuah konstruksi sosial di dalam masyarakat.36

  • 3.3.3    Karena kebutuhan khusus

Dalam kaitan dengan penyelenggara pelayanan publik asas-asas yang perlu diperhatikan oleh penyelenggara sebagaimana diatur dalam Pasal 4 UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, di antaranya termuat dalam huruf j, yakni Asas Fasilitas dan Perlakuan Khusus bagi Kelompok Rentan. Asas fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan berarti pemberian kemudahan terhadap kelompok rentan sehingga dapat tercipta keadilan dalam pelayanan.

Dalam kaitannya dengan Penyandang Disabilitas, Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Internasional Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas (Convention On The Rights of Persons with Disabilities) yang telah disahkan melalui UU Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On The Rights of Persons with Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas). Dalam Pasal 4 disebutkan bahwa negara wajib untuk menjamin dan memajukan realisasi penuh dari semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental bagi semua Penyandang Disabilitas tanpa diskriminasi dalam segala bentuk apapun yang didasari oleh disabilitas. Dengan UU Nomor 19 Tahun 2011, maka Pemerintah Indonesia, mempunyai konsekuensi untuk membuat kebijakan sesuai dengan yang diharuskan dalam konvensi tersebut. Selain aturan tersebut menurut Pasal 18 ayat (1) PP Nomor 42 Tahun 2020 Penyelenggara Pelayanan Publik wajib memberikan pelayanan publik dengan fasilitas dan perlakuan yang optimal, tanpa diskriminasi bagi Penyandang Disabilitas.

  • 3.3.4    Wanita hamil

Perlakuan afirmatif terhadap wanita hamil dapat didasarkan Pasal 41 ayat (2) dan Pasal 49 ayat (2) dan (3) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang intinya bahwa setiap penyandang cacat, orang yang berusia lanjut, wanita hamil, dan anak-anak, berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus. Wanita berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi wanita. Hak khusus yang melekat pada diri wanita dikarenakan fungsi reproduksinya, dijamin dan dilindungi oleh hukum. Yang dimaksud dengan “perlindungan khusus terhadap fungsi reproduksi” adalah pelayanan kesehatan yang berkaitan dengan haid, hamil, melahirkan, dan pemberian kesempatan untuk menyusui anak.

Selain ketentuan tersebut pemberian perlakuan yang bernada diskriminasi positif khususnya terhadap wanita, juga terdapat dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) Lampiran Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi Terhadap Wanita, Undang-Undang Nomor 68 Tahun 1958 tentang Persetujuan Konvensi Hak-Hak Politik Kaum Wanita.

Dihubungkan dengan persoalan perlakuan istimewa terhadap narapidana kasus korupsi di Lapas, maka mesti harus cermat apakah diskriminasi negatif atau diskriminasi positif. Perlakuan istimewa yang diberikan kepada narapidana pelaku tindak pidana kasus korupsi yang banyak disorot oleh media mengakibatkan adanya ketidaksetaraan dan ketidakadilan. Bila hal tersebut dihubungkan dengan bekerjanya hukum kiranya menarik pendapat Iwan Irawan yang mengatakan bahwa hukum adalah aturan yang wajib ditaati, karenanya jika ada yang melanggar hukum harus ditindak tegas dan harus memberi efek jera agar sang pelaku tidak mengulangi perbuatannya itu. Hukum di Indonesia harus mampu mengajarkan warga negaranya untuk mematuhi hukum melaui aparat penegak hukum yang berlaku jujur, adil, dan terbuka kepada rakyat, agar rakyat merasa mempunyai hak yang sama atas hukum.37

Dalam soal pemasyarakatan khususnya terhadap narapidana kasus korupsi, Sirjon Nansi berpendapat bahwa merekonstruksi ulang regulasi bidang pemasyarakatan narapidana korupsi adalah hal urgen. 38 Bagaimanapun juga perlu diingat bahwa tuntutan terus berkembang, demikian juga soal pelayanan terhadap narapidana korupsi di Lapas.

Perlakuan diskriminasi positif menyebabkan adanya pemenuhan hak-hak dasar manusia secara adil. Warga binaan di Lapas, dapat diberikan perlakuan istimewa bila hal tersebut merupakan diskriminasi positif. Hal tersebut tentu berlaku juga terhadap warga binaan kasus korupsi yang kebetulan memenuhi kriteria untuk mendapatkan perlakuan afirmatif positif, siapapun mereka.

  • 4.    Kesimpulan

Dapat disimpukan bahwa pelayanan prima bagi narapidana kasus korupsi mesti memperhatikan aturan yang berlaku dalam layanan publik, didasarkan pada standar pelayanan yang disusun dengan melibatkan stake holder, warga binaan, dan masyarakat sebagai konsumen layanan publik. Pelayanan bagi narapidana kasus korupsi di Lapas Kelas IIB Kabupaten Sleman dan Lapas Kelas IIA Kota Yogyakarta sudah dilaksanakan dengan mengacu regulasi pelayanan publik, dan tidak ditemukan perlakuan istimewa kepada narapidana kasus korupsi. Perlakuan yang berbeda diberikan kepada mereka yang lanjut usia, sakit, difabel, berdasarkan prinsip keadilan yang mencerminkan diskriminasi positif. Diskriminasi positif atau affirmatif action berupa perlakuan berbeda diberikan kepada narapidana lanjut usia, yang sedang sakit, penyandang difabilitas dan wanita diberikan tidak hanya kepada narapidana kasus korupsi saja. Secara konstitusional dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku memang dibenarkan pemberian perlakuan diskriminasi positif tersebut. Sesuai konsep dan filosofi pemasyarakatan yang bukan lagi memenjarakan orang melainkan untuk menyadarkan orang yang keliru sebenarnya ideal bila Lapas didesain untuk memperlakukan warga binaan, termasuk terpidana kasus korupsi lebih manusiawi, baik dari perlakuan, sarana prasarana, ketercukupan fasilitas, kemudahan berinteraksi dengan keluarga di Lapas, dan sebagainya. Persoalan teknis masih seringkali muncul soal pendanaan, kesiapan sistem, keterbatasan pegawai Lapas, ketegasan, dan lainya yang berujung perlakuan tidak manusiawi yang kurang adil.

Daftar Pustaka

Alba, Ropriyadi. “Fasilitas Istimewa Napi Korupsi Di Lapas Cibinong.” Kompas Nasional,                                                               2019.

https://www.kompasiana.com/ropiyadi19360/5e07723dd541df7ba34ef314/fas ilitas-istimewa-napi-korupsi-di-lapas-cibinong.

Arnadwiyanto, Ramadhanu Andika Setyo. “Implementasi Kebijakan Pengamanan Standart Minimum Rules For The Treatment Of Prisoners Untuk Narapidana Korupsi Pada Masa Pandemi Covid-19.” Justitia: Jurnal Ilmu Hukum Dan Humaniora         8,         no.         2         (2021):         167–75.

https://doi.org/https://doi.org/http://dx.doi.org/10.31604/justitia.v8i2.h.16 7-175.

Barata, Atep Adya. Dasar-Dasar Pelayanan Prima. Elex Media Komputindo, 2003.

C.Gilman, Lewis Carol W and Stuart. The Ethics Challenge in Public Service: A Problem Solving Guide Market Street. San Fransisco: Wiley, 2012.

Gulo, Nimerodi. “Meninjau Ulang Sistem Pembinaan Narapidana Korupsi Di Indonesia.” Jurnal Hukum Legalita 1, no. 1   (2019):   33–45.

https://doi.org/https://doi.org/https://doi.org/10.47637/legalita.v1i1.

Hariadi, Agus. “Suatu Dilema Dalam Pembinaan Narapidana Koruptor Di Lembaga Pemasyarakatan.” Jurnal Legislasi Indonesia 13, no. 3  (2018):  297–308.

https://doi.org/https://doi.org/https://doi.org/10.54629/jli.v13i3.

Irawan, Iwan. “Penegakan Hukum Yang Adil Untuk Mengatasi Korupsi Membangun Ketahanan Nasional.” Binus University, 2020. https://binus.ac.id/character-building/2020/05/penegakan-hukum-yang-adil-untuk-mengatasi-korupsi-membangun-ketahanan-nasional-2/.

Julianti, Shinta. “Kekerasan Struktural Terhadap Orang Lanjut Usia Sebagai Hasil Dari Konstruksi Sosial Yang Merendahkan Tentang Lansia (Studi Pada Penghuni Panti Werdha Di Bekasi).” Jurnal Kriminologi Indonesia 9, no. 2 (2017).

Junita, Nancy. “Covid-19 Celah Untuk Bebaskan Koruptor Dari Penjara?” Kabar 24, 2020. https://kabar24.bisnis.com/read/20200402/16/1221784/covid-19-celah-

untuk-bebaskan-koruptor-dari-penjara.

Kemenkumham. “Informasi Publik Data Jumlah Penghuni Khusus,” 2021. http://lppjogja.kemenkumham.go.id/index.php/informasi-publik/data-sdp/jumlah-penghuni-khusus.

KPK, Berita. “Kajian KPK: Napi Koruptor Bukan Penyebab Kapasitas Berlebih Lapas.” Komisi            Pemberantasan            Korupsi,             2020.

https://www.kpk.go.id/id/berita/berita-kpk/1578-kajian-kpk-napi-koruptor-bukan-penyebab-kapasitas-berlebih-lapas.

Maryani, Desy. “Faktor-Faktor Penyebab Tidak Tercapainya Tujuan Pemidanaan Lembaga Pemasyarakatan Di Indonesia.” Jurnal Hukum Sehasen 1, no. 1 (2015). https://doi.org/https://jurnal.unived.ac.id/index.php/jhs/article/view/335/ 303.

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum (Edisi Revisi). Edited by 13. Revisi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005.

Nansi, Wencislaus Sirjon. “Gagasan Reformasi Kebijakan Pemasyarakatan Narapidana Korupsi Dalam Upaya  Mencegah  Praktek  Korupsi  Pada  Lembaga

Pemasyarakatan.” Jurnal  Justitia Et  Pax 34, no. 2  (2018):  237–53.

https://doi.org/https://doi.org/https://doi.org/10.24002/jep.v34i2.1877.

Nugraha, Yogi Satria, Abdullah Karim, and Santi Rande. “Pengaruh Kualitas Pelayanan Kunjungan Pada Tahanan Dan Warga Binaan Pemasyarakatan Terhadap Kepuasan Pengunjung Di Rumah Tahanan Negara (RUTAN) Kelas II A Samarinda,” 2019.

Nuriyanto, Nuriyanto. “Penyelenggaraan Pelayanan Publik Di Indonesia, Sudahkan Berlandaskan Konsep ‘Welfare Stete’?” Jurnal Konstitusi 11, no. 3 (2014): 428–53. https://doi.org/https://doi.org/10.31078/jk%25x.

Perbukuan, Badan Pengembangan Bahasa dan. “Kamus Besar Bahasa Indonesia,” n.d. https://kbbi.web.id/istimewa.

Sahan, Fadlan. “Politik Hukum Dalam Ketertiban Lapas Di Indonesia.” JUSTITIA: Jurnal Ilmu Hukum Dan Humaniora 7, no. 1 (2020): 116–30.

Samsudi, Triana Ohoiwutun dan. “Menalar Sel Mewah Di Lembaga Pemasyarakatan.” Masalah-Masalah       Hukum       46,       no.        1        (2017).

https://doi.org/10.14710/mmh.46.1.2017.48-54.

Saputra, Ferdy. “Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Proses Pene_gakan Hukum Pidana Dihubungkan Dengan Tujuan Pem_idanaan.” Jurnal Ilmu Hukum       Reusam       VIII,       no.       1       (2020):       1–16.

https://doi.org/https://doi.org/10.29103/reusam.v8i1.2604.

Simarmata, Berlian. “Pemberian Remisi Terhadap Narapidana Koruptor Dan Teroris.” Mimbar Hukum-Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 23, no. 3 (2011): 501–19. https://doi.org/https://doi.org/https://doi.org/10.22146/jmh.16171.

Sinambela, Lijan Poltak. Reformasi Pelayanan Publik. Jakarta: PT. Bumi Aksara, n.d.

Sleman, Lembaga Pemasyarakatan Kabupaten. “Hasil Survei Ikm Dan Ipk,” 2021. http://lapassleman.kemenkumham.go.id/index.php/informasi-publik/hasil-survei-ikm-dan-ipk.

  • — ——.     “Informasi     Publik:     Jumlah     Warga     Binaan,”     2021.

http://lapassleman.kemenkumham.go.id/index.php/informasi-publik/data-sdp.

  • — ——.      “Informasi      Publik     Layanan      Pengaduan,”      2021.

http://lapassleman.kemenkumham.go.id/index.php/informasi-publik/layanan-pengaduan.

Sudaryono, Leopold. “Ironi Tahanan Koruptor Di Indonesia, Layaknya Memenjarakan Beruang Dalam Penjara Bambu.” The Conversation, 2018. https://theconversation.com/ironi-tahanan-koruptor-di-indonesia-layaknya-memenjarakan-beruang-dalam-penjara-bambu-100614.

Sugiharto, Djarot. “Standar Pembinaan Narapidana Khusus Korupsi Di Lapas/Rutan.” Kementerian Hukum dan HAM RI Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, 2015. http://e-sop.kemenkumham.go.id/direktorat-jenderal-pemasyarakatan/direktorat-pembinaan-narapidana-dan-latihan-kerja-produksi/send/75-direktorat-pembinaan-narapidana-dan-latihan-kerja-produksi/1784-standar-pembinaaan-narapidana-korupsi-termasuk-sop.

Sunaryo, A Josias Simon R dan Thomas. Studi Kebudayaan Lembaga Pemasyarakatan Di Indonesia. Bandung: Lubuk Agung, 2010.

Transindonesia.co.      “Lapas      ‘Basah’      Sebab      Rasuah,”      2019.

https://transindonesia.co/2019/07/lapas-basah-sebab-rasuah/.

Utami, Penny Naluria. “Keadilan Bagi Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan (Justice For Convicts At The Correctionl Institutions).” Jurnal Penelitian Hukum DE JURE 17, no. 3 (2017): 381–94.

Widayati, Lidya Suryani. “Rehabilitasi Narapidana Dalam Overcrowded Lembaga Pemasyarakatan (Rehabilitation of Prisoners in Overcrowded Correctional Institution).” Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Dan Kesejahteraan          3,          no.          2          (2016):          201–26.

https://doi.org/https://doi.org/https://doi.org/10.22212/jnh.v3i2.

Wikipedia.    “Affirmative    Action in the    United    States,”    n.d.

http://en.wikipedia.org/wiki/Affirmative_action#cite_note-The_Federal_Register-0.

Yogyakarta, Lembaga Pemasyarakatan Kota. “IPK-IKM Januari Lapas Yogya,” 2021. https://lapaswirogunan.com/wp-content/uploads.

.                “Layanan               Masyarakat,”2021.

http://lppjogja.kemenkumham.go.id/index.php/informasi-publik/data-sdp/jumlah-penghuni-khusus.

.     “Layanan    Masyarakat    Laporan    Hasil    Survei,”2021.

https://lapaswirogunan.com/layanan-masyarakat/laporan-hasil-survei/.

.      “Peningkatan      Kualitas      Pelayanan      Publik,”2021.

https://lapaswirogunan.com/zona-integritas/5-peningkatan-kualitas-pelayanan-publik.

Peraturan Perundang-Undangan

Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan

Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan

165