Perseroan Perorangan Pada Usaha Mikro dan Kecil: Kedudukan dan Tanggung Jawab Organ Perseroan
on

Perseroan Perorangan Pada Usaha Mikro dan Kecil: Kedudukan dan Tanggung Jawab Organ Perseroan
Putu Devi Yustisia Utami1, Kadek Agus Sudiarawan2
1Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: deviyustisia@unud.ac.id 2Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: agus_sudiarawan@unud.ac.id
Info Artikel
Masuk: 14 Agustus 2021
Diterima: 29 Desember 2021
Terbit: 31 Desember 2021
Keywords:
Individual Limited Liability
Company; Micro and Small
Enterprises; Company Organs
Kata kunci:
Perseroan Perorangan; Usaha Mikro dan Kecil; Organ Perseroan
Corresponding Author:
Putu Devi Yustisia Utami, E-mail: deviyustisia@unud.ac.id
DOI:
10.24843/JMHU.2021.v10.i04. p08
Abstract
The purpose of this article was to determine the position of company organs and to analyze the authority and responsibility of company organs in Individual Limited Liability Company. This study used a normative juridical method with a statutory and concept approach. The study indicated that the position of the company's organs in Individual Limited Liability Company is different from the Limited Liability Company organs. The organs of Limited Liability Company consist of the General Meeting Shareholders (GMS), Board of Directors and the Board of Commissioners, while the organs of the Individual Limited Liability Company consist of Shareholders as well as Directors and doesn’t have Board of Commissioners. The authority and responsibility of the Individual Limited Liability Company organs can be seen in the provisions of article 109 number (5) of the Job Creation Law which includes articles 153 letter d and 153 letter j. Individual Limited Liability Company in Indonesia adhere to the one tier system, but there are differences between the one tier system in Indonesia and the Anglo Saxon countries. The company's organs in Anglo Saxon countries still consist of the GMS, Directors and Commissioners who can hold concurrent positions, whereas in Individual Limited Liability Company in Indonesia, shareholders only hold concurrent positions. as the Board of Directors and eliminate the organs of the Board of Commissioners. Individual Company Organs in PP No. 8/2021 is not in accordance with the provisions of the company organs in the above regulations, namely the Job Creation Law and the Company Law.
Abstrak
Penulisan artikel ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan organ perseroan pada perseroan perorangan serta menganalisis wewenang dan tanggung jawab organ perseroan perorangan. Metode hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep dipergunakan dalam penelitian ini. Hasil menunjukkan bahwa kedudukan organ perseroan pada perseroan perorangan berbeda dengan organ PT pada umumnya. Organ PT terdiri dari RUPS, Direksi dan Dewan Komisaris, sedangkan organ perseroan perorangan terdiri dari Pemegang Saham sekaligus Direktur namun tidak memiliki organ Dewan Komisaris. Wewenang dan tanggung jawab organ perseroan perorangan dapat dilihat pada ketentuan pasal 109 angka (5) UU Cipta Kerja yang menyisipkan pasal 153 huruf d
dan 153 huruf j. Perseroan perorangan di Indonesia menganut one tier system, namun terdapat perbedaan mengenai one tier system yang dianut oleh Indonesia dengan yang dianut oleh negara Anglo Saxon. Pada negara Anglo Saxon organ perseroan tetap terdiri dari RUPS, Direksi dan Komisaris yang dapat dirangkap jabatan, sedangkan pada perseroan perorangan di Indonesia pemegang saham hanya merangkap jabatan sebagai Direksi dan tidak ada organ Dewan Komisaris. Organ perseroan perorangan pada PP No. 8/2021 tidak sesuai dengan ketentuan organ perseroan pada peraturan diatasnya yakni UU Cipta Kerja dan UUPT.
Dalam upaya meningkatkan pertumbuhan perekonomian di Indonesia diperlukan adanya partisipasi dan peran serta masyarakat dalam pembangunan ekonomi. Bentuk partisipasi masyarakat dapat berupa pendirian perusahaan untuk menjalankan berbagai kegiatan usaha. Perusahaan dapat menjalankan kegiatan usahanya dalam sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) maupun dalam skala usaha besar pada bidang perdagangan, industri, pariwisata, jasa dan sektor lainnya. Dilihat dari bentuk hukumnya, terdapat berbagai bentuk badan usaha dalam hukum positif di Indonesia yakni perusahaan non badan hukum dan perusahaan berbadan hukum. Adapun bentuk-bentuk perusahaan non badan hukum diantaranya Usaha Dagang (UD), Perseroan Komanditer (CV), Firma dan Persekutuan Perdata, sedangkan bentuk perusahaan berbadan hukum diantaranya adalah Perseroan Terbatas (untuk selanjutnya disebut PT) dan Koperasi.1 PT diatur dalam “Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (untuk selanjutnya disebut UUPT)”.
PT umumnya lebih banyak diminati oleh para pelaku bisnis dibandingkan dengan bentuk perusahaan lainnya.2 Meskipun perusahaan dalam bentuk PT sejatinya lebih diminati oleh pelaku usaha, namun disisi lain pendiriannya justru memerlukan tahapan dan prosedur yang lebih kompleks dibandingkan dengan pendirian perusahaan non badan hukum. Hal ini kemudian berimbas pada sulitnya pelaku usaha pada sektor usaha mikro dan kecil yang memiliki modal lebih rendah untuk mencoba mendirikan perusahaan berbentuk PT. Ahli hukum perdata, Nindyo Pramono menyebutkan karakteristik PT sebagai badan hukum diantaranya ialah : “PT memiliki kekayaan sendiri, anggaran dasar disahkan oleh Menteri, memiliki pengurus, memiliki tujuan yang hendak dicapai serta memiliki kepentingan sendiri”.3
Guna mencapai tujuan peningkatan pertumbuhan perekonomian negara dengan dukungan dari pelaku usaha, saat ini pemerintah terus berupaya mendorong
kemudahan berusaha di Indonesia. Salah satu bentuk langkah yang ditempuh oleh pemerintah dalam meningkatkan iklim investasi dan kemudahan dalam kegiatan usaha adalah dengan menerbitkan “Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (untuk selanjutnya disebut UU Cipta Kerja)”. UU Cipta Kerja merupakan suatu perundang-undangan yang berbentuk Omnibus Law pertama di Indonesia, yakni suatu peraturan perundang-undangan yang substansi di dalamnya dapat melakukan perubahan atau pencabutan terhadap banyak undang-undang. Omnibus Law ini umumnya dianut oleh negara-negara dengan common law sistem.4 Adanya Omnibus Law di Indonesia diharapkan dapat mengatasi permasalahan tumpang tindih birokrasi dan peraturan di Indonesia yang tujuannya adalah untuk memberikan kemudahan pelayanan bagi masyarakat serta peningkatan jumlah investasi dari para investor.5 Sebagaimana konsep Omnibus Law yang dapat mengubah, menghapus, mencabut atau menetapkan peraturan baru untuk beberapa peraturan perundang-undangan,6 UU Cipta Kerja di Indonesia kemudian mengubah serta mencabut sebanyak 82 undang-undang terkait. Adapun salah satu undang-undang yang diubah yang berkaitan dengan badan hukum perusahaan adalah UUPT.
Dalam UU Cipta Kerja pada Bab VI Bagian Kelima tentang Perseroan Terbatas, yakni pada pasal 109 mengubah beberapa ketentuan pasal UUPT. Adapun hal paling prinsip dari perubahan UU PT ini adalah adanya pembaharuan konsep PT yang awalnya diatur dalam UUPT menjadi sebagaimana ketentuan pada UU Cipta Kerja. Pada Bab VI bagian kelima UU Cipta Kerja, pasal 109 angka (1) merubah ketentuan pasal 1 angka 1 UUPT mengenai definisi perseroan terbatas sehingga menjadi sebagai berikut :
“Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham atau Badan Hukum perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai Usaha Mikro dan Kecil”.
Apabila kita mencermati ketentuan pasal 1 angka 1 mengenai definisi PT diatas, terdapat suatu konsep baru dalam PT yakni adanya frase “badan hukum perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro dan kecil”. Konsep badan hukum perorangan ini sejatinya justru sangat berbanding terbalik dengan prinsip PT pada UUPT sebelumnya yang didirikan berdasarkan perjanjian serta merupakan suatu persekutuan modal. Apabila kita mencermati ketentuan pasal 7 ayat (1) UUPT bahwa “Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam Bahasa Indonesia”, artinya bahwa karena PT identik dengan prinsip didirikan berdasarkan perjanjian dan merupakan persekutuan modal maka pendiri PT wajib minimal 2 (dua) orang. Meskipun pada pasal 7 ayat (7) pendirian PT oleh 2 (dua) orang dapat dikecualikan, namun hanya berlaku bagi BUMN dan perseroan bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan dan lainnya. Artinya bahwa dalam UUPT, pengecualian
pendirian perseroan minimal oleh 2 (dua) orang hanya dimungkinkan bagi perusahaan milik negara dan perusahaan melakukan kegiatan usaha pada sektor pasar modal dan pengecualian ini tidak berlaku bagi perseroan swasta yang didirikan oleh masyarakat umum.
Jika kemudian kita mengacu pada UU Cipta Kerja pasal 109 angka (2) juga turut merubah ketentuan pasal 7 UUPT, dimana ketentuan pasal 7 ayat (1) UUPT mengenai pendirian PT yang wajib didirikan oleh 2 (dua) orang masih tetap berlaku, namun terdapat perubahan prinsip pada pasal 7 ayat (7) mengenai pengecualian pendirian PT oleh 2 (dua) orang atau lebih menjadi sebagai berikut :
Bahwa ketentuan perseroan yang didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih tidak berlaku bagi perseroan yang seluruh sahamnya dimiliki oleh negara, badan usaha milik daerah (BUMD), badan usaha milik desa (BUMDes), perseroan yang melaksanakan kegiatan di bidang pasar modal, serta perseroan yang memenuhi kriteria usaha mikro dan kecil (cetak tebal oleh penulis).
Penelitian ini mencoba memfokuskan kajian pada perseroan UMK. Dimana terjadi perubahan atas ketentuan pasal 7 ayat (7) UUPT yang pada awalnya tidak memberi pengecualian bagi PT milik swasta untuk didirikan minimal oleh 2 (dua) orang, namun pada UU Cipta Kerja justru memberikan pengecualian bagi PT milik swasta yang memenuhi kriteria UMK untuk dapat didirikan oleh 1 (satu) orang. UU Cipta Kerja selain melakukan perubahan terhadap beberapa pasal juga menyisipkan pasal baru dalam UUPT. Pada pasal 109 angka (5) menyisipkan 10 pasal diantara pasal 153 dan 154 UUPT yang mengatur secara khusus tentang perseroan perorangan pada usaha mikro dan kecil. Pada ketentuan pasal 153 A menentukan bahwa “suatu perseroan yang memenuhi kriteria usaha mikro dan kecil dapat didirikan oleh 1 (satu) orang berdasarkan surat pernyataan pendirian yang dibuat dalam Bahasa Indonesia”.
Berdasarkan ketentuan pasal diatas maka jelas UU Cipta Kerja memberikan kemudahan berusaha bagi masyarakat khususnya pelaku UMK untuk dapat mendirikan perusahaan berbentuk PT yang dapat didirikan oleh 1 (satu) orang. Namun demikian, dengan dapat didirikannya PT oleh 1 (satu) orang sebagaimana disebut dengan Perseroan Perorangan tentu sangat menarik untuk dikaji dari sudut pandang organ perseroan terbatas. Ketentuan pasal 1 angka (2) UUPT dan UU Cipta Kerja tidak melakukan perubahan atas ketentuan mengenai organ perseroan yang terdiri dari “Rapat Umum Pemegang Saham, Direksi dan Dewan Komisaris” yang secara umum tentunya harus dijabat oleh lebih dari 1 (satu) orang. Berdasarkan paparan diatas, kajian penelitian ini mengkaji mengenai kedudukan organ perseroan pada Perseroan Perorangan pada usaha mikro dan kecil.
Adapun permasalahan dalam penelitian ini diantaranya, pertama Bagaimana kedudukan organ perseroan pada perseroan perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro dan kecil? dan kedua, Bagaimana wewenang dan tanggung jawab organ perseroan pada perseroan perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro dan kecil? Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan organ perseroan pada perseroan perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro dan kecil serta menganalisis wewenang dan tanggung jawab organ perseroan pada perseroan perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro dan kecil.
Anggraeny Arief (2021) dalam tulisannya yang berjudul “Omnibus Law Cipta Kerja dan Implikasinya Terhadap Konsep Dasar Perseroan Terbatas” telah melakukan
penelitian mengenai Perseroan Terbatas pasca diterbitkannya UU Cipta Kerja dan memfokuskan kajiannya pada konsep dasar perseroan terbatas yang mengalami perluasan definisi dan bertentangan dengan doktrin umum dimana suatu perseroan wajib didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih serta kaburnya konsep harta kekayaan antara PT dan perusahaan perorangan.7 Shinta Pangesti (2021) dalam penelitiannya yang berjudul “Penguatan Regulasi Perseroan Terbatas Perorangan Usaha Mikro Dan Kecil Dalam Mendukung Pemulihan Ekonomi Masa Pandemi Covid-19” memfokuskan dan mengemukakan bahwa adanya celah hukum dari pengaturan perseroan dengan kriteria usaha mikro kecil pada UU Cipta Kerja dan peraturan pelaksanaannya yakni adanya produk hukum berupa sertifikat pendaftaran yang tidak dapat diklasifikasikan sebagai objek TUN, serta dimungkinkan adanya perubahan data pendiri yang mengindikasikan boleh adanya akuisisi, peralihan dan pengendalian penuh seluruh aham dalam perseroan perorangan. 8 Berbeda dengan penelitian sebelumnya yang fokus pada perubahan pendiri perseroan dan pengaturan harta kekayaan, penelitian ini memiliki fokus kajian yang berbeda yakni memfokuskan pada kedudukan dari organ perseroan pada perseroan perorangan serta menganalisis wewenang dan tanggung jawab dari organ perseroan perorangan berdasarkan UU Cipta Kerja dan UU PT.
Penyusunan artikel ilmiah ini mempergunakan metode yuridis normatif. Jenis pendekatan yang penulis gunakan diantaranya statute approach dan conceptual approach. Bahan hukum primer serta bahan hukum sekunder dalam penelitian ini diperoleh dengan teknik pengumpulan bahan hukum melalui studi kepustakaan. Adapun bahan hukum primer berupa sumber-sumber referensi yang berasal dari penelitian-penelitian terdahulu yang terkait, serta tesis, disertasi dan lain sebagainya. Bahan hukum sekunder berupa buku maupun peraturan perundang-undangan terkait. Bahan hukum yang diperoleh dipaparkan dengan teknik deskriptif dan dilakukan analisa secara kualitatif.
Limited Liability Company atau Naamloze Vennootschap yang dalam istilah di Indonesia disebut sebagai PT merupakan perusahaan berbadan hukum sebagaimana ketentuan dalam pasal 1 angka (1) UUPT. Adapun unsur-unsur dari suatu PT diantaranya adalah sebagai berikut :9
-
1) Memiliki pengurus serta suatu organisasi yang teratur;
-
2) Memiliki harta kekayaan sendiri;
-
3) Memiliki tujuan;
-
4) Memiliki hak dan kewajiban;
-
5) PT dapat melaksanakan suatu perbuatan hukum serta hubungan hukum sehingga dapat digugat maupun menggugat didepan pengadilan;
-
6) Pertanggungjawaban yang terbatas maksudnya adalah selama organ perseroan tidak melakukan hal-hal yang melanggar ketentuan. 10
Adanya konsep PT sebagai suatu badan hukum berimplikasi pada kedudukan PT sebagai subjek hukum yang terpisah dari pendiri atau pemegang sahamnya.11 Hal ini mengakibatkan suatu PT mutlak memerlukan organ-organ sebagai wakilnya dalam melangsungkan kegiatan usaha PT serta melakukan perbuatan hukum tertentu. PT sebagai artificial person yang memiliki perbedaan dengan manusia harus diwakili dengan perantaraan manusia dalam melakukan suatu perbuatan hukum.12 Adanya pengurus dan organisasi yang teratur melalui organ PT merupakan salah satu unsur penting dari suatu PT. Organ perseroan memiliki fungsi untuk menjalankan perseroan agar berjalan sesuai dengan tujuannya dan mewakili PT dalam segala perbuatan hukum dan hubungan hukum dengan pihak ketiga.13
Saat ini pengaturan mengenai PT dapat ditemukan juga dalam UU Cipta Kerja. Diterbitkannya UU Cipta Kerja diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 5,7% - 6% melalui penciptaan lapangan kerja, peningkatan investasi yang dapat meningkatkan pendapatan masyaarakat, yang kemudian dapat berimplikasi pada peningkatan produktivitas, peningkatan upah serta peningkatan daya beli dan konsumsi.14 UU Cipta Kerja bab VI Kemudahan Berusaha bertujuan untuk memberikan kemudahan serta melakukan penyederhanaan bagi masyarakat dan pelaku usaha khususnya pada usaha mikro dan kecil. Hal ini diakibatkan oleh adanya perkembangan sektor usaha mikro dan kecil (termasuk usaha menengah) yang sangat potensial dalam memberikan kontribusi terhadap peningkatan produk domestik selama beberapa tahun terakhir.15 Bentuk pemberian kemudahan berusaha dalam pendirian perusahaan bagi pelaku usaha diwujudkan oleh pemerintah dengan melakukan perubahan terhadap beberapa pasal dalam UUPT melalui pasal 109 UU Cipta Kerja.
UU Cipta Kerja memberikan pembaharuan konsep dan prinsip PT yang merupakan persekutuan modal dan hanya dapat didirikan oleh minimal oleh 2 (dua) berdasarkan perjanjian, menjadi dapat didirikan oleh 1 (satu) orang sepanjang memenuhi kriteria usaha mikro dan kecil. Pengaturan mengenai kriteria UMK dan pendirian perseroan yang memenuhi kriteria UMK saat ini dapat ditemukan dalam PP No. 7/2021 mengenai Pemberdayaan Koperasi dan UMKM (untuk selanjutnya disebut PP No. 7/2021) dan PP. No. 8/2021 mengenai Modal, Pendirian, dan Pembubaran Perseroan UMK (untuk selanjutnya disebut PP No. 8/2021). Pasca diterbitkannya UU Cipta Kerja, PP No. 7/2021 dan PP No. 8/2021 maka pendirian perseroan dengan kriteria usaha mikro dengan modal maksimal satu milyar rupiah dan usaha kecil dengan modal satu milyar sampai dengan maksimal lima milyar rupiah dapat dilakukan oleh 1 (satu) orang saja.
Menteri Hukum dan HAM RI menerbitkan peraturan pelaksanaan atas PP No. 8/2021 melalui Permenkumham No. 21/2021 mengenai persyaratan dan tata cara mendirikan, merubah dan membubarkan PT (untuk selanjutnya disebut dengan Permenkumham No. 21/2021). Pada pasal 2 Permenkumham No. 21/2021 memberikan penggolongan terhadap perseroan terbatas diantaranya perseroan yang merupakan suatu persekutuan modal serta perseroan perorangan. “Perseroan persekutuan modal merupakan badan hukum persekutuan modal yang pendiriannya didasarkan pada perjanjian serta memiliki modal dasar yang seluruhnya terbagi kedalam saham sebagaimana ketentuan pasal 2 ayat (2) Permenkumham No. 21/2021. Disisi lain perseroan perorangan didefinisikan sebagai badan hukum perorangan yang memenuhi kriteria UMK”.
Sebagai suatu badan hukum yang sama seperti PT pada umumnya, maka perseroan perorangan juga memerlukan adanya organ perseroan untuk mewakili segala perbuatan hukum perseroan. Hal yang menarik untuk dikaji pada perseroan perorangan adalah berkaitan dengan organ perseroan sebagai pihak yang mewakili perseroan dalam segala perbuatan hukum dan hubungan hukum dengan pihak ketiga. Dilihat pada ketentuan pasal 1 angka (2) UUPT juncto pasal 109 angka (1) UU Cipta Kerja organ PT masih tetap terdiri dari RUPS, Direksi dan Dewan Komisaris yang masing-masing memiliki tugas dan kewenangan yang berbeda-beda. Pada perseroan persekutuan modal atau PT biasa tentu saja tidak menjadi permasalahan karena didirikan minimal oleh 2 (dua) orang, sedangkan pada perseroan perorangan tentu perlu dikaji lebih lanjut mengenai kedudukan organ perseroan sebagaimana ketentuan UUPT dan UU Cipta Kerja mengingat pendirian perseroan perorangan UMK dapat dilakukan cukup oleh 1 (satu) orang.
UU Cipta Kerja yang tidak melakukan perubahan terhadap ketentuan organ PT menyebabkan ketentuan mengenai organ PT masih tetap berlaku. Pada PP no. 8/2021 tidak diatur secara explisit mengenai organ perseroan perorangan, namun demikian pada “ketentuan pasal 7 ayat (1) dan (2) PP No. 8/2021 mengatur bahwa perseroan perorangan didirikan dengan pernyataan pendirian yang dilengkapi dengan identitas dari pendiri sekaligus direktur dan pemegang saham perseroan perorangan” (cetak tebal oleh penulis).
Frase “pendiri sekaligus direktur dan pemegang saham perseroan perorangan” pada pasal 7 ayat (2) huruf g PP No. 8/2021 mengarah pada organ dari perseroan perorangan yang hanya terdiri dari direktur (direksi) yang juga merangkap sebagai pemegang saham, namun tidak mengatur serta menghilangkan organ Dewan
Komisaris. Dari ketentuan pasal 7 ayat (2) huruf g PP No. 8/2021 tersebut maka kedudukan organ perseroan pada perseroan perorangan adalah hanya terdiri dari direksi dan pemegang saham, tanpa organ komisaris.
Berkaitan dengan kedudukan dan pengaturan organ perseroan pada perseroan perorangan, jika ditinjau dari UUPT dan UU Cipta Kerja terdapat inkonsistensi antara ketentuan organ perseroan pada pasal 7 ayat (2) huruf g PP No. 8/2021 dengan ketentuan organ perseroan pada pasal 109 angka (1) UU Cipta Kerja. Dalam ketentuan pasal 7 ayat (2) huruf g PP No. 8/2021 secara implisit menentukan bahwa organ perseroan perorangan terdiri dari Direktur merangkap sebagai Pemegang Saham dan tidak mengatur bahkan menghilangkan organ komisaris. Hal ini tentu bertentangan dengan ketentuan pasal 109 angka (1) UU Cipta Kerja yang dalam pasal 1 angka (2) menyatakan bahwa organ perseroan terbatas terdiri dari RUPS, Direksi dan Dewan Komisaris. Meski dalam UU Cipta Kerja konsep pendirian PT mengalami perluasan, namun untuk ketentuan organ perseroan sendiri tidak mengalami perubahan. Ketidakkonsistenan pengaturan mengenai organ perseroan pada perseroan perorangan tentu akan menimbulkan suatu ketidakpastian hukum berkaitan dengan pengaturan yuridis mengenai organ perseroan. Disatu sisi UU Cipta Kerja telah mengatur ketentuan organ PT, namun disisi lain ketentuan organ perseroan perorangan dalam PP No. 8/2021 tidak sejalan dengan ketentuan undang-undang yang berada di atasnya.
Inkonsistensi pengaturan organ perseroan pada PP No. 8/2021 dapat ditinjau dari hierarki norma-norma hukum. Hierarki norma didefinisikan struktur aturan hukum atau tingkatan suatu peraturan perundang-undangan yang berjenjang dan bertingkat. 16 Dalam hierarki norma dipahami bahwa suatu norma tidaklah boleh bertentangan dengan norma yang ada diatasnya. Soerjono Soekanto menyatakan bahwa suatu peraturan perundang-undangan harus dibentuk dengan memperhatikan asas lex superior derograt legi inferior, bahwa “peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah”. Demikian pula pada teori perjenjangan norma (Stufenbau Theory) yang dicetuskan oleh Hans Kelsen bahwa “norma-norma hukum terdiri dari norma yang berjenjang (tata susunan), yang mana suatu norma berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, demikian seterusnya hingga sampai pada Grund Norm”.17 Ditinjau dari teori hierarki norma hukum, maka ketentuan mengenai organ Perseroan Perorangan pada PP No. 8/2021 seharusnya tetap mengacu pada ketentuan organ perseroan sebagaimana diatur dalam UU Cipta Kerja dan UUPT sebagai peraturan yang lebih tinggi. PP No. 8/2021 tidak boleh dengan serta merta merubah ketentuan organ perseroan dengan menghilangkan Dewan Komisaris dari organ perseroan pada Perseroan Perorangan sehingga menjadi tidak sesuai dengan peraturan diatasnya. Ni’matul menyatakan bahwa apabila suatu peraturan perundang-undangan yang kedudukannya lebih rendah tidak sesuai atau bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berada diatasnya maka peraturan tersebut dapat dituntut untuk dibatalkan atau batal demi hukum (van rechtswegenietig).18
-
3.2 Wewenang serta Tanggung Jawab Organ Perseroan Pada Perseroan Perorangan.
Sebagaimana ketentuan Permenkumham No. 21/2021, PT saat ini dapat dibedakan menjadi “Perseroan Persekutuan Modal dan Perseroan Perorangan”. Perseroan Persekutuan Modal merupakan istilah baru yang digunakan untuk menunjukkan PT secara umum yang didirikan berdasarkan perjanjian, sedangkan Perseroan Perorangan dipergunakan bagi usaha yang memenuhi kriteria usaha mikro dan kecil yang dapat didirikan oleh 1 (satu) orang. Baik Perseroan Persekutuan Modal maupun Perseroan Perorangan sebagai suatu badan hukum memerlukan adanya organ perseroan untuk mewakili perseroan dalam melakukan perbuatan hukum dan hubungan hukum dengan pihak ketiga. Dalam UU Cipta Kerja dan UUPT telah diatur bahwa organ perseroan terdiri dari RUPS, Direksi dan Dewa Komisaris, namun pada PP No. 8/2021 secara eksplisit pada pasal 7 ayat 92) huruf g disebutkan bahwa organ Perseroan Perorangan hanya terdiri dari Direktur sekaligus Pemegang Saham, serta tidak ada organ Komisaris. Mengingat adanya inkonsistensi mengenai ketentuan organ Perseroan Perorangan pada PP No. 8/2021 dengan ketentuan organ PT pada UU Cipta Kerja sebagai peraturan perundang-undangan yang ada diatasnya, maka tulisan ini mencoba mengkaji mengenai tanggung jawab dari organ perseroan pada Perseroan Perorangan.
Sebelum mengkaji tanggung jawab dari organ perseroan perorangan, maka terlebih dahulu akan dipaparkan mengenai tanggung jawab dari organ PT berdasarkan UUPT. Mengenai pengertian dari masing-masing organ PT dapat dilihat pada ketentuan pasal 109 angka (1) UU Cipta Kerja yang merubah ketentuan pasal 1 UUPT, diantaranya sebagai berikut :
-
- RUPS ialah organ yang kewenangannya tidak diberikan baik kepada pihak direksi maupun pihaks dewan komisaris (ketentuan pasal 1 angka 4)
-
- Direksi organ yang mempunyai kewenangan serta memiliki tanggung jawab secara penuh untuk mengurus perseroan dan mewakili perseroan untuk kepentingan perseroan itu sendiri. (ketentuan pasal 1 angka 5)
-
- Dewan Komisaris merupakan organ berwenang mengawasi serta memberikan nasihat atau masukan kepada direksi.
Ketentuan mengenai RUPS di dalam ketentuan UUPT tercantum dalam pasal 75 sampai dengan pasal 91 UUPT. “RUPS adalah organ perseroan yang memegang kekuasaan tertinggi yang memiliki kewenangan residual yang tidak diberikan kepada direksi dan komisaris dan dapat mengambil keputusan”. Wewenang RUPS diwujudkan dalam bentuk jumlah suara dari pemegang saham yang dikeluarkan saat rapat. RUPS memiliki wewenang dalam hal penggunaan laba bersih, melakukan pengesahan atas laporan tahunan, serta memperoleh penjelasan dari para Direksi dan Komisaris. RUPS juga memiliki wewenang untuk melakukan pengangkatan atau memberhentikan direksi dan komisaris, penjualan asset, pemberian jaminan utang,
serta rencana untuk melakukan merger, akuisis, peleburan maupun membubarkan perseroan.19
Ketentuan mengenai Direksi terdapat dalam ketentuan pasal 92-107 UUPT. “Direksi memiliki kewenangan dan tanggung jawab dalam melakukan pengurusan perseroan”. Adapun kewenangan Direksi adalah untuk mengatur serta menjalankan kegiatan usaha perseroan, melakukan pengelolaan atas harta kekayaan perseroan serta mewakili perseroan di dalam dan diluar pengadilan, demikian berdasarkan ketentuan UUPT. Mengenai organ PT yang terakhir adalah Dewan Komisaris, dimana diatur dalam ketentuan pasal 108-121 UUPT. Kewenangan utama Dewan Komisaris adalah “melakukan pengawasan atas segala kebijakan pengurusan perseroan yang dilaksanakan oleh Direksi serta memberikan nasehat kepada Dewan Direksi. Dewan Direksi bertanggung jawab atas pengawasan yang berkaitan dengan kebijakan pengurusan perseroan maupun kegiatan usaha perseroan”.20
Berbeda dengan organ PT persekutuan modal yang terdiri dari RUPS, Direksi dan Dewan Komisaris sebagaimana diatur dalam UUPT, pada Perseroan Perorangan tidak diatur secara implisit mengenai organ perseroan perorangan baik pada UU Cipta Kerja maupun PP No. 8/2021. Justru PP No. 8/2021 pada pasal 7 ayat (2) huruf g dan pasal 8 ayat (4) huruf g menyebutkan bahwa “……. pendiri sekaligus direktur dan pemegang saham perseroan perorangan”. Berdasarkan ketentuan pasal 109 angka (5) UU Cipta Kerja yang menyisipkan 153 huruf d pada UUPT, menyatakan bahwa Direksi pada perseroan UMK termasuk didalamnya direksi Perseroan Perorangan memiliki kewenangan yang sama dengan Direksi pada umumnya yakni melaksanakan pengurusan perseroan UMK, sedangkan mengenai pemegang saham diatur dalam ketentuan pasal 153 huruf j bahwa pemegang saham pada perseroan UMK termasuk perseroan perorangan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas segala perikatan yang dibuat perseroan serta tidak bertanggung jawab melebihi jumlah saham yang dimiliki. Artinya bahwa meskipun pendiri Perseroan Perorangan hanya 1 (satu) orang yang juga merangkap sebagai Direksi, namun pertanggungjawaban yang dimiliki bersifat terbatas hanya sesuai dengan saham yang dimiliki.
Ketentuan 7 ayat (2) huruf g dan pasal 8 ayat (4) huruf g dengan frase yang menyatakan bahwa organ Perseroan Perorangan yang hanya terdiri dari pemegang saham sekaligus sebagai pendiri perlu dikaji dari sudut pandang organ PT secara umum yang terdiri RUPS, Direksi dan Dewan Komisaris. Frase tersebut menunjukkan bahwa organ Perseroan Perorangan sebagaimana ketentuan PT No. 8/2021 tidak sesuai dengan ketentuan organ perseroan dalam UUPT dan UU Cipta Kerja. Hal ini disebabkan oleh organ PT dalam UUPT bersifat two tier system, sedangkan organ Perseroan Perorangan bersifat one tier system, yang mana organ Direksi (direktur) perseroan merangkap sebagai pemegang saham perseroan tanpa adanya organ komisaris. 21
Adanya sistem pengurusan dalam suatu perusahaan yang bersifat one tier system dan two tier system sebenarnya berasal dari adanya sistem hukum yang berlaku di dunia, yakni sistem hukum Anglo Saxon dan sistem hukum Eropa Continental. One tier system
merupakan sistem kepengurusan suatu perusahaan yang berasal dari sistem hukum Anglo Saxon. Pada One tier system selain adanya RUPS juga tetap adanya keanggotaan dewan komisaris dan direksi, dimana jabatan dewan komisaris dapat merangkap jabatan direksi sehingga disebut dengan board of director. Dilain pihak sistem hukum Eropa Continental mempergunakan Two tiers system, dimana selain adanya RUPS juga terdapat dua jabatan yang bersifat terpisah dari suatu perusahaan yakni jabatan Direksi dan Dewan Komisaris. Pada Two tiers system kekuasaan tertinggi berada pada RUPS yang dapat melakukan pengangkatan maupun pemberhentian terhadap Direksi dan Dewan Komisaris.22
Apabila Perseroan Perorangan di Indonesia ini diikaitkan dengan One tier system yang dianut oleh negara dengan sistem Anglo Saxon, maka sebenarnya terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara keduanya. Pada negara dengan sistem Anglo Saxon yang menganut One tier system, pengurusan perusahaannya tetap mengenal adanya organ Direksi dan Dewan Komisaris, meskipun kedua organ tersebut kemudian dilakukan rangkap jabatan sebagaimana yang disebut dengan boards of director. Meski hanya dijabat oleh satu orang, tetapi One tier system pada negara yang menganut sistem Anglo Saxon tetap mengakui adanya Dewan Komisaris. Hal ini sangat berbeda dg One tier system yang dianut oleh Perseroan Perorangan di Indonesia sebagaimana ketentuan PP. No. 8/2021, dimana pemegang saham merangkap jabatan sebagai Direksi namun kemudian menghilangkan organ Dewan Komisaris secara serta merta, sehingga dengan dihilangkannya Dewan Komisaris maka menyebabkan organ Perseroan Perorangan tidak sesuai dengan organ PT pada umumnya.
Inkonsistensi norma mengenai ketentuan organ Perseroan Perorangan sebagaimana diatur dalam PP No. 8/2021 dengan peraturan diatasnya yakni UU Cipta Kerja tentu saja berimplikasi pada keberlakuan dari PP itu sendiri, dimana suatu peraturan perundang-undangan akan diakui kekuatan hukumnya dan sifatnya yang mengikat sepanjang telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan lebih tinggi atau peraturan yang memerintahkannya. Hal ini kemudian dirasa perlu untuk melakukan penyesuaian norma terhadap PP mengenai Perseroan yang memenuhi kriteria usaha mikro dan kecil dengan UU yang berada di atasnya berkaitan dengan organ Perseroan Perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro dan kecil atau dibuat suatu ketentuan baru dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai organ Perseroan Perorangan secara mengkhusus, sehingga terdapat pengaturan yang jelas mengenai organ PT persekutuan modal dan organ Perseroan Perorangan.
Terdapat perbedaan kedudukan organ perseroan pada perseroan perorangan dengan organ PT pada umumnya. Organ PT sebagaimana diatur dalam UUPT dan UU Cipta Kerja terdiri dari RUPS, Direksi dan Dewan Komisaris, sedangkan organ Perseroan Perorangan hanya terdiri dari Pemegang Saham sekaligus Direktur, serta tanpa adanya organ Dewan Komisaris sebagaimana diatur secara eksplisit pada ketentuan 7 ayat (2) huruf g dan pasal 8 ayat (4) huruf g PP No. 8/2021. Wewenang dan tanggung jawab organ perseroan pada perseroan perorangan dapat dilihat pada ketentuan pasal 109
angka (5) UU Cipta Kerja. Perseroan Perorangan di Indonesia menganut One tier system yang mengadopsi sistem negara Anglo Saxon. Terdapat perbedaan antara One tier system yang dianut oleh negara Anglo Saxon dengan One tier system yang dianut Perseroan Perorangan di Indonesia. Di negara Anglo Saxon, organ perseroan tetap terdiri dari RUPS, Direksi dan Komisaris yang dapat dirangkap jabatan, sedangkan di Indonesia pemegang saham hanya merangkap jabatan sebagai Direksi, namun tanpa adanya organ Dewan Komisaris. Hal ini menunjukkan bahwa pengaturan organ perseroan perorangan pada PP No. 8/2021 inkonsisten dengan peraturan diatasnya yakni UU Cipta Kerja dan UUPT, yang dapat berimplikasi pada adanya ketidakpastian hukum dan kekuatan mengikat dari PP itu sendiri. Disarankan untuk melakukan penyesuaian norma terhadap ketentuan organ perseroan pada PP mengenai Perseroan Perorangan dengan UU yang berada di atasnya, atau perlu dibuat suatu ketentuan baru dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai organ Perseroan Perorangan secara mengkhusus.
Daftar Pustaka
Buku
Is, Muhamad Sadi, and M H SHI. Hukum Perusahaan Di Indonesia. Prenada Media, 2016. Mulhadi. Hukum Perusahaan: Bentuk-Bentuk Badan Usaha Di Indonesia. PT RajaGrafindo Persada, 2017.
Nindyo Pramono, S H, Guru Besar Hukum Bisnis Fakultas Hukum, and Badan Pembinaan Hukum Nasional. “PERBANDINGAN PERSEROAN TERBATAS DI BEBERAPA NEGARA,” n.d.
Jurnal
Aditya, Zaka Firma, and Muhammad Reza Winata. “Rekonstruksi Hierarki Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia (Reconstruction Of The Hierarchy Of Legislation In Indonesia).” Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Dan Kesejahteraan 9, no. 1 (2018): 79–100.
Arief, Anggreany, and Rizki Ramadani. “Omnibus Law Cipta Kerja Dan Implikasinya Terhadap Konsep Dasar Perseroan Terbatas.” Al-Adalah: Jurnal Hukum Dan Politik Islam 6, no. 2 (2021): 106–20.
Dermawan, Wildan Dwi, Benny Prawiranegara, and Dede Abdul Rozak. “Penerapan Konsep Entitas Dalam Meningkatkan Perkembangan Usaha Mikro Kecil Dan Menengah.” ISEI Accounting Review 4, no. 1 (2020): 26–29.
Devi, NMLS, and I Made Dedy Priyanto. “Kedudukan Hukum Perseroan Terbatas Yang Belum Berstatus Badan Hukum.” Kertha Semaya J. Ilmu Huk, 2019.
Hairi, Prianter Jaya. “Peraturan KPU No. 20 Tahun 2018 Dalam Perspektif Hierarki Norma Hukum.” No 1 (2019): 1–6.
Munalar, Sri Siti, Dwi Kusumo Wardhani, and Nurhayati Nurhayati. “Peran Notaris Dalam Pengurusan Izin Usaha Perseroan Terbatas Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 Tentang Pelayanan Perizinan Berusaha.” In Prosiding Senantias: Seminar Nasional Hasil Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat, 1:127–36, 2021.
Noviawan, Ridho Alief, and Aditya Septiani. “Pengaruh Mekanisme Corporate Governance Dan Struktur Kepemilikan Terhadap Kinerja Keuangan.” Fakultas Ekonomika dan Bisnis, 2013.
Nurnaningsih, Rita, and Dadin Solihin. “Kedudukan Perseroan Terbatas (PT) Sebagai
Bentuk Badan Hukum Perseroan Modal Ditinjau Menurut Undang-Undang PT Dan Nieuw Burgerlijk Wetboek (NBW).” Jurnal Syntax Imperatif: Jurnal Ilmu Sosial Dan Pendidikan 1, no. 2 (2020): 55–64.
Pangesti, Shinta. “Penguatan Regulasi Perseroan Terbatas Perorangan Usaha Mikro Dan Kecil Dalam Mendukung Pemulihan Ekonomi Masa Pandemi Covid-19.” Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional 10, no. 1 (2021): 117.
Prabowo, Adhi Setyo, Andhika Nugraha Triputra, Yoyok Junaidi, and Didik Endro Purwoleksono. “Politik Hukum Omnibus Law Di Indonesia.” Pamator Journal 13, no. 1 (2020): 1–6.
Prabu, Alexander, Ika Novita Harahap, Nopit Ernasari, Tommy Primagani, Bayu Nirpana, Ikhsan Andriyas, and Susanto Susanto. “Kemudahan Berusaha Dalam Cluster Omnibus Law.” Jurnal Lex Specialis 1, no. 2 (2020).
Putra, Antoni. “Penerapan Omnibus Law Dalam Upaya Reformasi Regulasi.” Jurnal Legislasi Indonesia 17, no. 1 (2020): 1–10.
Sudiarawan, K, Putu Devi Yustisia Utami, Gede Agus Angga Saputra, and Alia Yofira Karunian. “Indonesian Labor Sector During Covid-19: Weighing the Impact of Company Saving Policy and Workers Protection.” Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) 9, no. 4 (2020): 684–700.
Syuhada, Otong. “Rekonstruksi Positivisme Dalam Hierarki Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia.” Journal Presumption of Law 2, no. 2 (2020): 1–23.
Utami, Putu Devi Yustisia. “Pengaturan Pendaftaran Badan Usaha Bukan Badan Hukum Melalui Sistem Administrasi Badan Usaha.” Jurnal Komunikasi Hukum (JKH) 6, no. 1 (2020): 1–19.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
Undang-undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2021 tentang Modal Dasar Perseroan Serta Pendaftaran Pendirian, Perubahan, Dan Pembubaran Perseroan Yang Memenuhi Kriteria Untuk Usaha Mikro Dan Kecil
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Koperasi Dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor 21 Tahun 2021 tentang Syarat Dan Tata Cara Pendaftaran Pendirian, Perubahan, Dan Pembubaran Badan Hukum Perseroan Terbatas
781
Discussion and feedback