Hak Anak Luar Kawin Terhadap Harta Ayahnya Pada Masyarakat Patrilineal di Bali (Studi di Kota Denpasar)
on
Hak Anak Luar Kawin Terhadap Harta Ayahnya Pada Masyarakat Patrilineal di Bali (Studi di Kota Denpasar)
Ni Nyoman Sukerti1, Ni Putu Purwanti2, I Gusti Ngurah Dharma Laksana3
1Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]
2Fakultas Hukum Universitas Udayana E-mail: [email protected]
3 Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]
Info Artikel
Masuk : 13 Januari 2021
Diterima :26 Desember 2022
Terbit : 28 Desember 2022
Keywords :
Rights, outside marriage, property, biological father, Bali.
Kata kunci:
Hak, anak luar kawin, harta, ayah biologis, bali
Corresponding Author: Ni
Nyoman Sukerti, e-mail :
DOI :
10.24843/JMHU.2022.v11.i04. p16.
Abstract
This study aims to find and examine the rights of children outside of marriage to their father's property in the patrilineal community in Bali. Related to this, the problem is: are children outside of marriage who are cared for by their biological father entitled to their property without adoption and, what is the legal status in the patrilineal society in Bali? This research is an emipirical legal research by using field data as primary data. The research found that out-of-wedlock children who were not adopted by the father did not have a legal relationship with the father, because there was no legal action.In the absence of a legal relationship, legally the out-of-wedlock child, even though it is properly cared for economically at the father's house because there is no adoption act, does not have the status of an adopted child. As a result, the child in question is not entitled to his father's property and everything related to his father. The absence of legal action means that there is no legal consequence so that the legal status is unclear in the home and family of the father.
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menemukan dan mengkaji hak anak luar kawin terhadap harta ayahnya pada masyarakat patrilineal di Bali. Terkait hal itu, permasalahannya: apakah anak luar kawin yang dipelihara oleh ayah biologisnya berhak atas hartanya tanpa ada pengangkatan anak dan, bagaimana status hukumnya pada masyarakat patrilineal di Bali? Ini merupakan penelitian hukum emipiris dengan menekankan pada data lapangan sebagai data primer. Penelitian menemukan bahwa anak luar kawin yang tidak diangkat anak oleh ayahnya, tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya, karena tidak ada perbuatan hukum. Dengan tidak adanya hubungan hukum maka secara hukum anak luar kawin tersebut walaupun dipelihara dengan layak secara ekonomi di rumah sang ayah karena tidak ada perbuatan pengangkatan anak maka tidak berstatus sebagai anak angkat. Akibatnya, anak yang bersangkutan tidak berhak atas harta ayahnya dan segala sesuatu yang berkaitan dengan sang ayah. Tidak adanya perbuatan hukum maka tidak ada akibat hukum sehingga status hukumnya
tidak jelas di rumah dan keluarga sang ayah.
Anak adalah masa depan sebuah keluarga, masyarakat dan Negara. Anak merupakan penerus kehidupan suatu keluarga, masyarakat dan Negara, oleh karena itu kehadiran seorang anak sangat penting. Masyarakat hukum adat di Bali pada umumnya menganut sistem kekeluargaan patrilineal. Artinya tidak semua masyarakat adat di Bali menganut sistem kekeluargaan patrilineal, melainkan ada masyarakat adat yang menganut sistem kekeluargaan parental yaitu masyarakat adat Tenganan Pagringsingan, Karangasem, Bali. Masyarakat adat Tenganan Pagringsingan merupakan salah satu desa tua di Bali, yang disebut Bali Age (Bali apanage). Desa tersebut tidak kena pengaruh kerajaan di masa lampau.
Sistem kekeluargaan patrilineal adalah suatu sistem kekeluargaan dimana garis keturunan dilacak dari garis laki-laki atau ayah. Berkaitan dengan hal tersebut, maka dalam suatu keluarga terutama keluarga batih anak laki-laki sangat diharapkan. Anak laki-laki begitu pegang peranan baik dalam keluarga maupun masyarakat adat. Maksudnya semua hak dan kewajiban akan dilanjutkan oleh anak laki-laki. Ketiadaan anak laki-laki dalam perkawinan dapat menimbulkan hal-hal seperti poligami, pengangkatan anak, perselingkuhan dan bahkan yang paling fatal dapat dipakai alas an untuk terjadinya perceraian. Anak terutama laki-laki pada masyarakat Bali yang menganut system kekeluargaan atau kekerabatan patrilineal (purusa) mempunyai peran yang sangat penting.
Berbicara masalah anak, secara umum dapat dikelompokan menjadi dua macam anak, yakni anak syah dan anak yang tidak syah. Anak syah adalah yang lahir dalam perkawinan ayah ibunya, sementara anak yang tidak syah adalah yang lahir tidak adanya perkawinan orang tuanya karena sesuatu hal. Sehubungan dengan anak diluar perkawinan, Adiarta menguraikan anak yang lahir dari seorang perempuan yang sebagian ada darah laki-laki dan perempuan tersebut, namun belum terikat tali perkawinan1. Sementara Ahmad Farahi dan Ramadhita mengkaji dimana anak yang lahir di luar perkawinan adalah anak yang menanggung beban mental2 . Terkait penelitian ini fokus akan diteliti mengenai anak luar kawin yang dipelihara dan tinggal di rumah ayah biologisnya. Penelitian ini sangat unik dan penting dilakukan guna mencari dan mengkaji tentang status hukum anak dimaksud. Berdasarkan hukum adat Bali anak luar kawin tidak mempunyai ikatan hukum dengan ayahnya biologisnya. Anak tersebut, hanya mempunyai ikatan keperdataan dengan ibunya dan tidak dengan keluarga ibunya. Tidak adanya hubungan hukum si anak dengan ayahnya karena tidak adanya perbuatan hukum antara si ibu dengan si ayah, sehingga tidak ada akibat hukum yang timbul terhadap anak yang yang bersangkutan. Terkait dengan itu maka penelitian ini menjadi penting dilakukan untuk mencari dan menemukan jawabannya pada masyarakat adat Bali yang menganut sistem
kekeluargaan patrilineal atau patriarchaat. Berdasarkan hal tersebut di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: Apakah anak luar kawin mempunyai hak atas harta ayah biologisnya tanpa dilakukan suatu perbuatan hukum pengangkatan anak? dan, bagaimana kedudukan hukum anak luar kawin pada masyarakat patrilineal di Bali?
Sehubungan dengan persoalan anak luar kawin begitu banyak mendapat perhatian khususnya dari kalangan akademisi, sejak keluarnya putusan MK No.46/PUU-VIII/2010 tentang Uji Material Undang-Undang Perkawinan. Sehubungan dengan isu hukum yang diangkat pada penelitian ini, ada beberapa yang sudah mengkajinya dari perspetif yang berbeda, yakni Marsarela Sevilla Rosa Angelin, Farida Danas Putri, Akbar Prasetyo Sanduan menguraikan, anak luar kawin mendapatkan hak waris atas harta kedua orang tua biologisnya sejak adanya putusan MK No.46/PUU-VIII/20103. Sementara Habib Shultan Asnawi menguraikan bahwa hak-hak anak di luar perkawinan atau anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah (anak hasil nikah siri, anak hasil zina/selingkuh mengalami ketidakadilan, diskriminasi, serta pelanggaran HAM anak4, sedangkan Taufid Hidayat Nazar dan Nita Rismawati, menyoroti bahwa anak diluar kawin sampai saat ini belum mendapatkan hak yang seharusnya didapatkan5. Jakobus Anakletus Rahajaan, mengatakan bahwa putusan MK tersebut tidak dapat ditolak oleh kelompok manapun di negara Indonesia ini karena kelompok tersebut tidak memiliki legalitas dan landasan; yuridis, sosiologis dan filosofis yang cukup kuat menolak putusan MKtersebut6 . Dengan pandangan dari para penulis yang demikian bervariasi terkait kedudukan dan hak anak luar kawin maka masih merupakan suatu delema sehingga perlu dikaji untuk mendapat kepastian hukum.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum empirik. Penelitian hukum empirik sebagaimana diungkap Mukti Fajar bahwa berfocus pada keberadaan hukum tidak bisa dilepaskan dari keadaan sosial masyarakat dan prilaku manusia yang terkait dengan lembaga hukum tersebut 7 . Sehubungan dengan maka penelitian relevan dengan issu yang diangkat. Sebagai penelitian empirik, ditekankan pada data lapangan. Data dikumpulkan dengan metode wawancara yang dilengkapi dengan alat bantu berupa daftar pertanyaan atau interview giude, selanjutnya data diolah secara
kualitatif, dan langkah yang terakhir dari penelitian ini dimana hasilnya disajikan dalam bentuk deskriptis analitis.
Berbicara tentang anak, sebenarnya secara umum anak dapatdigolongkan atau dikelompokan menjadi dua yakni anak syah dan anak tidak syah. Anak syah adalah anak yang lahir dari adanya perbuatan hukum yakni suatu perkawinan dari orang tuanya, sementara anak tidak syah adalah anak yang lahir tanpa adanya perbuatan hukum dari orang tuannya berupa suatu perkawinan. Sebenarnya terhadap anak luar kawin disebut dengan berbagai nama dalam masyarakat adat di Indonesia. Terhadap hal tersebut D. Y. Witanto menguraikan sebagai berikut 8 : anak haram jaddah (Sunda/Jawa Barat), anak kowar (Jawa Tengah), anak kampang (Lampung dan Palembang), anak buni atau anak bule (Makasar/Bugis), dan anak bebinjat dan anak astra (Bali). Penyebutan terhadap anak luar kawin tersebut mencerminkan identitas termarjinalisasi dari kelompok masyarakat pada umumnya. Khusus untuk penyebutan anak luar kawin di Bali misalnya antara anak bebinjat dan anak astra walaupun samasama sebagai anak luar kawin mempunyai akibat yang berbeda. Anak bebinjat ada kalanya lebih parah karena tidak ketahui secara pasti siapa ayah dari si anak yang bersangkutan. Hal mana, karena yang menggauli si ibu lebih dari satu orang laki-laki, oleh karenanya diberi sebutan anak bebinjat karena ibunya jahat, melakukan perbuatan yang dilarang baik oleh norma agama dan juga norma hukum. Anak astra adalah anak luar kawin juga tetapi karena sesuatu hal menyebabkan anak lahir di luar perkawinan dan anak astra lahir diketahui ayah biologisnya yakni dari golongan tri wangsa (golongan brahmana, golongan ksatria dan golongan weysia), terhadap anak ini adakalanya diakui oleh ayah biologisnya.
Mengenai anak luar kawin Bushar Muhammad berpendapat dalam Sri Wahyuni, terdapat pendirian sebagai berikut:
-
1. Memandang anak ini tidak bersalah, bebas cela, penghinaan dan hukuman walaupun hubungan perempuan dan laki-laki tanpa ada upacara adat, tanpa perkawinan atau sesuatu formalitas apapun.
-
2. Perbuatan melahirkan anak tidak syah adalah dikutuk dan harus dienyahkan baik bagi ibu maupun bagi si anak9.
Mencermati pendapat Bushar Muhammad di atas, dimana pandangan yang kedua sangat tidak relevan dengan kehidupan bangsa yang beradab, terutama dimana masalah Hak Asasi Manusia (HAM) begitu mendapat perhatian dari para pemikir hukum. Berkaitan dengan itu maka hal yang demikian tidak lagi diucapakan oleh siapapun karena tidak selaras dengan perkembangan kehidupan dalam segala aspek di jaman kekinian. Dimana baik si ibu maupun si anak adalah korban dari si ayah, apapun alasannya si ayah tidak bisa cuci tangan karena itu hasil dari perbuatan berdua. Kenapa hanya si ibu dan anak yang kena sanksi, baik sanksi hukum adat dan sanksi sosial, sementara si bapak bebas begitu saja, apa karena ini budaya patriakhis
masih kuat mengikat kehidupan masyarakat secara luas. Menurut hemat penulis, ya itulah budaya patriarkhi yang kental hidup dijaman yang modern dan serba canggih ini. Ini menceminkan bahwa hukum bersifat diskriminasi terhadap manusia sebagai warga masyarakat. Hukum mana dikonstruksi oleh laki-laki, maka tidak heran akan menguntungkan para laki-laki.
Terkait anak luar kawin sebagai mana diungkap di atas, hasil penelitian menunjukan ada beberapa variasi dari kasus terhadap anak luar kawin tersebut. Kasus pertama yakni anak anak luar kawin yang diajak dan diasuh secara layak oleh ayah-ibu biologisnya. Orang tua dari anak itu kemudian melakukan perkawinan secara syah baik secara adat maupun agama Hindu. Anak luar kawin ini adalah anak astra, dimana anak itu diajak dan disekolahkan oleh orang tua bilogisnya akan tetapi tidak diperkenankan memakai gelar sang bapak atau ayah. Sang anak mengikuti wangsa ibunya sebelum kawin yakni jaba wangsa artinya memakai gelar dari si ibu seperti I Gede, sementara adiknya-adiknya mengikuti gelar sang ayah yakni tri wangsa. Ini fakta bahwa dari ayah dan ibu yang sama karena suatu keadaan tertentu dapat mengakibatkan status dan kedudukan social dan hukum yang berbeda terhadap seorang anak baik dalam keluarga masupun dalam masyarakat.
Kasus lainnya, dimana seorang anak luar kawin, yang diambil dan diajak menetap serta diasuh secara layak secara ekonomi oleh ayah biologisnya tetapi sang ibu tidak dikawini, hanya anaknya saja yang diambil. Pada kasus ini, kebetulan sang ibu mempunyai wangsa yang sama dengan si ayah anak tersebut sehingga anak yang bersangkutan mempunyai wangsa sama dengan ayah biologisnya. Diajaknya anak tersebut, tidak diikuti perbuatan hukum pengangkatan anak. Jadi tetap anak tersebut tidak masuk secara hukum adat dalam keluarga sang ayah. Justru statusnya menjadi tidak jelas, secara nyata atau empirik anak itu ada pada ayahnya biologisnya, tetapi tidak mempunyai hubungan hukum yakni hukum keluarga, walaupun itu anaknya sendiri tetapi tetap harus dilakukan perbuatan hukum pengangkatan anak, supaya statusnya menjadi jelas.
Ini yang tidak disadari oleh sebagian perempuan bahwa segala akibatnya dibebankan kepada perempuan atau ibu dari anak luar kawin tersebut dan terhadap si ibu dapat dijatuhi sanksi adat dan sanksi sosial. Kalau dikaji lebih dalam, dimana laki-laki yang diajak berbuat tidak dijatuhi sanksi adat dan sanksi social. Lahirnya si anak dengan tiadanya suatu perkawinan dari orang tua anak dimaksud membawa dampak tidak adanya hubungan hukum antara si anak dengan ayahnya. Sehubungan dengan hal itu maka tidak semua anak mempunyai nasib yang sama walaupun sama-sama lahir sebagai anak. Perlu ditekankan bahwa masyarakat Bali Hindu masih begitu kuat mengikuti aturan-aturan adat dan bahkam masih menjujung tinggi nilai-nilai hukum adat, yang kadang-kadang sudah tidak relevan dengan jaman kekinian. Perkembangan jaman, kemajuan ilmu pengetahuan tidak dapat begitu mudah mengubah mindset dan paradigma masyarakat Bali dalam memandang seorang anak yang bernasib kurang menguntuntungkan. Hal tersebut relevan dikaji dengan teori Sistem Hukum dari Lawrence M. Frieman. Dijelaskan bahwa hukum itu terdiri dari tiga komponen yakni struktur hukum, substansi Hukum dan budaya hukum10. Mensitir pendapat Friedmen tersebut, dimana dari unsur-unsur itu, ternyata masih ajeg atau belum mengalami
perubahan mengikuti perkembangan masyarakat pendukungnya. Masyarakat berubah sesuai tingkat perkembangan jaman, sementara hukum hasil konstruksi masyarakat seharusnya ikut berubah, akan tetapi hukum adat sebagai the living law masih sangat kuat mengikat kehidupan masyarakat adat, walaupun pada bidang-bidang lainnya sudah mengalami perubahan secara signifikan seperti pendidikan, ekonomi, teknogi dan lain sebagainya.
Kondisi yang demikian dijaman kekinian tidak mencerminkan hak asasi manusia (HAM), khususnya HAM anak, pada hal hukum itu konstruksi social dan bukan jatuh dari langit atau sabda Tuhan. Masyarakat mengalami perkembangan, hukumpun dalam hal ini hukum adat, semestinya mengalami perubahan juga sesuai tingkat perkembangan masyarakat jaman kekinian. Ini tidak sesuai dengan jiwa hukum progresif, dimana hukum untuk manusia dan bukan sebaliknya manusia untuk hukum.
Lahirnya seorang anak dalam sebuah perkawinan adalah mencerminkan dalam suatu keluarga batih yang lengkap. Artinya dalam suatu keluarga kecil dambaan setiap pasangan suami istri, baru dianggap lengkap apabila lahirnya anak-anak. Masalahnya tidak semua anak bernasib baik yang lahir berada dalam suasana keluarga batih, seperti lahirnya seorang anak yang tidak adanya ikatan perkawinan dari ayah-ibunya. Akibat dari lahirnya anak yang demikian membawa dampak atau implikasi pada kedudukan anak dalam keluarga dan pewarisan. Menurut hemat peneliti hal mana dapat diatasi mana kala dilakukan suatu perbuatan hukum, yakni perbuatan hukum pengangkatan anak. Artinya anak luar kawin harus diangkat anak agar mempunyai status dan kedudukan yang jelas, seuai hukum adat Bali. Perbuatan pengangkatan anak untuk memberi kepastian terhadap anak luar kawin, senada dengan pendapat dari Laksanto Utomo, yang mengungkapkan bahwa perbuatan tesebut sebagai suatu penghormatan11.
Dalam mengkaji kedudukan anak luar kawin atau anak tidak syah, pengkajian tidak bias lepas dari sistem kekerabatan yang dianut oleh masyarakat adat dimana anak itu lahir. Dimana secara umum di Indonesia dikenal tiga sistem kekerabatan yakni kekerabatan matrilineal, patrilineal dan parental. Dalam kaitan penelitian ini difokuskan pada masyarakat Bali khususnya di Kota Denpasar yang masih kuat diikat oleh sistem kekerabatan atau kekeluargaan patrilineal atau kebapaan (purusa, Bali).
Berdasarkan aturan hukum adat yang berlaku di Bali, anak diluar perkawinan tidak ada hubungan keperdataan atau waris dengan sang ayah. Hal senada diungkap oleh Darmayana dalam Witanto, menurutnya anak yang lahir dari hubungan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan waris dengan ibu dan keluarganya 12 . Hukum Perkawinan Nasional mengatur tentang kedudukan anak pada Bab IX. Anak diluar perkawinan diatur pada Pasal 43 ayat 1, yang pada dasarnya hanya mempunyai ikatan keperdataan dengan ibu dan keluarganya. Jadi baik hukum negara maupun
hukum adat, tidak mendudukan atau memposisikan anak yang lahir diluar perkawinan dalam ikatan perdata dengan ayahnya. Hubungan perdata timbul kalau ada perbuatan hukum pengangkatan anak terhadap anak yang bersangkutan. Dengan demikian, hukum negara dan hukum adat mempunyai aturan yang tidak berbeda terkait anak di luar perkawinan tersebut.
Menyikapi posisi dan hak anak luar kawin terhadap harta ayahnya, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan keputusan yang tertuang pada Putusan Makamah Konstitusi Nomor: 46/PUU-VIII/2010 yang pada intinya bahwa apabila si ibu dapat membutikan dengan melakukan test DNA terhadap anak tersebut maka si anak mempunyai hubungan keperdataan dengan ayahnya. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut belum bulat pendapat diantara para hakim karena masih ada hakim yang tidak sependapat dengan hakim lainnya atas putusan tersebut. Alasannya karena adanya penodaan atas keyakinan umat beragama di Indonesia dan tidak ada agama satupun yang membenarkan anak yang lahir di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ayah biologisnya. Sekalipun si ibu dapat membuktikan test DNA anak teserbut dengan kemajuan ilmu kedokteran, tidak serta merta si anak mempunyai hubungan hokum denga ayahnya. Ini tetap harus diikuti perbuatan hokum untuk dapat mempunyai hubungan hukum dan akhirnya ada akibat hukumnya. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menurut Yupi Wiyos Rini Masykuroh, tidak mengakibatkan perubahan terhadap perkawinan karena baik dalam pertimbangan hukum maupum dalam amar putusan, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 2 ayat (2) UUP titak bertentangan dengan UUD 1945. Selanjutnya dinyatakan bahwa Pasal 43 ayat (1) UUP adalah bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionaly unconstitutional) yakni inkonstitusional sepanjang ayat tersebut dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lainya menurut hukum mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya 13 . Terhadap putusan MK tersebut, Wulan Pri Handini mengatakan bahwa keberhasilan pelembagaan itu bersifat parsial. Pada masyarakat yang nilai adat maupun agama tidak memberi penolakan tegas terhadap hubungan antara anak luar kawin dengan laki-laki berdasarkan ilmu penegtahuan terbukti sebagai ayahnya atau tidak mengatur secara spesipik maka putusan dapat berlaku efektif, sebaliknya pngaturan tertentu mengenai status anak di luar kawin terhadap ayahnya, pelembagaan putusan tersebut akan menghadapi penentanganyang sangat kuat karena bersumber dari niali ideologis seperti agama14. Hal yang berbeda dikemukan oleh Emilda Kuspraningrum, dimana menurutnya
seluruh ketentuan hukum positif Indonesia yang berkaitan dengan anak dapat
diberlakukan kepada anak luar kawin. Hanya saja persialan pembagian waris yang membedakannya, karena anak luar kawin hanya terikat secara hukum dan
kekeluargaan dengan ibu atau wanita yang melahirkannya 15 . Hal senada juga
diungkap oleh Zainul Mu’ien Husni, Emilia Rosa, Lilik Hadayani, Dinda Febrianti
Putri mengatakan bahwa anak beserta ibunya berhak atas nafkah, biayapenghidupan, perawatan Pendidikan, dan bentuk perindungan lainnya hingga usia sianak tersebut beranjak dewasa16 Pendapat Yufi, walaupun dapat dibuktikan dengan cara teknologi tetep tidak ada perkawinan. Terkait dengan hal tersebut, penulis sependapat dengan Yufi, kalau tidak ada perbuatan hukum yakni perkawinan atau pengangkatan anak maka tidak mengubah status anak yang bersangkutan.
Secara umum menjadi anak diluar perkawinan atau anak tidak syah sangatlah tidak menyenangkan dari segala sudut, baik dari sudut hukum dan juga social. Anak tersebut adalah korban ayah yang tidak bertanggung jawab atas perbuatannya terlepas apapun alasannya. Tidak berlebihan kalau perbuatannya diidentikan dengan binatang, dimana binatang tidak mempunyai moral seperti manusia. Berani berbuat harus berani bertanggung jawab atas perbuatannya. Di samping itu, si anak, si ibu adalah korban dari janji-janji sebelum adanya hasil berupa anak tersebut.
Status dan kedudukan hukum anak diluar perkawinan pada masyarakat Bali yang menganut sistem kekeluargaan patrilineal, temuan penelitian menunjukan bahwa anak diluar perkawinan tidak terikat hubungan hukum dengan ayahnya karena memang tidak ada perbuatan hukum yakni perkawinan antara ayah dan ibu yang menyebabkan anak luar kawin itu ada, sehingga tidak timbul akibat hukum berupa hak dan kewajiban sebagai mana anak dalam ikatan perkawinan yang syah. Oleh karena demikian jelas tidak ada ikatan hukum dengan ayah dan keluarganya, sehingga akibatnya anak tersebut tidak berkedudukan sebagai ahli waris dan tidak berhak atas harta ayah biologisnya. Anak tersebut hanya mempunyai kedudukan sebagai ahli waris pada ibunya dan bukan keluarga ibunya. Dengan demikian, menjadi anak luar kawin sangat tidak beruntung, terlebih kalua ditinggal kawin oleh sang ibu. Hal
mana akan berbanding terbalik, mana kala adanya perbuatan hukum oleh ayahnya biologisnya berupa pengangkatan anak. Dengan adanya perbuatan hukum pengangkatan anak maka anak diluar perkawinan mengalami perubahan status dan kekududukan pada keluarga ayah angkatnya. Artinya apabila anak luar kawin tersebut diangkat anak maka ia akan menjadi penerus hak dan kewajiban di rumah ayah angkatnya dan tidak berbeda dengan anak yang lahir dalam perkawinan yang syah. Hal senada diuraikan oleh Ni Nyoman Oktaviani, Ketut Sukada, Made Puspasutari Ujianti bahwa anak luar kawin yang diangkat anak oleh kakeknya nantinya menggantikan hak dan kewajiban adat dari kakeknya17. Anak perempuan sebenarnya dapat juga melanjutkan hak dan kewajiban orang tua angkat apabila dilakukan perbuatan hukum dengan perkawinan nyentana atau nyeburin. Pada perkawinan ini, anak perempuan tersebut berstatus hukum laki-laki tetapi terbatas dalam hubungan keperdataan, sementara dalam hal lainnya ia tetap sebagai perempuan pada umumnya pada masyarakat Bali.
Kondisi demikian dilihat dari perpektif teori system hukum, sebagaimana dijelaskan oleh Lawrence M. Friedman bahwa hukum terdidri dari tiga komponen yaitu struktur
hukum, substansi hukum dan budaya hukum18. Dari unsur-unsur atau komponen-komponen hukum itu masih bersifat statis terutama pada komponen budaya hukumnya, dimana masih begitu kuat dipertahankan oleh sebagian besar masyarakat Bali, walaupun pada bidang kehidupan lainnya sudah mengalami perubahan yang sangat signifikan sesuai dengan perkembangan jaman kekinian, tetapi dalam hubungan hukum adat masih tetap dijunjung tinggi.
Berdasarkan paparan di atas atau paparan sebelumnya dapat disimpulkan sebagai berikut: Hukum adat yang berlaku masih begitu kuat mengikat dan masih dijunjungi oleh sebagian besar masyarakat Bali Hindu sampai pada jaman sekarang sehingga tidak ada hak anak diluar perkawinan terhadap harta ayahnya, tanpa adanya suatu perbuatan hukum pengangkatan anak. Dengan tidak adanya perbuatan hukum terhadap anak dimaksud oleh ayah biologisnya maka tidak ada hubungan hukum. Akibatnya anak yang bersangkutan tidak berkedudukan sebagai ahli waris pada ayahnya sehingga tidak berhak mewarisi harta ayahnya, kecuali ia diangkat anak oleh ayah biologisnya. Jadi pada masyarakat Bali dengan sistem kekeluargaan patrilineal yang dianutnya tidak memberi peluang bagi anak luar kawin untuk berkedudukan sebagai ahli waris, kecuali dilakukan upaya pengangkatan anak.
Daftar Pustaka
Adiarta, I Wayan. “Tinjauan Yuridis Tentang Kedudukan Anak Luar Kawin Dalam Pembagian Waris Dalam Pembagian Warisan.” Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion Volume 3, no. 4 (2015).
Angelin, Margareta Sevilla Rosa, Farida Danas Putri, and Akbar Prasetyo Sanduan. “Dilema Hak Mewaris Anak Luar Kawin Dalam Persepektif Hukum Perdata.” Jurnal Hukum Magnum Opus 4, no. 2 (2021).
Asnawi, Habib Shulton. “Politik Hukum Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 Tentang Status Anak Di Luar Nikah: Upaya Membongkar Positivisme Hukum Menuju Perlindungan HAM.” Jurnal Konstitusi 10, no. 2 (2013): 239–60.
Friedman, L.M. Law and Society; Introdraction. New Jersey: Printice Hall, 1977.
Handini, Wulan Pri. “HAK KONSTITUSIONAL ANAK DI LUAR PERKAWINAN BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010.” Jurnal Legislasi Indonesia 16, no. 1 (2019): 107–16.
Husni, Zainul Mu’ien, Emilia Rosa, Lilik Handayani, and Dinda Febrianti Putri. “Analisis Status Anak Luar Kawin Terhadap Orang Tuanya: Studi Komparatif Antara Hukum Positif Dan Hukum Islam.” HAKAM: Jurnal Kajian Hukum Islam Dan Hukum Ekonomi Islam 5, no. 1 (2021).
Kuspraningrum, Emilda. “Kedudukan Dan Perlindungan Anak Luar Kawin Dalam Perspektif Hukum Di Indonesia.” Risalah Hukum, 2006, 25–32.
Masykuroh, Yufi Wiyos Rini. “Implikasi Hubungan Perdata Anak Luar Perkawinan Dengan Laki-Laki Sebagai Ayahnya.” Ijtimaiyya: Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam 9, no. 2 (2017): 25–52.
Metro, Taufid Hidayat Nazar IAIN, and Nawa Angkasa IAIN Metro. “HAK KEPERDATAAN BAGI ANAK DILUAR KAWIN DALAM SISTEM HUKUM DI
INDONESIA,” n.d.
ND, Mukti Fajar, and Yulianto Achmad. “Dualisme Penelitian HukumNormatif & Empiris, Pustaka Pelajar.” Yogyakarta, 2013.
Oktaviani, Ni Nyoman, Ketut Sukadana, and Ni Made Puspasutari Ujianti. “Kedudukan Anak Luar Kawin Yang Diangkat Oleh Kakeknya Di Desa Batukaang, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli.” Jurnal Interpretasi Hukum 1, no. 1 (2020): 19–23.
Rahajaan, Jakobus Anakletus, and Sarifa Niapele. “Dinamika Hukum Perlindungan Anak Luar Nikah Di Indonesia.” PUBLIC POLICY (Jurnal Aplikasi Kebijakan Publik & Bisnis) 2, no. 2 (2021): 258–77.
Ramadhita, Ramadhita, and Ahmad Farahi. “Keadilan Bagi Anak Luar Kawin Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.” De Jure: Jurnal Hukum Dan Syari’ah 8, no. 2 (2016): 74–83.
Utomo, Laksanto. Hukum Adat. Jakarta: Rajawali Pers, 2016.
Wahyuni, Sri. “Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum Waris Adat Di Kecamatan Boyolali Kabupaten Boyolali.” Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, 2006.
Witanto, Darmoko Yuti. Hukum Keluarga: Hak Dan Kedudukan Anak Luar Kawin: Pasca Keluarnya Putusan MK Tentang Uji Materiil UU Perkawinan. Prestasi Pustaka, 2012.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
952
Discussion and feedback