Implementasi Perlindungan Hukum Atas Pemutusan Hubungan Kerja Terhadap Pekerja Pelaku Industri Pariwisata Bali Akibat Dampak Covid-19
on
Implementasi Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Industri Pariwisata Bali atas Pemutusan Hubungan Kerja sebagai Dampak Pandemi Covid-19
Emmy Febriani Thalib1, Ni Putu Suci Meinarni2
1STMIK STIKOM Indonesia, E-mail: emmy.febriani87@gmail.com
2 STMIK STIKOM Indonesia, E-mail: sucimeinarni@stiki-indonesia.ac.id
Info Artikel Masuk: 11 Nopember 2020 Diterima: 21 Juli 2021 Terbit: 31 Juli 2021 |
Abstract The purpose of this study is to analyze the provision regarding the Termination of Employment and see its effectiveness in the field, especially with the current regulations regarding the current regulations concerning the Protection and the Business |
Keywords: |
Continuity of Worker / Labor in related to the Prevention and |
Labor Law; Workers Legal Protection; Covid-19 |
Control of Covid-19 outbreaks. This research is using sociological juridical research with a statute approach and an approach called Live Case Study. The research show, these current regulations could not force employers to minimize the employment termination yet many of formal employees being laid off and terminated without any severance payment. Therefore, the government should coordinate with relevant ministries / institutions, especially the Ministry of Manpower as well the Ministry of Tourism and Creative Economy in order to prioritize in providing protection and assistance of government programs for employers and employees to minimize cases in term of the Termination of Employment. Abstrak |
Kata kunci: |
Tujuan studi ini adalah untuk menganalisis ketentuan mengenai |
Hukum Ketenagakerjaan; Perlindungan Hukum Pekerja; Covid-19 |
Pemutusan Hubungan Kerja serta melihat efektifitasnya di lapangan terlebih dengan adanya regulasi terkini tentang Perlindungan dan Kelangsungan Usaha Pekerja / Tenaga Kerja terkait Pencegahan dan Pengendalian wabah Covid-19 khususnya |
Corresponding Author: |
untuk Provinsi Bali yang selalu mengandalkan industri |
Ni Putu Suci Meinarni, E-mail: sucimeinarni@stiki-indonesia.ac.id |
Pariwisata sebagai komoditas utamanya. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis-sosiologis dengan pendekatan Peraturan perundang-undangan dan Live Case |
DOI: 10.24843/JMHU.2021.v10.i02.p12 |
Study. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peraturan normatif yang berlaku tidak dapat memaksa para pelaku usaha untuk meminimalkan pemutusan hubungan kerja, namun banyak tenaga kerja yang terkena PHK dan diberhentikan tanpa pembayaran pesangon. Oleh karena itu, pemerintah perlu berkoordinasi dengan kementerian / lembaga terkait, khususnya Kementerian Ketenagakerjaan serta Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif agar dapat memprioritaskan dalam memberikan perlindungan dan bantuan program pemerintah kepada pengusaha dan pegawai untuk meminimalisir kasus PHK tersebut. |
-
I. Pendahuluan
Virus Corona 2019 (Covid-19) mengakibatkan terjadinya pergolakan di berbagai aspek kehidupan. Sebelumnya Covid-19 meresahkan masyarakat pada bidang kesehatan, namun situasi ini juga membawa dampak ke segala sektor ikut terkena imbas atas wabah ini. Sebut saja sektor ekonomi, perdagangan, pengiriman, serta sektor pariwisata. Adanya himbauan dari pemerintah untuk menerapkan protokol kesehatan seperti menjaga jarak (social distancing), penggunaan masker, karantina mandiri serta himbauan untuk bekerja dari rumah, bahkan menerapkan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) serta PKM (Pembatasan Kegiatan Masyarakat) di berbagai propinsi tentu saja mempengaruhi produksi serta penjualan pada berbagai perusahaan. Misalnya di daerah Banten, sektor pariwisata di daerah tersebut terkena dampak PSBB. Wisata pantai dan kebun binatang yang menjadi unggulan di daerah tersebut mengalami penurunan jumlah pengunjung secara drastis.1 Berdasarkan informasi yang diperoleh melalui media massa, yaitu Kompas terbitan 8 April 2020, 1.226 hotel di Indonesia terkena imbas dari pandemi sehingga menyebabkan ditutupnya secara sementara hotel-hotel tersebut. Di Bangka Belitung, terjadi penurunan tingkat hunian hotel yang cukup signifikan. Untuk okupansi bulan April-Mei 2020 terjadi penurunan hingga sekitar 95%.2
I Made Ramia sebagai Deputy Chairman Indonesia Hotel General Manager Association (IHGMA) Bali menyampaikan, bahwa hotel-hotel di Bali sebagian besar telah tutup sejak bulan April 2020. 3 Nusa dua dan Kuta merupakan dua dari beberapa kawasan perhotelan yang ada di Bali. Di kawasan tersebut hotel-hotel sudah berhenti beroperasi. Keputusan penghentian operasi diambil karena sulit untuk menutupi biaya operasional jika terus beroperasi. Biaya operasional hotel yang mencapai 50% dari total pendapatan, sedangkan tingkat hunian setelah Covid-19 mewabah adalah dibawah 10% bahkan kurang. Mitigasi kerugian harus dilakukan oleh beberapa perusahaan perhotelan di Bali yang mengalami dampak penyebaran Covid-19. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) menjadi opsi yang dilakukan oleh para pelaku usaha pariwisata (khususnya perhotelan) untuk menekan biaya operasional sehingga diharapkan perusahaan dapat bertahan. Akan tetapi dari sisi kemanusiaan melihat situasi saat ini, PHK belum tentu dapat dibenarkan. Merujuk pada survei yang telah dilakukan terkait jumlah tenaga kerja, perlambatan sektor pariwisata di Bali pasca wabah COVID-19 berdampak pada pendapatan sekitar 1.285.000 orang. Rinciannya, sebanyak 300 ribu pekerja di sektor hotel dan restoran, 550 ribu pekerja di sektor perdagangan, dan 75 ribu pekerja di sektor transportasi.4
Wabah Covid-19 sudah ditetapkan oleh pemerintah pusat sebagai bencana berskala nasional melalui Perpres 12 Tahun 2020. Bencana tentunya akan menimbulkan kerugian bisnis dan menurunnya kepercayaan wisatawan terhadap destinasi wisata, bahkan reputasi industri pariwisata sebuah negara secara menyeluruh.5 Dan kondisi ini telah menimbulkan permasalahan yang kompleks pada industri pariwisata. Padahal industri ini memiliki nilai ekonomi serta prospektif karena dapat menciptakan kesempatan untuk bekerja dan berusaha.6 Sebuah kejadian dianggap sebagai bencana apabila ada ancaman, risiko dan kerentanan bagi manusia.7
Pada dasarnya penetapan status pandemi Covid-19 sebagai bencana nasional tidak serta merta berarti situasi dan kondisinya sedang buruk dinyatakan dalam keadaan Force Majeure. Namun kondisi tersebut tidak secara langsung mengakibatkan pembatalan perjanjian kerja. Namun, ternyata penetapan Pandemi Covid-19 sebagai bencana nasional justru dijadikan alasan utama oleh sebagian pengusaha dan perusahaan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja atau paling tidak memberhentikan pekerjanya dengan menetapkan cuti tidak dibayar dan dipotong gajinya.
Salah satu jurnal berjudul “Analisis Kebijakan PHK Bagi Para Pekerja Pada Masa Pandemi Covid-19 di Indonesia” oleh Imas Novita Juaningsih8 menjelaskan tentang ketidakjelasan terkait Pemutusan Hubungan Kerja oleh perusahaan di masa pandemic Covid-19 menjadi titik fokus penulis untuk membahas dan menganalisa lebih komprehensif terkait kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah ataupun perusahaan untuk para pekerja. Maka perlu adanya perlindungan hukum bagi para pekerja dan perlu adanya kebijakan pemerintah untuk menentukan apakah Covid-19 ini termasuk ke dalam force majeure bencana alam atau tidak. Dalam simpulannya kebijakan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dalam masa pandemi covid-19 yang dijadikan alibi oleh beberapa perusahaan dirasa tidak logis, karena beberapa perusahaan berdalih bahwa kondisi ini merupakan force majeure. Alasan tersebut tidak bisa dikategorikan dengan wabah yang sedang merebak di Indonesia, Covid-19, dan wabah tersebut juga tidak dikategorikan dengan Bencana Nasional.
Dengan mengacu pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, kerugian yang diakibatkan oleh perusahaan belum mencapai 2 tahun maka perusahaan tidak bisa memutus hubungan kerja begitu saja. Maka perlu adanya upaya lain yang diberikan oleh perusahaan atau pemerintah dalam menanggulangi dampak Covid-19 kepada para pekerja yang di PHK agar dapat membatasi waktu kerja/lembur dan para pekerja bisa dirumahkan dengan tidak memutus hubungan kerja. Dengan hal tersebut dapat membantu pemerintah untuk mengurangi angka pengangguran dan dapat membantu pemerintah menumbuhkan perekonomian dikala pandemi Covid-19.
Jurnal berjudul “Pemutusan Hubungan Kerja masa pandemi covid- 19 perusahaan terancam dapat dipailitkan” oleh Syafrida, Safrizal, Reni Suryani pada tahun 2020, Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan artikel ini adalah Penelitian Kepustakaan menggunakan data sekunder dan bahan tertier. Bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan yang berkaitan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2007 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang serta KUHPerdata. Berdasarkan hasil penelitian Pemutusan hubungan kerja oleh perusahan masa pandemi Covid-19 dibolehkan dengan alasan Overmach atau keadaan memaksa. Pemutusan hubungan kerja dengan alasan Covid -19 perusahaan harus dapat membuktikan bahwa dengan pandemi Covid-19 berdampak buruk kepada perusahaan, Antara lain omset perusahaan mengalami penurunan secara drastis, proses produksi mengalami penurunan, sehingga perusahaan tidak mampu lagi bertahan dan membiayai proses produksi dan melaksanakan kewajiban terhadap pekerja/ buruh yang telah ditentukan dalam perjanjian kerja. Keadaan memaksa (Overmacht) karena Covid-19 hanya bersifat sementara yaitu selama pandemi Covid-19. Jika pandemi Covid-19 telah berakhir, maka perjanjian kerja dapat dilanjutkan kembali. Namun jika perusahaan tidak dapat membuktikan bahwa pandemi Covid-19 tidak berdampak buruk terhadap perusahaan, maka perusahaan tidak boleh melakukan pemutusan hubungan kerja yang permanen atau selamanya.9
Penelitian berjudul “Legal Protection of Labor Rights During The Corona virus Disease 2019 (covid-19) Pandemic” pada tahun 2020 oleh Sholahuddin Al-Fatih, Fachry Ahsany, Ahmad Faiz Alamsyah juga membahas mengenai permasalahan hukum hak tenaga kerja selama pandemi Covid-19 di Indonesia. Dengan menggunakan penelitian hukum normatif, makalah ini menganalisis beberapa peraturan dan undang-undang hukum pemerintah untuk melindungi hak ketenagakerjaan yang diputus (Pemutusan Hubungan Kerja/PHK) selama pandemi Covid-19. Kesimpulannya, tulisan ini menemukan bahwa pemerintah mengeluarkan dua program untuk menyelesaikan PHK dan melindungi hak-hak tenaga kerja, yaitu Kartu Pra Kerja dan Program Insentif Tunai (Bantuan Langsung Tunai/BLT). Ini secara aktif membantu pekerja untuk menciptakan pekerjaan baru dan melanjutkan kehidupan sehari-hari mereka.
Jurnal-jurnal yang berkaitan dengan penelitian Pemutusan Hubungan Kerja diatas masih sebatas analisa terhadap kebijakan secara umum yang terjadi di Indonesia dengan pendekatan menggunakan Undang-Undang Nomer 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa jurnal tersebut masih belum terdapat pembaruan dengan menggunakan Undang-Undang Cipta Kerja yang baru diundangkan pada akhir tahun 2020 yang merubah beberapa pasal dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan tersebut. Kesimpulan lain yang didapat adalah perlunya mengetahui data empiris di lapangan yang terjadi di Provinsi Bali khususnya terhadap sector pariwisata yang merupakan industri paling terdampak dari pandemik ini.
-
2. Metode Penelitian
Penulisan dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan jenis penelitian yuridis sosiologis dengan pendekatan peraturan perundang-undangan serta pendekatan Live Case Study. Pendekatan perundang-undangan dikarenakan pendekatan ini dilakukan dengan menelaah semua peraturan perundang-undangan yang bersangkut paut dengan permasalahan atau isu hukum yang sedang dihadapi. Pendekatan studi kasus langsung merupakan pendekatan terhadap suatu peristiwa hukum dimana kejadian atau proses dari peristiwa itu sedang berlangsung atau belum berakhir, dalam hal ini pandemi Covid-19. Metode yuridis sosiologis digunakan untuk menghasilkan analisis kebijakan serta mengkaji kebiasaan-kebiasaan hukum yang berkembang di dalam masyarakat (budaya hukum), serta mengkaji bagaimana masyarakat merespon budaya hukum tersebut dan hubungannya dengan masyarakat dan negara dalam konteks dunia yang berubah dengan cepat dengan mengumpulkan data dari wawancara dan penyebaran kuesioner dengan metode sampling.
Menurut World Health Organization (WHO), Covid-19 merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh virus corona yang paling baru ditemukan Virus ini baru diketahui setelah kemunculannya di Wuhan, Cina pada akhir tahun 2019 dan masih terus diteliti oleh banyak pakar Kesehatan di dunia. Dan hingga saat ini, Covid-19 mewabah ke seluruh dunia hingga wabah ini dikatagorikan sebagai pandemi.10 Jumlah kasus Covid-19 yang dikonfirmasi hingga 13 Maret 2021 mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Jumlah kasus yang dilaporkan di Indonesia tercatat sebesar 1,49 juta kasus dengan rata-rata harian kasus baru hamper sebanyak 5000 kasus setiap harinya seperti terlihat pada tabel di bawah ini, data kasus per tahun lalu (sebagai sampel jumlah peningkatan kasus).
Gambar 1. Perubahan Harian Kasus Covid-19
Di Bali, peningkatan jumlah kasus positif corona di Provinsi Bali terus berlanjut hingga saat ini. Data terakhir Pada 25 maret 2021 Saat ini jumlah kumulatif kasus Covid-19 adalah sebanyak 39.202 orang dengan rincian, 39.117 WNI dan 85 WNA.11 Dikutip Data statistik per Februari dari Dinas Pariwisata Bali (Disparda Bali), perbandingan jumlah wisatawan yang mengunjungi pulau Bali bulan Januari 2020, jumlahnya mencapai 528,883 pax, sedangkan pada Januari 2021, hanya terdapat 10 orang turis asing yang masuk wilayah Indonesia. 12
Pariwisata sudah lama dikenal sebagai tulang punggung perekonomian Bali, berbagai kebijakan strategis telah dirancang untuk menggenjot sektor ini yang tercermin dalam berbagai peraturan daerah dan sejumlah peraturan turunan lainnya.13
Sebagai industri pariwisata Bali merupakan kunci penggerak sektor perekonomian di Bali. Memang, ini bisa menjadi masalah tertentu di antara wabah ini. Untuk itu, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia pada 17 Maret 2020 telah menerbitkan Surat Edaran Menteri Tenaga Nomor M/3/HK.04/III/2020 tentang Perlindungan Pekerja dan Kelangsungan Usaha dalam Pencegahan dan Pencegahan. Covid-19 (Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja 2020).
Berdasarkan penelitian di lapangan, pekerja industri pariwisata di sektor formal khususnya di Bali yang merasakan dan terpuruk akibat dampak dari pandemik Covid-19 ialah yang berkecimpung di bidang:
-
a. Pemandu Wisata
-
b. Pekerja restoran
-
c. Perhotelan
-
d. Agen Perjalanan dan Perjalanan / Pekerja MICE
-
e. Pekerja Transportasi Pariwisata termasuk supir
-
f. Maskapai Penerbangan
-
g. Kapal Pesiar
Karena perlindungan hukum bagi pekerja merupakan pemenuhan hak-hak dasar yang melekat dan dilindungi oleh konstitusi negara Republik Indonesia sebagaimana bunyi Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang “Setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan kehidupan yang layak untuk kemanusiaan ”.
Kemudian terdapat beberapa landasan hukum yang juga menjadi acuan dalam konteks perlindungan hukum bagi pekerja pada masa pandemi ini, diantaranya:
No |
Peraturan Perundang-Undangan |
Hal terkait artikel ini |
1 |
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, Tentang Ketenagakerjaan (Terutama Pasal 150 s / d 172) |
Pemutusan Hubungan Kerja |
2 |
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 |
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial |
3 |
Peraturan Pemerintah Nomor 35 tahun 2021 |
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, |
“Acceleration Model for Tourism Industry Recovery Based on Environment Post COVID-19.”Zukhri and Rosalina, “Acceleration Model for Tourism Industry Recovery Based on Environment Post COVID-19.”Disparda Provinsi Bali, “Rilis Data Statistik Resmi Bulan Januari 2021 – Bali Government Tourism Office,” accessed February 2, 2021,
https://disparda.baliprov.go.id/rilis-data-statistik-resmi-bulan-januari-2021/2021/03/..
13 Anak Agung Gede Duwira Hadi Santosa and Luh Ayu Nadira Saraswati, “Pariwisata Kerta Masa: Gagasan Alternatif Kebijakan Pembangunan Pariwisata Bali,” Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) 9, no. 4 (December 31, 2020): 723–38,
https://doi.org/10.24843/JMHU.2020.V09.I04.P05.
dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP PKWT-PHK) | ||
4 |
Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2021 |
Pengupahan |
5 |
Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 |
Penetapan Penyakit Virus Corona 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional |
6 |
Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia (Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi) Nomor SE-907/MEN/PHI-PPHI/X/2004 |
Pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja Massal |
7 |
Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja danTransmigrasi Republik Indonesia (Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi) Nomor SE-643/MEN/PHI-PPHI/IX/2005 |
Pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja |
8 |
Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia (Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi) Nomor SE-05/M/BW/1998 |
Upah Pekerja yang dipulangkan tidak searah dengan pemutusan hubungan kerja |
9 |
Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja (Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan) Nomor M/3/HK.04/III/2020 |
Perlindungan Pekerja / Buruh dan Keberlangsungan Usaha dalam Pencegahan dan Pencegahan Covid-19 |
10 |
Surat Edaran Gubernur Bali (Surat Edaran Gubernur Bali) Nomor 556/1077 Tahun 2020 |
Dampak Wabah Virus Corona (Covid-19) terhadap Perekonomian Bali |
11 |
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja |
Mekanisme Pemutusan Hubungan Kerja |
Maka dari itu, secara kesimpulan dari berbagai regulasi diatas, Perlindungan yang seharusnya diperoleh pekerja antara lain: 14
-
a. Hak untuk bernegosiasi dengan pemberi kerja atau pemilik pekerjaan,
-
b. Hak atas keselamatan dan kesehatan kerja dalam melakukan pekerjaan,
-
c. Perlindungan eksklusif bagi pekerja wanita, anak-anak, dan orang dengan cacat,
-
d. Perlindungan terkait sistem pengupahan, perdamaian dan Jaminan Sosial
UU Cipta Kerja membagi PHK dengan alasan efisiensi menjadi 2 jenis yakni karena merugi dan mencegah terjadinya kerugian. Besaran kompensasi pesangon PHK dengan alasan efisiensi sesuai UU Ketenagakerjaan jumlahnya lebih besar daripada yang diatur UU Cipta Kerja. Ketentuan undang-undang tentang Pemutusan Hubungan Kerja secara umum diatur dalam Pasal 150 sampai dengan Pasal 172 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Pemutusan Hubungan Kerja yang disebabkan oleh keadaan kahar justru diperbolehkan berdasarkan Pasal 164 (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Keadaan kahar (force majeure). Akibat Covid-19 tersebut telah dibenarkan dengan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang wabah Covid-19 yang ditetapkan sebagai bencana nasional, yang disahkan secara resmi pada 13 April 2020.15
Terdapat lima unsur legal yang harus dipertimbangkan sebelum pengusaha melakukan Pemutusan Hubungan Kerja seperti dikutip dalam Jurnal Magister Hukum Udayana yang berjudul “Indonesian Labor Sector During Covid-19; Weighing the impact of company Saving Policy and Worker Protection” yaitu: Undang-Undang Ketenagakerjaan; Peraturan Perusahaan; Perjanjian Kerja Bersama; Kontrak kerja dan Undang-Undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. 16 Sebagian besar permasalahannya adalah tidak semua perusahaan memiliki neraca dan arus kas yang baik. Ternyata hanya perusahaan besar yang bisa bertahan di tengah wabah itu. Akibatnya, sebagian besar pekerja yang diberhentikan tidak bisa mendapatkan hak normatifnya. Oleh karena itu, ada beberapa perusahaan yang tidak memilih Pemutusan Hubungan Kerja untuk menghindari peraturan tersebut tetapi malah memberhentikan pekerjanya. Pada dasarnya, peraturan untuk memberhentikan pekerja secara harfiah tidak diatur dalam UU No. 13 tahun 2003. Namun, prinsip yang mendasari tindakan ini adalah “tidak ada pekerjaan tidak dibayar”, yang tertuang dalam Pasal 93 (1) UU No. 13 Tahun 2003 pekerja dalam hal ini pada dasarnya tidak perlu masuk kerja pada saat terjadi wabah yang artinya perusahaan tidak mempunyai kewajiban untuk membayarnya.
Pasal 93 (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang umum digunakan sebagai aturan dasar untuk memberhentikan pekerja. Memang, atas dasar ini, jika pekerja tidak bekerja, mereka tidak berhak atas pembayaran upah apapun. Namun dalam penjelasan Pasal 93 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 disebutkan bahwa asas tersebut mengecualikan pekerja yang tidak dapat bekerja bukan karena kelalaiannya sendiri. Yang dimaksud dengan "memberhentikan" adalah pekerja yang tidak diberhentikan tetapi hanya ditempatkan sampai ada pemberitahuan lebih lanjut oleh perusahaan, ketika usaha kembali normal maka pekerja yang di-PHK tersebut akan dapat kembali bekerja. Contoh nyata dapat dilihat pada penelitian oleh Nuruddin, dkk pada Jurnal Kajian Bali, dapat dilihat pada 10 Mei 2020 jumlah okupansi Hotel Four Season Sayan Ubud menurun sangat tajam. Dampak dari minimnya okupansi atau tingkat hunian hotel ini adalah diberhentikannya beberapa
pekerja Dan bagi karyawan yang tidak dipecat, mereka hanya diberikan gaji pokok serta pengurangan jam kerja. 17
Berdasarkan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja 2020 itu hanya mencakup kesepakatan antara pengusaha dan pekerja dalam hal pemotongan upah. Lebih lanjut, Keputusan Menteri Ketenagakerjaan (Kepnaker) ini juga menunjukkan bahwa jika pemotongan maksimum dari upah minimum hanya sebatas upah minimum sebelumnya, maka tidak ada kemungkinan pemotongan lebih dari 50%. Memang regulasi ini memang tidak bisa dipungkiri, mengingat kondisi wabah Covid-19 ini telah mengganggu pola produksi, distribusi, dan konsumsi yang berdampak pada pendapatan perusahaan. Akibatnya, pengusaha mungkin tidak memiliki kemampuan untuk membayar upah pekerja dengan nilai yang menjadi hak mereka.
Hak atas uang pesangon harus diberikan jika pemberi kerja memecat pekerjanya karena Pemutusan Hubungan Kerja. Pekerja memiliki hak untuk menerima gaji selama bertahun-tahun masa kerja, dan atau pembayaran kompensasi untuk hak atau hak yang belum digunakan oleh pekerja yang dipecat (Vide, Pasal 156 (1) UU No. 13 tahun 2003). Itu diberikan kepada pekerja sebagai kompensasi mereka yang pekerjaan dan pendapatannya telah hilang. Ketentuan dalam Pasal 164 (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 mengatur mengenai, hak dari pekerja sebesar satu kali gaji sebagai pesangon apabila pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruhnya karena perusahaan harus ditutup karena keadaan kahar dan pekerja juga berhak menerima uang kompensasi untuk hak yang belum digunakan. Jika perusahaan tidak ditutup tetapi hanya melakukan efisiensi, menurut Pasal 164 (3) UU No. 13 tahun 2003, pekerja berhak atas pesangon dua kali lipat, imbalan satu kali masa kerja, dan uang kompensasi. hak yang belum digunakan.
Sedangkan, PHK dengan alasan efisiensi sebagaimana diatur Pasal 43 PP No.35 Tahun 2021 dibagi menjadi 2 jenis:
-
1) Perusahaan mengalami kerugian sehingga memungkinkan untuk melaksanakan efisiensi, pekerja berhak mendapat uang pesangon sebesar 0,5 kali hal ini dilihat pada ketentuan Pasal 40 ayat (2); serta memperoleh uang penghargaan masa kerja sebesar 1 kali (Pasal 40 ayat (3); serta uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 40 ayat (4)
-
2) Untuk mencegah terjadinya kerugian. PHK yang dialami oleh pekerja karena alasan ini berhak untuk mendapat uang pesangon sebesar 1 kali ketentuan Pasal 40 ayat (2); dan uang penghargaan masa kerja 1 kali ketentuan Pasal 40 ayat (3); serta uang penggantian hak sesuai ketentuan pasal 40 ayat (4).
Meskipun demikian, dalam prakteknya dan dalam beberapa kasus di Provinsi Bali terdapat pekerja yang di-PHK tetapi tidak diberhentikan oleh perusahaan karena berbagai alasan, seperti karena perusahaan tidak dapat melakukan produksi, perusahaan melakukan restrukturisasi usaha, dan perusahaan sedang dilanda krisis tertentu. Terminologi pemutusan hubungan kerja tidak disebutkan secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, tetapi diatur dalam Surat Edaran Departemen Tenaga Kerja Nomor 05/M/W/1998 Tahun 1998 tentang Pemberhentian Sementara Upah Pekerja Bukan untuk Pemutusan Hubungan Kerja. Ketenagakerjaan (SE
Menaker 1998) dan Surat Edaran Departemen Tenaga Kerja Nomor SE-907/ MEN/PHI- PPHI/X/2004 tentang Pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja Massal (SE Menaker 2004). Kedua Surat Edaran Kementerian Ketenagakerjaan itu memungkinkan adanya aturan pemutusan hubungan kerja. SE Menaker 1998 menyatakan bahwa meskipun pekerja telah di-PHK, namun upah dan pesangon mereka harus dibayar penuh kecuali jika telah secara kontradiktif dinyatakan dalam perjanjian kerja bersama, atau jika pemberi kerja dimaksudkan untuk hanya membayar sebagian, maka itu perlu dibahas sebelumnya dengan pekerja.
Dalam melakukan efisiensi, pengusaha melakukan PHK dengan syarat tidak ada jalan keluar lain. Hal tersebut diatur dalam Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 19/PUU-IX/2011 sebagai berikut: “Pengusaha hanya dapat memberhentikan pekerja dengan alasan efisiensi yang mana harus diartikan sebagai Perusahaan Penutupan Permanen atau Perusahaan tidak menutup sementara”.18
Dalam UU Cipta Kerja, bagi pekerja yang merasa tidak terima dengan PHK karena alasan efisiensi ini, upaya yang dapat ditempuh antara lain dengan melakukan perundingan bipartit. Jika tidak selesai di tingkat bipartit dapat mengajukan mediasi ke Dinas Ketenagakerjaan setempat. Sehingga nantinya, mediator akan menerbitkan anjuran agar dilaksanakan para pihak. Bila ada yang tidak sepakat, maka dapat mengajukan gugatan ke pengadilan hubungan industrial (PHI). Jika putusan PHI belum memuaskan, salah satu pihak dapat mengajukan upaya kasasi ke MA. Berdasarkan survei yang dilakukan pada bulan Juni terhadap 252 responden yang bekerja di industri Pariwisata di Bali menyatakan bahwa 50,4% memiliki pemotongan gaji antara 75% -100% dari gaji semula dan sebagian besar adalah pekerja tetap.

-
• 10 - 30 %
-
< 30-50 %
-
• 50 -75 %
-
• 75% -100%
Gambar 2. Rata-rata Penurunan upah sebelum dan sesudah Pandemi
Ketentuan pemotongan pembayaran upah sebagaimana diatur dalam SE Menaker 2020, sebenarnya telah dibatasi oleh Pasal 90 (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003. Namun, Pasal 90 (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 memberikan opsi kepada pemberi kerja yang tidak dapat memenuhi standar pembayaran gaji sebagaimana mestinya. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: Kep.231 / MEN / 2003 tentang Tata Cara Penundaan Pemberlakuan Upah Minimum (Kepmenaker 231/2003) ditetapkan untuk menyelesaikan masalah teknis tersebut. Aturan ini hanya sebatas prosedur penundaan kepatuhan pembayaran upah minimum.
Dengan alasan perusahaan mengalami kerugian dan penurunan omset dan pendapatan bagi perusahaan akibat pandemi ini, perusahaan tidak hanya melakukan pemotongan gaji, perusahaan juga tidak dapat memberikan upah yang menjadi hak pekerja sesuai dengan Upah Minimum Provinsi (UMP). Perusahaan yang mengalami ini masalah oleh pemerintah tidak diperbolehkan untuk memotong gaji atau bahkan melakukan PHK kepada pekerja.19
Pengajuan permohonan izin penundaan upah minimum yang dikirimkan kepada Gubernur provinsi dalam jangka waktu paling lambat 10 hari sebelum tanggal resmi upah minimum diberlakukan (Vide, Pasal 3 (1) Kepmenaker 231/2003). Aplikasi ini harus dibuat berdasarkan kesepakatan tertulis antara pemberi kerja dan (Vide, Pasal 3 (2) Kepmenaker 231/2003). Kesepakatan tertulis harus dibuat melalui negosiasi yang mendalam, jujur dan terbuka. Selain itu, permohonan harus dilampiri dengan laporan keuangan dua tahun terakhir, data upah pekerja, data jumlah pekerja perusahaan dan jumlah pekerja yang pembayaran upah minimumnya akan ditunda, produksi dan pemasaran perusahaan, perkembangan dua tahun terakhir, serta rencana produksi dan pemasaran untuk dua tahun ke depan (Vide, Pasal 4 (1) Kepmenaker 231/2003).
Apabila Gubernur provinsi menyetujui permohonan tersebut, penundaan pemenuhan upah minimum akan diberikan untuk jangka waktu tidak lebih dari 12 bulan (Vide, Pasal 5 (1) Kepmenaker 231/2003). Penundaan pemenuhan upah minimum dilakukan dengan cara membayar upah minimum sesuai dengan besaran upah minimum sebelumnya, atau lebih tinggi dari tingkat upah sebelumnya tetapi lebih rendah dari tarif yang sekarang, atau menaikkan upah minimum secara bertahap (Pasal 5 (2) Kepmenaker 231/2003) . Pengusaha wajib membayar upah minimum sebagaimana mestinya setelah izin habis. Padahal, SE Menaker 2004 telah menyatakan bahwa pengaturan PHK merupakan tindakan pencegahan pemutusan hubungan kerja secara massal.
Berdasarkan data Dinas Ketenagakerjaan Provinsi Bali, per April dari 606 perusahaan tercatat 46. 787 pekerja di-PHK dan 824 pekerja di-PHK. Dengan jumlah PHK terbesar berasal dari Kabupaten Badung sebanyak 25.108 orang, kemudian Gianyar 8.608 orang, Denpasar 7.028 orang, Karangasem 2.085 orang, Buleleng 1.990 orang, Klungkung 682 orang, Tabanan 583 orang, Bangli 381 orang, dan terakhir Jembrana sebanyak 322 orang.
Kabupaten Badung, sebagai daerah yang terkena dampak paling parah dari pembatasan perjalanan pada saat penulisan di bulan Juli ini, angka pemutusan hubungan kerja meningkat, berdasarkan data per 31 Maret 2020 sampai dengan 27 Juli 2020 di Dinas Perindustrian dan Ketenagakerjaan Kabupaten Badung dari 532
perusahaan yang menyampaikan laporan kepada pihak berwenang terdapat 42.409 pekerja yang di-PHK dan 1.551 pekerja di-PHK di Kabupaten Badung. Hal ini membuktikan bahwa jumlah tersebut berangsur-angsur meningkat seiring berlalunya bulan.
Menurut Kepnaker 231/2003, pengusaha terutama akan mengajukan penundaan untuk memenuhi upah minimum kepada Gubernur provinsi. Hal ini memang tidak semudah yang tertuang dalam SE Menaker 2020 yang hanya mencakup kesepakatan antara pengusaha dan pekerja dalam hal pemotongan gaji. Hak pekerja dan kelangsungan bisnis perlu dilindungi secara setara. Pekerja adalah jantungnya dunia usaha, sedangkan bisnis adalah jantung perekonomian nasional. Pekerja seringkali berada dalam posisi rentan yang membuat hak-haknya berpeluang untuk dikurangi.20 Selain itu, studi di Cina menunjukkan keefektifan dampak kewajiban moral, kepemimpinan publik, dan tindakan kolektif terhadap penanggulangan Covid-19.21 Namun nyatanya, sesuai data Federasi Serikat Pekerja Pariwisata Indonesia, masih banyak pegawai yang tidak mendapatkan gaji atau upah saat di-PHK dan tinggal di rumah. Jumlahnya selalu bertambah seiring berjalannya bulan dan keadaan masih tidak ada perubahan, sesuai update data Juli 2020 (Gambar No.3).
JUMLAH PEKERJA PARIWISATA LEVEL STAFF (RANK * FILE) YANG MENJADI ANGGOTA FSP PAR - SPSI
YANG MENERIMA UPAH BERDASARKAN PROSENTASE
UPAH PEKERJA SELAMA PADEMI COVID It |
JUMLAH PEKERJA YANG MENDAPATKAN UPAH BULAN | |||||
MARET |
APRIL |
MEI |
JUNI |
JULI | ||
1 |
100% Upah |
8 940 |
3.455 |
1.318 |
500 |
79 |
2 |
90 - 95% Upah |
773 |
1.482 |
1.120 |
482 |
482 |
3 |
80 - 85% Upah |
1.285 |
1.800 |
2.506 |
1.400 | |
4 |
70 - 75% Upah |
435 |
513 |
917 |
1.464 |
960 |
S |
60 - 65% Upah |
18 |
212 |
428 |
275 | |
6 |
50 - 55% Upah |
249 |
2.413 |
2.383 |
1.918 |
1.795 |
7 |
40 - 45% Upah |
79 |
79 |
79 | ||
S |
30 - 35% Upah |
653 |
669 | |||
9 |
20 - 25% Upah |
Tt |
447 |
695 |
949 |
522 |
10 |
10-15% Upah |
127 | ||||
11 |
Upah Hanan |
44 |
44 |
44 |
44 |
44 |
12 |
0% Upah / Tanpa Upah |
272 |
1.061 |
1.577 |
926 |
753 |
Gambar 3. Jumlah pekerja pariwisata di Bali. Sumber: Federation Indonesian Tourism Workers Union 2020
Berdasarkan pendataan, masih banyak perusahaan yang belum memiliki kesepakatan tertulis antara manajemen dan pekerja terkait pemotongan gaji, PHK, dan pemutusan hubungan kerja. Berdasarkan Survei terhadap 257 responden, 48,6% menyatakan bahwa mereka di-PHK, berarti tidak bertempat tinggal dan tidak bekerja serta 23% diberikan cuti tidak dibayar oleh perusahaannya, yang artinya mereka tidak mendapatkan pembayaran dan gaji. Sejalan dengan prinsip “no work no pay” Peraturan
ini memang menempatkan pekerja dalam ketidakpastian, mereka masih terhitung sebagai pekerja atau pegawai, namun tidak bisa masuk kerja dan tidak bisa menerima upah apapun. Banyak pengusaha menggunakan strategi memberhentikan pekerja untuk menghindari kewajiban yang muncul jika mereka memutuskan hubungan kerja pekerjanya. Mereka beranggapan bahwa pekerja dapat mengundurkan diri secara sukarela dari pekerjaannya sehingga pemberi kerja atau perusahaan tidak harus memenuhi kewajibannya dalam membayar pesangon, imbalan masa kerja, dan uang kompensasi atas hak-hak yang selama ini tidak digunakan.
Kesejahteraan pekerja penting karena merupakan salah satu bentuk pemenuhan kebutuhan keluarga baik lahir maupun batin. Yang dilakukan oleh pekerja atau buruh di luar hubungan kerja yang secara langsung maupun tidak langsung dengan tujuan mengutamakan kinerjanya. Dengan kenyamanan dan kemudahan yang diberikan oleh berbagai fasilitas yang diberikan oleh perusahaan merupakan salah satu bentuk pemberian kesejahteraan yang diterima oleh pekerja.22

• Bekerja Normal
⅜ Cuti tidak berbayar
⅜ Dirumahkan
-
• Pemutusan Hubungan Kerja
-
• Lain Lain
Gambar 4. Hasil survei gambaran perusahaan pada masa sekarang
Berdasarkan wawancara, sebagian besar responden menyatakan bahwa keputusan berasal dari pemberi kerja atau perusahaan itu sendiri tanpa adanya negosiasi kepada pekerja, banyak dari mereka tidak mengetahui haknya dan tidak diberikan bantuan hukum oleh petugas Disnaker. Dalam hukum ketenagakerjaan telah diatur sedemikian rupa hubungan antara pekerja atau pekerja dengan pemberi kerja, yang mengontrol hak atau kepentingan individu. Hak dan kewajiban yang diperoleh pekerja atau buruh harus diberikan sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat sebaik mungkin. Perlindungan hak bagi pekerja atau buruh berarti bahwa hubungan dalam membangun pekerjaan tetap damai tanpa tekanan atau ancaman dari yang kuat hingga yang lemah.23

-
• Ya
-
• Tidak
9 Mungkin
Gambar 5. Pendampingan hukum oleh otoritas tenaga kerja
Kesejahteraan dapat tercapai oleh pekerja bila kebutuhannya terpenuhi, baik kebutuhan jasmani maupun rohani. Seperti diketahui, ada beberapa perbedaan orientasi antara pekerja dan pengusaha. Begitu pekerja berorientasi pada perlindungan hak-haknya, sebaliknya pemberi kerja menempatkan orientasi mereka pada kelangsungan bisnis dan keuntungan. 24
Berdasarkan Wawancara dengan Bapak I Ketut Gede Widiartha, SH, MPar selaku Ketua Bidang Penyelesaian Sengketa Industri Otoritas Ketenagakerjaan Kabupaten Badung, Disnakertrans tidak dapat berbuat banyak walaupun pemberi kerja tidak memberikan semua hak normatif atas pekerja atau pekerja, karena mereka memiliki kepentingannya sendiri. Jika tidak, pekerja tersebut melaporkannya kepada Petugas. Meski alot, dengan adanya pandemi masih banyak kasus pekerja yang ditampung atau diberhentikan, namun kasus perselisihan yang dilaporkan ke Otoritas Ketenagakerjaan tidak meningkat secara signifikan, hal ini menunjukkan adanya penerimaan oleh pekerja mengenai kondisi mereka di perusahaan.
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif saat ini tengah berupaya untuk mencegah penyebaran Covid-19 dan melaksanakan rencana mitigasi untuk sektor pariwisata dan ekonomi kreatif yang sedang dilanda pandemi. Kementerian Pariwisata sebelumnya menyatakan bahwa hal itu bertujuan untuk memprioritaskan bantuan bagi pekerja formal yang di-PHK atau di-PHK dalam bentuk program kartu prakerja pemerintah. Juga ada subsidi penyediaan sembako. Dinas Tenaga Kerja Badung dan Denpasar juga memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) sejumlah Rp. 600.000 bagi pekerja formal yang ditampung dan diberhentikan dari perusahaannya.
Sebagai wilayah yang terparah terkena Pandemi Covid-19 di Bali, pihak berwenang Badung mengeluarkan 6 kebijakan strategis yang disampaikan oleh Ketua Satgas Percepatan penanganan Covid-19 sekaligus Walikota kabupaten Badung I Nyoman Giri Prasta yang isi kebijakannya adalah:
-
a. Pemerintah Kabupaten Badung menghapus pembayaran penggunaan “Air Minum Daerah” (PDAM) kepada masyarakat Badung untuk keperluan rumah tangga dan sosial selama 3 bulan sejak kebijakan diumumkan.
-
b. Menyediakan bahan makanan pokok bagi keluarga penerima.
-
c. Memberikan insentif bagi pekerja yang di-PHK atau dipulangkan sesuai data Dinas Perindustrian dan Ketenagakerjaan yang dilaporkan perusahaan.
-
d. Bagi Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang berasal dari Badung dan pelajar Kabupaten Badung yang berasal dari luar negeri, disiapkan tempat penampungan karantina mandiri dengan pengawasan.
-
e. Pembayaran BPJS ditanggung oleh pemerintah Kabupaten Badung berdasarkan standar dan ketentuan yang berlaku, bagi anggota masyarakat yang sudah tidak ditanggung lagi oleh perusahaan dan/atau peserta BPJS yang membayar secara mandiri. Ketentuan berlaku bagi peserta yang tidak mampu membayar tagihan BPJS mereka masing-masing
-
f. Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD), rapid test dan sungkup sesuai SOP diutamakan kepada tenaga medis dan satgas yang menjadi front liner.
Namun menurut survei yang dilakukan pada bulan Juli, 84,4% dari 257 responden menyatakan tidak mendaftar untuk mendapatkan subsidi dari Pemerintah Tenaga Kerja berdasarkan pantauan, hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak mendapatkan informasi dan pengetahuan tentang kebijakan tersebut.
Gambar 6. Penerima Bantuan Langsung Tunai
Pelaku usaha hendaknya tetap mempertimbangkan 4 komponen kompensasi pekerja yang ter-PHK yaitu, uang untuk pesangon untuk pekerja yang diberhentikan, uang penghargaan selama masa kerja, uang penggantian hak bagi pekerja dan uang pisah. 25 Oleh karena itu, perlindungan upah dan pendampingan bagi pekerja atau pegawai saat ini sangat penting untuk diterapkan secara efektif di tengah wabah, mengingat banyak perusahaan di Bali yang memberhentikan pekerjanya dan memberhentikan pekerjanya tanpa memenuhi tanggung jawab normatifnya.
Berdasarkan penelitian yang telah dipaparkan diatas peraturan yang dapat dijadikan acuan saat terjadi Pemutusan Hubungan Kerja masih mengacu pada UU Nomer 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan juga UU Nomer 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja beserta dengan Peraturan turunannya seperti PP Nomer 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP PKWT-PHK) serta PP Nomer 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Penelitian menunjukkan bahwa adanya kesenjangan antara regulasi dengan empiris di lapangan seperti masih banyak pekerja atau karyawan di kalangan industri pariwisata di Bali yang masih belum mendapatkan hak-hak normatifnya. Banyak dari pekerja yang diberhentikan tidak mendapatkan pesangon, upah mereka pun dipotong tanpa kesepakatan, serta dipaksa untuk mengambil cuti tanpa dibayar dan tanpa upah. Asas kepastian dapat diwujudkan dengan peraturan pemerintah yang bertujuan untuk menjamin penghormatan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia. Peraturan yang ada tersebut harus memastikan bahwa tidak ada pengusaha dan perusahaan yang melanggar hak-hak karyawan tersebut. Sedangkan Otoritas Ketenagakerjaan Bali tidak dapat melakukan tindakan besar untuk memaksa perusahaan melaksanakan semua peraturan karena pada umumnya ada penerimaan dari karyawan atau pekerja itu sendiri.
Ucapan terima Kasih (Acknowledgments)
Pertama-tama kami ucapkan terima kasih kepada LPPM STMIK STIKOM Indonesia atas dukungannya, sehingga penelitian ini terlaksana dengan baik. Terima kasih kepada Bapak I Ketut Gede Widiartha, S.H., M.Par. selaku Ketua Bidang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Otoritas Ketenagakerjaan Kabupaten Badung. Kami juga berterima kasih kepada Federasi Serikat Pekerja Pariwisata Indonesia. Dan terima kasih kepada para responden yang telah bersedia meluangkan waktu untuk pengisian kuesioner. Dan yang terakhir, kepada semua pihak yang memberikan dukungan serta kontribusinya bagi penelitian ini.
Daftar Pustaka
Buku
Dadek, H T Ahmad, M H SH, S H Yanis Rinaldi, and S H Sulaiman. Politik Hukum Bencana Indonesia. Syiah Kuala University Press, 2020.
Jehani, Libertus. Hak-Hak Pekerja Bila Di-Phk. VisiMedia, 2006.
Soeseno Bong, M M. Manajemen Risiko, Krisis, Dan Bencana Untuk Industri Pariwisata Yang Berkelanjutan. Gramedia pustaka utama, 2019.
Wahyudi, Eko, Wiwin Yulianingsih, and Mochammad Firdaus Sholihin. Hukum Ketenagakerjaan. Sinar Grafika, 2016.
Jurnal
Al-Fatih, Sholahuddin, Fachry Ahsany, and Ahmad Faiz Alamsyah. “Legal Protection of Labor Rights During the Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) Pandemic.” Jurnal Pembaharuan Hukum 7, no. 2 (2020): 100–115.
Candra, Listania Felia Kartika, and Agnira Rekha. “The Effects of Pandemic Era to Tourism Industry in Tangerang.” Journal of Indonesian Tourism, Hospitality and Recreation 3, no. 2 (2020): 169–75.
Charda, S. “Karakteristik Undang-Undang Ketenagakerjaan Dalam Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja.” Jurnal Wawasan Yuridika 32, no. 1 (2015): 1–21.
Hendrastomo, Grendi. “Menakar Kesejahteraan Buruh: Memperjuangkan
Kesejahteraan Buruh Diantara Kepentingan Negara Dan Korporasi.” Jurnal Informasi 16, no. 2 (2010): 1–16.
Ismono, Joko. “Hubungan Kerja Dalam Perspektif HAM, Ekonomi, Dan Pembangunan.” Halu Oleo Law Review 2, no. 1 (2018): 354–70.
Juaningsih, Imas Novita. “Analisis Kebijakan PHK Bagi Para Pekerja Pada Masa Pandemi Covid-19 Di Indonesia.” Adalah 4, no. 1 (2020).
Mahriani, Elida, Purwanti Dyah Pramanik, Popon Srisusilawati, Gede Nyoman Wiratanaya, Eman Sukmana, Amalia Mustika, Imanuddin Hasbi, et al. MANAJEMEN PARIWISATA (SEBUAH TINJAUAN TEORI DAN PRAKTIS). Edited by Moh Agus Sutiarso. Widina Bhakti Persada Bandung. Bandung: Widina Bhakti Persada Bandung, 2020.
Nuruddin, Wirawan, and Pujiastuti PE. “S., & Sri Astuti, NN (2020). Strategi Bertahan Hotel Di Bali Saat Pandemi Covid-19.” Jurnal Kajian Bali (Journal of Bali Studies) 10, no. 2 (n.d.): 579.
Putra, Andika Pramana. “Kajian Hukum Terhadap Putusan Mahkamah Agung Atas Perkara No. 825k/Pdt. Sus-Phi/2015 Tentang Pemutusan Hubungan Kerja Karena Alasan Efisiensi.” Jurnal Hukum Adigama 1, no. 1 (n.d.): 758–83.
Santosa, Anak Agung Gede Duwira Hadi, and Luh Ayu Nadira Saraswati. “Pariwisata Kerta Masa: Gagasan Alternatif Kebijakan Pembangunan Pariwisata Bali.” Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) 9, no. 4 (December 31, 2020): 723–38. https://doi.org/10.24843/JMHU.2020.V09.I04.P05.
Sudiarawan, K, Putu Devi Yustisia Utami, Gede Agus Angga Saputra, and Alia Yofira Karunian. “Indonesian Labor Sector During Covid-19: Weighing the Impact of Company Saving Policy and Workers Protection.” Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) 9, no. 4 (2020): 684–700.
Suhartoyo, Suhartoyo. “Perlindungan Hukum Bagi Buruh Dalam Sistem Hukum Ketenagakerjaan Nasional.” Administrative Law and Governance Journal 2, no. 2 (2019): 326–36.
Syafrida, Syafrida, Safrizal Safrizal, and Reni Suryani. “Pemutusan Hubungan Kerja Masa Pandemi Covid-19 Perusahaan Terancam Dapat Dipailitkan.” Pamulang Law Review 3, no. 1 (2020): 19–30.
Yang, Liu, and Yang Ren. “Moral Obligation, Public Leadership, and Collective Action for Epidemic Prevention and Control: Evidence from the Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Emergency.” International Journal of Environmental Research and Public Health 17, no. 8 (2020): 2731.
Zukhri, N, and E Rosalina. “Acceleration Model for Tourism Industry Recovery Based on Environment Post COVID-19.” In IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 599:12090. IOP Publishing, 2020.
Peraturan Perundang-undangan
Indonesia, M. T. K. D. T. R. (2004). KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR: KEP.231/MEN/2003 TENTANG TATA CARA PENANGGUHAN PELAKSANAAN UPAH MINIMUM. Hilos Tensados, 1, 1–476.
https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2O2O Tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 Sebagai Bencana Nasional, Pub. L. No. Number 12 year 2020, Fundamental of Nursing (2020).
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2021 Tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, Dan Pemutusan Hubungan Kerja, 56 (2021).
https://jdih.kemnaker.go.id/data_puu/PP352021.pdf
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2021 Tentang Pengupahan, 75 (2021).
Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor M/3/HK.04/III/2020 tentang Pelindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan COVID-19, (2020).
Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi tentang Pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja Massal, (2004).
https://jdih.kemnaker.go.id/data_puu/907_se_menteri.pdf
Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: SE.643/MEN/PHI-PPHI/IX/2005 tentang Pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), (2005).
Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pub. L. No. UU Nomor 13 tahun 2003 (2003).
Undang-undang Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, (2004).
Website resmi
Kompas. “Presiden Jokowi Teken Keppres Tetapkan Wabah Covid-19 Bencana Nasional.” Accessed March 14, 2020.
https://nasional.kompas.com/read/2020/04/13/18101841/presiden-jokowi-teken-keppres-tetapkan-wabah-covid-19-bencana-nasional.
News, Tribun. “Tambah 145 Orang Positif Corona, Update Penanggulangan Covid-19 Di Bali 27 Maret 2021 - Tribun Bali.” Accessed March 30, 2020.
Organization, World Health. “Question and Answers Hub.” Accessed April 14, 2020. https://www.who.int/emergencies/diseases/novel-coronavirus-2019/question-and-answers-hub.
Post, Bali. “COVID-19, Sejutaan Naker Di Bali Diprediksi Alami Penurunan Kesejahteraan | BALIPOST.Com.” Accessed May 14, 2020.
https://www.balipost.com/news/2020/04/03/113452/COVID-19,Sejutaan-Naker-di-Bali...html.
Bali, Disparda Provinsi. “Rilis Data Statistik Resmi Bulan Januari 2021 – Bali
Government Tourism Office.” Accessed February 2, 2021.
https://disparda.baliprov.go.id/rilis-data-statistik-resmi-bulan-januari-2021/2021/03/.
375
Discussion and feedback