Efektivitas Pemenjaraan Ditengah Ide Pemidanaan Dengan Pendekatan Keadilan Restoratif

Diah Ratna Sari Hariyanto1, I Dewa Gede Dana Sugama2

1Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: diahratna88@gmail.com

2Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: dewasugama@ymail.com

Info Artikel

Masuk: 26 Oktober 2020

Diterima: 21 Juli 2021

Terbit: 31 Juli 2021

Keywords:

Efectivity; imprisonment;

restorative justice; criminal system


Kata kunci:

Efektivitas; penjara; restorative justice; sistem pemidanaan

Corresponding Author:

Diah Ratna Sari Hariyanto, Email: diahratna88@gmail.com

DOI:

10.24843/JMHU.2021.v10.i02.p15


Abstract

The present study seeks to find out, examine the effectiveness of criminal sanctions in the form of imprisonment in Bali, as well as discover the basis for the application of punishment with a restorative justice approach. This study belongs to empirical legal research that is descriptive in nature and makes the Correctional Institution in Bali the object of research. The results of the study suggested that the emergence of recidivists in Bali and the still negative stigma among the Balinese community subsequent to the removal of prisoners shows that correctional goals are still unachieved and the emergence of recidivists in Bali implies that the criminal sanction in the form of imprisonment still remains ineffective. The concept of an ideal criminal system to be applied in Bali related to imprisonment is the one adopting the restorative justice approach, because in addition to minimising imprisonment, in this approach, the interests of victims are more concerned by making various efforts to resolve conflicts and by making rehabilitation.

Abstrak

Tujuan dari studi ini untuk mengetahui dan menganalisis efektivitas pemenjaraan di Bali dan menemukan landasan penerapan pemidanaan dengan pendekatan keadilan restoratif. Penelitian ini adalah penelitian hukum empiris yang sifatnya deskriptif dan menjadikan Lembaga Pemasyarakatan di Bali sebagai objek penelitian. Hasil studi menunjukkan bahwa munculnya residivis di Bali dan masih adanya stigma negatif dari masyarakat Bali setelah narapidana keluar dari lapas menunjukkan bahwa tujuan pemasyarakatan belum tercapai dan sanksi penjara tidak efektif di Bali. Konsep sistem pemidanaan yang ideal untuk diterapkan di Bali terkait dengan pemenjaraan adalah konsep sistem pemidanaan dengan pendekatan restorative justice yang memperhatikan kepentingan korban dengan melakukan berbagai upaya penyelesaian konflik dan rehabilitasi, serta meminimalisasi penjatuhan pidana penjara.

yang paling sering dijatuhkan. Bahkan telah dianggap menjadi primadona karena seringkali dijatuhkan oleh hakim dalam putusannya. Hal ini tentu tidak sejalan dengan asas “ultimum remedium” bahwa hukum pidana adalah sarana terakhir, hukum pidana adalah obat terakhir, sehingga penggunaannya harus dengan hati-hati. Begitupula jika dibandingkan dengan negara-negara lain yang menghindari penjatuhan pidana pidana penjara dengan menggantinya dengan pidana denda.

Pemidanaan dengan cara pemenjaraan perlu dikritisi dengan membandingkannya dengan fakta mengenai efektivitasnya bagi narapidana di Indonesia. Berdasarkan data yakni tahun 2017-2020 dapat diketahui bahwa telah terjadi over kapasitas hampir di seluruh Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia. Salah satu misalnya di Lapas Kelas II A Kerobokan tahun 2017 jumlah tahanan dan napi mencapai 1,359 orang dengan over kapasitas sebesar 321%; tahun 2018 jumlah tahanan dan napi mencapai 1,456 orang dengan over kapasitas sebesar 351%; tahun 2019 jumlah tahanan dan napi mencapai 1607 orang dengan over kapasitas sebesar 398%, dan tahun 2020 jumlah tahanan dan napi mencapai 1410 orang dengan over kapasitas sebesar 337% .1 Hal ini manarik untuk dikaji karena fakta menunjukkan terjadinya over capacity di hampir seluruh Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia termasuk lembaga pemasyarakatan di Bali. Dalam hal ini efektivitas pemenjaraan sebagai sarana dalam mencapai tujuan pemidanaan masih perlu dipertanyakan kembali.

Bambang Waluyo menyatakan bahwa sistem pemidanaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 10 KUHP masih terfokus pada upaya penindakan pelaku dan belum memperhatikan upaya pemulihan korban. Apabila dikritisi sistem pemidanaan ini masih mengarah pada paradigma pembalasan (sistem pemidanaan yang sifatnya retributive). Sistem retributive ini memandang pidana sebagai bentuk pembalasan dengan menjatuhkan balasan berupa hukuman yang setimpal kepada pelaku kejahatan. Sistem pemidanaan yang sifatnya retributive ini nyatanya belum mampu memenuhi kebutuhan korban. Kini, dalam perkembangannya muncullah pendekatan restorative justice yang menarik untuk diterapkan.2 Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa tren menjatuhkan pidana penjara sebagai cerminan sistem pemidanaan yang retributive nampaknya masih menimbulkan tanda tanya terkait efektifitasnya.

Romli Atmasasmitha menegaskan bahwa pemenjaraan tidak selalu memberi efek jera. Penjeraan tidak terjadi dan recidivisme tetap ada, bahkan Lapas telah menjadi sekolah tinggi kejahatan tempat penjahat belajar tentang kejahatan. 3 Hingga saat ini pemenjaraan mendapatkan kritikan-kritikan terkait dampak pemenjaraan bagi pelaku yakni stigmatisasi dan prisonisasi.4 Kritikan yang mengarah pada kekurangan yang dimiliki Lembaga Pemasyarakatan juga dikaitkan pada tidak mampunya Lembaga

Pemasyarakatan memutus rantai kejahatan dan masalah sosial yang dialami pelaku, korban, dan masyarakat.5

Kondisi over kapasitas di Lembaga Pemasyarakatan perlu mendapat kajian yang mendalam, bukan hanya dari segi sarana atau fasilitas dari pemerintah, namun dari sistem pemidanaannya sendiri. Berbagai permasalahan akibat seringnya penjatuhan sanksi pidana penjara, mulai dari over kapasitas Lembaga Pemasyarakatan, pandangan bahwa sanksi pidana penjara tidak memberi efek jera bagi pelaku, munculnya residivis, lemahnya pengawasan sehingga banyak kasus yang terjadi di Lapas (narkoba) serta anggapan bahwa Lapas adalah sekolah tinggi kejahatan, masalah hutang negara untuk membiayai narapidana, serta berbagai masalah lainnya perlu diberikan solusi.

Banyak problema dalam pelaksanaan pemenjaraan di Indonesia yang perlu dikritisi, sehingga tulisan ini urgen untuk diteliti untuk mengetahui sistem pemidanaan yang dibutuhkan saat ini, sehingga pemidanaan akan lebih efektif. Pemidanaan dengan pembalasan harus dirubah dengan pemidanaan yang sifatnya lebih humanis misalnya dengan mempergunakan pendekatan restorative justice yang menekankan pada pemulihan dan perbaikan seperti keadaan semula sebelum kejahatan terjadi.

Tulisan ini akan mereevaluasi tentang sistem pemidanaan yang berlaku saat ini agar efektif dalam upaya mencapai tujuan pemidanaan yang lebih adil dan humanis, yang mampu menanggulangi kejahatan dan memberikan manfaat bagi semua pihak. Tujuan pemidanaan yang sifatnya pembalasan tentu tidak sesuai lagi. Pemidanaan memang menjadi hal yang krusial namun perlu sistem yang tepat sehingga dapat berlaku efektif. Tulisan ini urgen untuk dikaji seiring dengan perkembangan hukum yang menuntut keadilan. Hal ini dapat ditemukan dalam konsep pemidanaan dengan pendekatan Restorative Justice (Keadilan Restoratif) yang diharapkan dapat memperbaiki sistem pemidanaan dan sistem pemasyarakatan. Hasil tulisan ini dapat menjadi awal dalam pembentukkan konsep pemidanaan yang ideal untuk Indonesia kedepannya, yang diarahkan pada pembentukkan konsep baru sistem pemidanaan dengan pendekatan Restorative Justice.

Hal inilah yang menjadikan penulis tertarik menulis jurnal ini, khususnya yang mengkaji keefektifitasan pemenjaraan atau sanksi pidana penjara di Bali dan sistem pemidanaan dengan pendekatan Restorative Justice (Keadilan Restoratif) yang ideal untuk diterapkan di Indonesia, khususnya di Bali.

Tujuan tulisan ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan terkait efektivitas pemenjaraan di Bali dan landasan penerapan pemidanaan dengan pendekatan keadilan restoratif, sebagai upaya menemukan konsep sistem pemidanaan yang ideal dengan pendekatan restorative justice secara mendalam, seperti hasil riset yang berjudul Efektivitas Pidana Penjara Dalam Membina Narapidana yang menyimpulkan bahwa pemenjaraan belum efektif memberikan pembinaan dan resosialisasi mantan warga binaan. Riset ini menyarankan melegalisasi mediasi penal sebagai solusi dalam

permasalahan ini.6 Hal serupa juga ditunjukkan dalam riset yang berjudul, “Pidana Penjara Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia”. Riset ini menemukan bahwa banyak kekurangan dalam pelaksanaan pemenjaraan di Indonesia sehingga harus diperbaiki agar pemidanaan tidak menimbulkan efek negative bagi pelaku dan keluarganya.7 Restorative justice sebagai cerminan sistem pemidanaan yang modern nampaknya menjadi arah sistem pemidanaan yang dibutuhkan sebagaimana tulisan dari Eva A. Zulfa yang menyebutkan bahwa sistem pemidanaan yang berparadigma restorative justice sesuai dengan paradigma yang ada dalam Rancangan KUHP Indonesia.8 Riset-riset ini menunjukan bahwa pemenjaraan memang memiliki berbagai permasalahan dalam sistem pemidanaan di Indonesia sehingga tulisan ini urgen diteliti khususnya kearah restorative justice. Hasil riset sebelumnya menemukan bahwa pidana penjara belum efektif dan tulisan ini mengkaji lebih dalam terkait efektifitas pidana penjara di Bali yang berusaha mengkontruksi sistem pemidanaan yang ideal dimasa yang akan datang.

  • 2.    Metode Penelitian

Penelitian hukum ini adalah penelitian hukum empiris, yang bertumpu pada teori dan fakta terkait pelaksanaan sanksi pidana penjara di Bali. Penelitian ini sifatnya deskriptif, dengan menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh di Polda Bali dan di Lembaga Pemasyarakatan di daerah Bali, selanjutnya data hukum sekunder yang digunakan adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer yang digunakan berupa aturan hukum terkait pidana penjara, bahan hukum sekunder berupa doktrin, buku-buku hukum, artikel internet, serta bahan hukum tersier berupa kamus yang selanjutnya dikumpulkan dengan Teknik Studi Dokumen dan Teknik Wawancara. Penelitian ini menggunakan Teknik non-Probabilitas/Non-Random Sampling dengan bentuk purposive sampling. Data yang terkumpul akan diolah dan dianalisis dengan teknik analisis data kualitatif, selanjutnya data akan disajikan secara deskriptif kualitatif dan sistematis.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1 . Efektivitas Pemenjaraan di Bali (Studi Kasus di Lembaga Pemasyarakatan)

Efektifitas pemenjaraan atau sanksi pidana penjara dalam tulisan ini akan ditinjau dari pencapaian tujuan sanksi pidana penjara atau pemenjaraan yang dilaksanakan melalui sistem pemasyarakatan (hasil dari pidana pemenjaraan). Efektifitas sanksi pidana penjara juga akan ditinjau dari tujuan pemidanaan yang menurut Barda Nawawi Arief dapat dikaji dari dua aspek yakni aspek perlindungan masyarakat dan aspek

perbaikan pelaku. 9 Hal inilah yang akan dijadikan dasar analisis ketika mengkaji efektivitas penerapan sanksi pidana penjara sebagaimana yang akan diuraikan di bawah ini.

  • 3.1.1    Pelaksanaan Sanksi Pidana Penjara Dalam Sistem Pemasyarakatan

Pemenjaraan atau yang kini disebut dengan pemasyarakatan sebagai bentuk hukuman yang dijatuhkan kepada narapidana yang telah melakukan pelanggaran terhadap hukum pidana tentu memiliki tujuan. Keberhasilan dalam mencapai tujuan inilah yang menjadi cerminan keefektifan sanksi pidana penjara. Sebagaimana yang telah diuraikan dalam dasar menimbang, Pasal 1 angka 2, Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor : 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (selanjutnya disebut UU Pemasyarakatan), serta penjelasan umum undang-undang pemasyarakatan dapat diketahui bahwa tujuan dari pemasyarakatan sebagai bentuk pelaksanan sanksi pidana penjara (pemenjaraan) yakni untuk meningkatkan kualitas narapidana agar sadar akan kesalahannya, perbaikan diri warga binaan, agar narapidana tidak mengulangi kejahatannya, resosialisasi, berperan aktif dalam pembangunan, dan menjadi warga yang baik serta bertanggungjawab, menjadi manusia seutuhnya, dan mencegah recidive.

Hasil wawancara dengan salah satu residivis (terpidana kasus pencurian) di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Kerobokan menunjukkan bahwa saat di Lapas ia menyadari kesalahannya dan berniat untuk memperbaiki diri dan tidak mengulangi kejahatannya lagi, namun nyatanya ia tetap mengulangi kejahatannya karena faktor ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa pemasyarakatan yang telah dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan terhadap residivis tersebut tidak berhasil.

Tujuan Pemasyarakatan dan upaya penanggulangan kejahatan utamanya adalah agar pelaku kejahatan tidak mengulangi kejahatannya dan hal ini menjadi tugas besar Lembaga Pemasyarakatan dalam sebuah sistem Pemasyarakatan. Iqrak Sulhin & Yogo Tri Hendiarto menyebutkan bahwa Lembaga Pemasyarakatannya yang memodifikasi motivasi dan perilaku warga binaan masyarakat sebagai narapidana, agar tidak mengulangi kejahatannya lagi setelah menjalani masa pidananya di Lembaga Pemasyarakatan, sehingga pembinaan harus dilakukan secara optimal. 10 Hal ini menunjukkan bahwa recidive menentukan keberhasilan penjatuhan sanksi pidana dalam merubah perilaku narapidana.

Salah satu tujuan dari penjatuhan sanksi pidana penjara adalah memberikan efek jera sehingga dapat menekan angka kejahatan, sehingga perlu dikaji terkait jumlah tindak pidana yang terjadi di Bali sebagaimana diuraikan dalam tabel di bawah ini:

Tabel. 1

Jumlah Tindak Pidana di Polda Bali

No.

Tahun

Jumlah

1

2015

3741

2

2016

3651

3

2017

3257

4

2018

3188

5

2019

2921

6

2020

1967

Sumber: BINOPS POLDA BALI

Tabel 1 menunjukkan bahwa meskipun terjadi penurunan angka kejahatan di Bali dari tahun 2015-2020 namun kejahatan masih terjadi dalam jumlah yang besar.

Munculnya residivis menunjukkan bahwa pemasyarakatan belum berhasil menekan kejahatan. Berdasarkan tabel 1 juga dapat diketahui bahwa angka kejahatan di Bali masih tinggi dari tahun 2015-2020, yakni berkisar ribuan kejahatan pertahun. Perlu dikaji kembali terkait pelaksanaan pemasyarakatan yang berupa berbagai hak-hak dan kewajiban yang dimiliki warga binaan, kegiatan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan, dan kendala yang dihadapi oleh Lembaga Pemasyarakatan, namun sebelumnya perlu diketahui kondisi di Lembaga Pemasyarakan. Kondisi ini khususnya terkait dengan jumlah penghuni di Lembaga Pemasyarakatan (khususnya terkait dengan over kapasitas di Lapas), jumlah petugas di Lembaga Pemasyarakatan dan jumlah anggaran Lembaga Pemasyarakatan untuk operasional pemasyarakatan narapidana (Warga Binaan Pemasyarakatan), yang akan diuraikan berikut ini:

  • 3.1.1.1    Kondisi di Lembaga Pemasyarakatan di Bali

    • 3.1.1.1.1    Jumlah Penghuni di Lembaga Pemasyarakatan

Berdasarkan Sistem Database Pemasyarakatan dapat diketahui bahwa over kapasitas terjadi hampir diseluruh wilayah Indonesia, termasuk di Bali. Jumah over kapasitas di Bali tertinggi terjadi di Lapas Kelas IIA Kerobokan dengan jumlah sebagaimana ditunjukan dalam diagram 1.

Diagram 1.

Overkapasitas Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Kerobokan

% Over Kapasitas

358       384      398     337

400


300


203     305


200

100

0

Tahun    Tahun    Tahun    Tahun    Tahun    Tahun

2015    2016    2017    2018    2019    2020

% Over Kapasitas

Gambar 1 Sumber: Sistem Database Pemasyarakatan

Berdasarkan diagram 1 diatas menunjukkan bahwa jumlah tahanan dan narapidana serta over kapasitas di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Kerobokan selalu meningkat setiap tahunnya, kecuali di tahun 2020 data over kapasitas menurun karena adanya kebijakan negara membebaskan narapidana secara bertahap untuk mencegah penyebaran Covid-19 di Lapas. Jumlah over kapasitas tertinggi terjadi pada tahun 2019 yang mencapai 419% dengan jumlah narapidana dan tahanan sebanyak 2921orang.

Over kapasitas tentu menjadi salah satu kendala dalam pelaksanaan pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan. Hal ini juga menunjukkan bahwa dengan banyaknya tahanan dan narapidana yang terus meningkat setiap tahunnya menunjukkan angka kejahatan belum dapat ditekan. Banyaknya tahanan dan narapidana sehingga menimbulkan over kapasitas tentu akan berdampak dalam berbagai hal dalam pelaksanaan pemasyarakatan, terutama dalam hal pembinaan dan pengawasan. Over kapasitas dapat menimbulkan berbagai permasalahan yakni pembiayaan narapidana hingga menimbulkan hutang negara, pengawasan yang lemah, serta berbagai permasalahan lainnya seperti pandangan bahwa sanksi pidana penjara tidak memberi efek jera bagi pelaku, munculnya residivis, serta anggapan bahwa Lembaga Pemasyarakatan adalah sekolah tinggi kejahatan.

Berdasarkan hasil penelitian di Lapas Kelas II A Kerobokan dapat diketahui bahwa anggaran pembiayaan narapidana/Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) tidaklah banyak, sangat minim, dan bahkan sampai berhutang. Masalah anggaran juga berdampak pada pelaksanaan pembinaan yang akan mempengaruhi keefektifitasan pemenjaraan. Terkait dengan jumlah petugas (termasuk pejabat) adalah sejumlah 145 orang. Jumlah petugas yang menjalankan fungsi pengawasan adalah sebanyak 72 orang dengan pembagian: 60 orang regu jaga dan 12 orang di P2U (pintu masuk). Jumlah ini tentu tidak sebanding dengan jumlah narapidana dan tahanan yakni pada tahun 2019 sebanyak 1.675 orang, dengan demikian perbandingan antara jumlah petugas dengan jumlah narapidana dan tahanan di Lapas ini adalah 145 : 1.675 orang. Minimnya petugas Lapas juga terjadi di berbagai Lapas lainnya di Bali.

  • 3.1.1.2 . Hak-hak dan Kewajiban Narapidana (Warga Binaan Pemasyarakatan)

Narapidana (Warga Binaan Pemasyarakatan) tentu memiliki hak-hak dan tanggung jawab selama menjalani masa hukumannya di Lembaga Pemasyarakatan sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Ayat (1) dan 15 undang-undang Pemasyarakatan. Terkait dengan Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan selanjutnya telah diatur dalam Peraturan Pemerintah yang terkait.

  • 3.1.1.3    Pelaksanaan Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan dan Kendala yang dihadapi

Dalam pelaksanaannya jenis kegiatan pembinaan berbeda-beda di setiap lapas. Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Kasie Binadik di Lapas Kelas II A Kerobokan menyatakan bahwa pembinaan terdiri dari 2 (dua) jenis yakni pembinaan kepribadian dan pembinaan kemandirian yang terdiri dari berbagai kegiatan. Adapun kendala yang dialami dalam pembinaan yakni: dana pembinaan sedikit, minimnya jumlah petugas, minat narapidana kurang, dan kesadaran dan dukungan masyarakat kurang. Terkait pengawasan, prisonisasi menjadi hal yang sulit untuk dihindari.

Terkait hal ini Joejoen Tjahjan menegaskan bahwa over capacity di Lembaga Pemasyarakatan dapat menimbukan prisonisasi11

Beberapa fakta yang menunjukkan bahwa Lembaga Pemasyarakatan yang over kapasitas dengan minimnya jumlah petugas Lembaga Pemasyarakatan juga menjadi penyebab kegiatan pemasyarakatan tidak dapat efektif dilakukan. Over kapasitas dengan jumlah narapidana yang melebihi kapasitas juga menimbulkan permasalahan anggaran sehingga menjadi kendala dalam melaksanakan pembinaan. Bahkan Lembaga Pemasyarakatan berhutang. Negarapun berhutang akibat banyaknya anggaran yang diperlukan untuk pemasyarakatan atau pelaksanaan sanksi pidana penjara. Kepala Kasi Binadik di Lembaga Pemasyarakatan menyatakan bahwa Lembaga Pemasyarakatan bukan tempat yang mengasilkan uang, namun tempat yang menghabiskan uang negara.

Menurut penulis, kegiatan pemasyarakatan atau pembinaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan sudah baik, namun banyaknya jumlah narapidana (over kapasitas) yang menjadikannya tidak efektif, terutama di bidang pengawasan. Berdasarkan data dan analisis menunjukkan sanksi pidana penjara atau pemenjaraan di Bali belum efektif. Adanya residivis (tidak menimbulkan efek jera) di Bali dan masih adanya stigma negatif dari masyarakat Bali setelah narapidana keluar dari lapas menunjukkan bahwa tujuan pemasyarakatan belum tercapai atau dengan kata lain sanksi pidana penjara atau pemenjaraan di Bali belum efektif.

  • 3.2    Sistem Pemidanaan yang Ideal Dengan Pendekatan Restorative Justice

Banyak permasalahan dan hambatan yang ada dalam pelaksanaan sanksi pidana penjara di Lembaga Pemasyarakatan. Tidak hanya di Bali, namun hampir di seluruh wilayah Indonesia mengalami hal yang serupa. Victorio H. Situmorang menulis bahwa masih terdapat kekurangan dalam pelaksanaan sistem Pemasyarakatan, baik dari sisi SDM dan prasarananya. 12 Solusi dari permasalahan ini tidak hanya dengan memperbaiki prasarana dan prasarananya, namun harus memperbaiki sistem pemidanaannya.

Sistem pemidanaan dengan tujuan pemidanaan yang sifatnya pembalasan tentu tidak sesuai lagi. Pemidanaan memang menjadi hal yang krusial namun perlu sistem yang tepat sehingga dapat berlaku efektif. Hal ini dapat ditemukan dalam konsep Restorative Justice (Keadilan Restoratif). Konsep ini dapat dijadikan solusi atas permasalahan pemenjaraan di Indonesia. Hal serupa juga dinyatakan oleh Risang Achmad Putra Perkasa bahwa over capacity di Lembaga Pemasyarakatan tidak hanya dikarenakan kuantitas atau jumlah narapidana yang melebihi kapasitas namun harus dilihat dari paradigma pemidanaan yang cenderung kearah pemenjaraan. Solusi atas permasalahan ini adalah dengan melakukan tindakan yang non instutional salah

satunya dengan penggunaan pendekatan restorative justice.13 Ismail menulis bahwa orientasi penegakan hukum seharusnya tidak berorientasi pada pidana penjara, namun sebaiknya mengedepankan pendekatan Restorative Justice.14 Ahmad Bahiej juga menemukan bahwa berangkat dari berbagai permasalahan dan perjalanan hukum di Indonesia patut disadari tujuan dari pemidanaan kedepan akan dibawa kearah pemidanaan yang moderat dan lebih baik. Hal ini ditemukan dalam pendekatan Restorative Justice.15 Hal ini sejalan dengan teori tujuan pemidanaan yang modern yang terfokus pada perbaikan penjara dan mencari alternatif peyelesaian kasus yang bukan pidana.16

Sistem pemidanaan di Indonesia perlu di arahkan ke konsep pendekatan Restorative Justice agar lebih efektif dan ideal untuk diterapkan di Indonesia. Ide restorative justice muncul demi terwujudnya keadilan bagi korban dan sebagai kritik terhadap sanksi pidana penjara. Dalam perspektif restorative justice kejahatan juga dianggap sebagai perbuatan yang merugikan dan merusak hubungan sosial. 17

Tujuan penjatuhan sanksi pidana saat ini adalah pemberian efek jera, derita, dan pembalasan yang dianggap tidak memberikan penyembuhan bagi korban, prosesnyapun lama sehingga diperlukan pendekatan lain yakni pemidanaan dengan pendekatan restoratif justice berupa penyelesaian masalah dengan melibatkan semua pihak. Restoratif justice akan memberikan tanggungjawab kepada pelaku untuk perbaikan dan mengganti kerugian yang ada akibat kejahatannya. Restorative justice menekankan pada upaya pemulihan akibat kerugian yang ditimbulkan oleh pelaku, keamanan, penderitaan fisik, harkat, dan pemenuhan keadilan. Hal ini bertujuan untuk mencegah rasa malu, agar tidak muncul lagi pengulangan tindak pidana, dan agar pelaku dapat diterima oleh masyarakat. Melalui restorative justice sejatinya tidak perlu lagi pemenjaraan karena sudah ada perbaikan dan pemulihan, permaafan, dan penyesalan dari pelaku kejahatan. 18 Ciri dari peradilan restorative yakni “Just Peace Principle" yang artinya keadilan yang berdasar pada perdamaian antara pelaku, korban, dan masyarakat. 19 Hal ini tentu berbeda dengan proses peradilan pidana umumnya yang lebih terfokus pada mempidana terdakwa.

Sasaran akhir dari adanya konsep peradilan restorative ini adalah untuk mengurangi jumlah narapidana di dalam penjara; menghindari stigma negatif yang ada dalam diri pelaku kejahatan dan menjadikannya Kembali sebagai manusia normal; sadar akan

kesalahannya sehingga tidak ada pengulangan kejahatan lagi, serta tidak menambah beban kerja peradilan; menghemat keuangan negara, menghindari dendam, ganti rugi yang lebih cepat didapatkan oleh korban; pemberdayaan masyarakat sebagai upaya penanganan kejahatan kejahatan dan; resosialisasi. 20 Hal ini menunjukkan bahwa konsep restorative justice menjadi konsep yang responsif menjawab berbagai permasalahan sehingga urgen diterapkan sebagai konsep pemidanaan yang ideal.

Hukum harus merespon kebutuhan hukum masyarakat sebagaimana dijelaskan dalam teori hukum responsif dari Nonet dan Selznick. Secara teoritis konsep restorative justice sesuai dengan teori hukum progesif dalam perkembangan hukum pidana kedepan, khususnya dalam konteks menjawab sistem pemidanaan yang problematis. M. Zulfa Aulia menulis bahwa teori hukum progresif dari Satjipto Rahardjo yang pada intinya mengandung makna hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya manusia untuk hukum. Hukum harus bergerak maju.21

Berdasarkan analisis penulis, konsep sistem pemidanaan yang ideal untuk diterapkan di Bali terkait dengan pemenjaraan adalah konsep sistem pemidanaan dengan pendekatan restorative justice yang memperhatikan kepentingan korban dengan melakukan berbagai upaya penyelesaian konflik dan rehabilitasi. Sistem pemidanaan dengan pendekatan restorative justice yang ideal adalah dengan mengupayakan penyelesaian di luar pengadilan seperti melakukan musyawarah yang dikenal dengan mediasi penal atau melakukan berbagai upaya untuk meminimalisasi pemenjaraan misalnya dengan penjatuhan sanksi pidana lainnya misalnya denda atau sanksi pidana kerja sosial. Kembali pada makna dari restorative justice maka yang diutamakan adalah pemulihan dan perbaikan seperti keadaan semua dengan melibatkan semua pihak. Konsep restorative justice di Indonesia baru diadopsi oleh sistem peradilan pidana anak yang mewajibkan mengupayakan proses diversi disemua tingkat pemeriksaan. Diversi di Indonesia terbatas pada tindak pidana anak, tidak pada orang dewasa.

  • 4.    Kesimpulan

Adanya residivis dan masih adanya stigma negatif dari masyarakat di Bali setelah narapidana keluar dari lapas menunjukkan bahwa tujuan pemasyarakatan belum tercapai dan pemenjaraan atau saksi pidana penjara tidak efektif di Bali, sehingga perlu konsep yang baru dalam sistem pemidanaan di Indonesia. Konsep sistem pemidanaan yang ideal untuk diterapkan di Bali terkait dengan pemenjaraan adalah konsep sistem pemidanaan dengan pendekatan restorative justice yang memperhatikan kepentingan korban dengan melakukan berbagai upaya penyelesaian konflik dan rehabilitasi. Sistem pemidanaan dengan pendekatan restorative justice yang ideal adalah dengan mengupayakan penyelesaian di luar pengadilan seperti melakukan musyawarah yang dikenal dengan mediasi penal, melakukan berbagai upaya untuk meminimalisasi pemenjaraan misalnya dengan penjatuhan sanksi pidana lainnya misalnya denda atau sanksi pidana kerja sosial. Sebagai solusi untuk mengefektifkan sanksi pidana perjara perlu diupayakan penerapan restorative justice. Sistem pemidanaan dengan pendekatan restoratif sebagai permulaan dapat diterapkan dalam kasus tindak pidana ringan dan delik aduan. Paradigma restoratif justice perlu dimiliki

oleh seluruh penegak hukum sebagai sub sistem peradilan pidana sehingga sistem pemidanaan yang ideal dengan pendekatan restoratif justice dapat tercapai.

Ucapan Terima Kasih (Acknowledgments)

Terimakasih penulis sampaikan kepada Rektor Cq. Ketua LPPM, Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana dan semua pihak yang mendukung, serta membantu dalam penelitian ini.

Daftar Pustaka

Buku

Arief, Barda Nawawi. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana : Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru. Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011.

Ruba’i, Masruchin. “Buku Ajar Hukum Pidana.” Cetakan Pertama, Malang: Bayumedia Publishing, 2014.

Jurnal

Aryana, I Wayan Putu Sucana. “Efektivitas Pidana Penjara Dalam Membina Narapidana.” DiH:   Jurnal Ilmu Hukum 11, no. 21   (2015).

https://doi.org/https://doi.org/10.30996/dih.v11i21.446.

Atmasasmita, Romli. “Rekonstruksi Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan,” 2018.

Aulia, M Zulfa. “Hukum Progresif Dari Satjipto Rahardjo: Riwayat, Urgensi, Dan Relevansi.” Undang:   Jurnal Hukum 1, no. 1   (2018):   159–85.

https://doi.org/https://doi.org/10.22437/ujh.1.1.159-185.

Bahiej, Ahmad. “Arah Dan Tujuan Pemidanaan Dalam Hukum Pidana Nasional Indonesia.” Supremasi Hukum: Jurnal Kajian Ilmu Hukum 1, no. 2 (2012).

Jaya, Pajar Hatma Indra. “Efektifitas Penjara Dalam Menyelesaikan Masalah Sosial.” HISBAH: Jurnal Bimbingan Konseling Dan Dakwah Islam 9, no. 1 (2012): 105–24. https://doi.org/https://doi.org/10.14421/hisbah.2012.091-06.

Kania, Dede. “Pidana Penjara Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia.” Yustisia           3,           no.           2           (2016):           19–28.

https://doi.org/https://doi.org/10.20961/yustisia.v3i2.11088.

Kholiq, Abdul, Barda Nawawi Arief, and Eko Soponyono. “Pidana Penjara Terbatas: Sebuah Gagasan Dan Reorientasi Terhadap Kebijakan Formulasi Jenis Sanksi Hukum Pidana Di Indonesia.” LAW REFORM 11, no. 1 (2015): 100–112.

https://doi.org/https://doi.org/10.14710/lr.v11i1.15759.

Perkasa, Risang Achmad Putra. “Optimalisasi Pembinaan Narapidana Dalam Upaya Mengurangi Overcapacity Lembaga Pemasyarakatan.” Wajah Hukum 4, no. 1 (2020): 108–15. https://doi.org/https://doi.org/10.33087/wjh.v4i1.175.

Prayitno, KuatPuji. “Restorative Justice Untuk Peradilan Di Indonesia (Perspektif Yuridis Filosofis Dalam Penegakan Hukum In Concreto).” Jurnal Dinamika Hukum          12,          no.          3          (2012):          407–20.

https://doi.org/https://doi.org/10.20884/1.jdh.2012.12.3.116.

Rumadan, Ismail. “Problem Lembaga Pemasyarakatan Di Indonesia Dan Reorientasi Tujuan Pemidanaan.” Jurnal Hukum Dan Peradilan 2, no. 2 (2013): 263–76. https://doi.org/https://doi.org/10.25216/JHP.2.2.2013.263-276.

Situmorang, Victorio H, R HAM, and JHRS Kav. “Lembaga Pemasyarakatan Sebagai Bagian Dari Penegakan Hukum.” Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum 13, no. 1 (2019): 85. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.30641/kebijakan.2019.V13.85-98.

Sulhin, Iqrak, and Yogo Tri Hendiarto. “Identifikasi Faktor Determinan Residivisme.” Jurnal Kriminologi Indonesia 7, no. 3 (2012).

Tjahjani, Joejoen. “Kebijakan Pengetatan Penjatuhan Pidana Penjara Sebagai Upaya Mengatasi Overcapacity Di Lembaga Pemasyarakatan.” Jurnal Independent 7, no. 1 (2019): 151–55. https://doi.org/https://doi.org/10.30736/ji.v7i1.93.

Utomo, Setyo. “Sistem Pemidanaan Dalam Hukum Pidana Yang Berbasis Restorative Justice.” Mimbar Justitia Fakultas Hukum Universitas Suryakancana, Cianjur 5, no. 01 (2014).

Waluyo, Bambang. “Relevansi Doktrin Restorative Justice Dalam Sistem Pemidanaan Di Indonesia.” Hasanuddin Law Review 1, no. 2 (2015): 210–26.

Website resmi

“Ditjen PAS - SMS Gateway System,” n.d. http://smslap.ditjenpas.go.id/.

415