PERBEDAAN RERATA INDEKS SEFALIK DAN TINGGI BADAN ANTARA ETNIS BALI DAN ETNIS NUSA TENGGARA TIMUR (NTT) DI DENPASAR
on

ISSN: 2597-8012 JURNAL MEDIKA UDAYANA, VOL.10 NO.4,APRIL, 2021


Diterima:02-07-2021 Revisi:12-07-2021 Accepted: 23-07-2021
PERBEDAAN RERATA INDEKS SEFALIK DAN TINGGI BADAN ANTARA ETNIS BALI DAN ETNIS NUSA TENGGARA TIMUR (NTT) DI DENPASAR
Rona Nisrina Ananda1, Kunthi Yulianti2, Henky2, Dudut Rustyadi2 1Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana 2Bagian Ilmu Kedokteran Forensik, Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Bali ananda_rona@yahoo.com
ABSTRAK
Prinsip identifikasi pada korban bencana adalah dengan membandingkan data antemortem dan postmortem. Proses identifikasi dapat dilakukan melalui pemeriksaan data primer dan sekunder. Pengukuran indeks sefalik dan tinggi badan merupakan salah satu parameter yang digunakan dalam identifikasi forensik sekunder untuk menentukan ras dan jenis kelamin. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan indeks sefalik dan tinggi badan antara etnis Bali dan etnis Nusa Tenggara Timur (NTT). Penelitian ini dilakukan dengan metode analitik dengan desain cross-sectional. Sampel pada penelitian ini adalah 100 orang responden berusia 21–49 tahun yang merupakan etnis Bali dan etnis NTT, bersedia menjadi subjek dalam penelitian, tidak memiliki riwayat penyakit hormonal dan tidak mengalami trauma kepala (untuk pengukuran indeks sefalik), dan dapat berdiri tegak saat pengukuran tinggi badan dilakukan. Analisis data dilakukan dengan uji Kolmogorov-smirnov untuk menilai normalitas data dan uji dua kelompok t-tidak berpasangan untuk menentukan perbedaan rerata pada dua kelompok. Dari hasil penelitian didapatkan rerata tinggi badan pada etnis Bali adalah 166,140 ± 8,49 dan rerata pada etnis NTT adalah 161,060 ± 9,17 dengan nilai signifikansi p=0,005. Hasil rerata indeks sefalik pada etnis Bali didapatkan sebesar 0,85 ± 0,049 dan rerata pada etnis NTT didapatkan sebesar 0,81 ± 0,056 dengan nilai signifikasi p=0,001. Hasil tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tinggi badan dan indeks sefalik antara etnis Bali dan etnis NTT.
Kata kunci: Indeks sefalik, tinggi badan, identifikasi forensik, antropometri
ABSTRACT
The main principle of disaster victim identification is comparing antemortem and postmortem data. Identification process can be done through examination of primary and secondary data. Measurement of cephalic index and height is one of the parameters used in secondary forensic identification to determine race and sex. This study aimed to determine the differences in cephalic and height indexes between Balinese and Nusa Tenggara Timur (NTT) ethnics. This research was conducted by analytic method with cross-sectional design. Samples of this study were 100 respondents aged 21 - 49 years, from Balinese and NTT ethnics, willing to be involved in the study, with no history of hormonal diseases and did not experience head trauma (for cephalic index measurement), and able to stand straight while measuring height. Data analysis was done by Kolmogorov-smirnov test and two groups independent t-test to determine the mean differences of the two groups. Statistical analysis has found that the mean height in
Balinese ethnic was 166.140 ± 8.49 and the mean height in NTT ethnic was 161.060 ± 9.17 (p value=0.005). Results of the mean cephalic index in the Balinese ethnic was 0.85 ± 0.049 and in the NTT ethnic was 0.81 ± 0.056 (p value=0.001). Results of the significance value showed that there were differences in height and cephalic index between Balinese and NTT ethnics.
Keywords: Cephalic index, height, forensic identification, anthropometry
PENDAHULUAN
Banyak peristiwa bencana yang terjadi khususnya di Indonesia, dimana terdapat bencana alam maupun bencana yang diakibatkan oleh ulah manusia. Peristiwa tersebut sering kali menimbulkan banyak korban, baik meninggal maupun luka serta rusaknya sarana dan prasarana kehidupan masyarakat. Sebanyak 2.342 peristiwa bencana tercatat pada tahun 2016. Bencana tersebut menyebabkan sebanyak 522 orang korban meninggal atau hilang, 3.005 korban mengungsi, 69.287 unit rumah dan 2.311 unit fasilitas umum mengalami kerusakan.1
Kondisi korban meninggal tak jarang sulit dikenali karena berbagai penyebab seperti luka-luka yang mengakibatkan tubuh terpisah-pisah sehingga tidak utuh dan membusuk. Identifikasi korban dilakukan untuk dapat mengenali jati diri korban sehingga dapat dikembalikan kepada keluarganya untuk dapat diupacarai atau dimakamkan secara layak sesuai agama dan keyakinannya. Saat seseorang telah dinyatakan meninggal, selain agar dapat dikembalikan kepada keluarga, terdapat konsekuensi hukum seperti hak memilih dan dipilih dalam pemilu, warisan, asuransi, serta permasalahan kasus kriminal.1
Identifikasi korban mati pada bencana massal di Indonesia dilakukan oleh tim Disaster Victim Identification (DVI) Indonesia.2 Identifikasi korban mengacu pada prosedur yang digunakan oleh The International Criminal Police Organization (INTERPOL). Prosedur DVI terdiri dari 4 fase yaitu The Scene, Post Mortem Examination, Ante Mortem Information, dan Reconciliation.3 Fase The Scene adalah fase dimana dilakukan pemilahan antara korban hidup dan mati serta mencari dan mengamankan barang bukti untuk menilai jika kejadian tersebut diakibatkan oleh ulah manusia. Fase Post Mortem Examination adalah fase dimana dilakukan pemeriksaan jenazah dengan melihat data postmortem seperti sidik jari, pemeriksaan gigi dan seluruh tubuh serta barang bawaan korban. Fase ketiga Ante Mortem Information merupakan fase mencari data-data korban semasa hidup seperti tahi lalat, tanda lahir, dan ciri-ciri khusus korban lainnya. Fase Reconciliation dilakukan dengan mencocokkan data antemortem dan postmortem sesuai dengan kriteria 1 primary
identifiers dan 2 secondary identifiers.4 Primary identifiers terdiri dari pola sidik jari (fingerprint), odontologi forensik dan analisis Deoxyribonucleic Acid (DNA), sedangkan secondary identifiers terdiri dari informasi medis (medical information), patologi, antropologi, dan properti. Primary identifiers memiliki nilai yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan secondary identifiers.5
Tim DVI terdiri dari berbagai disiplin ilmu seperti dokter forensik, antropologi forensik, odontologi forensik, ahli sidik jari, ahli DNA, radiologi, dan fotografer. Peran dokter forensik dan antropologi forensik sangat penting pada pemeriksaan pendahuluan pada jenazah yang ditemukan tidak utuh atau berupa bagian dari tubuh atau hanyalah tulang belulang.6 Antropologi forensik dianggap sebagai penerapan antropologi biologis yang berkaitan dengan sisa rangka manusia dalam pelayanan keadilan atau aspek hukum. Pemeriksaan kerangka dapat mengetahui apakah kerangka tersebut merupakan tulang belulang manusia, serta menentukan perawakan, tinggi badan, usia, dan jenis kelamin.
Bali merupakan daerah tujuan pariwisata sekaligus tujuan para pencari pekerjaan dari berbagai daerah, salah satunya berasal dari Nusa Tenggara Timur (NTT). Beberapa kejadian besar di Bali melibatkan jumlah korban yang besar, ditambah dengan mobilitas penduduk yang cukup tinggi di Bali maka perlu dilakukan kajian untuk mengumpulkan data-data identifikasi yang dapat dimanfaatkan untuk antisipasi saat terjadi korban massal. Terdapat perbedaan fenotipe secara morfologis antara penduduk keturunan Bali-Jawa dan Nusa Tenggara Timur (NTT), namun penulis ingin mengetahui apakah perbedaan fenotipe ini diikuti dengan perbedaan data antropometri oleh karena itu penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut mengenai perbedaan rerata indeks sefalik dan tinggi badan antara etnis Bali dan etnis Nusa Tenggara Timur (NTT) di Denpasar.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini adalah penelitian analitik cross-sectional yang dilakukan untuk mengetahui perbedaan rerata indeks sefalik dan tinggi badan antara etnis Bali dan etnis Nusa Tenggara Timur (NTT) di Denpasar. Sampel penelitian adalah 50 orang etnis Bali dan etnis NTT. Pemilihan sampel
penelitian dilakukan menggunakan metode consecutive sampling. Pengumpulan data penelitian dilakukan pada bulan Mei hingga September 2019 di daerah Denpasar.
Penelitian dilakukan dengan mengukur panjang kepala, lebar kepala, dan tinggi badan sampel. Data kemudian dihitung reratanya antara laki-laki dan perempuan pada etnis Bali dan etnis NTT. Analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis bivariat dengan uji normalitas dan uji hipotesis. Uji normalitas pada penelitian ini menggunakan uji Kolmogorov-smirnov. Hasil signifikansi >0,05 dinyatakan berdistribusi normal, sedangkan hasil signifikansi <0,05 dinyatakan berdistribusi tidak normal. Data dengan distribusi normal akan dianalisis dengan uji parametrik. Data dengan distribusi tidak normal akan dianalisis dengan uji non parametrik. Uji hipotesis selanjutnya dilakukan untuk mengetahui perbedaan dan hubungan antara variabel bebas dan terikat. Uji hipotesis dengan uji t-tidak berpasangan dilakukan apabila uji normalitas menunjukkan distribusi data normal. Uji hipotesis dengan uji Mann Whitney dilakukan apabila distribusi data tidak normal.
Penelitian ini telah mendapat persetujuan dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar, Bali.
HASIL
Lebih banyak subjek laki-laki dibandingkan perempuan didapatkan pada etnis NTT dengan perbandingan laki-laki sebesar 56,0% (28 orang) dan perempuan sebesar 44,0% (22 orang). Jenis kelamin perempuan ditemukan lebih banyak pada etnis Bali dibandingkan jenis kelamin laki-laki dengan perbandingan perempuan sebanyak 54,0% (27 orang) dan laki-laki sebanyak 46,0% (23 orang).
Tabel 1. Karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin
Etnis |
Jenis Kelamin |
Frekuensi |
Persentase |
NTT |
Laki-laki |
28 |
56,0 |
Perempuan |
22 |
44,0 | |
Total |
50 |
100 | |
Bali |
Laki-laki |
23 |
46,0 |
Perempuan |
27 |
54,0 | |
Total |
50 |
100 |
Distribusi usia pada etnis NTT berkisar dari usia 21 hingga 49 tahun dengan rerata usia 30,200 ± 7,72 tahun dan distribusi usia pada etnis Bali berkisar dari usia 21 hingga 49 tahun dengan rerata usia 25,080 ± 7,41 tahun. Rerata tinggi badan pada etnis NTT didapatkan sebesar 161,06 ±
9,17 cm, sedangkan rerata pada etnis Bali adalah sebesar 166,14 ± 8,49 cm. Hal ini menunjukkan bahwa pada etnis Bali memiliki tinggi badan yang lebih tinggi dibandingkan dengan etnis NTT. Penentuan panjang dan lebar kepala diperlukan untuk menentukan indeks sefalik. Rerata panjang kepala pada etnis NTT adalah 17,77 ± 0,86 cm dan rerata lebar kepala adalah 14,57 ± 0,786 cm. Rerata panjang kepala pada etnis Bali adalah 17,55 ± 0,96 cm dan rerata lebar kepala adalah 14,99 ± 0,80 cm. Hal ini menunjukkan bahwa indeks sefalik pada etnis Bali lebih besar dibandingkan dengan etnis NTT dengan rerata sebesar 85,08% ± 0,049, sedangkan rerata indeks sefalik pada etnis NTT adalah 81,50% ± 0,056.
Tabel 2. Rerata Karakteristik Responden | |
Karakteristik |
Rerata |
Etnis NTT Usia (tahun) |
30,200 ± 7,72 |
Tinggi badan (cm) |
161,06 ± 9,17 |
Panjang kepala (cm) |
17,77 ± 0,86 |
Lebar kepala (cm) |
14,57 ± 0,786 |
Indeks sefalik (%) Etnis Bali |
81,50 ± 0,056 |
Usia (tahun) |
25,080 ± 7,41 |
Tinggi badan (cm) |
166,14 ±8,49 |
Panjang kepala (cm) |
17,55± 0,96 |
Lebar kepala (cm) |
14,99 ± 0,80 |
Indeks sefalik (%) |
85,08 ± 0,049 |
Keterangan: cm = sentimeter |
Uji normalitas dilakukan dengan uji Kolmogorov-smirnov oleh karena jumlah sampel total lebih dari 50, yaitu 100 orang. Uji
Kolmogorov-smirnov yang dilakukan terhadap pengukuran tinggi badan antara etnis Bali dan etnis NTT didapatkan p value sebesar 0,200. Uji Kolmogorov-smirnov yang dilakukan pada pengukuran indeks sefalik antara etnis Bali dan etnis NTT didapatkan p value sebesar 0,200. Kedua p value bernilai >0,05 sehingga dapat disimpulkan data berdistribusi normal. Uji parametrik yaitu uji t-tidak berpasangan selanjutnya dilakukan untuk melihat apakah terdapat perbedaan secara signifikan atau tidak.
Tabel 3. Hasil Uji Normalitas Data Subjek Penelitian
Data Kolmogorov-
Keterangan: α = 0.05; jika sig. (p-value)>α maka data normal
Rerata tinggi badan pada etnis NTT adalah 161,060 ± 9,17 cm, sedangkan rerata tinggi badan pada etnis Bali adalah 166,140 ± 8,49 cm. Uji t-tidak berpasangan yang dilakukan terhadap tinggi badan antara etnis NTT dan etnis Bali mendapatkan p value=0,005 yang menunjukkan adanya perbedaan signifikan dalam hal tinggi badan antara etnis NTT dan etnis Bali.
Tabel 4. Rerata Perbedaan Tinggi Badan antara Etnis NTT dan Etnis Bali
Etnis |
Tinggi Badan |
p | |
N |
Rerata ± SD | ||
NTT |
50 |
161,060 ± 9,17 |
0,005 |
Bali |
50 |
166,140 ± 8,49 |
Rerata indeks sefalik pada etnis NTT adalah 81,50% ± 0,056, sedangkan rerata indeks sefalik pada etnis Bali adalah 85,08% ± 0,049. Uji t-tidak berpasangan yang dilakukan terhadap indeks sefalik antara etnis NTT dan etnis Bali mendapatkan p value=0,001 yang menunjukkan adanya perbedaan signifikan dalam hal indeks sefalik antara etnis NTT dan etnis Bali.
Tabel 5. Rerata Perbedaan Indeks Sefalik antara Etnis NTT dan Etnis Bali
Etnis |
Indeks Sefalik (%) |
p | |
N |
Rerata ± SD | ||
NTT |
50 |
81,50 ± 0,056 |
0,001 |
Bali |
50 |
85,08 ± 0,049 |
PEMBAHASAN
Jumlah sampel pada penelitian ini adalah 100 orang dengan jumlah masing-masing sampel pada etnis NTT dan etnis Bali sebanyak 50 orang. Analisis statistik yang telah dilakukan menunjukkan bahwa etnis Bali memiliki tinggi yang lebih tinggi dan indeks sefalik yang lebih besar dibandingkan dengan etnis NTT. Hasil uji normalitas data subjek penelitian didapat nilai p>0,05 yang berarti berdistribusi normal. Uji t-tidak berpasangan menunjukkan nilai signifikasi <0,05 pada tinggi badan dan indeks sefalik antara etnis NTT dan etnis Bali yang dapat diartikan bahwa pada etnis NTT dan etnis Bali terdapat perbedaan dalam hal tinggi badan dan indeks sefalik. Signifikansi perbedaan secara statistik ini tidak diikuti oleh signifikansi perbedaan secara klinis dimana tidak terdapat perbedaan tinggi badan yang jauh berbeda atau hanya sekitar 5 cm antara etnis Bali dan etnis NTT. Hal ini juga terjadi pada penelitian yang membandingkan tinggi badan antara populasi Afrika dengan populasi India dengan hasil perbedaan yang sama dengan rerata sekitar 5 cm.7 Hasil penelitian
mengenai indeks sefalik pada etnis Bali dan etnis NTT mendapatkan bahwa secara statisik terdapat perbedaan yang signifikan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya.8,9
Tinggi badan merupakan salah satu parameter yang membedakan individu satu dengan lainnya. Seperti yang kita sadari bahwa tinggi badan seseorang yang berasal dari daerah bagian barat lebih tinggi dibandingkan dengan seseorang yang berasal dari daerah bagian timur. Pernyataaan ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Montenegrin, sebuah kota di Eropa dan penelitian lain yang dilakukan pada tahun 2011 di India. Rerata tinggi badan di Montenegrin adalah sekitar 183 cm pada laki-laki dan 168 cm pada perempuan, sedangkan tinggi badan di India memiliki rerata tinggi sekitar 164 cm pada laki-laki dan sekitar 151 cm pada perempuan.10,11 Perbedaan tinggi badan pada setiap individu dipengaruhi oleh faktor internal (genetik, jenis kelamin) dan faktor eksternal (lingkungan dan gizi). Faktor genetik dikatakan merupakan faktor yang mempengaruhi tinggi badan. Tinggi badan pada anak yang diukur pada saat lahir dan pada masa pubertas memiliki korelasi yang mirip dengan tinggi badan orang tuanya.12 Perbedaan tinggi badan juga dipengaruhi oleh jenis kelamin. Rerata tinggi badan pada laki-laki adalah lebih tinggi dibandingkan perempuan. Perbedaan yang terjadi tersebut disebabkan oleh hormon seks dimana estrogen lebih cepat merangsang osifikasi dan lebih cepat juga berhentinya dibanding dengan testosteron.13 Faktor lingkungan juga menjadi faktor yang mempengaruhi perbedaan tinggi badan dan bentuk kepala pada seseorang. Faktor lingkungan merupakan tempat anak mengalami proses tumbuh kembang. Faktor lingkungan berperan pada periode pra-natal, natal, dan pasca-natal.14 Faktor lain yang mempengaruhi tinggi badan adalah gizi. Seseorang yang memiliki gizi yang baik akan mencapai tinggi yang normal sesuai dengan usianya, sebaliknya pada seseorang yang memiliki gizi yang buruk maka akan memiliki tinggi badan yang tidak optimal.15 Hal ini dikarenakan kurangnya asupan makanan yang mengandung mineral, vitamin A, vitamin C, dan vitamin D.13 Pertumbuhan tinggi badan dimulai sejak masih didalam kandungan pada bulan ke-4 dan akan terus bertumbuh dengan bertambahnya usia.
Perbedaan indeks sefalik setiap individu dipengaruhi oleh faktor primer yaitu genetik, jenis kelamin, usia, serta ras dan faktor sekunder yaitu lingkungan dan penyakit. Genetik merupakan faktor keturunan yang salah satunya dapat mempengaruhi bentuk kepala seseorang. Sebagian besar anak dan orang tuanya hampir tidak memiliki perbedaan dalam bentuk kepala.16 Faktor
lain yang mempengaruhi perbedaan indeks sefalik adalah jenis kelamin. Terdapat perbedaan rerata indeks sefalik antara perempuan dan laki-laki, dimana pada perempuan memiliki rerata indeks sefalik yang lebih besar dibandingkan pada laki-laki.17 Perbedaan pada laki-laki dan perempuan disebabkan oleh faktor hormonal seperti estrogen, hormon testosteron, growth hormone, hormon tiroid, paratiroid, kalsitonin dan insulin.18 Faktor usia juga mempengaruhi bentuk kepala seseorang. Terdapat perubahan bentuk kepala pada anak-anak hingga remaja. Hal ini disebabkan karena belum terjadi penutupan sutura sagitalis, koronarius dan sutura lambdoideus.19 Perbedaan antar suku dan ras mempengaruhi perbedaan bentuk kepala antar individu. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan pada ras kaukasoid dan ras mongoloid.8,20 Faktor lain yang mempengaruhi indeks sefalik adalah faktor penyakit. Seseorang yang mempunyai kelainan atau penyakit seperti macrocephaly dan microcephaly dapat mempengaruhi indeks sefalik.21
Kepala memiliki beberapa klasifikasi tipe bentuk yaitu ultradolichocephalic dengan rerata x-64,9%, hyperdolichocephalic dengan rerata 6569,9%, dolicehocephalic dengan rerata 70-74,9%, mesocephalic dengan rerata 75-79,9%, brachycephalic dengan rerata 80-84,9%, hyperbrachicephalic dengan rerata 85-89,9%, dan ultrabrachycephalic dengan rerata 90-x%.22 Rerata indeks sefalik pada etnis Bali didapatkan sebesar 85,08% yang dapat diklasifikasikan sebagai hyperbrachicephalic (85-89,9%). Rerata indeks sefalik pada etnis NTT didapatkan sebesar 81,50% yang dapat diklasifikasikan sebagai brachicephalic (80-84,9%).
SIMPULAN
Terdapat perbedaan rerata yang bermakna secara statistik pada tinggi badan dan indeks sefalik. Rerata tinggi badan pada etnis NTT adalah 161,06 ± 9,17 cm dan rerata tinggi badan pada etnis Bali adalah 166,14 ± 8,49 cm. Rerata indeks sefalik pada etnis NTT adalah 81,50% ± 0,056 dan rerata indeks sefalik pada etnis Bali adalah 85,08% ± 0,049. Jumlah sampel yang kurang besar dan waktu penelitian yang singkat menimbulkan hasil yang didapatkan masih kurang untuk mewakili etnis Bali dan etnis NTT secara keseluruhan. Untuk itu perlu dilakukan penelitian serupa agar dapat mewakili etnis Bali dan etnis NTT secara keseluruhan serta dilakukan penelitian serupa dengan etnis yang berbeda untuk menambah data antropometris penduduk di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
-
1. Kementerian Kesehatan RI. Jumlah bencana di Indonesia mencapai rekor pada 2016. 2016. [sumber online]. Diakses tanggal: 22 Juli 2017. Diakses dari:
http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-38456759.
-
2. Blau S, Briggs CA. The role of forensic anthropology in Disaster Victim Identification (DVI). Forensic Science International. 2011;205:29–35.
-
3. David SO. INTERPOL DVI best practice
standards-an overview. Forensic Science
International. 2010;201:18–21.
-
4. Henky, Safitry O. Identifikasi korban bencana massal: praktik DVI antara teori dan
kenyataan. Indonesian Journal of Legal and Forensic Sciences. 2012;2(1):5-7.
-
5. The International Criminal Police
Organization (INTERPOL). DVI guide. 2014. [sumber online]. Diakses tanggal: 12 Juli 2017. Diakses dari:
https://edisciplinas.usp.br/pluginfile.php/25109 51/mod_resource/content/1/DVI%20INTERPO L%20GUIDE%202014.pdf
-
6. Lynnerup N. Forensic anthropology and human identification. Scandinavian Journal of Forensic Science Nordisk Rettsmedisin. 2013;19(1):16-38.
-
7. Lahner CR, Kassier SM, Veldman FJ. Estimation of true height: a study in
population-specific methods among young South African adults. Public Health Nutr. 2017;20(2):210-9.
-
8. Rivani R, Syukriani Y, Rusman AA, Linasari D. Perbandingan indeks sefalik antara populasi batak dan populasi Sunda di Bandung. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhimpuan Dokter Forensik Indonesia. 2017;245-51. Diakses dari:
content/uploads/2017/08/42-Riza-Rivani-Yoni-Syukriani.FAndri.pdf
-
9. Kumar A, Nagar M. Morphometric estimation of cephalic index in North Indian population: craniometrics study. International Journal of Science and Research. 2013;4(4):1977-82.
-
10. Bjelica D, Popovic S, Kezunovic M, Petkovic J, Jurak G, Grasgruber P. Body height and its estimation utilising arm span measurements in Montenegrin adults. Anthropological
Notebooks. 2012;18(2):69-83.
-
11. Mamidi RS, Kulkarni B, Singh A. Secular trends in height in different states of India in relation to socioeconomic characteristics and dietary intakes. Food and Nutrition Bulletin. 2011;32(1):23-34.
-
12. Heude B, Kettaneh A, Rakotovao R, Bresson, JL, Borys JM, Ducimetiere P, Charles MA.
Anthropometric relationships between parents and children throughout childhood: the
Fleurbaix–Laventie Ville Sante ́ study.
International Journal of Obesity. 2005;29:
1222-9.
-
13. Knight R, Ritchie JE. Crash Course. Edisi 3. Elsevier. 2008. h. 73-8.
-
14. Pudyani PS. Reversibilitas kalsifikasi tulang akibat kekurangan protein pre dan post natal. Maj. Ked. Gigi. 2005;38(3):115–9.
-
15. Perkins JM., Subramanian SV, Smith GD, Ozaltin E. Adult height, nutrition, and population health. Nutrition Reviews.
2016;74(3):149–65.
-
16. Sekla B, Soukup F. Inheritance of the cephalic index. American Journal of Physical Anthropology. 2005;30(1):137–40.
-
17. Yagain VK, Pai SR, Kalthur SG, Hemalatha I. Study of cephalic index in Indian students. Int. J. Morphol. 2012;30(1):125-9.
-
18. Sherwood L. Fisiologi Manusia: dari Sel ke Sistem. Edisi 6. EGC. 2011. h.125-30.
-
19. Sadler TW. Embriologi Kedokteran Langman. Edisi 10. EGC. 2009. h. 249-35.
-
20. Durbar US. Racial variations in different skulls. Journal of Pharmaceutical Sciences and Research. 2014;6(11):370-2.
-
21. Gonzalez BLY. Head circumference growth curves in children 0 to 3 years. Revista Facultad de Odontología Universidad de Antioquia. 2014;26(1):13-32.
-
22. William P, Dyson M, Dussaak JE, Bannister LH, Berry MM, Collins P, Ferguson MWJ. Gray’s Anatomy. Edisi 38. Elbs with Churchil Livingston. 1995. h.607-12.
https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum
doi:10.24843.MU.2021.V10.i7.P10
56
Discussion and feedback