KONSEP PEMBAHARUAN PEMIDANAAN DALAM RANCANGAN KUHP

Oleh

A.A Ngurah Oka Yudistira Darmadi

Program Magister, Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana, Universitas Udayana

ABSTRACT

Criminal law reform in principle is an attempt to conduct a review and reestablishment of law in accordance with the common values of socio-political, socio-philosophic, and cultural values of the people of Indonesia. Renewal of the Criminal Code criminal law angle can be done in two ways. First, the partial renewal, by replacing part after part of the codification of the criminal law. Second, with the renewal of a general nature, thorough renewal by replacing total codification of the criminal law. underlying purpose of a criminal law reform in Indonesia, including to determine the political purposes to which a bill is nationally Indonesian State covers all aspects of society with keanegaragaman nation based on Pancasila. The draft penal code reform set an another solution in addition to the imposition of imprisonment and he organized an action against the perpetrators of criminal deprivation of liberty.

Keywords: Renewal, sanctions, Criminalization and draft the Code of Criminal

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1    Latar Belakang

Peraturan yang mengatur tentang Pidana yang tersirat dalam KUHP Indonesia merupakan warisan dari jaman penjajahan Belanda.

Dalam perkembangannnya, pengaturan mengenai hukum pidana sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kemajuan teknologi yang ada dan hidup di masyarakat Indonesia, sehingga perlu dilakukan upaya untuk memperbaharui hukum pidana tersebut.

Pembaharuan hukum pidana pada pokoknya merupakan suatu usaha untuk melakukan peninjauan dan pembentukan kembali (reorientasi dan reformasi) hukum sesuai dengan nilai-nilai umum sosio-politik, sosio-filosofik, dan nilai-nilai kultural masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, penggalian nilai-nilai yang ada dalam bangsa Indonesia dalam usaha pembaharuan hukum pidana Indonesia harus dilakukan hal ini agar meliputi aspek sosio-politik, sosio-filosofik, dan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat Indonesia.

Pembaharuan hukum pidana Indonesia merupakan salah satu tema menarik dan menjadi diskusi bagi para pakar hukum di Indonesia. Konsep Kitab Undang-undang Hukum Pidana merupakan focus pembaharuan hukum pidana di Indonesia yang telah mengalami perubahan serta perbaikan sesuai dengan kepentingan yang berlaku. Pembaharuan suatu hukum pidana tidak hanya diidentikan pada perubahan KUHP. Pembaharuan hukum pidana diharapkan dapat bersifat komprehensif dan menyeluruh, tidak hanya ditinjau dari suatu pembaharuan KUHP. Seperti yang tercantum pada alinea sebelumnya pembaharuan hukum pidana meliputi berbagai aspek yang terkandung dalam nilai-nilai bangsa Indonesia Sedangkan pembaharuan KUHP mengartikan suatu pembaharuan materi hukum pidana.

Ruang lingkup pembaharuan sistem hukum pidana sendiri meliputi: Pembaharuan Substansi Hukum Pidana; Pembaharuan Struktur Hukum Pidana; dan Pembaharuan Budaya Hukum Pidana.

  • a. Pembaharuan Substansi Hukum Pidana

Pembaharuan substansi hukum pidana meliputi hukum pidana materiil, formal, dan hukum pelaksanaan pidana. Pembaharuan sistem substansial ini bermula dari hukum pidana materiil, hukum formil, serta pelaksanaannya dimana terkandung nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, termasuk diantaranya pembaharuan KUHP (sektor perundang-undangan). b. Pembaharuan Struktur Hukum Pidana

Pembaharuan struktur hukum pidana meliputi sistem kelembagaan, administrasi, dan manajemen dari institusi penegakan hukum berhubungan koordinasi diantara penegak hukum baik secara nasional, regional, maupun internasional. c. Pembaharuan Budaya Hukum Pidana

Pembaharuan budaya hukum pidana ini menekankan pada perubahan kultur, moralitas dan perilaku (perilaku taat hukum dan kesadaran mentaati hukum), serta pendidikan hukum serta ilmu hukum yang

mengiringi pelaksanaan hukum tersebut.

Hal tersebut merupakan bagian- bagian penting yang harus terkandung dalam pembaharuan, perubahan satu aspek mempengaruhi aspek lainnya. Hal ini disebut juga sistem besar (Penal System).

Sedangkan pada Pembaharuan KUHP sudut hukum pidana dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, pembaharuan parsial, dengan mengganti bagian demi bagian dari kodifikasi hukum pidana. Kedua, pembaharuan dengan bersifat universal(umum), pembaharuan menyeluruh dengan mengganti total kodifikasi hukum pidana.

Permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan ini adalah, yang pertama, apakah pemahaman yang melandasi dalam perancangan pembaharuan hukum pidana di Indonesia?, yang kedua, Bagaimanakah solusi penjatuhan sanksi pidana kepada terdakwa yang akan dimasukkan ke dalam rancangan pembaharuan hukum pidana?

  • II.    Isi Makalah

Adapun beberapa tujuan yang melandasi pembaharuan suatu hukum pidana di Indonesia, meliputi untuk mengetahui tujuan bersifat politik dimana suatu rancangan undang- undang Negara Indonesia bersifat secara nasional mencakup seluruh aspek masyarakat dengan keanegaragaman bangsa berdasarkan pancasila. Mengetahui suatu aspek pembaharuan hukum pidana dibidang sosiologis yang meninjau perubahan berdasarkan nilai- nilai kebudayaan yang terkandung didalamnya, yang mana mengandung pandangan kolektif masyarakat tentang nilai-nilai yang berlaku. Tujuan yang lain yang mendasari pembaharuan ini bersifat praktis, sehingga dapat disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi.

  • 2.1 . Metode Penulisan :

Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan masalah yang

dibahas. Bahan hukum dengan menggunakan metode studi pustaka yaitu bahan hukum yang diperoleh dari literatur-literatur, buku-buku dan dokumen-dokumen yang berkenaan dengan permasalahan yang dibahas.

  • 2.2    Hasil dan Pembahasan

Fungsi primer suatu hukum pidana untuk menindaklanjuti suatu penanggulangan tindak kejahatan hal ini diharapkan dapat membuat suatu efek jera bagi pelaku, sedangkan fungsi sekunder berperan sebagai pengawasan kepada aparat pemerintah dan penegak hokum dalam menanggulangi kejahatan bertujuan melaksanakan tugasnya sesuai dengan yang telah diatur dalam suatu hukum pidana. Fungsi dalam menanggulangi kejahatan, hukum pidana merupakan bagian dari politik kriminal, usaha nonpenal pada upaya tersebut. Mengingat fungsi itu, pembentukan hukum pidana tidak akan terlepas dari peninjauan efektivitas penegakan hukum.

Pembaruan hukum pidana dikaitkan suatu masalah bagian dari KUHP yang bersifat dogmatis. Ajaran-

ajaran, prinsip atau asas dan konsep pola pikir serta norma-norma substantif, baik yang dituangkan secara eksplisit serta pemikirian konsep terbentuknya KUHP. Reformasi ini, pembaharuan meliputi tiga faktor tatanan hukum pidana positif membutuhkan pembaharuan segera. Hukum pidana positif pertama meliputi tantanan mengatur aspek kehidupan masyarakat saat ini. Merupakan tantanan positif peninggalan hukum kolonial Belanda yang disesuaikan dengan adaptasi masyarakat Indonesia. Kedua, dilakukan beberapa perubahan pada sebagian ketentuan hukum pidana positif yang dianggap tidak dapat diadaptasi dengan semangat reformasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan, keadilan, kemandirian, HAM dan demokrasi. Ketiga, penerapan ketentuan hukum pidana yang merugikan rakyat, khususnya para aktivis politik, HAM dan kehidupan demokrasi di negeri ini dilakukan perubahan dan peninjauan kembali konsep-konsep yang terkandung dalam hukum pidana.

Reformasi hukum pidana harus beracuan terhadap ketiga tatanan dan

bersinergi terhadap kepentingan para penegak hukum. Kebijakan tersebut mencakup kriteria inklusi perundangan kriminalisasi yang diatur dalam undang-undang pidana sehingga menguntungkan dan tidak menimbulkan penentangan keras dari masyarakat luas.

Pembaruan hukum pidana erat kaitannya dengan keberadaan hukum acara pidana. Indonesia telah memiliki perundangan yang mengatur tentang hukum pidana yang bercirikan dan bercorak nasional. Pembuatan suatu KUHP Nasional hendaknya dilakukan terlebih dahulu sehingga kita dapat menentukan suatu konsep menentukan bagaimana prosedur atau tata cara untuk menegakkan, melaksanakan dan mempertahankan hukum pidana materiil tersebut melalui hukum acara pidana. Pengaturan yang terkandung pada KUHP nasional dititik beratkan pada prosedur terpidana mendapatkan efek jera dan mengarahkan kembali ke jalan yang benar serta tetap memberikan suatu keamanan, ketenangan bagi masyarakat luas. Rumusan tujuan pidana dalam KUHP Nasional selain untuk

melindungi masyarakat juga memperhatikan kepentingan terpidana. Dalam mengatur kepentingan terpidana berpengaruh kepada kepentingan masyarakat, dimana jika narapidana selesai menjalani hukuman masih berperilaku kurang baik, maka akan mengganggu kedamaian dan keamanan masyarakat, perihal ini menjadi pokok pemikiran yang harus terkandung dalam perundangan suatu hukum pidana .

Pemahaman lain yang terkandung tentang kebutuhan KUHP bangsa Indonesia yang telah berubah ini, perlu memperhatikan pada karateristik hukum pidana dengan ciri khas kehidupan masyarakat dan ideologi bangsa Indonesia, yaitu Pancasila.

Perlu dicari rancangan atau sebuah konsep baru dalam hukum pidana yang tidak asing bagi bangsa Indonesia. Ketentuan hukum pidana itu dapat digali dari hukum tidak tertulis atau hukum adat dengan dua syarat, yaitu: Pertama, ia harus hidup di dalam kalangan masyarakat Indonesia; Kedua, tidak akan menghambat perkembangan masyarakat adil dan makmur, yaitu

bahwa aturan hukum tidak tertulis harus disertai dengan ancaman pidana. Adanya ancaman pidana dalam hukum tidak tertulis tersebut bertujuan agar peraturan adat yang berlaku pada kehidupan masyarakat akan meluas menjadi hukum nasional sehingga penegak hukum berwenang dalam menentukan sebagai suatu perbuatan pidana kejadian yang terjadi pada peraturan adat masyarakat.

Hal ini diharapkan dapat menggantikan pemahaman terdahulu dari suatu pemidanaan, Pemindanaan terdahulu mengandung pengertian suatu tindakan untuk melakukan pembalasan atas tindak pidana yang terjadi pada suatu waktu dan tempat tertentu, yang dianggap sebagai tujuan yang pantas dari suatu proses pidana merupakan pencegahan perilaku yang anti sosial masyarakat.

Berdasarkan pendapat yang dikemukakan Muladi terdapat beberapa teori tentang tujuan pemidanaan.1

Teori absolut menitik beratkan pada pemberian sanksi pidana diberikan kepada seseorang yang dianggap telah melakukan suatu tindak pidana, yang semestinya hal tersebut merupakan suatu yang mutlak untuk menjatuhkan pembalasan terhadap orang yang melakukan suatu tindak pidana sehingga pemberian sanksi pidana memiliki tujuan untuk memperoleh keadilan.

Teori teleologis menekankan pemberian sanksi yang memiliki tujuan, yakni guna mencegah agar seseorang tidak melakukan suatu tindak pidana, jadi teori ini tidak bertujuan untuk meberikan pembalasan absolut atas keadilan.

Teori ini dikatakan sebagai teori integratif atau teori paduan. Pada teori yang memiliki corak ganda ini, pemberian pidana mengacu pada keadilan retributif sejauh pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik moral dalam menjawab tindakan yang dianggap menyimpang.

Treatment terhadap rehabilitasi tidak berhasil serta indeterminate sentence tidak

  • c) Teori retributifteleologis

diberikan dengan tepat tanpa garis-garis pedoman, sehingga Pada tahun 1970-an telah terdapat desakan untuk 2

melakukan suatu perubahan.2

Muladi menyatakan bahwa restorative justice model mempunyai beberapa karakteristik :3

Kaum           abolisionis

mengungkapkan sebuah isitilah,

yakni Restorative justice model yaitu penolakan terhadap sarana koersif yang berupa pemberian pidana dan diganti dengan sarana reparatif.4 Paham ini mengatakan bahwa sistem peradilan pidana memiliki permasalahan atau cacat secara struktural jadi harus dirubah dasar-dasar dari sistem tersebut. Nilai-nilai yang melandasi paham abolisionis layak diterima untuk mencari alternatif sanksi yang lebih tepat dan efektif daripada penjatuhan pidana penjara di dalam sistem sanksi pidana.5

Para pihak mempunyai hubungan langsung dalam hal Restorative justice, pelaku memiliki tanggung jawab dalam upaya memperbaiki kesalahan yang disebabkan oleh tindak pidana yang dilakukannya, dan mengembalikan sistem nilai sosialnya sementara korban mampu untuk mengembalikan unsur kontrol yang ada dalam dirinya serta dalam masyarakat. Peran serta kelompok masyarakat dapat memperkuat kelompok itu sendiri dan secara

tidak langsung mengikat kelompok akan nilai-nilai untuk saling menghargai dan menghormati antar kelompok. Dalam proses peradilan sekarang ini, peranan pemerintah dirasakan berkurang dalam proses peradilan, khususnya proses peradilan pidana. Dalam mewujudkan Restorative justice diperlukan adanya kerja sama dan usaha yang berkesinambungan dari pemerintah dan kelompok-kelompok untuk menciptakan kondisi yang objektif dan kondusif antara korban dengan pelaku dalam hal penyelesaian masalah mereka, sehingga tidak terjadi tumpang tindih mengenai rasa keadilan.

Dalam Restorative justice, berupaya untuk memberikan prioritas kepentingan- kepentingan kepada para pihak mengembalikan konflik kepada pihak-pihak, yang dalam hal ini adalah pelaku dan korban. Restorative justice juga memberikan prioritas pada perlindungan terhadap hak asasi manusia dan kebutuhan untuk mengenali dampak dari ketidakadilan sosial, dimana pelaku tindak pidana tidak hanya mendapat hukuman formal (penjatuhan pidana)

dan pelaku tidak mendapatkan rasa keadilan yang diinginkannya.6

Pandangan – pandangan diatas dapat menjadi suatu acuan perubahan suatu hukum pidana Karakteristik hukum pidana nasional mendatang diharapkan berkaitan pada prinsip penggunaan hukum pidana dalam penegakan hukum bersamaan dan berkeadilan. Hukum pidana sebagai ultimum remedium dan tidak disalahgunakan sebagai tujuan pembalasan; korbannya tidak jelas; mencapai tujuan tertentu, tujuan tersebut masih dapat dicapai dengan cara lain yang sama efektifnya dengan kerugian lebih kecil; suatu pemindanaan kerugiannya lebih besar dibanding terhadap hukum pidana tersebut, Efek samping yang ditimbulkan kerugiannya lebih besar dibanding tindakan kriminalitas tersebut; dan jika tidak dapat diterima dalam kehidupan adat dan masyarakat umum serta telah diprediksi suatu hukum tersebut tidak efektif.

Pembaharuan hukum pidana juga mencakup pada beberapa dan mempertimbangkan masalah-masalah hukum pidana mampu menjaga keselarasan, keserasian dan keseimbangan di antara pihak kepentingan negara, kepentingan umum dan kepentingan individu; penggunaan hukum pidana digarapkan selaras terhadap tindakan pencegahan lain yang bersifat non penal; Hukum pidana dirumuskan untuk dapat meredam faktor utama yang bersifat kriminogen; Tindak pidana harus tepat dan teliti dalam menyimpulkan suatu perbuatan yang dilarang; serta diferensiasi prinsip pada kepentingan yang dirusak, perbuatan yang dilakukan, status pelaku dalam kerangka asas kulpabilitas ( suatu perbuatan pelaku yang disengaja).

Rancangan pembaharuan hukum pidana mengatur suatu solusi lain di samping penjatuhan pidana penjara dan diaturnya suatu tindakan terhadap pencabutan kebebasan pidana terhadap pelaku. Perkembangannya, dapat terjadi permasalahan mengenai persoalan solusi penjatuhan pidana, karena merupakan masalah yang sangat

sentral dalam penjatuhan sanksi pidana. Alternatif penjatuhan pidana penjara merupakan suatu langkah yang harus dilakukan, dalam penerapannya merugikan para pihak, baik itu kerugian yang bersifat praktis maupun kerugian yang bersifat filosofis.

Pembaharuan hukum pidana meliputi suatu pidana pengawasan dan pidana kerja sosial yang merupakan suatu jenis pokok pembahasan baru dalam pembaharuannya, yaitu dimana pidana ini dijadikan alternatif pilihan atas pidana selain penjara. Sistem Penjatuhan Pidana pengawasan disangsikan kepada pelaku yang baru pertama kali melakukan tindak pidana, dan tindak pidana yang dilakukan adalah tidak suatu tindak pidana berat, penjatuhan pidana pengawasan mempertimbangkan beberapa hal yaitu suatu kondisi yang ada pada pelaku itu sendiri dimana kondisi dan keadaan dianggap layak ataupun tidak untuk dijatuhi suatu pidana pengawasan.

Alternatif lain sebagai tindakan pidana terhadap pelaku dapat kita pertimbangkan memberikan sanksi pidana penjara

kepada pelaku, dilakukan dengan upaya pemberian penjatuhan pidana kerja sosial. Syarat yang mengatur acuan pemberian penjatuhan pidana apabila pelaku pidana penjara yang akan dijatuhkan pemindanaan tidak lebih dari 6 (enam) bulan maka pidana penjara digantikan dengan pidana kerja sosial. Hal yang ditekankan dalam pembaharuan hukum pidana, terdapat persetujuan terlebih dahulu dari terdakwa terhadap hukuman yang akan dijatuhkan berupa pidana kerja social.

Penjatuhan Pidana kerja sosial diberikan kepada pelaku bertujuan membangun emosional terdakwa sehingga pelaku dapat mengurangi rasa bersalah serta diterima oleh masyarakat, dengan membiarkan terpidana secara aktif melakukan pekerjaan yang bermanfaat bagi masyarakat, hal ini merefleksikan beberapa prinsip tatanan yang harus terkandung dalam pembaharuan hukum pidana dimana mempertimbangkan efek sosio fisiologis dari pihak terpidana dan masyarakat luas. Penjatuhan Pidana kerja sosial lebih bertitik berat pada pengembalian nama baik dari

terpidana dan diharapkan secara tidak langsung dapat memberikan suatu pembelajaran kepada terpidana untuk intropeksi terhadap kesalahan yang diperbuat dan memberikan suatu inisiatif bagi terpidana untuk dapat melakukan suatu pekerjaan yang bermanfaat bagi masyarakat, hal ini yang dapat kita adaptasi dari sutu ketentuan yang berlaku pada hukum pidana Jerman yang dapat diterima terhadap kebudayaan dan adat masyarakat Indonesia. Hukum pidana Jerman menggunakan istilah pendidikan kembali melalui pekerjaan. Hukum pidana ini berbeda dengan aturan hukum pidana, sanksi pidana kerja digunakan sebagai penahanan rumah karena terpidana dianggap tidak mampu untuk melaksanakan hukuman, hal ini kurang tepat jika diterapkan sebagai hukum pidana di Indonesia karena memberatkan serta mendiskriminasi terpidana dan membuat suatu penarikan diri dari lingkungan masyarakat.

Ketentuan yang secara tegas mengatur adanya pencabutan pemidanaan menyatakan bahwa pidana penjara mungkin tidak dijatuhkan terhadap beberapa

keadaan keadaan tertentu. Pertimbangan bagi penegak hukum tetap dapat melakukan suatu tindakan pidana secara proporsional dan efektif sesuai dengan besar kecilna tindakan pidana, perilaku terpidana sehingga dapat diartikan pidana penjara dikatakan tidak efektif jika terdapat pertimbangan yang dikemukakan seperti diatas.

Tujuan pemidanaan yang menekankan pada rehabilitasi atau pembinaan terhadap terdakwa terdapat dalam beberapa ketentuan mengenai terhadap pengurangan pemidanaannya. Terpidana mendapatkan suatu hukuman penjara seumur hidup, dapat memperoleh keringanan hukuman menjadi 15 tahun dengan syarat terpidana telah menjalani hukuman pidana selama bebrapa ketentuan yang telah diatur serta disepakati dan dengan berkelakuan baik.

Pembebasan bersyarat diberikan kepada narapidana ditentukan dengan beberapa persyaratan antaranya telah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) dari pidana penjara yang dijatuhkan, dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) tersebut tidak

kurang dari 9 (sembilan) bulan, dan berkelakuan baik selama masa percobaan dan syarat-syarat lain yang harus dipenuhi selama masa percobaan. Syarat yang harus dipenuhi pada masa percobaan dapat diubah, dihapus, atau diadakan syarat baru, bertujuan membina terpidana.

Berdasarkan beberapa pertimbangan dikatakan bahwa pemberian pidana denda merupakan sarana politik kriminal yang masih dianggap efektif dibandingkan jenis pidana lain sehingga dalam rancangan pembaharuan hukum pidana, pidana denda masih dipertimbangkan untuk tetap diberlakukan.

Pelaksanaan sanksi pidana dengan beberapa persyaratan mengacu pada suatu kondisi, perbuatan atau kelakuan terpidana Bertujuan pola pemidanaan yang menghindarkan pemidanaan yang bersifat retributif dimana terdapat ketentuan yang menyatakan bahwa tujuan pemidanaan bukan sebagai pembalasan. Pihak korban dan terpidana sama-sama tidak dirugikan diharapkan terjadi kondisi penggantian, prinsip ini sesuai terhadap prinsip pembaharuan suatu

hukum pidana dimana tidak merugikan kedua belah pihak.

Pidana tambahan berupa pembayaran ganti kerugian menunjukkan bahwa ada pengakuan atas penderitaan korban kejahatan dan kesedian tanggung jawab dari pelaku pidana.

Rancangan pembaharuan hukum pidana berkaitan dengan penetapan tindakan sebagai bagian dari sistem pemidanaan. Pengertian tindakan tersebut berupa suatu perlakuan kepada pelaku yang memenuhi beberapa ketentuan pasal-pasal dalam pembaharuan rancangan hukum pidana tersebut, serta tindakan yang dijatuhkan kepada seorang pelaku bersama-sama dengan pidana pokoknya.

Undang-undang Hukum Pidana Indonesia menggunakan sistem dua jalur dalam pemidanaan (double track system), pelaku tindak pidana tidak hanya dikenakan suatu tindak pidana tetapi juga dapat dijatuhkan beberapa tindakan berdasarkan besar kecilnya suatu tindak pidana. Penjatuhan sanksi yang berupa tindakan ini harus disesuaikan dengan tujuan

pemidanaan dan pedoman pemidanaan.

Penjatuhan tindakan ini tidak berdasarkan atas ancaman yang ada dalam perbuatan pidananya, melainkan didasarkan terhadap keadaan dan kondisi dari pelaku. Terdapat dua kelompok pelaku yang dapat dijatuhkan tindakan, yakni pelaku yang tidak mampu bertanggung jawab atau kurang mampu bertanggung jawab dan pelaku yang mampu bertanggung jawab terhadap tindak pidana yang dilakukannya.

Penjatuhan tindakan yang dirumuskan dalam rancangan pembaharuan hukum pidana merupakan sanksi yang berdiri sendiri dalam melihat secara pasti tentang sanksi yang akan dijatuhkan kepada pihak atau pelaku tindak pidana dari tindak pidana. Pelaku tindak pidana juga dapat diatur berdasarkan beberapa pertimbangan contohnya pelaku yang pada saat melakukan tindak pidana mengalami gangguan jiwa dan cacat mental. Penentuan suatu tindak pidana juga memperhatikan kondisi terpidana baik fisik dan mental.

Dalam suatu rancangan pembaharuan hukum pidana kasus tersebut dapat dipertimbangkan pemberian sanksi tindakan.7

Tindakan yang dapat dilakukan bertujuan untuk merehabilitasi pelaku tindak pidana dengan memberikan perawatan di rumah sakit jiwa, tindakan berupa pemberian keterampilan kerja yang diharapkan bermanfaat bagi pelaku dan masyarakat dan tindakan berupa pengembalian keadaan dan nama baik dari pelaku. Beberapa tindakan tersebut harus diatur agar sesuai dengan kebutuhan dari pelaku yang dijatuhi pidana. Seperti penjatuhan tindakan latihan kerja harus mempertimbangkan manfaat bagi pelaku tindak pidana dan mampu tidaknya pelaku tersebut melakukan tindakan tersebut.

Formulasi tentang sistem double track system diatur secara khusus mengenai sanksi tindakan

yang menunjukkan bahwa adanya perubahan yang menginginkan perubahan sistem pemidanaan agar sesuai dengan yang diharapkan oleh masyarakat dan sesuai dengan tujuan daripada pemidanaan itu sendiri. Perumusan dalam rancangan pembaharuan hukum pidana ini sudah sangat relevan, karena sanksi tindakan tidak hanya dijatuhkan kepada pelaku yang tidak mampu bertanggungjawab dan mengalami gangguan mental, melainkan juga kepada pelaku yang dapat bertanggungjawab.

Penjatuhan sanksi tindakan ini merupakan salah satu bentuk penegasan tentang solusi penjatuhan sanksi dengan diberikannya hak kepada Pengadilan untuk menyusun suatu kebijaksanaan tentang pemberian sanksi, yakni sanksi berupa tindakan. Hal tersebut sesuai dengan hukum pidana modern yang mensyaratkan adanya kebebasan bagi hakim dalam memberi dan menjatuhkan sanksi yang akan diberikan untuk orang yang bersangkutan.

  • II.    Kesimpulan

  • a.    Pemahaman suatu rancangan pembaharuan hukum pidana dititkberatkan          pada

karateristik hukum pidana yang terkandung dalam kehidupan masyarakat dan ideologi bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Aktivitas ini dilakukan oleh alat negara dalam penegakan hukum.

  • b.    Ketentuan- ketentuan hukum pidana diharapkan selalu dilakukan revisi sehingga dapat       mencerminkan

kehidupan             dan

perkembangan masyarakat yang menjadi subyek serta objek dari suatu perundangan. Penetapan jenis     sanksi     pidana,

rancangan pembaharuan hukum pidana menambahkan beberapa jenis pidana baru, yakni pidana pengawasan dan pidana kerja sosial serta pidana penggantian rugi terhadap korban tindak pidana.

Saran

Problematika yang muncul terkait dengan hukum pidana yang tidak ideal terhadap suatu kehidupan bangsa indonesia secara internal dan berkembangnya persoalan-persoalan di tengah-tengah kehidupan masyarakat secara eksternal mendorong masyarakat untuk menuntut kepada negara merealisasikan kodifikasi hukum pidana yang bersifat nasional dan pemikiran bangsa Indonesia.

Eksistensialisme dan Abolisionisme, Binacipta, Bandung.

Allison Morris dan Warren Young, 2000, Reforming Criminal Justice : The Potential of Restorative Justice, dalam Restorative Justice Philosophy to Practice, edited by Heather Strang and John Braithwaite, The Australian National University, Asghate Publising Ltd.

Rancangan KUHP 2005.

IV. DAFTAR PUSTAKA

Daniel S. Lev, 1990, Hukum Kolonial dan Asal-usul Pembentukan Negara Indonesia, dalam Hukum dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, LP3ES.

Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, PT ALUMNI, Bandung.

Soehuddin, 2003, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya, Raja Grafindo Persada.

Muladi, 1995, Kapita Selekta Hukum Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.

Romli Atmasasmita, 1996, Sistem Peradilan Pidana, Prespektif

14