ASAS PROPORSIONALITAS DALAM PEMBAYARAN GANTI RUGI MELALUI ASURANSI DALAM KASUS MALPRAKTIK DOKTER

Oleh

Ni Putu Ayu Myra Gerhana Putri

Program Studi Magister Ilmu Hukum, Program Pasca Sarjana, Universitas Udayana

ABSTRACT

In a malpractice medical insurance context, indemnity obligations of malpractice, particularly for improper practice performed by medical team, currently only based on overall team fault, means every physician in the team should bear the compensation evenly. This scheme is not fair because the physician who did lower degree of mistakes must bear the compensation as great as the physician with higher degree of mistakes. That is why proporsional concept, based on the degree of the mistakes, for indemnity obligations needs to be considered. However, this scheme will need some instruments that can align the responsibility among the physician in the team. This instrument then can be used as a basis for determining the degree of mistakes and further the level of compensation the physician need to bear with. This research is a normative legal research and using a statue approach, means legislation as the primary legal materials. In addition, this research also uses books, articles, and materials from the Internet, as well as direct interview with the competent parties as a secunder data. The results showed that because there are no rules governing the law of proporsionality in the legislation make the degree of mistakes is not used as basis for determining the compensation’s level. In fact there are instruments that can be used as basis to determine the degree of mistakes such as Standard Operational Procedure (SOP) and Medical Professional Standard. It is clear that the healthcare legislation should include provisions that govern the determination of the compensation by using proportional approach, in order to align the responsibility among the parties.

Keywords: Malpractice, Compensation / Indemnity, Insurance

I PENDAHULUAN

  • 1.1    Latar Belakang

Pelayanan kesehatan di Indonesia belum memenuhi harapan masyarakat. Keluhan masyarakat tentang kualitas pelayanan masih secara dominan mewarnai proses pelayanan kesehatan keluhan ini mencakup antara lain :

  • 1.    Sikap dan prilaku pelayan kesehatan yang kurang humanistik

  • 2.    Mekanisme yang rumit

  • 3.    Persyaratan yang berlebihan

  • 4.    Prosedur yang panjang yang mempengaruhi kecepatan proses pelayanan (pelayanan yang lambat)

  • 5.    Biaya yang mahal

  • 6.    Kualitas pelayanan

Seperti beberapa contoh kasus yang menjerat dokter ke ranah hukum di antaranya soal komunikasi dengan pasien, ingkar janji, penelantaran pasien, serta masalah kompetensi dokter. Soal komunikasi juga yang sering dilaporkan, misalnya hanya periksa sebentar lalu dia keluar, dimana hal tersebut yang dapat membuat pasien menjadi kurang puas dengan pelayan kesehatan.

Kadangkala kasus dugaan malpraktek diawali oleh kegagalan komunikasi. Kegagalan terjadi karena dokter memiliki keterbatasan waktu untuk menjelaskan penyakit atau seringkali dipicu oleh sikap apriori pasien terhadap kemampuan dokter sehingga komunikasi tidak bisa terjalin dengan baik. Dokter harus menjalin komunikasi yang efektif dengan pasien.

Dokter harus menjelaskan kepada pasien tentang penyakitnya apa, gejalanya apa, diberi apa, itu harus dioperasi atau tidak. Termasuk soal biaya, juga sering dikeluhkan oleh pasien ataupun masyarakat, karena Rumah Sakit dinilai membebankan biaya terlalu tinggi dan tidak pasti. Misalnya biaya operasi sebelum operasi dilaksanakan Rp 20 juta, tapi setelah selesai ternyata kuitansi yang disodorkan Rp 30 juta.

Begitu pula soal anggapan dokter menelantarkan pasien. Terkadang dokter tidak memperkenalkan penggantinya. Sehingga pasien seringkali kebingungan ketika suatu tindakan medik dilakukan oleh dokter yang berbeda dengan dokter yang seharusnya menangani operasi (dokter pengganti). Malpraktek merupakan salah satu bentuk masalah dalam pelayanan kesehatan masyarakat. Masalah ini mencakup dua hal :

  • 1.    Akibat malpraktek terhadap kesehatan pasien, dan

  • 2.    Ganti rugi yang seringkali yang tidak memenuhi harapan pasien.

Seperti contoh kasus malpraktek pada suatu Rumah Sakit terkemuka di Jakarta, yang mengakibatkan Oka yang berusia 5,5 tahun meninggal. Dimana Oka yang awalnya menderita demam yang disertai muntah-muntah selama satu malam tidak mendapat perawatan apa pun dari dokter di Rumah Sakit. Dokter pertama hanya menuliskan resep tanpa menyentuh Oka. Dokter kedua justru menegur Murnawati ibu si pasien yang

tidak memberi minum kepada anaknya, karena Oka selalu muntah tiap kali disuapi sesuatu. Dokter ketiga hanya menjanjikan akan memberi resep, tanpa menyentuh Oka. Hingga akhirnya Oka menghembuskan nafas terakhir.1

Murnawati lalu menghadap Direktur Rumah Sakit dan mengadukan kasus yang dialaminya. Sang Direktur berjanji akan menindak tegas dokter-dokter tersebut. Namun pihak Rumah Sakit hanya memberi tawaran ganti rugi sebesar Rp. 10.000.000,00. Sedangkan tuntutan ganti rugi yang diajukan 2 oleh Murnawati sebesar Rp. 1,5 Milyar.2

Asuransi merupakan suatu alternatif pengalihan risiko atau kerugian yang mungkin diderita seseorang, seperti : meninggal dunia, sakit, kecelakaan, serta rusak ataupun musnah harta bendanya baik sebagian maupun seluruhnya karena suatu sebab yang tidak pasti. Untuk memastikan agar nilai ekonomi (economic value) seseorang maupun harta benda yang dimilikinya tetap terjamin dan terlindungi dari risiko-risiko sebagai akibat peristiwa yang tidak pasti, maka orang yang bersangkutan dapat mempertanggungkan risiko-risiko tersebut kepada perusahaan asuransi (insurance company) sebagai alternatif yang tepat untuk menanggung risiko. Perkembangan bisnis asuransi yang

demikian pesat diiringi pula dengan kuantitas dan kualitas sengketa antara perusahaan asuransi dengan para nasabahnya, maupun pihak-pihak yang berkepentingan dengan asuransi tersebut. Hak ataupun kepentingan-kepentingan tersebut terjadi karena adanya hubungan hukum antara para pihak yang tertuang dalam suatu kontrak sebagai bukti tertulis yang disebut polis asuransi.

BAB III Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 755/MENKES/PER/IV/2011 Tentang Penyelenggaraan Komite Medik Di Rumah Sakit, pada bagian mekanisme kredensial dan pemberian kewenangan klinis bagi staf medis di Rumah Sakit, Angka 12 point D menyebutkan bahwa, “Dokter memiliki asuransi proteksi profesi (Professsional Indemnity Insurance)”.3 Pasal 46 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, menyebutkan bahwa, “…Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit…”4 Pasal 80 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, menyebutkan bahwa, “Setiap orang yang dengan sengaja mempekerjakan atau dokter gigi tanpa SIP dipidana dengan pidana

penjara paling lama 10 tahun atau denda paling banyak Rp. 300.000.000,005

Ketentuan-ketentuan tersebut menunjukkan bahwa dokter harus memiliki asuransi profesi. Dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 515 PK/Pdt/2011 dalam kasus disebutkan bahwa para dokter dalam kasus tersebut telah memiliki asuransi namun dalam mewujudkan tanggung jawab terhadap kesalahannya para dokter dibebani tanggung jawab sama rata yang menunjukkan bahwa Majelis Hakim sama sekali tidak mempertimbangkan dari masing-masing tingkat kesalahan dokter yang seharusnya dipergunakan sebagai dasar utama pertimbangan untuk membuat keputusan yang adil.

Tanggung jawab ganti rugi berdasarkan tingkat kesalahan merupakan bentuk tanggung jawab berdasarkan asas proporsionalitas. Penjelasan Pasal 3 angka (5) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi Kolusi Dan Nepotisme, yang mengartikan asas proporsionalitas sebagai asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban Penyelenggara Negara.6

Asas proporsionalitas memiliki kesamaan dengan konsep keadilan

yaitu setiap orang berhak atas apa yang semestinya menjadi bagian untuknya. Asas Profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan, baik yang dilakukan oleh warga negara, institusi, maupun aparatur pemerintah, yang dilandasi oleh etika individual, etika sosial, dan etika institusional

  • 1.2    Rumusan Masalah

Dengan berdasarkan pada uraian dalam latar belakang tersebut di atas, maka masalah yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut :

  • 1.2.1    Mengapa tingkat kesalahan dokter dalam malpraktek tidak dipergunakan sebagai dasar pertimbangan dalam pembayaran ganti rugi melalui asuransi?

  • 1.2.2    Bagaimanakah seharusnya pengaturan tanggung jawab dokter dalam kasus malpraktek yang menggunakan tingkat kesalahan sebagai dasar pertimbangan pembayaran ganti rugi melalui asuransi?

  • 1.3    Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian adalah :

  • a)    Untuk mengetahui alasan hukum yang mengakibatkan tingkat kesalahan dokter tidak digunakan dalam kasus malpraktek sebagai dasar pertimbangan pembayaran ganti rugi melalui asuransi.

  • b)    Untuk mengetahui pengaturan tanggung jawab dokter dalam kasus malpraktek yang mempertimbangkan unsur kesalahan sebagai dasar pembayaran ganti rugi.

II METODE PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, dimana penelitian ini akan mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang berlaku dimasyarakat dan menjadi acuan perilaku setiap orang. Penelitian ini menggunakan Pendekatan Undang-Undang (Statue Approach), yaitu dengan menggunakan peraturan perundang-undangan yang dilakukan dengan menelaah semua Undang-Undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang ditangani. Dan menggunakan Pendekatan Konseptual (Conseptual Approach) dengan menelaah konsep hukum yang relevan dengan isu permasalahannya beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Dalam penulisan tesis ini berdasarkan pada sumber dan jenis bahan hukum primer yaitu seperti Peraturan Perundang-Undangan yang memiliki kekuatan mengikat serta data mentah yang diperoleh secara langsung melalui wawancara dengan pihak yang berhubungan dengan penelitian yang sedang dilakukan, kemudian akan diolah untuk tujuan tertentu sesuai dengan kebutuhan. Dan

sumber bahan hukum sekunder, yaitu dari literatur-literatur yang memuat teori dan pandangan dari para ahli yang relevan dengan permasalahan yang diteliti, jurnal-jurnal hukum, karya tulis hukum yang memuat pandangan ahli hukum baik dalam bentuk buku yang berhubungan dengan permasalahan penelitian. Serta bahan hukum tersier berupa bahan-bahan hukum yang diperoleh dari media internet, dan artikel-artikel dalam internet yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

III HASIL DAN PEMBAHASAN

  • 3.1    Dasar Pertimbangan Pembayaran

    Ganti Rugi Asuransi

Ganti rugi saat ini hanya berdasarkan kesalahan, bukan tingkat kesalahan, sehingga setiap dokter harus menanggung beban ganti rugi secara renteng (sama jumlah sama rata). Skema ganti rugi seperti ini merupakan skema ganti rugi yang tidak adil karena dokter yang melakukan tingkat kesalahan kecil harus menanggung kerugian sama besarnya dengan dokter yang melakukan tingkat kesalahan besar. Skema ganti rugi yang demikian ini membutuhkan instrumen yang dapat menyelaraskan ketimpangan beban kewajiban bertanggung jawab antara dokter yang melakukan tingkat kesalahan kecil dengan dokter melakukan tingkat kesalahan besar. Instrumen itu adalah indikator yang dapat digunakan sebagai dasar untuk menentukan tingkat kesalahan dan selanjutnya

menentukan ganti rugi berdasarkan tingkat kesalahan itu.

Secara teknis untuk mengetahui tingkat kesalahan yang dilakukan oleh dokter, khususnya dokter dalam sebuah tim dokter pelaksana tindakan medis jika telah ditetapkan melakukan malpraktek adalah dapat dilakukan melalui analisa medikolegal.7 Analisa medikolegal dilakukan oleh Tim Medikolegal dari perusahaan asuransi yang terdiri dari dokter-dokter yang sudah berpengalaman di bidangnya. Adapun analisa-analisa yang dilakukan oleh Tim Medikolegal dalam kasus malpraktek yaitu sebagai berikut :8

  • 1.    Analisa medikolegal secara mendalam untuk memperoleh penyebab masalah yang sebenarnya dari segi disiplin profesi;

  • 2.    Analisa tentang cost-effectiveness penyelesaian sengketa;

  • 3.    Analisa tentang lesson-learned dan risk management guna pencegahan peristiwa serupa dikemudian hari;

  • 4.    Menentukan           langkah-langkah

(contingency plans). Langkah ini sangat individual dan bervariasi;

  • 5.    Tim medikolegal menyimpulkan pendapatnya secara lisan (dan kemudian akan menerbitkan pendapat tertulis yang di dalamnya menyebutkan : fakta material, pertimbangan dan kesimpulan tentang hal-hal di atas).

Akan tetapi sampai saat ini bahwa indikator untuk melaksanakan pembayaran ganti rugi secara proporsional belum ada.9 Instrumen atau indikator yang digunakan sebagai dasar untuk menentukan tingkat kesalahan dan selanjutnya menentukan ganti rugi berdasarkan tingkat kesalahan itu adalah standar profesi dalam melakukan tindakan medis dan standar prosedur operasional di lingkungan Rumah Sakit dimana dokter tersebut bekerja. Pada dasarnya tidak ada dokter yang sengaja menciderai pasiennya karena kesengajaan. Dan jika dalam keadaan force major, sepanjang tindakan medis dilakukan sesuai dengan standar pelayanan medis (SPM) dan standar prosedur operasional (SPO) maka hal tersebut masih dapat diterima.10

Mengenai apa yang dimaksud dengan “prinsip kesalahan” di dalam teori tanggung jawab yang didasarkan atas adanya unsur kesalahan, yaitu bahwa secara tradisional

prinsip ini mengandung dua aspek. Pertama, bahwa adil bila seseorang yang menyebabkan kerugian atau kerusakan pada orang lain karena kesalahannya diwajibkan untuk memberikan santunan atas kerugian tersebut kepada korban. Kedua, adalah adil bila seseorang yang menyebabkan kerugian atau kerusakan pada orang lain tanpa kesalahannya tidak memberikan santunan kepada korban. Prinsip kesalahan lebih memusatkan perhatiannya pada hubungan yang pertama, yaitu jika penyebab kerugian terbukti bersalah, pihak korban berhak untuk memperoleh santunan, dan bila tidak terbukti adanya unsur kesalahan maka santunan tidak diberikan.11

Pada prinsipnya suatu kerugian adalah sejumlah uang tertentu yang harus diterima oleh pasien sebagai kompensasi agar ia dapat kembali ke keadaan semula seperti sebelum terjadinya sengketa medik. Tetapi sulit untuk dicapai pada kerugian yang berbentuk kecederaan atau kematian seseorang, oleh karena itu kerugian tersebut harus dihitung sedemikian rupa sehingga tercapai jumlah yang layak (Reasonable atau fair) suatu kecederaan sukar di hitung dalam bentuk finansial. Kerugian dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

  • 1.    Kerugian immaterial

  • 2.    Kerugian material

Ditinjau dari segi kompensasinya, kerugian dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

  • 1.    Kompensasi untuk kecederaan yang terjadi bersifat immaterial

  • a.    Sakit dan penderitaan

  • b.    Kehilangan kesenangan/kenikmatan

  • c.    Kecederaan fisik/psikiatris

  • 2.    Kompensasi untuk pengeluaran tambahan

  • a.    Pengeluaran untuk perawatan rumah sakit

  • b.    Pengeluaran untuk biaya medis lain

  • c.    Pengeluaran untuk perawatan

  • 3.    Kompensasi untuk kerugian akibat kehilangan kesempatan

  • a.    Kehilangan penghasilan

  • b.    Kehilangan kapasitas mencari nafkah

Terdapat lima hal pokok di dalam Standar Profesi Medis (SPM), yaitu :12

  • 1.    Tindakan teliti dan hati-hati

  • 2.    Standar medis.

  • 3.    Kemampuan rata-rata dalam bidang keahlian yang sama (melakukan profesi menurut ukuran tertinggi. Menurut hukum yaitu ukuran minimal rata-rata bagi dokter).

  • 4.    Situasi dan kondisi yang sama.

  • 5.    Asas proporsionalitas (ada keseimbangan antara sarana, upaya dengan tujuan yang ingin dicapai untuk menghindari terjadinya : diagnostic ocerkill / therapeutic overkill / defensive medicine).

Dasar gugatan ganti rugi untuk meminta pertanggungjawaban dokter bersumber pada 13 dua dasar hukum yaitu :13

  • a.    Tanggung jawab hukum karena wanprestasi

  • b.    Tanggung jawab hukum karena melanggar hukum (onrechmatigedaad) Jika seorang dokter melakukan malpraktek karena wanprestasi, pasien atau keluarga pasien dapat menuntut ganti rugi secara material. Ganti rugi secara material tersebut dapat dihitung secara ekonomis, misalnya atas segala biaya yang dikeluarkan oleh pasien, seperti biaya pengobatan, biaya perawatan selama di Rumah Sakit, biaya dokter dan kehilangan gaji. Dan jika seorang dokter melakukan malpraktek karena onrechmatigedaad atau pelanggaran hukum maka dapat dituntut ganti rugi secara immaterial. Dimana kerugian material adalah perasaan tidak enak atau tidak nyaman seorang dokter terhadap pasien yang

dikonversikan ke dalam nilai ekonomis atau uang atau sesuai dengan nilai kepatutan.14

Pengaturan Tingkat kesalahan dokter sebagai dasar pertimbangan dalam pembayaran ganti rugi seharusnya dituangkan secara eksplisit dalam Undang-Undang Kesehatan. Ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur pelayanan kesehatan seharusnya memuat ketentuan tentang syarat penentuan tingkat kesalahan dokter sebagai dasar untuk menentukan tanggung jawab ganti rugi berdasarkan asas proporsionalitas.

Perusahaan asuransi tanggung gugat profesi dokter hanya memberikan ganti rugi kelalaian atau perbuatan melawan hukum yang dilakukan dokter sesuai dengan telah tercantum di dalam klausula perjanjian asuransi antara dokter dengan pasien. Asuransi tanggung gugat profesi dokter juga menanggung setiap kerugian yang timbul dari resiko yang tidak hanya dari resiko yang disebabkan oleh kesalahan-kesalahan profesi tertanggung, tetapi juga kesalahan-kesalahan yang dilakukan orang-orang dimana menurut hukum si tertanggung bertanggung jawab terhadap orang-orang tersebut selama berlakunya polis.

Berdasarkan polis asuransi tanggung gugat profesi dokter yang menjadi ruang

lingkup pertanggungjawaban asuransi antara lain:15

  • 1.    Ganti Rugi

  • a.    Sesuai dengan syarat-syarat yang tercantum dalam polis, Penanggung akan mengganti kerugian kepada pihak tertanggung, sejumlah ganti rugi sebagai akibat dari tindakan medis selama menjalankan profesinya yang diasuransikan. Pihak asuransi secara hukum bertanggung jawab membayar ganti rugi dari kerugian yang timbul akibat cidera badan pada pasien yang disebabkan dari tindakan oleh tertanggung yang terjadi di daerah jaminan selama masa berlakunya polis.

  • b.    Asuransi ini juga berlaku bagi tindakan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan berwenang bukan dokter atau dokter gigi yang membantu pihak tertanggung tersebut diatas, tetapi hanya dalam lingkup pekerjaan medis yang diberikan oleh pihak tertanggung yang dilakukan dibawah petunjuk, kontrol dan pengawasan pihak tertanggung.

  • c.    Ganti rugi terhadap kerugian yang ditetapkan bertempat di Negara alamat pihak tertanggung atau melalui suatu penyelesaian yang disetujui oleh

penanggung dengan syarat bahwa asuransi ini tidak berlaku untuk gugatan yang terjadi di negara-negara lain.

  • 2.    Penggantian Klaim

Asuransi tanggung gugat profesi dokter mempunyai pertanggungjawaban dalam pembayaran klaim yang meliputi pembayaran ganti rugi dan biaya hukum penyelesaian klaim. Pembayaran ganti rugi yaitu memberikan ganti rugi kepada tertanggung atas tuntutan hukum pihak ketiga sehubungan dengan malpraktek akibat suatu kelalaian atau kesalahan yang dilakukan oleh tertanggung yang terjadi dalam periode polis. Sedangkan biaya hukum penyelesaian klaim yaitu memberikan ganti rugi atas biaya perkara dan pengacara sehubungan dengan proses hukum atau penyelesaian klaim malpraktek tersebut. Kedua hal tersebut menjadi jaminan sekaligus kelebihan dari perusahaan asuransi, karena tidak hanya untuk pembayaran ganti rugi yang diderita si tertanggung tetapi juga biaya pendampingan hukum dalam penyelesaian klaim.

  • 3.    Adanya Pendampingan Hukum

Di dalam penyelesaian perkara atau kasus adanya tuntutan dari pasien, penanggung memberikan pendampingan hukum dalam menyelesaikan perkara atau kasus sampai tercapainya keputusan akhir.

  • 4.    Pengajuan Klaim

Pengajuan klaim dalam asuransi dilakukan jika tertanggung, telah melakukan suatu tindakan atau hal-hal yang masuk ke dalam ruang lingkup tanggung jawab asuransi. Misalnya dalam asuransi tanggung gugat profesi dokter, Tertanggung (dokter) dituntut oleh pasien yang merasa tidak puas dengan pelayanan dokter dan berpikir bahwa dokter tersebut telah melakukan malpraktek. Maka dokter tersebut selaku tertanggung dari asuransi tanggung gugat profesi dalam hal adanya tuntutan tersebut bisa melakukan klaim kepada asuransi, karena tindakannya masuk ke dalam pertanggungjawaban asuransi tersebut.

Penyelesaian klaim asuransi tanggung gugat profesi dokter dapat terjadi dilakukan dengan dua cara :16

  • 1 .) Cara Damai

Penyelesaian klaim dengan cara damai ditempuh dengan cara musyawarah atau negosiasi untuk melakukan kesepakatan tentang jumlah penggantian klaim kepada pasien. Perusahaan asuransi selalu menggunakan cara damai untuk menyelesaikan perkara. Peran tim medikolegal pada penyelesaian klaim dengan cara damai pada penyelesaian klaim sangat besar. Karena salah satu tugas dari tim medikolegal harus bisa

semaksimal mungkin melakukan penyelesaian perkara melalui proses perdamaian atau konsiliasi.17 Jika tercapai kedamaian, tim medikolegal akan membuat perjanjian perdamaian dengan legalitas dari notaris, hal ini dibuat agar supaya tidak ada salah satu pihak yang melakukan upaya hukum lain dikemudian hari. Setelah dibuat kesepakatan, akta perjanjian perdamaian tersebut didaftarkan oleh salah satu pihak ke pengadilan agar supaya mempunyai kekuatan hukum tetap, sehingga perjanjian tersebut mengikat kedua belah pihak yaitu pihak dokter dengan pasien.18

  • 2 .) Melalui Proses Pengadilan Penyelesaian klaim melalui proses pengadilan diambil jika dalam proses damai atau musyawarah tidak tercapai mufakat, sehingga jalan terakhir yang bisa ditempuh oleh masing-masing pihak yaitu lewat jalur litigasi atau pengadilan untuk mengambil suatu keputusan. Langkah ini biasanya datang dari pihak ketiga (pasien) untuk mengajukan tuntutan kepada tertanggung (dokter), karena pasien merasa tidak puas atas kesepakatan yang ada. Akan tetapi tidak menutup

kemungkinan langkah tersebut juga datang dari inisiatif dokter, dimana langkah-langkah perdamaian dengan pasien gagal ditempuh. Dalam hal penyelesaian perkara dalam persidangan, pihak penanggung yaitu perusahaan asuransi akan memenuhi kewajibannya untuk menanggung biaya proses-proses penyelesaian sengketa, dan menyediakan pengacara yang akan digunakan jasanya untuk membela tertanggung (dokter) sebagaimana bentuk jaminan yang diberikan oleh pihak asuransi.

Menurut Thomas Aquinas, keadilan distributif pada dasarnya merupakan penghormatan terhadap person manusia (acceptio personarum) dan keluhurannya (dignitas). Dalam konteks keadilan distributif, keadilan dan kepatutan (equity) tidak tercapai semata-mata dengan penetapan nilai yang aktual, melainkan juga atas dasar kebersamaan antara satu hal dengan hal yang lainnya (aequalitas rei ad rem). Ada dua bentuk kesamaan yaitu :19

  • a.    Kesamaan proporsional (acqualitas quantitas)

  • b.    Kesamaan kuantitas atau jumlah (acqualitas quantitas)

Thomas Aquinas menyatakan bahwa penghormatan terhadap person dapat terwujud apabila ada sesuatu yang dibagikan/diberikan kepada seseorang sebanding dengan yang seharusnya ia terima (praeter proportionem dignitas ipsius).   Dengan dasar itu maka

pengakuan terhadap person harus diarahkan pada pengakuan terhadap kepatutan (equity), kemudian pelayanan dan penghargaan didistribusikan secara proporsional atas dasar 20 harkat dan martabat manusia. 20

Asas proporsionalitas bermakna sebagai “asas yang melandasi atau mendasari pertukaran hak dan kewajiban para pihak sesuai proporsi, beban dan atau bagiannya.” Menurut Fisher dan Ury terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi proses penyelesaian sengketa, yaitu: kepentingan (interest), hak (rights) dan status kekuasaan (power). Para pihak yang bersengketa ingin kepentingannya    tercapai, hak-haknya

terpenuhi dan status kekuasaannya diperlihatkan,       dimanfaatkan serta

21 dipertahankan.21

Penerapan azas proporsionalitas akan membantu memberikan justifikasi mengenai putusan terhadap perkara dimaksud, dengan 22 berpedoman pada azas atau prinsip berikut :22

  • a.    Hakim tidak boleh bersikap berat sebelah (prinsip fair trial) dan memihak -

parsial (prinsip imparsialitas - tidak memihak). Hakim dituntut untuk secara bijaksana membagi beban pembuktian kepada pihak-pihak yang bersengketa secara adil dan proporsional.

  • b.    Menegakkan Risiko     Alokasi

Pembebanan  Pembuktian.   Dalam

mekanisme alokasi tersebut melekat risiko yang harus ditanggung akibatnya oleh masing-masing pihak. Pihak yang menurut hukum dibebani pembuktian, berarti mendapat alokasi untuk membuktikan hal itu. Apabila terdapat pihak yang tidak mampu membuktikan apa yang dialokasikan kepadanya, maka pihak tersebut menanggung risiko kehilangan hak atau kedudukan atas kegagalan memberi bukti yang relevan atas hal tersebut. Dengan demikian, apabila pengalokasian beban pembuktian dilakukan secara adil dan tidak memihak, hakim harus tegas menegakkan risiko atas kegagalan membuktikan apa yang dipikulkan kepada suatu pihak

Penerapan asas kepatutan suatu perkara dalam sidang di pengadilan, dimana saling berhadapan dua pihak (penggugat dan tergugat) yang sama-sama ingin membenarkan dalil-dalilnya. Hakim wajib memberikan kesempatan yang sama dengan cara meletakkan beban pembuktian yang

berpedoman kepada berat dalilnya yang hendak dibuktikan. Hakim harus membagi beban pembuktian sedemikian rupa agar secara proporsional berlangsung seimbang, sehingga pihak yang dibebani kewajiban pembuktian, tidak lebih ringan dari pihak lawan apabila dia mengajukan pembuktian.

Dalam hal ini, jika ternyata terbukti melanggar hukum maka dokter yang bersangkutan dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Sudah saatnya pihak berwenang mengambil sikap proaktif dalam menyikapi fenomena maraknya gugatan malpraktik. Dengan demikian kepastian hukum dan keadilan dapat tercipta bagi masyarakat umum dan komunitas profesi. Dengan adanya kepastian hukum dan keadilan pada penyelesaian kasus malpraktik ini maka diharapkan agar para dokter tidak lagi menghindar dari tanggung jawab hukum profesinya

  • 3.2 Pengaturan Pembayaran Ganti Rugi Asuransi Tanggung Gugat Profesi Dokter

Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pada pasal 48 disebutkan setiap orang berhak atas kesehatan; akses atas sumber daya; pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau; menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan; lingkungan yang sehat; info dan edukasi kesehatan yg

seimbang dan bertanggungjawab; dan informasi tentang data kesehatan dirinya.

Dasar penuntutan ganti rugi malpraktik dokter dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yaitu terdapat dalam pasal 58 ayat 1 dan ayat 2, dimana menyatakan bahwa, yaitu :

  • (1)    Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.

  • (2)    Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat.

Untuk aspek perdata apabila terjadi malpraktek yang mengakibatkan kerugian, dapat diukur dengan nilai material. Pada umumnya perbuatan dokter, hampir pasti tidak ada unsur kesengajaan untuk melakukan malpraktek. Sebagai kompensasi bila terjadi malpraktek, seorang dokter diharuskan memberikan ganti rugi terhadap kerugian yang dialami oleh pasien atau keluarganya. Untuk ganti rugi keperdataan berupa imbalan yang bersifat material. Besarnya ganti rugi tentunya berdasarkan putusan pengadilan, yang tinggi rendahnya ganti rugi hanya

Hakimlah yang punya kewenangan menentukan.

Apabila kita simpulkan ketentuan pemberian ganti rugi dari segi hukum perdata, tanggung jawab tersebut dapat mengandung beberapa aspek yaitu dapat ditimbulkan karena “wanprestasi” (tidak memenuhi prestasi), karena perbuatan melanggar hukum (onrecht matigedaad), dapat juga karena kurang hati-hatinya mengakibatkan matinya orang (moedwillige/onrecht matigedoodslag) dan juga karena kurang hati-hatinya mengakibatkan cacat badan (het veroorzichtige van lichame lijke letsel). Apabila wanprestasi maka ketentuan peraturannya terdapat dalam pasal 1243-1289 KUH Perdata, sedangkan kalau Onrechtmatigedaad dalam pasal 1365-1366 KUH Perdata, karena kurang hati-hati menyebabkan mati terdapat dalam pasal 1370 KUH Perdata, dan apabila mengakibatkan cacat badan pasal 1371 KUH Perdata.23

Pada prinsipnya sanksi perdata adalah pemberian ganti rugi kepada pihak yang dirugikan. Sanksi yang berupa ganti rugi itu sendiri dapat diklasifikasikan dua macam yakni, sanksi material dan imaterial. Untuk sanksi yang berbentuk material masih dapat dilakukan pengukuran, artinya masih bisa diukur dengan materi (uang). Sebaliknya untuk sanksi yang bersifat imaterial, sampai

saat ini belum ada tolak ukurnya. Tetapi dalam prakteknya ganti rugi imaterial dikonversikan menjadi nilai material / uang, sehingga tidak sedikit seseorang menggugat pihak lain dengan tuntutan imaterial yang diukur dengan nilai uang yang dalam menentukan jumlahnya semaunya sendiri. Hal ini dikarenakan tidak adanya alat ukur, sehingga penentuan jumlah tuntutan yang sangat tinggi seakan dianggap benar, walaupun tidak didasarkan asas kepantasan atau kepatutan.

Dalam Undang-Undang Nomor. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, peran dari asuransi berdasarkan Pasal 3 huruf (a) Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian adalah menerima pengalihan resiko kerugian yang timbul akibat adanya tuntutan dari pihak ketiga, dan dalam asuransi tanggung jawab hukum profesi dokter, perusahaan asuransi juga berperan dalam pendampingan saat dokter menghadapi tuntutan pasien dengan pembentukan tim medikolegal dan pendampingan dalam proses litigasi. Mengingat profesi dokter sangat berisiko, sebaiknya seluruh dokter memiliki asuransi tanggung jawab hukum profesi dokter dan dalam menjalankan tugasnya sebaiknya dokter lebih berhati-hati dan selalu menambah ilmu kedokteran agar tidak terjadi malpraktek.

Asuransi profesi dibuat untuk memberikan pertanggungan pada anggota suatu profesi yang dianggap mempunyai

risiko besar untuk digugat oleh kliennya atas dugaan malpraktek.24 Asuransi tanggung jawab profesi dokter merupakan salah satu bentuk dari asuransi tanggung jawab hukum profesi, objek asuransi tanggung gugat profesi dokter adalah adanya kewajiban untuk membayar ganti rugi kepada pasien yang timbul karena adanya kelalaian atau kesalahan dokter dalam menjalankan tugasnya, dimana kelalaian atau kesalahan tersebut telah tercantum di dalam klausula perjanjian asuransi antara dokter dengan pasien.

Pembayaran ganti rugi di dalam perjanjian asuransi tanggung jawab gugat profesi dokter, yaitu penanggung akan mengganti kerugian kepada pihak tertanggung sejumlah ganti rugi, sebagai akibat dari praktek kedokteran yang dilakukan tertanggung terhadap pasien selama menjalankan profesinya yang diasuransikan. Dimana yang secara hukum bertanggung jawab membayar ganti rugi dari kerugian yang timbul dari cedera badan pada pasien yang disebabkan oleh tindakan medis dari tertanggung yang terjadi di daerah lingkup jaminan.25

Pembayaran ganti rugi seperti yang dimaksud dalam perjanjian asuransi meliputi biaya tuntutan ganti rugi dan biaya hukum

penyelesaian klaim, maksimal sebesar nilai pertanggungan yang tercantum dalam ikhtisar polis. Penanggung hanya bertanggungjawab berdasarkan polis untuk membayarkan ganti rugi atau biaya klaim setelah dikurangi jumlah risiko sendiri yang menjadi tanggung jawab Tertanggung (Insured’s Retained Amount) pada setiap kejadian dan apabila syarat-syarat dalam polis telah dipenuhi. Dan setiap Batas Kejadian yang dinyatakan dalam Ikhtisar Pertanggungan adalah jumlah tertinggi yang dibayarkan Penanggung pada setiap kejadian berupa total jumlah :26

Pada prinsipnya dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, ganti rugi merupakan suatu tujuan bahwa asuransi merupakan risk transfer mechanism. Mengalihkan atau membagi risiko yang kemungkinan akan diderita atau dihadapi tertanggung atas suatu peristiwa yang tidak dikehendaki dan belum pasti terjadi. Namun, satu hal yang perlu diketahui dalam Prinsip Keseimbangan (Indemnity Principle) ini, bahwa tertanggung tidak diperkenankan untuk memperoleh keuntungan dari ganti rugi yang diberikan oleh penanggung. Besarnya ganti rugi yang diterima oleh tertanggung harus seimbang atau sama dengan kerugian yang dideritanya. Untuk menciptakan keseimbangan antara kerugian dengan ganti rugi harus terlebih

dahulu diketahui berapa nilai atau harga dari objek yang diasuransikan.

  • IV KESIMPULAN DAN SARAN

  • 4.1    Kesimpulan

Dari pembahasan yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan bahwa;

  • 1.    Tingkat kesalahan dokter belum dipergunakan sebagai dasar pertimbangan dalam penentuan dan pembayaran ganti rugi dalam kasus malpraktek karena peraturan perundang-undangan yang mengatur pelayanan kesehatan belum menentukan hal tersebut. Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengatur tentang tuntutan ganti rugi terhadap tenaga kesehatan yang menimbulkan kerugian terhadap seseorang atas sesuatu yang timbul baik fisik maupun non fisik akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan. Dalam KUH Perdata mengatur tentang tanggung jawab yang timbul karena wanprestasi, karena perbuatan melanggar hukum yang mengakibatkan kematian pada seseorang dan mengakibatkan cacat badan. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian mengatur tentang ganti rugi dari kemungkinan risiko yang diderita atau dihadapi tertanggung atas suatu peristiwa yang tidak dikehendaki dan belum pasti terjadi. Besarnya ganti rugi yang diterima

oleh tertanggung harus seimbang atau sama dengan kerugian yang dideritanya. Untuk menciptakan keseimbangan antara kerugian dengan ganti rugi harus terlebih dahulu diketahui berapa nilai atau harga dari objek yang diasuransikan.

  • 2.    Pengaturan tingkat kesalahan dokter sebagai dasar pertimbangan dalam pembayaran ganti rugi seharusnya dilakukan secara eksplisit dalam Undang-Undang Kesehatan. Ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur pelayanan kesehatan seharusnya memuat ketentuan tentang syarat penentuan tingkat kesalahan dokter sebagai dasar untuk menentukan tanggung jawab ganti rugi berdasarkan asas proporsionalitas. Instrumen atau indikator yang dapat digunakan    sebagai dasar   untuk

menentukan tingkat kesalahan dan selanjutnya  menentukan ganti rugi

berdasarkan tingkat kesalahan itu adalah Standard Profesi Medis (SPM) dalam melakukan tindakan medis dan Standard Prosedur Operasional (SPO) di lingkungan Rumah Sakit dimana dokter tersebut bekerja.

  • 4.2    Saran

  • 1.    Pengaturan nilai ganti rugi dalam kasus malpraktek dokter, khususnya dokter dalam sebuah tim dokter pelaksana tindakan medis sebaiknya menggunakan

skema ganti rugi secara proporsional sesuai dengan tingkat kesalahan dokter masing-masing untuk dapat menyelaraskan ketimpangan beban kewajiban bertanggung jawab sesuai dengan proporsinya antara dokter yang melakukan tingkat kesalahan kecil dengan dokter melakukan tingkat kesalahan besar.

  • 2.    Perlu adanya keseriusan pihak pemerintah, untuk segera membuat ketentuan pengaturan tingkat kesalahan dokter sebagai dasar pertimbangan dalam pembayaran ganti rugi malpraktek, untuk dapat menyelaraskan ketimpangan beban kewajiban bertanggung jawab sesuai dengan proporsinya antara dokter yang melakukan tingkat kesalahan kecil dengan dokter melakukan tingkat kesalahan besar. Dengan demikian kepastian hukum dan keadilan dapat tercipta bagi masyarakat umum dan komunitas profesi.

DAFTAR PUSTAKA

Agus Yudha Hernoko Agus Yudha Hernoko,

Hukum Perjanjian Asas

Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, LaksBang Mediatama Yogyakarta, Oktober, 2008

Djaja Surya Atmadja, “Malpraktek Medis,

Pembuktian Dan Pencegahan”,

Simposium Dua Hari (Akreditasi IDI), 28-29 Agustus, 2004

Endang Kusumah Astuti, Hubungan Hukum Antara Dokter Dan Pasien Dalam Upaya Pelayanan Medis, Semarang, 2003

PT. Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967, Buku Panduan Asuransi Tanggung Gugat Profesi Dokter : Mekanisme Penanganan Klaim Asuransi Tanggung Gugat Profesi Dokter, Jakarta Selatan, 2010

Polis Standart Asuransi Tanggung Gugat Profesi Dokter PT. Asuransi Umum Bumiputeramuda 1967

Anonim, Dokter “Kejar Setoran” Memicu Malpraktek, http : http://www.mail-archive.com/gorontalomaju2020@yaho ogroups.com/msg09972.html,

PMK No. 755 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Komite Medik Di Rumah Sakit

Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit

Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran

Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi Kolusi Dan Nepotisme

Biodata Penulis :

Ni Putu Ayu Myra Gerhana Putri, SH, AAAIK, mahasiswa program magister ilmu hukum Universitas Udayana, konsentrasi hukum bisnis, bertempat tinggal di Jalan Letda Reta gg XII/5 Denpasar, 80234. Penulis saat ini bekerja di PT. Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 Cabang Denpasar. Dapat dihubungi melalui email : [email protected] atau melalui telepon seluler 08123611674

17