Kedudukan Notaris Sebagai Pejabat Umum Ditinjau Dari Konsep Equality Before The Law
on
Jurnalmagisterhukumudayana
(UDAYS≡ ≡∞ER M# JOU≡AL)
Vol. 8 No. 2 Juli 2018
E-ISSN: 2502-3101 P-ISSN: 2302-528x
http: //ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu

Kedudukan Notaris Sebagai Pejabat Umum Ditinjau Dari Konsep Equality Before The Law
Edwar1, Faisal A.Rani2, Dahlan Ali3
1Program Studi Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, E-mail: edotipikor210@gmail.com
-
2Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, E-mail: faisal_rani@unsyiah.ac.id
-
3Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, E-mail: dahlan_ali@unsyiah.ac.id
Info Artikel
Masuk: 4 Januari 2019 Diterima: 15 April 2019
Terbit: 31 Juli 2019
Keywords:
Position Notar; General Officer; Equality Before The
Law
Kata kunci:
Keduduka; Notaris, Pejabat Umum; Equality Before The Law
DOI:
10.24843/JMHU.2019.v08.i02. p05
Abstract
Notaris. Sehubungan dengan prosedur tersebut diatas menunjukkan bahwa pemanggilan notaris oleh penegak hukum harus izin dari Majelis Kehormatan Notaris tidak sesuai dengan Konsep equality before the law.
Bahwa, sesuai dengan Pasal 1 angka 1 UUJN No. 2 Tahun 2014 pada menyatakan bahwa notaris berwenang dalam membuat akta otentik serta memiliki kewenangan yang lainnya. Sehingga notaris lah yang memiliki kewenangan dalam membuat akta otentik, dan menjadi pembuktian yang kuat ketika terjadi permasalahan hukum di pengadilan1
Notaris dalam hal untuk menjalankan tugasnya harus mengacu kepada ketentuan kode etika. Yang mana hal tersebut merupakan bimbingan, pedoman moral dalam profesi tertentu , dan mempunyai kewajiban untuk menjalankan profesi yang dibuat oleh anggota profesi notaris dan mengikat dalam mempraktekkannya 2 . Untuk itu kode etika notaris sangat penting bagi notaris yang menjalankan tugasnya untuk dapat memberikan suatu pelayanan yang baik bagi masyarakat terutama di bidang pembuatan akta, supaya tidak menyalahi aturan yang berlaku dan bekerja sesuai dengan bidangnya. Kedudukan notaris sebagai pejabat umum di depan hukum mempunyai kekuatan pembuktian dalam hal pembuatan terhadap akta notaris yang dibuatnya, notaris merupakan jabatan kepercayaan yang telah diberikan oleh aturan hukum yang berlaku dan untuk itu seorang notaris bertanggungjawab penuh untuk melaksanakan kepercayaan tersebut dengan sebaik-baiknya. Dan ketika kepercayaan itu dilanggar di dalam pembuatan akta baik yang disengaja maupun yang tidak maka notaris wajib mempertanggungjawabkannya3.
Untuk membuat suatu akta, maka bentuk akta otentik tersebut harus sesuai Undang-Undang, sementara pejabat Notaris memiliki suatu kewenangan dalam membuat akta otentik serta memiliki wewenang dalam pembuatan, perjanjian serta penetapan yang diwajibkan bagi yang berkepentingan yang dinyatakan dalam akta otentik yang apabila terjadi permasalahan hukum yang dilakukan oleh notaris maka untuk pemeriksaannya harus izin dari Majelis Kehormatan Notaris. yang mengakibatkan pemeriksaan tersebut tidak sesuai dengan persamaan dan kesetaraan di mata hukum . Setelah keluarnya Undang-Undang Notaris No. 2 Tahun 2014, pemanggilan notaris oleh aparat hukum ada izin dari MKN yang menimbulkan diskriminasi hukum. Permasalahannya yang dikaji adalah Bagaimanakah kedudukan notaris sebagai saksi terkait dengan akta atau surat dibawah tangan yang dibuatnya terhadap proses peradilan. Tujuannya adalah Untuk mengetahui bagaimana kedudukan Notaris sebagai saksi terkait dengan akta atau surat dibawah tangan yang dibuatnya terhadap proses peradilan. Hasil penelitiannya adalah kedudukan notaries sebagai saksi terkait dengan akta yang dibuatnya berdasarkan Undang-Undan Jabatan Notaris mengakibatkan proses hukum terhambat akibat menunggu izin dari Majelis Kehormatan Notaris. Sehubungan dengan prosedur tersebut diatas menunjukkan bahwa
pemanggilan notaris oleh penegak hukum harus izin dari Majelis Kehormatan Notaris tidak sesuai dengan Konsep equality before the law bat yang berwenang membuatnya harus pula berdasarkan peraturan perundang-undangan setingkat dengan Undang-Undang. Yang mana secara aturan hukum yang berlaku hanya notarislah yang berwenang dalam hal membuat akta autentik tersebut4
Menurut Ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata menyebutkan “Akta otentik yang dibuat berdasarkan Undang-Undang/dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat dimana dibuat akat itu. Untuk itu akta yang telah memenuhi persyaratan dalam KUHPerdata tersebut. Akta otentik yang telah dibuat notaris walaupun telah ditandatangani para pihak, dan apabila persyaratan tidak dipenuhi sesuai dengan Pasal 1868 KUHPerdata tersebut, mengakibatkan akta otentik tersebut tidak dapat dikatakan sebagai akta otentik, namun akta dibawah tangan( Pasal 1869 KUHPerdata).
Dalam praktiknya notaris yang kedudukannya sebagai pejabat umum ada juga yang terlibat dalam perkara hukum baik sebagai saksi maupun tersangka.5 Terkait hal tersebut, maka dijelaskan dalam UUJN Pasal 66 ayat (1) menjelaskan dalam penyelesaian proses perkara, Pihak Kepolisian, Kejaksaan, dan hakim harus dengan persetujuan Majelis Kehormatan Notaris. hal ini lah membuat aparat hukum kesulitan dalam hal memproses notaris ketika terjadinya adanya dugaan tindak pidana. Karena aparat hukum tidak dapat dengan serta merta memanggil notaris untuk dimintai keterangan karena harus izin dari Majelis Kehormatan Notaris sementara untuk warga negara yang bukan notaris tidak memerlukan waktu yang lama untuk diproses. Dan dalam ini lah memerlukan waktu yang lama untuk diproses. Dan mengakibatkan tidak adanya persamaan di mata hukum.
Sesuai dengan kewenangan MKN berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris Tersebut bahwa untuk memberikan suatu persetujuan atau menolak permintaan Pihak Kepolisian , Kejaksaan dan hakim yang akan memeriksa seorang notaris di persidangan. Yang mana sebelumnya adalah wewenang dari Majelis Pengawas Daerah, akan tetapi kewenangan MPD tersebut ditegaskan tidak lagi berlaku sesuai dengan keputusan MK Nomor 49/PUU-X/2012. Tentang aturan bentuk perlindungan dan kedudukan yang diberikan Majelis Kehormatan terhadap notaris dalam peraturan perundang-undangan belum diatur6. Akan tetapi peranan dari MKN ini merupakan penggantian dari peran Majelis Pengawas Daerah untuk menyetujui /menolak terhadap proses pemeriksaan notaris 7.
Kedudukan Notaris bukan Pejabat Negara karena notaris bukan pegawai negeri akan tetapi notaris ketika dipanggil oleh penyidik sebagai saksi harus ada persetujuan dari MKN. Untuk itu sesuai Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3) menyatakan “Negara Indonesia adalah Negara hukum”; untuk itu Negara menjamin persamaan pada seluruh warga negara di depan hukum tanpa membeda-bedakannya dan juga melindungi terhadap HAM.
Sesuai dengan konsep equality before the law yaitu persamaan dan kesetaraan di di depan hukum memiliki arti bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk diperlakukan sama di depan hukum, yang mana tidak membedakan masalah ras, agama, keturunan,
pendidikan atau tempat lahirnya dan latar belakangnya. Oleh karena itu kedudukan notaris sebagai pejabat umum perlu dikaji apakah sudah mencerminkan persamaan dimata hukum atau belum.
Persamaan di mata hukum yang dipercayai akan memberikan suatu jaminan untuk memperoleh keadilan untuk setiap manusia tidak memandang agama, keturunan, ras, pendidikan atau tempat lahirnya. Untuk itu persamaan hukum harus ditegakkan bagi seluruh warga negaranya, dan aparat yang mempunyai tugas menjalankannya, agar persamaan hukum tersebut dirasakan oleh setiap manusia tanpa terkecuali. Karena Indonesia adalah negara hukum yang menganut ajaran kedaulatan yang menempatkan hukum pada kedudukan tertinggi8
Prinsip Persamaan di mata hokum yang lebih dikenal dengan sebutan Equality before the law, tujuan utamanya untuk menegakkan keadilan bagi seluruh warga negara Indonesia atas persamaan kedudukan, artinya bahwa hukum tidak membedakan setiap warga negara yang meminta suatu keadilan kepadanya. Oleh karena itu, dengan asas equality before the law ini setidak-tidaknya tidak akan terjadi lagi diskriminasi hukum di Negara Republik Indonesia ini supaya masyarakatnya percaya kepada aparat hukum dan tunduk mejalankan aturan yang berlaku .
Berdasarkan hal tersebut di atas dikaitkan dengan konsep Equality Before The Law bahwa mengacu kepada peraturan perundang-undangan kita yaitu Undang-Undang Dasar 1945, merupakan hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukannya. Bahwa persamaan tersebut dapat diartikan bahwa setiap warga negara wajib diperlakukan sama oleh aparat hukum baik sebagai saksi maupun sebagai tersangka tanpa memandang siapa orangnya dan apa jabatannya. Berdasarkan dari hasil penelitian pendahuluan telah didapat adanya pemanggilan notaris dalam kasus perkara perdata dan pidana, baik dia sebagai saksi maupun sebagai terdakwa harus adanya persetujuan dari Majelis Kehormatan Notaris dan tanpa persetujuan tersebut aparat hukum tidak bisa dimintai keterangannya.
Untuk itu Permasalahannya yang dikaji adalah Bagaimanakah kedudukan notaris sebagai saksi terkait dengan akta atau surat dibawah tangan yang dibuatnya terhadap proses peradilan dan Apakah mekanisme pemanggilan notaris oleh aparat hukum sesuai dengan konsep equality before the law.
Metode Penelitian ini menggunakan jenis pendekatan hukum normatif 9 , yakni menggunakan data sekunder seperti Undang-Undang, yurisprudensi, teori hukum dan pendapat para sarjana serta bertujuan juga untuk meneliti asas hukum, sistematika hukum, sinkronisasi hukum. Sementara Teknik penulisan ini diperoleh dengan cara mempelajari berbagai literatur dan petunjuk terhadap data primer dari berbagai literatur, jurnal, rancangan undang-undang yang berkaitan terhadap permasalahan yang akan dibahas. Selanjutnya data dan dokumen yang diperoleh dikumpulkan melalui teknik pengumpulan data, selanjutnya data tersebut diolah dengan cara mempelajari berdasarkan pokok masalah. Kemudian peneliti sajikan secara deskriptif yaitu dengan menguraikan dalam kalimat, selanjutnya peneliti melakukan analisis secara teori dengan kenyataan yang ada. Kemudian barulah peneliti simpulkan secara deduktif yaitu data yang bersifat umum ke arah data yang spesifik.
Bahwa akta otentik merupakan alat pembuktian sempurna terhadap akta yang dibuat notaris sepanjang tidak ada masalah dikemudian hari, sehingga akta otentik yang dibuat tersebut, dapat dipertanggungjawabkan serta harus menjunjung tinggi etika, martabat serta keluhuran jabatannya. Dan ketika kepercayaan itu tidak diindahkan oleh notaris dalam pembuatan akta otentik, untuk itu notaris wajib mempertanggungjawabkannya agar para pihak tidak dirugikan.
Seorang notaris dalam kapasitasnya sebagai saksi terhadap permasalahan akta yang dibuatnya, secara hukum harus menjelaskan bagaimana prosedur pembuatan akta yang dibuatnya artinya akta tersebut apakah menyalahi prosedur yang berlaku atau tidak dan atau dalam melaksanakan tugasnya sebagai pembuatan akta otentik, Pengawasan dilakukan berdasarkan kode etika notaris yang telah disepakati bersama yaitu oleh Majelis Kehormatan Notaris 10.
Untuk melakukan pemeriksaan dan pengawasan serta penjatuhan saksi pada notaris, Majelis Pengawas dalam melaksanakan kewenangannya tersebut, telah ditentukan oleh Undang-Undang Jabatan Notaris dalam pengambilan suatu keputusan. Perlu dipahami, bahwa semua Majelis Pengawas bukan berasal dari profesi notaris, sehingga keputusan atau tindakan dari Majelis Pengawas dapat mencerminkan perbuatan sebagai instansib , dan tindakan anggota Majelis Pengawas bukan dianggap sebagai tindakan instansi 11.
Dalam praktiknya, ketika timbul permasalahan hukum terhadap akta yang dibuatnya maka notaris yang bersangkutan harus mempertanggungjawabkannya di hadapan hukum, untuk itu ketika notaris yang bersangkutan ditetapkan sebagai saksi atau tersangka baik perkara perdata maupun perkara pidana, maka sesuai dengan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris, untuk kepentingan penyidikan Kepolisian, kejaksaan , dan pengadilan untuk pengambilan Minuta Akta atau dokumen-dokumen yang berada pada Minuta Akta /Protokol notaris dalam penyimpanan notaris serta memanggil notaris agar datang untuk diperiksa berkaitan dengan Akta notaris atau Protokol notaris yang berada dalam penyimpanannya harus ada izin Majelis Kehormatan Notaris 12.
Ketika ada pihak-pihak yang mempermasalahkan akta yang telah dibuat oleh notaris, untuk itu kedudukan notaris sebagai pejabat umum mempertanggungjawabkan akta yang dibuatnya dalam hal ini pemanggilan notaris di persidangan disebabkan terhadap keabsahan prosedur pembuatan akta yang dibuatnya apakah sudah benar atau tidak. Karena sering kali para pihak yang bersengketa tidak mengakui terhadap akta yang ditandatanganinya. Untuk itu agar perkara nya jelas, hakim meminta pertanggungjawaban notaris terhadap akta tersebut. Kalau ternyata akta yang dibuat tersebut disengaja tidak melalui prosedur tidak tertutup kemungkinan seorang notaris naik statusnya menjadi tersangka.
Selanjutnya, bahwa akta yang telah dibuat oleh notaris tersebut ternyata dalam fakta persidangan terbukti melanggar aturan, maka berdasarkan ketentuan UUJN, maka akta otentik tersebut adalah cacat hukum. Maka akta otentik yang dibuatnya tersebut dapat
dilaporkan ke pihak kepolisian secara pidana berdasarkan bukti-bukti serta fakta-fakta yang ada. Artinya bukti-bukti tersebut benar-benar telah diduga adanya unsur tindak pidana.
Apabila terbukti notaris melakukan suatu pelanggaran dan diberi sanksi, maka sesuai Pasal 9 UUJN diberhentikan sementara dari jabatannya, atau diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya sesuai dengan Pasal 12 UUJN berupa pidana penjara sesuai keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dengan ancaman pidana penjara 5 (lima ) tahun tau lebih13.
Sebuah Akta yang dibuat oleh seorang notaris sesuai dengan UUJN maka disebut akta otentik , sementara yang dibuat oleh para pihak disebut akta di bawah tangan , dan para pihak yang menentukan isi dan bentuk dari akta itu Oleh karena itu ketika akta dibawah tangan dijadikan bukti dalam proses pengadilan para pihak harus membuktikan bahwa akta dibawah tangan itu benar adanya karena akta dibawah tangan dibuat atas kemauan para pihak.
Dalam proses pengadilan akta dibawah tangan yang dijadikan sebagai alat bukti oleh pihak yang bersengketa dapat menjelaskan bahwa akta dibawah tangan tersebut benar sesuai dengan faktanya. Ketika ada pihak yang membantah, pihak tersebut harus dapat membuktikan kembali atas keabsahan akta dibawah tangan untuk membantah bantahan pihak yang tidak mengakui.
Selanjutnya, Akta yang telah dibuat oleh parapihak dan yang telah di legalisasi oleh notaris dapat juga dibatalkan oleh hakim ketika akta dibawah tangan tersebut mendapat bantahan dari pihak yang telah mengajukan/meminta pembatalan terhadap akta dibawah tangan tersebut. Dan Notaris dapat dijadikan saksi oleh pihak yang mengajukan bukti akta dibawah tangan sebagai pembuktian bahwa akta dibawah tangan tersebut adalah benar. Dan untuk menghadirkan notaris sebagai saksi dalam perkara perdata adalah kewenangan para pihak untuk menghadirkannya.
Pemeriksaan notaris yang dijadikan saksi atau tersangka/ terdakwa terhadap kasus pidana, yang kapasitasnya sebagai pembuat akta otentik, keterangan yang diberikan harus sesuai dengan apa yang dilihatnya, didengar serta alat bukti lainnya dalam membuat suatu akta otentik apakah ada indikasi perbuatan pidana atau tidak. Untuk itu keterlibatan seorang notaris dalam permasalahan hukum dikarenakan adanya suatu kesalahan dan kurangnya kehati-hatian dalam pembuatan akta, baik dari notaris itu sendiri ataupun dari kedua belah pihak.. Sehingga akta tersebut menimbulkan permasalahan hukum yang mengakibatkan akta tersebut tidak sah dan seorang notaris yang dijadikan sebagai tersangka akibat akta yang dibuatnya, maka untuk dipanggil harus melalui persetujuan MKN yang mengakibatkan memperlambat proses perkara. Karena harus menunggu 30 (tiga puluh hari ) untuk dapat izin dari MKN.
Oleh sebab itu, pemanggilan notaris oleh Penyidik, kejaksaan maupun hakim memakan tenggang waktu yang lama dan proses perkara yang cepat dan sederhana terkendala, dan berbeda dengan pemanggilan terhadap masyarakat biasa tanpa prosedur yang berbelit-belit.
Proses pemanggilan tersebut akan menjadi kendala apabila dalam rentang waktu 30 (tiga puluh) hari, izin yang ditunggu oleh penyidik, ternyata MKN tidak mengeluarkan izin terhadap notaris yang bersangkutan untuk hadir sebagai saksi atau tersangka, mengakibatkan penyidik kepolisian tidak dapat memeriksa notaris yang bersangkutan. Oleh karena itu MKN harus menjelaskan kepada penyidik alasan tidak diizinkannya seorang notaris untuk diperiksa.
Pemanggilan seorang notaris untuk diperiksa sebagai saksi oleh penyidik bertolak belakang dengan masyarakat biasa, ketika dipanggil oleh penyidik, akan memenuhi panggilan tersebut tanpa adanya persetujuan dari pihak mana pun. Hal ini terlihat secara hukum bahwa persamaan di mata hukum bagi setiap warga negara telah terjadi diskriminasi.
Setiap notaris yang terlibat adanya dugaan melakukan tindak pidana sesuai dengan profesinya, harus dipertanggungjawabkan sesuai dengan hukum yang berlaku, apakah dipanggil sebagai saksi maupun tersangka. Aparat hukum untuk memproses terhadap notaris harus ada izin dari MKN. Namun izin dari MKN tersebut akan memperlambat proses hukum sementara untuk masyarakat umum proses tersebut hanya memakan waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja. Sebagai contoh ketika dalam proses persidangan seorang hakim menemukan adanya dugaan keterlibatan seorang notaris dalam perkara tersebut, hakim akan meminta kepada jaksa penuntut umum untuk menghadirkan notaris tersebut dengan tujuan supaya perkara jelas dan terang,
Pemanggilan notaris oleh penyidik kepolisian, kejaksaan maupun hakim, untuk sebagai saksi maupun sebagai tersangka/Terdakwa sesuai dengan bunyi Pasal 66 ayat (1) UUJN tidak mencerminkan persamaan di mata hukum karena harus mendapatkan izin dari Majelis Kehormatan Notaris terlebih dahulu, sehingga membuat proses perkara terhambat sementara warga negara yang bukan notaris yang tersangkut tindak pidana langsung dipanggil oleh pihak penyidik tanpa ada izin dari pihak mana pun. Sehingga proses hukum berjalan dengan cepat baik itu di tingkat Penyidikan, Penuntutan maupun di tingkat pengadilan.
Majelis Kehormatan Notaris adalah salah satu badan pengawas terhadap kinerja notaris, dan ketika notaris terlibat permasalahan hokum, maka Majelis Kehormatan Notaris diberi tahu saja tanpa memerlukan izin. Supaya persamaan di mata hukum tetap berjalan sesuai dengan Undang-Undang Dasar .
Terhadap Pengawasan dan pembinaan notaris apabila terjadi penyelewengan ataupun pelanggaran dari jalur hukum akan menyebabkan para notaris bisa dituntut di muka hukum.14
Pelanggaran yang dilakukan oleh para notaris untuk dituntut di muka hukum ada mekanismenya yang ditujukan agar tidak semua kasus hukum yang melibatkan peran serta notaris dapat menyeret notaris untuk dilakukan penyelidikan. Ada majelis yang akan menilai apakah kesalahan tersebut merupakan kesalahan notaris atau tidak15.
Jika tidak ada mekanisme ini maka akan sangat mengganggu gerak para notaris dalam menjalankan kegiatannya. Notaris akan senantiasa takut dan ragu karena besarnya risiko dituntut di muka hukum16.
Selain itu, untuk mencegah supaya tidak terjadinya suatu pelanggaran yang dilakukan notaris, apakah adanya kesengajaan atau kelalaian, untuk itu perlu pembinaan bagi para notaris oleh Pengawas notaris dan majelis Kehormatan Notaris. supaya dapat mengurangi dan menghilangkan kasus hukum yang melibatkan kesalahan dan pelanggaran oleh notaris17.
Untuk melakukan pengawasan dan pembinaan notaris adalah tanggungjawab Majelis Kehormatan Notaris sesuai dengan UUJN, karena MKN merupakan badan yang mempunyai
kewajiban dan kewenangan untuk itu, berdasarkan UUJN Pasal 67 menyatakan terhadap pengawasan notaris diawasi oleh Menteri dengan dibantu oleh Majelis Pengawas Daerah, Majelis Pengawas Wilayah dan Majelis Pengawas Pusat18.
Setiap perbuatan notaris yang terlibat dugaan melakukan tindak pidana sesuai dengan profesinya tersebut harus dipertanggungjawabkan di mata hukum.. Aparat hukum untuk melakukan pemanggilan notaris harus mendapat persetujuan dari MKN yang mengakibatkan proses hukum memakan waktu yang lama sementara bagi masyarakat umum proses tersebut hanya memakan waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja. Sebagai contoh ketika dalam proses persidangan seorang hakim menemukan adanya dugaan keterlibatan seorang notaris dalam perkara tersebut, hakim akan meminta kepada jaksa penuntut umum untuk menghadirkan notaris tersebut dengan tujuan supaya perkara jelas dan terang, Kemudian ketika penyidik melakukan pemeriksaan terhadap saksi atau tersangka yang terlebih dahulu dipanggil sesuai dengan aturan yang berlaku dengan melihat rentang waktu antara diterimanya panggilan tersebut dan jika notaris tersebut tidak memenuhi panggilan, maka penyidik akan memanggil kembali sesuai prosedur yang berlaku. Apabila tidak datang juga dapat dilakukan dengan upaya paksa. Selanjutnya berdasarkan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dijelaskan "Segala warga
negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Untuk itu Notaris sebagai pejabat umum harus tunduk kepada prinsip persamaan di mata hukum ketika dipanggil oleh penyidik atau aparat hukum baik sebagai saksi atau tersangka tanpa adanya persetujuan atau izin dari MKN. Pemanggilan seorang notaris oleh aparat hukum baik sebagai saksi maupun tersangka tidak perlu izin dari Majelis Kehormatan Notaris karena akan memperlambat proses penyidikan dan cukup pemberitahuan saja ke Majelis Kehormatan Notaris`. dan untuk itu, untuk menghindari hal tersebut notaris harus dengan tegas menolak apabila akta otentik yang dibuat bertentangan dengan undang-undang, hukum dan etika19
Ketika suatu akta otentik dinyatakan cacat hukum ataupun dinyatakan terdegrasi menjadi akta dibawah tangan maka pihak yang dirugikan oleh notaris dapat menuntut yang bersangkutan atau pun turut tergugat20.
Bentuk dan tanggung jawab notaris mempunyai pengertian :
-
1. Notaris membuat akta dengan benar dan baik, yaitu harus mengikuti permintaan para pihak yang berkepentingan.
-
2. Akta notaris tersebut bermutu, yaitu sesuai peraturan dan kehendak para pihak dan juga kepada para pihak dijelaskan kebenaran isi dan prosedur akta yang dibuatnya itu
-
3. Akta tersebut berdampak positif yaitu siapa pun akan mengakui akta notaris tersebut sebagai bukti sempurna21
Undang-Undang memberi pengakuan yang tinggi terhadap akta autentik, yang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna, yang di dalam terdapat tiga macam kekuatan pembuktian diantaranya Pembuktian lahiriah, pembuktian formil dan pembuktian materil.
Pembuktian Lahiriah adalah bentuk lahiriah tampak luar sebuah akta diakui otentik karena sesuai dengan Undang-Undang (acta publica probant seseipsa) aturannya ditentukan dalam Pasal 38 dan Pasal 43 UUJN22
Pembuktian Formal adalah notaris menjamin keabsahan hari, tanggal, bulan, tahun, dan waktu pihak yang menghadap serta paraf, tanda tangan penghadap, saksi dan notaris serta membuktikan yang dilihat, disaksikan, dan didengar notaris, mencatatkan
keterangan atau pernyataan penghadap (pada akta pihak), sebagaimana kewenangan notaris yang diatur dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN 23.
Apabila pembuktian formil dipermasalahkan otentitasnya oleh pihak-pihak, yang dibuktikan itu adalah ketidakbenaran tanggal, hari, bulan, tahun dan pukul penghadap, serta membuktikan ketidakbenaran apa yang dilihat, di dengar dan disaksikan notaris dan dapat juga membuktikan ketidakbenaran pernyataan pihak yang diberikan dan yang diucapkan depan notaris, dan keaslian tanda tangan pihak, saksi dan notaris ataupun prosedur pembuatan akta yang tidak dilakukan.24
Pembuktian Materil adalah keterangan yang diucapkan oleh para pihak di depan notaris dan para pihak harus dinilai benar sebagai kejadian yang diinginkan sebenarnya, kemudian dibuatkan dalam akta. Apabila ada yang menyangkal maka hal tersebut bukan tanggungjawab notaris akan tetapi menjadi tanggungjawab para penghadap 25
Terpenuhinya tiga syarat pembuktian tersebut baik secara pebuktian lahiriah, pembuktian formil dan pembuktian materiil, maka akta otentik yang dibuat notaris mempunyai pembuktian sempurna diantara para penghadap dan ahli warisnya serta penerima hak mereka26
Dalam upaya proses dugaan pidana yang dilakukan oleh seorang notaris maka untuk pemanggilan seorang notaris berdasarkan Pasal 66 ayat (1) UUJN tidak mencerminkan persamaan di mata hukum atau equlity before the law artinya pemanggilan notaris tersebut diakibatkan adanya melalui prosedur yang panjang dan akan menyulitkan bagi hakim untuk memproses suatu perkara dengan cepat. Hal ini karena harus menunggu izin dari majelis Kehormatan Notaris dengan waktu 30 (tiga puluh) hari, sementara para hakim harus memutuskan suatu perkara dengan rentang waktu yang telah ditentukan apalagi menyangkut kalau terdakwa dipenjara..
Pemanggilan notaris sesuai dengan Undang-undang Jabatan Notaris memang menghambat proses penyidikan yang dilakukan oleh aparat kepolisian karena penyidik harus mengajukan izin terlebih dahulu kepada Majelis Kehormatan Notaris untuk memeriksa seorang notaris sebagai saksi. Izin tersebut harus menunggu waktu 30 (tiga puluh) hari. Kalau tanpa izin dari Majelis Kehormatan Notaris seorang penyidik belum bisa memeriksa notaris yang bersangkutan, sementara untuk pemanggilan masyarakat yang bukan jabatannya notaris tidak melalui prosedur yang rumit seperti notaris.
Sesuai putusan MK Nomor 49/PUU-X/2012yang dibacakan pada hari Selasa tanggal 23 Maret 2013, yang memutuskan sebagai berikut :
-
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya yaitu Menyatakan frasa “ dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah” dalam Pasal 66 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432) bertentangan dengan UUD RI Tahun 1945.
-
2. Menyatakan frasa “ dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah” dalam Pasal 66 ayat (1) UUJN Nomor 30 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat27.
Sejak berlakunya Putusan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 28Mei 2013 tersebut, maka proses penyidikan yang melibatkan notaris dapat meminta langsung tanpa lagi melalui proses meminta persetujuan Majelis Pengawas Notaris. jika sebelumnya Majelis Pengawas yang menentukan apakah perlu tidaknya, dan apakah ada unsur kesalahan notaris dalam pembuatan akta, maka sejak putusan tersebut, maka notaris tidak lagi dapat dilindungi dan menolak memperlihatkan minuta akta atau protokol akta .28
Di samping itu, menurut Mahkamah Konstitusi terdapat suatu prinsip demokrasi yang mana bisa diingkari dengan makna di atas, yaitu terhadap kekuasaan kehakiman yang merdeka (indefedence of the yudiciary), dan wajib ditegakkan oleh Mahkamah Konstitusi dan oleh Mahkamah Agung.29
Hal ini bertolak belakang dengan pemanggilan terhadap notaris yang harus menunggu 30 (tiga puluh) hari kerja. Artinya pemanggilan notaris dengan masyarakat biasa tidak mencerminkan persamaan di mata hukum dan terjadinya diskriminasi hukum dalam proses perkara. Untuk itu notaris yang kedudukannya sebagai pejabat umum dalam hal pemanggilan sebagai saksi maka konsep equality Before The Law tidak terpenuhi.
Untuk mempertanggungjawabkan akta notaris oleh seorang notaris di hadapan hukum, harus menunjukkan bukti-bukti serta saksi-saksi yang mendukung untuk membuktikan keabsahan pembuatan akta tersebut. Agar akta otentik yang telah dibuatnya harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan, kemudian bukti yang dibawa serta penyelasaiannya harus jelas kepada para pihak. Kalau tidak demikian akan terjadi permasalahan di kemudian. Yang mengakibatkan akta yang dibuat akan batal demi hukum serta merugikan para pihak dan nama notaris yang bersangkutan akan jelek dipandang masyarakat. Untuk menghindari hal tersebut, notaris dituntut untuk waspada dalam pembuatan akta serta jangan asal terima permintaan masyarakat kalau syarat-syarat tidak terpenuhi.
Bahwa proses di pengadilan dalam kasus perkara perdata terhadap akta dibawah tangan merupakan salah satu alat bukti tertulis. Pembuktian tersebut diatur pada Pasal RBg dan KUHPerdata. Akta dibuat oleh para pihak ( akta dibawah tangan) merupakan bukti yang sempurna dan ketika tanda tangan yang tertera di akta tersebut diakui oleh pihak yang membuat akta itu, akan tetapi akta di bawah tangan dapat dianggap bukti permulaan jika akta tersebut dibantah, disangkal atau di pungkiri oleh para pihak atas tanda tangan yang terdapat di dalamnya, maka untuk membuktikannya dapat diajukan alat bukti lain sebagai pendukung.
Ketika Majelis Pengawas Daerah tidak memberikan izin bagi notaris terhadap pemeriksaan penyidik, penuntut umum, dan hakim dengan alasan bahwa akta otentik yang dibuat notaris tidak melanggar Undang-Undang Jabatan Notaris, dan telah memenuhi syarat lahir,
formil serta materil30. Dengan tidak diizinkannya notaris untuk memenuhi panggilan aparat hukum oleh Majelis Pengawas maka penyidik, penuntut umum dan hakim akan berupaya untuk mencari atau memperoleh kebenaran materiil agar kasus jelas dan terang. sehingga proses hukum bisa berjalan sesuai dengan aturan yang berlaku.
Ketika notaris terkena musibah, sehingga mengalami penahanan, kalau berada dalam rumah tahanan nagara tidak dapat melaksanakan tugas jabatannya meski pun tidak diberhentikan sementara dari jabatannya, karena berada dalam tahanan rumah negara secara fisik tidak dapat melakukan apa-apa. meskipun masih memiliki kewenangan untuk menjalankan jabatannya, tapi suatu hal yang tidak etis notaris menjalankan tugas jabatannya dalam rumah tahanan negara.31
Undang-undang Jabatan Notaris dikaitkan dengan konsep equality before the law terhadap pemanggilan notaris sebagai saksi oleh Penyidik, jaksa maupun hakim menurut hemat penulis bertentangan dengan persamaan di mata hukum karena proses pemanggilan yang menelan waktu lama serta memperlambat proses suatu perkara dan oleh karena itu Pasal 66 ayat (1 ) UUJN, harus dikaji ulang atau dilakukan Yudicial Review ke Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi agar adanya persamaan di mata hukum bagi setiap warga Indonesia.
Pengujian Undang-undang apabila menurut hemat masyarakat tidak sesuai dengan Undang-undang yang lebih tinggi maka oleh hukum dibenarkan untuk diuji apakah undang-undang tersebut layak diberlakukan kepada warga negara atau tidak, karena undang-undang yang dibentuk tersebut harus didukung oleh setiap warga negara bukan hanya untuk sekelompok warga negara saja. Dalam hal ini tentu yang diuntungkan adalah notarisnya sebagai pejabat umum sementara masyarakat umum termasuk aparat hukum tentu menganggap persamaan di depan hukum tidak berjalan seperti yang diamanatkan oleh UU .
Negara Indonesia adalah negara hukum”; artinya bahwa dalam menjalankan kekuasaan pemerintahannya harus menjunjung supremasi hukum serta menjamin persamaan di hadapan hukum bagi seluruh warga negara Indonesia, melindungi hak-hak asasi manusia. Karena secara aturan bahwa persamaan di hadapan hukum memiliki arti setiap warga negara Indonesian adanya persamaan dan kesetaraan di depan hukum dengan tidak lagi membeda-bedakan latar belakangnya.
Undang-Undang jabatan Notaris tidak mengambarkan persamaan di mata hukum atau equlity before the law artinya pemanggilan notaris tersebut melalui prosedur yang panjang dan akan menyulitkan bagi hakim untuk memproses suatu perkara dengan cepat. Hal ini karena harus menunggu izin dari majelis Kehormatan Notaris dengan rentang waktu 30 (tiga puluh) hari, sementara para hakim harus memutuskan suatu perkara dengan rentang waktu yang telah ditentukan apalagi menyangkut kalau terdakwa ditahan.
Persamaan di hadapan hukum untuk seluruh warga negara apabila terjadi permasalahan maka prosesnya harus sama tanpa membeda-bedakan siapa yang diproses agar proses perkara bisa berjalan dengan cepat sehingga kepastian hukum bagi yang melanggar cepat juga dilaksanakan eksekusinya. Apabila para pihak yang bersengketa dan melapor ke pengadilan serta ketika penyidik melakukan pemeriksaan kepada warga negara Indonesia harus dilakukan secara profesional tanpa membedakan antara kaya dan miskin, pejabat dengan non pejabat termasuk juga antara notaris dengan yang bukan notaris artinya
Kesetaraan dan persamaan di mata hukum itu benar-benar dilaksanakan sesuai bunyi Undang-Undang Dasar.
Berdasarkan dengan hal tersebut diatas, prosedur pemanggilan seorang notaris ketika diduga melakukan tindak pidana oleh penyidik, kejaksaan maupun hakim, menurut hemat Penulis tidak adanya persamaan di mata hukum. Oleh karena itu untuk pemanggilan terhadap notaris dalam suatu perkara baik saksi maupun sebagai tersangka tidak memerlukan adanya persetujuan atau izin dari Majelis Kehormatan Notaris dan oleh karena itu secara prosedur pemanggilan notaris cukup diberitahukan saja oleh aparat hukum kepada MKN selaku badan pengawas Notaris. Dengan demikian agar proses hukum bagi notaris yang telah menyalahi prosedur dalam pembuatan aktanya tidak perlu melalui prosedur yang berbelit-belit sehingga prosesnya bisa lancar dan cepat. Sehingga tidak terjadinya diskriminasi di mata hukum. Karena secara aturan hukum dan undang-undang yang berlaku bahwa kedudukan warga negara sama di hadapan hukum serta harus menjunjung hukum tanpa kecuali. Hal ini dijadikan suatu jaminan dan pengakuan hak bagi semua manusia terhadap hukum dan pemerintahan32.
Dengan demikian, maka persamaan di hadapan hukum berdasarkan UUD 1945 Pasal 28 ayat (1) dijelaskan bahwa adanya hak untuk hidup, hak kemerdekaan pikiran, hak untuk tidak disiksa dan hati nurani dst... persamaan kedudukan bagi setiap manusia didepan hukum tanpa adanya diskriminasi. Artinya tanpa prosedur pemanggilan Notaris sesuai dengan bunyi Pasal 66 UUJN maka konsep equality before the law dijalankan sesuai dengan bunyi UUD 1945. Setiap Negara hukum menjunjung tinggi asas ini, karena semua lapisan masyarakat sama kedudukannya didepan hukum. Oleh karena bahwa hukum berjalan berdasarkan Undang-Undang yang berlaku dan tidak membedakan siapa pun yang meminta keadilan. Asas persamaan di mata hukum, dimana di dalamnya mencerminkan kesetaraan hukum bagi setiap individu
Bahwa kedudukan notaris sebagai saksi terkait dengan akta otentik atau surat dibawah tangan yang dibuatnya terhadap proses peradilan melalui prosedur sesuai dengan Undang-Undang Jabatan Notaris Pasal 66 ayat (1) pada mengakibatkan proses hukum menjadi terhambat dan lama akibat menunggu izin dari Majelis Kehormatan Notaris.
Adapun mekanisme pemanggilan notaries oleh aparat hukum sesuai dengan konsep equality before the law berbeda dengan Pejabat Negara lainnya serta warga negara yang bukan notaris yang mengakibatkan terjadinya diskriminasi di mata hukum.
Daftar Pustaka
Buku
Abdul Kadir. (2001). Etika Profesi Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Adjie H. (2014). Hukum Notaris Indonesia ( Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 tahun 2004 tentang jabatan Notaris). Cetakan Keempat. Bandung: PT. Refika Aditama
Adjie H. (2011). Merajut Pemikiran Dalam Dunia Notaris & PPAT. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti
Adjie H. (2008). Sanksi Perdata dan Administratif terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik. Bandung: PT. Refika Aditama
Ali Zanuddin. (2010). Metode Penelitian Hukum. Cetakan 2. Jakarta: Sinar Grafika
Budiono H. (2016). Kumpulan Tulisan Hukum Perdata Di Bidang Kenotariatan Buku Kesatu. Bandung: PT. Cita Aditya Bakti
Harris F., Helena. (2017). Notaris Indonesia. Jakarta: PT. Lintas Cetak Djaya.
Koesoemawati, Ira., Rijan, Yunirman. (2009), Ke Notaris, Jakarta: Raih Asa Sukses (RAS)
Liliana T, (1995). Etika Profesi Notaris dalam penegakan Hukum Pidana. Yogyakarta: Bigraf Publishing,
Jurnal
Abdullah, N. (2017). Kedudukan Dan Kewenangan Notaris Dalam Membuat Akta Otentik. Jurnal Akta, 4(4), 655-664. http://dx.doi.org/10.30659/akta.4.4.655%20-
Adipatni, S. A. D. Perlindungan Hukum terhadap Wisatawan yang Mendapat Perlakuan Diskriminatif. Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal), 7(1), 122132. https://doi.org/10.24843/JMHU.2018.v07.i01.p10
Dahlan, D. (2016). Kewenangan Majelis Kehormatan Notaris Terkait Aspek Pidana Dibidang Kenotariatan. Kanun: Jurnal Ilmu Hukum,18(1), 37-49.
Darusman, Y. M. (2016). Kedudukan notaris sebagai pejabat pembuat akta otentik dan sebagai pejabat pembuat akta tanah.ADIL: Jurnal Hukum, 7(1), 36-56.
https://doi.org/10.33476/ajl.v7i1.331
Diatmika, I. G. A. O., Atmadja, I. D. G., & Utari, N. K. S. (2014). Perlindungan Hukum Terhadap Jabatan Notaris Berkaitan Dengan Adanya Dugaan Malpraktek Dalam Proses Pembuatan Akta Otentik. Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan, 150-160. https://doi.org/10.24843/AC.2017.v02.i01.p14
Maramis, M. C. (2012). Tata Cara Pemanggilan Notaris untuk Kepentingan Proses Peradilan Pidana Berkaitan dengan Akta yang Dibuatnya. Lex Crimen, 1(1). 5-20.
Walukow, J. M. (2013). Perwujudan Prinsip Equality Before The Law Bagi Narapidana Di Dalam Lembaga Pemasyarakatan Di Indonesia. Lex Et Societatis, 1(1). 163-172.
Yo, R. J. (2013). Perlindungan Hukum Terhadap Notaris Dalam Proses Peradilan Pidana Berkaitan Dengan Akta yang Dibuatnya Menurut Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. CALYPTRA, 2(2), 1-16.
Tesis/Disertasi
Soegianto, S. (2003). Tanggung Jawab Pendiri Dan Notaris Dalam Kaitannya Dengan Penyetoran Modal Untuk Pembuatan Akta Pendirian Perseroan Terbatas (Doctoral dissertation, Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro).
219
Discussion and feedback