jurnal Iviagister hukum udayana

(≡SSm^^

Vol. 8 No. 1 Mei 2019

E-ISSN: 2502-3101 P-ISSN: 2302-528x

http: //ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu



Re-Evaluasi Vonis Hakim Pengadilan Negeri Makassar

Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi


Muhammad Rinaldy Bima1


1Fakultas Hukum, Universitas Muslim Indonesia, email: muhrinaldy.bima@umi.ac.id


Info Artikel

Masuk: 28 Nopember 2018

Diterima: 13 Pebruari 2019

Terbit: 31 Mei 2019


Keywords:

Re-Evaluation; Sentencing Judge; Corruption Crime


Kata kunci:

Re-Evaluasi; Vonis Hakim;

Tindak Pidana Korupsi


Corresponding Author:

Muhammad Rinaldy Bima muhrinaldy.bima@umi.ac.id


DOI:

10.24843/JMHU.2019.v08.i01. p06


Abstract

Corruption is a special crime that has a negative impact on the survival of the nation and the state. corruption can occur everywhere / all levels. From this description, this study aims to analyze the verdicts of the Makassar District Court judges in cases of corruption. The problems that arise in this study are: What is the judge's verdict against the occurrence of criminal acts of corruption. The method used in this study is a normative legal research method by analyzing data descriptively-quantitatively. The results showed, first, the verdict was a very significant influence on the rampant cases of criminal acts of corruption, corruption cases increased from year to year. secondly, the judge's verdict in the case of corruption is strongly influenced by the demands of the prosecutor. Prosecutors 'demands and judges' verdicts are very low, so they do not provide a deterrent effect for perpetrators of corruption. This illustrates that the judge has not fully applied the punishment to the perpetrators of corruption in order to give a deterrent effect, because there are still many judicial verdicts that are lower than the demands of the public prosecutor.

Abstrak

Korupsi merupakan tindak pidana khusus yang berdampak buruk bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. korupsi dapat terjadi dimana-mana/semua level. Dari uraian tersebut penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tentang vonis hakim Pengadilan Negeri Makassar pada perkara tindak pidana korupsi. Permasalahan yang timbul dalam penelitian ini adalah: Bagaimanakah vonis hakim terhadap terjadinya tindak pidana korupsi. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode peneltian hukum normatif dengan menganalisis data secara deskriptif-kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan, pertama, vonis hakim sangat berpengaruh signifikan terhadap maraknya kasus tindak pidana korupsi, kasus tindak pidana korupsi semakin meningkat dari tahun ke tahun. kedua, vonis hakim pada perkara tindak pidana korupsi, sangat dipengaruhi oleh tuntutan jaksa. Tuntutan jaksa dan vonis hakim sangat rendah, sehingga tidak memberikan efek jera bagi pelaku tindak pidana korupsi. Hal ini menggambarkan bahwa hakim belum sepenuhnya dalam menerapkan penghukuman kepada pelaku tindak pidana korupsi untuk memberi efek jera, karena masih banyak terdapatnya vonis hakim yang lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum.


  • 1.    Pendahuluan

Negara hukum adalah negara yang melandaskan setiap kehidupan kenegaraannya pada mekanisme yang jelas dan tegas.1 Hal ini didasari oleh konstitusi Indonesia pada Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) melalui amandemen ketiga UUD NRI Tahun 1945.2 Dalam sebuah negara hukum, maka hukum harus dijadikan pedoman di setiap kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hukum harus dapat menciptakan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan bagi seluruh rakyat, sebagaimana tujuan hukum itu sendiri, melalui supremasi hukum dan penegakan hukum, agar tidak bertolak belakang dengan bagaimana seharusnya sebuah negara hukum.

Penegakan hukum yang berjalan selama ini terkesan masih berkutat dalam bentuk keadilan prosedural yang sangat menekankan pada aspek regularitas dan penerapan formalitas legal semata.3 Akibatnya, penegakan hukum menjadi kurang atau bahkan tidak mampu menyelesaikan inti persoalan sebenarnya.4 Fenomena yang terjadi terkait penegakan hukum selalu menjadi perbincangan menarik dan menimbulkan perdebatan panjang, seolah-olah tidak akan pernah berakhir. Berbicara penegakan hukum tidak akan lepas dari pembicaraan mengenai penegak hukum. Sorotan, kritikan, bahkan cacian kepada penegak hukum, baik polisi, jaksa, hakim, dan advokat menjadi suatu hal yang sangat sering kita dengar, akibat oknum penegak hukum itu sendiri yang melakukan pelanggaran hukum atau tindak pidana.

Sebagai salah satu kejahatan yang diklasifikasikan sebagai white collar crime, tindak pidana korupsi tidak hanya diperangi di Indonesia, namun telah menjadi atensi masyarakat dunia. Salah satu bukti bahwa perang melawan korupsi menjadi tujuan negara dunia tercantum dalam Kongres PBB ke-8 yang merumuskan banyaknya akibat yang timbulkan akibat korupsi. 5 Korupsi merupakan tindak pidana khusus dan menjadi momok yang sangat menakutkan, karena dampak buruk yang ditimbulkan bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara, korupsi terjadi dimana-mana/semua level. Peraturan yang mengatur mengenai korupsi yakni Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), sampai saat ini belum mampu mencegah dan memberantas pelaku tindak pidana korupsi.

Menurut Artijo ALkostar bahwa fenomena korupsi erat kaitannya dengan tingkah laku kekuasaan, dalam arti pula faktor kebijaksanaan politik yang di dalamnya menyangkut hukum dan institusi penegak hukum sudah tidak berfungsi atau

kehilangan integritasnya.6 Oleh karena itu, jika aparat penegak hukumnya saja tidak dapat diharapkan, maka bagaimana hukum dapat tegak dan menjadi panglima, sebagaimana cita-cita untuk dapat mewujudkan supremacy of law di Indonesia. Padahal aparat hukum harus mejadi contoh kepatuhan hukum bagi masyarakat yang mau dilayaninya. Penegakan hukum membutuhkan agenda yang harus didukung oleh strukturisasi yang kuat. 7 Kritikan terhadap tuntutan jaksa penuntut umum pada perkara tindak pidana korupsi dianggap sangat ringan. Demikian pula vonis yang dijatuhkan oleh hakim jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa. Akibat tuntutan dan vonis yang ringan tersebut, tidak memberikan efek jera bagi pelaku tindak pidana korupsi. Bahkan kenyataan yang terjadi, kasus korupsi cenderung semakin meningkat.

Vonis Hakim dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum pada perkara tindak pidana korupsi yang digelar di Pengadilan Negeri Makassar, menimbulkan perdebatan (pro dan kontra). Beberapa kasus korupsi yang diputus bebas oleh hakim PN. Tipikor Makassar, yang kemudian di vonis bersalah pada tingkat kasasi, antara lain yakni kasus dugaan korupsi penyimpangan dana aspirasi DPRD Jeneponto yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp. 23 Miliar. Oleh Mahkamah Agung (MA), terdakwa Andi Mappatunru divonis 5 tahun penjara, denda Rp. 200 juta, subsidaer 6 bulan kurungan. Vonis tersebut dijatuhkan oleh MA, setelah Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengajukan kasasi atas putusan majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Makassar yang memvonis bebas terdakwa.

Staf Badan Pekerja Anti Corruption Commite (ACC) Sulawesi, mengatakan putusan MA tersebut membuktikan ada problem besar di hakim-hakim PN. Tipikor Makassar. Hakim PN. Tipikor Makassar masih bermasalah soal sudut pandang korupsi sebagai kejahatan berat, selain masalah integritas. Vonis bebas yang diberikan PN. Tipikor Makassar, mengesampingkan fakta hukum di persidangan. Selama ini PN. Tipikor Makassar, cenderung tumpul ketika berhadapan dengan orang-orang besar.8

Hal ini seharusnya tidak terjadi di sebuah negara hukum seperti Indonesia. Hal tersebut yang mendorong penulis untuk mengkaji lebih jauh tentang penegakan hukum tindak pidana korupsi mengenai vonis hakim Pengadilan Negeri Makassar pada perkara tindak pidana korupsi.

  • 2.    Metode Penelitian.

Penelitian ini dilakukan dengan cara inventarisasi dokumen melalui studi kepustakaan, (library research), dengan menggunakan bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Untuk menjawab permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini, maka tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, dengan metode analisis deskriptif-kuantitatif. Penelitian ini menganalisis vonis hakim dari

perkara tindak pidana korupsi yang ditangani di Pengadilan Negeri Makassar (Pengadilan Tipikor) tahun 2015-2017, Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini lebih difokuskan pada statuta dan conceptual approach. Terhadap bahan hukum primer, sekunder dan tersier akan diinventarisasi dan diklasifikasikan sesuai dengan permasalahan, kemudian akan dipaparkan atau dideskripsikan, dianalisis, dan menyimpulkannya.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1.    Re-Evaluasi Vonis Hakim Terhadap Terjadinya Tindak Pidana Korupsi

Korupsi merupakan salah satu bentuk kejahatan modern atau inkonvensional. Atau disebut juga kejahatan kerah putih (white collar crime).9 Korupsi merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terhambatnya pertumbuhan ekonomi bangsa. Setiap bentuk tindak pidana terhadap keuangan Negara atau perekonomian Negara harus di cegah dan ditanggulangi secara objektif.10 Korupsi ada dan tumbuh seiring laju peradaban manusia. Korupsi muncul karena perilaku manusia yang menyimpang akibat syahwat materi yang tak pernah terpuaskan, menyebabkan korupsi susah untuk diberantas. Tidak seperti kejahatan konvensional, korupsi adalah kejahatan yang berkembang secara dinamis dari waktu ke waktu. Karena bergerak secara dinamis, penegakan hukum dalam pemberantasannya tidak bisa hanya dengan mengandalkan cara-cara konvensional.11

Berbagai upaya pemerintah dilakukan dalam rangka percepatan penanggulangan tindak pidana korupsi telah memberikan hasil, tetapi dilain pihak upaya yang dilakukan pemerintah belum cukup untuk menjadikan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih.12 Namun, usaha pemberantasan korupsi jelas tidak mudah. Kesulitan itu terlihat semakin rumit, karena korupsi kelihatan benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level masyarakat. Meski demikian, berbagai upaya tetap dilakukan, sehingga secara bertahap korupsi setidak-tidaknya bisa dikurangi, oleh sebab itu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK mengamanatkan pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dan Pengadilan Khusus Korupsi.13

Apabila kita melihat dari sejumlah kasus korupsi yang ada di Indonesia, kasus tindak pidana korupsi yang ditangani oleh komisi pemberantasan korupsi (KPK) sebagian besar adalah kasus tindak pidana korupsi yang terkait dengan pengadaan barang dan

jasa. Artinya, dalam banyak hal korupsi yang terjadi di Indonesia adalah korupsi birokrasi, korupsi di pemerintahan sipil. Korupsi yang seperti ini terjadi dalam semua tingkatan pemerintahan, tidak hanya di pusat tetapi juga di daerah-daerah.14 Korupsi pengadaan barang dan jasa adalah yang paling lumrah dan mudah. Korupsi tipe ini masih konvensional. Bukan yang benar-benar canggih, dalam hal ini dilakukan dengan cara seperti penggelembungan harga (markup), penyalahgunaan kewenangan. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.15

Kaitan dengan penanganan perkara korupsi, input perkara korupsi yang masuk ke pengadilan dan kemudian diperiksa oleh hakim berasal dari hasil proses hukum sebelumnya, yakni penyelidikan dan penyidikan oleh lembaga yang berwenang. Bagi pengadilan umum, input perkara korupsi berasal dari lembaga kepolisian dan kejaksaan, sedangkan Pengadilan Tipikor input perkara korupsi berasal dari komisi independen yang diberi tugas melakukan pemberantasan korupsi yaitu Korupsi Pemberantasan Korupsi (KPK).16

Pada dasarnya, aspek pemidanaan merupakan “puncak” dari Sistem Peradilan Pidana yaitu dengan dijatuhkan putusan hakim. 17Lembaga peradilan merupakan institusi negara yang mempunyai tugas pokok untuk memeriksa, mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan oleh warga masyarakat. Penyelesaian perkara melalui lembaga peradilan hanya akan berjalan dengan baik, apabila semua pihak yang terlibat di dalamnya, baik pihak-pihak yang berperkara maupun hakimnya sendiri mengikuti aturan main (rule of game) secara jujur sesuai tertib peraturan yang ada,18 begitu pula halnya dengan perkara tindak pidana korupsi.

Kaitannya dengan hal tersebut, dalam hal penelitian ini adalah mengkaji proses penegakan hukum tindak pidana korupsi di Pengadilan Negeri Makassar. Berikut dipaparkan dalam table Perkara tindak pidana korupsi 3 (Tiga) tahun terakhir.

Berikut ditampilkan table Perkara Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Makassar Selama 3 (Tiga) Tahun

Tabel. 1. Jumlah Perkara Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Makassar

No

Tahun

Jumlah Perkara

1

2015

98

2

2016

125

3

2017

134

Total

357

Sumber: diolah dari data Pengadilan Negeri Makassar Tahun 2018.

Dari table tersebut, tergambar bahwa perkara tindak pidana korupsi tahun 2015, 2016 dan 2017 terjadi peningkatan dari segi jumlah, hal ini membuktikan bahwa kasus korupsi masih menjadi perkara yang cukup krusial untuk dilakukan kajian, evaluasi terhadap proses penegakannya, sejauh mana upaya penegak hukum dalam menghukum pelaku tindak pidana korupsi. Terjadi peningkatan jumlah perkara tindak pidana korupsi dalam 3 (tiga) tahun terakhir yakni tahun 2015 sampai tahun 2017 di Pengadilan Negeri Makassar. Pada tahun 2015 sebanyak 98 perkara, tahun 2016 sebanyak 125 perkara, atau terjadi peningkatan sejumlah 27 perkara dari tahun sebelumnya, dan pada tahun 2017 sebanyak 134 perkara, atau terjadi peningkatan sejumlah 9 perkara dari tahun 2016. Hal ini menunjukkan bahwa dengan adanya peningkatan jumlah perkara selama 3 (tiga) tahun terakhir, maka dapat disimpulkan bahwa tuntutan jaksa dan vonis hakim belum dapat memberikan efek jera terhadap pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana teori tujuan hukum dan teori pemidanaan.

Penegakan hukum pidana mengindikasikan bahwa kebebasan hakim memberikan kebebasan seluas-luasnya untuk dapat melihat suatu nilai kebenaran pada peristiwa hukum, bukan melainkan sebaliknya dipergunakan untuk melakukan suatu perbuatan yang bernilai transaksional. 19 Hakim memegang peran yang sentral dalam proses peradilan. Hanya hakim yang baik yang dapat diharapkan memutus perkara yang mencerminkan rasa keadilan masyarakat, yakni yang sesuai dengan hukum. Telah banyak tulisan dan pandangan yang mengelaborasi kriteria-kriteria hakim yang baik.20

Pengadilan Tipikor yang mempunyai fungsi untuk mengadili para pelaku kejahatan korupsi, kadang kala menyimpang dalam pelaksanaannya. Berbagai daerah di Indonesia banyak kasus-kasus yang penanganannya tidak maksimal, sebagian besar adalah terhadap putusan perkaranya yang menyimpang jauh dari harapan masyarakat.21Untuk mengkaji peran hakim dalam penegakan perkara tindak pidana korupsi, berikut ditampilkan perkara tindak pidana korupsi selama tahun 2017, dengan rincian data perkara yang telah di vonis hakim dengan jumlah perkara dan rata-rata putusan setiap bulan.

Berikut ditampilkan tuntutan perkara yang sudah mendapat putusan di Pengadilan Negeri Makassar selama tahun 2017.

Tabel. 2. Jumlah Rata-Rata Tuntutan Tahun 2017

No.

Bulan

Jumlah Perkara

Rata-Rata Tuntutan

1

Januari

04

2 Tahun 5 Bulan

2

Februari

12

1 Tahun 9 Bulan

3

Maret

08

1 Tahun 8 Bulan

4

April

19

2 Tahun 7 Bulan

5

Mei

15

3 Tahun 0 Bulan

6

Juni

11

2 Tahun 9 Bulan

7

Juli

15

2 Tahun 2 Bulan

8

Agustus

18

3 Tahun 1 Bulan

9

September

08

2 Tahun 6 Bulan

10

Oktober

19

2 Tahun 8 Bulan

11

November

13

2 Tahun 6 Bulan

12

Desember

15

4 Tahun 3 Bulan

Total

157

2 Tahun 8 Bulan

Sumber: diolah dari data Pengadilan Negeri Makassar Tahun 2018.

Data pada Tabel 2. menunjukkan bahwa rata-rata tuntutan dari 4 (empat) perkara pada bulan Januari adalah 2 (dua) tahun dan 5 (lima) bulan; Februari sebanyak 1 (satu) tahun dan 9 (sembilan) bulan dari 12 (dua belas) perkara; Maret sebanyak 1 (satu) tahun dan 8 (delapan) bulan dari 8 (delapan) perkara; April sebanyak 2 (dua) tahun dan 7 (tujuh) bulan dari 19 (sembilan belas) perkara; sebanyak 3 (tiga) tahun dari 15 (lima belas) perkara pada bulan Mei; rata-rata 2 (dua) tahun dan 9 (sembilan) bulan dari 11 (sebelas) perkara pada bulan Juni; 2 (dua) tahun dan 2 (dua) bulan dari 15 (lima belas) perkara pada bulan Juli; 3 (tiga) tahun 1 (satu) bulan pada bulan Agustus dari 18 (delapan belas) perkara; 2 (dua) tahun dan 6 (enam) bulan dari 8 (delapan) perkara pada September; 2 (dua) tahun dan 8 (delapan) bulan dari 19 (sembilan belas) perkara pada Oktober; bulan November rata-rata 2 (dua) tahun dan 6 (enam) bulan dari 13 (tiga belas) perkara, bulan Desember rata-rata 4 (empat) tahun dan 3 (tiga) bulan dari 15 (lima belas) perkara. Jika dirata-ratakan tuntutan selama tahun 2017, dari 157 perkara tindak pidana korupsi di Pengadilan Negeri Makassar adalah sebanyak 2 (dua) tahun dan 8 (delapan) bulan.

Data pada tabel 2 menunjukkan bahwa rata-rata tuntutan selama tahun 2017 terlihat sangat ringan, yakni rata-rata tuntutan dari 157 perkara tindak pidana korupsi di Pengadilan Negeri Makassar adalah sebanyak 2 (dua) tahun dan 8 (delapan) bulan.

Hal ini tidak sesuai dengan semangat pemberantasan tindak pidana korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa, yang seharusnya ditangani dengan cara yang luar biasa pula. Seharusnya Jaksa memberikan tuntutan maksimal kepada terdakwa, mengingat dampak yang ditimbulkan oleh korupsi. Semakin meningkatnya perkara tipikor, diakibatkan oleh ringannya vonis yang dijatuhkan hakim, sementara vonis hakim juga sangat dipengaruhi oleh rendahnya tuntutan.

Berikut ditampilkan table perkara yang sudah mendapat putusan di Pengadilan Negeri Makassar selama tahun 2017.

Tabel. 3. Rata-Rata Vonis Hakim Tahun 2017

No.

Bulan

Jumlah Perkara

Rata-Rata Vonis

1

Januari

04

1 Tahun 06 Bulan

2

Februari

12

1 Tahun 06 Bulan

3

Maret

08

1 Tahun 04 Bulan

4

April

19

1 Tahun 09 Bulan

5

Mei

15

2 Tahun 00 Bulan

6

Juni

11

1 Tahun 05 Bulan

7

Juli

15

1 Tahun 05 Bulan

8

Agustus

18

1 Tahun 11 Bulan

9

September

08

1 Tahun 07 Bulan

10

Oktober

19

1 Tahun 10 Bulan

11

November

13

1 Tahun 09 Bulan

12

Desember

15

1 Tahun 10 Bulan

Total

157

1 Tahun 08 Bulan

Sumber: diolah dari data Pengadilan Negeri Makassar Tahun 2018

Data dari hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata vonis hakim setiap bulan pada tahun 2017 secara keseluruhan lebih rendah dari rata-rata tuntutan. Pada bulan Januari vonis hakim lebih rendah 9 (sembilan) bulan dari tuntutan, bulan Februari lebih rendah 3 (tiga) bulan, Maret lebih rendah 4 (empat) bulan, April lebih rendah 10 (sepuluh) bulan, Mei lebih rendah 1 (satu) tahun, Juni lebih rendah 1 (satu) tahun dan 4 (empat) bulan, Juli lebih rendah 9 (sembilan) bulan, Agustus lebih rendah 1 (satu) tahun dan 2 (dua) bulan, September lebih rendah 11 (sebelas) bulan, Oktober lebih rendah 10 (sepuluh) bulan, November lebih rendah 9 (sembilan) bulan, dan pada bulan Desember vonis lebih rendah 2 (dua) tahun dan 5 (lima) bulan dari tuntutan. Sehingga pada tahun 2017, rata-rata vonis hakim lebih rendah 1 (satu) tahun dari rata-rata tuntutan.

Berikut ditampilkan table vonis hakim di Pengadilan Negeri Makassar yang lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum selama tahun 2017.

Tabel. 4. Putusan Lebih Rendah dari Tuntutan Tahun 2017

No

Bulan

Jumlah Perkara

Putusan

Bebas/ Lepas

%

Lebih Rendah dari Tuntutan

%

1

Januari

04

01

25,00 %

03

75,00 %

2

Februari

12

-

-

10

83,33 %

3

Maret

08

-

-

07

87,50 %

4

April

19

-

-

19

100 %

5

Mei

15

01

6,66 %

14

93,33 %

6

Juni

11

05

45,45 %

05

45,45 %

7

Juli

15

01

6,66 %

13

86,66 %

8

Agustus

18

-

-

18

100 %

9

September

08

-

-

06

75,00 %

10

Oktober

19

01

5,26 %

16

84,21 %

11

November

13

-

-

12

92,30 %

12

Desember

15

01

6,66 %

13

86,66 %

Jumlah

157

10

6,37 %

136

86,62 %

Sumber: diolah dari data Pengadilan Negeri Makassar Tahun 2018

Tahun 2017, putusan perkara tindak pidana korupsi di Pengadilan Negeri Makassar yang diputus lebih rendah dari tuntutan masih sangat tinggi, hal ini tentunya masih sangat jauh dari harapan masyarakat. Terdapat jumlah putusan lebih rendah dari tuntutan adalah 136 putusan (86,62 %) ditambah dengan 10 putusan bebas/lepas (6,37 %), maka keseluruhan jumlah putusan lebih rendah dari tuntutan adalah 146 putusan (92,99 %) dari 157 perkara.

Kenyataan selama ini menunjukkan, vonis terhadap sejumlah terpidana kasus korupsi masih jauh dari rasa keadilan masyarakat. Hakim, belum sepenuhnya memahami filosofi dasar tujuan pemidanaan secara utuh. Koordinator Badan Pekerja ICW, Danang Widoyoko, menilai rendahnya putusan hakim terhadap terdakwa perkara korupsi menunjukkan kesadaran hakim, bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa dan dapat menghancurkan kehidupan berbangsa, masih rendah pula.22

22 Khaerudin, Iwan Santosa, Nina Susilo, Ferry Santoso. (2013). Hukuman Koruptor Terlalu


Ringan.


Kompas.


Retrieved


from


Beberapa kasus korupsi yang diputus bebas oleh hakim PN. Tipikor Makassar, yang kemudian divonis bersalah pada tingkat kasasi, setelah Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengajukan kasasi atas putusan majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Makassar yang memvonis bebas terdakwa.

Jika kita melihat dari data tersebut di atas, masih sangat jauh dari kata-kata adil untuk kepentingan masyarakat luas, terlebih vonis ringan dan bahkan bebas, sangat melukai rasa keadilan bagi sebagian masyarakat yang miskin secara ekonomi.

Berikut ditampilkan table vonis hakim di Pengadilan Negeri Makassar yang sama dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum selama tahun 2017.

Tabel. 5. Putusan Sama Dengan Tuntutan Tahun 2017

No

Bulan

Jumlah

Perkara

Putusan Sama Dengan Tuntutan

Putusan

Persentase

1

Januari

04

-

-

2

Februari

12

01

8,33 %

3

Maret

08

01

12,5 %

4

April

19

-

-

5

Mei

15

-

-

6

Juni

11

01

9,09 %

7

Juli

15

01

6,66 %

8

Agustus

18

-

-

9

September

08

01

12,5 %

10

Oktober

19

02

10,52 %

11

November

13

01

7,69 %

12

Desember

15

01

6,66 %

Jumlah

157

09

5,73 %

Sumber: diolah dari data Pengadilan Negeri Makassar Tahun 2018

Putusan hakim Pengadilan Negeri Makassar pada perkara tindak pidana korupsi tahun 2017, dimana putusan sama dengan tuntutan sebanyak 9 (sembilan) putusan atau (5,73 %) dari 157 perkara. Data menunjukkan bahwa masih sangat minimnya vonis hakim di PN. Makassar yang menghukum terdakwa kasus tindak pidana korupsi secara maksimal.

Oleh karena itu, Hakim harus menegakkan paritas putusannya yang didasarkan atas prinsip proporsionalitas yang menjatuhkan hukuman pada pelaku kejahatan

https://nasional.kompas.com/read/2013/09/09/1113063/Hukuman.Koruptor.Terlalu.Ring an

dengan hukuman yang setimpal. Putusan hakim yang proporsional meneguhkan wibawa hakim menjadi garda depan harapan masyarakat yang menginginkan peradilan sebagai pemutus kasus-kasus korupsi.23

Berikut ditampilkan table vonis hakim di Pengadilan Negeri Makassar yang lebih tinggi dari tuntutan sebelumnya selama tahun 2017.

Tabel. 6. Putusan Lebih Tinggi dari Tuntutan Tahun 2017

No

Bulan

Jumlah

Perkara

Putusan Lebih Tinggi dari Tuntutan

Putusan

Persentase

1

Januari

04

-

-

2

Februari

12

01

8,33 %

3

Maret

08

-

-

4

April

19

-

-

5

Mei

15

-

-

6

Juni

11

-

-

7

Juli

15

-

-

8

Agustus

18

-

-

9

September

08

01

12,5 %

10

Oktober

19

-

-

11

November

13

-

-

12

Desember

15

-

-

Jumlah

157

02

1,27 %

Sumber: diolah dari data Pengadilan Negeri Makassar Tahun 2018

Tabel 6. Menunjukkan bahwa masih minimnya jumlah putusan yang lebih tinggi dari tuntutan, yakni hanya sebanyak 2 (dua) putusan atau sebesar (1,27 %) dari 157 jumlah perkara tindak pidana korupsi selama tahun 2017 di Pengadilan Negeri Makassar.

Dari kajian hasil penelitian, sejalan dengan Hasil penelitian M. Syamsudin bahwa penanganan kasus-kasus korupsi oleh hakim di pengadilan mengalami kemerosotan dan kegagalan untuk menjadikan hukum yang berkeadilan, bermanfaat serta melindungi kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, pola pikir hakim yang positivistic perlu penataan kembali dalam menyelesaikan kasus-kasus korupsi yang semakin kompleks dan rumit.24 Hal ini tentunya akan berdampak pada pelaku tindak pidana korupsi yang ternyata tidak diadili sesuai dengan perbuatan yang ada, ada indikasi bahwa adanya dukungan dari aparat penegak hukum itu sendiri dengan

menutup-nutupi kasus para koruptor dengan negosiasi materi atau juga karena ada kepentingan politis untuk suatu kekuasaan.

Hakim adalah salah satu elemen dasar dalam sistem peradilan, yang melakukan tindakan putusan atas suatu perkara di dalam suatu pengadilan. Hakim yang merupakan personifikasi atas hukum harus menjamin rasa keadilan bagi setiap orang melalui proses hukum legal, dan untuk menjamin rasa keadilan itu maka seorang hakim dibatasi oleh rambu-rambu, seperti akuntabilitas, integritas, moral dan etika, transparansi dan pengawasan. Dalam hubungan dengan tugas sebagai hakim, maka independensi hakim masih harus dilengkapi dengan sikap imparsialitas dan profesionalisme dalam bidang hukum.

  • 4.    Kesimpulan

Dari uraian pembahasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa, Pada tahun 2017, perkara tindak pidana korupsi di Pengadilan Negeri Makassar setiap tahun terjadi peningkatan dari sisi jumlahnya. Hasil penelitian menunjukkan, pertama, vonis hakim sangat berpengaruh signifikan terhadap maraknya kasus tindak pidana korupsi, kasus tindak pidana korupsi semakin meningkat dari tahun ke tahun. kedua, vonis hakim pada perkara tindak pidana korupsi, sangat dipengaruhi oleh tuntutan jaksa. Tuntutan jaksa dan vonis hakim sangat rendah, sehingga tidak memberikan efek jera bagi pelaku tindak pidana korupsi. Hal ini menggambarkan bahwa hakim belum sepenuhnya dalam menerapkan penghukuman kepada pelaku tindak pidana korupsi untuk memberi efek jera, karena masih banyak terdapatnya vonis hakim yang lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum. Untuk itu Aparat penegak hukum yang benar dalam menunaikan tugasnya dapat berperan dalam membangun dan menata kembali budaya hukum dalam penegakan hukum pidana di Indonesia sesuai sila ke 5 Pancasila yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. 25 Oleh karena itu, dengan perkembangan perkara tindak pidana korupsi dengan berbagai macam putusan hakim yang begitu beragam membutuhkan peran hakim lebih cermat dalam memutus perkara tindak pidana korupsi yang masuk di pengadilan. Oleh karena itu, harus dengan melalui pendekatan penegakan hukum dan budaya hukum penegak hukum yang profesional, dan berintegritas untuk menjaga marwah peradilan dan mencapai tujuan dari penegakan hukum yang bermartabat.

Daftar Pustaka

Jurnal

Alkostar, A. (2009). Korelasi Korupsi Politik Dengan Hukum dan Pemerintahan di Negara Modern (Telaah tentang Praktik Korupsi Politik dan Penanggulangannya), Jurnal Ius Quia Iustum, 16(Khusus), 155-179.

Ardiansyah, I. (2017). Pengaruh Disparitas Pemidanaan Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. Jurnal Hukum Respublica, 17(1), 76-101. https://doi.org/10.31849/respublica.v17i1.1451

Arianto, H. (2012). Peranan Hakim Dalam Upaya Penegakan Hukum Di Indonesi, Jurnal Lex Jurnalica,9(3), 151-163.

Assegaf, R. S. (2002). Hanya Hakim Yang Bersih Dan Kompeten Yang Layak Adili Koruptor, Jurnal Kriminologi Indonesia, 2(1), 8-18.

Azhari, A. F. (2012). Negara Hukum Indonesia: Dekolonisasi dan Rekonstruksi Tradisi. Ius      Quia      Iustum      Law      Journal,      19(4),      489-505.

https://doi.org/10.20885/iustum.vol19.iss4.art1

Butarbutar, R. (2018). Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi Pengadaan Barang Dan Jasa Pemerintah Di Bidang Konstruksi. Jurnal Penelitian Hukum Legalitas, 9(1), 51-66.

Dewi, K.K.S. (2014). Efektifitas Penerapan Ancaman Sanksi Pidana Tambahan Guna Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Denpasar), Jurnal Magister Hukum Udayana, 7(3), 357-370. https://doi.org/10.24843/JMHU.2014.v03.i03.p01

Natasasmita, B. I. (2011). Diskresi sebagai Tindak Pidana Korupsi: Kajian Kriminologi dan Hukum terhadap Fenomena Pejabat Otoritas. MIMBAR, Jurnal Sosial dan Pembangunan, 27(2), 143-149. https://doi.org/10.29313/mimbar.v27i2.322

Kurniawan, T. (2009). Peranan Akuntabilitas Publik Dan Partisipasi Masyarakat Dalam Pemberantasan Korupsi Di Pemerintahan, Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi Dan Organisasi, 16(2), 116-121.

Lintogareng, J.V. (2013). Analisa Keyakinan Hakim Dalam Pengambilan Keputusan Perkara Pidana Di Pengadilan, Lex Crimen, 3(2), 24-35.

Lintogareng, J. (2013). Analisa Keyakinan Hakim Dalam Pengambilan Keputusan Perkara Pidana di Pengadilan. Lex Crimen, 2(3). 24-35.

Mulyadi, L. (2006). Pergeseran Perspektif Dan Praktik Dari Mahkamah Agung Republik Indonesia Mengenai Putusan Pemidanaan, Majalah Varia Peradilan,1-17.

Nugroho, H. (2013). Efektivitas Fungsi Koordinasi dan Supervisi dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Jurnal Dinamika Hukum, 13(3), 392-401. http://dx.doi.org/10.20884/1.jdh.2013.13.3.245

Pasaribu, O. L. H., Jauhari, I., & Zahara, E. (2017). Kajian Yuridis terhadap Putusan Bebas Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus Pada Pengadilan Negeri Medan). Jurnal                Mercatoria,                 1(2),                130-140.

http://dx.doi.org/10.31289/mercatoria.v1i2.627

Rasul, S. (2009). Penerapan Good governance di Indonesia dalam upaya pencegahan tindak pidana korupsi. Mimbar Hukum-Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 21(3), 538-553. https://doi.org/10.22146/jmh.16276

Safii, I. (2014). Urgensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Dalam Mewujudkan Peradilan Yang Bersih dan Berwibawa, Pandecta Research Law Journal, 9(1), 76-91.DOI: https://doi.org/10.15294/pandecta.v9i1.2999

Safii, I. (2014). Urgensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Dalam Mewujudkan Peradilan Yang Bersih dan Berwibawa. Pandecta: Research Law Journal, 9(1), 76-91. https://doi.org/10.15294/pandecta.v9i1.2999

Setyanegara, E. (2013). Kebebasan Hakim Memutus Perkara Dalam Konteks Pancasila (Ditinjau Dari Keadilan “Substantif”). Jurnal Hukum & Pembangunan, 43(4), 434-468. http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol43.no4.1499

Simamora, J. (2014). Tafsir Makna Negara Hukum dalam Perspektif Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jurnal Dinamika Hukum, 14(3), 547-561. http://dx.doi.org/10.20884/1.jdh.2014.14.3.318

Suhariyanto, B. (2016). Progresivitas Putusan Pemidanaan Terhadap Korporasi Pelaku Tindak Pidana Korupsi (Progressivity of Criminal Decision on Corporate Actors Corruption). Jurnal Penelitian Hukum De Jure,  16(2), 201-213.

http://dx.doi.org/10.30641/dejure.2016.V16.201-213

Sutiyoso, B. (2010). Mencari Format Ideal Keadilan Putusan Dalam Peradilan. Ius Quia Iustum           Law           Journal,           17(2),           217-232.

https://doi.org/10.20885/iustum.vol17.iss2.art3

Syamsudin, M. (2010). Faktor-Faktor Sosiolegal yang Menentukan dalam Penanganan Perkara Korupsi di Pengadilan. Ius Quia Iustum Law Journal, 17(3), 406-429. https://doi.org/10.20885/iustum.vol17.iss3.art4

Syamsudin, M. (2011). Rekonstruksi pola pikir hakim dalam memutuskan perkara korupsi berbasis hukum progresif. Jurnal Dinamika Hukum, 11(1), 11-21. http://dx.doi.org/10.20884/1.jdh.2011.11.1.11

Thalib, H., Ramadhan, A., & Djanggih, H. (2017). The Corruption Investigation In The Regional Police of Riau Islands, Indonesia.  Rechtsidee,  4(1),  71-86.

https://doi.org/10.21070/jihr.v4i1.988

Yusyanti, D. (2015). Strategi Pemberantasan Korupsi Melalui Pendekatan Politik Hukum, Penegakan Hukum Dan Budaya Hukum, Juurnal Widya Yustisia, 1(2), 87-97.

Website

Wiwin Suwandi. (2018). ACC Sebut PN Tipikor Makassar Tumpul Hadapi ‘Orang

Besar.            Online            24.            Retrieved            from

http://online24jam.com/2018/04/03/100009/acc-sebut-pn-tipikor-makassar-tumpul-hadapi-orang-besar/

Khaerudin, Iwan Santosa, Nina Susilo, Ferry Santoso. (2013). Hukuman Koruptor Terlalu         Ringan.         Kompas.         Retrieved         from

https://nasional.kompas.com/read/2013/09/09/1113063/Hukuman.Korupto r.Terlalu.Ringan

89