jurnal Iviagister hukum udayana (≡SSm^^

Vol. 8 No. 1 Mei 2019

E-ISSN: 2502-3101 P-ISSN: 2302-528x

http: //ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu


Implementasi Asas Keseimbangan Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Baku

Aryo Dwi Prasnowo1, Siti Malikhatun Badriyah2

1Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, E-mail: aryo.prasnowo@gmail.com 2Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, E-mail: malikha_b@yahoo.com

Artikel


Masuk: 24 Nopember 2018 Diterima: 8 Pebruari 2019

Terbit: 31 Mei 2019


Keywords:

Balance Principle; Standard

Agreement; Parties


Kata kunci:

Asas Keseimbangan; Perjanjian

Baku; Para Pihak

Corresponding Author:

Aryo Dwi Prasnowo, E-mail:

aryo.prasnowo@gmail.com

DOI:

10.24843/JMHU.2019.v08.i01.

p05


Abstract

Standard agreements have long been used in various contracts, the use of standard agreements is closely related to progress in the field of economics that requires efficiency in spending costs, time and energy. The standard agreement does not reflect the principle of the balance of the parties to the agreement. The imbalance of position in the standard agreement is caused because the parties have a bargaining position that is not the same, giving rise to "Unreal bargaining". The purpose of this study is to understand the implementation of the principle of balance in agreements that use standard agreements. The method used in this study is normative, which refers to legal norms contained in the legislation, using data in the form of qualitative data and using an analytical descriptive approach. The results of the study show that imbalances occur when the parties are in different economic strengths. The balance of an agreement is not solely determined by the position of the parties but is also determined by the aspect of good faith. There are three aspects so that the balance in the agreement can be achieved, namely the actions of the parties, the contents of the agreement, and the implementation of the agreement. So, in the end, it will become an agreement that applies to the parties.

Abstrak

Perjanjian baku sudah lama digunakan dalam berbagai kontrak, penggunaan perjanjian baku berkaitan erat dengan kemajuan di bidang ekonomi yang menuntut efisiensi dalam pengeluaran biaya, waktu dan tenaga. Perjanjian baku tidak mencerminkan asas keseimbangan para pihak dalam perjanjian. Ketidakseimbangan kedudukan dalam perjanjian baku diakibatkan karena para pihak memiliki bargaining position yang tidak sama sehingga menimbulkan “unreal bargaining’. Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami implementasi asas keseimbangan dalam perjanjian yang menggunakan perjanjian baku. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah normatif, yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan, dengan menggunakan data berupa data kualitatif dan menggunakan pendekatan deskriptif analitis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketidakseimbangan terjadi apabila para pihak berada dalam kekuatan ekonomi yang berbeda. Keseimbangan suatu perjanjian tidak semata-mata mutlak ditentukan oleh kedudukan para pihak saja, tetapi juga ditentukan oleh aspek itikad baik.

Terdapat tiga aspek agar keseimbangan dalam perjanjian bisa tercapai, yaitu perbuatan para piha, isi perjanjian, dan pelaksanaan perjanjian. Sehingga pada akhirnya akan menjadi perikatan yang berlaku bagi para pihak.

  • 1.    Pendahuluan

Manusia dalam memenuhi berbagai kepentingannya melakukan berbagai macam cara, salah satu diantaranya dengan membuat perjanjian. Dalam KUH Perdata perjanjian diatur dalam Buku III (Pasal 1233-1864) tentang Perikatan. Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan: “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Sebuah perjanjian memiliki unsur-unsur, yaitu pihak-pihak yang kompeten, pokok yang disetujui, pertimbangan hukum, perjanjian timbal balik, serta hak dan kewajiban timbal balik. Berdasarkan pengertian diatas, perjanjian terdiri atas: Para pihak; Ada persetujuan antara para pihak; Terdapat prestasi yang akan di laksanakan; Berbentuk lisan atau tulisan; Terdapat syarat-syarat tertentu sebagai isi dalam perjanjian; Ada tujuan yang hendak di capai.1

Secara umum perjanjian adalah kesepakatan para pihak tentang sesuatu hal yang melahirkan perikatan/hubungan hukum, menimbulkan hak dan kewajiban, apabila tidak dijalankan sebagai mana yang diperjanjikan akan ada sanksi. Suatu kesepakatan berupa perjanjian pada intinya adalah mengikat, bahkan sesuai dengan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, kesepakatan ini memiliki kekuatan mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. 2 Pembuatan suatu perjanjian hendaklah memperhatikan hal-hal penting, antara lain Syarat-syarat sahnya perjanjian, asas-asas perjanjian, hak dan kewajiban para pihak, struktur dan anatomi pembuatan kontrak, penyelesaian perselisihan dan berakhirnya kontrak.

Menurut Siti Malikhatun Badriyah3, tujuan dari perjanjian adalah untuk mencapai keseimbangan kepentingan antara para pihak. Sehingga keseimbangan menjadi hal yang sangat penting, bahkan menjadi titik sentral sejak awal, yaitu sejak dimulai dari tahap pra kontraktual (tahap penawaran), kemudian pada saat muncul kesepakatan yang menimbulkan perikatan antara para pihak (tahap kontraktual), sampai kepada tahap pelaksanaan perjanjian yang mengikat para pihak.

Keberadaan asas hukum tentunya perlu diperhatikan, dalam proses kontrak demi menciptakan keseimbangan dan memelihara hak-hak yang dimiliki oleh para pihak, sebelum kontrak yang dibuat menjadi perikatan yang mengikat. Pengertian asas hukum menurut Sudikno Mertokusumo adalah:4

“Pikiran dasar yang umum sifatnya, atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkrit yang terdapat dalam dan belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat dikemukakan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkrit tersebut”

Pada umumnya, bentuk perjanjian yang digunakan para pihak dalam perjanjian, dapat berupa lisan atau tertulis. Namun dalam perkembangannya secara bertahap, bentuk-bentuk perjanjian yang digunakan dalam masyarakat Indonesia telah mengalami perubahan dan perkembangan. Perubahan dan perkembangan ini tidak lepas dari pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pengaruh perkembangan keadaan sosial ekonomi dan perindustrian yang dialami masyarakat dewasa ini.5 Dengan adanya perkembangan tersebut, orang mulai bebas menentukan kedudukannya, serta bebas menentukan isi dan bentuk perjanjian. Berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi yang semakin berkembang muncullah suatu perjanjian diantara para pihak yang menggunakan format yang lebih praktis. Perjanjian ini disebut dengan perjanjian baku, terlihat dalam perjanjian tersebut praktis namun sebenarnya lebih menguntungkan pada si pembuatnya. Pelaku usaha dituntut untuk semakin meningkatkan efisiensi waktu transaksi dalam melayani konsumen, sehingga membutuhkan pengikatan kontrak yang semakin efektif. Penerapan perjanjian baku pada awalnya memang bertujuan untuk mempersingkat waktu sehingga bisa lebih efektif dan efisien. Akan tetapi ternyata hal tersebut tidak bisa berlaku adil bagi salah satu pihak dan cenderung memberikan keuntungan bagi si pembuat.

Bentuk perjanjian baku, telah muncul pada setiap transaksi bisnis, mulai dari transaksi bisnis yang berskala besar sampai yang kecil. Munculnya perjanjian baku sebenarnya merupakan akibat tidak langsung dari introduksi asas kebebasan berkontrak (Pasal 1338 KUH Perdata). Hal tersebut menyebabkan posisi kedua belah pihak dalam suatu negosiasi tidak seimbang, yang pada akhirnya melahirkan suatu perjanjian yang tidak terlalu menguntungkan bagi salah satu pihak. Keuntungan kedudukan tersebut oleh pelaku usaha sering diterjemahkan dengan pembuatan perjanjian baku dan atau klausula baku dalam setiap dokumen atau perjanjian yang dibuat oleh salah satu pihak yang “lebih dominan” dari pihak lainnya. Dikatakan bersifat “baku” karena, baik perjanjian maupun klausula tersebut, tidak dapat dan tidak mungkin dinegosiasikan atau tidak dapat ditawar oleh pihak lainnya.

Keseimbangan dikenal dalam sebuah perjanjian sebagai asas, dimana asas keseimbangan merupakan asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Asas keseimbangan dalam sebuah kontrak atau perjanjian harus diperhatikan agar salah satu pihak tidak dirugikan hanya karena adanya kebebasan berkontrak antar kedua belah pihak dalam membuat suatu perjanjian. Pada dasarnya suatu perjanjian berawal dari suatu perbedaan kepentingan di antara para pihak. Perumusan hubungan kontraktual tersebut pada umumnya diawali dengan proses negosiasi di antara para pihak.

Keseimbangan adalah suatu asas yang dimaksudkan untuk membuat pranata-pranata hukum dan asas-asas pokok hukum perjanjian menjadi selaras, yang mana dikenal dalam hukum perdata yang berdasarkan pemikiran dan latar belakang individualisme pada suatu pihak dan cara pikir bangsa Indonesia pada lain pihak.6 Keseimbangan juga diartikan sebagai suatu upaya untuk mencapai suatu keadaan seimbang, oleh karena itu harus memunculkan pengalihan kekayaan secara sah. 7 Maksud keseimbangan dari beberapa aturan yang telah dikemukakan yaitu terjadinya kesetaraan kedudukan antara hak dan kewajiban para pihak dalam sebuah perjanjian dengan syarat dan kondisi yang sama (ceteris paribus), serta tidak ada pihak yang mendominasi atau melakukan tekanan kepada pihak lainnya.

  • 2.    Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, dengan menggunakan data berupa data kualitatif dan menggunakan pendekatan deskriptif analitis. Semua data terkait dengan penelitian ini, diolah dan disusun secara sistematis untuk kemudian dianalisis secara kualitatif untuk menghasilkan kesimpulan dalam bentuk deskriptif.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

Pada sebuah perjanjian, para pihak mengungkapkan kehendaknya dalam sebuah janji. Faktanya, sebuah perjanjian dilandasi oleh suatu tujuan atau maksud tertentu. Tujuan dalam suatu perjanjian dilandasi oleh kehendak yang telah disepakati, yaitu dalam bentuk janji-janji diantara para pihak. Namun, dalam suatu perjanjian dapat muncul ketidakseimbangan, yang mana hal ini merupakan akibat dari perilaku para pihak sendiri maupun sebagai konsekuensi dari pelaksanaan perjanjian.

Asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Berarti bahwa peraturan-peraturan hukum pada akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas tersebut. Asas hukum tidak saja bermanfaat untuk memecahkan masalah-masalah baru dan membuka bidang baru, tetapi juga diperlukan guna menafsirkan aturan-aturan sejalan dengan asas-asas yang mendasari aturan-aturan yang dimaksud. Peran asas-asas hukum tersebut sangat penting untuk menafsirkan aturan-aturan yang tidak pernah secara lengkap dapat menyelesaikan masalah.

Sebagaimana dimaksud dalam bahasa sehari-hari, kata “seimbang” (evenwicht) menunjuk pada pengertian suatu “keadaan pembagian beban di kedua sisi berada dalam keadaan seimbang”. Di dalam konteks studi ini “keseimbangan” dimengerti sebagai “keadaan hening atau keadaan yang selaras karena tidak ada satu pun yang mendominasi, atau karena tidak satu elemen menguasai lainnya.8 Keseimbangan juga diartikan sebagai hal yang didasari pada upaya mencapai suatu keadaan yang sama rata sebagai akibat dari itu harus memunculkan pengalihan kekayaan secara sah.

Asas keseimbangan merupakan asas dalam Hukum Perjanjian Indonesia yang merupakan asas kelanjutan dari asas persamaan yang mengkehendaki keseimbangan hak dan kewajiban antara para pihak dalam perjanjian. Asas keseimbangan, di samping harus memiliki karakteristik tertentu juga harus secara konsisten terarah pada kebenaran yang bersifat konkret.

Asas keseimbangan itu menyemangati dan sekaligus juga menjadi asas yang bekerja dari asas hukum perjanjian, baik dari hukum perjanjian Indonesia maupun dari hukum perjanjian Belanda yang mewakili hukum modern. Dalam hukum perjanjian Belanda, penerapan asas keseimbangan itu terlihat pada kewajiban untuk mengacu pada kesusilaan, itikad baik, kepatutan, dan kepantasan dalam melaksanakan hak-hak dan kewajiban dalam suatu perjanjian.9

Perjanjian adalah peristiwa dimana dua orang saling berjanji untuk melakukan sesuatu dengan mengutamakan prinsip saling percaya untuk menepati janji.10 Perjanjian tidak cukup hanya dengan menggunakan media lisan saja, akan tetapi juga perlu dibuat dalam bentuk tertulis. Perjanjian tertulis dapat digunakan oleh para pihak untuk mengawasi pihak lainnya agar taat dan tunduk pada isi perjanjian. Ketidaktaatan salah satu pihak terhadap isi perjanjian, akan merugikan kepentingan pihak lainnya.

Perjanjian dalam dunia ekonomi merupakan instrumen yang penting untuk mewujudkan perubahan-perubahan ekonomi dalam pembagian barang dan jasa. Perjanjian memiliki tujuan untuk menciptakan keadaan yang lebih baik bagi kedua belah pihak. Menurut Atiyah, perjanjian memiliki tiga tujuan dasar, yaitu:11

  • a.    Memaksakan suatu janji dan melindungi harapan wajar yang muncul darinya;

  • b.    Mencegah adanya upaya memperkaya diri yang dilakukan secara tidak adil atau tidak benar oleh seorang pihak;

  • c.    To prevent certain kinds of harm.

Selain ketiga tujuan yang disebutkan di atas, Herlien Budiono menambahkan tujuan keempat dari perjanjian yaitu, mencapai keseimbangan antara kepentingan sendiri dan kepentingan terkait dari pihak lain.

Syarat keseimbangan sebagai tujuan keempat dicapai melalui kepatutan sosial, eksistensi immateriil yang dicapai dalam jiwa keseimbangan. Dalam suatu perjanjian, kepentingan individu dan masyarakat akan bersamaan dijamin oleh hukum objektif. Perjanjian dari sudut substansi atau maksud dan tujuan ternyata bertentangan dengan kesusilaan dan atau ketertiban umum akan batal demi hukum dan pada hakekatnya hal serupa akan berlaku berkenaan dengan perjanjian yang bertentangan dengan undang-undang. Dengan ini jelas bahwa kepatutan sosial tidak berwujud melalui perjanjian demikian. Dalam perjanjian yang tidak seimbang bisa muncul sebagai akibat

perilaku para pihak sendiri ataupun sebagai konsekuensi dari substansi (muatan isi) perjanjian atau pelaksanaan perjanjian.

Berkaitan dengan isi atau maksud dan tujuan perjanjian para pihak memperluas dengan meningkatkan pengharapan untuk mencapai prestasi yang dipercayakan. Dari landasan pemikiran para pihak dapat diketahui bila pengharapan di masa depan dapat bersikap objektif ataukah justru mengandung pengorbanan pihak lawan yang berakibat sedemikian rupa sehingga pengharapan di masa depan berujung pada ketidakseimbangan. Pencapaian keadaan seimbang mengimplikasikan dalam konteks pengharapan masa depan yang objektif, upaya mencegah terjadi kerugian salah satu pihak dalam perjanjian. Memahami isi perjanjian merupakan suatu keniscayaan dan adanya keseimbangan dalam berkontrak merupakan suatu hal yang penting dalam sebuah perjanjian.12

Perjanjian memiliki sejumlah aspek yaitu perbuatan para pihak, isi perjanjian yang disepakati para pihak, dan pelaksanaan perjanjian. Tiga aspek yang saling berkaitan dari perjanjian di atas dapat dimunculkan sebagai faktor penguji berkenaan dengan daya kerja asas keseimbangan. 13 Hal yang sama juga dikemukakan oleh Mariam Darus Badrulzaman yang mengatakan bahwa suatu perjanjian memiliki sejumlah aspek yaitu perbuatan para pihak, isi perjanjian, dan pelaksanaan perjanjian yang telah disepakati para pihak tersebut. Tiga aspek yang saling berkaitan dari perjanjian tersebut dapat dimunculkan sebagai kriteria berkenaan dengan syarat adanya

keseimbangan,  tetapi juga  menjadi  kriteria adanya  ketidakseimbangan jika

syarat-syarat keseimbangan dan tiga aspek tersebut tidak dipenuhi.14

Salim H.S menyebutkan bahwa asas keseimbangan yaitu suatu asas yang menghendaki kedua belah pihak untuk memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu.15 Sementara Mariam Darus Badrulzaman menyatakan bahwa asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan, dimana kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun kreditur memikul pula beban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang.16

Pemahaman makna asas keseimbangan jika ditelusuri dari beberapa pendapat sarjana, secara umum memberi makna asas keseimbangan sebagai keseimbangan posisi tawar para pihak yang berkontrak. Interpretasi terhadap daya kerja asas keseimbangan meliputi:

  • a.    Pembagian hak dan kewajiban dalam hubungan kontraktual seolah-olah tanpa memperhatikan proses yang berlangsung dalam penentuan hasil akhir pembagian tersebut;

  • b.    Keseimbangan seolah merupakan hasil akhir dari sebuah proses;

  • c.    Lebih mengarah pada keseimbangan posisi para pihak artinya dalam hal hubungan kontraktual tersebut posisi paera pihak bermuatan keseimbangan;

  • d.    Pada dasarnya keseimbangan posisi para pihak hanya dapat dicapai pada syarat dan kondisi yang sama.

Penggunaan kontrak baku dalam dunia bisnis dewasa ini menimbulkan permasalahan hukum yang memerlukan pemecahan. Secara tradisional suatu perjanjian terjadi didasarkan pada asas kebebasan berkontrak di antara dua pihak yang memiliki kedudukan yang seimbang. Kesepakatan yang didapat dalam perjanjian itu merupakan hasil negosiasi di antara para pihak. 17 Proses semacam itu tidak ditemukan dalam perjanjian baku. Hampir tidak ada kebebasan dalam menentukan isi perjanjian dalam proses negosiasi. Isi atau syarat-syarat perjanjian telah ditentukan secara sepihak oleh pengusaha.

Perjanjian baku tidak mencerminkan asas keseimbangan para pihak dalam kontrak. Ketidakseimbangan kedudukan dalam perjanjian baku diakibatkan karena para pihak memiliki bargaining position yang tidak sama sehingga menimbulkan “unreal bargaining”. Ketidakseimbangan kedudukan dalam perjanjian baku disebabkan oleh beberapa hal:

  • a.    Pembuat kontrak baku pada umumnya memiliki penguasaan terhadap sumber daya (ekonomi, teknologi, atau ilmu) yang lebih tinggi dibandingkan pihak penerima kontrak baku. Salah satu bentuknya adalah terlihat dalam klausul-klausul yang terdapat dalam bentuk standar atau baku yang isinya cenderung berat sebelah atau disebut sebagai klausula eksemsi atau eksonerasi. Klausula ini memberikan batasan dan atau pengalihan bentuk tanggung jawab terhadap suatu resiko bisnis kepada pihak lainnya sehingga dapat menimbulkan kerugian atau keuntungan yang tidak wajar terhadap salah satu pihak. Ketidakseimbangan kedudukan ini dapat dilihat dengan adanya klausula-klausula di dalam kontrak baku yang semata-mata hanya mementingkan kepentingan si pelaku usaha atau pemilik modal yang posisi tawarnya lebih kuat.

  • b.    Keterbatasan akses informasi yang seharusnya diperoleh oleh penerima kontrak baku. Penerima kontrak dalam menandatangani kontrak baku hanya berfokus pada hal-hal penting dalam kontrak, hal-hal seperti pemilihan forum penyelesaian sengketa, ganti rugi apabila wanprestasi, kebijakan-kebijakan yang berubah, dan sebagainya, tidak menjadi perhatian Keterbatasan dalam hak untuk menyampaikan pendapat dalam kontrak terhambat karena pihak penerima kontrak dihadapkan pada pilihan “take it or leave it” terutama apabila penerima kontrak dihadapkan pada obyek kontrak yang bersifat pemenuhan kebutuhan mendasar seperti kebutuhan akan sandang, pangan dan papan, maka pilihan ini akan menimbulkan dilema.

  • c.    Adanya kelemahan di bidang ekonomi atau kelemahan di bidang pengetahuan pada pihak penerima kontrak baku menyebabkan aspek keseimbangan kedudukan menjadi tidak terpenuhi. Pihak penerima kontrak baku pada umumnya menandatangani kontrak yang disodorkan akibat kebutuhan terhadap obyek kontrak.

  • d.    Adanya kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki salah satu pihak lebih besar, hal ini tampak dalam kontrak yang dilakukan antara pemerintah dalam kapasitasnya selaku subyek hukum privat dalam hubungan keperdataan misalnya kontrak pengadaan barang dan jasa.

Pada prakteknya, kedudukan tidak seimbang dapat dilihat pada klausul-klausul yang tertulis pada sebuah perjanjian, yang mana klausul tersebut memberikan batasan-batasan bagi para pihak seperti dalam kontrak kredit bank, kontrak di bidang perumahan, jasa parkir, listrik, dan lain-lain. Kontrak-kontrak jenis ini di dalamnya memuat klausula-klausula baku.

Menurut pendapat Sutan Remy Sjahdeini, yang dimaksud dengan perjanjian baku adalah perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan.18

Menurut Hondius, suatu perjanjian baku biasanya mengandung syarat-syarat baku berupa syarat-syarat konsep tertulis yang dimuat dalam beberapa perjanjian yang masih akan dibuat dan jumlahnya tidak tentu, tanpa merundingkan dulu isinya.19 Dengan demikian suatu perjanjian baku dapat mengandung klausula eksonerasi yang dianggap sebagai klausula yang berat sebelah dan tidak adil. Secara ekonomi penggunaan klausula baku dalam perjanjian baku mempunyai keuntungan praktis, mengurangi negosiasi yang bertele-tele dan penghematan biaya, namun secara hukum memberi kedudukan yang tidak seimbang bagi para pihak, karena salah satu pihak biasanya terpaksa menerima persyaratan yang sudah dibakukan oleh pihak lain.

Perjanjian baku yang ditetapkan secara sepihak tidak menutup kemungkinan dapat disalahgunakan oleh salah satu pihak yang memiliki posisi tawar lebih tinggi untuk menekan pihak yang lemah kedudukannya. Sementara pihak yang lemah kedudukannya ini hanya bisa menerima saja apa yang disodorkan, sehingga seringkali menanggung kerugian. Tetapi mengapa hal ini masih saja terjadi? Hal ini didasari oleh adanya pertimbangan ekonomis, yaitu untuk mengurangi biaya, tenaga, dan waktu yang timbul dalam pembuatan sebuah perjanjian serta praktis karena dapat digunakan dan ditandatangani sewaktu-waktu

Pembuatan perjanjian yang dilakukan secara sepihak tanpa melibatkan nasabah sudah biasa dalam lingkungan perbankan. Perjanjian tersebut berbentuk formulir yang telah dipersiapkan sebelumnya oleh pihak bank, kemudian diserahkan kepada nasabah dengan prinsip take it or leave it contract. Nasabah tidak dapat mengajukan usul, masukan, atau keberatan terhadap format perjanjian dan klausula-klausula

didalamnya.20 Umumnya sebuah perjanjian yang mengandung klausula eksonerasi adalah perjanjian yang tidak seimbang. Hubungan antara para pihak yang tidak seimbang dalam sebuah perjanjian tentu menjadi tidak adil bagi para pihak. Ketidakadilan yang terjadi pada suatu hubungan para pihak yang tidak seimbang dinamakan undue influence, sedangkan ketidakadilan terjadi pada suatu keadaan (bukan hubungan) yang tidak seimbang dinamakan unconscionability.21 Hakikat dari keadilan adalah terpenuhinya segala sesuatu yang menjadi hak dan kewajibannya. Keadilan menuntut adanya tindakan yang proporsional, sesuai, seimbang, selaras dengan setiap hak setiap orang.

Daya kerja asas keseimbangan yang optimal akan menyeimbangkan kepentingan-kepentingan para pihak, memberikan hukum yang ideal bagi para pihak dan memberikan keadilan dalam sebuah perjanjian. Oleh karena itu sebuah perjanjian harus diuji keseimbangannya dengan menggunakan tiga aspek, yaitu:22

  • a.  Perbuatannya sendiri atau pelaku individual;

  • b.   Isi kontrak;

  • c.  Pelaksanaan dari apa yang telah disepakati.

Hal yang selalu dikedepankan berkaitan dengan keseimbangan dalam sebuah

perjanjian adalah kebebasan berkontrak bagi para pihak, dalam menetapkan klausula perjanjian. Ridwan Khairandy mengemukakan bahwasanya kebebasan berkontrak dimaknai dalam dua segi, yaitu makna kebebasan berkontrak yang positif dimana para pihak memiliki kebebasan untuk membuat kontrak yang mengikat yang mencerminkan kehendak bebas para pihak. Serta kebebasan berkontrak dalam makna negatif yaitu para pihak bebas dari suatu kewajiban sepanjang kontrak yang mengikat itu tidak mengatur.23

Kebebasan berkontrak memiliki ruang lingkup berupa kebebasan melakukan perjanjian dengan siapa pun dan mengenai hal apapun, sepanjang tidak bertentangan dengan hukum, kepatutan, kesusilaan, serta ruang lingkup kewajiban tunduk pada apa yang diperjanjikan. Ruang lingkup tersebut bertautan dengan asas kebebasan berkontrak dan asas kekuatan mengikat dari suatu perjanjian. Ruang lingkup tersebut sesuai dengan Article 1.1 UNIDROIT yang berbunyi “the parties are free to enter into a contract and to determine ints content”

Dalam sebuah perjanjian baku yang mana isinya telah ditentukan oleh salah satu pihak, maka prinsip-prinsip hukum perjanjian yang ada di dalamnya seakan menjadi terabaikan. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya negosiasi antara para pihak untuk menentukan isi perjanjian, serta lemahnya posisi tawar salah satu pihak, sehingga unsur keseimbangan dalam sebuah perjanjian tidak terpenuhi. Ketidakseimbangan tersebut dapat muncul akibat adanya perilaku dari para pihak maupun sebagai

konsekuensi dari muatan isi perjanjian, serta mungkin juga dalam pelaksanaan perjanjian itu sendiri.

Ketidakseimbangan dalam perjanjian dapat dimanfaatkan oleh pihak yang berada dalam posisi dominan untuk melakukan penyalahgunaan keadaan.24 Pada umumnya, ketidakseimbangan terjadi apabila para pihak berada dalam kekuatan ekonomi yang berbeda. Pihak ekonomi yang lemah seolah-olah dipaksa untuk menerima kehendak dari pihak ekonomi yang kuat. Ketidakseimbangan keadaan ekonomi tersebut dapat mempengaruhi kondisi kejiwaan pihak ekonomi yang lemah, sehingga merasa tertekan. Dalam keadaan tertekan, pihak ekonomi yang lemah dipaksa untuk membuat keputusan take it or leave it.

Keadaan tidak bebasnya salah satu pihak dalam melakukan perjanjian, merupakan keadaan yang bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak. Melalui asas ini, individu diberi kebebasan untuk membuat perjanjian seluas-luasnya sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban umum.25

Dengan demikian, kebebasan berkontrak haruslah dimaknai sebagai kebebasan yang bertanggung jawab dalam arti bebas membuat perjanjian sepanjang tidak merugikan pihak lainnya. Hal ini penting, mengingat perjanjian itu perlu adanya suatu keseimbangan pengaturan dan perlindungan kepentingan pihak masing-masing. Artinya kebebasan berkontrak dibatasi oleh kewajiban menghormati kepentingan pihak lainnya dalam sebuah ikatan perjanjian.

Kedudukan atau posisi tawar yang tidak seimbang dalam sebuah perjanjian, merupakan hal yang bertentangan dengan tujuan hukum yaitu keadilan, karena perjanjian dibentuk sebagai wadah yang mempertemukan kepentingan para pihak sebagai pertukaran kepentingan yang adil.26

Berkaitan dengan hal itu, Agus Yudha Hernoko mengemukakan bahwa seringkali terjadi kesalahan persepsi mengenai eksistensi kontrak yang pada akhirnya menjebak dan menyesatkan penilaian objektif, khususnya mengenai pertanyaan “apakah suatu perjanjian itu seimbang atau tidak seimbang”. Lebih lanjut dikatakan oleh Agus Yudha Hernoko, bahwa kesesatan tersebut terjadi karena hanya bergelut pada perbedaan status masing-masing pihak yang berkontrak. Pandangan tersebut tidak sepenuhnya salah, namun akan menjadi lebih fair dan objektif apabila menilai keberadaan suatu perjanjian terutama dengan mencermati substansinya, serta kategori kontrak yang bersangkutan.27

Pandangan yang fair dan objektif atas suatu perjanjian harus diinterpretasikan secara luas sebagai berikut:28

  • a.    Lebih mengarahkan pada keseimbangan posisi para pihak, dimana para pihak diberi muatan keseimbangan.

  • b.    Kesamaan pembagian hak dan kewajiban dalam hubungan kontraktual seolah-olah tanpa memperhatikan proses yang berlangsung dalam penentuan hasil akhir pembagian tersebut.

  • c.    Keseimbangan seolah-oleh sekedar merupakan hasil akhir dari sebuah proses.

  • d.    Intervensi negara merupakan instrumen memaksa dan mengikat agar terwujud keseimbangan posisi para pihak.

  • e.    Keseimbangan posisi para pihak hanya dapat dicapai pada syarat dan kondisi yang sama (ceteris paribus).

Interpretasi perjanjian dalam hubungannya dengan keseimbangan perjanjian, memperlihatkan bahwa keseimbangan suatu perjanjian tidak semata-mata mutlak ditentukan oleh kedudukan para pihak saja, tetapi juga ditentukan oleh aspek itikad baik.

Itikad baik merupakan asas yang wajib ditaati para pihak sehingga tercipta kesepakatan yang murni (fair) dalam suatu perjanjian. Kewajiban beritikad baik telah disebutkan dalam Restatement (second) of Contract Chapter 9 Topic 2 Section 205 yang menyatakan bahwa “every contract imposes upon each party a duty of good faith and fair dealing in its performance and its enforcement”29. Demikian pula termuat dalam U.C.C section 1-203 yang menyatakan bahwa “every contract or duty within this Act imposes obligation of good faith in its performance or enforcement”30.

Asas itikad baik pada saat menyusun perjanjian diartikan sebagai kejujuran, yaitu seseorang yang menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada pihak lainnya atas dasar kejujuran dan tidak menyembunyikan sesuatu yang buruk, yang mana kemudian hari dapat menimbulkan kesulitan-kesulitan. Itikad baik yang terdapat pada saat menyusun perjanjian, akan menghindari timbulnya perbuatan melawan hukum serta wanprestasi.

Tentang peranan asas keseimbangan, Herlien Boediono berpendapat bahwa konsep-konsep konsensualisme, kekuatan mengikat, kebebasan berkontrak, dan keseimbangan sarat dengan pengharapan normatif perihal pengembanan ideal dari suatu peran sosial, selaras dengan aturan-aturan sosial yang diterapkan oleh tradisi, norma-norma serta sejarah masyarakat yang bersangkutan.31 Dengan demikian untuk menilai apakah suatu perjanjian telah seimbang, tidak hanya dinilai dari hukum positif tetapi harus pula dilihat apakah perjanjian tersebut adil bagi masyarakat atau tidak.

Setidaknya terdapat tiga aspek dalam suatu perjanjian yang perlu diperhatikan untuk mencapai keseimbangan, yaitu: pertama, perbuatan para pihak, dalam hal ini berhubungan dengan subjek perjanjian. Tidak dapat di pungkiri bahwa suatu perjanjian dapat terwujud manakala para pihak saling mengikatkan diri. Perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak tersebut dapat dilihat dari pernyataan kehendak dari diri sendiri untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan hukum.

Kedua, isi perjanjian. Keseimbangan dalam isi perjanjian tidak lepas dari kesadaran serta kesepakatan para pihak untuk membuat perjanjian tersebut. Pembuatan isi perjanjian oleh salah satu pihak, pemakaian bahasa asing, serta adanya klausula-klausula yang relatif kaku dan lemahnya daya tawar salah satu pihak sehingga tidak memiliki kesempatan untuk ikut menentukan atau merubah isi perjanjian. Ketiga, pelaksanaan perjanjian, yang mana hal ini dilakukan oleh para pihak sebagai bentuk ketaatan terhadap isi perjanjian. Harapannya para pihak dapat melaksanakan perjanjian dengan itikad baik, sehingga tidak merugikan pihak mana pun.

Berkaitan dengan daya kerja asas keseimbangan, Agus Yudha Hernoko menyatakan bahwa, asas keseimbangan memiliki daya kerja baik pada proses pembentukan maupun pelaksanaan kontrak.32 Dalam keadaan terjadinya ketidakseimbangan pada saat pembentukan atau penyusunan perjanjian, isi perjanjian atau pelaksanaan perjanjian, asas keseimbangan hadir dengan menawarkan suatu pertanggungjawaban umum pemberlakuan keberagaman norma serta juga untuk menilai dan menetapkan apakah terjadi keterikatan perjanjian yang adil.

Karena adanya ketidakseimbangan kedudukan antara para pihak, maka perlu adanya campur tangan negara untuk turut serta mengembalikan keseimbangan kedudukan para pihak. Sehingga dapat merepresentasikan kepentingan para pihak secara adil. Perlunya campur tangan negara tersebut didasarkan pada teori H.L.Hart dalam “the minimum contect of natural law (teori perlindungan minimum)” bahwa sifat manusia yang rentan (vulnerable) merupakan salah satu alasan perlunya hukum.33 Dalam kaitan terhadap pembuatan perjanjian baku, diperlukan campur tangan negara dalam bentuk pembuatan aturan hukum maupun penanganan perkara-perkara perjanjian baku melalui pengadilan (putusan-putusan pengadilan) untuk melindungi pihak yang lemah, pihak yang memiliki bargaining power lebih rendah akibat keterbatasan terhadap akses dan informasi, pendidikan dan modal.

Tidak terpenuhinya unsur keseimbangan berpengaruh terhadap kekuatan hukum dalam sebuah perjanjian. Keseimbangan akan tercapai manakala para pihak bersepakat untuk bersama-sama saling mengikatkan diri tanpa adanya tekanan dari pihak manapun. Para pihak yang berada dalam posisi yang setara dan memiliki hak serta kewajiban yang sama. Apabila sudah setara, maka para pihak dapat melakukan kegiatan bisnisnya dengan lebih baik, sehingga kesejahteraan rakyat dapat tercapai. Sehingga harapannya dengan adanya intervensi dari negara atau pemerintah, dapat ditegakkan keseimbangan dalam perjanjian tersebut.

  • 4. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan, yaitu Perjanjian baku biasanya mengandung syarat-syarat baku berupa syarat-syarat konsep tertulis yang dimuat dalam beberapa perjanjian yang masih akan dibuat dan jumlahnya tidak tentu, tanpa merundingkan dulu isinya. Perjanjian baku telah menguasai hampir seluruh kontrak-kontrak dalam kegiatan bisnis hal ini didasarkan pada adanya suatu penekanan bahwa perjanjian baku lebih efektif dan efisien dalam pelaksanaannya.

Keberadaan perjanjian baku tidak bisa dibendung dan dihalangi karena dia tumbuh dan berkembang sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan dunia bisnis yang didasari pada adanya suatu kebutuhan masyarakat akan perjanjian baku tersebut.

Pada umumnya, ketidakseimbangan terjadi apabila para pihak berada dalam kekuatan ekonomi yang berbeda. Untuk menciptakan keseimbangan hak dan kewajiban dari para pihak dalam hal ini, sebuah perjanjian perlu memuat asas keseimbangan, keadilan, dan kewajaran yang merupakan pedoman serta menjadi rambu dalam mengatur dan membentuk perjanjian yang akan dibuat sehingga pada akhirnya akan menjadi perikatan yang berlaku bagi para pihak, yang dapat dipaksakan pelaksanaan atau pemenuhannya. Daya kerja asas keseimbangan yang optimal akan menyeimbangkan kepentingan-kepentingan para pihak, memberikan hukum yang ideal bagi para pihak dan memberikan keadilan dalam sebuah perjanjian. Keseimbangan suatu perjanjian tidak semata-mata mutlak ditentukan oleh kedudukan para pihak saja, tetapi juga ditentukan oleh aspek itikad baik. Terdapat tiga aspek agar keseimbangan dalam perjanjian bisa tercapai, yaitu perbuatan para pihak, isi perjanjian, dan pelaksanaan perjanjian.

Daftar Pustaka

Buku

Adolf, H. (2007). Dasar-dasar Hukum Kontrak Internasional, Bandung:

Refika Aditama.

Atiyah, P.S. (1995). An Introduction to the Law of Contract, 5th. Ed., New York: Oxford University Press Inc.

Badriyah, S. M. (2016). Sistem Penemuan Hukum dalam Masyarakat Prismatik, Jakarta: Sinar Grafika.

Badrulzaman, M. D. (1994). Aneka Hukum Bisnis, Bandung: Alumni.

Boediono, H. (2006). Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia: Hukum Perjanjian Berlandaskan asas-asas Wigati Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti.

Boediono, H. (2010). Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya Dibidang Kenotariatan, Bandung: Citra Aditya.

Hart, H.L.A. (1981). The Concept of Law, Oxford Great Britain: Clarendon Press.

H.S., Salim, (2010). Hukum Kontrak Teori Dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta: Sinar Grafika.

Hernoko, A. Y. (2010). Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.

Kamilah, A. (2012). Bangun Guna Serah (Build operate and Transfer/ BOT ) Membangun Tanpa Harus Memiliki Tanah (Persfektif Hukum Agraria, Hukum Perjanjian dan Hukum Publik), Bandung: Keni Media.

Khairandy, R. (2003). Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Mertokusumo, S. (1996). Mengenal Hukum Suatu Pengantar, edisi keempat, cetakan ke-1, Yogyakarta: Liberty.

Patrik, P. (1998). Perjanjian Baku dan Penyalahgunaan Keadaan sebagaimana terangkum dalam Hukum Kontrak di Indonesia (Seri Dasar Hukum Ekonomi 5), Elips.

Rusli, H. (1996). Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Schaber, G. D. dan Claude. D. R. (1990). Contracts, St. Paul: Minn West Publishing Co.

Scott, R. E. dan Douglas. L. L. (1988). Contract Law and Theorie Selected Provisions: Restatement of Contract and Uniform Commercial Code (secondary Materials), Contemporary Legal Eduction Series, The Michie Company Law Publisher, Virginia.

Sjahdeini, S. R. (1993). Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Jakarta: Institut Bankir Indonesia.

Subekti. (2010). Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa.

Jurnal

Kurrohman, T. K. (2016). Penerapan Asas Keseimbangan Berkontrak Pada Akad Pembiayaan Perbankan Syariah Perspektif Teori Hukum Ekonomi Islam. Jurnal Surya Kencana Satu: Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan, 6(1).

Listiawati, D. (2015). Klausula Eksonerasi dalam Perjanjian Standar dan Perlindungan Hukum Bagi Konsumen. Privat Law, (7).

Mulyati, E. (2016). Asas keseimbangan pada perjanjian kredit perbankan dengan nasabah pelaku usaha kecil. Jurnal Bina Mulia  Hukum,  1(1),

36-42. https://doi.org/10.23920/jbmh.v1n1.4

Panggabean, R. M. (2010). Keabsahan Perjanjian dengan Klausul Baku. Jurnal Fakultas Hukum UII, 17(4), 651-667. https://doi.org/10.20885/iustum.vol17.iss4.art8

Pramestie, M. A. D., & Wiwoho, J. (2017). Implementasi Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Perjanjian Pemberian Kredit (Studi Kasus di PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk. di Surakarta). Jurnal Repertorium, 4(2). 110-117

Sinaga, N. A., & Zaluchu, T. (2018). Peranan Asas Keseimbangan Dalam Mewujudkan Tujuan Perjanjian. Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara, 8(1). 38-56

Tesis

Saputro, T. W. (2011). Penerapan Asas Keseimbangan dan Asas Kebebasan Berkontrak dalam Putusan Pengadilan. Universitas Indonesia.

Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-undang Hukum Perdata

75