(≡SSm^^

jurnal Iviagister hukum udayana


Vol. 8 No. 1 Mei 2019

E-ISSN: 2502-3101 P-ISSN: 2302-528x

http: //ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu



Comparative Study Mekanisme Penyadapan dalam

Sistem Peradilan Pidana Indonesia dan Inggris


Putu Oka Surya Atmaja1

1Kejaksaan Negeri Denpasar-Bali, E-mail: oka_drummer@yahoo.com


Info Artikel

Masuk: 19 Januari 2019

Diterima: 12 April 2019

Terbit: 31 Mei 2019


Keywords:

Comparative Study;

Wiretapping Mechanism;

Criminal Justice System


Kata kunci:

Studi Perbandingan;

Mekanisme Penyadapan;

Sistem Peradilan Pidana


Corresponding Author: Putu Oka Surya Atmaja, E-mail: oka_drummer@yahoo.com


DOI:

10.24843/JMHU.2019.v08.i01. p07


Abstract

Conventional law of proving the record of a person's conversation (tapping results) is not yet accepted as evidence in the court. Along with technological developments, criminal law also began to evolve so the way to prove difficult criminal act also evolve following it, this development technology also affecting the methods to gain evidence such as, the result of wiretapping (recording of conversations) in the form of recordings of speech, electronic data and other types of data is now acceptable and used in evidence in court. The purpose of this study is to compare and find out about the Criminal Classification in each of the countries that are the object of this research, and the tapping mechanisms that apply to each country's legal system, both Indonesia and the UK. In this Research used Normative Research Method, with 2 approaches, statute approach, and comparative approach. The results of this study illustrate that For now in Indonesia there is no clear wiretapping mechanism set out in one Act since the wiretapping mechanisms are restored to agencies requiring information. With so many authorities / agencies granting permission to tackle various laws in Indonesia from the Chief of Police, the Attorney General, the Chairman of the Court and the Chairman of the KPK (Commission Against Corruption), make no control mechanism against the tapping information obtained, and will be harmful if the information is misused. If we compare with the United Kingdom, legislation governing electronic communication interception is regulated only in 1 (one) Act.

Abstrak

Menurut hukum pembuktian yang konvensional, hasil rekaman percakapan seseorang (hasil penyadapan) belum dapat diterima sebagai alat bukti di pengadilan, namun kini penyadapan kerap digunakan. Seiring dengan perkembangan teknologi, hukum pidana pun mulai berkembang sehinga cara-cara pembuktian terhadap tindak pidana yang sulit dibuktikan juga berkembang, hingga hasil dari penyadapan (rekaman pembicaraan) berupa data rekaman pembicaraan, data elektronik, dan jenis data lainnya kini dapat diterima dan digunakan dalam pembuktian di pengadilan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan dan mengetahui mengenai klasifikasi tindak pidana dan mekanisme penyadapan yang berlaku berdasarkan sistem hukum di Indonesia dan Inggris. Dalam Penelitian ini digunakan Metode Penelitian Normatif, dengan 2 pendekatan yakni, pendekatan perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan perbandingan (comparative approach). Hasil dari penelitian ini menjabarkan


bahwa belum ada mekanisme penyadapan yang jelas yang diatur dalam satu UU di Indonesia, karena mekanisme penyadapan dikembalikan lagi kepada instansi yang membutuhkan informasi. Inggris mengklasifikasikan suatu tindak pidana berdasarkan derajat kesalahannya, namun Indonesia menggolongkan tindak pidana menjadi 2 (dua) kategori yaitu kejahatan dan pelanggaran. Banyaknya otoritas/ instansi yang memberikan ijin untuk melakukan penyadapan di berbagai UU di Indonesia mulai dari Kapolri, Jaksa Agung, Ketua Pengadilan dan Ketua KPK (kolektif), membuat tidak adanya mekanisme control terhadap informasi penyadapan yang diperoleh, dan akan membahayakan jika informasi tersebut disalahgunakan. Jika dibandingkan dengan Negara Inggris, perundang-undangan yang mengatur tentang intersepsi komunikasi elektronik hanya diatur dalam 1 (satu) UU.

  • 1.    Pendahuluan

Perkembangan modus operandi suatu tindak pidana begitu dinamis dan berbanding lurus dengan kemajuan teknologi telekomunikasi yang semakin hari semakin canggih, termasuk di dalamnya pemanfaatan penggunaan alat komunikasi berupa telepon, komputer, internet dan lain-lain sebagai sarana untuk melakukan / membantu terjadinya tindak pidana. Bahkan di zaman internet sekarang ini, tentu tidak dikenal lagi batasan dunia sehingga orang-orang yang melakukan kejahatan sangat leluasa memanfaatkan sarana komunikasi dunia maya.

Perkembangan teknologi ini akan menjadi sebuah hambatan bagi penegak hukum dalam membuktikan suatu tindak pidana yang menggunakan sarana komunikasi berupa telepon maupun fasilitas internet. Salah satu cara untuk menemukan bukti dengan memanfaatkan teknologi komunikasi adalah dengan melakukan penyadapan terhadap pembicaraan / data seseorang yang disangka melakukan tindak pidana yang menggunakan sarana teknologi komunikasi dalam menjalankan aksinya. Teknik penyadapan pertama kali digunakan pada tahun 1960-an oleh pihak kepolisian di Amerika Serikat untuk mengungkap kejahatan terorganisasi dan kejahatan jalanan yang kian hari semakin meningkat.1 Teknik ini digunakan untuk mengetahui adanya tindak pidana, alur perbuatan hingga pengungkapan. Teknik penyadapan semakin hari semakin berkembang seiring dengan kebutuhan untuk mengungkap kasus-kasus yang rumit.

Dalam hukum pembuktian yang konvensional, hasil rekaman percakapan seseorang (hasil penyadapan) belum dapat diterima sebagai alat bukti di pengadilan. Seiring dengan perkembangan teknologi, hukum pidana pun ikut mulai berkembang, sehinga cara-cara pembuktian terhadap tindak pidana yang sulit dibuktikan berkembang terus, hingga hasil dari penyadapan (rekaman pembicaraan) berupa data rekaman pembicaraan, data elektronik dan jenis data lainnya kini dapat diterima dan digunakan dalam pembuktian di pengadilan. Terkait kecanggihan teknologi sekarang ini, maka dalam tulisan ini akan dibahas dan dibandingkan tentang beberapa penggolongan tindak pidana yang dikaitkan dengan prosedur penyadapan di Negara Inggris yang

menganut sistem hukum common law dan Negara Indonesia yang dikenal menganut sistem hukum civil law.

Dalam Hukum Inggris dan Indonesia sangat menarik dibahas tentang cara (prosedur) penyadapan dalam proses penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana yang memanfaatkan teknologi komunikasi dalam Sistem Peradilan Pidana masing-masing Negara. Perbandingan ini bertujuan untuk mengetahui kelemahan dan kelebihan masing-masing tata cara pengaturan penyadapan dari kedua Negara tersebut, sehingga dapat diketahui instansi-instansi yang memiliki kewenangan dalam melakukan penyadapan terhadap informasi secara sah. Hukum dalam sistem peradilan pidana memiliki fungsi sebagai sarana untuk menyelesaikan konflik, menegakkan kebenaran dan keadilan serta sebagai rekayasa sosial dalam masyarakat.2 Terkait dengan penyadapan ini, maka kajian ini diharapkan memberikan masukan dalam memberikan keadilan bagi setiap orang akan perlindungan privasi dari penyadapan yang dilakukan secara melawan hukum. Hukum Inggris mengatur penyadapan dalam satu undang-undang. Kondisi ini berbeda dengan hukum Indonesia yang mengatur masalah penyadapan secara terpilah-pilah.

Penyadapan adalah perbuatan pidana, hal tersebut tertuang dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, secara eksplisit dalam ketentuan Pasal 40 yang menyatakan bahwa “setiap orang dilarang melakukan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apa pun”, dan ditegaskan tentang ancaman pidananya dalam pasal 56 yang menyatakan, “barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pasal 40, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun”.3 Awalnya, penyadapan di Inggris dilakukan oleh polisi juga dianggap melanggar Hak Asasi Manusia, namun karena terkait dengan kebutuhan untuk melakukan pembuktian sebuah tindak pidana (yang terorganisir dan sulit pembuktiannya) dalam rangka penegakan hukum maka penyadapan diperbolehkan sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang. 4

Dalam hal penyidikan tindak pidana, penyidik akan selalu mencari bukti yang sah sesuai dengan Pasal 184 ayat (1) KUHAP berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Dalam undang-undang diluar KUHP, alat bukti tidak saja sebagaimana disebutkan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, melainkan terdapat alat bukti lain yang berkembang seiring kemajuan teknologi komunikasi,

sebagai contoh didalam Pasal 26A UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyatakan bahwa alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat berupa alat bukti lain yang berupa : (1) informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu, dan (2) dokumen yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna. Hal yang sama diatur dalam UU No. 15 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang menegaskan bahwa alat bukti pemeriksaan tindak pidana pencucian uang berupa informasi yang disimpan yang terekam secara elektronik. Pengertian Bukti Elektronik itu sendiri merupakan data atau informasi penting yang disimpan dan dikomunikasikan secara elektronik.5

Salah satu upaya untuk menemukan bukti data/informasi yang terekam secara elektronik dalam penyelidikan dan penyidikan adalah dengan cara melakukan “penyadapan” (tapping). Tidak hanya terbatas pada percakapan seseorang di telepon tetapi juga penyadapan atas data-data yang terkait penyalahgunaan komputer (computer abuses) 6 . Penyadapan dipandang juga sebagai suatu Teknik audit yang dilakukan untuk memperoleh suatu informasi. 7 Hasil penyadapan sesungguhnya adalah bukti permulaan jika terdapat kesesuaian (corroborating evidence) antara bukti yang satu dan bukti yang lain dalam suatu tindak pidana.8 Hanya saja penyadapan sangat rentan dengan urusan pribadi seseorang karena informasi penyadapan jika disalahgunakan akan merugikan orang lain.9

Sahnya tindakan penyadapan haruslah berdasarkan hukum (Lawful Interceptiom10 (LI)), menurut Pasal 31 ayat (3) UU RI Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik, dinyatakan bahwa penyadapan diperbolehkan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang. Dalam UU tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut dengan lebih terperinci apa yang dimaksud dengan penyadapan/intersepsi. Tujuan penyadapan yang sah menurut hukum di setiap Negara tentu berbeda tergantung kebutuhan dari Negara yang bersangkutan yang didukung oleh aturan yang jelas. Aturan mengenai penyadapan harus memuat batasan dan mekanisme yang jelas agar tidak melanggar hak asasi manusia.11

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan dan mengetahui mengenai Klasifikasi Tindak Pidana di masing-masing negara yang menjadi obyek penelitian ini, dan mekanisme penyadapan yang diberlakukan berdasarkan prosedur di masing-masing negara, sehingga untuk ke depannya di dalam mekanisme penyadapan di Indonesia terdapat kejelasan dalam pengaturan terhadap prosedur ini.

  • 2.    Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif yang menggunakan bahan hukum. Dalam pengumpulan bahan hukum, digunakan teknik studi kepustakaan. Studi kepustakaan diperlukan untuk mengumpulkan bahan - bahan hukum yang diperlukan, seperti bahan-bahan hukum primer 12 yang meliputi peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penyadapan yang berlaku di Indonesia dan Inggris. Penelitian ini menggunakan dua metode pendekatan yakni, pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan perbandingan (comparative approach). Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan mengkaji peraturan serta regulasi yang berkaitan dengan mekanisme penyadapan serta kualifikasi pemidanaan secara umum dan pendekatan perbandingan dilakukan dengan membandingan pengaturan mengenai penyadapan yang berlaku di Indonesia dan di Inggris. Bahan hukum yang telah dikumpulkan, akan diolah dan di analisis secara kualitatif. Hasil penelitian disajikan secara deskriptif kualitatif yang memberikan gambaran yang utuh mengenai comparative study mekanisme penyadapan dalam sistem peradilan pidana Indonesia dan Inggris.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Klasifikasi Tindak Pidana Dalam Sistem Hukum Pidana Inggris dan Indonesia

Kejahatan merupakan perbuatan yang merugikan masyarakat dan menyinggung rasa kesusilaan. 13 Suatu perbuatan digolongkan sebagai sebuah kejahatan ketika telah diatur sebagai perbuatan yang dilarang dalam peraturan perundang-undangan. Klasifikasi kejahatan di Inggris, umumnya dibedakan berdasarkan tingkat keseriusan kejahatan mereka (apakah tergolong kejahatan ringan atau serius). Dengan mengetahui tingkat kejahatannya maka akan menentukan kewenangan dalam penangkapan dan penahanan tersangka, yang selanjutnya akan ditentukan pengadilan mana yang memiliki wewenang untuk mengadilinya apakah magistrates court atau crown court.14 Secara prosedural tindak pidana di Inggris diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga) kategori yaitu:15

  • 1.    Offences triable only indictment

Tindak pidana yang dapat diadili di crown court berdasarkan “on indictment” adalah “murder” (pembunuhan), ”manslaughter” (penganiayaan berat), ”rape” (pemerkosaan), ”robbery”(perampokan), ”causing grievious bodily harm with intent to rob and blackmail”(perampokan dan pemerasan yang menyebabkan luka berat).

  • 2.    Offences triable only summarily

Summary Offences (pelanggaran) yang berhubungan dengan kejahatan ringan hanya dapat diproses di magistrates’ court. Pada umumnya perbuatan ini diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari enam bulan atau denda

sebesar £ 5.000. Contoh tindak pidananya adalah mengemudi dalam keadaan mabuk atau dibawah pengaruh obat-obatan terlarang, mengemudi dengan ceroboh, dan mengemudi tanpa ijin (SIM), perkelahian ringan, mabuk dan kejahatan prostitusi.

  • 3.    Offences triable either way

Yang termasuk kategori kejahatan ini adalah perampokan, pencurian dan penadahan barang curian, kejahatan-kejahatan yang melibatkan kepemilikan, penggunaan dan penyediaan obat-obatan terlarang, dan berbagai jenis tindak pidana penyerangan. Dengan kategori kejahatan seperti ini kasusnya dapat ditangani di magistrates’ court atau crown court.

Indonesia tidak mengklasifikasikan suatu tindak pidana berdasarkan derajat kesalahannya, namun dalam KUHP dalam buku ke-2 disebutkan penggolongan tindak pidana dengan jelas dibagi menjadi 2 (dua) kategori yaitu Kejahatan dan Pelanggaran. Lamanya ancaman hukuman/sanksi bukanlah menjadi patokan apakah perbuatan tersebut dikategorikan sebagai kejahatan atau pelanggaran, selain itu dalam KUHP tidak dijelaskan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan kejahatan dan pelanggaran, hanya saja KUHP menggolong-golongkan perbuatan mana yang disebut sebagai kejahatan dan perbuatan mana yang disebut pelanggaran. Menurut Prof. Jongkers, yang membedakan antara kejahatan dan pelanggaran adalah kejahatan terbagi atas kejahatan dengan kesengajaan dan culpa, di sini sengaja dan culpa harus dibuktikan, sedangkan bagi pelanggaran tidak perlu dibuktikan kesalahannya.16

Dalam perkembangannya, hukum pidana Indonesia yang dulunya tergabung menjadi 1 (satu) dalam KUHP kini tidak lagi, karena seiring dengan kemajuan teknologi informasi maka muncullah yang namanya kejahatan cyber. Sistem hukum Indonesia mengenal tindak pidana di luar KUHP yaitu aturan-aturan yang mengatur tentang pemidanaan diluar KUHP atau tindak pidana khusus diluar KUHP. Sebenarnya antara tindak pidana khusus dengan tindak pidana diluar KUHP memiliki persamaan yaitu diatur dalam aturan perundang-undangan diluar KUHP, hanya saja tidak semua tindak pidana diluar KUHP merupakan Tindak Pidana Khusus. Tindak pidana di luar KUHP juga disebut sebagai tindak pidana di luar kodifikasi.

Lebih lanjut Andi Hamzah menjelaskan bahwa Hukum Pidana Khusus ada yang berkaitan dengan Hukum Administrasi (HPE, Hk Pidana Fiscal, UU No 31 Tahun 1999 khusus masalah penyalahgunaan kewenangan). Dasar Hukum UU Pidana Khusus adalah Pasal 103 KUHP, yang mengandung pengertian : (1) Semua ketentuan yang ada dalam Buku I KUHP berlaku terhadap UU diluar KUHP sepanjang UU itu tidak menentukan lain. (2) Adanya kemungkinan UU termasuk UU Pidana diluar KUHP, karena KUHP tidak mengatur seluruh tindak pidana di dalamnya (tidak lengkap dan tidak mungkin lengkap). Hukum Tindak Pidana Khusus mempunyai ketentuan khusus dan penyimpangan terhadap tindak pidana umum, baik di bidang Hukum Pidana Materiil maupun di bidang Hukum Pidana Formal. Hukum Tindak Pidana Khusus berlaku terhadap perbuatan tertentu dan atau untuk golongan/orang-orang tertentu. Ruang lingkup hukum tindak pidana khusus terdiri atas Hukum Pidana Ekonomi (UU No. 7 Drt 1955), Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana

Terorisme. 17 Menurut Andi Hamzah, beliau memperkenalkan istilah baru yaitu perundang-undangan pidana khusus, karena yang ditekankan adalah peraturan perundang-undangannya bukan berdasarkan hukum pidananya.18

Salah satu contoh Tindak Pidana Terorisme dengan korban meninggal yang cukup banyak, jika terjadi di Inggris maka pelakunya akan diadili di crown court, sedangkan di Indonesia tidak dilihat lagi derajat kesalahannya, apakah kejahatan tersebut merupakan kejahatan yang serius atau tidak tetap saja diadili di Pengadilan Negeri tempat terjadinya peristiwa kejahatan tersebut. Perbedaan antara Inggris dan Indonesia adalah di Inggris suatu tindak pidana ditentukan adanya ukuran tentang tingkat kesalahan seseorang nantinya akan menentukan pengadilan mana yang berwenang untuk mengadilinya, sedangkan di Indonesia suatu perbuatan dapat dikatakan kejahatan atau pelanggaran tergantung pasal yang dilanggar dalam KUHP, dan tidak ada pembedaan pengadilan yang menanganinya.

  • 3.2    Perbandingan Penyadapan dalam Tahap Penyelidikan dan Penyidikan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia dan Inggris

Pelaku kejahatan yang semakin canggih memanfaatkan teknologi informasi/komunikasi dalam melakukan kejahatannya tentu harus diimbangi dengan keahlian penegak hukum dalam hal cara untuk mengungkap kejahatan tersebut. Penegak hukum dalam hal ini penyidik membutuhkan keahlian untuk menangani kejahatan tersebut dengan menggunakan teknologi yang menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Pengungkapan suatu tindak pidana yang menggunakan sarana komunikasi atau memanfaatkan dunia cyber/maya, maka petugas penegak hukum perlu menggunakan sarana penyadapan terhadap orang yang di sangkakan melakukan tindak pidana. Penyadapan merupakan pelanggaran hak asasi manusia karena melanggar hak atas pribadi, namun dalam konteks hukum, penyadapan pada dasarnya diperbolehkan oleh undang-undang terutama undang-undang khusus. 19 Hanya saja tindakan penyadapan baru dapat dikatakan sah secara hukum jika jelas diatur dalam perundang-undangan. Apabila telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, maka tindakan penegak hukum untuk mengungkap kejahatan melalui teknik penyadapan merupakan tindakan yang legal. Hingga saat ini, penyadapan belum diatur dalam undang-undang khusus.20

Indonesia belum memiliki kesepahaman bagaimana cara/prosedur penyadapan dilakukan dalam rangka penyidikan dan penyelidikan dalam Sistem Peradilan Pidana, karena banyaknya otoritas / instansi yang memberikan ijin untuk melakukan penyadapan. Tersebarnya aturan tentang penyadapan oleh berbagai instansi di berbagai UU di Indonesia membuat tidak adanya mekanisme kontrol terhadap informasi penyadapan yang diperoleh dan akan membahayakan jika informasi

tersebut disalahgunakan. Aturan penyadapan di Indonesia terdapat di berbagai perundang-undangan, antara lain :

  • 1.    UU No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, penyidik Badan Narkotika Nasional (BNN) berwenang melakukan penyadapan atas izin tertulis dari Ketua Pengadilan Negeri selama jangka waktu 3 (tiga) bulan dan dapat diperpanjang selama 1 (satu) kali dengan waktu yang sama, bahkan dalam hal keadaan yang mendesak penyadapan dapat dilakukan tanpa izin tertulis dari Ketua PN.

  • 2.    Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, sebagaimana ditetapkan menjadi UU No. 15 Tahun 2003, dimana penyidik berhak menyadap pembicaraan melalui telepon atau alat komunikasi lain yang diduga digunakan untuk mempersiapkan, merencanakan, dan melakukan tindak pidana terorisme atas perintah Ketua Pengadilan Negeri untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.

  • 3.    Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana korupsi, dimana dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan KPK berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan atas keputusan Pimpinan KPK yang kolektif.21 Selanjutnya dalam penjelasan Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dikatakan bahwa kewenangan penyidik termasuk wewenang untuk melakukan penyadapan (wiretapping).

  • 4.    Undang-undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, penyidik Polri berwenang melakukan penyadapan pembicaraan melalui telepon dan atau alat telekomunikasi elektronik hanya dalam jangka waktu penyadapan berlangsung paling lama 30 (tiga puluh) hari dan hanya dapat dilakukan atas perintah tertulis Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau pejabat yang ditunjuknya.

  • 5.    Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, penyidik berwenang untuk melakukan penyadapan dengan syarat bukti permulaan yang cukup dengan izin Ketua Pengadilan dan paling lama 1 (satu) tahun.

  • 6.    Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi, untuk kepentingan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu. Prosedur untuk melakukan penyadapan berbeda bagi masing-masing tindak pidana.

  • 7.    UU RI Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, intersepsi dapat dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau instusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang, dan bahkan ketentuan tentang penyadapan diatur oleh Peraturan Pemerintah. Rencana ketentuan tentang

penyadapan diatur dengan PP telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusan MK No.006/PUU-I/2003.

Teknis penyadapan saat ini baru diatur dengan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor : 11/PER/M.KOMINFO/02/2006 Tentang Teknis Penyadapan Terhadap Informasi Tanggal 22 Februari 2006, konfigurasi teknis alat dan/atau perangkat penyadapan sesuai dengan ketentuan standar yaitu : European Telecommunications Standards Institute Communications (ETSI) atau Assistance for Law Enforcement Act (CALEA), dengan mekanisme penyadapan dilaksanakan berdasarkan Standar Operasional Prosedur (selanjutnya disebut SOP) yang ditetapkan oleh aparat penegak hukum dan diberitahukam secara tertulis kepada Direktur Jenderal. Penyadapan dalam konteks penegakan hukum merupakan strategi rahasia yang dilakukan tanpa memerlukan izin dari yang disadap. 22 Indonesia belum ada mekanisme penyadapan yang jelas yang diatur dengan UU, karena mekanisme penyadapan dikembalikan lagi kepada SOP instansi yang membutuhkan informasi. Tersebarnya peraturan perundang-undangan yang memungkinkan legalitas penegak hukum dalam melakukan penyadapan menyebabkan mekanisme penyadapan tidak sama.

Jika kita bandingkan, di Inggris dengan terjadinya kasus Malone (1978) merupakan tonggak evolusi menjadikan kasus tersebut sebagai standar hukum dalam penyalahgunaan wewenang dalam melakukan penyadapan.23 Inggris pada tahun 2000 telah berlaku perundang-undangan, yang berkaitan dengan intersepsi komunikasi elektronik diantaranya adalah:24

  • 1.    UU Tentang Kekuasaan Penyelidikan Tahun 2000 (Regulation of Investigatory Powers Act 2000 RIP Act),

  • 2.    UU Tentang Telekomunikasi tahun 2000 (The Telecommunications Lawful Business Practice Interception of Communications Regulations 2000).

Dalam peraturan ini penyadapan hanya dibenarkan dengan salah satu alas an berikut:25

  •    Berdasarkan surat perintah penyadapan yang ditandatangani,

  •    Dangan menunjukkan pemberitahuan persetujuan penyadapan kepada setiap pihak guna disadap komunikasinya, atau

  •    Dalam tidak adanya persetujuan, namun penyadapan tersebut tetap dapat dibenarkan dengan menerapkan “Peraturan Praktek Bisnis yang Sah” (Lawful Business Practice Regulations).

Di Inggris aturan tentang kekuasaan penyelidikan (RIP) ini merupakan dasar hukum untuk melakukan penyadapan guna mengungkap data yang berhubungan dengan komunikasi, termasuk data yang dilindungi untuk diakses, untuk kepentingan penyelidikan dan hal-hal yang berhubungan dengan pengadilan, atau untuk kepentingan dinas keamanan, intelijen, dan pemerintah guna mengungkap telah terjadinya suatu kejahatan atau tindak pidana.26

Dalam Regulation of Investigatory Powers Act 2000 (RIP Act) – Chapter 23 Arrangement of Sections Part I (Communications) Chapter I Interception (Unlawful and authorized Interception) Section 5 dikatakan bahwa Sekretaris Negara dapat mengeluarkan surat perintah untuk melakukan penyadapan terhadap seseorang melalui pelayanan pos atau sistem telekomunikasi. Bahkan pemerintah Inggris (dalam hal ini Sekretaris Negara) dapat memaksa (mewajibkan) penyedia layanan telekomunikasi (ISP) untuk menginstal perangkat lunak (software) dan peralatan lainnya yang diperlukan untuk melakukan pemantauan komunikasi seseorang yang menggunakan jasa mereka sehingga seluruh data baik itu percakapan maupun data-data internet dapat disadap oleh pemerintah.

Adanya satu aturan yang tegas mengenai penyadapan di Inggris yaitu UU Tentang Kekuasaan Penyelidikan Tahun 2000 (Regulation of Investigatory Powers Act 2000 RIP Act), maka akan membawa dampak yang bagus bagi proses penegakan hukum, karena aturan tentang penyadapan diatur khusus dalam 1 (satu) undang-undang sehingga dengan adanya peraturan yang tegas dan jelas maka akan mempermudah dikontrol implikasinya/penerapannya    oleh    penegak    hukum    (penyidik)    serta

pertanggungjawabannya pun jelas.

Berbeda dengan di Indonesia, dengan banyaknya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penyadapan sehingga tidak ada kejelasan tentang cara menyadap, prosedur penyadapan dan cara pertanggungjawabannya, hal ini tentu akan berdampak negative salah satunya adalah sangat rawan merusak privasi orang lain dan bahkan dapat disalahgunakan untuk kepentingan politik. Aturan/undang-undang yang mengatur dan memberikan kewenangan penyadapan di Indonesia tersebut di atas, menunjukkan bahwa otoritas yang mengizinkan dilakukannya penyadapan sangat beragam mulai dari Kapolri, Jaksa Agung, Ketua Pengadilan dan ketua KPK (kolektif) tergantung sasarannya serta prosedur (SOP) penyadapan juga

belum jelas diatur sehingga tidak ada kesatuan aturan tentang cara penyadapan. Jangka waktu kewenangan penyadapan disetiap UU berbeda-beda tergantung tindak pidananya dan tergantung kepentingan Penyidik. Bahkan dalam UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, penyidik dalam hal keadaan yang mendesak dapat melakukan penyadapan tanpa izin tertulis dari ketua PN. Indonesia dapat dikatakan tidak ada kesatuan aturan yang mengatur tentang prosedur penyadapan.

Penyadapan di Indonesia sebaiknya mengikuti pengaturan penyadapan yang ada di Inggris, aturan tentang penyadapan dituangkan dalam satu UU yang khusus mengatur tentang prosedur penyadapan, kewenangan penyadapan dan lain-lain. Pengaturan melalui UU khusus merupakan hal yang sangat penting untuk menentukan legalitas dari penegak hukum untuk melakukan penyadapan itu sendiri. Hal ini juga berimplikasi pada pentingnya mengadakan satu otoritas yang jelas yang memiliki kewenangan untuk melakukan kontrol dalam hal penggunaan informasi hasil penyadapan untuk kepentingan hukum dan pertanggungjawabannya pun menjadi jelas. Dalam pengaturan penyadapan pada masa yang akan datang tentunya perlu diatur Lembaga mana saja yang dapat melakukan penyadapan, kualifikasi kasus yang memungkinkan dilakukan penyadapan, teknis penyadapan dan koordinasi dengan otoritas tertentu dalam melakukan penyadapan yang sah.

  • 4.    Kesimpulan

Inggris untuk mengklasifikasikan kejahatan umumnya dibedakan berdasarkan tingkat keseriusan kejahatan mereka (tergolong kejahatan ringan atau serius). Pengetahuan tingkat kejahatannya maka akan menentukan kewenangan pengadilan mana yang memiliki wewenang untuk mengadilinya apakah magistrates’ court atau crown court secara prosedural di Inggris tindak pidana diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga) kategori yaitu offences triable only on indictment, offences triable only summarily dan offences triable either way

Indonesia tidak mengklasifikasikan suatu tindak pidana berdasarkan derajat kesalahannya, namun menggolongkan tindak pidana menjadi 2 (dua) kategori yaitu kejahatan dan pelanggaran. Besarnya ancaman hukuman/sanksi bukanlah menjadi patokan apakah perbuatan tersebut dikategorikan sebagai kejahatan atau pelanggaran, yang membedakan adalah kejahatan terbagi atas kejahatan dengan kesengajaan dan culpa, di sini sengaja dan culpa harus dibuktikan, sedangkan bagi pelanggaran tidak perlu dibuktikan kesalahannya. Hukum pidana Indonesia tidak saja diatur dalam KUHP namun juga diatur dalam peraturan perundang-undangan di luar KUHP.

Indonesia belum memiliki mekanisme penyadapan yang jelas yang diatur dalam satu UU, karena mekanisme penyadapan dikembalikan lagi kepada instansi yang membutuhkan informasi.

Perundang-undangan di Inggris mengatur tentang intersepsi komunikasi elektronik hanya dalam 1 (satu) UU yaitu UU tentang Kekuasaan Penyelidikan Tahun 2000 (Regulation of Investigatory Powers Act 2000 RIP Act). Konsekuensi logis dari hal tersebut adalah akan mempermudah dalam implikasinya/ penerapannya oleh penegak hukum (penyidik) serta pertanggungjawabannya pun jelas.

Daftar Pustaka

Buku

Abidin, A. Z. (1962). Asas Hukum dan Beberapa Pengupasan Tentang Delik-Delik khusus. Jakarta: Prapartja dan Taufik.

Abidin, Z., & Hamzah, A. (2010). Pengantar dalam hukum pidana Indonesia. Yarsif

Watampone.

International Telecommunication Union. (2008). Technical Aspects of Lawful Interception ITU-T Technology Watch Report 6 May 2008. Telecommunication Standardization Policy Division, ITU Telecommunication Standardization Sector.

Reksodiputro, M. (1994). Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan. Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Universitas Indonesia.

Jurnal

Ali, M. (2007). Sistem Peradilan Pidana Progresif; Alternatif Dalam Penegakan Hukum Pidana. Jurnal    Hukum    IUS    QUIA    IUSTUM, 14(2),    210-299.

https://doi.org/10.20885/iustum.vol14.iss2.art2

Ang, D. N. (2015). Tinjauan Yuridis terhadap Perluasan Alat Bukti Penyadapan dalam Tindak Pidana Korupsi. Lex Crimen, 4(1). 143-151.

Bramita, F., & Cahyaningtyas, I. (2018). Children Hearing System Sebagai Ide

Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Jurnal Magister Hukum Udayana     (Udayana     Master     Law     Journal),     7(4),     529-545.

https://doi.org/10.24843/JMHU.2018.v07.i04.p08

Hwian, C. (2016). Tindakan Penyadapan Ditinjau Dari Perspektif Hukum Pidana. Jurnal Prioris, 5(2), 89-106.

Kian, A. M. L. (2015). Tindak Pidana Credit/Debit Card Fraud dan Penerapan Sanksi Pidananya dalam Hukum Pidana Indonesia. Hasanuddin law review, 1(1), 47-60. http://dx.doi.org/10.20956/halrev.v1i1.39

Rachmad, A. (2016). Legalitas Penyadapan dalam Proses Peradilan Pidana di Indonesia. Jurnal Hukum Samudra Keadilan, 11(2), 239-249.

Ramadhani, W., Iskandar, S., & Radhali, R. (2018). Legalitas Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi Terhadap Gubernur Aceh. Syiah Kuala Law Journal (SKLJ), 2(3), 455-470. https://doi.org/10.24815/sklj.v2i3.11604

Reksodiputro, M. (2010). Adakah Ambivalensi Dalam Kita Menghadapi RPP Penyadapan? KHN Newsletter, Desain hukum, 10(1).

Sidabukke, S. (2010). Tinjauan Kewenangan Penyadapan Oleh KPK dalam Perspektif Hak Asasi Manusia. Jurnal Yustika, 10(1), 1-21.

Sinaga, A. I., Ablisar, M., Mulyadi, M., & Suhaidi, S. (2015). Pengaturan Tentang Penyadapan (Intersepsi) dalam Perundang-undangan di Indonesia. USU Law Journal, 3(2), 1-10.

Tahulending, F. (2018). Penyadapan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi ditinjau dari Aspek Hak Asasi Manusia Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Lex Crimen, 7(6).

Website

The National Archives. (2000). Regulation of Investigatory Powers Act 2000. Retrieved from https://www.legislation.gov.uk/ukpga/2000/23/contents

Gahtan Alan. Electronic Evidence, LEXPERT Magazine, December 1999/January 2000. Retrieved from http://www.gahtan.com/alan/articles/e-evidence/html

James Hammerton. Regulation of Investigatory Powers Act (2000), Retrieved from https://www.magnacartaplus.org/bills/rip/

Kementrian Riset dan Teknologi Republik Indonesia. Berita Kegiatan Ristek – Hukum Pidana           diluar           KUHP.           Retrieved           from

http://www.ristek.go.id/?module=News%20News&id=4827

Malcolm Davies. Comparative Criminal Law and Enforcement and Wales-Law Enforcement: The Police and Prosecution, Prosecutors: Crown Prosecution Service, Criminal Courts: Pre-Trial and Trial. Retrieved from http://law.jrank.org/pages/660/Comparative-Criminal-Law-Enforcement-England-Wales.html

Sixth Form Law. Case Malone v. commissioner for the Metropolitan Police (no.2) [1979] 2 All ER 620. Retrieved from http://sixthformlaw.info/06_misc/cases/malone_v_uk.html

The London School of Economics and Political Science. Briefing on the Interception Modernisation             Programme.             Retrieved             from

https://warwick.ac.uk/fac/soc/pais/people/aldrich/vigilant/lectures/gchq/imp/imp_briefing. pdf

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-undang Republik Indonesia No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, LN RI Tahun 2002 Nomor 137, TLN RI Nomor 4250

Undang-undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, LN RI Tahun 2008 Nomor 58, TLN RI Nomor 4843

Undang-undang Republik Indonesia No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, LN RI Tahun 2009 Nomor 143, TLN RI Tahun 2009 Nomor 5062.

Undang-undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, LN RI Tahun 1999 Nomor 140, TLN RI Nomor 3874.

Undang-undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika, LN RI Tahun 1997 Nomor 10, TLN RI Nomor 3671.

Undang-undang Republik Indonesia No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, LN RI Tahun 2007 Nomor 58, TLN RI Nomor 4720.

Undang-undang Republik Indonesia No. 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi, LN RI Tahun 1999 Nomor 154, TLN RI Nomor 3881.

Peraturan    Menteri     Komunikasi     dan    Informatika     Nomor     :

11/PER/M.KOMINFO/02/2006 Tentang Teknis Penyadapan Terhadap Informasi Tanggal 22 Februari 2006.

Regulation of Investigatory Powers Act 2000 (RIP Act) – Chapter 23 Arrangement of Sections Part I (Communications) Chapter I Interception (Unlawful and authorized Interception) Section 5.

104