jurnal Iviagister hukum udayana (≡SSm^^

Vol. 8 No. 1 Mei 2019

E-ISSN: 2502-3101 P-ISSN: 2302-528x

http: //ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu


Studi Kritis Pengenaan Pajak Penghasilan Final Bagi Usaha Mikro Kecil Menengah

Ni Wayan Maharatih1

1Bank Maybank Indonesia Cabang Kuta, Badung-Bali, E-mail: [email protected]

Info Artikel


Masuk: 16 Agustus 2018 Diterima: 4 April 2019 Terbit: 31 Mei 2019

Keywords :

Income Tax; MSMEs;

Entrepreneur


Kata kunci:

Pajak Penghasilan; UMKM;

Pengusaha

Corresponding Author:

Ni Wayan Maharatih, E-mail:

[email protected]

DOI :

10.24843/JMHU.2019.v08.i01.

p08


Abstract

The tax is the most important sector for the country in the framework of national development. Government Regulation Number 46 the Year 2013 of income taxes from businesses that received or obtained taxpayers who have certain gross circulation create worry and fear the small businessmen who are pioneering efforts. The purpose of this research was to know and analyze the arrangements regarding the imposition of Final income tax on perpetrators of small medium enterprises according to the Government Regulation number. 46 the year 2013. This type of research is the study of the law normative approach to legislation. The results showed that according to article 2 paragraph (1) the Government Regulation Number 46 the Year 2013 mentioned businessmen who generate income that does not exceed Rp 4.8 Billion in future tax levied a tax of 1% of the total circulation gross (revenue) per month. But in fact, the imposition of a tax of 1% for small medium enterprises whose income Rp Rp-300jt 4, 8 m is not carried out effectively.

Abstrak

Pajak merupakan sektor terpenting bagi negara dalam rangka pembangunan nasional. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan dari Usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu membuat khawatir dan ketakutan pelaku usaha kecil yang sedang merintis usahanya. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan mengenai pengenaan PPh Final pada Pelaku UMKM menurut Peraturan Pemerintah Nomor. 46 Tahun 2013. Jenis penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan. Penerapan tarif 1% dari pendapatan bagi Pelaku UMKM tidak bisa dipahami kecil, mengingat Pendapatan ini dihitung bukan dari hasil keuntungan, karena tidak bisa dijamin jika berpendapatan besar maka pasti keuntungannya besar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Menurut Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 disebutkan pelaku usaha yang menghasilkan pendapatan yang tidak melebihi Rp. 4,8 Miliar dalam satu masa pajak dikenakan pajak sebesar 1% dari jumlah peredaran bruto (pendapatan) setiap bulan. Namun pada kenyataannya, pembebanan pajak 1% bagi UMKM yang berpendapatan Rp. 300jt-Rp. 4,8M tidak terlaksana secara efektif. Apalagi pengenaan 1% dari pendapatan ini dianggap tidak adil karena dibebankan tanpa melihat apakah pelaku UMKM ini berada dalam keadaan untung ataupun rugi, dan juga

diberlakukan bagi seluruh pelaku UMKM.

  • 1.    Pendahuluan

Acuan ketentuan mengenai ekonomi negara diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara 1945 yakni Pasal 33 dan Pasal 34, yang mana negara diberikan beban tanggungjawab untuk mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat. Tanggungjawab tersebut tidak hanya dibebankan kepada negara melainkan juga kepada kelompok yang mampu berusaha. Dengan demikian dalam proses pembangunan ekonomi nasional, sampai saat ini struktur ekonomi Indonesia disangga oleh para pengusaha turut tergabung dalam golongan usaha mikro, usaha kecil dan usaha menengah.1

Sejak tanggal 1 Juli 2013 telah memberlakukan PP Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu yang mengatur tentang Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tidak lebih dari Rp. 4,8 Miliar untuk membayar PPh final sebesar 1% dari omzet bulanannya.

Pajak Penghasilan Final (PPh Final) adalah potongan atas pendapatan tertentu dimana alur maupun proses penghitungan pajaknya telah dianggap selesai saat dilakukannya pemotongan, pemungutan atau penyetoran sendiri oleh wajib pajak tersebut. Pajak penghasilan final mulai terkenal sejak diberlakukan pada pajak penghasilan final atas bunga deposito, sertifikat deposito, dan tabungan pada tahun 1989. 2 Dalam perkembangannya, PPh sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 yakni Pasal 4 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (2d), Pasal 19, Pasal 21 dan Pasal 22, mengatur adanya 23 jenis penghasilan yang dikenakan PPh Final.3

Dalam konteks Pengenaan pajak PPh pada UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) didasari pada pendefinisian PPh sebagaimana telah diatur dalam UU No.36 Tahun 2008, pada Penjelasan Pasal 4 ayat (1) yaitu: Pajak yang diambil atas tiap-tiap tambahan penghasilan yang bernilai ekonomi tinggi yang diperoleh atau diterima wajib pajak dari berbagai asal yang dapat dipergunakan untuk keperluan atau menambah aset wajib pajak.4 Setiap orang merupakan subjek pajak dan telah wajib dikenai pajak apabila memenuhi syarat subjektif dan objektif, yakni memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan penghasilan yang diterima diatas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

Utang pajak sebagaimana ajaran formal pada saat dikeluarkan Surat Ketetapan Pajak yang muncul karena undang-undang. Sedangkan menurut ajaran material utang pajak ditentukan oleh perundang-undangan, serta dipenuhinya syarat subjektif dan objektif. Bahwa dapat diartikan adanya campur tangan atau perbuatan dari pejabat pajak

diperlukan untuk menimbulkan utang pajak asal terpenuhinya syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.5

Masukan daya yang memiliki nilai ekonomi inilah merupakan takaran terbaik menurut undang-undang tentang kemampuan Wajib Pajak untuk ikut membayar pajak. Dalam Pengelompokan ditinjau dari mengalirnya masukkan penghasilan wajib pajak termasuk juga di dalamnya pendapatan dari usaha atau kegiatan.

Pengenaan PPh final bermaksud agar penghasilan yang didapat atau diterima akan dipungut PPh dengan tarif tertentu dan dasar pengenaan pajak tertentu pada saat penghasilan tersebut didapat. Pajak Penghasilan yang dipungut, baik yang dilakukan pemotongan oleh pihak lain maupun yang diserahkan sendiri, dan bukanlah merupakan pembayaran yang dilakukan di awal atas PPH yang terhutang tetapi sudah melakukan pelunasan PPh terutang atas penghasilan tersebut. Oleh karena itu, penghasilan yang telah dikenakan PPh final tidak akan di kalkulasi lagi Pajak Penghasilannya di Surat Pemberitahuan Tahunan untuk dikenakan tarif global bersamaan dengan penghasilan lainnya. Begitu juga, dengan PPh yang telah dipotong atau dibayar tersebut juga bukan merupakan kredit pajak di SPT Tahunan.6

Meski pajak Usaha Kecil dan Menengah (UKM) sebesar 1% telah diberlakukan, namun aturan baru ini masih saja menuai pro dan kontra. Tidak sedikit UKM yang merasa keberatan dengan penerapan pajak tersebut karena alasan minimnya omzet. Berdasarkan pemaparan latar belakang diatas yang menjadi permasalahan adalah: 1) Bagaimanakah pengaturan mengenai pengenaan PPh Final pada UMKM menurut PP No. 46 Tahun 2013? 2)Bagaimanakah analisis Yuridis mengenai Pengenaan Pajak Penghasilan Final pada UMKM. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk pengembangan ilmu hukum terkait paradigma science as a process (ilmu sebagai proses). Dengan paradigma ini, ilmu hukum yang terkait dengan materi-materi studi kritis pengenaan pajak penghasilan. Sedangkan yang menjadi tujuan khusus untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan mengenai pengenaan PPh Final pada UMKM menurut PP No. 46 Tahun 2013 dan untuk mengetahui dan menganalisis mengenai Pengenaan Pajak Penghasilan Final pada UMKM. Adapun beberapa penelitian yang juga mengangkat isu mengenai pengenaan pajak PPh Final pada UMKM namun penelitian-penelitian sebelumnya ini menyangkut pada yang pertama ialah Analisis Komparasi Pajak Terutang Sebelum Dan Sesudah Penerapan PPh Final 1 %Terhadap Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) Sesuai PP No. 46 Tahun 2013 (Studi Kasus Kota Sawahlunto) yang ditulis oleh Zulfan (Mahasiswa Ekonomi Universitas Andalas) dan pada penelitian kedua terkait dengan Imperialisme dalam Kebijakan Pajak Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang ditulis oleh Yuyung Rizka Aneswari ( Mahasiswa STIE Kesuma Negara Blitar)

  • 2.    Metode Penelitian

Kajian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Penelitian ini mengkaji bahan kepustakaan terdiri dari bahan hukum dan ditunjang oleh bahan hukum sekunder yang menyangkut penelitian secara menyeluruh baik diantara peraturan setingkat atau di atasnya dimana obyek kajiannya adalah dokumen-dokumen

peraturan-peraturan hukum serta bahan-bahan pustaka, suatu peraturan perundang-undangan yang tergolong dalam bahan hukum primer dengan meneliti beberapa undang-undang 7 khususnya terkait dengan Pengenaan PPh Final pada UMKM. Penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan. Pendekatan peraturan perundang-undangan dilakukan dengan menggunakan legislasi dan regulasi. Teknik pengumpulan bahan hukum menggunakan metode sistematis, yakni berupa pengumpulan bahan peraturan perundang-undangan yang menyangkut pengaturan mengenai Pengenaan PPh Final pada usaha mikro kecil menengah. Teknik analisis bahan hukum yang digunakan adalah teknik deskripsi, dengan digunakannya teknik ini peneliti menguraikan secara apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dan proposisi-proposisi hukum atau non-hukum.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Tinjauan Umum Mengenai UMKM

Pengertian Usaha Mikro Kecil Menengah di Indonesia mempunyai arti yang banyak di tiap Instansi. Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2008, UMKM merupakan kegiatan yang ditetapkan pada kekayaan bersih dan jumlah penjualan pertahun. 8 Adapun UMKM dimaksud adalah sebagai berikut:

  • 3.1.1    Usaha Mikro

Pengertian Usaha Mikro menurut Pasal 3 ayat (2) Keputusan Menteri Keuangan No.40/KMK.06/2003 tentang Pendanaan Kredit Usaha Mikro dan Kecil, yaitu:

Kegiatan yang memiliki nilai ekonomis milik keluarga atau perorangan Warga Negara Indonesia dan memiliki omzet paling banyak Rp100.000.000 per tahun. Usaha Mikro dapat memohonkan kredit kepada bank paling banyak Rp50.000.000.

Sebagaimana perubahannya, Pasal 1 ayat (1) UU No. 20 tahun 2008 tentang UMKM menyebutkan bahwa usaha mikro adalah usaha yang menghasilkan milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kategori Usaha Mikro. Kategori Usaha Mikro adalah sebagai berikut:

  • 1)    Memiliki aset netto paling banyak Rp 50.000.000,- tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha;

  • 2)    Memiliki omzet tahunan paling banyak Rp 300.000.000,

  • 3.1.2    Usaha Kecil

Usaha kecil berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil adalah usaha rakyat yang berukuran kecil dan memenuhi kategori

kekayaan bersih atau omzet tahunan serta kepemilikan. Kriteria Usaha Kecil berdasarkan Pasal 5 ayat (1) adalah sebagai berikut:

  • 1)    Memiliki aset netto paling banyak Rp 200.000.000 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha;

  • 2)    Memiliki omzet tahunan paling banyak Rp 1.000.000.000;

  • 3)    Milik Warga Negara Indonesia;

  • 4)    Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar;

  • 5)    berjenis kegiatan orang perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum termasuk koperasi.

Usaha kecil sebagaimana dimaksudkan pada Pasal 1 Ayat (2) UU. 20 Tahun 2018 ialah suatu kegiatan ekonomi bersifat mandiri yang dilakukan oleh orang perseorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kategori usaha kecil. Kriteria usaha kecil adalah sebagai berikut:

  • 1)    Memiliki aset bersih lebih dari Rp 50.000.000 sampai dengan paling banyak Rp 500.000.000 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha;

  • 2)    Memiliki omzet tahunan lebih dari Rp 300.000.000 sampai dengan paling banyak Rp 2.500.000.000.

  • 3.1.3 Usaha Menengah

Definisi usaha menengah menurut bagian Ketiga Instruksi Presiden No. 10 Tahun 1998 tentang Pemberdayaan Usaha Menegah adalah:

Usaha Menengah adalah kegiatan bersifat menghasilkan yang memenuhi kategori aset kegiatan bersih lebih besar dari Rp200.000.000 sampai dengan paling banyak sebesar Rp10.000.000.000 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.

Pengertian usaha menengah menurut Pasal 1 ayat (3) UU No.20 Tahun 2008 yaitu:

Usaha yang menghasilkan yang mandiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha kecil atau usaha besar dengan jumlah aset bersih atau omzet tahunan.

Kriteria usaha menegah adalah sebagai berikut:

  • 1)    Memiliki aset bersih lebih dari Rp 500.000.000 sampai dengan paling banyak 10.000.000.000 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha;

  • 2)    Memiliki omzet tahunan lebih dari Rp 2.500.000.000 sampai dengan paling banyak 50.000.000.000.

  • 3.2 Pengenaan Pajak Penghasilan Final Pada UMKM

  • 3.2.1    Definisi PPh Final

Pajak Penghasilan yang bersifat final merupakan pajak atas penghasilan tertentu di mana alur atau proses pengenaan pajaknya telah dianggap tuntas pada saat dilakukan pemotongan, pemungutan atau penyetoran sendiri oleh Wajib Pajak yang bersangkutan.9

  • 3.2.2    Pengenaan Pajak Penghasilan Final Kepada UMKM

Pengenaan PPh secara final adalah pendapatan yang dihasilkan akan dikenakan PPh dengan tarif tertentu dengan dasar pengenaan pajak tertentu pada saat penghasilan tersebut didapat. PPh yang dikenakan, baik yang dipungut pihak lain maupun yang diserahkan sendiri, bukan merupakan pembayaran di awal atas PPh terutang tetapi sudah langsung membayar PPh terutang untuk penghasilan tersebut. Dengan demikian, penghasilan yang dikenakan PPh final ini tidak akan dikalkulasi kembali PPh nya di SPT Tahunan untuk dikenakan tarif umum bersamaan dengan penghasilan hasilnya. Begitu juga, PPh yang sudah dibayar tersebut juga akan merupakan utang pajak di SPT Tahunan.

Adapun usaha yang dimaksud meliputi kegiatan dagang, industri, dan jasa seperti contohnya warung, pakaian, elektronik, bengkel, penjahit, salon dan usaha lainnya. Peredaran kotor merupakan jumlah peredaran bruto semua gerai/counter/outlet baik pusat maupun cabangnya. Pajak yang terutang dan harus dibayar adalah 1% dari jumlah peredaran kotor.

Yang dikenakan pajak penghasilan yakni orang pribadi serta badan Badan, diluar bentuk usaha tetap yang menghasilkan dari kegiatan, diluar penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan lepas, dengan peredaran bruto tidak melampaui Rp 4,8M dalam satu tahun pajak.

  • 3.2.3    Pengaturan PPh Final dalam Usaha Mikro Kecil dan Menengah dalam PP No. 46 Tahun 2013

UMKM adalah merupakan bidang atau sektor ekonomi berperan sentral dalam perekonomian nasional. Menurut data Produksi Domestik Bruto (PDB) Tahun 2011, UMKM memberikan input kurang lebih 57% total PDB. Walaupun itu apabila dibandingkan dengan sumbangan UMKM terhadap penerimaan pajak, terdapat kurang tepatnya dimana bantuan UMKM pada penerimaan perpajakan sedikit, yaitu kurang lebih 0.5% dari total pemasukan pajak. Ketimpangan andil UMKM tersebut adalah gejala bahwa tingkat kepatuhan UMKM dalam pemenuhan kewajibannya atas perpajakan masih sangat kurang.

Secara global tipe perpajakan UMKM dapat dibagi dalam dua kategori besar yaitu tipe dengan standard regime system dan presumptive regime system. Umumnya sistem standard regime diaplikasikan pada negara-negara maju, yang kelompok UMKMnya telah memiliki daya guna tinggi dan mempunyai daya pembukuan yang memadai. Pemerintah mengeluarkan PP Nomor 46 Tahun 2013 sebagai upaya mendukung pemenuhan kewajiban perpajakan secara ikhlas (voluntary tax compliance) dan mendukung andil penerimaan negara dari sektor UMKM,. Dalam PP ini diatur pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) yang bersifat final atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dengan batasan peredaran kotor tertentu.

Sebelum dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2013, pengenaan PPh UMKM sebelumnya diatur dalam Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 31E UU No. 36 Tahun 2008. Hingga masyarakat mulai diperkenalkan dengan pengenaan PPh final dalam PP No. 46 Tahun 2013 ditujukan bagi para Wajib Pajak yang memiliki pendapatan kotor tertentu, termasuk di dalamnya para pengusaha kecil dengan omzet tidak melampaui Rp. 4,8 M, dikenakan PPh tarif 1%.

Jika ditelaah lebih lanjut kedua kebijakan fiskal tersebut, dalam ketentuan Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 31E UU No. 36 Tahun 2008, Indonesia menerapkan standard regime atau lebih tepatnya simplified standard regime, dengan mengedepankan asas simplification. Namun, penerapan aturan tersebut rupanya tidak serta merta membuat UMKM yang memberikan kontribusi hampir mencapai 60% bagi perekonomian nasional, sejalan dengan kotribusinya kepada pemasukan negara dari pajak yang hanya mencapai 0,7%.

Jika dilihat dalam model perpajakan, PPh final dalam UMKM ini merupakan salah satu bentuk dari sistem presumtive regime. Sistem ini umumnya diterapkan bagi UMKM yang berada pada negara-negara berkembang, khususnya di negara-negara yang mayoritas kelompok UMKM sulit untuk membayar pajak (hard to tax group). Hal ini sejalan pula dengan alasan pemerintah mengeluarkan aturan PP No. 48 Tahun 2013 tersebut. Alasan lain yang dikemukakan oleh Pemerintah dengan mengeluarkan kebijakan ekstensifikasi pajak dibandingkan intensifikasi pajak, disebabkan pengusaha UKM yang tidak bankable atau tidak memiliki asset yang memadai untuk dijadikan jaminan di Bank, 10 maka dengan pengenaan pajak tersebut sektor UKM dapat mengakses kredit perbankan, dibandingkan dengan diberikan bunga tinggi untuk menutupi resiko kredit macet oleh bank.

Pengenaan PPh khusus ini sejatinya tidak secara langsung dimaksudkan untuk usaha kecil menengah. Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2013 hanya merumuskan penghitungan untuk Wajib Pajak tertentu yang mempunyai jumlah penjualan tertentu, dimana diatur sebagai Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu.

Wajib pajak dimaksud harus memenuhi dua jenis sebagai berikut: (1) orang pribadi atau badan tidak termasuk tipe kegiatan tetap dan yang menghasilkan dari kegiatannya tidak termasuk penghasilan jasa sehubungan dengan pekerjaan lepas dengan omzet yang tidak melebihi dari Rp. 4.8 Miliar.

Mengacu pada penjelasan PP No.46 Tahun 2013 mengatur bahwa hasil penjualan kotor adalah omzet dari usaha, termasuk dari kegiatan cabang, selain peredaran bruto dari usaha yang atas pendapatannya telah dikenai PPh final. sehingga, apabila penghasilan Wajib Pajak sudah dikenakan PPh Final berdasarkan ketentuan yang lain, maka yang berlaku adalah ketentuan PPh Final yang lain tersebut. Misalnya Wajib Pajak yang bergerak di bidang jasa kecantikan atau persewaan rumah.

Diputuskan juga dalam bagian yang sama bahwa jasa sehubungan dengan kegiatan lepas meliputi:

  • 1.    tenaga ahli yang melakukan pekerjaan lepas, terdiri atas akuntan, dokter, notaris, penilai, dan aktuaris, pengacara, arsitek, konsultan;

  • 2.    pembawa acara, pelawak, artis, bintang sinetron, bintang iklan, produser, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, dan penari, pemain musik, penyanyi;

  • 3.    atlet;

  • 4.    penasihat;

  • 5.    pengarang, peneliti, dan penerjemah;

  • 6.    sales;

  • 7.    penyedia barang dan jasa;

  • 8.    perantara;

  • 9.    pedagang;

  • 10.    agen asuransi; dan

  • 11.    distributor perusahaan pemasaran berjenjang atau penjualan langsung dan kegiatan sejenis lainnya.

Selain itu pengecualian atas penghasilan dari usaha jasa dari kegiatan santai, ada pula pengecualian bagi WP orang pribadi dan badan sehingga WP tersebut tidak dikenakan pembayaran PPh khusus berdasarkan PP No. 46 Tahun 2013, walaupun memenuhi kriteria di atas. Adapun Wajib Pajak yang dikecualikan tersebut terdiri dari :

  • 1.    Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan usaha dagang dan/atau jasa yang dalam kegiatannya menggunakan fasilitas yang dapat semi permanen, baik yang menetap maupun tidak menetap, dan memakai sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan;

  • 2.    Wajib Pajak badan yang belum berjalan secara menghasilkan;

  • 3.    Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah berjalan untuk menghasilkan jumlah pendapatan kotor melebihi Rp. 4,8 Milyar.

  • 3.3   Analisis Pengenaan Pajak Penghasilan Final pada UMKM

Pengaplikasian PP No. 46 Tahun 2013 menunjukkan adanya asumsi Pemerintah yang menggolongkan para pelaku UMKM sebagai golongan Tries dan Supporters dalam konsepsi piramida attitude to compliance yang dikemukakan oleh World Bank. Golongan ini umumnya memiliki kelemahan dalam administrasi perpajakan yang terkadang membuat mereka enggan untuk membayar pajak. Maka perlu adanya kebijakan fiskal yang menuju pada penerapan “assist to comply” dan “make it easy” bagi golongan tersebut. Dengan demikian pelaku UMKM yang umumnya memiliki kemampuan pembukuan atau administrasi rendah dalam perpajakan, tidak perlu menggunakan jasa konsultan pajak, dan mekanisme pembayarannya tidak sulit dengan langsung dibayarkan lewat ATM. Inilah yang kemudian disimpulkan bahwa PP No. 48 Tahun 2013 memenuhi prinsip economics of collection11 atau prinsip efficiency dan prinsip convenience.

Pada realitas penerapan PP No. 48 Tahun 2013 justru menunjukkan hasil kontradiktif dari tujuan awal dibentuk peraturan tersebut. Penolakan dari berbagai kalangan mempertanyakan PPh final khususnya dalam hal tarif 1% yang berpatokan pada perhitungan bruto atau omset UMKM, penentuan ambang batas omzet yang dikenakan pajak (thershold), serta belum adanya kestabilan di kalangan UMKM itu sendiri untuk dikenakan pajak.

Selama pemberlakuan PP No. 48 Tahun 2013 sejak Agustus 2013-September 2014 hanya sekitar Rp. 2 triliun dari peluang sekitar Rp. 30 triliun, dengan perkiraan andil

UMKM terhadap PDB sebesar Rp. 3000 triliun. Alasan yang dikemukan Pemerintah dari evaluasi tiga bulan awal penerapan PP tersebut tak lain karena kekurangan tenaga pemeriksa pajak. Namun perlu diteliti kembali apakah inefektifitas PP diakibatkan kekurangan tenaga pemeriksa pajak semata. Inefektifitas PP tersebut tidak dapat dianggap merupakan akibat kekurangan tenaga pemeriksa pajak semata, tetapi juga harus dilihat dari aspek lain.

Jika hanya merujuk pada konsepsi paham yuridis-formal, maka ketika hukum telah menentukan tingkah perbuatan atau aturan lainnya, maka setiap orang seharusnya berperilaku sesuai yang ditentukan tersebut sebagaimana konsepsi hukum yang diajukan oleh Hans Kelsen dan pendukungnya. 12 Namun kenyataan kontradiktif dengan idealitasnya. Harmonisasi antara subtansi norma PP tersebut, kultur hukum masyarkat, dan struktur hukum harus sejalan agar tujuan hukum itu dapat terlaksana. Ketidakpatuhan masyarakat atau dalam pemahaman perilaku yang bertentangan dengan aturan itu lebih dikarenakan oleh sikap moral masyarakat yang tidak seirama dengan isi ketentuan perundang-undangan tersebut. Sumner mengungkapkan bahwa sikap moral masyarakat itu berada dalam koordinat terdepan dan menjadi penentu berjalannya hukum. Sulit bagi kita untuk mengubah mores tersebut secara besar-besaran dan mendadak. 13 Inilah yang kemudian dapat kita temukan dalam pembentukan PP No. 46 Tahun 2013 tersebut, yang sejatinya bertentangan dengan keinginan banyak kalangan khususnya masyarakat pelaku UMKM. Perlu pula diingat kembali, pembentukan PP No. 46 Tahun 2013 ini juga dianggap mendadak dan tidak tepat mengingat masih belum stabilnya keberadaan UMKM di Indonesia.

Itulah yang kemudian dapat ditemukan dalam subtansi norma dalam PP No. 48 Tahun 2013 tersebut. Mengapa demikian? Jika kita lihat dalam penerapan tarif 1% dari omzet bagi UMKM tidak bisa dipahami kecil. Karena omzet ini dihitung bukan dari hasil keuntungan, karena tidak bisa dijamin jika omzet besar maka pasti keuntungannya besar. Artinya, penerapan PPh final ini tidak mengenal apakah pelaku UMKM berada pada masa untung ataupun rugi. Kelemahan lain dari aturan ini adalah penerapan aturan ini diberlakukan bagi seluruh pelaku UMKM yang memiliki omzet di bawah Rp.4,8M bukan diperuntukkan bag wajib pajak yang terdaftar baru saja. Di sinilah jelas menunjukkan pelanggaran prinsip equality-equity terjadi, dan berpotensi juga melanggar prinsip convenience of payment di lain pihak. Inilah yang menjadi alasan mengapa PP tersebut tidak dapat efektif.

  • 4.    Kesimpulan

Pengaturan mengenai pengenaan PPh Final terhadap UMKM dalam Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2013 yakni Menurut Pasal 2 ayat (1) objek pajak yang dikenai pajak adalah pendapatan dari kegiatan yang dimiliki wajib pajak dengan jumlah penjualan kotor yang tidak melebihi Rp 4,8 Miliar dalam satu masa pajak. Pajak yang terutang dan harus dibayar adalah 1% dari omzet setiap bulan.

Berdasarkan analisis yang sudah dijelaskan tersebut, maka dapat disimpulkan terkiat tanggapan atas pengenaan Pajak Penghasilan Final pada UMKM dalam PP No. 46

Tahun 2013 tentang PPh dari Usaha yang dihasilkan Wajib Pajak yang Memiliki jumlah penjualan kotor Tertentu dimunculkan oleh pemerintah sebagai upaya untuk memaksimalkan pemasukan kas negara dari sektor UMKM yang masih belum terserap secara maksimal. UMKM sebagai golongan wajib pajak yang umumnya memiliki keterbatasan dalam pembukuan maupun administrasi dalam sektor perpajakan, membutuhkan model perpajakan yang tidak menggunakan sistem standard regime melainkan model sistem presumtive regime yang dimunculkan lewat PPh final. Namun pada kenyataannya, pembebanan pajak 1% bagi UMKM yang beromzet Rp. 300jt-Rp. 4,8M tidak terlaksana secara efektif bahkan dapat dianggap gagal. Hal ini dapat dimungkinkan mengingat kemunculan PP tersebut yang terkesan mendadak dan dipaksakan bagi pelaku UMKM yang masih labil. Apalagi pengenaan 1% dari omzet ini dianggap tidak adil karena dibebankan tanpa melihat apakah pelaku UMKM ini berada dalam keadaan untung ataupun rugi, dan juga diberlakukan bagi seluruh pelaku UMKM baik yang sudah terdaftar ataupun wajib pajak UMKM baru.

Daftar Pustaka

Buku

Soemitro, R., & Sugiharti, D. K. (2004). Asas Dan Dasar Perpajakan 1 Edisi Revisi. Bandung: PT. Refika Aditama.

Tanya, L., Bernard, Y. N. S., & Hage, M. Y. (2010). Teori Hukum: strategi Tertib Manusia Lintas Jaman, Yogyakarta.

Pujirahayu, E. W. (2011). Pranata hukum: sebuah telaah sosiologis. Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Jurnal

Al Bram, D. (2017). Fasilitas Perpajakan (Tax Holiday) Pembebasan Atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan Bagi Perusahaan Industri (Kalangan Dunia Usaha) Yang Melakukan Penanaman Modal Di Indonesia. Jurnal Hukum & Pembangunan, 43(1), 134-152. http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol43.no1.1506

Makalalag, L. (2016). Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pengusaha Dalam Transaksi Perdagangan Online (E-commerce). Legal Opinion, 4(1).1-10.

Nabilah, N. N. (2016). Analisis Penerapan Perencanaan Pajak Pph 21 sebagai Upaya Penghematan Beban Pajak Penghasilan Badan (Studi Kasus pada PT Z). Jurnal Mahasiswa Perpajakan, 8(1). 1-8.

Oktapyani N.P, Anggie. (2018), Tinjauan Yuridis Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Kegiatan Endorsement Dalam Media Sosial, Jurnal : Kertha Negara, 4 (3).

Suryani, Putu. (2018), Penyelesaian Permasalahan Penggelapan Pajak Oleh Google Di Indonesia, Jurnal: Kertha Negara, 6 (1).

Tandilino, A. (2016). Penerapan Pajak dalam Meningkatkan Penerimaan Pajak Penghasilan Final Sektor UMKM di Kota Kendari. Jurnal Progres Ekonomi Pembangunan (JPEP), 1(1). 1-14. http://dx.doi.org/10.33772/jpeb.v1i1.867

Yanto, Hari. (2014), Inkonsistensi Hukum Pemberian Fasilitas Keringanan Pajak Bagi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013, Jurnal: Graduate Unpar. 1 (2).

Yanto, H. (2014). Inkonsistensi Hukum Pemberian Fasilitas Keringanan Pajak Bagi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013. E-Journal Graduate Unpar, 1(2), 31-37.

Yusri, Y. (2014). Perlindungan Hukum Terhadap Usaha Mikro, Kecil Dan Menengah Dalam Perspektif Keadilan Ekonomi, Kanun: Jurnal Ilmu Hukum, 16 (1)

Yusri, Y. (2014). Perlindungan Hukum terhadap Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dalam Perspektif Keadilan Ekonomi. Kanun: Jurnal Ilmu Hukum, 16(1), 103-127. .

Peraturan Perundang-undangan

Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 Tentang Pajak Penghasilan dari Usaha Yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu . Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5424

115