JURNAL MAGISTER HUKUM UDAYANA


(i≡≡^^

Vol. 7 No. 3 September 2018

E-ISSN: 2502-3101 P-ISSN: 2302-528x

http: //ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu

Dualisme Judicial Review

Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia

Nanang Al Hidayat1, Mela Sari2

1STIA Setih Setio Muara Bungo, E-mail: [email protected]

2STIA Setih Setio Muara Bungo, E-mail: [email protected]

Info Artikel


Abstract

Masuk: 21 Agustus 2018 Diterima: 28 September 2018

Terbit: 30 September 2018

Keywords:

Dualism; Judicial Power;

Legislation


Based on the provisions of Article 24A paragraph 1 of the 1945 Constitution and Article 24C paragraph 1 of the 1945 Constitution, there is a dualism of judicial institutions authorized to decide the judicial review of conflict of laws and regulations, namely the Supreme Court and the Constitutional Court. This study aims to find out how to regulate the judicial review of legislation in Indonesia. The research method used in this paper is the normative juridical. The results of the study showed that the dualism of statutory regulatory bodies resulted in inconsistencies in providing decisions related to the prevailing laws and regulations in Indonesia. Whereas legislation is arranged hierarchically and has a proportion of certain content material that must be tested consistently in one institution only to provide a legal certainty for the community.

Abstrak

Kata kunci:

Dualisme; Kekuasaan Kehakiman; Perundang-

Undangan


Corresponding Author:

Nanang Al Hidayat, E-mail: [email protected]


DOI:

10.24843/JMHU.2018.v07.i03. p04


Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 24A ayat 1 UUD 1945 dan Pasal 24C ayat 1 UUD 1945 terjadi dualisme lembaga kehakiman yang berwenang memutus judicial review konflik peraturan perundang-undangan yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaturan judicial review peraturan perundang-undangan di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah yuridis normatif. Hasil penelitian menunjukan dualisme lembaga pengujian peraturan perundang-undangan menyebabkan inkonsistensi dalam memberikan putusan terkait permasalahan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Padahal peraturan perundang-undangan itu tersusun secara hirarkis dan mempunyai proporsi materi muatan tertentu sehingga harus diuji secara konsisten dalam satu lembaga saja agar memberikan suatu kepastian hukum bagi masyarakat.


Karena kekuasaan merupakan dasar negara dalam menjalankan fungsinya. Untuk menjalankan kekuasaan dalam rangka menjalankan fungsinya negara harus memiliki instrumen yang bernama hukum. “Hukum, atau yang lebih spesifik lagi peraturan perundang-undangan merupakan produk politik.”1

Hukum digunakan sebagai alat oleh pemerintah suatu negara untuk menerapkan kebijakan-kebijakan publik dalam rangka menyelenggarakan negara, melalui hukum pula negara dapat memaksa masyarakat agar mematuhi apa yang diperintahkannya agar pemerintah dapat melakukan rekayasa sosial kepada masyarakat. Sehubungan dengan itu Hans Kelsen2 mengatakan “keberadaan negara, setiap tindakannya, hanya bisa muncul sebagai sebuah tindakan hukum, sebagai tindakan menciptakan atau menerapkan norma-norma hukum”. Oleh karena itu, hukum memiliki kedudukan yang sangat penting dalam suatu negara.

Antara satu negara dengan negara lain hukum ditafsirkan secara berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi oleh sejarah tiap-tiap negara, ideologi negara dan konstitusinya, kebutuhan masyarakat, dan konfigurasi politik penguasa. Inilah yang menyebabkan perbedaan dalam hukum ada hukum yang otoriter, dan ada pula hukum yang demokratis. Pilihan karakter hukum inilah yang dituangkan ke dalam konstitusi suatu negara dan menjadi hukum tata negara pada tiap-tiap negara.

Sehubungan dengan konstitusi Harjono mengatakan “dalam konstitusi negara modern ditetapkan di dalamnya hak-hak warga negara, dan oleh karenanya hak-hak tersebut diatur dalam konstitusi maka statusnya menjadi hak-hak konstitusi warga negara yang secara subtantif harus ditegakkan pula oleh peradilan tata negara”3

Indonesia sebagai negara hukum, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya disebut UUD 1945 yang secara eksplisit menentukan bahwa “Indonesia adalah negara hukum”. Sebagai negara hukum sudah menjadi suatu keharusan semua unsur dalam praktek penyelenggaraan negara di Indonesia harus tunduk kepada hukum yang berlaku baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis.

Dalam rangka penyelenggaraan negara, sebuah negara harus memiliki hukum dasar yang disebut konstitusi bisa tertulis bisa juga tidak tertulis, konstitusi tidak tertulis disebut konvensi. Indonesia sudah memiliki konstitusinya yaitu UUD 1945 yang lahir bersamaan dengan kemerdekaan negara Indonesia dan sudah mengalami amandemen sebanyak empat kali berturut-turut yaitu tahun 1999 sampai dengan tahun 2002 setelah reformasi.

Banyak perubahan mendasar yang terjadi dalam UUD 1945 tersebut, salah satunya adalah pengaturan mengenai kekuasaan kehakiman. UUD 1945 pasca amandemen menentukan bahwa ada dua lembaga yang berwenang dalam melakukan uji materi

(judicial review) peraturan perundang-undangan. Adapun tujuan dari pengujian peraturan perundang-undangan menurut Machmud Aziz adalah untuk memperbaiki, mengganti, atau meluruskan isi dari undang-undang agar tidak bertentangan dengan UUD 1945 (konstitusi) atau peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang agar tidak bertentangan dengan undang-undang atau UUD.4

Dalam perspektif konstitusi menurut Janpatar Simamora5 “dianutnya sistem judicial review adalah merupakan suatu bentuk dan upaya penguatan konsep negara hukum yang menempatkan konstitusi sebagai hukum tertinggi”.

Dalam Pasal 24C ayat 1 UUD 1945 secara eksplisit diatur bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar. Sedangkan dalam Pasal 24A ayat 1 UUD 1945 dinyatakan bahwa Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Jika dilihat secara kewenangan ada dua lembaga yang berwenang dalam menangani konflik peraturan (perundang-undangan).

Penulis menilai, ini merupakan suatu permasalahan karena dengan dualisme lembaga pengujian peraturan perundang-undangan menyebabkan inkonsistensi dalam memberikan putusan terkait permasalahan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Padahal peraturan perundang-undangan itu tersusun secara hirarkis dan mempunyai proporsi materi muatan tertentu sehingga harus diuji secara konsisten dalam satu lembaga saja. Oleh karena itu, inilah alasan pentingnya hal ini untuk diteliti lebih dalam. Berdasarkan latar belakang di atas permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaturan judicial review peraturan perundang-undangan di Indonesia? Sedangkan tujuan dilakukannya penelitian ini untuk mengetahui bagaimana pengaturan judicial review peraturan perundang-undangan di Indonesia.

  • 2.    Metode Penelitian

Dalam penelitian penulisan karya ilmiah ini, tipe penelitian yang digunakan adalah penelitan yuridis normatif. Dipilihnya tipe penelitian ini ditujukan guna mendapat hal-hal yang bersifat teoritis, prinsip, konsepsi, doktrin. Pendekatan yang digunakan adalah Pendekatan konseptual (conceptual approach) dan Pendekatan perundang-undangan (Statuta Approach).

Adapun teknik pengumpulan bahan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan cara menggunakan system kartu (card system). Digunakan sistem ini adalah untuk mempermudah menganalisis bahan-bahan hukum yang dimaksud. Bahan-bahan hukum itu meliputi bahan primer berupa : Undang-Undang Dasar RI 1945,

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang mahkamah Konstitusi dan bahan peraturan lainnya yang dipergunakan dalam rangka mempertajam analisis yang kaitannya dengan subtansi rumusan masalah tersebut di muka; Bahan sekunder yaitu : bahan yang memberikan penjelasan atas bahan primer, berupa: hasil-hasil penelitian yang berhubungan permasalahan dalam penelitian, dan pendapat ahli/pakar ilmu hukum khususnya hukum tata negara/hukum pemerintahan dan bidang lainnya yang berhubungan baik dalam bentuk buku, tesis, makalah, dan jurnal; Bahan tersier yaitu bahan yang dapat memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan primer dan sekunder, berupa : kamus bahasa Indonesia dan kamus hukum.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan hasil amandemen ke 3 UUD 1945 politik hukum di bidang peradilan dan kekuasaan kehakiman di Indonesia mengalami perubahan. Kalau dulu kekuasaan kehakiman hanya diletakan berpuncak pada Mahkamah Agung, sekarang puncak kekuasaan kehakiman ada dua yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Sehubungan dengan hal di atas Mahfud MD6 mengatakan “secara sederhana dapat dikatakan bahwa Mahkamah Agung memegang kekuasaan kehakiman dalam perkara konvensional, sedangkan Mahkamah Konstitusi memegang kekuasaan kehakiman dalam perkara ketatanegaraan”.

Dalam Pasal 24A ayat 1 UUD 1945 diatur secara eksplisit bahwa “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan kewenangan lainnya yang diberikan oleh undang-undang”. Selanjutnya dalam Pasal 24 ayat 2 UUD 1945 ditentukan bahwa “kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Mengenai kewenangan Mahkamah Agung ini diatur lagi dalam Pasal 31 ayat 1 Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yaitu “Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang”.

Selanjutnya, dalam Pasal 24C ayat 1 UUD 1945 mengatur pula secara eksplisit bahwa “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”. Kewenangan Mahkamah Konstitusi ini diatur lagi dalam Pasal 10 ayat 1 a Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yaitu “menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945”.

Berdasarkan ketentuan di atas, dapat dilihat bahwa dalam Pasal 24A ayat 1 poin 1 Mahkamah agung berwenang menguji konflik peraturan yaitu peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Sedangkan dalam Pasal 24C ayat 1 Mahkamah Konstitusi juga berwenang menguji konflik peraturan yaitu berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar. Ini menunjukan terjadi dualisme lembaga yang berwenang menguji konflik peraturan perundang-undangan.

Sementara di sisi lain, menurut ketentuan Pasal 24 ayat 2 UUD 1945 “kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Jika disandingkan dengan kewenangan lain yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi menurut Pasal 24C ayat 1 yaitu “memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum” tampak terjadi juga dualisme kelembagaan yang berwenang memutus sengketa antar orang/lembaga.

Mengenai dualisme yang terjadi terhadap lembaga yang berwenang melakukan judicial review terhadap peraturan perundang-undangan di Indonesia dirasa kurang tepat karena penyusunan secara hirarkis itu bersifat ketat menentukan derajat masing-masing peraturan perundang-undangan dan isi setiap peraturan perundang-undangan yang secara hirarkis ada di bawahnya tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang secara hirarkis ada di atasnya karena peraturan perundang-undangan itu harus memiliki suatu singkronisasi dan harmonisasi mulai dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah.

Pendapat ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Mahfud MD7 yang mengatakan bahwa “peraturan perundang-undangan itu tersusun secara hirarkis dan mempunyai proporsi materi muatan tertentu”. Mahfud MD8 juga mengatakan “idealnya, dua lembaga kekuasaan kehakiman mempunyai rumpun atau garis kompetensi yang tegas yakni yang satu mengurus konflik atau perkara-perkara antar orang/lembaga, sedangkan yang lainnya mengurusi konflik antar peraturan perundang-undangan”. Dalam kesempatan lain Mahfud MD9 mengatakan ada dua catatan tentang persilangan kewenangan ini :

  • 1.    Idealnya Mahkamah Konstitusi berfungsi untuk menjamin konsistensi semua peraturan perundang-undangan sehingga lembaga ini hanya memeriksa konflik peraturan perundang-undangan mulai dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah derajatnya. Oleh sebab itu, kewenangan uji materi peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang lebih ideal jika diberikan kepada Mahkamah Konstitusi dengan ide ini maka konsistensi dan

singkronisasi semua peraturan perundang-undangan secara linear ada di satu lembaga yaitu Mahkamah Konstitusi.

  • 2.    Idealnya Mahkamah Agung berwenang menangani semua konflik peristiwa antar person dan/atau antar rechtperson sehingga masalah hasil pemilu atau pembubaran parpol dan sebagainya dijadikan kewenangan Mahkamah Agung, dan Mahkamah Agung dibebaskan dari kewenangan menguji materi peraturan perundang-undangan.

Di samping itu, Janpatar Simamora10 berpendapat “penyerahan kewenangan judicial review kepada Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi akan menyisakan kerumitan lain dalam perkara judicial review yang tidak bertentangan secara langsung terhadap peraturan setingkat di atasnya, namun bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dengan peraturan di tingkat atasnya”.

Selain itu Anna Triningsih11 mengatakan “salah satu di antara prinsip turunan dari hierarki hukum terkait dengan pengujian ini adalah bahwa peraturan yang lebih tinggi merupakan ukuran validitas bagi peraturan yang lebih rendah.” Artinya, peraturan perundang-undangan merupakan satu kesatuan yang saling terintegrasi satu sama lain. Oleh karena itu, harus diuji pula oleh satu lembaga agar terjaga konsistensinya.

Di sisi lain Achmad dan Mulyanto12 mengatakan “adanya dua lembaga pengujian peraturan perundang-undangan yang berbeda akan menimbulkan problematika konseptual dalam pelaksanaannya. Hal ini disebabkan, tidak ada lembaga tertinggi untuk mengawal dan menegakkan konstitusi. Teori hirarki norma dan asas pembentukan peraturan perundang-undangan tidak sepenuhnya bisa dilakukan diimplementaskan secara integral. Mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar belum ada pijakan hukumnya, sehingga menimbulkan kekosongan hukum.” Selanjutnya Ahmad dan Mulyanto13 juga mengatakan “adanya dualisme kewenangan judicial review oleh dua lembaga Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi secara empiris cepat atau lambat dapat menimbulkan konflik kelembagaan antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi”.

Sejalan dengan hal tersebut benarlah yang dikatakan Ni’matul Huda 14 bahwa “pembagian tugas di bidang pengujian peraturan (judicial review) atas peraturan perundang-undangan antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sama sekali tidak ideal. Sebab dapat menimbulkan perbedaan atau putusan yang saling bertentangan antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung”

Argumen ini semakin diperkuat oleh pendapat Maruarar Siahaan15 yang mengatakan “pembagian kewenangan pengujian seperti yang ditentukan dalam UUD 1945 dalam praktek menimbulkan kesulitan dalam upaya menjaga keutuhan sistem hukum yang berlaku, karena secara teoritik maupun empirik ada kemungkinan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, tidak bertentangan dengan undang-undang yang menjadi sumber validitasnya, tetapi jikalau dilihat dan diuji kepada konstitusi peraturan tersebut tidak sesuai atau inkonsisten dan bahkan bertentangan.”

Selain itu, pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang di Mahkamah Agung justru menimbulkan permasalahan tersendiri. Jika merujuk pada Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materil, bahwa Mahkamah Agung dalam memutus sebuah peraturan perudnang-undangan yang sedang diujikan dinyatakan tidak sah atau tidak tidak berlaku untuk umum, dan memerintahkn instansi yang bersangkutan untuk mencabutnya. Dari Peraturan Mahkamah Agung tersebut tentu saja berpotensi untuk menimbulkan konflik antara putusan Mahkamah Agung dengan pemerintah daerah yang bersangkutan jika pencabutan tidak dilaksanakan. Sehingga, putusan Mahkamah Agung dalam kewenangan uji materil justru menjadikan proses hukum berjalan lambat, sebab melibatkan lembaga eksekutif yang bukan pihak berwenang dalam bidang yustisial untuk turut mencabut peraturan hukum yang dinyatakan tidak sah atau tidak berlaku.

Masalah lain dari pengujian peraturan perundang-undangan di dua atap terlihat dari Pasal 55 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 jo Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampi ada putusan Mahkamah Konstitusi. Pasal ini justru menjadikan kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan menjadi tumpang tindih antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.

Dari uraian di atas dapat dicontohkan, bila suatu peraturan daerah atau peraturan pemerintah tidak bertentangan dengan undang-undang, namun justru bertentangan langsung dengan UUD 1945, akan terjadi kebingungan karena tidak jelas lembaga yang berwenang menyelesaikannya. Kalau persoalan demikian diajukan ke Mahkamah Agung, maka sesuai dengan kewenangannya bahwa alat uji yang digunakan adalah undang-undang. Sementara peraturan yang hendak diuji justru tidak bertententangan dengan undang-undang terkait.

Dengan demikian, maka dapat dipastikan bahwa Mahkamah Agung tidak akan mengabulkan permohonan judicial review dimaksud. Kalaupun diajukan ke Mahkamah Agung dan kemudian Mahkamah Agung menerimanya dengan mengambil alat uji undang-undang sebagai peraturan tingkat atasnya, maka dapat dipastikan Mahkamah Agung akan memberikan pertimbangan sesuai dengan ketentuan undang-undang terkait. Padahal sudah jelas bahwa perkara yang hendak dilakukan judicial review justru bukan bertentangan dengan undang-undang, namun bertentangan dengan UUD 1945.

Sementara bila diajukan ke Mahkamah Konstitusi maka dapat dipastikan bahwa Mahkamah Konstitusi juga akan menolak permohonan yang dimaksud karena persoalan yang diajukan bukan bagian dari kewenangan Mahkamah Konstitusi. Karena Mahkamah Konstitusi hanya berwenang menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar.

Dari sisi historis lahirnya mahkamah konstitusi, Jimly Assiddiqie mengatakan Mahkamah Agung diberikan kewenangan untuk mengambil keputusan berkenaan dengan perkara-perkara yang menyangkut keadilan bagi warga negara, sedangkan Mahkamah Konstitusi merupakan pengadilan yang menjaga tegaknya hukum, tertib aturan mulai dari kontitusi sampai peraturan-peraturan di bawahnya.16 Artinya, sejak awal pemisahan ruang lingkup kewenangan Mahkamah Konstitusi dari Mahkamah Agung diproyeksikan agar Mahkamah Konstitusi menjadi lembaga negara yang khusus menangani masalah peraturan perundang-undangan mulai dari UUD sampai yang terendah, hal ini dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum dan menjaga konsistensi dalam judicial review peraturan perundang-undangan di Indonesia. Namun politik hukum finalnya masih menyisakan kejanggalan karena di Mahkamah Agung masih ada kewenangan terkait uji materil peraturan perundang-undangan yaitu peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang yang seharusnya berdasarkan teori hukum lebih pantas menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi.

Oleh karena itu, maka idealnya pengujian materi oleh lembaga yudikatif (judicial review) untuk semua tingkatan hirarki dilakukan oleh satu lembaga saja agar konsistensi pemikiran dan isi dari semua peraturan perundang-undangan tersebut lebih terjamin dan terwujud singkronisasi dan harmonisasi antar peraturan perundang-undangan mulai yang paling tinggi sampai yang paling rendah. Karena menurut Mahfud MD17 “idealnya Mahkamah Konstitusi menangani konflik peraturan dalam semua tingkatan, sedangkan Mahkamah Agung menangani konflik orang/lembaga pada semua tingkatan”. Dengan kata lain, Mahkamah Konstitusi menangani konflik pengaturan abstraknya, sedangkan Mahkamah Agung menangani kasus kongkritnya. Pendapat lain yang juga mendukung argumentasi di atas yaitu Sutjipto 18 yang mengatakan bahwa “hak uji di mana-mana tersentralisasi di satu mahkamah, tidak di dua mahkamah.” Pendapat ini semakin diperkuat oleh pernyataan Frans F.H. Matrutty 19 bahwa “hak uji materi ini haruslah menjadi kewenangan dari Mahkamah Konstitusi dengan tujuan agar aturan hukum diuji konstitusionalismenya atau sebagai wujud penjagaan constitusional of law.”

Faktanya, UUD 1945 hasil amandemen menyebar kompetensi tersebut secara silang sehingga Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung sama-sama menangani dan mempunyai kompetensi atas konflik pengaturan dan konflik orang/lembaga meski

dalam batas-batas yang sudah jelas yang mana pengaturan tersebut dapat dilihat dalam Pasal 24A ayat 1 UUD 1945 dan Pasal 24C ayat 1 UUD 1945.

Terlepas berbagai pendapat baik itu setuju atau tidak setuju dengan pengaturan tersebut perlu dipahami hukum tata negara adalah apa yang tertulis dalam konstitusi suatu negara yang harus diterima sebagai resultante atau hasil kesepakatan pembuat kebijakan sesuai dengan situasi politik, ekonomi, sosial, dan budaya pada saat dibuat. Karenanya, pengaturan seperti itu tidaklah salah, karena sebagai kesepakatan isi konstitusi itu adalah pilihan dan kesepakatan politik tanpa harus mengikuti atau tidak mengikuti teori atau sistem yang berlaku di negara-negara lain. Karena Mahfud MD20 mengatakan “isi konsitusi itu tidak terkait dengan soal ‘benar dan salah’ atau soal ‘baik dan jelek berdasarkan teori-teori atau hukum tata negara yang berlaku di negara lain, karena isi konstitusi itulah yang berlaku sebagai landasan hukum tata negara yang harus dilaksanakan”.

Selama resultante tersebut dirumuskan dengan prosedur dan mekanisme yang benar sesuai aturan maka itu semua harus dijalankan dengan baik sambil menunggu agendaagenda politik hukum untuk mengamandemen lagi disesuaikan dengan situasi politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang berkembang di masyarakat. Oleh sebab itu, dengan tetap teguh melaksanakan UUD 1945 yang berlaku sekarang, gagasan menyempurnakan wewenang pengujian yudisial itu dapat ditawarkan lagi jika suatu saat ada lagi amandemen lanjutan atas UUD 1945 untuk disempurnakan dan diisi dengan resultante baru.

4. Kesimpulan

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam Pasal 24C ayat 1 UUD 1945 secara eksplisit diatur bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar. Sedangkan dalam Pasal 24A ayat 1 UUD 1945 dinyatakan bahwa Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Jika dilihat secara kewenangan ada dua lembaga yang berwenang dalam menangani konflik peraturan (perundang-undangan). Padahal idealnya, pengujian materi (judicial review) oleh lembaga yudikatif untuk semua tingkatan hirarki peraturan perundang-undangan dilakukan oleh satu lembaga saja agar konsistensi pemikiran dan isi dari semua peraturan perundang-undangan tersebut lebih terjamin dan terwujud singkronisasi dan harmonisasi antar peraturan perundang-undangan mulai yang paling tinggi sampai yang paling rendah sehingga disarankan perlu dilakukan amandemen lanjutan UUD 1945 terhadap ketentuan mengenai kewenangan Mahkamah Agung dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi khususnya terkait hak uji materil peraturan perundang-undangan untuk mengatasi permasalahan dualisme judicial review pengujian peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Daftar Pustaka

Buku

Kelsen, H. (2009). Pengantar Teori Hukum” diterjemahkan oleh Siwi Purwandari”. Bandung: Nusa Media.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, (2008), Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2000; Buku VI Kekuasaan Kehakiman. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.

Mahfud, M. D. (2010). Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca amandemen Konstitusi, cetakan kedua. Jakarta: Kencana.

Moh. Mahfud M. D. (2009). konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu. Jakarta: Rajawali Pers.

Moh. Mahfud M. D. (2009). Politik Hukum di Indonesia. Jakarta Utara: PT. Rajagrafindo Persada.

Artikel Jurnal

Achmad dan Mulyanto, (2013), Problematika Pengujian Peraturan Perundang-Undangan (Judicial Review) pada Mahkamah Agung dan Mahkamah Konsititusi, Jurnal Yustisia, 2 (1). 57-65. http://dx.doi.org/10.20961/yustisia.v2i1.11070

Aziz, M. (2010). Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Dalam Sistem Peraturan Perundang-Undangan Indonesia. Jurnal Konstitusi,   7(5),   113-150.

https://doi.org/10.31078/jk%25x

Harjono, S. H., & MCL, D. (2012). Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia. Jurnal Legislasi Indonesia, 4(3).

Huda, N. M. Urgensi Judicial Review Dalam Tata Hukum Indonesia. Ius Quia Iustum Law Journal, 15(1). 101-120. https://doi.org/10.20885/iustum.vol15.iss1.art5

Mahfud MD, (2010), Mengawal Arah Politik Hukum Dari Prolegnas Sampai Judicial Review, http://www.mahfudmd.com/public/makalah/makalah_pdf.

Siahaan, M. (2010). Uji Konstitusionalitas Peraturan Perundang-Undangan Negara Kita: Masalah dan Tantangan. Jurnal Konstitusi, 7(4), 9-48.

Simamora, J. (2013). Analisa Yuridis Terhadap Model Kewenangan Judicial Review Di Indonesia. Mimbar Hukum-Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 25(3), 388401. https://doi.org/10.22146/jmh.16079

Triningsih, A. (2016). Politik Hukum Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Dalam Penyelenggaraan Negara. Jurnal  Konstitusi,   13(1),   124-144.

https://doi.org/10.31078/jk1316

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Lembaran Negara Nomor 157 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 5076.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial. Lembaran Negara Nomor 106 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 5250.

328