Pelaksanaan Kewajiban PPAT dalam Memberikan Jasa Tanpa Memungut Biaya Kepada Seseorang yang Tidak Mampu

Eva Rahayu1, Muktiono2, Hendrarto Hadisuryo3

1Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, E-mail: [email protected] 2Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, E-mail: [email protected] 3Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, E-mail: [email protected]

Info Artikel

Masuk: 28 Agustus 2023 Diterima: 15 Oktober 2023

Terbit: 30 Desember 2023

Keywords:

Implementation; Someone who is incapable; Services without charge; Land Deed Making Official (PPAT).


Kata kunci:

Pelaksaan; Seseorang yang tidak mampu; Jasa tanpa memungungut biaya; Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

Corresponding Author:

Eva Rahayu, E-mail : [email protected]


Abstract

PPAT and Temporary PPAT are required to provide services without charging a fee to someone who cannot afford it in making Authentic Deeds regarding land rights or Rights of Ownership to apartments units as evidence of specific legal actions. The strength of the Authentic Deed becomes conclusive evidence for those involved, and hence, if a party raises objections, it can be proven in court. In legal existing and interpreting the legal norms governed by these regulations, multiple interpretations and uncompleted regulations can be produced regarding the intended criteria and the completeness of the required document for the involved parties. Therefore, the application for PPAT in fulfilling their obligations depends on each of them involving their standardization, as this is not regulated in the existing regulations. Hence, the next question is how far this regulation can be implemented, considering the legal subjects targeted by this regulation are less privileged or those who are unable to pay. The purpose of this research is to address the implementation of PPAT in carrying out their duties. This research analyzed the relevant regulations, literature, and conduct interviews with PPAT. This research uses a normative legal research method using a Statute Approach and a Conceptual Approach. The results of this research showed a misinterpretation in its implementation that is influenced by two factors: the absence of standardized criteria to determine an individual’s inability, and requirements specified are not sufficiently accurate to guarantee the validity.

Abstrak

PPAT dan PPAT Sementara wajib memberikan jasa tanpa memungut biaya kepada seseorang yang tidak mampu dalam hal membuat Akta Autentik mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun sebagai bukti telah dilakukannya suatu perbuatan hukum tertentu. Kekuatan Akta Autentik yang dihasilkan merupakan pembuktian sempurna bagi para pihak, sehingga apabila suatu pihak mengajukan keberatan dapat dibuktikan dalam meja pengadilan. Dengan kondisi hukum (legal existing) yang mengatur, penafsiran dari Norma hukumnya yang diatur dalam peraturan-peraturan tersebut dapat menimbulkan multitafsir serta ditemukan ketidaklengkapan peraturan baik

DOI:

10.24843/JMHU.2023.v12.i0

4.p15


dalam hal kriteria yang dituju maupun kelengkapan persyaratan dokumen yang diperlukan bagi pihak yang berkepentingan. Maka penerapannya bagi Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam menjalankan kewajibannya tergantung dari yang bersangkutan dengan menerapkan standarisasi berdasarkan versinya karena hal tersebut tidak diatur dalam peraturan yang berlaku. Sehingga yang menjadi pertanyaan selanjutnya sejauh mana peraturan ini dapat terlaksana, mengingat sasaran yang menjadi subjek hukum dalam peraturan tersebut ialah Masyarakat/Seseorang yang tidak mampu. Tujuan penelitian ini untuk menjawab terkait bagaimana pelaksanaan kewajiban Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam menjalankan kewajibannya, penelitian ini diarahkan untuk menganalisis peraturan terkait, literatur, serta melakukan wawancara dengan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif. Dari hasil penelitian pada pelaksanaanya terdapat kesalahan penafsiran yang dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu; tidak ada standar baku untuk menentukan kriteria seseorang tidak mampu; persyararatan yang ditentukan tidak cukup akurat untuk menjamin kebenarannya;

  • I.    Pendahuluan

Pada pelaksanaan administrasi pertanahan dan pendaftaran tanah yang telah tercatat di Kantor Pertanahan harus sesuai dengan keadaan atau status sebenarnya mengenai bidang tanah yang terkait, baik yang menyangkut data fisik mengenai bidang tanah, maupun mengenai hubungan hukum yang menyangkut bidang tanah itu, atau data yuridis, khususnya terhadap pencatatan perubahan data yuridis yang sebelumnya sudah tercatat, maka dari itu disini peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sangatlah penting. Berdasarkan ketentuan di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, peralihan dan pembebanan hak atas tanah hanya dapat didaftarkan apabila hal tersebut telah dibuktikan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

Fungsi Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta pemindahan hak atas tanah, pembebanan hak atas tanah, dan akta-akta lain yang diatur dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membantu Kepala Kantor Pertanahan dalam melaksanakan pendaftaran tanah dengan membuat akta-akta yang akan dijadikan dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah.1 Hal ini ditegaskan dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah. Mengingat fungsi Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang cukup besar dalam bidang pelayanan masyarakat dan peningkatan sumber penerimaan negara yang kemudian akan merupakan pendorong untuk peningkatan pembangunan nasional, sebagaimana telah

dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peratumn Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, “PPAT merupakan pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.2 Sejalan dengan ketentuan tersebut maka Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dipercaya untuk mengatasi permasalahan-permasalahan hukum dan menciptakan kepastian hukum.

Hal ini juga ditegaskan dalam konstitusi Negara Republik Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang dimana Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum, prinsip negara hukum menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan. Kedudukan manusia dalam hukum sangat erat hubungannya dengan hak asasi yang dimiliki oleh manusia itu sendiri.3 Hak Asasi Manusia adalah hak dasar atau hak pokok yang merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa secara kodrati dianugerahi hak dasar tersebut, tanpa perbedaan antara satu dengan yang lainnya, tanpa membedakan jenis kelamin, warna kulit, kebangsaan, agama, usia, politik, status sosial, bahasa dan status lainnya. Hak asasi ini menjadi dasar hak dan kewajiban lainnya.4

Mengingat tujuan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah ialah untuk menciptakan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi Masyarakat dalam wilayah hukum privat, Negara menempatkan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sebagai Pejabat Umum untuk membuat Akta Autentik mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun sebagai bukti telah dilakukannya suatu perbuatan hukum tertentu.5 Sebagai seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang merupakan Pejabat Umum yang menjalankan jabatannya secara profesional, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) tidak hanya membuat akta autentik akan tetapi Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) memberikan penyuluhan hukum kepada klien atau penghadap, dalam memberikan penyuluhan hukum tersebut Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) memperhatikan berbagai aspek hukum maupun kaidah-kaidah sosial yang berlaku supaya dalam pembuatan akta nantinya tidak menimbulkan permasalahan hukum dikemudian hari.6

Dalam memberikan penyuluhan hukum tersebut Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) tidak boleh membeda-bedakan status sosial, ekonomi maupun status politik penghadap, semua harus diperlakukan sama, hal ini demi menjunjung tugas seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang mengemban amanat dari negara dan juga demi menjaga kehormatan jabatan seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) agar tetap profesinal dalam menjalankan tugas jabatannya.

Pada dasarnya Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) tidak boleh menolak setiap klien yang datang untuk melakukan perbuatan hukum, hal ini diatur dalam Pasal 32 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, menyebutkan bahwa “PPAT dan PPAT Sementara wajib memberikan jasa tanpa memungut biaya kepada seseorang yang tidak mampu.” Pasal tersebut menunjukkan bahwa seseorang yang tidak mampu atau masyarakat tidak mampu dapat diberikan jasa tanpa adanya pungutan biaya oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Adanya aturan tersebut sedikit memberikan kelonggaran kepada Masyarakat yang tidak mampu untuk mendapatkan keadilan yang sama di depan hukum.7

Namun jika diamati dengan saksama dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah tidak mengatur lebih lanjut ataupun memberikan penjelasan secara rinci mengenai “seseorang yang tidak mampu” sebagaimana yang dimaksud, sehingga menjadi pertanyaan sejauh mana pengaturan terkait batasan diberlakukannya pada subyek hukum dalam Pasal 32 Ayat (2) mengenai “seseorang yang tidak mampu” yang dapat dikatakan tidak mampu untuk diberikan jasa tanpa memungut biaya. Tidak adanya kriteria-kriteria yang menjadi standarisasi tersebut menjadi tembok bagi seseorang yang tidak mampu untuk menghadap ke Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Makna yang terkadung dalam pasal 32 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah perlu diperjelas, sehingga tidak menimbulkan multitafsir dari yang berkepentingan akibatnya akan merugikan ke Masyarakat serta juga tidak tersampainya amanat dari Peraturan tersebut dalam menjamin keadilan yang sama rata. Pada penjelasan umum dalam lampiran Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah juga tidak ada penjelasan lebih lanjut, Norma hukum seharusnya menjadi alat untuk menjamin keadilan dan mendapat kepastian terhadap perlindungan hukum bagi Masyarakat yang tidak mampu. Sesuai amanat dalam Pasal 34 UUD Tahun 1945 mengamanatkan kewajiban Negara antara lain: “Ayat (1)     : Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara;

Ayat (2)     : Negara mengembangkan sistim jaminan sosial bagi seluruah

rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan;

Ayat (3)     : Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan

kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.”

Untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar warga Negara, serta untuk menghadapi tantangan dan perkembangan kesejahteraan sosial di tingkat lokal maupun Nasional, sesuai dengan amanat UUD tahun 1945 bahwa Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan umum yang layak, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sebagai profesi pejabat umum, mengingat fungsi Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang cukup besar dalam bidang pelayanan masyarakat serta salah satu kewajibannya untuk memberikan jasa tanpa memungut biaya kepada “seseorang yang tidak mampu”. Sehingga pelaksanaan dari kewajiban tersebut dapat berjalan sebagaimana mestinya menjadi harapan bersama apabila dapat diformulasikan terkait standarisasi pelaksanaannya seperti peraturan-peraturan lainnya yang telah diuraikan diatas.

Berangkat dari hal tersebut Pasal 32 Ayat (2) menimbulkan kekaburan hukum, hal ini akan memicu multitafsir bagi yang berkepentingan. Pasal yang mengatur tidak cukup kuat untuk diberlakukannya kewajiban itu karena tidak ada standarisasi serta ketentuan yang spesifik diatur didalamnya. Akhirnya ketentuan dan syarat yang ditujukan kepada “seseorang yang tidak mampu” hanya berdasarkan pada subyektif dari Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) itu sendiri, hal ini bisa saja digunakan oleh oknum-oknum Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) untuk menghindari kewajibannya kepada “seseorang yang tidak mampu” dengan memberlakukan ketentuan dan syarat menurut versinya sendiri. Berdasarkan uraian tersebut, maka permasalahan dalam penelitian ini ialah Bagaimana Pelaksanaan Kewajiban Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam Memberikan Jasa Tanpa Memungut Biaya kepada Seseorang yang Tidak Mampu ?

Tujuan penelitian ini untuk menjawab terkait bagaimana pelaksanaan kewajiban Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam menjalankan kewajibannya, penelitian ini diarahkan untuk menganalisis peraturan terkait, literatur, serta melakukan wawancara dengan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Berdasarkan Penelusuran yang dilakukan penulis pada penelitian terdahulu yang berkaitan dengan tema penelitian penulis, terdapat persamaan dan perbedaan yaitu Penelitian yang ditulis oleh Purwaning Rahayu Sisworini, Abdul Majid, dan Herman Suryokumoro, berjudul Penerapan Honorarium PPAT Sebagai Upaya Untuk Penyetaraan Pelayanan (Studi Kasus di Kota Malang)8, memiliki persamaan mengenai Honorarium Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Sementara perbedaannya, pada penelitian yang ditulis oleh Purwaning Rahayu Sisworini, Abdul Majid, dan Herman Suryokumoro menekankan pada pelaksanaan Pasal 32 ayat (1) terkait honorarium Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sebagai upaya untuk penyetaraan pelayanan dan faktor yang mempengaruhi pelaksanaan honorarium PPAT sebagai upaya untuk penyetaraan pelayanan.

Dari penelitian sebelumnya diatas mempunyai fokus penelitian yang berbeda dengan penelitian penulis, selain itu dari perbandingan diatas menunjukan penelitian yang dilakukan penulis saat ini belum pernah ditulis oleh mahasiswa lainnya. Penelitian ini di

dasarkan pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, yang dimana ruang lingkup penelitian ini mengenai kewajiban serta kewenangan dari Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Subyek penelitian penulis sendiri adalah penghadap atau “seseorang yang tidak mampu” yang membutuhkan layanan jasa dibidang pertanahan atau satuan atas rumah susun. Selain itu fokus penelitian ini menganalisis dari aspek kepastian, fisibilitas, dan perlindungan hukumnya yang diberikan oleh Negara kepada seseorang yang tidak mampu. Dengan itu analisis penelitian ini menekankan terhadap Urgensi dan Relevansi atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, penelitian ini diarahkan untuk menganalisis Kepastian hukum yang menjamin terpenuhinya hak Masyarakat tidak mampu dalam memperoleh keadilan, hal ini dilakukan guna melihat bentuk perlindungan hukum bagi Masyarakat tidak mampu dalam memperoleh jasa layanan hukum dibidang pertanahan atau satuan rumah susun tanpa pungutan biaya atau gratis.

  • 2.    Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian hukum Normatif, yaitu dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan kepustakaan. Penelitian ini dilakukan atau ditujukan pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain, serta dapat dilakukan studi perpustakaan ataupun studi dokumen. Tahapan dalam melakukan penelitian hukum normatif meliputi dua tahap, yang pertama adalah membuktikan apakah penelitian hukum ini merupakan penelitian hukum atau bukan, yang selanjutnya ditujukan untuk mendapatkan hukum objektif, yaitu dengan mengadakan penelitian terhadap suatu masalah hukum. Tahap yang kedua adalah tahap penelitian, yang ditujukan untuk mendapatkan hukum subjektif (hak dan kewajiban).9

Pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan Perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach). Statute approach merupakan pendekatan yang mendasarkan pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku yang kaitannya dengan permasalahan yang dibahas, dilakukan dengan menelaah semua peraturan perundang-undangan dan regulasi yang bersangkutan dengan isu hukum penelitian ini.10

Pendekatan konseptual (conceptual approach), beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum.11 Bahan-bahan yang diperoleh dianalisa dengan menggunakan metode normatif akualitatif. Secara normatif karena penelitian dalam penulisan penelitian ini berfokus pada peraturan-peraturan yang ada

sebagai hukum positif, dan secara akualitatif karena merupakan analisis bahan hukum yang berasal dari hasil penelusuran bahan Pustaka.

Dalam penelitian ini menggunakan bahan hukum Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, Bahan-bahan hukum primer terdiri atas perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Peraturan perundang-undangan yang diurut berdasarkan hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia. Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang mendukung dan memperkuat bahan hukum primer. Memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang ada sehingga dapat di lakukan analisa dan pemahaman yang lebih mendalam sehingga adanya penguatan atas dasar hukum menghasilkan analisa hukum yang baik. Bahan hukum tersier merupakan bahan pelengkap yang sifatnya memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Adapun bahan hukum tersier yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia yang di akses melalui https://kbbi.web.id dan Kamus Hukum yang ditulis oleh Drs. M. Marwan, S.H. dan Jimmy P. S.H. Pada penelitian ini menggunakan Teknik analisis bahan hukum Teknik Deskripsi, Teknik Interpretasi, Teknik Evaluasi, dan Teknik Analisis Norma.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1.    Kepastian Hukum Pelaksanaan Kewajiban PPAT Dalam Memberikan Jasa Tanpa Memungut Biaya Terhadap “Seseorang Yang Tidak Mampu”

      • 3.1.1.    Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Pada PP 24/2016 diatur dalam Pasal 32 Ayat (2) yang menegaskan bahwa “PPAT dan PPAT Sementara wajib memberikan jasa tanpa memungut biaya kepada seseorang yang tidak mampu.” Pasal tersebut menunjukkan bahwa seseorang yang tidak mampu atau masyarakat tidak mampu dapat diberikan jasa tanpa adanya pungutan biaya oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Pejabat umum yang dimaksud berwenang dalam memberikan jasa tanpa memungut biaya kepada “seseorang yang tidak mampu” ialah PPAT dan PPAT Sementara, “PPAT Sementara merupakan Pejabat Pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT.” Menurut ketentuan tersebut pejabat pemerintah yang ditunjuk menjadi Pejabat Pembuat Akta (PPAT) Sementara adalah Camat atau Kepala Desa untuk melayani pembuatan Akta di Daerah yang belum cukup terdapat Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

Tujuan diangkatnya Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Sementara adalah untuk melayani masyarakat dalam pembuatan Akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT atau untuk melayani golongan masyarakat tertentu dalam pembuatan

Akta PPAT tertentu. 12 Pengangkatan Camat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Sementara pada dasarnya untuk memenuhi kebutuhan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) di wilayah kerja camat yang bersangkutan. “Hal ini berarti jika dalam suatu wilayah tersebut sudah ada PPAT yang memenuhi kuota, maka camat yang baru dilantik tidak lagi diangkat sebagai PPAT Sementara, namun apabila dalam suatu wilayah kerja Camat belum tersedia PPAT atau sudah ada PPAT namun masih terdapat formasi, maka seorang Camat dapat diangkat dan ditunjuk menjadi PPAT Sementara.13 Pasal 32 Ayat (2) sebagai dasar hukum pelaksanaan pemberian jasa bagi masyarakat/seseorang yang tidak mampu dalam memperoleh jasa hukum tanpa dipungut biaya, Adanya aturan tersebut memberikan kepastian hukum kepada masyarakat/seseorang yang tidak mampu untuk mendapatkan keadilan yang sama di depan hukum.

Namun jika diamati dengan saksama dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah tidak mengatur lebih lanjut ataupun memberikan penjelasan secara rinci mengenai “seseorang yang tidak mampu” sebagaimana yang dimaksud, sehingga menjadi pertanyaan sejauh mana pengaturan terkait batasan diberlakukannya pada subyek hukum dalam Pasal 32 Ayat (2) mengenai “seseorang yang tidak mampu” yang dapat dikatakan tidak mampu untuk diberikan jasa tanpa memungut biaya.

Makna yang terkadung dalam pasal 32 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah perlu diperjelas, sehingga tidak menimbulkan multitafsir dari yang berkepentingan akibatnya akan merugikan ke Masyarakat serta juga tidak tersampainya amanat dari Peraturan tersebut dalam menjamin keadilan yang sama rata. Tidak adanya kriteria-kriteria yang menjadi standarisasi tersebut menjadi tembok bagi seseorang yang tidak mampu untuk menghadap ke Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Pada penjelasan umum dalam lampiran Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah juga tidak ada penjelasan lebih lanjut, Norma hukum seharusnya menjadi alat untuk menjamin keadilan dan mendapat kepastian terhadap perlindungan hukum bagi Masyarakat yang tidak mampu.

  • 3.1.2.    Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2021 Tentang Uang Jasa Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Lahirnya Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 33 Tahun 2021 ini untuk meningkatkan kemudahan berusaha di Indonesia terkait pendaftaran properti sehingga diperlukan

adanya kejelasan atas biaya peralihan hak atas tanah dalam hal pengaturan uang jasa dalam rangka pembuatan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah. Sementara ketentuan pemberian jasa yang diberikan kepada Masyarakat/seseorang yang tidak mampu dijelaskan dalam Pasal 2 Ayat (1) dan (2), yang menyebutkan bahwa:

“Ayat (1) : Pejabat Pembuat Akta Tanah dan Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara wajib memberikan jasa pembuatan akta tanpa memungut biaya kepada orang yang tidak mampu.

Ayat (2)  : Orang yang tidak mampu sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dibuktikan dengan Surat Keterangan Tidak Mampu yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang.”

Seperti yang dijelaskan dalam Ayat (2) untuk melakukan perbuatan hukum bagi orang yang tidak mampu harus dibuktikan dengan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM), instansi yang berwenang sebagaimana dimaksud ialah Aparatur Desa sebagai organisasi pemerintahan yang paling dekat dan berhubungan langsung dengan masyarakat. SKTM adalah salah satu bentuk pemberian pelayanan yang merupakan kewajiban yang harus diberikan oleh Aparatur Pemerintah dalam hal ini Pemerintah Desa, hal ini sesuai dengan fungsi dan tugas Aparatur Pemerintah, yaitu sebagai pengayom dan pelayan masyarakat. Terlebih dalam era globalisasi dan otonomi daerah seperti saat sekarang, dimana keberadaan Aparatur Daerah sebagai pelayan masyarakat berperan penting dalam menentukan kemajuan daerah.

Desa sebagai organisasi pemerintahan yang paling dekat dan berhubungan langsung dengan masyarakat merupakan ujung tombak Keberhasilan pembangunan khususnya otonomi Daerah. 14 Dimana Desa akan terlibat langsung dalam perencanaan pembangunan serta pelayanan. Mengingat bahwa SKTM adalah satu-satunya syarat yang harus dipenuhi bagi Masyarakat/seseorang yang tidak mampu, tentunya perlu validasi mengenai kebenaran dokumen tersebut. Berikut adalah hasil pengamatan observasi yang dikutip dari penelitian Hendri yang berjudul “Evektivitas Pelayanan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) di Desa Lereng Kecamatan Kuok Kabupaten Kampar”, dalam jurnalnya Hendri menemukan sesuatu fenomena yang mengindikasikan kurang optimalnya pelayanan SKTM adalah sebagai berikut:

  • 1)    “Terindikasi masih banyak masyarakat yang tergolong mampu bahkan mengendarai kendaraan roda empat namun masih mengurus SKTM untuk keperluan keringanan biaya.

  • 2)    Terindikasi adanya pungutan dari Pemerintah Desa, bagi masyarakat yang membayar tidak perlu meminta surat pengantar dari RT dan RW.

  • 3)    Terindikasi surat pengantar SKTM dari RT dan RW yang tetap diberikan kepada masyarakat yang ekonominya mampu, karena adanya indikasi permintaan uang dari RT dan RW Desa Lereng mulai dari Rp. 10.000,-sampai dengan Rp. 25.000,

  • 4)    Terindikasi ketidaksesuaian waktu pengurusan yang harusnya sesuai SOP hanya 45 Menit, namun diselesaikan hingga berhari-

hari dengan alasan petugas yang hadir tidak ada ataupun Kepala Desa yang tidak berada di tempat.

  • 5)    Terindikasi perihal pemeriksaan berkas pemohon dan setiap pemohon dikenakan biaya sebesar Rp. 10.000,- sampai dengan Rp. 20.000,- padahal hal ini tergolong sebagai pungutan liar kepada masyarakat karena seharusnya biaya pengurusan STKM ini adalah tidak dikenakan biaya.

  • 6)    Terindikasi kurang optimalnya papan informasi desa yang ada, karena hanya di print di selembar kertas ukuran A4 sehingga banyak masyarakat yang harus berdesakan untuk melihat informasi syarat dan prosedur pengurusan dokumen.15

Meskipun fenomena diatas tidak terjadi seluruhnya di Wilayah Indonesia, namun tidak dapat dipungkiri bahwa penyelewengan kewenangan dari Pemerintahan Desa dalam hal mengeluarkan SKTM yang tidak sesuai dengan SOP sudah pernah terjadi, maka menjadi tolak ukur kita bahwa apabila SKTM sebagai satu-satunya syarat bagi Masyarakat/seseorang yang tidak mampu untuk mendapatkan jasa dari Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) juga dapat disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu yang mencoba mengambil keuntungan.

Sesuai yang disebutkan dalam Ayat (2) menyebutkan terkait Surat Keterangan Tidak Mampu yang dijadikan sebagai dasar oleh penghadap “seseorang yang tidak mampu” namun hal tersebut tidak dapat dipastikan kebenarannya, maka ketentuan tersebut tidak cukup untuk menjamin pelaksanaannya, sebagaimana pertimbangan disahkannya Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2021 Tentang Uang Jasa Pejabat Pembuat Akta Tanah yaitu untuk memberikan kemudahan terkait pendaftaran properti berupa kejelasan atas biaya peralihan hak atas tanah. Sehingga menjadi pertanyaan apakah hak “seseorang yang tidak mampu” dalam mendapatkan jasa secara gratis tidak begitu penting, mengingat dalam peraturan tersebut hanya diakomodir dalam 1 ayat, hal ini tidak cukup kuat untuk memberikan jaminan atas terlaksananya sesuai yang diamanatkan pada Pasal 32 Ayat (2).

  • 3.1.3.    Lampiran Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 112/KEP-4.1/IV/2017 Tentang Kode Etik Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Dalam lampiran Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional tentang Kode Etik Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang dimana dijelaskan adanya “kewajiban bagi Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) untuk memberikan jasanya kepada anggota masyarakat yang tidak atau kurang mampu secara cuma-cuma”, dalam kode etik tersebut juga tidak memberikan penjelasan lebih lanjut terkait maksud dan bagaimana ketentuan pelaksanaannya.

Adanya Kode Etik ini dimaksudkan sebagai sarana kontrol sosial dan pencegah campur tangan pihak lain, serta sebagai pencegah kesalahpahaman dan konflik. Fungsi lain dari Kode Etik Profesi yaitu merupakan kriteria prinsip profesional yang telah digariskan, sehingga dapat diketahui dengan pasti kewajiban profesional anggota lama, baru, ataupun calon anggota kelompok profesi sekaligus dapat mencegah kemungkinan terjadi konflik kepentingan antara sesama anggota kelompok profesi, atau antara anggota kelompok profesi dan masyarakat.16 Hal ini merupakan kaidah moral yang ditentukan oleh perkumpulan berdasarkan keputusan Kongres dan/atau yang ditentukan oleh dan diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal itu dan yang berlaku bagi serta wajib ditaati oleh anggota perkumpulan IPPAT dan semua orang yang menjalankan tugas jabatan sebagai PPAT, termasuk di dalamnya para PPAT Pengganti.17

Kode Etik ini berlaku bagi seluruh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan bagi para Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Pengganti, baik dalam rangka melaksanakan tugas jabatan (khusus bagi yang melaksanakan tugas jabatan PPAT) ataupun dalam kehidupan sehari-hari.18 Kedudukan Peraturan Kode Etik Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) tidak dapat dikategorikan dalam peraturan perundang-undangan karena kode etik adalah aturan yang dibuat untuk suatu kelompok tertentu yaitu dibentuk oleh organisasi profesi dalam hal ini organisasi IPPAT.19

Di mana organisasi ini bukanlah termasuk kedalam kualifikasi lembaga negara/lembaga yang dapat membentuk peraturan perundang-undangan serta pembentukan kode etik itu tidak melalui prosedur yang telah ditetapkan dalam undang-undang. Sebagai peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan dan keberadaannya diakui dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

  • 3.2.    Jangkauan pelaksanaan kewajiban PPAT dalam memberikan jasa tanpa memungut biaya kepada “seseorang yang tidak mampu”

Pemberian jasa hukum di bidang Pertanahan atau Rumah Susun dengan dilakukan secara cuma-cuma atau dilakukan tanpa ada pungutan biaya hanya ditujukan kepada Masyarakat/Seseorang yang tidak mampu, dari uraian diatas mengenai dasar hukum pelaksanaan pemberian jasa oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) telah ditegaskan

sehingga menjadi salah satu kewajiban bagi Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) untuk tetap dilaksanakan tanpa melakukan penolakan yang tidak mendasar kepada klien.

Namun dasar hukum tersebut tidak serta merta dapat dijadikan dasar pelaksanaan pemberian jasa kepada Masyarakat/Seseorang yang tidak mampu, penafsiran dari Norma hukumnya yang diatur dalam peraturan-peraturan tersebut dapat menimbulkan multitafsir serta ditemukan ketidaklengkapan peraturan baik dalam hal kriteria yang dituju maupun kelengkapan persyaratan dokumen yang diperlukan bagi pihak yang berkepentingan. Hal yang perlu diperhatikan, dengan kondisi hukum (legal existing) yang mengatur, maka penerapannya bagi Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam menjalankan kewajibannya tergantung dari yang bersangkutan dengan menerapkan standarisasi berdasarkan versinya karena hal tersebut tidak diatur dalam peraturan yang berlaku. Sehingga yang menjadi pertanyaan selanjutnya sejauh mana peraturan ini dapat terlaksana (?) mengingat sasaran yang menjadi subjek hukum dalam peraturan tersebut ialah Masyarakat/Seseorang yang tidak mampu, sehingga perlu dipertimbangkan dari berbagai aspek.

Menurut badan pusat statistik (BPS) pengukuran kemiskinan atau orang-orang tidak mampu didasarkan kepada:20

  • a)    Luas lantai bangunan tempat tinggalnya kurang dari 8 m2 per orang;

  • b)    lantai bangunan tempat tinggalnya terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan;

  • c)    dinding bangunan tempat tinggalnya terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah atau tembok tanpa diplester;

  • d)    tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama rumah tangga lain menggunakan satu jamban;

  • e)    sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik;

  • f)    air minum berasal dari sumur/mata air yang tidak terlindung/sungai/air hujan;

  • g)    bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah;

  • h)    hanya mengonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu;

  • i)    hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun;

  • j)    hanya mampu makan satu/dua kali dalam sehari;

  • k)    tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik;

  • l)    sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas lahan 0,5 ha, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp600.000 per bulan;

  • m)    pendidikan terakhir kepala rumah tangga: tidak sekolah/tidak tamat sekolah dasar (SD)/hanya SD; dan

  • n)    tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai minimal Rp500.000 seperti sepeda motor (kredit/nonkredit), emas, hewan ternak, kapal motor ataupun barang modal lainnya.

Berdasarkan tolak ukur kemiskinan atau orang-orang tidak mampu di atas yang menjadi standarisasi Badan Pusat Statistik (BPS) untuk mendata persentase penduduk miskin di Indonesia, melalui profil kemiskinan di Indonesia per September 2022 yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dengan hasil pendataan sebagai berikut:

  • 3.2.1.    Perkembangan Tingkat Kemiskinan September 2021-September 2022.

Table 1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Menurut Daerah, September 2021-September 2022

Daerah/Tahun

Jumlah Penduduk Miskin (juta orang)

Persentase Penduduk Miskin

(i)

(2)

(3)

Perkotaan

September 2021

11.86

7,60

Maret 2022

11,82

7,50

September 2022

11,98

7,53

Perdesaan

September 2021

14,64

12,53

Maret 2022

14,34

12,29

September 2022

14,38

12,36

Total

September 2021

26.50

9.71

Maret 2022

26,16

9,54

September 2022

26,36

9,57

Sumber: Badan Pusat Statistik: Berita Resmi Statistik Nomor 07/01/Th.XXVI, Profil Kemiskinan di Indonesia September 2022.21

Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada September 2022 mencapai 26,36 juta orang. Dibandingkan Maret 2022, jumlah penduduk miskin meningkat 0,20 juta orang. Sementara jika dibandingkan dengan September 2021, jumlah penduduk miskin menurun sebanyak 0,14 juta orang. Persentase penduduk miskin pada September 2022 tercatat sebesar 9,57 persen, meningkat 0,03 persen poin terhadap Maret 2022 dan menurun 0,14 persen poin terhadap September 2021. Berdasarkan daerah tempat tinggal, pada periode Maret 2022–September 2022, jumlah penduduk miskin perkotaan naik sebesar 0,16 juta orang, sedangkan di perdesaan naik sebesar 0,04 juta orang. Persentase kemiskinan di perkotaan naik dari 7,50 persen menjadi 7,53 persen. Sementara itu, di perdesaan naik dari 12,29 persen menjadi 12,36 persen.22

  • 3.2.2.    Persentase dan Jumlah Penduduk Miskin Menurut Pulau pada September 2021-September 2022.

Table 2. Persentase dan Jumlah Penduduk Miskin Menurut Pulau, September 2022

Persentase Penduduk Miskin (%)           Jumlah Penduduk Miskin Quta orang)

Pulau

Perkotaan

Perdesaan

Total

Perkotaan

Perdesaan

Total

(!)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

Sumatera

8,25

10,48

9,47

2,25

3,51

5,76

Jawa

7,65

11,94

9,03

8,03

5,91

13,94

Bali dan Nusa Tenggara

8,71

17,80

13,46

0,65

1,45

2,10

Kalimantan

4,70

7,07

5,90

0,39

0,60

0,99

Sulawesi

5,88

13,08

10,06

0,50

1,53

2,03

Maluku dan Papua

6,00

27,62

20,10

0,16

1,38

1,54

Indonesia

7,53

12,36

9,57

11,98

14,38

26,36

Sumber: Badan Pusat Statistik: Berita Resmi Statistik Nomor 07/01/Th.XXVI, Profil Kemiskinan di Indonesia September 2022.23

Tabel 4 menunjukkan persentase dan jumlah penduduk miskin menurut pulau pada September 2022:24

  • 1)    Terlihat bahwa persentase penduduk miskin terbesar berada di wilayah Pulau Maluku dan Papua, yaitu sebesar 20,10 persen. Sementara itu,

  • 2)    Persentase penduduk miskin terendah berada di Pulau Kalimantan, yaitu sebesar 5,90 persen.

Dari sisi jumlah, sebagian besar penduduk miskin masih berada di Pulau Jawa (13,94 juta orang), sedangkan jumlah penduduk miskin terendah berada di Pulau Kalimantan (0,99 juta orang).

  • 3.2.3.    Pelaksanaan kewajiban PPAT dalam memberikan jasa tanpa memungut biaya kepada “seseorang yang tidak mampu”.

Jika dilihat dari hasil analisis yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menguraikan bahwa jumlah penduduk miskin terendah berada di Pulau Kalimantan dengan jumlah 0,99 juta orang hasil mana diperoleh dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) berdasarkan pengukuran kemiskinan atau orang-orang tidak mampu menurut badan pusat statistik (BPS). Berbeda dengan hasil penelitian yang telah diperoleh penulis melalui wawancara dengan metode terbuka kepada Narasumber yang tidak ingin disebutkan identitasnya, perolehan wawancara ini dilakukan sebagai penguat data yang terjadi secara empiris oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).25

Menurut keterangan Narasumber, bahwa di Wilayah Kerja Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yaitu Kota Banjarmasin (Kalimantan Selatan) selama bekerja di kantor Pejabat

Pembuat Akta Tanah (PPAT) tersebut, Narasumber pernah melayani salah satu klien Masyarakat Tidak Mampu untuk melakukan suatu perbuatan hukum terhadap tanahnya yang terbilang cukup luas, apabila disesuaikan dengan standar Badan Pusat Statistik (BPS) maka klien tersebut bisa dikategorikan tidak termasuk dalam Seseorang yang tidak mampu. Setiap wilayah tidak bisa disamaratakan, Narasumber melanjutkan, menurut keterangannya tidak jarang ditemukan di wilayah kerjanya (Kota Banjarmasin) Masyarakat tidak mampu yang memiliki aset berupa tanah/lahan kosong yang cukup luas. Secara perekonomian dan pendapatan mereka termasuk kategori Masyarakat tidak mampu, adanya aset yang berupa tanah/lahan kosong tersebut adalah peninggalan yang diperoleh secara turun temurun. Dimana aset tersebut tidak dipergunakan atau hanya sebagai lahan tempat tinggal keluarganya secara turun-temurun sehingga secara finansial dan kemampuan ekonomi tidak dapat terpenuhi. Jika melihat dari hasil Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukan Pulau Kalimantan (Provinsi Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Utara) berada diposisi terendah jumlah penduduk miskin dengan jumlah 0,99 juta orang karena salah satu standar yang ditentukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) yaitu luas lantai bangunan tempat tinggalnya kurang dari 8 m2 per orang serta sumber penghasilan kepala rumah tangga berupa pertanian dengan luas lahan 0,5 ha, sedangkan bagi Masyarakat yang memperoleh tanah secara turun-temurun bisa mencapai luas lahan 1 ha atau lebih.

Selain melakukan wawancara pada Narasumber, Penulis juga melakukan Observasi di wilayah Kabupaten Kutai Timur (Kalimantan Timur),26 “bahwa di Daerah tersebut juga sama seperti wilayah kerja Narasumber sebelumnya, beberapa Masyarakat yang tergolong Tidak Mampu juga memiliki tanah atau sebatas lahan sebagai alas rumah mereka yang cukup luas. Pada dasarnya Daerah tersebut merupakan salah satu Daerah Penghasil Batu Bara terbesar di Indonesia, namun dampaknya terjadi langsung kepada Masyarakat setempat sering terjadi konflik antara masyarakat khususnya masyarakat tidak mampu dan perusahaan dalam Upaya Pelepasan Hak Atas Tanah Masyarakat untuk kepentingan Perusahaan, bagi Masyarakat Tidak Mampu yang bertempat tinggal di Daerah Pedalaman bahwa beberapa aset berupa tanah milik masyarakat yang belum bersertifikat karena keterbatasan akses, pengetahuan dan kemampuan untuk memperoleh bukti Hak Atas Kepemilikan. Sehingga sering dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan yang Nakal untuk melakukan Pelepasan Hak Atas Tanah tersebut.”

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak ada standar yang pasti untuk menilai apakah Seseorang tersebut merupakan Tidak Mampu, terlebih lagi dalam kondisi peraturan yang saat ini mengatur tidak mengatur secara khusus mengenai kriteria maupun standar yang harus diterapkan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), sehingga Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) tersebutlah yang menentukan persyaratan yang harus dipenuhi oleh Masyarakat/Seseorang yang tidak mampu tersebut. Ketidakpastian ini menimbulkan kebingungan bagi Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) itu sendiri apabila ia mendasari dari kriteria yang ditentukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) maka hal tersebut dirasa tidak tepat, mengingat terdapat kondisi

tertentu seperti pernyataan dari Narasumber yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa terdapat kondisi dimana Seseorang tersebut tidak mampu secara perekonomian namun memiliki aset berupa tanah/lahan yang luasnya melebihi luas maksimal yang ditetapkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS).

Secara yuridis, tidak adanya ketentuan tentang batasan-batasan Masyarakat/Seseorang yang tidak mampu yang wajib diberikan jasa hukum tanpa pungutan biaya. Tidak adanya ketentuan mengenai siapa saja dan apa saja syarat-syarat yang dapat di jamin kebenarannya yang menyatakan bahwa ia sebagai masyarakat tidak mampu yang harus diberikan jasa hukum oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) tanpa dilakukan pungutan biaya. Sehingga perlunya menentukan secara khusus kriteria/standarisasi Masyarakat/Seseorang yang Tidak Mampu maupun persyaratan yang dapat memvalidasi data yang dimohonkan bahwa klien tersebut benar adalah Seseorang yang Tidak Mampu, dengan adanya kriteria/standarisasi tersebut dapat menjadi pedoman bagi Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam melayani Masyarakat/Seseorang yang tidam mampu untuk melakukan suatu perbuatan hukum dalam bidang Pertanahan dan Rumah Susun.

Sebagai Pejabat Umum yang diangkat oleh negara, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) berkewajiban membantu seluruh lapisan masyarakat tidak boleh menolak permintaan dari Masyarakat/Seseorang yang tidak mampu menyangkut pelayanan jasa hukum di bidang Tanah atau Rumah Susun sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan kesusilaan. Profesi seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sebagai bentuk pengabdian kepada kepentingan orang banyak maka seharusnya tidak boleh mempersulit klien yang datang padanya untuk meminta pelayanan jasa hukum bagi Masyarakat/Seseorang yang tidak mampu.

  • 3.3. Perlindungan Hukum yang diberikan kepada ”seseorang yang tidak mampu” oleh Negara

Diaturnya suatu kewajiban Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam memberikan jasa hukum dalam bidang Pertanahan dan Rumah Susun tanpa adanya pungutan biaya bagi Seseorang yang tidak mampu, merupakan representasi dari amanat Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Konstitusi Negara Republik Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang dimana Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum, prinsip negara hukum menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan. Kedudukan manusia dalam hukum sangat erat hubungannya dengan hak asasi yang dimiliki oleh manusia itu sendiri. Hak Asasi Manusia adalah hak dasar atau hak pokok yang merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa secara kodrati dianugerahi hak dasar tersebut, tanpa perbedaan antara satu dengan yang lainnya, tanpa membedakan jenis kelamin, warna kulit, kebangsaan, agama, usia, politik, status sosial, bahasa dan status lainnya. Hak asasi ini menjadi dasar hak dan kewajiban lainnya. Dalam Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”

Hak setiap warga Negara untuk dibela (accses to legal counsel ) diperlakukan sama didepan hukum (equality before the law) dan keadilan untuk semua (justice for all). Kemudian dalam Pasal 28 D Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga ditegaskan bahwa: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”

Penegasan Pasal tersebut memberikan makna bahwa didalam setiap manusia selalu melekat hak asasi yang berupa kedudukan dan perlakuan yang sama di hadapan hukum. Hak asasi manusia bersifat universal, setiap orang berhak atas pengakuan sebagai pribadi didepan hukum dimana saja ia berada dan juga semua orang sama didepan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi apapun.

Sebagai Pejabat Umum yang diangkat oleh negara, berkewajiban membantu seluruh lapisan masyarakat termasuk bagi Masyarakat/Seseorang yang tidak mampu tanpa membanding-bandingkan status sosialnya. Sesuai amanat dalam Pasal 34 UUD Tahun 1945 mengamanatkan kewajiban Negara antara lain:

“Ayat (1)     : Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara;

Ayat (2)     : Negara mengembangkan sistim jaminan sosial bagi seluruah

rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan;

Ayat (3)     : Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan

kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.”

Negara Indonesia memberikan perlindungan terhadap hak atas jaminan perlakuan yang sama di muka hukum bagi setiap individu dan bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas baik Kesehatan maupun pelayanan umum. 27 Bentuk jaminan tersebut salah satunya adalah pemberian jasa hukum oleh seseorang yang berprofesi hukum yaitu Pejabat Pembuat Akta tanah (PPAT) bagi masyarakat tidak mampu tanpa dipungut biaya atau secara gratis. Pejabat Pembuat Akta tanah (PPAT) merupakan Pejabat Umum memiliki tugas dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat di bidang Pertanahan dan Rumah Susun. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) tidak boleh menolak permintaan dari Masyarakat/Seseorang yang tidak mampu menyangkut pelayanan jasa hukum di bidang Tanah atau Rumah Susun sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan kesusilaan.

Dalam Pasal 32 Ayat (6) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah menegaskan terkait adanya sanksi administrasi yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri, selanjutnya dalam Pasal 12 Ayat (2) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Pembinaan dan Pengawasan Pejabat Pembuat Akta Tanah menegaskan bahwa

“Pelanggaran yang dilakukan oleh PPAT merupakan:

  • a)    pelanggaran atas pelaksanaan jabatan PPAT;

  • b)    tidak melaksanakan kewajiban yang diatur dalam peraturan perundang-undangan;

  • c)    melanggar ketentuan larangan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan; dan/atau

  • d)    melanggar Kode Etik.”

Peraturan Menteri ini dimaksudkan sebagai pedoman pelaksanaan pembinaan dan pengawasan serta penegakan aturan hukum melalui pemberian sanksi terhadap Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang dilakukan oleh Kementerian. Peraturan Menteri ini bertujuan untuk mewujudkan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang profesional, berintegritas dan melaksanakan jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan Kode Etik, lahirnya. Pengawasan dimaksud berupa penegakan aturan hukum yang dilaksanakan atas dasar adanya temuan dari Kementerian terhadap pelanggaran pelaksanaan jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) atau terdapat pengaduan atas dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 12 Ayat (2) di atas.

Pengaduan atas dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dapat berasal dari masyarakat, baik perorangan/badan hukum dan/atau dari Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT). Bentuk Pemberian sanksi yang dikenakan terhadap Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang melakukan pelanggaran dapat berupa:

  • a)    “teguran tertulis;

  • b)    pemberhentian sementara;

  • c)    pemberhentian dengan hormat; atau

  • d)    pemberhentian dengan tidak hormat.”

Bahwa pelanggaran mana yang dimaksud pada penelitian ini ialah bagi Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang tidak melaksanakan kewajiban sesuai yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 33 Tahun 2021 Tentang Uang Jasa Pejabat Pembuat Akta Tanah menyebutkan bahwa “Pejabat Pembuat Akta Tanah dan Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara wajib memberikan jasa pembuatan akta tanpa memungut biaya kepada orang yang tidak mampu.” Selanjutnya ditegaskan kembali dalam Pasal 3 Ayat (2) bahwa “Dalam hal Pejabat Pembuat Akta Tanah dan Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara memungut uang jasa kepada seseorang yang tidak mampu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dikenakan sanksi berupa teguran tertulis.”

Pemberian sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh PPAT berupa teguran tertulis dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan. Dalam hal dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) secara jelas telah terbukti dan nyata, Kepala Kantor Pertanahan dapat langsung memberikan sanksi berupa surat teguran tertulis kepada Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) tanpa melalui pemeriksaan oleh Majelis Pembina dan Pengawas PPAT Daerah (MPPD), apabila melalui Majelis Pembina dan Pengawas PPAT Daerah (MPPD) maka hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Majelis Pembina dan Pengawas PPAT Daerah (MPPD) dibuat dalam bentuk Laporan Hasil Pemeriksaan dan disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan

dengan memuat alasan dan pertimbangan yang dijadikan dasar untuk memberikan rekomendasi dalam pemberian putusan dan jenis sanksi terhadap Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) terlapor. Hasil pemeriksaan berupa rekomendasi pemberian sanksi teguran tertulis ditindaklanjuti oleh Kepala Kantor Pertanahan dengan menerbitkan surat teguran tertulis kepada Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Surat teguran tertulis memuat jenis pelanggaran dan tindak lanjut yang harus dipenuhi oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dengan masa berlaku 1 (satu) bulan.

  • 4. Kesimpulan

Kondisi hukum (legal existing) saat ini bahwa Penafsiran dari Norma yang diatur dalam peraturan-peraturan terkait menimbulkan multitafsir serta ditemukan ketidaklengkapan peraturan baik dalam hal kriteria yang dituju maupun kelengkapan persyaratan dokumen yang diperlukan bagi pihak yang berkepentingan. Perlunya menentukan secara khusus kriteria/standarisasi pada Masyarakat/Seseorang yang Tidak Mampu maupun persyaratan yang dapat memvalidasi data yang dimohonkan bahwa klien tersebut benar adalah Seseorang yang Tidak Mampu, dengan adanya kriteria/standarisasi tersebut dapat menjadi pedoman bagi Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam melayani Masyarakat/Seseorang yang tidam mampu untuk melakukan suatu perbuatan hukum dalam bidang Pertanahan dan Rumah Susun. Secara yuridis, tidak adanya ketentuan tentang batasan-batasan Masyarakat/Seseorang yang tidak mampu yang wajib diberikan jasa hukum tanpa pungutan biaya. Tidak adanya ketentuan mengenai siapa saja dan apa saja syarat-syarat yang dapat di jamin kebenarannya yang menyatakan bahwa ia sebagai masyarakat tidak mampu yang harus diberikan jasa hukum oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) tanpa dilakukan pungutan biaya. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) tidak boleh menolak permintaan dari Masyarakat/Seseorang yang tidak mampu menyangkut pelayanan jasa hukum di bidang Tanah atau Rumah Susun sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan kesusilaan, hal ini menegaskan terkait adanya sanksi administrasi yang dikenakan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) apabilah tidak melaksanakan kewajibannya.

Ucapan Terima Kasih (Acknowledgments)

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan penulisan ini. Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, cukup sulit bagi saya untuk menyelesaikan karya tulis ilmiah ini. Oleh sebab itu saya mengucapkan terima kasih kepada :

  • 1)    Bapak Dr. Aan Eko Widiarto, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

  • 2)    Ibu Dr. Hanif Nur Widhiyanti, S.H., M.Hum, selaku Ketua Prodi Magister Kenotariatan Universitas Brawijaya

  • 3)    Bapak Dr. Muktiono, S.H., L.LM, selaku pembimbing utama yang telah memberikan bimbingan, arahan, dukungan serta masukan terhadap penulisan ini.

  • 4)    Bapak Dr. Hendrarto Hadisuryo, S.H., M.Kn, selaku pembimbing pendamping yang telah memberikan bimbingan, arahan, dukungan serta masukan terhadap penulisan ini.

  • 5)    Seluruh Narasumber yang telah memberikan kontribusi selama proses penelitian ini.

  • 6)    Seluruh Penulis yang karyanya menjadi sumber dalam penulisan ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari dalam penulisan karya tulis ilmiah ini masih terdapat kekurangan, Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih dan semoga penulisan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Daftar Pustaka

Badu, Suci Ananda. "Tugas dan Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Dalam Pelaksanaan Pendaftaran Tanah di Indonesia." Lex Administratum 5, no. 6 (2017).

Dantes, Komang Febrinayanti, and I. Gusti Apsari Hadi. "Kekuatan Hukum Akta Jual Beli yang Dibuat Oleh Camat dalam Kedudukannya Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara (PPATS) Ditinjau dari Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Peraturan Jabatan PPAT." Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha 9, no. 3 (2021): 905-916.

Hendri, “Evektivitas Pelayanan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) di Desa Lereng Kecamatan Kuok Kabupaten Kampar”, Jurnal Kajian Pemerintah (JKP), Volume 6, Nomor 1 (2020): 2.

Isda, Milda Novtari, Israk Ahmadsyah, and Nevi Hasnita. "Analisis Konsep Kemiskinan (Studi Komparatif Konsep Badan pusat Statistik dan Konsep Ekonomi Islam)." Journal of Sharia Economics 2, no. 1 (2021): 1-21.

Kartiwi, Mulia. "Peran Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam Meminimalisir Sengketa Tanah." Res Nullius Law Journal 2, no. 1 (2020): 35-47.

Komaling, Ester Anastasiya. "Tugas dan Fungsi Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Dalam Rangka Pendaftaran Tanah Menurut Peraturan Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006." Lex Privatum 7, no. 4 (2019).

Luciana, Karnita Putri, Muh Risnain, and Amiruddin Amiruddin. "Kedudukan Dan Pertanggung Jawaban Hukum Notaris Pengganti Dalam Menjalankan Tugas Notaris Yang Diangkat Menjadi Pejabat Negara." Unizar Law Review (ULR) 5, no. 1 (2022).

Muchsin, Tamrin, Sri Sudono Saliro, Sardjana Orba Manullang, and Marjan Miharja. "Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam Hal Pendaftaran Tanah: Sebuah Tinjauan Kewenangan Dan Akibat Hukum." Madani Legal Review 4, no. 1 (2020): 63-80.

Muhammad Syahrum, S. T. Pengantar Metodologi Penelitian Hukum: Kajian Penelitian Normatif, Empiris, Penulisan Proposal, Laporan Skripsi dan Tesis. CV. Dotplus Publisher, 2022.

Murthada, Murthada, and Seri Mughni Sulubara. "Implementasi Hak Asasi Manusia di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945." Dewantara: Jurnal Pendidikan Sosial Humaniora 1, no. 4 (2022): 111-121.

Mustanir, Ahmad, Kamaruddin Sellang, and Akhwan Ali. "Peranan Aparatur Pemerintah Desa Dan Partisipasi Masyarakat Dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Di Desa Tonrongnge Kecamatan Baranti Kabupaten Sidenreng Rappang." Jurnal Clean Goverment 2, no. 1 (2019): 67-84.

Muthohar, Muhammad. "Tugas Dan Kewenangan Camat Sebagai PPAT Sementara Dalam Pembuatan Akta-Akta Tentang Tanah (Studi Di Kabupaten Boyolali)." Jurnal akta 4, no. 4 (2017): 527-534.

Niru Anita Sinaga, “Kode Etik Sebagai Pedoman Pelaksanaan Profesi Hukum Yang Baik”, Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara, Volume 10, Nomor 2 (2020): 4.

Pratiwi, Dian Kus, Dessy Ariani, and Despan Heryansyah. "Pengenalan hak-hak konstitusional warga negara di sekolah." Jurnal Abdimas Madani dan Lestari (JAMALI) (2019): 24-33.

Putri, Nabila Mazaya, and Henny Marlyna. "Pelanggaran Jabatan dan Perbuatan Melawan Hukum yang Dilakukan oleh Notaris dalam Menjalankan Kewenangannya." ACTA DIURNAL Jurnal Ilmu Hukum Kenotariatan 5, no. 1 (2021): 63-77.

Rahayu Sisworini, Purwaning, and Herman Suryokumoro. "Penerapan Honorarium PPAT Sebagai Upaya Untuk Penyetaraan Pelayanan (Studi Kasus Di Kota Malang)." Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan 8, no. 3 (2020).

Setiadi, Wicipto. "Simplifikasi Regulasi dengan Menggunakan Metode Pendekatan Omnibus Law." Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional 9, no. 1 (2020): 39.

Sugeng, Muhammad Irsan. "Peran Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Dalam Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Di Kabupaten Gowa." Jurnal Yustisiabel 4, no. 2 (2020): 184-197.

Wonte, Andreas. "PERANAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT) DALAM PEMBUATAN AKTA TANAH BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 37 TAHUN 1998 TENTANG PERATURAN JABATAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH." LEX ADMINISTRATUM 10, no. 2 (2022).

Yustica, Anugrah, Ngadino Ngadino, and Novira Maharani Sukma. "Peran etika profesi notaris sebagai upaya penegakan hukum." Notarius 13, no. 1 (2020): 60-71.

Yusuf, M., and Winner A. Siregar. "Perkembangan Teori Penegakan Hukum dalam Perwujudan Fungsi Norma di Masyarakat." Sultra Research of Law 5, no. 2 (2023): 58-65.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Naskah Sesuai Lembaran Negara Republik Indonesia, Nomor 75, 1959.

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Pembinaan dan Pengawasan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 395.

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2021 Tentang Uang Jasa Pejabat Pembuat Akta Tanah, Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1157

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peratumn Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5893.

1001