Tanggung Jawab Notaris dalam Kewenangannya Melakukan Legalisasi Perjanjian di Bawah Tangan
on
Tanggung Jawab Notaris dalam Kewenangannya Melakukan Legalisasi Perjanjian di Bawah Tangan
Ninik Darmini1
1Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, E-mail: [email protected]
Info Artikel
Masuk: 29 Agustus 2023
Diterima: 26 Desember 2023
Terbit: 30 Desember 2023
Keywords:
Private Deed; Notary;
Legalization; Liability; Good
Faith
Kata kunci:
Perjanjian di Bawah Tangan;
Notaris; Legalisasi; Tanggung
Jawab; Itikad Baik
Corresponding Author:
Ninik Darmini, E-mail: [email protected]
DOI:
10.24843/JMHU.2023.v12.i0
4.p11
Abstract
Private deed legalization is a Notary’s authority to serve the community based on the Notary Act. Legalization that is conducted without good faith and circumspection could bring a Notary into trouble. This research aims to understand and analyze the liability of a Notary in private deed legalization. This descriptive doctrinal legal research uses secondary data that is supported by primary data which were then analyzed qualitatively. This research concludes that, first, legalization by a Notary who by his/her mistake causes harm to another party consequently brings administrative, civil, and/or criminal liability. The administrative liability is based on Article 16 paragraph (1) letter a jis. Article 16 paragraph (11), and 73 paragraph (1) letter e of the Notary Act; the civil liability is based on Article 1365 of the Indonesian Civil Code on civil wrongdoing; while the criminal liability is based on Article 55 of the Indonesian Criminal Code on deelneming and Article 263 on document falsification. Second, good faith ought to be a Notary’s guidance in carrying out his/her position as it would prevent him/her from either administrative, civil, or criminal sanctions. Third, it is necessary for a Notary to apply circumspection by not getting involved in the contract-making of the private deed; observing the private deed contents to ensure that it is not against the law; and documenting the legalization properly, although a legalization is passive in nature.
Abstrak
Legalisasi perjanjian di bawah tangan merupakan kewenangan Notaris yang diatur dalam Undang-Undang Jabatan Notaris. Legalisasi yang dilakukan tanpa itikad baik dan kehati-hatian dapat membawa Notaris ke dalam masalah. Penelitian ini bertujuan untuk memahami dan menganalisis tanggung jawab Notaris dalam legalisasi perjanjian di bawah tangan. Penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif ini menggunakan data sekunder yang didukung dengan data primer, kemudian dianalisis secara kualitatif. Penelitian ini menemukan bahwa, pertama, legalisasi oleh Notaris yang oleh karena kesalahannya merugikan pihak lain berakibat pada pertanggungjawaban secara administratif, perdata, dan/atau pidana. Pertanggungjawaban administratif didasarkan pada Pasal 16 ayat (1) huruf a jis. Pasal 16 ayat (11) dan Pasal 73 ayat (1) huruf e UU Notaris; pertanggungjawaban perdata didasarkan pada Pasal 1365 KUHPerdata tentang Perbuatan Melawan Hukum; sedangkan
pertanggungjawaban pidana didasarkan pada Pasal 55 KUHP tentang deelneming dan Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan dokumen. Kedua, Notaris harus berpegang pada itikad baik dalam melaksanakan jabatannya karena hal tersebut dapat mencegahnya dari pengenaan sanksi administratif, perdata, maupun pidana. Ketiga, sangat penting bagi Notaris untuk menerapkan kehati-hatian meskipun legalisasi bersifat pasif, dengan tidak terlibat pada pembuatan perjanjian di bawah tangan; mengamati substansi perjanjian tersebut untuk memastikan tidak ada pertentangan dengan hukum; dan mendokumentasikan legalisasi dengan baik.
Notaris berasal dari kata “Notarius”, yaitu nama yang pada zaman Romawi diberikan kepada orang-orang yang menjalankan pekerjaan menulis. Fungsi “Notarius” pada saat itu sangat berbeda dengan fungsi notaris pada waktu sekarang.1 Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa nama “Notarius” itu berasal dari perkataan “nota literia” yaitu yang menyatakan suatu perkataan.2 Terminologi lain yang penting dalam tulisan ini adalah legalisasi. Dalam ketentuan UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris sebagaimana diubah dengan UU No. 2 tahun 2014 Tentang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (untuk selanjutnya disebut UUJN) tidak ditemukan pengertian apa itu legalisasi. Legalisasi menurut kamus hukum berarti pengesahan. 3 “Legalisasi” merupakan kata benda yang berasal dari kata kerja “melegalkan”. Black’s Law Dictionary mengartikan kata kerja “legalize” sebagai “to make legalistic” dan menimbulkan kata benda “legalization” yang penulis artikan sebagai pengesahan.4 Pasal 15 ayat (2) UUJN menyebutkan bahwa selain kewenangan pokok dalam membuat akta autentik tersebut dalam ayat (1), Notaris juga mempunyai kewenangan melakukan legalisasi surat atau akta di bawah tangan. Kewenangan tersebut terdapat dalam huruf a: “mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus”.
Fenomena yang terjadi adalah Notaris dalam melakukan legalisasi hanya berpedoman bahwa Notaris bersifat pasif sehingga Notaris tidak harus mengetahui isi dari perjanjian di bawah tangan yang dibuat para pihak. Seringkali Notaris terjebak dan ikut terseret dalam masalah hukum para pihak karena isi dari dokumen yang dilegalisasinya.5 Notaris menganggap bahwa isi dari dokumen perjanjian di bawah tangan sepenuhnya merupakan kebebasan para pihak. Asas kebebasan berkontrak seperti yang dimaksud Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) tidak dipahami secara benar. Pasal 1338 KUHPerdata mengatur bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Hal ini juga berakibat sebuah perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk menarik kembali perjanjian tersebut secara sepihak. Sayangnya, masyarakat umum seringkali memaknai kebebasan berkontrak sebagai kebebasan yang tidak berbatas, sehingga membuat perjanjian yang jelas-jelas isinya bertentangan dengan ketentuan hukum semisal perjanjian simulasi, perjanjian pura-pura, perjanjian pinjam nama (nominee) yang kemudian dilegalisasi oleh Notaris. Terkait dengan pembatasan asas kebebasan berkontrak ini, Herlien Budiono mengatakan bahwa kebebasan berkontrak dibatasi oleh kepentingan umum, baik itu kepentingan umum yang bersifat luas semisal untuk melindungi pihak yang lemah atau pihak ketiga maupun kepentingan umum yang bersifat sempit yang dimaksudkan untuk membedakan antara kepentingan inividu dan kelompok.6
Secara garis besar, akta dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu akta autentik dan akta di bawah tangan. Pasal 1 angka 7 UUJN menyebutkan bahwa akta Notaris merupakan akta autentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan oleh UUJN. Dari pengertian tersebut dikenal 2 (dua) macam akta autentik yaitu akta yang dibuat oleh pejabat disebut amtelijke acte (relaas acte atau akta pejabat) dan akta yang dibuat di hadapan pejabat oleh para pihak disebut partij acte (akta para pihak).
Dibandingkan dengan akta autentik, pertanggungjawaban Notaris terhadap legalisasi memang tidak sama. Dapat dikatakan bahwa pertanggungjawaban Notaris paling besar adalah pada ambtelijke acte (relaas acte atau akta pejabat), lalu pada partij acte (akta para pihak), legalisasi (pengesahan perjanjian di bawah tangan) dan warmerking (pendaftaran akta di bawah tangan). 7 Namun demikian, penulis berpendapat bahwa kewenangan Notaris dalam melakukan legalisasi tidak lepas dari risiko hukum. Alasan seorang Notaris hanya bertanggung jawab terhadap kebenaran para penghadap, mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat atau perjanjian di bawah tangan dalam legalisasi tidak begitu saja dapat diterima. Berbagai kasus membawa Notaris menghadapi sidang kode etik dan bahkan ada yang sampai pada ranah pengadilan.8
Contoh kasus yang membawa Notaris pada masalah hukum terkait legalisasi ini adalah Kasus Notaris AHS. Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 2454/Pid.B/2018/PN Sby tanggal 14 November 2018, Notaris terdakwa AHS dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana secara bersama-sama membuat surat palsu dan divonis 1 (satu) tahun penjara potong masa tahanan. Terlepas dari pro dan kontra mengenai proses penanganan kasus ini, bahwa kasus yang melibatkan Notaris AHS ini menjadikan dia sebagai terdakwa karena melakukan legalisasi perjanjian di bawah tangan.
Notaris dalam menjalankan tugasnya harus berpedoman pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan Kode Etik Notaris. Pelanggaran terhadap peraturan perundangan dan Kode Etik Notaris mengakibatkan Notaris dijatuhi sanksi administratif, mulai dari sanksi paling ringan yaitu peringatan tertulis, pemberhentian sementara,
pemberhentian dengan hormat, hingga sanksi yang paling berat berupa pemberhentian dengan tidak hormat (Pasal 16 ayat (3) angka 11 UUJN). Selain sanksi administratif, seorang Notaris dalam menjalankan jabatannya juga dapat dipertanggungjawabkan secara perdata maupun pidana jika ada alasan untuk itu. Terkait dengan hal tersebut di atas, selain peraturan perundangan yang berlaku seorang Notaris juga harus memperhatikan asas itikad baik yang bersifat subyektif maupun itikad baik yang bersifat obyektif. Itikad baik subyektif merupakan sikap batin yang baik berupa kejujuran dalam menyampaikan kehendaknya, sedangkan itikad baik obyektif adalah keadaan di mana para pihak melaksanakan perjanjian dengan mengindahkan norma yang berlaku di Masyarakat.9 Itikad baik dari seorang Notaris menjadi sangat penting dalam memberikan perlindungan hukum bagi Notaris dalam menjalankan kewenangannya.
Liliana juga menyampaikan bahwa seorang Notaris dalam menjalankan pekerjaannya harus memperhatikan empat hal pokok yaitu:10
-
1. Dalam menjalankan tugas profesinya, seorang notaris harus mempunyai integritas moral yang mantap. Dalam hal ini, segala pertimbangan moral harus melandasi pelaksanaan tugas profesinya. Walaupun akan memperoleh imbalan jasa yang tingi, namun sesuatu yang bertentangan dengan moral yang baik harus dihindarkan.
-
2. Seorang notaris harus jujur, tidak saja pada kliennya. Juga pada dirinya sendiri ia harus mengetahui akan batas-batas kemempuannya, tidak memberikan janji-janji sekedar menyenangkan kliennya, atau agar si klien tetap mau memakai jasanya. Kesemua itu merupakan suatu ukuran tersendiri tentang kadar kejujuran intelektual seorang notaris.
-
3. Seorang notaris harus menyadari akan batas-batas kewenangan. Ia harus mentaati ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku tentang seberapa jauh ia dapat bertindak dan dan apa yang boleh serta apa yang tidak boleh dilakukan. Adalah bertentangan dengan perilaku profesional, apabila notaris ternyata berdomisili dan bertempat tinggal tidak di tempat kedudukan nya, tapi tempat tinggalnya di lain tempat. Seorang notaris juga dilarang menjalankan jabatannya di luar daerah jabatannya. Apabila ketentuan tersebut dilanggar, maka akta yang bersangkutan akan kehilangan daya otentiknya.
-
4. Sekalipun keahlian seseorang dapat dimanfaatkan sebagai upaya yang lugas untuk mendapatkan uang, namun dalam melaksanakan tugas profesinya ia tidak boleh semata-mata didorong oleh pertimbangan uang. Seorang notaris yang pancasilais harus tetap berpegang teguh kepada teguh rasa keadilan yang hakiki, tidak terpengaruh oleh jumlah uang. Dan tidak semata-mata hanya menciptakan suatu alat bukti formal mengejar adanya kepastian hukum, tapi mengabaikan rasa keadilan.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, penting untuk ditelusuri bagaimana tanggung jawab Notaris dalam kewenangannya melakukan legalisasi perjanjian di bawah tangan. Apakah pertanggungjawaban Notaris dalam membuat akta autentik juga berlaku pada legalisasi? Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pertanggungjawaban Notaris dalam melaksanakan kewenangannya melakukan legalisasi perjanjian di bawah tangan, pertimbangan yuridis seorang Notaris harus memperhatikan asas itikad baik, serta hal-hal yang seharusnya diperhatikan oleh seorang Notaris dalam
menjalankan kewenangannya memenuhi permintaan masyarakat melakukan legalisasi perjanjian di bawah tangan. Penelitian ini diharapkan mampu memberi pemahaman bagi Notaris tentang tanggungjawab yang dihadapi dan pentingnya itikad baik dalam melaksanakan kewenangan legalisasi dan rambu-rambu yang harus diperhatikan untuk meminimalisir pertanggungjawaban hukum terkait perbuatan hukum legalisasi.
Legalisasi akta di bawah tangan oleh Notaris telah dibahas dalam berbagai literatur, baik mengenai akibat hukum11 maupun kekuatan pembuktiannya.12 Tanggung jawab Notaris terhadap legalisasi akta di bawah tangan sebenarnya juga sudah dibahas dalam beberapa literatur. 13 Namun demikian, ada beberapa perbedaan antara penelitian ini dengan literatur-literatur tersebut. Pertama, penelitian ini menemukan bahwa tanggung jawab Notaris tidak sebatas pada tanggal dan tanda tangan pihak yang tercantum di dalamnya saja sebagaimana dalam Nugroho (2010) dan Putra (2020), tetapi juga memastikan bahwa isi perjanjian tersebut tidak berentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kedua, Wardhani & Julianti (2020) membandingkan pertanggungjawaban Notaris dalam legalisasi dan waarmerking serta menyebutkan pertanggungjawaban perdata dan pidana tanpa dasar pengenaan pertanggungjawaban tersebut. Sementara itu, penelitian ini tidak secara khusus membandingkan pertanggungjawaban Notaris dalam legalisasi dan waarmerking, tetapi fokus pada bentuk pertanggungjawaban Notaris dan pasal-pasal sebagai dasar pengenaan sanksi administratif, perdata, dan pidana.
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang bersifat yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach). Peneliti menitikberatkan pada penggunaan data sekunder yang dikumpulkan melalui studi dokumen. Data sekunder tersebut terdiri dari bahan hukum primer (KUHPerdata, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), UUJN); bahan hukum sekunder (buku dan artikel mengenai perjanjian, jabatan notaris, perbuatan melawan hukum, tindak pidana penyertaan); dan bahan hukum tersier (kamus hukum).
Untuk memperoleh pemahaman yang lebih komprehensif, data sekunder tersebut juga didukung dengan data primer yang diperoleh dari wawancara dengan narasumber, yakni notaris yang pernah melakukan legalisasi akta di bawah tangan; hakim yang mempunyai pengetahuan tentang legalisasi akta di bawah tangan; dan akademisi yang membidangi hukum pidana. Selanjutnya, data sekunder dan data primer yang terkumpul dianalisis secara kualitatif.
-
3. Hasil dan Pembahasan
-
3.1 Pertanggungjawaban Notaris dalam Melaksanakan Kewenangannya Melakukan Legislasi Perjanjian di Bawah Tangan
-
Philipus M. Hadjon mendeskripsikan wewenang atau kewenangan (bevoegheid) sebagai kekuasaan hukum (rechtsmacht) yang sekurang-kurangnya terdiri dari 3 (tiga komponen yaitu pengaruh, dasar hukum dan konformitas hukum. Komponen pengaruh bahwa wewenang dimaksudkan untuk mempengaruhi perilaku subyek hukum. Komponen dasar hukum berarti bahwa wewenang itu harus ada dasar hukumnya, sedangkan komponen konformitas hukum dimaknai bahwa wewenang harus ada standar umum (untuk semua jenis wewenang) dan standar khusus (untuk wewenang tertentu). 14 Selanjutnya, Hadjon menyampaikan bahwa cara mendapatkan wewenang ada 4 (empat) cara yaitu atribusi, peranserta, delegasi dan mandat. Atribusi merupakan pembentukan wewenang berdasarkan peraturan perundang-undangan. Peranserta dapat diartikan sebagai hak untuk memutus (medebeslissingrecht) ataupun partisipasi kongkrit. Delegasi merupakanpenyerahan wewenang untuk membuat Keputusan dari pejabat pemerintah kepada pihak lain yang disertai tanggung jawab pada pihak yang diserahi wewenang tersebut. Sedangkan yang dimaksud mandat adalah pelimpahan wewenang kepada bawahan untuk membuat suatu lkeputusan dengan tanggung jawab tetap pada pemberi wewenang.15
Jabatan Notaris diatur dalam UUJN dan Kode Etik Notaris. Pasal 1 angka 1 UUJN menyebutkan bahwa Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya. Kewenangan lain tersebut di atas selanjutnya diatur dalam Pasal 15 ayat (2) UUJN yang pada huruf a menyebutkan bahwa Notaris berwenang mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus. Kewenangan mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan inilah yang disebut sebagai kewenangan melakukan legalisasi.
Pasal 15 ayat (2) UUJN mengatur:
“Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Notaris berwenang pula:
-
a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
-
b. membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; c. membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;
-
d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
-
e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan Akta;
-
f. membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
-
g. membuat Akta risalah lelang.”
Berdasarkan pendapat M. Hadjon bahwa wewenang dapat diperoleh dengan atribusi, peranserta, delegasi dan mandat, maka penulis berpendapat bahwa kewenangan notaris dalam melakukan legalisasi perjanjian di bawah tangan merupakan wewenang yang diperoleh secara atributif, yaitu wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Notaris dalam melakukan legalisasi harus berpedoman pada ketentuan yang mengatur jabatan Notaris. Jabatan Notaris merupakan jabatan pelayanan publik. Berdasarkan wawancara dengan praktisi notaris Triniken Tiyas Tirlin pada tanggal 7 Juli 2021, Notaris memberikan pelayanan kepada masyarakat terkait dengan diperlukannya bukti perbuatan hukum seperti akta autentik, legalisasi dan waarmerking. Salah satu ketentuan yang mengatur kewajiban Notaris adalah Pasal 16 ayat (1) UUJN. Poin a pasal tersebut menyatakan bahwa, “Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib: a. bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum; …”. Frase “dalam menjalankan jabatannya” menunjuk pada semua kewenangan Notaris baik itu kewenangan utamanya yaitu membuat akta autentik maupun kewenangan lainnya, dalam hal ini adalah legalisasi. Oleh karenanya itu bahwa ketentuan yang mengatur mengenai adanya pertanggungjawaban Notaris dalam menjalankan jabatannya tidak hanya berlaku pada kewenangan utamanya tetapi juga kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang. Penulis berpendapat bahwa seorang Notaris harus bertanggungjawab atas perbuatan hukum yang dilakukan apabila karena kesalahannya perbutan tersebut menimbulkan kerugian pada pihak lain. Notaris yang dalam melakukan legalisasi tidak bertindak amanah, jujur, seksama, mandiri dan sebaliknya malah berpihak pada salah satu pihak sehingga menimbulkan kerugian bagi pihak yang lain akan diminta pertangungjawabannya.
Mencermati pasal-pasal dalam UUJN, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) setidaknya ada 3 pertanggungjawaban Notaris dalam melaksanakan kewenangannya yaitu pertanggungjawaban administratif, pertanggungjawaban perdata dan
pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban administratif merupakan pertanggungjawaban secara internal yang melibatkan Majelis Pengawas Notaris. Pertanggunggungjawaban administratif dalam legalisasi didasarkan pada Pasal 16 ayat (11) UUJN yang menyatakan bahwa:” Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf l dapat dikenai sanksi berupa: a. peringatan tertulis; b. pemberhentian sementara; c. pemberhentian dengan hormat; atau d. pemberhentian dengan tidak hormat.” Penjatuhan sanksi administratif menjadi kewenangan Majelis Pengawas Notaris. Mekanisme penjatuhan sanksi administratif diatur dalam UUJN dan bersifat berjenjang. Penjatuhan sanksi administratif didasarkan pada berat tidaknya pelanggaran yang dilakukan Notaris. Sanksi teguran lisan dan tertulis menjadi wewenang Majelis Pengawas Wilayah (Pasal 73 ayat (1) huruf e) sedangkan sanksi pemberhentian sementara dan pemberhentian dengan tidak hormat menjadi kewenangan Majelis Pengawas Pusat (Pasal 73 ayat (1) huruf f).
Pertanggungjawaban kedua dalam legalisasi adalah pertanggungjawan perdata. Pertanggungjawaban perdata Notaris merujuk pada ketentuan Pasal 16 ayat (12) UUJN yang berbunyi, “Selain dikenai sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (11), pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf j dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris.” Pertanggungjawaban perdata dalam legalisasi didasarkan pada ada tidaknya ketentuan hukum yang dilanggar dan kesalahan yang dilakukan notaris sehingga menimbulkan kerugian pada pihak lain. Pertanggungjawaban Notaris secara perdata dapat dilakukan melalui gugatan berdasarkan Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Pasal 1365 KUHPerdata menyatakan bahwa, “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut." Ada 5 unsur yang PMH yaitu:16
-
a. ada suatu perbuatan;
-
b. Perbuatan tersebut melawan hukum;
-
c. Adanya kesalahan dari pihak pelaku;
-
d. Adanya kerugian bagi korban;
-
e. adanya hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian.
Notaris yang melakukan perbuatan legalisasi dengan tidak mengindahkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf a UUJN yaitu bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan piha-pihak yang terkait telah melakukan perbuatan yang melawan hukum. Apabila Notaris melakukan perbuatan yang melawan hukum tanpa adanya alasan pemaaf atau pembenar maka Notaris telah melakukan kesalahan, yang apabila perbuatan tersebut menimbulkan kerugian bagi pihak lain maka terpenuhilah unsur-unsur PMH. Dalam kasus a quo, Notaris AHS melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf a UUJN. Notaris AHS melakukan legalisasi akta di bawah tangan yang obyeknya diketahui telah menjadi milik orang lain. Perbuatan legalisasi tersebut menimbulkan kerugian pada pemilik obyek, oleh karenanya Notaris yang karena kesalahannya menimbulkan kerugian bagi pihak lain wajib mengganti kerugian.
Pertanggungjawaban yang ketiga adalah pertanggungjawaban pidana. Dalam UUJN tidak ditemukan ketentuan yang mengatur pertanggungjawaban pidana seorang Notaris. Hal tersebut bukan berarti Notaris tidak dapat terjerat dalam perkara pidana. Ketentuan-ketentuan dalam KUHP berlaku bagi semua orang termasuk Notaris. Pasal dalam KUHP yang potensi menjerat Notaris dalam legalisasi misalnya Pasal 55 KUHP tentang penyertaan (deelneming).
Pasal 55 KUHP ayat (1) mengatur:
“Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:
-
1. mereka yang melakukan, yang menyuruhmelakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan;
-
2. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.”
Selanjutnya, Pasal 55 KUHP ayat (2) mengatur:
“Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.”
Menurut Supriyadi, Notaris dalam legalisasi bersifat pasif. Pasif di sini berarti bahwa Notaris tidak boleh ikut dalam pembuatan perjanjian di bawah tangan tersebut. Perjanjian harus dibuat sendiri oleh para pihak sehingga Notaris hanya akan melihat dan mengesahkan saja. Selanjutnya, Tirlin mengatakan bahwa dalam praktiknya, Notaris seringkali diminta oleh para pihak untuk ikut dalam proses pembuatan perjanjian di bawah tangan yang dilegalisasi, baik langsung maupun tidak langsung melalui staf Notaris. Di sisi yang lain, Notaris juga merasa “perlu membantu” karena para pihak kurang memahami klausula-klausula yang harus masuk dalam perjanjian. Praktik semacam ini sangat merugikan Notaris karena menyalahi prinsip-prinsip dalam legalisasi. Dalam kasus a quo, Notaris AHS dijatuhi pidana penjara 1 (satu) tahun karena dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana secara bersama-sama membuat surat palsu. Melakukan tindakan bersama-sama dalam tindak pidana pada hakikatnya memiliki pengertian yang lebih luas dibandingkan dengan pengertian turut serta.
Melakukan tindakan bersama-sama dalam tindak pidana disebut dengan istilah penyertaan (deelneming/complicity). Penyertaan ini bisa dibagi menjadi pembuat (dader) dan pembantu (medeplichtige). Pembuat (dader) sebagaimana diatur dalam Pasal 55 KUHP terdiri dari pelaku (pleger), yang menyuruhlakukan (doenpleger), yang turut serta (medepleger) dan penganjur (uitlokker). Sedangkan pembantu (medeplichtige) sebagaimana diatur dalam Pasal 56 KUHP terdiri dari pembantu saat kejahatan dilakukan dan pembantu sebelum kejahatan dilakukan. Dengan demikian, turut serta (medepleger) itu merupakan bagian dari melakukan tindakan bersama-sama dalam tindak pidana atau penyertaan. Dalam risalah penjelasan KUHP (Memorie van Toelichting), pengertian orang yang turut serta melakukan (medepleger) adalah orang yang dengan sengaja turut berbuat atau turut mengerjakan terjadinya sesuatu.
Selain Pasal 55 KUHP, legalisasi oleh Notaris yang tidak dilakukan sesuai prinsip-prinsip dalam legalisasi berpotensi masuk dalam delik pemalsuan dokumen seperti
yang diatur dalam Pasal 263 KUHP. Dalam legalisasi Notaris harus menerapkan prinsip pasif yang berkehati-hatian yaitu dengan memperhatikan Pasal 16 ayat (1) huruf a UUJN. Pasal 263 ayat (1) KUHP menyebutkan, “Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.” Pasal 263 ayat (2) KUHP mengatur, “Diancam dengan pdana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.”
Berdasarkan hasil wawancara dengan praktisi hakim Supandriyo pada tanggal 1 Oktober 2021, memalsukan dokumen pada hakikatnya merupakan bagian dari bentuk pemalsuan surat, di mana perbuatan pemalsuan surat itu bisa dibedakan menjadi “membuat surat palsu” dan “memalsukan surat”. Membuat surat palsu bisa dimaknai sebagai membuat surat yang isinya tidak benar, isinya tidak sesuai dengan faktanya, atau membuat surat sedemikian rupa sehingga menunjukkan asal surat itu yang tidak benar. Sedangkan memalsukan surat bisa dimaknai sebagai perbuatan mengubah surat sedemikian rupa sehingga menjadi lain dari isi surat yang aslinya. Dengan demikian, memalsukan dokumen itu bisa disamakan dengan memalsukan surat. Perbuatan memalsukan dokumen tidak harus dibuat dengan tangan sendiri, melainkan bisa dilakukan pula dengan mengarahkan atau menganjurkan suatu tindakan yang tidak sesuai dengan sebenarnya. Dengan demikian, pelakunya bisa saja cukup mengarahkan atau menganjurkan kepada orang lain untuk memalsukan dokumen. Disini pelakunya akan bisa dijerat dengan penyertaan dalam KUHP sebagai pelaku (pleger), yang menyuruhlakukan (doenpleger), atau pengajur (uitlokker). Hal ini akan bergantung pada perannya dalam terjadinya tindak pidana. Namun demikian, untuk bisa dikenakan delik pemalsuan, maka harus dibuktikan terlebih dahulu bahwa perbuatannya memenuhi rumusan delik pemalsuan surat sebagaima diatur dalam KUHP.
-
3.2 Pertimbangan Yuridis Seorang Notaris Harus Memperhatikan Asas Itikad Baik dalam Melaksanakan Kewenangannya dalam hal Melakukan Legalisasi Perjanjian di Bawah Tangan
Itikad baik dalam hukum perdata ada 2 macam, yaitu itikad baik subyektif dan itikad baik obyektif. Itikad baik dalam artian subyektif yaitu berupa sikap batin, kejujuran dalam memulai hubungan hukum. Itikad baik obyektif diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) jo. Pasal 1339 KUHPerdata yang menyatakan bahwa perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang secara tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjianhya diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.
Legalisasi merupakan pelaksanaan kewenangan Notaris sebagai pejabat umum. Kewenangan yang diberikan oleh undang-undang tersebut dalam implementasinya akan menjadi dasar dari hubungan hukum antara Notaris dan klien. Hubungan antara Notaris dan klien selanjutnya didasarkan pada perjanjian jasa. Dalam legalisasi, Notaris harus membatasi diri tidak ikut terlibat dalam pembuatan perjanjian di bawah tangan baik secara langsung maupun tidak langsung (melalui karyawan Notaris). Penulis
berpendapat bahwa dalam memulai hubungan hukum antara Notaris dan klien Notaris maupun klien harus sama-sama mengedepankan kejujuran, keterbukaan dan memberikan informasi yang benar sehingga tidak akan mencederai hubungan hukum tersebut. Itikad baik subyektif berupa kejujuran dan keterbukaan ini akan menghindarkan para pihak, baik Notaris maupun klien terhadap hal-hal yang akan merugikan. Melihat fakta-fakta yang disampaikan oleh klien dan berdasarkan pengetahuan yang dimiliki Notaris atas isi dari perjanjian akan ditentukan apakah legalisasi tersebut aman ataukah berpotensi menimbulkan konflik.
Itikad baik obyektif berada pada tataran pelaksanaan perjanjian. Pasal 1339 ayat (3) KUHPerdata menyebutkan bahwa suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Legalisasi perjanjian di bawah tangan merupakan produk dari hubungan hukum perjanjian jasa antara Notaris dan klien. Ada kewajiban hukum bagi klien untuk menggunakan perjanjian di bawah tangan yang dilegalisasi untuk perbuatan hukum yang tidak dilarang oleh undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Menggunakan perjanjian di bawah tangan yang dilegalisasi untuk perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh hukum, baik itu hukum tertulis maupun tidak tertulis akan membawa Notaris dalam permasalahan hukum.
UUJN mengatur adanya lembaga pengawas Notaris yang berjenjang mulai dari tingkat kabupaten/kota yaitu Majelis Pengawas Daerah (MPD), tingkat provinsi/wilayah yaitu Majelis Pengawas Wilayah (MPW) dan tingkat pusat yaitu Majelis Pengawas Pusat (MPP). Notaris yang terkena permasalahan hukum yang dilaporkan oleh masyarakat akan diproses MPD. MPD akan melakukan pemanggilan Notaris maupun pelapor untuk klarifikasi. Dalam klarifikasi tersebut MPD akan melihat apakah Notaris telah melakukan jabatannya sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku atau tidak. Notaris yang melakukan pekerjaannya dengan mendasarkan pada peraturan yang berlaku dan Kode Etik Notaris dapat dikatakan melakukan jabatannya dengan itikad baik. Namun sebaliknya jika Notaris melaksanakan jabatannya dengan mengabaikan ketentuan peraturan perundang-undangan dan Kode Etik Notaris maka dapat dikatakan beritikad buruk. Notaris yang mempunyai itikad baik dalam pelaksanaan jabatannya tentu akan terhindar dari sanksi administratif. Notaris yang mempunyai itikad buruk dalam pelaksanaan jabatannya tentu akan menerima sanksi. Pasal 9 ayat (1) huruf d mengatur bahwa Notaris diberhentikan sementara dari jabatannya apabila melakukan pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan jabatan serta Kode Etik Notaris. Ayat (2) menyatakan bahwa sebelum pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan, Notaris diberi kesempatan untuk membela diri di hadapan Majelis Pengawas secara berjenjang.
Sanksi perdata Notaris dalam legalisasi dapat menggunakan Pasal 1365 KUHPerdata yaitu Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Unsur-unsur PMH ada 5 (lima) yaitu adanya perbuatan, perbuatan tersebut melawan hukum, adanya kesalahan, adanya kerugian dan adanya hubungan kausal antara perbuatan tersebut dengan kerugian yang ditimbulkan. Notaris yang beritikad baik dalam melaksanakan jabatannya tentu akan berpedoman pada peraturan maupun Kode Etik Notaris. Salah satu ketentuan dalam UUJN yang merupakan implementasi asas itikad baik adalah Pasal 16 ayat (1) huruf a yang menyatakan bahwa dalam menjalankan jabatannya Notaris wajib bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum.
Notaris adalah pejabat umum yang diangkat oleh pemerintah. Menjadi sebuah pertanyaan adalah apakah Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum yang karena perbuatannya itu merugikan pihak lain dapat melimpahkan tanggungjawabnya kepada pemerintah? Sudikno Mertokususmo mengatakan bahwa pada umumnya memang segala tindakan dari pegawai ditanggung oleh negara (pemerintah). Namun terdapat perkecualian yaitu pada pejabat umum tertentu semisal pegawai pencatat jiwa, kepala kantor kadaster, syahbandar dan Notaris. Pegawai-pegawai tersebut bertanggungjawab secara langsung atas perbuatannya yang melawan hukum terhadap pihak ketiga.17
Kode Etik Notaris merupakan pedoman bertindak Notaris dalam menjalankan jabatannya. Kode Etik Notaris telah mengalami perubahan dan penyempurnaan yang terakhir kali diubah pada Konggres Luar Biasa Ikatan Notaris Indonesia (INI) di Banten tanggal 29 sampai dengan 30 Mei 2015. Beberapa etika Notaris yang relevan dengan topik penelitian ini diatur dalam Pasal 3 angka 4 yang menyatakan bahwa Notaris wajib memiliki moral, akhlak serta kepribadian yang baik; menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat Jabatan Notaris; menjaga dan membela kehormatan Perkumpulan; berperilaku jujur, mandiri, tidak berpihak amanah, seksama, penuh rasa tanggung jawab berdasarkan peraturan perundang-undangan dan isi sumpah jabatan Notaris.
Unsur melawan hukum dari PMH dalam perkembangannya tidak hanya melawan undang-undang akan tetapi berkembang menjadi lebih luas lebih dari sekedar melawan hukum tertulis.18 Sejak tahun 1919, di Negeri Belanda dan juga di Indonesia perbuatan melawan hukum telah diartikan secara luas, yang mencakup salah satu dari perbuatan-perbuatan hukum: perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain, perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum dari si pembuat, perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan, serta perbuatan yang bertentangan dengan kehati-hatian atau keharisan dalam pergaulan masyarakat yang baik.19
Notaris yang melakukan kewenangan dalam legalisasi hanya akan dipertanggungjawabkan secara perdata melalui PMH jika keempat unsur PMH terpenuhi, yaitu ada perbuatan yang melawan hukum yang dilanggar Notaris, adanya kesalahan, adanya kerugian dan kerugian tersebut diakibatkan legalisasi yang dilakukan Notaris. Dalam hal salah satu unsur PMH tidak terpenuhi maka Notaris akan terhindar dari pertanggungjawaban perdata karena PMH. Unsur penting dalam PMH yang harus dipahami Notaris dalam melakukan legalisasi adalah tentang makna dan cakupan dari perbuatan melawan hukum.
Melawan hukum adalah perbuatan yang bertentangan hukum (onrechmatige daad) bukan hanya sekedar melawan undang-undang tertulis (onwetmatige daad). Hal ini jelas bahwa jika Notaris tidak melakukan apa yang diatur dalam ketentuan dalam peraturan perundang-undangan dan/atau Kode Etik Notaris dan ketentuan tidak tertulis lainnya,
kesusilaan, ketertiban umum dan kepatutan maka di katakan bahwa Notaris telah melawan hukum.
Termasuk melawan hukum adalah perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain. Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain (inbreak opens anders recht) termasuk perbuatan yang dilarang oleh Pasal 1365 KUHPerdata. Hak-hak yang dilanggar tersebut merupakan hak-hak seseorang yang diakui oleh hukum, termasuk tetapi tidak terbatas pada hak-hak pribadi (persoonlijkheidsrechten), hak-hak kekayaan (vermorgensrecht), hak atas kebebasan dan hak atas kehormatan dan nama baik. Termasuk melawan hukum adalah perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum (recht splicht) dari pelakunya. Kewajiban hukum adalah kewajiban yang diberikan oleh hukum terhadap seseorang (baca: Notaris). Termasuk melawan hukum adalah perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan. Tindakan melanggar kesusilaan yang oleh masyarakat telah diakui sebagai hukum tidak tertulis dianggap sebagai perbuatan melawan hukum. Orang yang melakukan perbuatan tersebut sehingga menimbulkan kerugian pada orang lain, maka pihak yang menderita kerugian dapat menuntut ganti rugi berdasarkan PMH. 20 Termasuk melawan hukum adalah bertentangan dengan kehati-hatian atau keharusan dalam pergaulan masyarakat yang baik (zorgvuldigheid). Seseorang yang melakukan tindakan merugikan orang lain namun tidak dengan melanggar pasal-pasal dari hukum tertulis, masih mungkin dijerat dengan PMH karena tindakannya tersebut bertentangan dengan prinsip kehati-hatian atau keharusan dalam pergaulan masyarakat.21
Seseorang yang perbuatannya melawan hukum belum tentu dapat dijatuhi sanksi. Ada alasan pembenar yang menggugurkan sifat melawan hukum atau meniadakan sifat melawan hukum sehingga menjadi perbuatan yang benar. Rachmat Setiawan dalam bukunya Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum mengatakan ada 4 alasan pemaaf (rechtvaardigingsgronden) yaitu keadaan memaksan (overmacht), pembelaan terpaksa, melaksanakan undang-undang dan perintah atasan.22
Akibat dari PMH adalah adanya ganti kerugian. Ganti kerugian dalam PMH lebih luas dibandingkan ganti kerugian akibat wanprestasi. Ganti kerugian akibat wanprestasi terbatas pada ganti kerugian yang bersifat materiil sedangkan ganti kerugian dalam PMH dapat berupa materiil maupun immaterial. Moegni Djojodirjo mengatakan bahwa Pasal 1365 KUHPerdata memberikan kemungkinan beberapa jenis penutuntutan antara lain ganti kerugian atas kerugian dalam bentuk uang, ganti kerugian atas kerugian dalam bentuk natura atau pengembalian keadaan semula, pernyataan bahwa perbuatan yang dilakukan adalah melawan hukum, larangan untuk melakukan suatu perbuatan, meniadakan sesuatu yang diadakan secara melawan hukum dan pengumuman dari sesuatu yang telah diperbaiki.23
Sanksi pidana Notaris dalam legalisasi terbuka melalui Pasal 55 dan Pasal 263 KUHP. Pasal 55 KUHPidana mengatur mengenai delik penyertaan (deelneming). Ancaman pidana bagi pelaku (dader) baik untuk pelaku (pleger), yang menyuruhlakukan
(doenpleger), yang turut serta (medepleger) dan penganjur (uitlokker) sesuai dengan ancaman pidana delik yang dilakukan. Misal dalam kasus a quo, delik yang dituduhkan adalah Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan dokumen dengan ancaman hukuman pidana maksimal 6 tahun penjara.
Notaris yang dalam melakukan legalisasi perjanjian di bawah tangan telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan Kode Etik Notaris seharusnya tidak akan terjerat dalam delik penyertaan dan pemalsuan dokumen. Notaris yang beritikad baik akan memperhatikan dan mentaati ketentuan-ketentuan tersebut di atas.
Menurut Supriyadi, itikad baik dalam hukum pidana sangat erat kaitannya dengan ada tidaknya niat jahat (mens rea). Penulis berpendapat bahwa Notaris yang dalam pelaksanaan jabatannya telah berpedoman dan mentaati pada peraturan perundang-undangan yang berlaku serta Kode Etik Notaris maka Notaris tersebut memiliki itikad yang baik, meskipun masih dapat dipertanyakan apakah Notaris yang beritikad baik akan terlepas dari jeratan niat jahat (mens rea) karena niat jahat itu adanya dalam hati dan tidak nampak dari luar. Merujuk pada pendapatnya Prof. Moeljatno, S.H., maka pengertian “niat” dalam hukum pidana itu merupakan sikap batin yang memberi arah kepada perbuatan (subjective onrechtselement). Dengan demikian, sikap batin ini bisa memberi arah kepada perbuatan yang baik dan perbuatan yang jahat. Jika sikap batin ini memberi arah kepada perbuatan yang jahat, maka sikap batin ini menjadi sikap batin yang jahat (mens rea) sehingga niatnya merupakan niat jahat. Begitu pula sebaliknya. Dalam hal ini bisa saja niat jahat disamakan maknanya dengan itikad buruk, karena itikad buruk itu juga akan mengarahkan kepada perbuatan yang buruk pula. Niat jahat dapat berubah menjadi kesengajaan apabila sudah ditunaikan/diwujudkan menjadi perbuatan yang dituju yaitu kejahatan.
Terkait dengan kasus a quo, Notaris tersebut seharusnya menolak untuk melakukan legalisasi karena Notaris mengetahui secara persis bahwa materi dari legalisasi tersebut tidak benar dan Notaris seharusnya justru memberikan penjelasan yang benar kepada kliennya sebagai bagian dari tugasnya memberikan penyuluhan hukum. Dalam kasus di atas, Notaris AHS sangat mengetahui bahwa materi surat pernyataan yang dimintakan legalisasi tersebut tidak benar karena untuk tanah yang menjadi obyek disurat yang dilegalisasi itu sudah beralih dan sudah menjadi milik orang lain, namun notaris AHS tetap melakukan legalisasi. Di sini justru Notaris akan dinilai memiliki kesengajaan untuk turut serta melakukan perbuatan yang telah mengarah kepada pemalsuan surat. Meskipun tindakan notaris tersebut didasarkan pada itikad baik yaitu membantu kliennya, namun hal tersebut tidak bisa dijadikan sebagai alasan pembenar maupun alasan pemaaf, karena notaris tersebut membantu untuk mewujudkan terjadinya kejahatan.
Sementara itu, Supandriyo menilai bahwa Notaris tersebut seharusnya menolak untuk melakukan legalisasi karena Notaris mengetahui secara persis bahwa materi dari legalisasi tersebut tidak benar dan Notaris seharusnya justru memberikan penjelasan yang benar kepada kliennya sebagai bagian dari tugasnya memberikan penyuluhan hukum. Dalam kasus di atas, Notaris AHS sangat mengetahui bahwa materi surat pernyataan yang dimintakan legalisasi tersebut tidak benar karena untuk tanah yang menjadi obyek disurat yang dilegalisasi itu sudah beralih dan sudah menjadi milik
orang lain, namun notaris AHS tetap melakukan legalisasi. Itikad baik bisa terlihat dari kejujuran (subyektif) maupun pelaksanaan perbuatan (obyektif). Notaris A tidak bersikap jujur karena sebenarnya dia sudah tahu bahwa materi legalisasi tersebut tidak betul. Dan seharusnya disadari dengan melakukan legalisasi tersebut akan menimbulkan kerugian pada pihak yang lain. Akan muncul sengketa terkait dengan adanya legalisasi tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa notaris A tidak beritikad baik.
Penulis ingin menyampaikan di sini bahwa terlepas ada tidaknya niat jahat (mens rea), itikad baik Notaris berupa ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan dan Kode Etik sangat bermanfaat dan meringankan bahkan dapat menghindarkan Notaris dari penjatuhan sanksi pidana jika terbukti tidak ada niat jahat dari Notaris.
-
3.3 Hal-hal yang Seharusnya Diperhatikan Seorang Notaris dalam Menjalankan Kewenangannya Memenuhi Permintaan Masyarakat Melakukan Legalisasi Perjanjian di Bawah Tangan
Perjanjian di bawah tangan merupakan perjanjian yang dibuat sendiri oleh para pihak tanpa melibatkan pejabat yang berwenang baik Notaris, PPAT ataupun pejabat lain yang diberikan kekuasaan oleh undang-undang untuk itu. Perjanjian di bawah tangan dalam praktek sehari-hari juga disebut akta di bawah tangan. Akta di bawah tangan (onderhands acte) adalah akta yang dibuat tidak oleh atau tanpa perantaraan seorang pejabat umum, melainkan dibuat dan ditandatangani sendiri oleh para pihak yang mengadakan perjanjian.24 Para pihak, untuk kepentingannya seringkali membawa akta di bawah tangan ini pada Notaris untuk dilakukan legalisasi, meskipun dengan legalisasi tidak mengubah akta di bawah tangan menjadi akta autentik. Dalam legalisasi penadatanganan perjanjian oleh para pihak dilakukan di hadapan Notaris. Notaris melakukan pengecekan kebenaran penghadap untuk mengesahkan tandatangan yang dilakukan di hadapan Notaris.
Pasal 15 ayat (2) huruf a menyebutkan bahwa Notaris berwenang mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus. Notaris Triniken menyampaikan bahwa legalisasi perlu mendapatkan perhatian khusus di samping akta autentik. Notaris harus melakukan pengadministrasian (pencatatan) dan pendokumentasian dokumen legalisasi. Sebagai tindak lanjut, dalam dokumen Berita Acara Pemeriksaan Notaris oleh MPD di DIY telah dimasukkan penilaian tentang tertib administrasi dalam hal legalisasi.
Tirlin menjelaskan bahwa dalam legalisasi notaris bersifat pasif tetapi harus menerapkan prinsip kehati-hatian. Notaris harus berprinsip amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, serta menjaga kepentingan piha-pihak yang terkait. Notaris tidak boleh bersembunyi pada sikap pasif dalam melakukan legalisasi sehingga mengabaikan prinsip-prinsip tersebut di atas. Pasal 15 ayat (2) huruf e menyatakan bahwa Notaris mempunyai kewenangan memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan Akta. Pembuatan akta di sini harus diartikan secara luas yaitu pembuatan akta autentik maupun akta dibawah tangan yang dimintakan legalisasi pada Notaris. Notaris adalah orang yang dianggap tahu hukumnya dalam hal pembuatan
akta sehingga menjadi tanggung jawab Notaris untuk memberikan penyuluhan hukum apabila ada materi akta yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Notaris dalam melaksanakan jabatannya harus prudent (hati-hati), teliti, akuntabel, tidak melakukan legalisasi yang akibat perbuatannya itu akan merugikan pihak lain atau akan menimbulkan masalah. Notaris harus berani menolak melakukan legalisasi jika dia mengetahui isi surat atau perjanjian yang dilegalisasi itu mengandung ketidakbenaran atau bertentangan dengan UU. Rumusan legalisasi saat ini lebih singkat dibandingkan dengan yang awal karena memang untuk legalisasi hakim bersifat pasif. Terkait dengan hal tersebut Triniken menegaskan bahwa meskipun rumusannya menjadi lebih singkat menjadi “melihat dan mengesahkan” akan tetapi tetap harus dimaknai bahwa Notaris membaca, menjelaskan dan memberikan penyuluhan hukum terkait isi dari akta di bawah tangan yang dilegalisasi.
Penandatanganan perjanjian di bawah tangan yang dilegalisasi harus di hadapan Notaris, tidak boleh di waktu dan tempat yang lain. Kohar dalam bukunya Notaris Dalam Praktek Hukum mengatakan bahwa untuk keperluan legalisasi para penandatangan perjanjian harus datang menghadap Notaris dan tidak boleh ditandatangani sebelumnya di rumah. Notaris memeriksa identitas para penghadap untuk memastikan bahwa yang datang benar-benar sesuai dengan kartu identitasnya baik nama, alamat dan fotonya.25 Tirlin menjelaskan bahwa dalam legalisasi, Notaris membacakan dan menjelaskan isi perjanjian di bawah tangan yang dilegalisasi. Jika perjanjian tersebut bertentangan dengan undang-undang, maka akta harus diubah, atau jika para penghadap tidak mau mengubah maka Notaris tidak boleh melegalisasi.
Tirlin menyampaikan bahwa meskipun Notaris harus mengetahui isi dari perjanjian di bawah tangan bukan berarti Notaris bertanggung jawab terhadap kebenaran materiil dari perjanjian yang dilegalisasi. Mempedomani kekuatan pembuktian materiil dalam akta autentik dapat disampaikan bahwa dalam legalisasi Notaris hanya membaca dan mencermati isi perjanjian di bawah tangan dan tidak diwajibkan untuk menyelidiki kebenaran materiil yang dikemukakan (baca: ditulis) para penghadap.26
Pada akhirnya di bawah ini disampaikan beberapa hal yang harus diperhatikan Notaris dalam melakukan legalisasi:
-
1. Dalam legalisasi Notaris harus mengedepankan sikap amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, serta menjaga kepentingan piha-pihak yang terkait;
-
2. Dalam legalisasi Notaris tidak boleh ikut campur tangan dalam pembuatan draft perjanjian di bawah tangan baik langsung oleh Notaris sendiri atau tidak langsung melalui karyawan Notaris. Para pihak disyaratkan harus sudah membawa perjanjian di bawah tangan yang akan dilegalisasi dari rumah.
-
3. Jika penghadap (para pihak) masih belum membuat perjanjian di bawah tangan yang akan dilegalisasi maka setelah mendapatkan penjelasan Notaris, para pihak dipersilahkan pulang terlebih dahulu untuk menyusun draft perjanjian di rumah;
-
4. Notaris harus melakukan pengecekan terhadap data penghadap secara seksama sebelum legalisasi;
-
5. Notaris harus memastikan materi perjanjian yang akan dilegalisasi dibenarkan menurut hukum;
-
6. Notaris tidak menerima fee (upah) yang melebihi ketentuan yang berlaku untuk legalisasi;
-
7. Notaris harus melakukan pembukuan legalisasi yang dibuatnya dalam buku khusus untuk pengadministrasian yang baik;
-
8. Notaris harus mendokumentasikan berkas-berkas legalisasi dengan baik.
Dari hasil penelitian dan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pertanggungjawaban Notaris dalam melaksanakan kewenangannya melakukan legalisasi perjanjian di bawah tangan adalah pertanggungjawaban administratif, pertanggungjawaban perdata, dan/atau pertanggungjawaban pidana.
Pertanggungjawaban administratif didasarkan pada Pasal 16 ayat (1) huruf a jis. Pasal 16 ayat (11), Pasal 73 ayat (1) huruf e dan huruf f UUJN. Pertanggungjawaban perdata didasarkan pada Pasal 16 ayat (2) UUJN jo. Pasal 1365 KUHPerdata tentang Perbuatan Melawan Hukum. Pertanggunjawaban pidana didasarkan pada Pasal 55 KUHP tentang delneming dan Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan dokumen. Itikad baik harus menjadi pegangan Notaris dalam menjalankan jabatannya karena itikad baik akan menghindarkan Notaris dari adanya sanksi administratif, sanksi perdata, dan sanksi pidana. Itikad baik dapat menghindarkan Notaris dalam jerat niat jahat (mens rea) dalam hukum pidana. Dalam melakukan legalisasi, Notaris bersifat pasif dalam arti tidak diperbolehkan mencampuri isi dari kesepakatan para pihak dalam perjanjian di bawah tangan. Namun, Notaris harus tetap menerapkan kehati-hatian dengan memastikan tidak terlibat dalam pembuatan draft perjanjian di bawah tangan yang dilegalisasi baik langsung maupun tidak langsung (melalui karyawannya), mencermati isi perjanjian di bawah tangan untuk memastikan tidak melawan hukum untuk keamanan notaris. Selain itu, Notaris juga harus melakukan pencatatan legalisasi dalam buku khusus serta membukukan dokumennya dengan tertib.
Berdasarkan ketiga poin di atas, ada beberapa hal yang Penulis rekomendasikan. Pertama, Notaris seyogyanya menerapkan prinsip kehati-hatian dalam melakukan legalisasi dengan membaca dan memahami isi dari perjanjian di bawah tangan yang dilegalisasi untuk memastikan bahwa tidak ada ketentuan hukum yang dilanggar. Notaris sebaiknya tidak terlibat dalam pembuatan perjanjian di bawah tangan yang dilegalisasi, baik membuatkan draft; menganjurkan; bersekongkol; atau memberikan jalan keluar yang berpotensi menimbulkan sengketa. Kedua, pengguna jasa Notaris seyogyanya membuat sendiri perjanjian di bawah tangan yang akan dimintakan legalisasi Notaris. Ketiga, INI dan MPD perlu memberikan penyuluhan secara kontinyu bagi Notaris tentang tanggung jawab jabatan, khususnya terkait legalisasi. Keempat, penegak hukum dalam melakukan pemeriksaan pada Notaris yang tersangkut masalah hukum hendaknya memahami perbedaan batas-batas kewenangan Notaris dalam pembuatan akta autentik, legalisasi, maupun waarmerking serta ada/tidaknya itikad buruk dari Notaris.
Ucapan Terima Kasih (Acknowledgments)
Banyak pihak yang telah membantu terselesaikannya penelitian ini. Ucapan terima kasih yang tulus Penulis sampaikan kepada:
-
1. Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada beserta jajarannya yang telah memberikan kesempatan dan pendanaan kepada Penulis untuk melakukan penelitian melalui Divisi Riset Unit Riset dan Publikasi;
-
2. Para Narasumber, Dr. Supandriyo, S.H., M.H.; Dr. Supriyadi, S.H., M.Hum.; dan Ibu Notaris/PPAT Triniken Tiyas Tirlin, S.H.; serta
-
3. Asisten Peneliti, Ilham Adi Nurcahya dan Annisa Ayuningtyas, S.H., LL.M.
Daftar Pustaka
Budiono, Herlien. Kumpulan Tulisan Di Bidang Hukum Perdata (Buku Kedua). Bandung: Citra Aditya Bakti, 2013.
Djojodirjo, Moeni. Perbuatan Melawan Hukum. Pradnya Paramita, 1979.
Fuadi, Munir. Konsep Hukum Perdata. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2016.
Garner, Bryan A. Black’s Law Dictionary. St. Paul, MN: West Group, 2000.
Hadjon, Philipus M. "Tentang Kewenangan." Yuridika 12, no. 1 (Mei 1997). https://journal.unair.ac.id/[email protected]
Harfiah, Cici. “Kekuatan Pembuktian Akta di Bawah Tangan Dihubungkan dengan Wewenang Notaris dalam Legalisasi dan Waarmerking.” Tesis, Universitas Airlangga, 2006. http://repository.unair.ac.id/id/eprint/35969.
Kohar, A. Notaris Dalam Praktek Hukum. Bandung: Alumni, 1983.
Krisyanto, Tegas Hari, Zainul Daulay, dan Benny Beatrix. “Strength of Evidence of Notarial Deed in the Perspective of Cyber Notary in Indonesia.” International Journal of Multicultural and Multireligious Understanding 6, no. 3 (Juni 2019): 775– 84. http://dx.doi.org/10.18415/ijmmu.v6i3.906.
Lombogia, Indry. “Tinjauan Yuridis Pembuktian Legalisasi (Waarmerking) Akte Bawah Tangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris.” Lex Et Societatis 7, no. 1 (2019): 99–106.
https://doi.org/10.35796/les.v7i1.22852.
Meitinah. “Kekuatan Pembuktian Akta di Bawah Tangan yang Telah Memperoleh Legalisasi dari Notaris” 36, no. 4 (2006): 443–68.
http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol36.no4.1473.
Mertokusumo, Sudikno. Perbuatan Melawan Hukum Oleh Pemerintah. Yogyakarta: CV. Maha Karya Pustaka, 2019.
———. Perkembangan Hukum Perdata di Indonesia. Yogyakarta: Genta, 2019.
Nico. Tanggung Jawab Notaris Selaku Pejabat Umum. Yogyakarta: Center for
Documentation and Studies of Business Law, 2003.
Notodisoerjo, R. Soegondo. Hukum Notariat di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafndo Persada, 1993.
Nugroho, Muhammad Aji Budi. “Peranan dan Tanggung Jawab Notaris dalam Legalisasi Akta di Bawah Tangan.” Tesis, Universitas Gadjah Mada, 2010. http://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/48473.
Prastomo, Dimas Agung, dan Akhmad Khisni. “Akibat Hukum Akta Di Bawah Tangan Yang Dilegalisasi Oleh Notaris.” Jurnal Akta 4, no. 4 (Desember 2017): 727–38. http://dx.doi.org/10.30659/akta.v4i4.2519.
Puspa, Yan Pramadya. Kamus Hukum (Edisi Lengkap, Bahasa Belanda, Indonesia, Inggris). Semarang: Aneka Ilmu, 1977.
Putra, Trisna Eka Yandra. “Tanggung Jawab Notaris Terhadap Legalisasi Akta Dibawah Tangan Yang Dibatalkan Oleh Pengadilan.” Tesis, Universitas Islam Indonesia, 2020.
https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/30462/16921032%20Tris na%20Eka%20Yandra%20Putra.pdf?sequence=1.
Setiawan, Rachmat. Tinjauan Elementer Perbuatan Melanggar Hukum. Bandung: Binacipta, 1991.
Subekti, R. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa, 2005.
Supandriyo. Wawancara dengan Narasumber Praktisi Hakim. Diwawancarai oleh Ninik Darmini, 1 Oktober 2021.
Supriyadi. Wawancara dengan Narasumber Akademisi. Diwawancarai oleh Ninik Darmini, 3 Oktober 2021.
Suroso, R. Perjanjian Di Bawah Tangan (Pedoman Praktis Pembuatan Dan Aplikasi Hukum). Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
Tedjosaputro, Liliana. Etika Profesi Notaris dalam Penegakan Hukum Pidana. Yogyakarta: BIGRAF Publishing, 1995.
Tirlin, Triniken Tyas. Wawacara dengan Narasumber Praktisi Notaris. Diwawancarai oleh Ninik Darmini, 7 Juli 2021.
Utami, Rini Tri. “Kekuatan Pembuktian Akta di Bawah Tangan yang Telah Disahkan (Legalisasi) oleh Notaris sebagai Alat Bukti di Pengadilan.” Tesis, Universitas Gadjah Mada, 2010. http://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/46561.
Wardhani, Sang Ayu Made Ary Kusuma, dan Ni Made Julianti. “Tanggung Jawab Notaris terhadap Legalisasi Akta Dibawah Tangan.” Kerta Dyatmika 17, no. 2 (2020): 45–55. https://doi.org/10.46650/kd.17.2.985.36-44.
Wijayanti, Wening. “Tinjauan Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta di Bawah Tangan Dihubungkan dengan Wewenang Notaris dalam Legalisasi dan Waarmerking.” Master Thesis, Universitas Gadjah Mada, 2014.
http://etd.repository.ugm.ac.id/home/detail_pencarian/81142.
Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5491)
Putusan Pengadilan
Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 2454/Pid.B/2018/PN Sby tanggal 14 November 2018
921
Discussion and feedback